Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KESELAMATAN KESEHATAN KERJA DAN KESELAMATAN PASIEN

DALAM KEPERAWATAN
PROGRAM ALIH JENIS B22
SEMESTER 1

PENYEBAB TERJADINYA ADVERSE EVENTS TERKAIT PROSEDUR INVASIF DAN


MEDICATION SAFETY

KELOMPOK 5:

1. Uswatun Khasanah (131911123051)


2. Tri Restyanggi P (131911123052)
3. Wilhelmus Petrusgua (131911123053)
4. Siti Zulaihah (131911123062)
5. Candra Pratiwi (131911123063)
6. Ella Putri Utami (131911123064)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (kemkes, 2011).
Insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien terdiri dari Kejadian Tidak
Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera.
Kejadian tidak diharapkan (KTD)/ adverse event yaitu insiden yang mengakibatkan cedera pada
pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Cedera dapat diakibatkan oleh
kesalahan medis atau bukan kesalahan medis.
Pada makalah ini akan diuraikan mengenai sasaran keselamatan pasien dan penyebab
kejadian tidak diinginkan (KTD) / adverse event pada sasaran keselamatan pasien peningkatan
keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert) dan kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat
pasien operasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah konsep keselamatan pasien di rumah sakit?
2. Apa sajakah penyebab kejadian tidak diinginkan (KTD) / adverse event pada sasaran
keselamatan pasien peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert)?
3. Apa sajakah penyebab kejadian tidak diinginkan (KTD) / adverse event pada sasaran
keselamatan pasien kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat pasien operasi.

1.3 Tujuan
1. Mengetahui konsep keselamatan pasien di rumah sakit
2. Mengetahui penyebab kejadian tidak diinginkan (KTD) / adverse event pada sasaran
keselamatan pasien peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert)
3. Mengetahui penyebab kejadian tidak diinginkan (KTD) / adverse event pada sasaran
keselamatan pasien kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat pasien operasi.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 SASARAN KESELAMATAN PASIEN


Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang
diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine
Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission
International (JCI). Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik
dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan
kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas
permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum
difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh. Enam sasaran keselamatan pasien adalah
tercapainya hal-hal sebagai berikut :
1. Sasaran I : ketepatan identifikasi pasien
2. Sasaran II : peningkatan komunikasi yang efektif
3. Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert)
4. Sasaran IV : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepatpasien operasi
5. Sasaran V : pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6. Sasaran VI : pengurangan risiko pasien jatuh

2.1.1 SASARAN III : PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI


(HIGH-ALERT)
- Standar SKP III
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat
yang perlu diwaspadai (high-alert).
- Maksud dan Tujuan Sasaran III
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus
berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu
diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi
kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan
dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan
kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun
Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah
pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml
atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium
sulfat =50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan
orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak
diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara
yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan
meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan
elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang
perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur
juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di
IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana
penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian
yang tidak sengaja/kurang hati-hati.

- Elemen Penilaian Sasaran III


1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan
secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di
area tersebut sesuai kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang
jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).
2.1.2 SASARAN IV: KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR, TEPAT PASIEN
OPERASI

- Standar SKP IV
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepatlokasi, tepat-
prosedur, dan tepat- pasien.

- Maksud dan Tujuan Sasaran IV


Salah lokasi, salah-prosedur, pasien-salah pada operasi, adalah sesuatu yang
menkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari
komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota tim bedah,
kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada
prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu, asesmen pasien yang tidak
adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung
komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan
tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah
faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan
dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini.
Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety
Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal
Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan
lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat
dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh
operator/orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar
jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi
dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari
kaki, lesi) atau multipel level (tulang belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:
1. Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
2. Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan
tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; dan
3. Melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant yang dibutuhkan.
Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau
kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan,
tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit
menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya
menggunakan checklist.

- Elemen Penilaian Sasaran IV


1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi
lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat
preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta
peralatan yang diperlukan tersedia,mtepat, dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/time-
out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam untuk
memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan
dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

2.2 PENYEBAB TERJADINYA ADVERSE EVENTS TERKAIT MEDICATION


SAFETY
2.2.1 Kesalahan dalam memberikan obat/cairan
Kesalahan medikasi dapat mengancam keselamatan pasien. Kesalahan medikasi yang
terjadi tidak hanya menyebabkan cidera dan kematian, namun juga meningkatkan biaya
yang dikeluarkan rumah sakit. Kesalahan medikasi digolongkan kedalam kejadian tidak
diinginkan (KTD) serta di Indonesia kesalahan pemberian medikasi merupakan kasus yang
paling sering terjadi (Depkes, 2006).
Sebuah studi mengenai KTD yang dilaksanakan di beberapa RS di United States of
America (USA) mengenai kesalahan medikasi ditemukan fakta bahwa 34% kesalahan
medikasi dikarenakan peran perawat. Studi serupa yang dilaksanakan di RS tersier
menunjukkan 38% KTD pemberian medikasi terjadi kesalahan akibat dari staf keperawatan
(Bates et., 1995 & Pepper, 1995 dalam Page, 2004). Kesimpulan dari data tersebut, bahwa
perawat memiliki peran yang sangat penting untuk mencegah terjadinya KTD terutama
dalam pemberian medikasi. Umumnya semua perawat mengetahui prinsip dan Standar
Prosedur Operasional (SPO) pemberian medikasi, namun kejadian nyaris cidera (KNC) dan
KTD masih tinggi.
Selain dikarenakan dari kurangnya peran perawat dalam pemberian medikasi, ada
faktor lain yang menyebabkan terjadinya kesalahan medikasi. Kesalahan medikasi
berdasarkan model reason terdiri kondisi laten (latent conditions), kondisi yang
menyebabkan kesalahan (error producing conditions) dan kegagalan aktif (active failures).
Kondisi laten terjadi karena proses organisasi, keputusan/ kebijakan manajemen dan
elemen yang ada di dalam sistem. Contoh dari kondisi laten adalah adanya keterbatasan
tenaga perawat, beban kerja, terjadinya turnover.
Kondisi yang menyebabkan kesalahan (error producing conditions) terjadi karena
faktor lingkungan, tim, individual atau tugas yang mempengaruhi penampilan kerja.
Contoh dari kondisi tersebut antara lain stress lingkungan, kurangnya pendokumentasian
mengenai informasi tentang efek terapi, kurangnya peralatan yang memadai, obat-obatan
yang memiliki tampilan dan nama yang mirip (look- a- like, sound- a- like), obat yang tidak
umum diresepkan, bertambahnya jumlah obat-obatan baru dan obat yang sering
menyebabkan alergi. Contoh obat yang menimbulkan alergi adalah antibiotik, opiat dan
Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID).
Kegagalan aktif (active failure) terjadi akibat kesalahan pengenalan/ pemilihan obat
(slips), salah memori/ perhatian (lapses), ketidaktepatan penempatan tujuan atau cara
mencapai tujuan (mistakes), dan pelanggaran peraturan/ protokol (violation). Contoh dari
kondisi tersebut yaitu inadekuatnya pengetahuan tentang medikasi, kurangnya ketrampilan
dalam menghitung dosis obat dan kurangnya pengalaman dalam pemberian obat.
Keselamatan pemberian medikasi harus memerlukan pengetahuan tentang klien dan
medikasi saat melakukan proses keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan
evaluasi (College of Nurses of Ontario, 2008). Menghindari terjadinya KTD dalam
pemberian medikasi perawat harus selalu memperhatikan 10 prinsip, yaitu Benar Obat,
Benar Dosis, Benar Pasien, Benar Rute, Benar Waktu, Benar Edukasi Klien, Benar
Dokumentasi, Benar untuk Menolak Edukasi, Benar Pengkajian dan Benar Evaluasi
(Berman et al., 2008).
2.2.2 Obat dan cairan yang perlu kewaspadaan tinggi
No Nama Obat High Alert
1. Agonis adnergik IV Epinefrin HCl inj 1 mg/ ml 1 ml
Norepinefrin inj 1 mg/ ml 4 ml
2. Antiaritmia IV Lidokain HCl inj 20 mg/ ml 2 ml
3. Agonis adnergik IV, Antiaritmia Pehacain inj 2 ml Xylestesin inj 2%
IV 1,7 ml
4. Dekstrosa hipertonik ( ≥ 20%) Glukosa inj 40% 25 ml
5. Konsentrat KCl untuk injeksi Kalium klorida inj 7,46% 25 ml
6. Injeksi Magnesium Sulfat Magnesium sulfat inj 20% 25 ml
(MgSO4) Magnesium sulfat inj 40% 25 ml
7. Oksitosin IV Oksitosin inj 10 IU/ ml 1 ml
8. Elektrolit Natrium bikarbonat 8,4% 25 ml
(Meylon

No Nama Obat Emergency


1. Dexamethason inj Dopamin 50 mg Inj
2. Lidocain HCL Tyarit (Amiodarone) Inj
3. Adrenalin Inj Glucose 40% (D40%)
4. Atropine Sulfat Inj Aquabidest 25 cc
5. Tramadol Inj/keterolac inj Meylon 25 / Bicnat
6. Stesolid Inj Ringer Asetat
7. Asam Tranexamat Inj Glucose 5%
8. Aspilet 80 Mg tablet NaCl 0.9%
9. Fasorbid Dinitrat 5 mg KCL
10. Xylocain gel NaCl 0.9 % 100 cc
11. Ringer Laktat Haemacell/ HES
12. Manitol Kassa Hydrophil

NO NAMA OBAT LASA


1. AMINOFILLIN TAB 200 MG FITOMENADION (VIT.K) TAB SAL
2. AMLODIPINE TAB 5 MG AMLODIPINE TAB 10 MG
3. ASAM MEFENAMAT KAP SAL 500 ASAM TRANEKSAMAT TAB 500 MG
4. DIFENHIDRAMIN INJ 10MG/ ML 1 DIMENHIDRINAT TAB 50 MG
5. DULCOLAX SUPP 5 MG DULCOLAX SUPP 10 MG
6. FUROSEMIDE TAB 40 MG ISOSORBIT DINITRAT (ISDN) TAB
7. GLUKOSA LAR.INF 5% 500 ML GLUKOSA LAR.INF 10% 500 ML
8. KA-EN 3A LAR.INF 500 ML KA-EN 3B LAR.INF 500 ML
9. KAPTOPRIL TAB 12,5 MG KAPTOPRIL TAB 25 MG
10. KETOROLAK INJ 10 MG/ ML 1 ML KETOROLAK INJ 30 MG/ ML 1 ML
11. KLINDAMISIN KAP 150 MG KLINDAMISIN KAP 300 MG
12. MAGNESIUM SULFAT INJ 20% 25 MAGNESIUM SULFAT INJ 40% 25
13. METFORMIN TAB 50 MG METOKLOPRAMIDHCL TAB 10 MG
14. METILPREDNISOLON TAB 4 MG METILPREDNISOLON TAB 16 MG
15. NATRIUM DIKLOFENAK TAB 25 NATRIUM DIKLOFENAK TAB 50 MG
16. PAPAVERIN TAB 40 MG PIROKSIKAM TAB 10 MG
17. PARASETAMOL 500 MG TAB ANTASIDA TAB KOMBINASI
18. PROPILTIOURASIL TAB 100 MG PROPANOLOL TAB 40 MG

2.2.3 Prosedur terkait pemberian obat dan cairan


Prosedur terkait pemberian obat dan cairan:
1. Melakukan pengecekan ganda pada setiap obat yang akan diberikan kepada pasien:
Pengecekan pertama dilakukan oleh petugas yang berwenang untuk menginstruksikan,
meresepkan, atau memberikan obatobatan, antara lain: perawat, ahli farmasi, dan
dokter.
2. Pengecekan kedua harus dilakukan oleh perugas yang berwenang, teknisi, atau perawat
lainnya (petugas tidak boleh sama dengan pengecek pertama). Kebutuhan minimal
untuk melakukan pengecekan ganda/ verifikasi oleh orang kedua dilakukan pada
kondisikondisi tertentu, seperti saat akan menginjeksi pasien atau mengganti infus dan
saat transfer pasien atau pergantian perawat.

2.3 PENYEBAB TERJADINYA ADVERSE EVENTS TERKAIT PROSEDUR


INVASIF
2.3.1 Persiapan fisik sebelum operasi
Persiapan fisik pre operasi yang dialami oleh pasien dibagi dalam 2 tahapan, yaitu persiapan
di unit perawatan dan persiapan di ruang operasi.
1. Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum operasi
menurut Brunner & Suddarth ( 2002 ), antara lain:
a. Status kesehatan fisik
Secara umum sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan
status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti
kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara
lain status hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan
hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain.
b. Status Nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat badan, lipat
kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin) dan
keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum
pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan.
Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi
pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit.
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output cairan.
Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam rentang normal. Kadar
elektrolit yang biasanya dilakukan pemeriksaan di antaranya adalah kadar natrium
serum (normal : 135 -145 mmol/l), kadar kalium serum (normal : 3,5 – 5 mmol/l)
dan kadar kreatinin serum (0,70 – 1,50 mg/dl). Keseimbangan cairan dan elektrolit
terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme
asam basa dan ekskresi metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka
operasi dapat dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal mengalami gangguan
seperti oliguri/anuria, insufisiensi renal akut, dan nefritis akut, maka operasi harus
ditunda menunggu perbaikan fungsi ginjal, kecuali pada kasus-kasus yang
mengancam jiwa.
d. Kebersihan lambung dan kolon
Intervensi keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan
dan dilakukan tindakan pengosongan lambung dan kolon dengan tindakan
enema/lavement. Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam (biasanya puasa
dilakukan mulai pukul 24.00 WIB). Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon
adalah untuk menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke paru-paru) dan
menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan
terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus pada pasien yang membutuhkan
operasi CITO (segera), seperti pada pasien kecelakaan lalu lintas, maka
pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan NGT (naso gastric
tube).
e. Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari terjadinya infeksi
pada daerah yang dilakukan pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat
menjadi tempat bersembunyi kuman dan juga mengganggu/ menghambat proses
penyembuhan dan perawatan luka.
f. Personal Hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang
kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah
yang dioperasi.
g. Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan pemasangan kateter.
Selain untuk pengongan isi bladder tindakan kateterisasi juga diperlukan untuk
mengobservasi balance cairan.
2. Latihan Pra Operasi Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi.
Latihan yang diberikan pada pasien sebelum operasi antara lain:
a. Latihan Nafas Dalam
Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi nyeri setelah
operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu
beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik
ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi
umum. Latihan nafas dalam dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : Pasien
tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk (semifowler) dengan lutut ditekuk
dan perut tidak boleh tegang. Letakkan tangan di atas perut, hirup udara sebanyak-
banyaknya dengan menggunakan hidung dalam kondisi mulut tertutup rapat. Tahan
nafas beberapa saat (3-5 detik) kemudian secara perlahan-lahan, udara dikeluarkan
sedikit demi sedikit melalui mulut. Lakukan hal ini berulang kali (15 kali). Lakukan
latihan dua kali sehari praopeartif.
b. Latihan Batuk Efektif
Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama klien yang
mengalami operasi dengan anstesi general. Karena pasien akan mengalami
pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi teranestesi. Sehingga ketika
sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa
banyak lendir kental di tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat bermanfaat bagi
pasien setalah operasi untuk mengeluarkan lendir atau sekret tersebut.
c. Latihan Gerak Sendi
Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien sehingga setelah
operasi, pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk
mempercepat proses penyembuhan. Pasien/keluarga pasien seringkali mempunyai
pandangan yang keliru tentang pergerakan pasien setelah operasi. Banyak pasien
yang tidak berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan operasi sobek atau takut
luka operasinya lama sembuh.
2.3.2 Persiapan psikologis
Perisiapan psikologis atau persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah
pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau
labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisik pasien (Smeltzer & Bare, 2008).
Masalah mental yang biasa muncul pada pasien preoperasi adalah kecemasan. Maka
perawat harus mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi klien. Perawat perlu
mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi
stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk
membantu pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan preoperasi,
seperti adanya orang terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung/support
system.

2.3.3 Persiapan administratif


Persiapan administratif yang dilakukan sebelum tidakan pre operasi adalah:
1. Verifikasi dokumen pra operasi
2. Memberi tanda pada tempat pada tempat operasi (marking)
3. Melakukan pemeriksaan singkat sesaat sebelum operasi dilakukan.

2.3.4 Persiapan penunjang/lab


Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tindakan
pembedahan. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien preoperasi antara
lainPemeriksaan Radiologi dan diagnostik, seperti:
1. Foto thoraks, abdomen, foto tulang (daerah fraktur), USG (Ultra Sono Grafi), CT
scan (computerized Tomography Scan), MRI (Magnetic Resonance Imagine),
BNO-IVP, Renogram, Cystoscopy, Mammografi, CIL (Colon in Loop), EKG/ECG
(Electro Cardio Grafi), ECHO, EEG (Electro Enchephalo Grafi), dll.
2. Pemeriksaan Laboratorium, berupa pemeriksaan darah : hemoglobin, angka
leukosit, limfosit, LED (laju enap darah), jumlah trombosit, protein total (albumin
dan globulin), elektrolit (kalium, natrium, dan chlorida), CT/BT, ureum, kreatinin,
BUN, dll. Bisa juga dilakukan pemeriksaan pada sumsum tulang jika penyakit
terkait dengan kelainan darah.
3. Biopsi, yaitu tindakan sebelum operasi berupa pengambilan bahan jaringan tubuh
untuk memastikan penyakit pasien sebelum operasi. Biopsi biasanya dilakukan
untuk memastikan apakah ada tumor ganas/jinak atau hanya berupa infeksi kronis
saja.
4. Pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD).
Pemeriksaan KGD dilakukan untuk mengetahui apakah kadar gula darah pasien
dalan rentang normal atau tidak. Uji KGD biasanya dilakukan dengan puasa 10
jam (puasa jam 10 malam dan diambil darahnya jam 8 pagi) dan juga dilakukan
pemeriksaan KGD 2 jam PP (post prandial).
2.3.5 Inform consent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap pasien, hal
lain yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan
tanggung gugat, yaitu Informed Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus
menyadari bahwa tindakan medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh
karena itu setiap pasien yang akan menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat
pernyataan persetujuan dilakukan tindakan medis (pembedahan dan anestesi).
Meskipun mengandung resiko tinggi tetapi seringkali tindakan operasi tidak dapat
dihindari dan merupakan satu-satunya pilihan bagi pasien. Dan dalam kondisi nyata,
tidak semua tindakan operasi mengakibatkan komplikasi yang berlebihan bagi klien.
Bahkan seringkali pasien dapat pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat tanpa
komplikasi atau resiko apapun segera setelah mengalami operasi. Tentunya hal ini
terkait dengan berbagai faktor seperti: kondisi nutrisi pasien yang baik, cukup istirahat,
kepatuhan terhadap pengobatan, kerjasama yang baik dengan perawat dan tim selama
dalam perawatan.
Informed Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi aspek
etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhadap pasien wajib
untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan
yang dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga mengetahui manfaat
dan tujuan serta segala resiko dan konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya
sebelum menandatangani surat pernyataan tersebut akan mendapatkan informasi yang
detail terkait dengan segala macam prosedur pemeriksaan, pembedahan serta
pembiusan yang akan dijalani. Jika petugas belum menjelaskan secara detail, maka
pihak pasien/keluarganya berhak untuk menanyakan kembali sampai betul-betul
paham. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika tidak maka penyesalan akan
dialami oleh pasien/keluarga setelah tindakan operasi yang dilakukan ternyata tidak
sesuai dengan gambaran keluarga.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam
keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan
kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian
atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran
secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh. Enam sasaran keselamatan
pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut :
1. Sasaran I : ketepatan identifikasi pasien
2. Sasaran II : peningkatan komunikasi yang efektif
3. Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert)
4. Sasaran IV : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepatpasien operasi
5. Sasaran V : pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6. Sasaran VI : pengurangan risiko pasien jatuh

Menghindari terjadinya adverse event/KTD dalam pemberian medikasi perawat


harus selalu memperhatikan 10 prinsip, yaitu Benar Obat, Benar Dosis, Benar Pasien, Benar
Rute, Benar Waktu, Benar Edukasi Klien, Benar Dokumentasi, Benar untuk Menolak
Edukasi, Benar Pengkajian dan Benar Evaluasi
Mengindari terjadinya adverse event/ KTD pada sasaran keselamatan pasien
kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat pasien operasi harus memperhatikan
bagaimana persiapan psikologis, persiapan administrative, persiapan penunjang/lab, Inform
consent, Prosedur dalam memastikan lokasi operasi pasien.

3.2 Saran

Sebagai tenaga kesehatan kita wajib melakukan tindakan dengan baik dan benar
sesuai standar pelayanan kesehatan pada pasien, sehingga akan terjamin keselamatan pasien
dari segala aspek tindakan yang kita berikan.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang


Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Permenkes RI Nomor 4 Tahun 2018 tentang kewajiban rumah sakit dan kewajiban pasien

Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit, 2018, Komisi Akreditasi Rumah Sakit

Anda mungkin juga menyukai