Anda di halaman 1dari 3

Pertempuran Laut Aru

Awal Januari 1962 menjadi catatan khusus sebagai bukti keseriusan Indonesia dalam
menangani masalah Irian Barat. Melalui rapat Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat
yang dilaksanakan di Istana Negara dengan Presiden Soekarno sebagai Panglima
Tertingginya. Dengan operasi khusnya yang dinamakan
Angkatan Laut didaulat sebagai pembongkar atau pemecah blokade yang dilakukan oleh
Pasukan Kerajaan Belanda. Dalam pelaksanaan misinya, Laksamana Raden Eddy
Martadinata menerima mandat sebagai Panglima Angkatan Laut. Sesuai perintah Panglima
Tertinggi, infiltrasi akan dilakukan melalui laut, tanggal 15 Januari pukul 24.00, dengan
sasaran wilayah di arah selatan Kaimana, di sekitar Vlakke Hoek.
Dalam pelaksanaannya, ALRI diperkuat dengan datangnya armada baru yang diperkuat
dengan delapan Kapal Cepat Torpedo (KCT) Motor Torpedo Boat (MTB) yang dibeli dari
Jerman Barat. Empat dari delapan KCT itulah yang digunakan sebagai kapal pengangkut
infiltran. Alasan penggunaan KCT sebagai kapal pengangkut infiltran dikarenakan kapal
paling baru yang dimiliki ALRI serta memiliki kecepatan dan gerak kapal yang dibutuhkan
seandainya harus membawa tambahan pasukan.
Dari keempat KCT yang diberi nama RI Matjan Tutul dengan komandan Kapten Wiranto, RI
Matjan Kumbang yang dipimpin Kapten Sidhoparomo, dan RI Harimau dengan dipimpin
oleh Kapten Samuel Muda dengan satu lagi Kapal RI Singa. Satuan ini diberi nama Satuan
Tugas Chusus (STC-9) yang dipimpin oleh Letkol Sudomo sebagai Komandan beserta
Deputi I Angkatan Laut, Komodor Yoshapat Soedarso yang ikut dalam misi.
Tanggal 9 Januari 1962 malam, satu demi satu MTB meninggalkan pangkalannya di Tanjung
Priok, Jakarta. Dengan rute sejauh 2000 mil pelayaran laut yang dilakukan secara rahasia
sebagai upaya keamanan serta misi yang dianggap sangat penting dalam tugas pembebasan
Irian Barat. Selama pelayaran menuju daerah sasaran, STC-9 berada pada kondisi total black
out dan radio silence.
Dalam pelayarannya, STC-9 menetapkan tiga titik kumpul antara Jakarta sampai ke Maluku.
Titik kumpul (RV) pertama berada di selat Madura dengan RI Patimura. RV ke dua di utara
Flores dengan RI Rakata dan RV ketiga di dekat pulau Udjir, Kepulauan Kai, Maluku
bertemu dengan RI Multatuli, sebelum masuk ke perairan Irian. Ketiga titik pertemuan ini
harus bisa ditemukan sendiri sebagai pangkalan pengisian bahan bakar tambahan sebelum
masuk ke perairan Irian.
Sesudah tiba di titik pertemuan ketiga, kapal MTB yang dapat mencapai titik kumpul hanya
berjumlah tiga saja. RI Singa tidak dapat mencapai titik point karena kehabisan bahan bakar
ditengah laut. Sehingga dari mulanya operasi yang direncanakan berangkat menggunakan
empat kapal MTB harus berubah menjadi tiga kapal saja.
Menjelang sore hari, tanggal 15 Januari, di atas RI Murtatuli, Sudomo yang bertugas sebagai
Komandan STC-9 memberikan arahan dan waktu operasi. Tepat waktu petang, konvoi kapal
MTB melabu dengan kecepatan 20 mil per jam serta formasi 18 berhaluan 000 derajat. Setiap
kapal membawa 30 anak buah kapal dan sekitar 40 infiltran, putera daerah yang akan
didaratkan di Irian untuk memulai perang grilya.
Menjelang malam, konvoi kapal yang dipimpin RI Harimau melaju dengan cepat beriringan
tanpa menggunakan radar kecuali RI Matjan Kumbang yang bertugas sebagai Kapal Jaga
Operasi (KJO). Jam menunjukkan pukul 19.30 dan konvoi mengarah haluan menuju 059
derajat untuk mempersingkat waktu mencapai Vlakke Hoek, daerah tujuan misi operasi
pendaratan.
Tanpa disadari, iring-iringan ketiga MTB di Laut Arafuru sejak pukul 20.25 telah terdeteksi
dari udara oleh pesawat Neptune dari pihak Angkatan Laut Kerajaan. Dengan segera, pesawat
Neptune yang mengudara langsung memberikan sinyal bahaya dini kepada Hr. Ms. Eversten,
Hr. Ms. Kortenaer dan Hr. Ms. Utrecht sebagai kapal dari Angkatan Laut Kerajaan yang
sedang berpatroli di perairan setempat.
Tepat pukul 21.45 pesawat Neptune yang telah mengintai konvoi kapal ALRI tersebut
mengambil posisi siap menyerang. Mereka terlebih menerangi sasaran dan menembakkan
flare (roket suar). Tetapi dalam pelaksanaannya flare tersebut tidak menyala, sehingga roket
tidak jadi ditembakkan. RI Matjan Kumbang yang bertugas sebagai kapal jaga melaporkan
kepada RI Harimau. Selain kemunculan pesawat, Radar RI Matjan Kumbang mendeteksi
adanya 2 echo (gerakan) pada baringan derajat 070 derajat, dalam jarak sekitar 9 mil.
Informasi yang tersampaikan dari RI Matjan Kumbang secara langsung di konfirmasi melalui
teropong yang memperlihatkan siluet kapal Kerajaan Belanda di arah lambung kanan dan
satu lagi di lambung kiri. Kedua kapal tersebut adalah sebuah fregat dan kapal perusak
(destroyer) kelas Holland. Informasi yang tersampaikan pun memperlihatkan adanya kapal
Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang berada di sekitar konvoi STC-9.
Tidak seimbangnya kapal serta operasi tanpa perintah menyerang dan tidak adanya senjata
utama torpedo pada kapal KCT menjadikan posisi sangat tidak menguntungkan bagi pihak
ALRI. Fregat dan destroyer Belanda memiliki meriam 4,7 inci (12cm) sebagai senjata utama,
sedangkan KCT hanya memiliki senjata 40mm dan 12,7mm untuk menangkis serangan udara
dari pihak Belanda.
Pukul 21.50 Sudomo memberikan perintah kepada ketiga MTB untuk putar haluan menuju
arah 239 derajat dan menghindar secepat-cepatnya, untuk kembali ke pangkalan dan
membatalkan misi. Secara tidak langsung, ketiga kapal memutar arah ke kanan bersamaan,
menuju haluan yang ditentukan. Namun secara mengejutkan, Matjan Tutul memakai
kekuatan penuh, lewat sebelah kanan Matjan Kumbang dan mengambil haluan berbeda dari
perintah yaitu 329 derajat yang mengarah ke posisi Hr. Ms. Eversten.
Pesawat Neptune kembali melakukan serangan pada pukul 22.02 dengan tembakan peluru
suar yang menerangi laut Aru dan dilanjutkan dengan tembakan roket mengarah ke formasi
konvoi STC-9, namun tidak ada yang mengenai sasaran atau bagian kapal. Sebagai bentuk
perlawanan, senjata 400mm dan 12,7mm digunakan untuk melindungi kapal STC-9. Pada
pukul 22.07 kapal Eversten milik Koninklijke Marine (KM), Angkatan Laut Kerajaan
melakukan penyerarangan menggunakan peluru 12cm kepada RI Matjan Tutul karena posisi
dan haluan yang menghadap kepadanya.
Bersamaan dengan peluru meriam yang menuju ke arah RI Matjan Tutul, terdengar dari radio
sebuah perintah legendaris dari Komodor Yos Soedarso, “Kobarkan semangat pertempuran”.
Tepat pada pukul 22.08 RI Matjan Tutul menembakkan kedua senjata 40mm ke arah Hr. Ms.
Eversten, namun tidak mengenai sasaran karena berada di luar jangkauan. Secara tidak
langsung, posisi pimpinan yang berada di tangan Kapten Wiranto diambil alih oleh Komodor
Yos Soedarso.
Pukul 22.10, satu tembakan Eversten berhasil mengenai buritan Matjan Tutul yang
mengakibatkan kebakaran kecil, tetapi dapat dipadamkan. Saat itu Matjan Tutul berganti
haluan ke kiri, mengarah 239 derajat dengan di ikuti Eversten yang memutar haluan sejajar
239 derajat sambil terus menghujani Matjan Tutul dengan tembakan meriam 12cm. 20 menit
kemudian, tembakan kedua Eversten tepat mengenai bagian tengah Matjan Tutul. Kapal
terlihat meledak dan penumpangnya berhamburan di antara kobaran api yang sangat besar.
Matjan Tutul yang tak dapat menghindar terus menerus mendapatkan tembakan yang sekali
lagi mengenai anjungan Matjan Tutul pada pukul 22.35 yang membuatnya tidak dapat
bergerak lagi dan pada pukul 22.50 RI Matjan Tutul mulai tenggelam ke dasar laut. Posisi
Matjan Tutul yang berada ditengah kepungan membuatnya menjadi sasaran utama kapal
perang Belanda.
Tidak berhenti dengan satu kapal saja, namun Eversten melanjutkan pengejaran dan
menghujani RI Harimau dengan tembakan selama satu jam. Namun, tidak satu pun tembakan
yang mengenai lambung atau pun haluan kapal RI Harimau. Pengejaran yang dilakukan
pihak Belanda terjadi hingga memasuki wilayah teritorial Indonesia, tetapi pada sekitar pukul
23.45, Eversten tak lagi melakukan pengejaran sehingga konvoi dapat lolos. RI Harimau dan
RI Matjan Kumbang pun kembali ke pangkalan teritorial Indonesia sebagai akhir dari
pertempuran dengan pihak Angkatan Laut Kerajaan.

Anda mungkin juga menyukai