Rak Keswa 2015 2019 PDF
Rak Keswa 2015 2019 PDF
TAHUN 2015-2019
DIREKTORAT BINA KESEHATAN JIWA
1
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan YME, buku Rencana
Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Tahun 2015-2019 ini dapat disusun
untuk menjadi pedoman bersama dalam mewujudkan outcome Direktorat Bina
Kesehatan Jiwa.
Buku ini memuat tujuan, sasaran, arah kebijakan, stretegi, indikator, dan target
Direktorat Bina Kesehatan JIwa selama lima tahun mendatang (2015-2019) yang
harus dijadikan acuan bagi setiap pemangku kegiatan Direktorat Bina Kesehatan
JIwa .
Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan JIwa akan memberikan panduan
dalam penyusunan rencana kerja tahunan masing-masing Sub Direktorat Bina
Kesehatan Jiwa sekaligus menjadi salah satu dokumen sumber dalam pelaksanaan
penilaian Akuntabilitas Kinerja .
Kami meyakini, bahwa Rencana Aksi Kegiatan ini belum sempurna dan terus akan
di-up date untuk mengakomodir perkembangan kondisi internal dan eksternal
pembangunan kesehatan di bidang Kesehatan jiwa dan Napza. Oleh karena itu,
masukan dari semua pihak untuk perbaikannya sangat dibutuhkan. Kepada
seluruh penyusun buku ini, kami mengucapkan terima kasih atas segala upayanya.
Semoga Rencana Aksi Kegiatan ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara bertahap dan
berkesinambungan yang mengacu pada arah dan kebijakan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (2004-2025) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah yang disusun dalam 5 tahunan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2006 tentang tata cara
menyusun rencana pembangunan nasional, perlu memperhatikan beberapa
hal antara lain sasaran program prioritas presiden, konsistensi kebijakan
dan program pemerintah dengan yang tertuang dalam RPJMN, sinergisitas
output dan outcome program dengan dokumen RPJMN, serta sumberdaya
yang layak menurut kerangka ekonomi makro dalam dokumen RPJMN.
Dalam bidang kesehatan, Kepmenkes No. 375/MENKES/SK/V/2009 telah
menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan
Tahun 2005-2025 yang menjadi acuan dalam penyusunan perencanaan
jangka menengah (lima tahunan).
3
Maka untuk mendukung dan memandu implementasi program kesehatan jiwa
di tingkat nasional dan daerah perlu disusun Rencana Aksi Kegiatan
Direktorat BIna Kesehatan Jiwa 2015 – 2019 yang merupakan perumusan
mengenai kesehatan jiwa untuk mengimplementasikan aksi-aksi kegiatan
dalam mendukung promosi kesehatan jiwa, prevensi terhadap gangguan jiwa,
serta kurasi dan rehabilitasi.
4
kurang lebih 240 juta jiwa pada tahun 2013, maka diperkirakan terdapat
lebih dari 400.000 orang menderita gangguan jiwa berat (psikosis).
5
terjadi pada gangguan depresi, gangguan psikotik atau gangguan jiwa yang
lain. Berdasarkan laporan dari Mabes Polri pada tahun 2012 ditemukan
bahwa angka bunuh diri sekitar 0.5 % dari 100.000 populasi, yang berarti
ada sekitar 1.170 kasus bunuh diri yang dilaporkan dalam satu tahun.
Masalah lain yang juga tidak kalah penting adalah pemasungan. Data yang
dihimpun dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebutkan bahwa
angka pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa berat (Psikotk)
adalah sebesar 14,3% atau sekitar 57.000 kasus gangguan jiwa yang
mengalami pemasungan.
6
(APEC) akibat beban ekonomi yang ditimbulkannya. World Health
Organization (WHO) mengestimasikan depresi sebagai penyebab beban
akibat penyakit no.2 terbesar pada tahun 2020, dan menjadi no.1 pada
tahun 2030 berdasarkan DALY’s (Global Burden of Disease, 2004).
7
sehingga pasien dengan gangguan jiwa bisa mendapatkan pelayanan yang
berkualitas dengan akses yang lebih mudah, meningkatkan jejaring dan
sistem rujukan secara berjenjang.
b. Upaya kesehatan jiwa saat ini juga mulai didukung oleh multidisiplin, tidak
hanya dari disiplin ilmu kesehatan jiwa saja. Hal ini merupakan bukti
semakin meningkatnya pemahaman akan pentingnya kesehatan jiwa.
Dukungan organisasi profesi juga merupakan modal yang sangat penting
dalam pelaksanaan upaya kesehatan jiwa di masyarakat.
Di beberapa daerah di Indonesia saat ini telah tersedia layanan kesehatan
jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat dasar. Hal ini merupakan
perkembangan yang penting dalam meningkatkan jangkauan pelayanan
kesehatan jiwa kepada masyarakat, dan merupakan bukti meningkatnya
pemahaman lintas program akan pentingnya kesehatan jiwa. Fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat dasar juga merupakan tempat pelayanan
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS. Dalam peningkatan pelayanan
kesehatan jiwa, kerjasama ini sangat membantu dalam peningkatan
cakupan pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat, meningkatkan kerjasama
dalam sistem rujukan dan rujukan balik untuk pasien gangguan jiwa,
sehingga pasien gangguan jiwa peserta JKN bisa mendapatkan pelayanan
kesehatan jiwa yang lebih luas dan mudah dijangkau.
c. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan Rumah Sakit Rujukan
Regional. Pembangunan dan penyediaan Rumah Sakit Rujukan Regional
berarti menyediakan sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang
kesehatan jiwa dan penyediaan sarana dan prasarana perawatan kesehatan
jiwa. Hal ini berdampak terhadap meluasnya cakupan pelayanan kesehatan
jiwa kepada masyarakat.
d. Dalam aspek pembiayaan kesehatan jiwa, potensi yang dimiliki adalah
adanya dukungan pemerintah untuk menerapkan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) dalam layanan kesehatan termasuk kesehatan jiwa dalam
mencapai Universal Coverage pada tahun 2019. Hal ini merupakan potensi
yang cukup besar untuk menjamin orang dengan gangguan jiwa dapat
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan meningkatkan
cakupan pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat.
Selain potensi yang tersebut diatas terdapat beberapa peluang yang dapat
dimanfaatkan dalam pengembangan upaya kesehatan jiwa, diantaranya:
peningkatan kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa, baik di lintas
sektor maupun di masyarakat, adanya upaya kesehatan jiwa berbasis
8
masyarakat yang telah dikembangkan di beberapa daerah, dan adanya
kesempatan dalam kerjasama program serta bantuan sumberdaya.
Beberapa daerah telah terbentuk kelompok peduli kesehatan jiwa yang
tentunya akan sangat mendukung upaya kesehatan jiwa di masyarakat.
Upaya-upaya promosi dan prevensi di bidang kesehatan jiwa merupakan
bagian yang penting dari upaya kesehatan jiwa, dan merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif.Di fasilitas pelayanan
kesehatan primer di beberapa wilayah telah menyelenggarakan upaya
kesehatan jiwa melalui kegiatan promosi dan prevensi, baik melalui
kegiatan penyuluhan, edukasi, deteksi dini maupun kegiatan lain dalam
berbagai setting pelayanan.
Di tingkat nasional, beberapa program kesehatan jiwa telah terintegrasi
dalam program nasional kesehatan. Dukungan pemerintah juga dapat
dilihat dari usaha pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sumber daya
yang diperlukan khususnya untuk peningkatan upaya kesehatan jiwa.
Peluang-peluang untuk memperbaiki kurikulum sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan sesuai standar merupakan peluang yang bisa
dimanfaatkan.Di samping itu, adanya penyelenggaraan pendidikan untuk
berbagai profesi terkait kesehatan jiwa, tersedianya beasiswa untuk
pendidikan kesehatan jiwa, adanya peluang untuk pembaharuan
kompetensi, dukungan dari masyarakat dan yang tidak kalah penting untuk
peningkatan pemenuhan sumberdaya yang berkualitas adalah
terakreditasinya program studi dan pelatihan kesehatan jiwa.
.Diharapkan dengan terpenuhinya kebutuhan sumberdaya tersebut dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan jiwa pada masyarakat.
9
2. Fasilitas pelayanan di bidang kesehatan jiwa
Fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
jiwa secara kuantitatif masih sangat terbatas. Hanya 21,47% Puskesmas
yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa dan hanya 33 % RSU yang
memberikan layanan kesehatan jiwa, di samping itu masih ada 8 Provinsi
yang tidak memiliki RSJ, selain itu mutu pelayanan kesehatan jiwa di
fasilitas pelayanan kesehatan juga masih perlu ditingkatkan.
Fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan juga masih sangat terbatas
dalam memberikan pelayanan terhadap ODMK/ODGJ. Kementerian Sosial
hanya memiliki 3 (tiga) Panti Rehabilitasi terhadap ODMK/ODGJ dan banyak
Provinsi serta Kabupaten/Kota yang tidak memiliki fasilitas pelayanan di
luar sektor kesehatan.
3. Permasalahan dalam jenis, jumlah dan ketersediaan yang
berkesinambungan obat psikotropik di puskesmas. Hal ini perlu mendapat
perhatian, mengingat penatalaksanaan gangguan jiwa yang sebagian besar
bersifat kronis, memerlukan ketersediaan obat secara kontinyu.
4. Anggaran di bidang kesehatan jiwa juga masih sangat rendah karena lebih
diutamakan anggaran untuk kesehatan fisik, maupun penyediaan sarana
dan prasarana kesehatan. Hal ini menyebabkan terbatasnya kegiatan dan
program kesehatan jiwa yang dapat dilaksanakan.
5. Regulasi tentang kesehatan jiwa di tingkat daerah baik Provinsi maupun
Kabupaten/Kota masih kurang karena program kesehatan jiwa belum
menjadi program prioritas dan kebijakan otonomi daerah. Adanya otonomi
daerah memungkinkan pengambil keputusan mengambil kebijakkan yang
dapat merugikan pelaksanaan upaya kesehatan jiwa. Selain itu pergantian
pimpinan di tingkat daerah dapat mengganggu keberlangsungan program
kesehatan jiwa akibat kebijakkan yang disusun oleh pimpinan sesaat.
6. Adanya stigma terhadap kesehatan jiwa juga mengganggu pelaksanaan
upaya kesehatan jiwa. Keengganan masyarakat membawa Orang Dengan
Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
mencari pengobatan medik, rendah utilisasi fasyankes di bidang kesehatan
serta rendahnya minat menjadi tenaga kesehatan jiwa adalah akibat dari
stigma tersebut.
10
Analisis situasi kesehatan jiwa merupakan suatu langkah awal yang krusial
dalam penyusunan rencana aksi kegiatan. Analisis situasi ini mengkaji
kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), kesempatan (opportunities)
dan ancaman (threaths) yang berhubungan dengan layanan dan program
kesehatan jiwa terkini, sehingga akan diperoleh pemahaman mengenai
sumber-sumber daya, kebutuhan, dan langkah-langkah ke depan. Kekuatan
(Strengths) merupakan modal dasar yang dimiliki untuk mengembangkan
strategi dalam penyusunan rencana strategis. Dari kekuatan tersebut dapat
diperkirakan strategi apa yang paling tepat dalam pengembangan kesehatan
jiwa masyarakat di Indonesia.
Kelemahan (weaknesses) merupakan aspek penting yang harus
diperhatikan, yang bisa menjadi penghambat dalam penyusunan peta
strategi kesehatan jiwa masyarakat. Dengan mengenali kelemahan dan
ancaman, maka akan dapat disusun suatu strategi yang dapat meminimalisir
kelemahan tersebut.
11
Topik No. Kekuatan Bobot Nilai Skor
Regulasi dan 1 UU Keswa No. 18 Tahun 2014 8 5 0.4
Kebijakan 2 UU CRPD No. 19 Tahun 2011 3 3 0.09
3 RPJMN tahun 2015-2019 3 4 0.12
4 Pengalaman pembuatan kebijakan terdahulu 1 1 0.01
5 Telah terbitnya berbagai regulasi terkait layanan
keswa (Permenkes) 2 2 0.04
Pembiayaan 6 Jaminan kesehatan nasional menanggung juga
layanan kesehatan jiwa 5 5 0.25
7 Anggaran kesehatan jiwa 3 4 0.12
SDM 8 Jumlah tenaga kesehatan jiwa terus meningkat 5 4 0.2
9 Adanya organisasi konsumer dan keluarga 5 5 0.25
10 Tenaga-tenaga kesehatan terlatih di PPK 4 5 0.2
11 Adanya tenaga spesialis dan subspesialis 3 3 0.09
12 Adanya kader kesehatan jiwa 3 3 0.09
13 Modul pelatihan bagi tenaga kesehatan di
layanan primer dan layanan sekunder tersedia 4 4 0.16
14 Kurikulum dan standar kompetensi sudah
terbentuk 4 4 0.16
15 Adanya organisasi profesi 3 3 0.09
16 Jumlah program studi dengan akreditasi A 2 2 0.04
17 Adanya kesadaran bahwa masalah keswa bukan
monopoli tenaga kesehatan di bidang keswa 2 2 0.04
Layanan 18 Layanan unggulan di berbagai institusi 3 2 0.06
19 Regulasi rujukan balik yang memfasilitasi
tersedianya obat 3 3 0.09
20 Adanya panduan pelayanan kedokteran tingkat
satu untuk puskesmas 3 3 0.09
21 Adanya DSSJ 3 4 0.12
22 Terakreditasinya sebagian besar RS 3 2 0.06
Lintas Program dan 23 Adanya integrasi keswa di berbagai program 3 3 0.09
Lintas Sektor 24 Adanya sistem pengembangan kerjasama antar
kementerian atau dinas dalam bentuk MoU 3 3 0.09
Infrastruktur 25 Ketersediaan obat-obat esensial jiwa dalam
formularium nasional 5 5 0.25
26 Adanya LSM dan CSR 2 3 0.06
Sistem informasi dan 27 Adanya sistem pelaporan dari
penelitian Puskesmas/RSU/RSJ ke dinkes/pusat secara
berkala 5 4 0.2
28 Adanya unit penelitian di tingkat pusat dan
daerah 2 2 0.04
29 Adanya riskesdas dan risfaskes 3 2 0.06
30 Adanya sumber daya di institusi pendidikan
kesehatan untuk melakukan penelitian 2 2 0.04
7. 100 3.6
12
sehingga sumber daya yang tersedia
juga minimal
4 Pola layanan di PPK 1, 2, dan 3 masih 2 -3 -0.06
belum jelas
5 Organisasi profesi belum 2 -3 -0.06
memberikan kesempatan dalam hal
pendelegasian wewenang
6 Diseminasi informasi dan rencana 3 -2 -0.06
implementasi UU Keswa belum ada
7 Terbatasnya jumlah layanan 3 -3 -0.09
kesehatan jiwa di masing-masing
tingkat layanan
8 Kesenjangan pengobatan yang masih 3 -5 -0.15
tinggi
9 Sarana dan prasarana yang tidak 2 -4 -0.08
memadai misalnya alat fiksasi yang
aman
10 Tingkat pengetahuan masyarakat 3 -4 -0.12
yang masih rendah yang
mengakibatkan kesalahan dan
keterlambatan terapi
11 Layanan kesehatan jiwa belum cukup 2 -3 -0.06
komprehensif terutama pada pasien
dengan gangguan jiwa yang memiliki
masalah kesehatan fisik
12 Keterbatasan infrastruktur 2 -3 -0.06
13 Perlakuan salah pada orang dengan 3 -4 -0.12
gangguan jiwa masih tinggi
14 Belum adanya standar untuk 3 -4 -0.12
penerapan kurikulum pendidikan
nakes
15 Diseminasi regulasi dan kebijakan 1 -3 -0.03
yang masih rendah karena tidak ada
akses
16 Keengganan SDM untuk 2 -4 -0.08
menyelenggarakan layanan keswa
13
17 Proses pembuatan kebijakan dan 1 -3 -0.03
regulasi yang belum menjawab
urgensi permasalahan
18 Belum adanya program promosi dan 3 -4 -0.12
prevensi yang bersifat nasional,
multisektor, dan terkait populasi
umum dan kelompok rentan
19 Belum lengkapnya data kesehatan 3 -5 -0.15
jiwa nasional
20 Belum adanya pedoman rehabilitasi 2 -4 -0.08
psikososial yang bersifat multisektor
21 Kurangnya dukungan dari pengambil 1 -2 -0.02
keputusan mengakibatkan integrasi
lintas program kurang optimal
22 Masih ada obat esensial yang tidak 2 -5 -0.1
tercantum di formularium nasional
terutama di puskesmas
23 Tidak tersedianya obat secara reguler 2 -5 -0.1
24 Kurang idealnya perencanaan 2 -4 -0.08
pengembangan SDM tingkat nasional
dan daerah
25 Kurangnya jumlah dan kualitas 3 -4 -0.12
program studi penyelenggara
pendidikan dokter, spesialistik dan
subspesialistik berpengaruh pada
kualitas lulusan
26 Kurikulum pendidikan nakes yang 4 -5 -0.2
disusun tidak menjawab kebutuhan
layanan
27 Sebagian besar proses pendidikan 4 -4 -0.16
diselenggarakan di RSU dan RSJ yang
sebagian besar penyakitnya tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat
29 Kurangnya dana untuk 2 -3 -0.06
pengembangan SDM
30 Sistem supervisi nakes masih belum 3 -4 -0.12
baik
14
31 Rendahnya reward untuk 1 -3 -0.03
menyediakan layanan keswa
32 Kemampuan pelaksanan program 2 -3 -0.06
melakukan advokasi kurang
33 Kegiatan advokasi masih merupakan 1 -2 -0.02
kegiatan insidentil
34 Konsep tradisional dalam manajemen 1 -2 -0.02
klinis yang belum melibatkan pasien
maupun keluarga dalam pengambilan
keputusan
35 Tidak semua daerah mengembangkan 1 -2 -0.02
kolaborasi lintas sektor
36 Kurang dilaksakannya tugas dan 2 -3 -0.06
fungsi masing-masing sektor terkait
dalam upaya kesehatan jiwa
37 Kualitas pelayanan keswa di PPK 3 -3 -0.09
1,2,3 belum terstandar
38 Tenaga kesehatan belum terlatih 4 -4 -0.16
keswa secara adekuat
39 Sistem pelaporan yang berjalan masih 3 -4 -0.12
terbatas pada institusi pemerintah
40 Format pelaporan belum seragam 3 -3 -0.09
dan belum sesuai dengan kebutuhan
(cth bunuh diri)
41 Kurangnya pemahaman petugas 3 -4 -0.12
tentang sistem pencatatan dan
pelaporan
42 Penelitian keswamas tidak sebanyak 1 -2 -0.02
penelitian klinis
43 Penelitian keswamas lebih sulit 1 -1 -0.01
karena melibatkan banyak pihak
44 Kurangnya monev dari dinas 2 -3 -0.06
kesehatan
45 Terbatasnya data keswa di setiap 2 -4 -0.08
level
100 -3.65
15
No Peluang Bobot Nilai Skor
(1-5) (BxN)/100
16
14 Beasiswa untuk pendidikan jiwa 2 3 0.060
15 Pergeseran paradigma dari kuratif 2 3 0.060
ke prevensi dan promosi
16 Integrasi kesehatan jiwa dalam 6 5 0.300
program kesehatan dan lintas
sektor
17 Kerjasama dan kolaborasi lintas 3 4 0.120
sektor
18 Kesempatan untuk menambah 4 5 0.200
jumlah dan jenis obat esensial
dalam formularium nasional
19 Kerjasama dan partisipasi pihak 3 3 0.090
swasta (obat dan program)
20 Peningkatan keterampilan advokasi 3 3 0.090
21 Keterlibatan media 3 4 0.120
22 Peluang untuk masuk dalam 3 4 0.120
peraturan perundang-undangan
sektor lain
23 Adanya kesempatan untuk 2 3 0.060
melakukan riset di bidang keswa
24 Penambahan jenis gangguan jiwa 3 5 0.150
yang masuk dalam program rujuk
balik
25 Terbukanya kesempatan untuk 3 4 0.120
bergabung dalam sistem informasi
kesehatan nasional
26 Masalah pelanggaran HAM mulai 4 5 0.200
menjadi perhatian pada ODGJ
27 Keswa masih memiliki posisi 2 3 0.060
sebagai direktorat
28 Semakin tinggi kesadaran akan 2 3 0.060
pentingnya KIE
29 Konsep pemulihan yang mulai 1 2 0.020
tumbuh dan diterapkan dalam
profesi
30 Dukungan internasional 2 3 0.060
17
31 Peluang pengembangan gugus 2 3 0.060
tugas di bidang keswa sudah
sampai di menkokesra
32 Sistem kapitasi dan paket INA-CBGs 3 5 0.150
akan mendorong sistem informasi
kesehatan jiwa lebih baik
33 Adanya dukungan dari organisasi 2 2 0.040
dan institusi pendidikan
internasional
34 Adanya resolusi tingkat global dan 2 2 0.040
nasional
100 3.910
18
kesehatan jiwa masih rendah
19
A. LINGKUNGAN STRATEGIS
Jumlah wanita usia subur akan meningkat dari tahun 2015 yang
diperkirakan sebanyak 68,1 juta menjadi 71,2 juta pada tahun 2019.
Penduduk usia kerja yang meningkat dari 120,3 juta pada tahun 2015
menjadi 127,3 juta pada tahun 2019. Penduduk berusia di atas 60 tahun
meningkat, yang pada tahun 2015 sebesar 21.6 juta naik menjadi 25,9 juta
pada tahun 2019. Jumlah lansia di Indonesia saat ini lebih besar dibanding
penduduk benua Australia yakni sekitar 19 juta. Implikasi kenaikan
penduduk lansia ini terhadap sistem kesehatan adalah (1) meningkatnya
kebutuhan pelayanan sekunder dan tersier, (2) meningkatnya kebutuhan
pelayanan home care dan (3) meningkatnya biaya kesehatan. Konsekuensi
logisnya adalah pemerintah harus juga menyediakan fasilitas yang ramah
lansia dan menyediakan fasilitas untuk kaum disable mengingat tingginya
proporsi disabilitas pada kelompok umur ini.
20
Masalah penduduk miskin yang sulit berkurang akan masih menjadi
masalah penting. Secara kuantitas jumlah penduduk miskin bertambah, dan
ini menyebabkan permasalahan biaya yang harus ditanggung pemerintah
bagi mereka. Tahun 2014 pemerintah harus memberikan uang premium
jaminan kesehatan sebanyak 86,4 juta orang miskin dan mendekati miskin.
Data BPS menunjukkan bahwa ternyata selama tahun 2013 telah terjadi
kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari 1,75% menjadi 1,89% dan
indeks keparahan kemiskinan dari 0,43% menjadi 0,48%. Hal ini berarti
tingkat kemiskinan penduduk Indonesia semakin parah, sebab semakin
menjauhi garis kemiskinan, dan ketimpangan pengeluaran penduduk antara
yang miskin dan yang tidak miskin pun semakin melebar.
21
Diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menurut peta
jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional ditargetkan pada tahun 2019
semua penduduk Indonesia telah tercakup dalam JKN (Universal Health
Coverage - UHC). Diberlakukannya JKN ini jelas menuntut dilakukannya
peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas
kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan,
serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Untuk mengendalikan
beban anggaran negara yang diperlukan dalam JKN memerlukan dukungan
dari upaya kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif agar
masyarakat tetap sehat dan tidak mudah jatuh sakit. Perkembangan
kepesertaan JKN ternyata cukup baik. Sampai awal September 2014, jumlah
peserta telah mencapai 127.763.851 orang (105,1% dari target).
Penambahan peserta yang cepat ini tidak diimbangi dengan peningkatan
jumlah fasilitas kesehatan, sehingga terjadi antrian panjang yang bila tidak
segera diatasi, kualitas pelayanan bisa turun.
22
Berlakunya Peraturan Tentang Sistem Informasi Kesehatan. Pada tahun
2014 juga diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tentang
Sistem Informasi Kesehatan (SIK). PP ini mensyaratkan agar data kesehatan
terbuka untuk diakses oleh unit kerja instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yang mengelola SIK sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Betapa pun, daya saing tenaga kesehatan dalam negeri juga harus
ditingkatkan. Institusi-institusi pendidikan tenaga kesehatan harus
ditingkatkan kualitasnya melalui pembenahan dan akreditasi.
3. Lingkungan Strategis Global
23
tetapi sampai kini justru Indonesia belum mengaksesinya. Sudah banyak
desakan dari berbagai pihak kepada Pemerintah untuk segera mengaksesi
FCTC. Selain alasan manfaatnya bagi kesehatan masyarakat, juga demi
menjaga nama baik Indonesia di mata dunia.
24
BAB II
TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS DIT BINA KESWA
A. Tujuan
Secara umum tujuan pembangunan kesehatan jiwa kurun waktu 2015-2019
adalah menuju masyarakat Indonesia yang sehat jiwa.
Secara khusus tujuan pembangunan kesehatan jiwa kurun waktu 2015-
2019 adalah sebagai berikut:
1. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik,
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan,
tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan Jiwa;
2. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi
kecerdasan; Memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan
Kesehatan Jiwa bagi ODMK, ODGJ dan orang dengan gangguan
penggunaan Napza berdasarkan hak asasi manusia;
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif,
dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif bagi ODMK, ODGJ dan orang dengan gangguan
penggunaan Napza;
4. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam
Upaya Kesehatan Jiwa;
5. Meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
6. Memberikan kesempatan kepada ODMK, ODGJ dan orang dengan
gangguan penggunaan Napza untuk dapat memperoleh haknya
sebagai Warga Negara Indonesia.
B. Sasaran strategis
Dalam rangka mencapai tujuan Direktorat Bina Kesehatan Jiwa tersebut di
atas, ditetapkan sasaran-sasaran strategis sebagai berikut:
1. Terwujudnya upaya kesehatan jiwa yang lebih responsive, menyeluruh,
terpadu, berkesinambungan dan terukur..
2. Terwujudnya layanan kesehatan jiwa dan NAPZA yang lebih terstruktur
dan terstandar.
25
3. Terwujudnya program promosi dan prevensi kesehatan jiwa dan NAPZA
4. Terwujudnya sistem koordinasi dan kolaborasi dengan para pemangku
kepentingan kesehatan jiwa dan NAPZA
5. Terwujudnya sistem informasi dan monitoring evaluasi kesehatan jiwa
dan NAPZA
6. Terwujudnya SDM kesehatan jiwa dan NAPZA yang kompeten dan
berbudaya kinerja.
7. Terwujudnya sarana dan prasarana kesehatan jiwa dan NAPZA sesuai
standar.
8. Terwujudnya dukungan regulasi dan kebijakan kesehatan jiwa dan NAPZA.
9. Terwujudnya data kesehatan jiwa dan NAPZA yang terpadu.
10. Terwujudnya penganggaran yang optimal dan berkelanjutan bidang
kesehatan jiwa dan NAPZA
26
BAB III
ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI
DAN KERANGKA KELEMBAGAAN
B. KERANGKA REGULASI
Untuk meningkatkan akses dan mutu Fasilitas Kesehatan Jiwa dan Napza
Tingkat Pertama (FKTP), maka upaya yang akan dilakukan adalah:
27
1. Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan
sarana prasarana dan alat kesehatan yang sesuai standar
28
6. Mewujudkan kemitraan yang berdaya guna tinggi melalui program sister
hospital, kemitraan dengan pihak swasta, KSO alat medis, dan lain-lain.
C. KERANGKA KELEMBAGAAN
29
BAB IV
TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN
Memperhatikan rancangan awal RPJMN 2015-2019, visi dan misi, tujuan, strategi
dan sasaran strategis sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka
disusunlah target kinerja dan kerangka pendanaan program-program 2015-2019.
A. TARGET KINERJA
Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan
adalah:
30
B. KERANGKA PENDANAAN
31
BAB V
PENUTUP
Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan JIwa tahun 2015-2019 ini
disusun untuk menjadi acuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
upaya Pembinaan Bidang Kesehatan Jiwa dan Napza dalam kurun waktu lima
tahun ke depan. Dengan demikian Direktorat Bina Kesehatan JIwa, Unit Eselon 2
dari Unit Kerja Ditjen Bina Upaya Kesehatan di lingkup Kementerian Kesehatan
mempunyai target kinerja yang telah ditetapkan dan akan dievaluasi pada
pertengahan (2017) dan akhir periode 5 tahun (2019) sesuai ketentuan yang
berlaku.
Jika di kemudian hari diperlukan adanya perubahan pada Rencana Aksi Kegiatan
Direktorat Bina Kesehatan tahun 2015-2019, maka akan dilakukan
penyempurnaan sebagaimana mestinya.
32
33
34
35