Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi didalam darah dengan atau tanpa penumpukan CO2. Terdapat 6 sistem
kegawatan salah satunya adalah gagal nafas yang menempati urutan pertama. Hal
ini dapat dimengerti karena apabila terjadi gagal nafas waktu yang tersedia terbatas
sehingga memerlukan ketepatan dan kecepatan dalam bertindak. (Nemaa PK,
2003)
Kegagalan pernafasan merupakan salah satu indikasi pasien dirawat di ruangan
intensive care unit (ICU). Kegagalan pernafasan merupakan salah satu penyebab
meningkatnya mortalitas dan morbiditas. Setiap tahunnya diperkirakan1 juta orang
dirawat di ICU karena gagal nafas (Wunsch, et al, 2010). Di Amerika Serikat
kejadian gagal nafas meningkat dari 1.007.549 orang pada tahun 2001 menjadi
1.917.910 pada tahun 2009 (Stefan, et al, 2013)
Di Amerika serikat insidens ARDS (Acute Respiratory Distress Sindrome)
pada orang dewasa tahun 2005 diperkirakan 200.000 kasus pertahun dengan angka
mortalitas 40%. Acute Respiratory Distress Sindrome dapat terjadi pada semua
kelompok umur, dari anak-anak sampai dewasa. Insidens ARDS meningkat dengan
pertambahan usia, berkisar 16 kasus per 100.000 per tahun pada rentang usia 15-
19 tahun dan meningkat menjadi 306 kasus per 100.000 pertahun pada rentang usia
75-84 tahun. (JAMA, 2012)
Penelitian yang dilakukan oleh Franca et al (2011) pada 12 ruangan ICU yang
ada di Brazil didapatkan 843 orang (49%) di rawat di ruangan ICU karena gagal
nafas akut dan 141 orang menderita gagal nafas setelah dirawat di ICU, dari total
penderita gagal nafas akut tersebut sebanyak 475 orang meninggal di ruangan ICU
dan 56 orang meninggal setelah keluar dari ICU. (Deli, Arifin, & Fatimah, 2017)
Dibutuhkan suatu penanganan khusus untuk mengatasi kegagalan pernapasan.
Salah satu penatalaksanaan untuk mengatasi gagal nafas adalah pemberian bantuan

1
pernafasan melalui ventilator yang berfungsi untuk membantu fungsi paru dalam
pemenuhan oksigen tubuh. Tindakan pemasangan alat bantu pernafasan dapat
menimbulkan ketidaknyamanan dan nyeri bagi pasien, yang tidak jarang
mengakibatkan terjadinya agitasi pada pasien. Selain itu agitasi dapat terjadi akibat
ketidaknyamanan terhadap lingkungan dan suara bising yang ditimbulkan oleh alat-
alat. Penatalaksanaan farmakologis yang dilakukan untuk mengatasi agitasi pada
pasien gagal nafas adalah dengan menggunakan obat-obatan sedasi dan analgetik.
(Deli et al, 2017)

B. Tujuan
Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien gagal nafas akut

C. Manfaat
Hasil makalah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai gagal
napas akut, serta dapat meningkatkan kemampuan kelompok dalam melakukan
analisa kasus gagal nafas akut.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah
keperawatan kritis yang diajukan adalah : Bagaimana penangan kritis pada pasien
Gagal Nafas Akut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Gagal Nafas Akut


Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi didalam darah dengan atau tanpa penumpukan CO2. Terdapat 6 sistem
kegawatan salah satunya adalah gagal nafas yang menempati urutan pertama. Hal
ini dapat dimengerti karena apabila terjadi gagal nafas akut waktu yang tersedia
terbatas sehingga memerlukan ketepatan dan kecepatan dalam bertindak. Untuk itu
harus dapat mengenal tanda-tanda dan gejala gagal nafas dan menanganinya dengan
cepat walaupun tanpa menggunakan alat yang canggih sekalipun. (Nemaa PK,
2003)
Gagal nafas ada dua macam yaiatu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut
adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang memiliki struktural dan fungsional
paru yang normal sebelum awitan penyakit muncul. Sedangkan gagal nafas kronik
adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronis seperti
bronkitis kronis, emfisema. Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan
hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. (Nemaa PK, 2003)
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana
terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernafasan
terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Gagal nafas merupakan diagnosa
klinis, namun dengan adanya analisa gas darah (AGD), gagal nafas dipertimbangkan
sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas yang nyata dalam bentuk kegagalan
oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam pengeluaran CO2 (hiperkapnia,
kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua fungsi tersebut. (Sue DY &
Bongard FS, 2003)
Gagal napas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbon dioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen

3
kurang dari 50 mmHg (hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih
besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Nurarif & Kusuma, 2014).

B. Patofisiologi
Gagal Nafas Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidak mampuan tubuh
untuk melakukan oksigenasi dan/atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh
ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasok oksigen yang cukup atau
membuang karbon dioksida. Pada gagal napas terjadi peningkatan tekanan parsial
karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih besar dari 50 mmHg, tekanan parsial oksigen
arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg, atau kedua-duanya. Hiperkarbia dan hipoksia
mempunyai konsekuensi yang berbeda. Peningkatan PaCO2 tidak mempengaruhi
metabolisme normal kecuali bila sudah mencapai kadar ekstrim (>90 mm Hg).
Diatas kadar tersebut, hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat
dan henti napas. Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih
berbahaya adalah gagal napas baik akut maupun kronis. Hipoksemia akut, terutama
bila disertai curah jantung yang rendah, sering berhubungan dengan hipoksia
jaringan dan risiko henti jantung. Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang
rendah dan napas yang dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg, penurunan
ventilasi sampai 50% akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg.
Dengan hipoventilasi, PaO2 akan turun kira-kira dengan jumlah yang sama
dengan peningkatan PaCO2. Kadang, pasien yang menunjukkan petanda retensi
CO2 dapat mempunyai saturasi oksigen mendekati normal. Disfungsi paru
menyebabkan gagal napas bila pasien yang mempunyai penyakit paru tidak dapat
menunjang pertukaran gas normal melalui peningkatan ventilasi. Anak yang
mengalami gangguan padanan ventilasi atau pirau biasanya dapat mempertahankan
PaCO2 normal pada saat penyakit paru memburuk hanya melalui penambahan laju
pernapasan saja. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru hanya bila pasien sudah
tidak bisa lagi mempertahankan laju pernapasan yang diperlukan, biasanya karena
kelelahan otot.

4
C. Tatalaksana Gagal Nafas Akut
Tujuan terapi gagal napas adalah memaksimalkan pengangkutan oksigen dan
membuang CO2. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kandungan oksigen arteri
dan menyokong curah jantung serta ventilasi. Karena itu, dalam tatalaksana
terhadap gagal nafas, yang perlu segera dilakukan adalah: perbaikan ventilasi dan
pemberian oksigen, terapi terhadap penyakit primer penyebab gagal nafas,
tatalaksana terhadap komplikasi yang terjadi, dan terapi supportif.
1. Tatalaksana Darurat
Prinsip tatalaksana darurat gagal nafas adalah mempertahankan jalan nafas
tetap terbuka, baik dengan pengaturan posisi kepala anak (sniffing position),
pembersihan lendir atau kotoran dari jalan nafas atau pemasangan pipa
endotracheal tube, penggunaan alat penyangga oropharingeal airway (gueded),
penyangga nasopharingeal airway, pipa endotrakhea, trakheostomi. Jika saluran
benar-benar terjamin terbuka, maka selanjutnya dilakukan pemberian oksigen
untuk meniadakan hipoksemia. Bila pasien tidak sadar, buka jalan napas
(manuver tengadah kepala, angkat dagu, mengedepankan rahang) dan letakkan
dalam posisi pemulihan. Isap lendir (10 detik), ventilasi tekanan positif dengan
O2 100%. Lakukan intubasi endotrakea dan pijat jantung luar bila diperlukan.
(Baik & Gagal, 2013)

2. Tatalaksana Lanjutan
Dalam tatalaksana lanjutan, yang perlu dilakukan adalah stabilisasi dan
mencegah perburukan. Penderita-penderita dengan gagal nafas banyak
mengeluarkan lendir sehingga memperberat beban pernafasan. Oleh karena itu,
perawatan jalan nafas sangat memegang peran penting. Pemberian oksigenasi
diteruskan. Kontrol saluran napas, tatalaksana ventilasi, stabilisasi sirkulasi dan
terapi farmakologis (antibiotik, bronkodilator, nutrisi, fisioterapi).
Pemberian Oksigen: Dalam tatalaksana lanjutan, oksigen harus tetap
diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen arteri diatas 95%. Walaupun
pemberian O2 mempunyai risiko menurunkan upaya bernapas pada beberapa

5
pasien yang mengalami hipoventilasi kronis, keadaan ini bukan kontraindikasi
untuk terapi O2 bila pasien diobservasi ketat. Bila ventilasi tidak adekuat, maka
harus segera diberikan bantuan ventilasi dengan balon ke masker dan O2.
Hipoksemia diatasi dengan pemberian O2 hangat dan lembab melalui kanul
nasal, masker sederhana, masker dengan penyimpanan (reservoir) oksigen, kotak
penutup kepala (oxyhood), dan alat bantu napas orofaring atau nasofaring.
Bantuan Pernafasan (Ventilasi): Bantuan pernafasan dapat dilakukan untuk
memperbaiki oksigenasi. Bantuan pernafasan tersebut meliputi Continius
Positive Airway Pressure (CPAP) dan Bilevel Positive Airway Pressure
(BiPAP). CPAP akan membuka alveoli yang kolaps dan mengalirkan cairan
edema paru, sehingga mengurangi ketidakpadanan ventilasi-perfusi, mengurangi
gradien oksigen arteri-alveolus dan memperbaiki PaO2.
Ventilasi tekanan positif non invasif, Bilevel Positive Airway Pressure
(BPAP) memberikan bantuan ventilasi tekanan positif dan tekanan saluran napas
positif kontinyu melalui masker nasal, bantalan nasal, atau masker muka.
Bantuan ventilasi ini tidak memerlukan intubasi trakhea. Intubasi endotrakhea
dapat dilakukan pada beberapa pasien tertentu. Indikasi melakukan intubasi
endotrakhea adalah keadaan berikut ini:
1) Gagal kardiopulmonal/henti kardiopulmonal
2) Distres pernapasan berat/kelelahan otot pernapasan
3) Refleks batuk/gag reflkes hilang
4) Memerlukan bantuan napas lama karena apnea atau hipoventilasi
5) Transpor antar rumah sakit untuk pasien yang berpotensi gagal napas

Tatalaksana utama dari ARDS adalah mengatasi hipoksemia diikuti dengan


identifikasi dan terapi penyebab ARDS. Sebagai contoh, pada pasien dengan sepsis-
associated ARDS, hasil yang baik didapatkan dengan sesegera mungkin melakukan
resusitasi, source control dan memberikan antibiotik yang sesuai. Terapi lain adalah
terapi suportif dan farmakologi. (Mariz, 2013)

6
Manajemen hipoksemia tentunya tidak lepas dari manajemen jalan napas
(airway) dan pernapasan (breathing). Manajemen jalan napas dapat dilakukan
secara invasif maupun non invasif. Untuk pernapasan, diberikan dengan bantuan
ventilasi mekanik. Ventilasi non invasive (Non Invasif Ventilation / NIV) dapat
menjadi pilihan untuk diberikan pada pasien dengan ARDS ringan untuk
menurunkan angka intubasi dan mengurangi risiko terjadinya pneumonia akibat
ventilasi mekanik (Ventilator Associated Pneumonia/VAP). Lung protective
strategy harus dijalankan dalam memberikan ventilasi mekanik. Protokol lung
protective strategy pada ARDS. (Mariz, 2013)
Standar terapi ventilasi mekanik konvensional (sejak dikenalnya positive
pressure ventilation) adalah dengan menggunakan volume tidal besar (12–15
mL/kg) untuk mencegah terjadinya atelektasis, dua kali lipat volum tidal saat
bernapas biasa (6–7 mL/kg). Pada pasien dengan ARDS, lesi/infiltrasi terbatas pada
area posterior yang merupakan area dependen pada posisi supine dan daerah anterior
merepresentasikan area fungsional paru yang akan menerima volume inflasi.
Pemberian volum inflasi yang tinggi akan terakumulasi di area anterior (bukan di
area dependen) menyebabkan overdistensi. (Mariz, 2013)

D. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya yang dilakukan pada orang yang
mempunyai resiko agar tidak terjadi gagal napas. Orang yang beresiko tinggi
untuk mengalami gangguan paru-paru adalah hipoventilasi, adanya trauma pada
lesi batang penyakit paru-paru lainnya.
Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah:
a. Mengatur pola konsumsi protein.
b. Sedikit mengkonsumsi garam. Pola konsumsi garam yang tinggi akan
meningkatkan ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat menumpuk dan
membentuk kristal.
c. Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi.

7
Selain pencegahan primer lainnya yaitu:
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Tujuan dari
pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara
mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya.
Pencegahan primer meliputi:
a. Kebiasaan merokok harus dihentikan.
b. Memakai alat pelindung seperti masker di tempat kerja (pabrik) yang
terdapat asap mesin atau debu.
c. Membuat corong asap di rumah maupun di tempat kerja (pabrik).
d. Pendidikan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan.

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan
menghindarkan komplikasi. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara
mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan secara cepat dan tepat. Tujuan
pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangiakibat-
akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian
pengobatan.
Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah:
a. Diagnosi Dini
b. Pemeriksaan FAAL Paru
c. Pemeriksaan Radiologis
d. Pemeriksaan Defisiensi Alfa-1 Antiripsin (AAT)

8
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yang dilakukan pada penderita RF adalah untuk mencegah
kecacatan/kematian, mencegah proses penyakit lanjut dan rehabilitasi.
Rehabilitasi yang dapat dilakukan dapat berupa rehabilitasi fisik, social dan
psikologi. Pencegahan tersier terus diupayakan selama penderita RF belum
meninggal dunia.
Tujuan pencegaha tersier adalah untuk mengurangi keridakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi.
Pencegahan tersier meliputi:
a. Rehabilitasi Psikis
Rehabilitasi psikis bertujuan memberikan motivasi pada penderita untuk dapat
menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan bahkan
akan mengalami kecemasan, takut dan depresi terutama saat eksaserbasi.
Rehabilitasi psikis juga bertujuan mengurangi bahkan menghilangkan
perasaan tersebut.
b. Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan yang dapat
dilakukan penderita sesuai dengan gejala dan fungsi paru penderita.
Diusahakan menghindari pekerjaan yang memiliki resiko terjadi perburukan
penyakit.
c. Rehabilitasi Fisik
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas fisik serta
diikuti oleh gangguan pergerakan yang mengakibatkan kondisi inaktif dan
berakhir dengan keadaan yang tidak terkondisi. Tujuan rehabilitasi fisik yang
utama adalah memutuskan rantai tersebut sehingga penderita tetap aktif.

9
E. TREND ISSUE
Pada jurnal yang kami ambil adalah Peradangan Pengukuran Status Sedasi
Richmon Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay Sedation Scale (RSS)
Pada Pasien Gagal Nafas Terhadap Lama Weaning Ventilator Di GICU RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung Kegagalan pernapasan merupakan salah satu
indikasi pasien dirawat di ruangan intensive care unit (ICU). (Deli et al., 2017)
Untuk mencegah pemberian sedasi yang berlebih dibutuhkan satu alat ukur
yang yang mampu mengukur status sedasi pasien dengan akurat. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis perbedaan pengukuran status sedasi Richmond
Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay Sedation Scale (RSS) pada
pasien gagal nafas terhadap lama weaning ventilator. Penelitian ini merupakan
penelitian observasional analitik dengan pendekatan kohort prospektif yang
terdiri dari satu kelompok dependen dengan jumlah responden 13 orang.
Pengukuran status sedasi dilakukan dengan dua alat ukur yaitu RASS dan RSS
kemudian akan diamati hingga pasien berhasil weaning ventilator ke modus
CPAP atau PS CPAP dengan PS 5-8 CmH2O dan PEEP 5 cmH2O. Hasil
penelitian ini menunjukkan pengukuran status sedasi dengan RASS dan RSS
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap lama weaning ventilator dengan
nilai p<0,05. Berdasarkan hasil analisis terdapat perbedaan yang bermakna
antar pengukuran status sedasi yang diukur dengan RASS dan RSS pada pasien
gagal nafas terhadap lama weaning ventilator dengan nilai p<0,05, dan hasil
post hoc analisis menunjukkan terdapat perbedaan pada setiap pengukuran
sedasi dengan nilai p<0,05. Pengukuran status sedasi dengan RASS lebih baik
dalam mengurangi lama weaning ventilator dibandingkan dengan RSS.
Kegagalan pernapasan merupakansalah satu penyebab meningkatnya
mortalitas dan morbiditas. Setiap tahunnya diperkirakan 1 juta orang dirawat di
ICU karena gagal nafas (Wunsch,et al, 2010). Di Amerika Serikat kejadian
gagal nafas meningkat dari 1.007.549 orang pada tahun 2001 menjadi
1.917.910 pada tahun 2009 (Stefan, et al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh
Franca et al (2011) pada 12 ruangan ICU yang ada di Brazil didapatkan 843

10
orang (49%) di rawat di ruangan ICU karena gagal nafas akut dan 141 orang
menderita gagal nafas setelah dirawat di ICU, dari total penderita gagal nafas
akut tersebut sebanyak 475 orang meninggal di ruangan ICU dan 56 orang
meninggal setelah keluar dari ICU. Dibutuhkan suatu penanganan khusus untuk
mengatasi kegagalan pernapasan. Salah satu penatalaksanaan untuk mengatasi
gagal nafas adalah pemberian bantuan pernafasan melalui ventilator yang
berfungsi untuk membantu fungsi paru dalam pemenuhan oksigen tubuh.
Tindakan pemasangan alat bantu pernafasan dapat menimbulkan
ketidaknyamanan dan nyeri bagi pasien, yang tidak jarang mengakibatkan
terjadinya agitasi pada pasien. Selain itu agitasi dapat terjadi akibat
ketidaknyamanan terhadap lingkungan dan suara bising yang ditimbulkan oleh
alat-alat.
Agitasi merupakan suatu keadaan dimana pasien terlihat gelisah,
ketidaknyamanan ditandai oleh gerakan motorik yang tidak terkendali yang
dapat mengakibatkan cedera dan ekstubasi (Brandl et al, 2001; Sessler et al,
2002). Penatalaksanaan farmakologis yang dilakukan untuk mengatasi agitasi
pada pasien gagal nafas adalah dengan menggunakan obat-obatan sedasi dan
analgetik. Pemberian obat sedasi pada pasien gagal nafas bertujuan untuk
menginduksi anxiolysis, mencegah terjadinya agitasi, memfasilitasi manipulasi
ventilator dan mencegah terjadinya asynchrony ventilator (Ennis & Brophy,
2011). Pemberian sedasi yang berlebihan berbahaya dan memiliki efek samping
diantaranya dapat mengakibatkan penekanan sistem pernapasan, bradikardi,
hipotensi, ketergantungan penggunaan ventilator, mengaburkan pemeriksaan
neurologis, meningkatkan lama hari rawat, penggunaan sedasi berkepanjangan
dapat mengganggu pola tidur, mengakibatkan kelelahan, yang mengarah
kepada penggunaan sedasi yang berlebihan (Sessler et al, 2002; Triltsch et al,
2005; Girard et al, 2008).
Sedasi memiliki efek terhadap pusat napas, relaksasi terhadap jalan nafas,
hipoperfusi batang otak dan peningkatan retensi jalan nafas. Penggunaan sedasi
yang berlebihan dapat mengakibatkan pengembalian fungsi paru menjadi lebih

11
lambat, sehingga weaning ventilator menjadi lebih lambat (Conti, Mantz,
Longrois, & Tonner,2014). Pasien dengan status sedasi dalam, pada 48 jam
pertama perawatan dapat meningkatkan lama waktu ektubasi dan mortalitas
pasien (Shehabi et al, 2012). Keputusan untuk mengatasi agitasi pada pasien
dengan memberikan obat sedasi membutuhkan pengukuran yang konsisten,
pemberian obat sedasi dengan dosis yang tidak pantas dapat membahayakan
pasien (Triltsch et al, 2005; Grap et al, 2012). Keselamatan pasien dalam
penggunaan obat-obatan sedasi merupakan hal penting dan telah dijadikan
standar oleh joint commicion acreditation (The Joint commicion, 2012).
Pemahaman tentang obat yang umum digunakan adalah penting untuk
merumuskan rencana sedasi untuk setiap pasien, dengan penggunaan sedasi dan
analgetik yang tepat dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan dapat
mengurangi lama penggunaan ventilator (Brattebo et al, 2002).
Keputusan untuk memberikan obat sedasi merupakan wewenang dokter
dan perawat memiliki peran untuk mengelolanya dengan tepat. Penggunaan
sedasi untuk mengatasi nyeri dan agitasi tidak hanya membutuhkan hubungan
yang baik antara perawat dan dokter, namun penilaian sedasi agitasi pasien juga
membutuhkan penilaian independen dari perawat. Perawat memiliki peranan
penting dalam penilaian sedasi secara terus menerus. Disamping itu perawat
memiliki peran sebagai advokat untuk memastikan bahwa pasien dan keluarga
telah diinformasikan dan dididik mengenai resiko yang mungkin muncul akibat
penggunaan analgetik dan sedasi dan memastikan bahwa terapi yang diberikan
dokter sesuai dengan kondisi yang dialami oleh pasien (Walker &, Gillen,
2006).
Perawat dituntut untuk mampu melaporkan status sedasi pasien dengan
tepat, sehingga perawat perlu memiliki pemahaman yang baik mengenai
manajemen, pengelolaan analgetik dan sedasi, dan penilaian status sedasi
pasien yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan terkait pemberian
analgetik dan sedasi (Randen & Bjork, 2010). Perawat juga harus mampu

12
berkolaborasi dengan dokter dalam penilaian status sedasi pasien untuk
pengambilan keputusan yang tepat (Taylor, 2006).

Richmon Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay Sedation Scale (RSS) :
Richmond Agitation-Sedation Scale adalah skala medis yang digunakan
untuk mengukur tingkat agitasi atau sedasi seseorang. Itu dikembangkan
dengan upaya dari berbagai praktisi, diwakili oleh dokter, perawat dan
apoteker. RASS dapat digunakan pada semua pasien rawat inap untuk
menggambarkan tingkat kewaspadaan atau agitasi mereka. Namun demikian
sebagian besar digunakan pada pasien dengan ventilasi mekanis untuk
menghindari sedasi berlebih. Memperoleh skor RASS adalah langkah pertama
dalam mengelola Metode Penilaian Kebingungan di ICU (CAM-ICU), alat
untuk mendeteksi delirium pada pasien unit perawatan intensif.

Skala Sedasi Agitasi Richmond (RASS)


Skor Istilah Deskripsi
+4 : Agresif Bahaya yang terlalu agresif, keras, dan langsung kepada staf
+3 : Sangat gelisah Menarik atau melepaskan tabung atau kateter; agresif
+2 : Gelisah Sering gerakan yang tidak bertujuan, melawan ventilator
+1 : Gelisah Cemas tapi gerakannya tidak agresif
0 : Waspada dan tenang
-1 : Mengantuk Tidak sepenuhnya waspada, tetapi telah mengalami
kebangkitan (membuka mata / kontak mata) ke suara (> 10 detik)
-2 : Sedasi ringan Bangun sebentar dengan kontak mata ke suara (<10 detik)
-3 : Sedasi sedang Gerakan atau pembukaan mata untuk bersuara (tetapi tidak
ada kontak mata)
-4 : Sedasi dalam Tidak ada respons terhadap suara, tetapi gerakan atau
pembukaan mata terhadap rangsangan fisik
-5 : Unarousable Tidak ada respons terhadap rangsangan suara atau fisik yang
berkomunikasi atau mengikuti perintah

13
Ramsay Sedation Scale (RSS) adalah skala medis yang digunakan untuk
mengukur tingkat sedasi dan masih digunakan secara luas hingga sekarang.
Skala terdiri 6 tingkat yaitu:

Skala 1 : Pasien Gelisah, cemas, agitasi dan tidak tenang.


Skala 2 : Kooperatif dan orientasi baik, dan tenang
Skala 3 : Respon terhadap perintah verbal (menunjukkan sedasi ringan hingga
sedang)
Skala 4 : pasien menunjukkan respons yang cepat terhadap keran glabellar
cahaya atau stimulus pendengaran yang keras
Skala 5 : Pasien menunjukkan respon yang lambat terhadap keran glabber
cahaya atau stimulus pendengaran yang keras
Skala 6 : Tidak ada respon atau
Bertumpu pada perubahan tanda vital sebagai indikator utama nyeri dapat
mengecoh karena perubahan ini juga ditujukan untuk mendasari kondisi
patofisiologis, perubahan homeostatik dan obat-obatan. Tidak adanya
peningkatan tanda vital bukan berarti tidak adanya rasa nyeri. Pengukuran rasa
nyeri pada penderita yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif untuk
beberapa alasan seperti intubasi trakeal, penurunan level kesadaran, sedasi, dll
dapat menggunakan Behavioral Pain Scale (BPS)

F. EBN
1. Fokus utama penegakan diagnosis tetap pada empat gejala klinis yaitu onset
gagal nafas yang berhubungan dengan perburukan klinis pasien, edema
paru selain karena sebab hidrostatik, temuan foto toraks, dan tingkat
hipoksemia. Terapi utama dari ARDS adalah mengatasi hipoksemia diikuti
dengan identifikasi dan terapi penyebab ARDS. Terapi hipoksemia
menggunakan prinsip lung protective strategy untuk mencegah VILI
(Ventilator Induced Lung Injury). Terapi selanjutnya bersifat suportif dan
farmakologis yang bertujuan untuk meningkatkan pengiriman oksigen dan

14
menurunkan konsumsi oksigen. Terapi cairan konservatif juga penting
dilaksanakan untuk mencegah keseimbangan cairan positif. Kecepatan
dalam menegakkan diagnosis dan ketepatan memberikan terapi sangat
mempengaruhi outcome dan prognosis. (Ramacandra R. & Reza W.S, 2019)
2. Fokus utama Akut kegagalan pernapasan adalah alasan umum untuk
masuk ke unit perawatan intensif anak di onkologi pasien [ 1 ]. Akut
komplikasi pernapasan juga umum setelah transplantasi sel induk anak
hematopoietik (HSCT), akuntansi untuk proporsi yang tinggi morbiditas
HSCT-terkait dan mortalitas [ 2 - 4 ]. Ketika penyakit paru di HSCT pasien
kemajuan untuk akut kegagalan pernapasan, mereka sering membutuhkan
intubasi muncul dan dukungan dengan ventilasi mekanik invasif (IMV) [ 3
. 5 ]; banyak anak-anak mengembangkan hipoksemia refraktori dan
kegagalan multi-organ. Tamburro et al. melaporkan hasil di kohort mekanis
pasien berventilasi pediatrik onkologi dan HSCT. Para pasien non-HSCT
memiliki hasil yang lebih baik daripada pasien HSCT dengan kelangsungan
hidup 6 bulan pada 60% [ 6 ]. Sementara hasil yang lebih baik dalam
onkologi pasien, mereka tetap lebih buruk daripada pasien imunokompeten.
kegagalan multi-organ mereka statusnya immunocompromised dan
kemoterapi-terkait kemungkinan rumit faktor yang mempengaruhi hasil
dalam kelompok ini. Berfokus pada pasien HSCT lebih rumit, intubasi
untuk cedera paru akut HSCT-terkait (ALI) sering menyebabkan
pengalihan awal perawatan karena kematian tinggi dua dekade lalu;
Laporan terbaru menunjukkan bahwa hasil telah membaik dengan
peningkatan. Akut kegagalan pernafasan dengan hipoksemia karena
peradangan menyusul penghinaan klinis dikenal didefinisikan sebagai akut
respiratory distress syndrome (ARDS). Onkologi dan HSCT pasien harus
dimonitor untuk pengembangan ARDS pediatrik (PARDS), dengan
stratifikasi keparahan penyakit untuk memungkinkan awal dan eskalasi
dukungan yang tepat pernapasan. Pada 2015, Pediatric akut Lung Cedera
Konsensus Konferensi (PALICC) pedoman didefinisikan PARDS dan

15
keparahan bertingkat [ 10 ] Menggunakan definisi berikut: 1. Bukti penyakit
parenkim paru akut dengan unilateral dari infiltrat bilateral pada pencitraan
dada 2. Hipoksemia yang didokumentasikan dan dikelompokkan
berdasarkan ukuran oksigenasi (oksigenasi indeks {OI}, saturasi oksigen
indeks {OSI}, saturasi oksigen arteri / rasio FiO2 {rasio P / F}, saturasi
oksigen / rasio Fio2 {rasio S / F}) 3. Gejala hipoksemia dan pencitraan dada
perubahan dalam waktu 7 hari dari penghinaan klinis dikenal 4. Di atas
kriteria tidak dijelaskan oleh disfungsi ventrikel kiri cedera paru-paru pada
pasien onkologi pediatrik terkait dengan status immunocompromised
mereka dan toksisitas paru langsung dari kemoterapi dan / atau radiasi. agen
kemoterapi yang paling sering terlibat dalam cedera paru termasuk
bleomycin, siklofosfamid, nitrosureas, siklofosfamid, klorambusil,
methotrexate, prokarbazin, mitomycin, sitarabin, tapak dara alkaloid, dan
alkilasi agen seperti busulfan [ 11 ]. Dari jumlah tersebut, bleomycin,
busulfan, siklofosfamid, dan nitrosureas yang paling sering terlibat dalam
pasien anak [ 11 . 12 ]. Toksisitas dari terapi radiasi adalah dosis tergantung
dengan pasien yang menerima dosis fraksinasi memiliki risiko lebih kecil
untuk toksisitas dari pasien yang menerima dosis total yang sama diberikan
pada satu waktu. Pasien biasanya mengalami gejala dalam waktu 1-3 bulan
setelah menerima terapi radiasi dan hadir dengan batuk, dyspnea, dan
sputum merah muda-biruan selama fase inflamasi. Hal ini dapat maju ke
tahap fibrosis yang berlangsung selama 1-2 tahun. Pasien dalam fase ini
mengembangkan peningkatan dyspnea, kebutuhan oksigen, dan
menurunnya tes fungsi paru.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kegagalan pernafasan merupakan salah satu indikasi pasien dirawat di ruangan
intensive care unit (ICU). Kegagalan pernafasan merupakan salah satu penyebab
meningkatnya mortalitas dan morbiditas. Gagal nafas merupakan suatu kegawatan
yang memerlukan penanganan secara cepat, tepat dan komprehensif dengan prioroitas
ABC sebagai pedoman penanganan. Penyebab dari gagal nafas juga harus dikelola
secara tepat sehingga gagal nafas dapat dicegah.

17
DAFTAR PUSTAKA

ARDS Definition Task Force. Acute Respiratory Distress Syndrome, The Berlin
Definition. JAMA. 2012;307(23).
Baik, I., & Gagal, I. (2013). Aspek Klinis Dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut Pada
Anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 13(3), 173–178.
Deli, H., Arifin, M. Z., & Fatimah, S. (2017). PERBANDINGAN PENGUKURAN
STATUS SEDASI RICHMOND AGITATION SEDATION SCALE (RASS)
DAN RAMSAY SEDATION SCALE (RSS) PADA PASIEN GAGAL NAFAS
TERHADAP LAMA WEANING VENTILATOR DI GICU RSUP Dr.HASAN
SADIKIN BANDUNG. Jurnal Riset Kesehatan, 6(1), 32.
https://doi.org/10.31983/jrk.v6i1.2837
Ramacandra R. & Reza W.S, (2019). Diagnosis dan Tatalaksana ARDS Diagnosis and
Management of ARDS. 4(237), 4–9.
Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-6
Nurarif, A.H & Kususma, H. (2014). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis Dan Nanda Nic-Noc, Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta: Mediaction
Jogja.
Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care Diagnosis
and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawhill, California, Pp. 269-89

18

Anda mungkin juga menyukai