Anda di halaman 1dari 8

5.

3 Model Indeks Tunggal Untuk Portofolio


Di awal telah disebutkan bahwa model indeks tunggal digunakan untuk mengurangi
jumlah variabel yang ditaksir. Jika menganalisis portofolio, pada dasarnya harus
memperkirakan E(Rp) dan 𝜎p. Kalau punya 10 sekuritas yang membentuk portofolio, maka
untuk menghitung E(Rp) perlu menghitung sepuluh tingkat sekuritas. Untuk menghitung 𝜎p,
maka perlu menghitung sepuluh variance dan 45 covariance. Model indeks tunggal mampu
mengurangi jumlah variabel yang dihitung karena untuk portofolio model indeks tunggal
mempunyai karakteristik sebaga berikut:
Beta portofolio/rata-rata tertimbang (𝜷𝒑 ) = 𝑿𝒊 𝜷𝒊
Alpha portofolio (𝜶𝒑 ) = 𝑿𝒊 𝜶𝒊
Persamaan: 𝑬(𝑹𝒑 ) = 𝜶𝒑 = 𝜷𝒑 + 𝜷𝒑 𝑬(𝑹𝒎 )
Variance portofolio (𝝈𝟐𝒑 ) = 𝜷𝟐𝒑 𝝈𝟐𝒎 + ∑ 𝑿𝟐𝒊 𝝈𝟐𝒆𝒊
Apabila investor menginvestasikan dananya dngan proporsi yang sama pada N saham, maka
𝟏 𝟏
variance portofolionya dinyatakan sebagai, (𝝈𝟐𝒑 ) = 𝜷𝟐𝒑 𝝈𝟐𝒎 + (𝑵) [∑ (𝑵) (𝝈𝟐𝒆𝒊 )

Apabila N semakin besar, main kecillah nilai term kedua dari persamaan tersebut.
Karena term tersebut menunjukkan risiko sisa (residual risk atau unsystematic risk) maka ini
berarti bahwa sumbangan risiko sisa terhadap risiko portofolio menjadi makin kecil apabila
kita memperbesar jumlah saham yang ada dalam portofolio. Apabila kita mempunyai N yang
besar sekali, maka term tersebut akan menjadi sangat kecil dan mendekati nol. Sedangkan
term yang pertama disebut sebagai systematic risk. Penjumlahan kedua terms tersebut disebut
sebagai risiko total dari portofolio (σp2).
Risiko yang tidak bisa dihilangkan kalau kita membentuk portofolio yang terdiri dari
sekuritas yang makin banyak, merupakan risiko yang berkaitan dengan βp. Kalau kita
rnenganggap risiko residual mendekati nol, maka risiko portofolio mendekati
σp2 = [ β p2 σm2 ]1/2 = β p σm = [ ∑ Xi β i ]
Karena nilainya sama σm, tidak peduli saham apapun yang kita analisis, ukuran kontribusi
risiko suatu saham terhadap risiko portofolio yang terdiri dari banyak saham akan tergantung
pada βi.

5.4 Menaksir Beta


Penggunaan model indeks tunggal memerlukan perhitungan beta dari saham-saham
yang akan dimasukkan ke dalam portofolio. Para analisis bisa saja menggunakan judgement
mereka dalam menentukan beta. Seringkali para analisis menggunakan beta historis sebelum
mereka menggunakan judgement untuk memperkirakan beta di masa yang akan datang.

5.4.1 Menaksir beta Historis


Persamaan : 𝑅𝑖 = 𝛼𝑖 + 𝛽𝑖 𝑅𝑚 + 𝑒𝑖
Informasi yang diperlukan adalah tentang tingkat keuntungan suatu saham (Ri) dan tingkat
keuntungan indeks pasar (Rm). Hasil perhitungan tersebut akan seperti
Rit

ß
α

Rmt
Beta menunjukkan kemiringan (slope) garis regresi tersebut, dan α menunjukkan
intercept dengan sumbu Rit. Semakin besar beta, semakin cura kemiringan garis tersebut, dan
sebaliknya. Penyebaran titik-titik pengamatan disekitar garis regresi tersebut menunjukkan
risiko sisa (𝜎ei2) sekuritas yang diamati. Semakin menyebar titik-titik tersebut, semakin besar
risiko sisanya.
𝜎𝑖𝑚
Beta juga bisa dihitung dengan rumus 𝛽𝑖 = 2
𝜎𝑚

Dan untuk alpha 𝛼𝑖 = 𝐸(𝑅𝑖𝑡 ) − 𝛽𝑖 𝐸(𝑅𝑚𝑡 )


Koefisien determinasi menunjukkan proporsi perubahan nilai Ri yang bisa dijelaskan
oleh Rm. Dengan demikian, semakin besar nilai koefisien determinasi, semakin akurat nilai
estimated beta. Beta portofolio lebih akurat dari beta sekuritas karena dua hal. Pertama, beta
mungkin berubah dari waktu ke waktu. Kedua, penaksiran beta selalu mengandung unsur
kesalahan acak. Pembentukan portofolio memungkinkan kesalahan tersebut diperkecil.
Karena itu, semain banyak sekuritas yang dipergunakan untuk membentuk portofolio,
semakin besar nilai koefisien determinasinya. Dengan demikian maka beta portofolio historis
merupakan predictor beta masa depan yang lebih baik dibandingkan ddengan beta sekuritas
individual.

5.4.2. Menyesuaikan Taksiran Beta Historis


Blume mengamati beta dari berbagai portofolio pada dua periode yang berurutan,
yaitu beta pada periode Juli 1954-Juni 1961 dan periode Juli 1961-Juni 1968. Beta-beta
periode pertama tersebut disusun menurut peringkatnya, dimulai dari beta yang terkecil
sampai dengan beta yang terbesar.
Tabel 5.2. Beta berbagai portofolio yang disusun sesuai peringkatnya untuk
dua periode waktu yang berurutan.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan bahwa apabila pada periode
pertama beta suatu portofolio kecil, yaitu di bawah satu, maka pada periode berikutnya akan
terjadi kenaikan. Sebaliknya untuk portofolio yang mempunyai beta tinggi, lebih besar dari
satu. Pada periode berikutnya beta portofolio tersebut menurun. Berdasarkan fenomena
tersebut Blume kemudian merumuskan teknik untuk menyesuaikan beta historis yaitu
meregresikan ke arah satu. Kalau beta-beta pada periode kedua diregresikan dengan beta-beta
pada periode pertama, akan diperoleh persamaan
βi2 =0,343 + 0,677 β91
Dalam hal ini βi2, menunjukkan beta untuk sekuritas i pada periode 2, dan βi2,
menunjukkan beta untuk sekuritas i pada periode 1. Jadi apabila kita menghitung beta suatu
sekuritas pada periode pertama sebesar 2, maka pada periode yang akan datang kita akan
rnemperkirakan bahwa beta sekuritas tersebut adalah 0,343 + 0,677 (2) = 1,697 , dan bukan
2. Persamaan tersebut bisa digambarkan sebagai berikut.

Beta periode 2

0,677

0,34
3

Beta periode 1
Dengan demikian, penggunaan beta bukan hanya mengurangi jumlah variabel yang
harus ditaksir, beta yang disesuaikanjuga relatif lebih akurat sebagai penaksir beta di masa
yang akan datang dibandingkan dengan beta historis yang tidak disesuaikan, dan juga dengan
koefisien korelasi historis. Yang terakhir ini nampaknya merupakan forecaster yang terburuk
untuk nilai-nilai di masa yang akan datang.

5.4.3. Beta Fundamental


Beta merupakan ukuran risiko yang berasal dari hubungan antara tingkat keuntungan
suatu saham dengan pasar. Risiko ini berasal dari beberapa faktor fundamental perusahaan
dan faktor karakteristik pasar tentang saham perusahaan tersebut. Faktor-faktor yang
diidentifikasikan mempengaruhi nilai beta adalah:
1. Cyclicality. Faktor ini menunjukkan seberapa jauh suatu perusahaan dipengaruhi oleh
konjungtur perekonomian. Kita tahu bahwa pada saat kondisi perekonomian
membaik, semua petusahaan akan merasakan dampak positifnya. Demikian pula pada
saat resesi semua perusahaan akan terkena dampak negatifnya. Perusahaan yang
sangat peka terhadap perubahan kondisi perkonomian merupakan perusahaan yang
mempunyai beta yang tinggi dan sebaliknya.
2. Operating leverage. Operating leverage menunjukkan proporsi biaya perusahaan
yang merupakan biaya. Semakin besar proporsi ini semakin besar operating
leveragenya. Perusahaan yang mempunyai operating leverage yang tinggi akan
cenderung mempunyai beta yang tinggi, dan sebaliknya.
3. Financial leverage. Perusahaan yang menggunakan hutang adalah perusahaan yang
mempunyai financial leverage. Semakin besar proporsi hutang yang dipergunakan,
semakin besar financial leverage-nya. Kalau kita menaksir beta saham, maka kita
menaksir beta equity. Semakin besar proporsi hutang yang dipergunakan oleh
perusahaan, pemilik modal sendiri akan menanggung risiko yang makin besar. Karena
itu semakin tinggi financial leverage, semakin tinggi beta equity.
Beberapa peneliti (Beaver, Kettler, and Scholes, 1970) mencoba merumuskan
beberapa variabel akuntansi untuk memperkirakan beta. Variabel-variabel yang dipergunakan
diantaranya adalah:
(1) Dividend Payout: perbandingan antara dividen per lembar saham dengan labaper
lembar saham.
(2) Pertumbuhan aktiva: perubahan aktiva per tahun.
(3) Leverage: rasio antara hutang dengan total aktiva.
(4) Likuiditas: aktiva lancar dibagi dengan hutang lancar.
(5) Asset size: nilai kekayaan total.
(6) Variabilitas keuntungan: deviasi standar dari earnings price ratio.
(7) Beta akunting: beta yang timbul dari regresi time series laba perusahaan terhadap
rata-rata keuntungan semua (atau sampel) perusahaan.
Variabel (1) diharapkan mempunyai hubungan yang negatif dengan beta. Variabel (2)
dan (3) diharapkan mempunyai hubungan yang positif. Variabel (4) diharapkan mempunyai
hubungan negatif, dan variabel (5) dan (6) mempunyai hubungan positif. Beta akunting
diharapkan mempunyai hubungan yang positif dengan beta pasar. Korelasi masing-masing
faktor tersebut dengan beta menunjukkan hasil yang sesuai dengan pengharapan. Sedangkan
untuk menguji apakah variabel-variabel tersebut memang mempengaruhi beta, dilakukan uji
regresi berganda, dimana variabel tergantungnya adalah beta.
BAB 6
PEMILIHAN PORTOFOLIO YANG OPTIMAL
6.1. Model Utilitas yang Diharapkan
Model utilitas yang diharapkan menyatakan bahwa para pemodal akan memilih suatu
kesempatan investasi yang diharapkan yang tertinggi. Utilitas yang diharapkan yang tertinggi
tidak selalu sama dengan tingkat keuntungan yang diharapkan yang tertinggi. Berdasarkan
model ini dipergunakan beberapa aksioma tentang perilaku pemodal dalam pengambilan
keputusan investasi. Aksioma-aksioma tersebut adalah :
1. Para pemodal mampu memilih berbagai alternative dengan menyusun peringkat dari
alternatif-alternatif tersebut sehingga bisa diambil keputusan.
2. Setiap peringkat alternatif-alternatif tersebut bersifat transitif. Artinya kalau investasi
A lebih disukai daripada B dan B lebih disukai C, maka A tentu lebih disukai
daripada C.
3. Para pemodal akan memperhatikan resiko alternatif yang dipertimbangkan dan tidak
memperhatikan sifat alternatif-alternatif tersebut.
4. Para pemodal mampu menentukan certainty equivalent dari setiap investasi yang
tidak pasti. Certainty Equivalent (CE) suatu investasi menunjukkan nilai pasti yang
ekuivalen dengan nilai pengharapan dari investasi tersebut.
Model utilitas yang diharapkan ini menggunakan asumsi terhadap sikap pemodal
terhadap risiko. Sikap-sikap tersebut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu risk averse (tidak
menyukai risiko), risk neutral (netral terhadap risiko), risk seeker (menyukai risiko).
Dalam analisis investasi ini diasumsikan bahwa para pemodal adalah risk averse.
Dikaitkan dengan aksioma di atas, risk avertion berarti bahwa nilai certainty equivalent akan
selalu lebih kecil dari nilai pengharapan.
Misalkan ada suatu kesempatan investasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut.
Present value dari hasil yang diperoleh Probabilitas
+ Rp 5.000 0,80
(-) Rp 2.000 0,20
Expected value hasil yang diperoleh dari investasi tersebut adalah
(+Rp5.000)(0,80) + (-Rp2.000)(0,20) = Rp3.600. kalau investasi ini ditawarkan kepada
pemodal, maka nilai certainty equivalent yang mereka ajukan lebih kecil dari nilai
pengharapan hasil yang diperoleh.
6.1.1. Penyusunan fungsi utilitas
Misalkan proyek di atas kita tawarkan pada seorang pemodal. Untuk menyusun fungsi
utilitas kita perlu suatu ukuran atau indeks utilitas. Penentuan indeks ini bersifat sebarang,
tetapi untuk mudahnya kita berikan nilai +1 untuk hasil +Rp5.000, dan 0 untuk hasil –
Rp2.000. maka,
Present value dari hasil yang diperoleh Indeks fungsi utilitas
+ Rp 5.000 1,00
(-) Rp 2.000 0,00
Keadaan tersebut menjadi,
U(+Rp5.000) = +1 U(-Rp2.000) = 0
Apabila probabilitas hasil +Rp5.000 adalah sebesar p dan probabilitas hasil –Rp2.000 adalah
1-p, maka expected utility investasi tersebut adalah:
p x U(+Rp5.000) + (1-p) x U(-Rp2.000)
karena U(+Rp5.000) = +1, dan U(-Rp2.000) = 0, maka expected utility investasi tersebut
menjadi,
p x 1 + (1-p) x 0 = p
Aksioma 4 mengatakan bahwa pemodal bisa menentukan nialai CE untuk investasi tersebut.
dari contoh di atas, CE menjadi,
U(CE) = pU(+Rp5.000) + (1-p)U(-Rp2.000)
U(CE) = p1 + (1-p)0 = p
Misalkan dengan probabilitas menghasilkan +Rp5.000 sebesar 0,80 dan –Rp2.000 sebesar
0,20, nilai CE bagi pemodal adalah Rp2.000, maka
U(CE) = pU(+Rp5.000) + (1-p)U(-Rp2.000)
U(Rp2.000) = 0,80(1) + 0,20(0) = 0,80
Sekarang probabilitas untuk memperoleh hasil +Rp5.000 adalah 0,94, dan probabilitas
memperoleh hasil –Rp2.000 adalah 0,06. Dengan nilai CE Rp3.600. Indeks utilitas keadaan
tersebut adalah
U(+Rp3.600) = 0,94(1) + 0,06(0) = 0,94
Sekarang seandainya probabilitas untuk memperoleh +Rp5.000 adalah 0,50 dan probabilitas
–Rp2.000 adalah 0,50. Nilai CE Rp0. Maka,
U(Rp0) = 0,50(1) + 0,50(0) = 0,50
Hasil perhitungan tersebut bisa kita gambarkan dalam suatu diagram sebagai berikut.
Indeks
m utilitas

0,94
0,80

0,50

Rupiah (wealth)
0 +2.000 +3.600

Anda mungkin juga menyukai