َ ْأمسسللسم ْفمأ مسسلممم:ا ْمعلمسيله ْمومسللمم ْيمهعوُهدهه ْفممقاَمل ض ْفمأ ممتاَهه ْالنلبليي ْ م
صللىَّ ْ ل ه ا ْمعلمسيله ْمومسللمم ْفممملر م
صللىَّ ْ ل ه أملن ْهغملمماَ ْلليمههوُمد ْمكاَمن ْيمسخهدهم ْالنلبل ل
ي ْ م
“Seorang anak muda Yahudi yang menjadi pembantu Nabi sakit, lalu Nabi
menjenguknya, kemudian beliau bersabda : Masuk Islamlah!” anak muda itupun
masuk Islam.(Shahih al-Bukhari 6757)
3. Bermuamalah baik dengan non muslim yang terikat perjanjian dengan muslim
صللهح ْمباَلمهكسم
ا ْمويه س ا ْمعلمسيله ْمومسللمم ْيمسرهجوُمن ْأمسن ْيمهقوُمل ْلمههسم ْيمسرمحهمهكسم ْ ل
اه ْفميمهقوُهل ْيمسهلديهكهم ْ ل ه ْمكاَمن ْاسليمههوُهد ْيمتممعاَطمهسوُمن ْلعسنمد ْالنلبليي ْ م
صللىَّ ْ ل ه
Orang-orang Yahudi bersin di sisi Nabi dengan keinginan agar Nabi mendoakan
kebaikan bagi mereka : yarhamukallah (Semoga rahmat Allah tercurah atasmu), maka
Nabi mendoakan : yahdikumullah wayuslihu baalakum (semoga Allah memberi
petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian). (Sunan Abu Daud 5152)
Perintah untuk memperhatikan keadaan tetangga dan berbuat baik kepada mereka
adalah perintah secara umum, baik mereka muslim, yahudi atau nasrani.
ت ْأملنه ْمسيهموُيرثههه
ظنمسن ه صسيلني ْلباَسلمجاَلر ْمحت ل
ىَّ ْ م ماَ ممزامل ْلجسبلرسيهل ْيهسوُ ل
“Jibril senantasa memberi wasiat padaku agar memperhatikan keadaan tetangga,
sampai aku mengira dia akan menjadikan tetanggga sebagai ahli waris 4.” (HR al-
Bukhari dan Muslim)
Sahabat Nabi lainnya, yaitu Abdullah bim Amru bin Ash radhiyallahuanhuma
memahami perintah untuk berbuat baik pada tetangga ini adalah perintah kepada
tetangga muslim maupun non muslim.
Aku pernah berada di dekat Abdullah bin Amru – dan saat itu budaknya sedang
menguliti kambing – lalu dia berkata : “Wahai anak, jika engkau selesai menguliti
berikan kepada tetangga Yahudi kita!” lalu ada seorang berkata : “Engkau mau
memberi kepada seorang Yahudi? Semoga Allah memperbaiki keadaanmu!” Abdullah
menjawab : Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam memberi wasiat agar
berbuat baik kepada tetangga sampai kami khawatir beliau menjadikan tetangga
sebagai ahli waris.(al-Adab al-Mufrod 128)
Ibnu Hajar berkata : “Tetangga itu meliputi muslim atau kafir, ahli ibadah atau
orang fasik, kawan atau lawan, penduduk negeri atau orang asing, orang yang
bermanfaat maupun yang mengganggu, karib kerabat maupun bukan, yang dekat
rumah maupun yang jauh.”
Jika kita mengamati akhlak Nabi, beliau tidak pernah melaknat non muslim yang tidak
memerangi Islam dan muslimin, adapun terhadap non muslim yang memerangi Islam
dan muslimin beliau pernah mendoakan laknat atas mereka.
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dia berkata : Ditanyakan kepada Nabi : Wahai
Rasulullah! Doakanlah kebinasaan atas orang-orang musyrik. Beliau menjawab :
“Aku tidak di utus untuk melaknat, sesungguhnya aku di utus sebagai rahmat.”
Aku katakan : Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka
katakan? Rasulullah shallallahualaihiwasallam menjawab :
قمسد ْقهسل ه
َ ْمومعلمسيهكسم:ْ ت
“Bukankah aku telah menjawabnya : wa alaikum (dan bagi kalian)” (HR al-
Bukhari dan Muslim)
Adapun jika orang Yahudi dan Nashara mengucapkan salam atas seorang muslim
dengan salam yang tidak terdapat padanya doa kejelekan, maka di syariatkan baginya
membalas penghormatan itu. Hal ini berdasarkan firman Allah :
موإلمذا ْهحيييتهسم ْبلتملحيلءة ْفممحييوُا ْبلأ مسحمسمن ْلمسنمهاَ ْأمسو ْهريدومهاَ ْإللن ْ ل م
َا ْمكاَمن ْمعلمىىَّ ْهكيل ْمشسيءء ْمحلسيمبا
Asy-syaikh al-Albani rahimahullah, seorang ulama hadits abad ini menjelaskan tentang
bagaimana cara menjawab salam orang kafir dan apakah boleh memulai salam
terhadap orang kafir.
“Jangan kalian memulai Yahudi dan Nashara dengan salam, dan jika kalian bertemu
salah seorang dari mereka di sebuah jalan, maka paksalah dia ke tempat yang paling
sempit.”
Pernah kami bertemu dengan para sahabat kami dari kalangan ahli hadits, lalu ada yang
menyampaikan pertanyaan tentang bolehnya memulai salam kepada orang kafir, maka saya
jawab tidak boleh berdasarkan hadits di atas.
Lalu salah seorang dari mereka mengungkapkan pendapatnya tentang hadits itu bahwa
larangan pada hadits itu hanyalah jika bertemu orang kafir di jalan, adapun jika saat datang ke
tokonya atau rumahnya maka tidak ada larangan memulai salam terhadap orang kafir!
Maka terjadilah dialog yang lama, dan pendapat saya saat itu adalah : sabda Nabi “janganlah
kalian memulai salam” adalah mutlak saat bertemu orang kafir di mana saja dan tidak terbatas
hanya di jalan.
Lalu setelah itu saya mendapati beberapa riwayat yang menguatkan pendapat saya tadi :
“ْ ت ْأممباَ ْههمرسيمرمة
َ ْمسلمسع ه:ْ ت ْأملبي ْيمقهسوُهل ْفممكاَمن ْأمسههل ْاللشاَلم ْيمهميرسومن ْبلأ مسهلل ْال ل،ت ْمممع ْأملبي ْإلملىَّ ْاللشاَلم
ْفممسلمسع ه،صموُالملع ْفميهمسليهمسوُمن ْمعلمسيلهسم مخمرسج ه
ل
”فممذمكمرهه.…ْ ا ْمعلمسيله ْمومسلمم ْيمقهسوُهل صلىَّ ْ هل ا ْ م
ت ْمرهسسوُمل ْ ل َ ْمسلمسع ه:ْ يمقهسوُهل.
Aku pernah pergi bersama ayahku ke negeri Syam5, dan penduduk Syam jika melalui tempat
peribadatan ahli kitab mengucapkan salam kepada mereka. Lalu aku mendengar ayahku berkata
: Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda : “Jangan kalian memulai Yahudi dan Nashara dengan salam…”
Periwayat hadits menyebutkan hadits itu. (HR Ahmad dan Abu Daud)
Periwayat hadits itu adalah Abu Shalih, nama aslinya adalah Dzakwan, seorang tabi’in (murid
dari sahabat Nabi Abu Hurairah) yang terpercaya dalam penyampaian hadits Nabi.
Dalam hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa larangan memulai mengucapkan salam kepada
ahli kitab itu mutlak/dimana saja dia berada, sekalipun dia berada di rumahnya.
“ْ ،ي ي ْفممسللمم ْمعلم ل َ ْلإنهه ْمكتم م:ْ َ ْتهمسليهم ْمعلمسيله ْموههموُ ْمكاَفللُر؟! ْقاَ ممل:ْ ْفمقلسيمل ْلمهه،ب ْأمهبوُ ْهمسوُمسىَّ ْإلملىَّ ْلدسهمقاَمن ْيهمسليهم ْمعلمسيله ْلفي ْلكمتاَبلله
ب ْإللم ل مكتم م
ت ْمعلمسيله ْ”فممرمدسد ه
Abu Musa al-Asyari (sahabat Nabi) menulis surat kepada Dihqan6 dengan mengucapkan salam
padanya. Lalu ditanyakan padanya : “Apakah engkau mengucapkan salam padanya sedangkan
dia seorang kafir?” Abu Musa menjawab : “Dia menulis surat dan mengucapkan salam
kepadaku, maka akupun membalas salamnya.” (HR al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrod 1101)
Pertanyaan kepada Abu Musa : “Apakah engkau mengucapkan salam padanya sedangkan dia
seorang kafir?” menunjukkan bahwa memulai salam kepada orang kafir adalah suatu hal yang
sudah diketahui dikalangan mereka bahwa hal itu tidak boleh secara umum, dan bukannya
khusus jika bertemu di jalan saja. Oleh karena itu penanya mengingkari salam yang dilakukan
oleh Abu Musa al-Asyari. Dan Abu Musa pun membenarkan pendapat itu, dan dia menjelaskan
bahwa salam yang dilakukannya adalah sebagai balasan dari salam Dihqan, dan bukan
memulainya.
3. Dalam surat Nabi kepada Heraclius, Kaisar Romawi.
Seandainya larangan dalam sabda Nabi “Jangan kalian memulai Yahudi dan Nashara dengan
salam” adalah secara khusus jika bertemu di jalan, pastilah Nabi mengucapkan pada Heraclius
“assalamualaikum” (semoga kesejahteraan atasmu).
Dari Anas radhiyallahuanhu : “Seorang anak muda Yahudi yang menjadi pembantu Nabi sakit,
lalu Nabi menjenguknya, kemudian beliau bersabda : Masuk Islamlah!” anak muda itupun
masuk Islam.
Seandainya larangan memulai salam kepada non muslim hanya di jalan, tentulah Nabi akan
memulai salam saat menjenguk anak itu.
Saat akan meninggal dunia, Abu Thalib dijenguk oleh Nabi. Namun beliau tidak memulai
mengucapkan salam padanya.
Maka dari riwayat-riwayat hadits di atas, jelaslah bahwa memulai salam kepada Yahudi dan
Nashara tidak diperbolehkan secara mutlak, baik saat di jalan, di rumah maupun di tempat
lainnya. Jika ada pertanyaan, apakah boleh memulai menyapa non muslim dengan ucapan
selain salam seperti : Bagaimana keadaanmu pagi ini atau sore ini, atau bagaimana keadaanmu
dan semisalnya?
Saya (asy-Syaikh al-Albani) menjawab : Saya berpendapat diperbolehkan, namun Allah-lah yang
lebih mengetahui kebenarannya. Karena larangan dalam hadits itu berkaitan dengan salam,
yaitu salam islami (assalamualaikum), yang terkandung nama Allah, sebagaimana dalam sabda
Nabi :
“As-Salam adalah salah satu dari nama Allah, Dia meletakkannya di bumi, oleh karena itu
sebarkanlah “as-Salam” di antara kalian.” (HR al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrod 989)
Maka, itulah salam Islami yang hendaknya setiap muslim menyebarkannya.
Asy-Syaikh al-Albani menjawab : Saya menyatakan boleh, dengan syarat salam yang di ucapkan
non muslim di sampaikan dengan fasih dan jelas, tidak seperti yang dilakukan oleh Yahudi ketika
salam kepada Nabi : as-Saam alaika (racun bagimu). Maka Nabi memerintahkan untuk
menjawab dengan jawaban : wa alaikum (dan bagimu juga).
Maka diperbolehkan menjawab salam semisal jika terpenuhi syaratnya, yaitu fasih dan jelas.
Dan saya menguatkan pendapat ini dengan dalil berikut ini :
إللن ْاسليمههوُمد ْإلمذا ْمسللمم ْمعلمسيهكسم ْأممحهدههسم ْفمإ لنلمماَ ْيمهقوُهل ْاللساَهم ْمعلمسيهكسم ْفمهقوُهلوُا ْمومعلمسي م
ك
Sesungguhnya orang Yahudi jika salah seorang dari mereka mengucapkan salam pada kalian,
dia mengatakan assam alaika (racun bagimu), maka ucapkanlah wa alaika (dan bagimu juga).
(HR al-Bukhari dan Muslim)
Perintah Nabi untuk menjawab semisal, menunjukkan jika mereka mengucapkan “Assalaamu
alaika” maka di jawab dengan semisal “wa alaikas salam”. Dan hal ini dikuatkan dengan ayat al-
Qur’an di bawah ini.
Perintah dalam ayat ini adalah secara umum, kepada muslim maupun non muslim.
Sebagaimana dikuatkan pendapat ini dengan hadits dari Ibnu Abbas dia berkata :
ََ” ْموإلمذا ْهحيييتهسم ْبلتملحيلءة ْفممحييوُا ْبلأ مسحمسمن ْلمسنمهاَ ْأمسو ْهريدومها:ا ْيمقهسوُهل
ك ْبلأ ملن ْ م
صمرالنيماَ ْأمسو ْممهجسوُلسمياَ ْمذلل م
هريدسوا ْاللسلممم ْمعلمىَّ ْممسن ْمكاَمن ْيمههسوُلديماَ ْأمسو ْنم س
“Balaslah salam orang Yahudi atau Nasrani atau Majusi, karena Allah berfirman : Apabila kamu
diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu.”
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS al-Mumtahanah : 8)
Ayat ini dengan jelas menerangkan perintah untuk berbuat baik kepada non muslim yang hidup
berdamai dan tidak mengganggu orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
juga perintah untuk berbuat adil kepada mereka.
Maka jika salah seorang non muslim mengucapkan salam “assalamu alaikum” lalu kita hanya
menjawabnya dengan ucapan “wa alaika” maka ini bukanlah bentuk keadilan dan tidak pula
kebaikan yang diperintahkan Allah. Karena kita menyamakannya dengan orang non muslim yang
mengucapkan “assaamu alaika” (racun bagimu). Dan ini merupakan kezaliman, wallahu ‘alam
(Allah yang lebih mengetahui kebenaran hal ini.)
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Nabi Muhammad, keluarga,
para sahabatnya dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik.
1Disarikanْ Abuْ Hasanْ Arif,ْ dariْ Makalahْ yangْ berjudulْ َ:ْ من ْسيرته ْالعدل ْوالحساَن ْمع ْأهل ْالكتاَب
2Yangْ diْ maksudْ Muahadْ adalahْ orangْ kafirْ yangْ mengadakanْ perjajianْ denganْ kaumْ
muslimin,ْ baikْ ituْ denganْ kesepakatanْ membayarْ upetiْ atauْ diaْ mendapatkanْ jaminanْ
keamananْ dariْ penguasaْ atauْ seorangْ muslim.ْ (Kitabْ Fathulْ Baariْ karyaْ Ibnuْ Hajarْ al-Asqalaniْ
jilidْ 12/ْ halْ 271)
4Yaituْ memerintahkanْ dariْ Allahْ suatuْ perintahْ agarْ hartaْ tetanggaْ diْ warisiْ tetangganya.ْ
(Syarahْ al-Adabْ al-Mufrodْ 101)
5Saatْ iniْ negeriْ Syamْ terbagiْ menjadiْ beberapaْ negara,ْ yaituْ َ:ْ Lebanon,ْ Syiria,ْ Yordania,ْ danْ
Palestina.