Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Amoebiasis

Amoebiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh amoeba, yaitu Entamoeba histolytica, namun
juga amoebiasis merujuk kepada infeksi dengan amoeba lainnya. Amoebiasis dapat dilakukan oleh
amoeba yang parasit maupun amoeba yang hidup secara bebas.

Entamoeba histolytica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar manusia,
primata tingkat tinggi tertentu, dan beberapa binatang jinak rumahan dan komensal. Sebagian besar
kasus asimptomatik kecuali pada manusia atau di antara binatang yang hidup dalam keadaan
tertekan atau dalam keadaan yang tidak alamiah (misalnya primata di kebun binatang).

B. Klasifikasi Amoebiasis

1. Amoebiasis intestinal

Klasifikasi amoebiasis menurut WHO (1968) dibagi dalam asimtomatik dan simptomatik, sedang
yang termasuk amoebiasis simptomatik yaitu amoebiasis intestinal yaitu disentri, non-disentri colitis,
amoebic appendicitaske orang lain oleh pengandung kista Entamoeba histolytica yang mempunyai
gejala klinik (simptomatik) maupun yang tidak (asimptomatik).

Amoebiasis intestinal atau disebut juga sebagai amoebiasis primer terjadi pertama di daerah
caecum, appendix, kolon ascenden dan berkembang ke kolon lainnya. Bila sejumlah parasit ini
menyerang mukosa akan menimbulkan ulkus (borok), yang mempercepat kerusakan mukosa.
Lapisan muskularis usus biasanya lebih tahan. Biasanya lesi aka nterhenti di daerah membran basal
dari muskularis mukosa dan kemudian terjadi erosi lateral dan berkembang menjadi nekrosis.
Jaringan tersebut akan cepat sembuh bila parasit tersebut dihancurkan (mati). Pada lesi awal
biasanya tidak terjadi komplikasi dengan bakteri. Pada lesi yang lama (kronis) akan diikuti infeksi
sekunder oleh bakteri dan dapat merusak muskularis mukosa, infiltrasi ke sub-mukosa dan bahkan
berpenetrasi ke lapisan muskularis dan serosa.

Amoebiasis intestinal bergantung pada resistensi hospesnya sendiri, virulrnsi dari strain amoeba,
kondisi dari lumen usus atau dinding usus, yaitu keadaan flora usus, infek/tidaknya dinding usus,
kondisi makanan, apabila makanan banyak mengandung karbohidrat, maka amoeba tersebut lebih
patogen.

Ameboma adalah sebuah fokus nodular dari radang proliferatif atau menyerupai tumor yang
berisi jaringan granulasi yang berasal dari kolon kadang berkembang pada amoebiasis yang kronis,
biasanya pada dinding dari kolon dengan lokasi tersering terdapat dalam sekum, tapi bisa pada
semua tempat di kolon dan rektum. Pada pemeriksaan barium enema, ameboma dapat berupa lesi
polipoid, dapat dikelirukan dengan karsinoma kolon. Adanya ulkus pada mukosa usus dapat diketahui
dengan sigmoidoskopi pada 25% kasus. Ulkus tersebar, terpisah satu sama lain oleh mukosa usus
yang normal, ukurannya bervariasi dari 2-3 mm sampai 2-3 cm.

Amoebiasis intestinal terdiri atas 2, yaitu:

a. Amoebiasis Kolon Akut


Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat berupa tinja cair,
tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10 x perhari. Demam dapat
ditemukan pada sepertiga penderita. Pasien terkadang tidak nafsu makan sehingga berat badannya
dapat menurun. Pada stadium akut ditinja dapat ditemukan darah, dengan sedikit leukosit serta
stadium trofozoit E.histolytica.

Diare yang disebabkan E.histolytica secara klinis susah dibedakan dengan diare yang
disebabkan bakteri (Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter) yang sering ditemukan di
daerah tropik. Selain itu juga harsu dibedakan dengan non infectious diare seperti ischemic colitis,
inflammatory bowel disease, diverculitis, karena pada amoebiasis intestinalis penderita biasanya tidak
demam.

b. Amoebiasis Kolon Menahun

Amoebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya terdapat gejala
usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak diperut, diare yang diselingi obstipasi (sembelit). Gejala
tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara periodik. Dasar penyakit ialah radang usus
besar dengan ulkus menggaung, disebut juga kolitis ulserosa amebik.

Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica sulit ditemukan, karena sebagian
besar parasit sudah masuk ke jaringan usus. Karena itu dilakukan uji serologi untuk menemukan zat
anti amoeba atau antigen E.histolytica. Sensitivitas uji serologi zat mencapai 75%, sedangkan deteksi
antigen mencapai 90% untuk mendiagnosis amoebiasis menahun. Pemeriksaan biopsi kolon hasilnya
sangat bervariasi, dapat ditemukan penebalan mukosa yang non-spesifik tanpa atau dengan ulkus,
ulserasi fokal dengan atau tanpa E.histolytica, ulkus klasik yang berebntuk seperti botol (flaskshaped
appeareance), nekrosis dan perforasi dinding usus.
Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di sigmoid.
Komplikasi amoebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic megacolon, ameboma,
amoebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat membentuk fistula. Penderita dengan acute necrotizing
colitis sangat jarang ditemukan tetapi angka kematin mencapai 50%. Penderita terlihat sakit berat,
demam, diare dengan lendir dan darah, nyeri perut dengan tanda iritasi peritoneum. Bila terjadi
perforasi usus atau pemberian anti amoeba tidak memperlihatkan hasil, lakukan tindakan bedah.

Toxic megacolon juga sangat jarang ditemukan, biasanya berhubungan dengan penggunaan
kortikosteroid. Penderita memerlukan tindakan bedah, karena biasanya pemberian anti amoeba saja
tidak memperlihatkan perbaikan. Ameboma berasal dari pembentukan jaringan granulasi kolon yang
berbentuk seperti cincin (annnuler), dapat tunggal atau multipel. Biasanya ditemukan di sekum atau
kolon asenden. Gambaran histologi menunjukkan jaringan kolagen dan fibroblas dengan tanda
peradangan menahun disertai granulasi. Ameboma ini menyerupai karsinoma kolon. Amoebiasis
kolon bila tidak diobatiakan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan amoebiasis ekstra-intestinal.
Hal ini dapat terjadi secara hematogen (melalui aliran darah), atau perkontinuitatum (secara
langsung). Cara hematogen terjadi bila amoeba telah masuk submukosa kemudian ke kapiler darah,
dibawah oleh aliran darah melalui vena porta ke hati dan menimbulkan abses hati.

2. Amoebiasis Ekstra-intestinal
Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering ditemukan. Sebagian
besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu yang relatif singkat (2-4 minggu). Penderita
memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas. Bila permukaan diafragma
hati terinfeksi, maka pada penderita dapat ternjadi nyeri pleura kanan atau nyeri yang menjalar
sampai bahu kanan. Pada 10%-35% penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa
mual, muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan hepatomegali. Pada fase sub-akut dapat ditemukan penurunan berat badan, demam dan
nyeri abdomen yang difus. Abses hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan
anak – anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses berisi nanah
yang berwarnah coklat.

Pada pemeriksaan tinja, E.histolytica hanya ditemukan pada sebagian kecil penderita abses hati.
Dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan serum alkali fostafase pada pemeriksaan darah.
Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke pleura dan/atau perikardium,
abses otak dan amoebiasis urogenitalis. Cara perkontinuinatum terjadi bila abses hati tidak diobati
sehingga abses pecah. Amoeba yang keluar dapat menembus diafragma, masuk ke rongga pleura
dan paru, menimbulkan abses paru. Abses hati dapat juga pecah ke dalam rongga perut dan
menyebabkan peritonitis atau pecah ke dalam dinding perut, menembus dinding perut samapi ke kulit
dan menimbulkan amoebiasis kulit dinding perut. Amoebiasis rektum bila tidak diobati dapat
menyebar ke kulit di sekitar anus menyebabkan amoebiasis perianal, dapat juga menyebar ke
perineum, menyebabkan amoebiasis perineal atau ke vagina menyebabkan amoebiasis vagina. Di
kulit dan vagina amoeba ini menimbulkan ulkus.

C. Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica

Ditemukan tiga stadium pada Entamoeba histolytica, yaitu amoeba aktif, kista tidak aktif, dan
prekista intermedia. Trofozoit ameboid adalah satu-satunya bentuk yang ada dalam jaringan. Bentuk
tersebut juga ditemukan dalam feses cair selama disentri amoeba. Ukurannya 15 – 30 µm.
Sitoplasma granuler dan dapat mengandung sel-sel darah merah (patognomonik) tetapi biasanya
tidak mengandung kuman. Pewarnaan besi-hematoksilin atau trikhrom Gomori menunjukkan selaput
inti yang dibatasi oleh granula khromatin reguler, halus, membentuk jala-jala yang nyata sekitar
perifer, kariosom sentral, kecil, berwarna gelap. Pergerakan trofozoit dalam bahan segar relatif cepat
dan biasanya tidak searah. Pseudopodia seperti jari-jari dan lebar, reaksinya tidak ada pada suhu
rendah atau pada amoeba prekista.

Entamoeba histolytica memiliki siklus hidup dengan dua tahap, yaitu tahap trofozoit dan kista.
Pada tahap trofozoit, amoeba tidak bisa bertahan hidup mandiri, sedangkan pada tahap kista amoeba
bersifat sangat menular dan kuat, hidup di Lingkungan yang ekstrim. Entamoeba histolytica ditularkan
melalui rute fecal–oral. Periode inkubasi terjadi mulai dari hitungan hari sampai tahun (durasi rata-rata
2–4 minggu). Mayoritas mereka terinfeksi 90% adalah pembawa simtomatik, dan Entamoeba
histolytica berada dalam saluran usus dalam simbiosis dengan host. Infeksi dimulai dari tertelannya
kista dalam makanan dan minumanyang terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan mengeluarkan
trofozoit dalam usus besar dan memasuki submukosa. Bentuk kista biasanya sferis, berukuran10-18
µm. Kista yang matang berisi 2 inti yang akan membelah menjadi 4 intiyang kecil. Selama proses
pematangan vakuola glikogen akan dikeluarkan dan benda kromatoid menjadi makin kabur dan
akhirnya menghilang. Kista sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu. Kista bisa tetap hidup dan
infektif dalamkondisi lembab sedangkan dalam feses yang mengering dapat bertahan sampai12 hari
dan dalam air selama 30 hari.

Kista tahan terhadap kadar klorin biasanya digunakan untuk pemurnian air. Kista resisten
terhadap keadaan lingkungan seperti suhu rendah dan kadar klorin yang biasa digunakan pada
pemurniaan air, parasit dapat dibunuhdengan pemanasan 55°C. Bila air minum atau makanan
terkontaminasi oleh kista Entamoeba histolytica, kista akan masuk melalui saluran pencernaan menuju
ileum dan terjadi excystasi, dinding kista robek dan keluar amoeba multinucleus metacystic yang
langsung membelah diri menjadi 8 uninucleat trofozoit muda yang disebut amoebulae.
Amoebulae bergerak ke usus besar, makan dan tumbuh dan membelah diri asexual.

Multiplikasi (perbanyakan diri) dari spesies ini terjadi dua kali dalam masa hidupnya yaitu
membelah diri dengan binary fission dalam usus pada fase trofozoit dan pembelahan nukleus yang
diikuti dengan cytokinesis dalam kista pada fase metacystic. Pada fase trofozoit Entamoeba
histolytica mempunyai diameter rata-rata 20 µm, sitoplasmanya terdiri atas zona luar yang jernih dan
endoplasma dalam yang granuler padat, mengandung inti yang berbentuk sferis yang mempunyai
kariosom sentral yang kecil dan bahankromatin granuler yang halus. Endoplasma juga berisi vakuola,
dimanaeritrosit dapat ditemukan pada kasus amoebiasis invasif menyusup masuk kedalam mukosa
usus besar diantara sel epitel sambil mensekresi enzim proteolytik.

Didalam dinding usus trofozoit terbawa aliran darah menuju hati, paru, otak dan organ lain. Hati
adalah organ yang paling sering diserang selain usus. Di dalam hati trofozoit memakan sel parenkim
hati sehingga menyebabkan kerusakan hati. Trofozoit dalam intestinal akan berubah bentuk menjadi
precystic. Bentuknya akan mengecil dan berbentuk spheric dengan ukuran 3,5-20 µm. Bentuk kista
yang matang mengandung chromatoidu ntuk menyimpan unsur nutrisi glikogen yang digunakan
sebagai sumber energi. Kista ini adalah bentuk inaktif yang akan keluar melalui feses. Para trofozoit
metacystic dari progeni mereka mencapai sektum dan mereka yangdatang dalam kontak dengan
mukosa oral menembus atau menyerang epitel oleh pencernaan litik.

Liang trofozoit lebih dalam dengan kecenderungan untuk menyebar lateral atau meneruskan
kematian sel sampai mereka mencapai sub-mukosa borok membentuk-bentuk flash. Ada beberapa
titik penetrasi dari situs utama invasi, lesi sekunder mungkin dihasilkan pada tingkat yang lebih
rendah dariusus besar. Progeni dari koloni awal yang diperas keluar ke bagian bawahusus dan
dengan demikian, memiliki kesempatan untuk menyerang danmenghasilkan bisul (borok) tambahan.
Akhirnya, seluruh usus besar terlibat.

Trofozoit yang mencapai muskularis sering mukosa mengikis limfatik atau dinding venula
mesenterika di lantai borok, dan dibawa ke vena portalintrahepatik. Jika trombi terjadi di cabang-
cabang kecil dari vena portal, yang trofozoit dalam nekrosis menyebabkan trombi litik di dinding kapal
danmencerna jalur ke lobules. Peningkatan koloni dalam ukuran dan berkembang menjadi abses.
Suatu abses hati khas mengembangkan dan terdiri dari: Central zona nekrosis, zona Median hanya
stoma, Sebuah zona luar dari jaringan normal yang baru saja diserang oleh amoeba.

Enkistasi, yaitu proses secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista tidak terjadi di
dalam jaringan. Tropozoit yang ada di dalam lumen kolon akan berkondensasi menjadi benda
berbentuk sferis, yakni prekista yang kemudian dindingnya relatif tipis dan halus dilepaskan sehingga
terjadilah kista muda. Pada stadium ini terdapat dua macam inklusi pada kista muda dan kista
matang, yaitu inklusi glikogen dengan tepi yang samar-samar dan bahan yang refraktil, disebut
kromatoid, yaitu benda yang dapat berbentuk batang panjangatau dapat juga pendek, biasanya
dengan ujung bundar.

Ekskistasi, yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam suasana yang
hampir mendekati keadaan dalam saluran cerna. Begitu kista masuk dalam mulut, akan terus masuk
ke dalam lambung lalu usus kecil. Dalam lingkungan asam, kista tidak akan berubah tetapi bila
lingkungan menjadi netral atau basa, amoeba akan menjadi aktif. Juga karena pengaruh cairan
lambung maka dinding kista menjadi lemah dan amoeba dengan banyak intinya menjadi pusat
metakista tropozoit.

Dalam lingkungan yang tidak cocok untuk ekskistasi yaitu keluar didalam usus kecil, kista akan
dibawa ke usus besar dan kemudian dikeluarkan bersama tinja tanpa mengalami ekskistasi.
Metakista tropozoit tidak akan berkembang biak dan menempel pada mukosa usus atau tersangkut di
dalam kelenjar yang terdapat di dalam kripta usus. Bila amoeba muda mulai tumbuh, mereka akan
menjadi tropozoit yang normal dan lengkaplah siklus perkembangannya.
D. Diagnosis

Ditemukan Entamoeba histolytica dalam tinja disentrik, biopsi dinding abses. Pemeriksaan
serologis dapat menunjang diagnosis. Diagnosis terutama dilihat dari gejala klinis dan reaksi tes
imunologi. Pemeriksaan dengan sinar x dapat mendiagnosis adanya abses dalam hati. Pemeriksaan
sampel feses cukup baik dilakukan untuk mendiagnosis infeksi dalam usus. Pemeriksaan beberapa
kali terhadap feses pasien untuk menemukan trofozoit cukup baik dilakukan. Diagnosis secara
imunologik cukup baik hasilnya. Penggunaan teknik fluoerscens antibodi cukup baik tetapi tidak dapat
membedakan antara E.histolytica dengan E.hartmanni.

Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90% penderita
asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya.

1. Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica dengan E.dispar. Selain itu
pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif. Sehingga pemeriksaan
mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu baik untuk kasus akut
maupun kronik. Adanya sel darah merah dalam sitoplasma E.histolytica stadium trofozoit merupakan
indikasi terjadinya invasif amoebiasis yang hanya disebabkan oleh E.histolytica.

Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20 – 30 menit. Karena itu
bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet polyvinil alcohol (pva) atau pada
suhu 4 °C. Dalam hal yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlihat aktif sampai 4 jam. Selain itu pada
sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah. Hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
mikroskopik adalah keterlambatan waktu pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah
tinja yang terkontaminasi urin dan air, penggunaan antibiotik (tetrasiklin, sulfonamid), laksatif, antasid,
preoarat antidiare (kaolin, bismuth), frekuensi pemeriksaan dan tinja diberi pengawet.

2. Pemeriksaan Serologi untuk Mendeteksi Antibodi


Sebagian besar orang yang tinggal di bagian endemis E.histolytica akan terpapar parasit
berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan antibodi sulit
membedakan antara current atau previous injections.

Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok yang tidak
tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang
disebabkan E.histolytica memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi
terhadap E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi seperti IHA, lateks
aglutinasi, counterimmunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji komplemen, dan ELISA. Biasanya
merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan alternatif karena lebih cepat,
sederhana dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap antigen lektin dapat dideteksi dalam waktu 1
minggu setelah timbul gejala klinis baik pada penderita kolitis maupun abses hati amoeba. Bila
hasilnya meragukan, uji serologi tersebut dapat diulang. Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak
dapat membedakan current infection dari previous infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi
pada minggu pertama sampai minggu ketiga pada seorang penderita kolitis amoeba.

Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap pengobatan,
sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tetap tidak berubah. Antibodi
yang terbentuk karena infeksi E.histolytica dapat bertahan sampai 6 bulan, bahkan pernah dilaporkan
sampai 4 tahun.

3. Deteksi Antigen

Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi dalam tinja, serum, cairan abses, dan
air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA, sedangkan dengan
teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada tinja merupakan teknik yang
praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amoebiasis intestinalis. Walaupun demikian, tinja
yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan menyebabkan denaturasi antigen, sehingga hasil
yang false negatif. Oleh karena itu, syarat melakukan ELISA pada tinja seseorang yang diduga
menderita amoebiasis intestinal adalah tinja segar atau disimpan dalam lemari
pendingin. E.histolytica tes II dapat dibedakan infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica atau E.dispar.

Pada penderita abses hati amoeba, deteksi antigen dapat dilakukan pada pus abses atau
serumnya.

4. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan deteksi antigen
pada tinja penderita amoebiasis intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang diperlukan lebih lama,
tekniknya lebih sulit dan juga mahal. Untuk penelitian polimorfisme E.histolytica, teknik PCR
merupakan metode unggulan. Walaupun demikian, hasilnya sangat dipengaruhi oleh berbagai
kontaminasi pada tinja. Selain itu kemungkinan terjadi false negatif karena berbagai inhibitor pada
tinja. Hal ini dapat dilakukan pada pus penderita dengan abses hati amoeba. Ekstraksi DNA dapat
dilakukan pada tinja yang sudah diberi pengawet formalin. Dengan cara ini dapat dibedakan
infeksi E.histolytica dengan E.dispar.
Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan kombinasi
pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat dilakukan kolonoskopik dan
biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar dinding
abses. Berbagai penelitian memperlihatkan rendahnya sensitivitas pemeriksaan mikroskopik dalam
mendiagnosis amoebiasis intestinal atau abses hati amoeba. Metode deteksi anti gen atau PCR pada
tinja merupakan pilihan yang lebih tepat untuk menegakkan diagnosis. Walaupun demikian, syarat
untuk melakukan uji ini perlu diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mikroskopik tetap dilakukan untuk
menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain baik parasit maupun non-parasit.

E. Pengobatan

Pengobatan yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda dengan non-
invasif. Pada penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin. Pada penderita amoebiasis
invasif terutama diberikan paromomisin. Pada penderita amoebiasis invasif terutama diberikan
golongan nitroimidazol yaitu metronidazol. Obat lain yang dapat diberikan adalah tinidazol,
seknidazol, dan ornidazol.

Lebih kurang 90% penderita dengan amoebiasis koli ringan sedang, penyakitnya sembuh
dengan pemberian metronidazol. Pada penderita dengan fulminant colitis, dapat ditambahkan
pemberian nitroimidazol, biasanya sebanyak 40%-60% penderita masih mengandung parasit, karena
itu sebaiknya diikuti dengan pemberian paromomisin atau diloksanid furoat untuk mengeliminasi
infeksi dalam lumen usus . pemberian metronidazol sebaiknya tidak bersamaan dengan
paromomisin, sebab yang terakhir dapat menyebabkan diare sebagai efek sanping obat,. Pada
penderita abses hati amoeba dapat dilakukan drainase abses selain pemberian obat anti amoeba.
Hal ini dapat dilakukan pada penderita abses hati yang setelah pengobatan 5-7 hari tidak
memperlihatkan perbaikan klinis. Pada penderita dengan risiko tinggi rupture abses misalnya dengan
lesi berdiameter 5 cm atau di lobus kiri pemberian antibiotik pada penderita abses hati dapat
dilakukan bila tidak terjadi penyembuhan setelah pengobatan dengan anti amoeba.

Obat amebisid dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori yaitu :

1. Obat Yang Bekerja Pada Lumen Usus

Obat yang bekerja pada lumen usus merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan baik dalam
usus, sehingga dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam lumen usus.

a. Paromomisin (Humatin)

Paromomisin (humatin) merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang tidak diabsorpsi


dalam lumen usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium yang berada dalam lumen usus.
Digunakan untuk mengeliminasi kista setelah pengobatan dengan metronidazol atau tinidazol.
Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan kelainan ginjal. Dosisnya adalah 25-35
mg/kgbb/hari, terbagi dalam 8 jam selama 7 hari. Tidak dianjurkan penggunaan dalam jangka
panjang karena toksik.

b. Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol)


Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol) merupakan obat pilihan untuk E.histolytica yang berada
dalam lumen. Efek samping yang sering ditemukan adalah kembung. Mual, muntah dan diare
kadang-kadang dilaporkan. Dosisnya 3 kali 500 mg perhari selama 10 hari.

c. Iodoquinol (Iodoksin)

Iodoquinol (Iodoksin) termasuk golongan hdroksikuinolin. Tidak boleh diberikan pada penderita
dengan gangguan fungsi ginal. Dosisnya 3 kali 650 mg perhari selama 20 hari merupakan amebisid
luminal yang bekerja dilumen. Dapat digunakan untuk stadium kista setelah pemberian nitroimidazol.

2. Obat Yang Bekerja Pada Jaringan

a. Emetin Hidroklorida

Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica. pemberian emetin ini efektif bila
diberikan secara parenteral, karena pada pemberian oral absorpsinya tidak sempurna. Dapat
diberiakan melalui suntikan intramuscular atau subkutis setiap hari selama 10 hari. Pemberian secara
intervena toksisitasnya relative tinggi, terutama terhadap otot jantung. Dosis maksimum untuk orang
dewasa adalah 65 mg sehari, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun 10 mg sehari. Lama
pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang sakit berat, dosis harus dikurangi.
Pemberian emetin tidak dianjurakn pada ibu hamil, penderita dengan gangguan jantung dan ginjal.

Dehidroemetin relative kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan dapat diberikan secara
oral. Dosisnya maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan selama 4 sampai 6 hari. Emetin dan
dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses hati (amoebiasis hati).

b. Metronidazol (Golongan Nitromidazol)

Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amoebiasis koli atau abses hati amoeba, karena
efektif terhadap stadium trofozoit dalam dinding usus dan jaringan. Obat ini tidak dapat membunuh
stadium kista. Efek sampingnya antara lain mual, muntah dan pusing. Pada infeksi E.histolytica di
lumen usus, hanya 50% parasit mati dengan obat metronidazol atau tinidazol dengan diloksanid
furoat ditambah paromomisin atau tetrasiklin. Smapai saat ini belum dilaporkan
resistensi E.histolytica terhadap metronidazol. Tinidazol atau ornidazol dengan dosis yang berbeda.
Dosis metronidazol untuk orang dewasa adalah 3x750 mg/hari 7-10 hari. Pada ibu hamil hindari
pemakaiannya pada trimester 1.

c. Klorokuin

Klorokuin merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amoebiasis hati. Efek samping dan
toksisitasnya ringan, antara lain mual, muntah, diare, sakit kepala. Dosisnya untuk orang dewasa
adalah 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 grama selama 2 sampai 3 minggu.

F. Epidemiologi
Amoebiasis terdapat diseluruh dunia. Prevalensi tertinggi, terutama di daerah tropic dan
subtropik, khususnya dinegara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio ekonominya
buruk. Di beberapa Negara tropis, prevalensi anti-bodi terhadap E.histolytica mencapai 50%. Di
Indonesia, amoebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemic.prevalensi E.histolytica di
berbagai daerah di Indonesia sekitar 10%-18%. Di RRC, mesir, india dan belanda brkisar 10,1%-
11,5% di eropa utara 5-20% di eropa selatan 20%-51% dan ameriaka serikat 4%-21%.di negara
industry amoebiasis terutama pada kelompok homoseksusal, imigran, turis yang berpergian ke
daerah endemis, orang yang tinggal di asrama dan penderita positif HIV.

Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa rendahnya status social ekonimi dan kurangnya
sanitasi merupakan factor yang mempengaruhi terjadinya infeksi. Pada kelompok ini, infeksi terjadi
pada umur yang lebih muda. di Meksiko prevalensi ditemukan 11% pada kelompok umur 5-9 tahun
sedangkan di Bangladesh 30% pada kelompok 2-5 tahun.

Frekuensi infeksi E.histolytica diukur dengan jumlah pengandung kista. Perbandingan berbagai
macam amoebiasis di Indonesia adalah sebagai berikut: amoebiasis paru, kulit dan vagina jarang dan
amoebiasis otak lebih jarang lagi dijumpai.

Amoebiasis ditularkan oleh pengandung kista. Pengandung kista biasanya sehat tetapi ia
memegan peranan penting untuk penyebaran penyakit, karena tinjanya merupakan sumber infeksi.
Jadi amoebiasis tidak ditularkan oleh penderita amoebiasis akut.

Stadium kista matang adalah bentuk infektif. Seorang pengandung kista yang menyajikan
makanan (food handler) misalnya koki hotel atau pelayanan restoran, bila hygiene perorangan
kurang baik, dapat merupakan simber infeksi. Bila ia tidak mencuci tangan setelah buang air besar ,
maka tangannya akan terkontaminasi dengan tinjanya sendiri yang mengandung kista, dapat
memindahkan kista tersebut ke makanan atau air minum.

Kista dapat hidup lama dalam air (10-14 hari). Dalam lingkungan yang dingin dan lembab kista
dapat hidup selama kurang lebih dari 12 hari. Kista juga tahan terhadap klor yang terdapat dalam air
ledeng dan kista akan mati pada suhu 50 C atau dalam keadaan kering.

G. Pencegahan

Pencegahan amoebiasis terutama di tujukan pada kebersihan perorangan (personal higiene) dan
kebersihan lingkungan (environmental sanitation).

Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah buang air besar dan
sebelum makan.

Kebersihan lingkungan meliputi: masak air minum sampai mendidih sebelum diminum, mencuci
sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum di makan, buang air besar di jamban, tidak
menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik makanan yang di hidangkan untuk
menghidari kontaminasi oleh lalat dan lipas, membuang sampah di tempat sampah yang tertutup
untuk menghindari lalat.
H. Contoh Kasus

Laki-laki 35 tahun, Islam, mengeluh panas badan sejak 7 hari, naik turun, menetap sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Penderita juga mengeluh nyeri perut kanan atas dan mual tapi tidak
muntah. Makan dan minum berkurang. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal.

Dari pemeriksaan fisik kesadaran compos mentis, keadaan umum baik, tekanan darah 110/90
mmHg, nadi 86x/menit, respirasi 20x/menit, suhu axilla 38°C. Pada pemeriksaan mata tidak
didapatkan anemi dan ikterus. Telinga, hidung, tenggorokan dalam batas normal, pada leher tidak
didapatkan pembesaran leher. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan jantung dan paru dalam batas
normal. Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan distensi, bising usus normal. Hati tidak teraba,
tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal, didapatkan nyeri tekan. Limpa tidak teraba, perkusi
traube space timpani. Ekstremitas hangat, tidak didapatkan kelainan.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit 19,6 x 103/mm, hitung eritrosit
4,02 x 106/mm3, hemoglobin 12,2 mg/dL, hematokrit 35,9%, MCV 89,3 fL, MCH 30,3 pg, MCHC 34,0
g/dL, trombosit 459 x 103/mm3.

Hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen menunjukkan gambaran abses hati dengan
diameter 4,2 cm x 5,8 cm. Penderita didiagnosis dengan abses hati, diberikan terapi metronidazol 4 x
500 mg. Karena keluhan tidak berkurang, dilakukan punksi abses dan didapatkan cairan abses
berwarna coklat kemerahan sebanyak 25 cc. Penderita didiagnosis akhir dengan abses hati amoeba.

Anda mungkin juga menyukai