PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kolitis adalah peradangan akut atau kronik yang mengenai kolon. 1 Kolitis
berhubungan dengan enteritis (peradangan pada intestinal) dan proktitis (peradangan
pada rektum).2
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebab, kolitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:1
1. Kolitis infeksi
- Kolitis amebik
- Shigelosis
- kolitis tuberkulosa
- kolitis pseudomembran
- kolitis karena virus/bakteri/parasit lain seperti Eschericia coli
2. Kolitis non-infeksi
- Inflamatory bowel disease (IBD)
Kolitis ulseratif
penyakit Crohn’s
Indeterminate colitis
- kolitis radiasi
- kolitis iskemik
Selain itu, kolitis mikroskopik dan kolitis non-spesifik (simple colitis)
termasuk kolitis infeksi.1
2
Penularan E. hystolytica adalah ingesti kista dalam makanan dan minuman
yang terkontaminasi, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau
lewat hubungan seksual anal-oral. Pasien dengan amebiasis kolon yang asimtomatik
tanpa invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya. Namun pasien yang
mengalami infeksi akut atau kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit.
Bentuk kista dapat bertahan lama di luar tubuh manusia, sedangkan bentuk trofozoit
tidak dapat bertahan lama.1,4
Berdasarkan pola isoenzimnya maka kuman E. hystolytica terbagi menjadi dua,
yaitu zymodeme patogenik dan zymodeme nonpatogenik. Walaupun mekanismenya
belum jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara
mengeluarkan enzim proteolitik. Penglepasan bahan toksik menyebabkan reaksi
inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses berlanjut maka akan timbul
ulkus seperti botol labu. Ulkus dapat terjadi pada semua bagian kolon, tersering di sekum,
kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis.
Akibat invasi ameba ke dinding usus ini kemudian menimbulkan reaksi imunitas
humoral dan imunitas seluler amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD4. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat
menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma yang
sering terjadi di daerah sekum atau kolon asenden.1,3
3
Karier, disebut juga cyst passer, yaitu ameba tidak mengadakan invasi ke
dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung,
flatulen, obstipasi dan kadang-kadang diare. Sekitar 90% pasien sembuh
sendiri dalam waktu 1 tahun, sisanya sekitar 10% berkembang menjadi kolitis
amebik.
Disentri amebik ringan berupa kembung, nyeri perut ringan, demam ringan,
diare ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir.
Keadaan umum pasien biasanya baik.
Disentri amebik sedang, gejala-gejala yang muncul mulai dari kram perut,
demam, lemah, hepatomegali dengan nyeri spontan.
Disentri amebik berat, terdapat gejala diare disertai banyak darah, demam
tinggi, mual, dan anemia.
Disentri amebik kronik mempunyai gejala seperti gejala pada disentri amebik
ringan dengan diselingi periode normal bebas gejala. Keadaan ini berlangsung
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Serangan timbul pada keadaan-
keadaan kelelahan, demam, ataupun makanan yang sulit dicerna.
2.2.1.4 Diagnosis
Berikut algoritme dalam mendiagnosis kolitis amebik:1
Tes tinja untuk darah tersamar Negatif
Positif Negatif
Positif
4
Gambar 3. Kolonoskopi kolitis amebik5
2.2.1.5 Komplikasi
Komplikasi kolitis amebik dapat berupa kelainan intestinal maupun
ekstraintestinal. Kelainan intestinal yang muncul sebagai komplikasi adalah perdarahan
kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur. Sedangkan kelainan
ekstraintestinal yang terjadi adalah abses hati, amebiasis kulit, amebiasis pleuro-
pulmonal, abses otak, limpa atau organ lain.1
2.2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolitis amebik ini didasarkan pada berat-ringanya penyakit.
Pada penderita asimptomatik ataupun karier diberikan Iodoquinol (diiodohydroxyquin)
650 mg tiga kali per hari selama 20 hari. Untuk amebiasis kolon derajat ringan dan
sedang diberikan tetrasiklin 500 mg empat kali sehari selama 5 hari. Pada amebiasis
kolon berat diberikan 3 macam obat, yaitu metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama
5-10 hari, ditambah tetrasiklin 500 mg empat kali sehari selama 5 hari dan emetin 1
mg/kgBB/ hari secara injeksi intramuskular (dosis maksimal 60 mg) selama 10 hari.
Sedangkan pada amebiasis ekstraintestinal, diperlukan Metronidazol 750 mg tiga kali
sehari selama 5-10 hari ditambah dengan klorokuin fosfat 1 gram sehari selama 2 hari,
dilanjutkan dengan dosis 500 mg/hari selama 4 minggu dan Emetin 1 mg/kgBB/hari
secara intramuskular selama 10 hari (maksimal 60 mg per hari).1
5
2.2.2 Shigelosis
2.2.2.1 Definisi
Merupakan infeksi akut pada ileum terminalis dan kolon yang disebabkan
oleh bakteri genus Shigella. Secara umum, infeksi Shigella mudah terjadi di tempat
pemukiman padat dengan sanitasi yang buruk, kekurangan air bersih dan tingkat
kebersihan perorangan yang rendah. Pada daerah tropis, angka kejadian disentri
biasanya meningkat pada musim kemarau dengan S. flexneri merupakan penyebab
infeksi terbanyak.5
Kuman Shigella sp. termasuk kelompok enterobactericeae yang bersifat
gram negatif, anaerob fakultatif, tidak bergerak aktif, tidak memproduksi gas dalam
media glukosa dan umumnya laktosa negatif. Terdapat 4 spesies Shigella dengan
berbagai serotipenya, yaitu S. dysentriae, S. boydii, S. flexneri, dan S. sonnei. Gejala
klinis terberat terjadi pada infeksi oleh S. dysentriae dan gejala klinis teringan adalah
S. sonnei.6
2.2.2.2 Patofisiologi
Kolon adalah tempat utama yang diserang oleh Shigella, namun ileum
terminalis dapat juga terserang. Mekanisme patogenesis yang mendasari adalah pada
kemampuan bakteri untuk melakukan penetrasi pada mukosa intestin. Kuman ini
menginvasi sel-sel epitel kolon dengan cara makropinositotik langsung. Kuman
Shigella kemudian bermultiplikasi dalam sel epitel tanpa merusaknya, kemudian
kuman masuk ke dalam lamina propria.3
Perluasan invasi kuman ke sel di sekitarnya melalui mekanisme cell-to-cell
transfer. Walaupun lesi awal terjadi pada epitel, respons inflamasi yang menyertai cukup
berat, melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema,
mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur jaringan, dan ulserasi mukosa.
Bila penyakitnya berlanjut, terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina propria,
dengan abses pada kripta merupakan gambaran yang utama.1
6
dan diare yang sering disertai lendir serta darah pada feses. Gejala klinis penyakit ini
diawali dengan masa tunas antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya, gejala klinis
shigellosis bervariasi antara 7 hari sampai 4 minggu. Disentri basiller yang tidak diobati
dengan baik gejalanya dapat menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal disentri basiler,
pasien akan mengeluh nyeri perut bawah disertai demam yang bisa mencapai 40°C.1 Tak
lama kemudian diikuti diare yang berlangsung sering sampai 10-12 kali dalam sehari
dan mengandung lendir serta darah. Tenesmus ani sering menyertai keadaan ini.
Selanjutnya diare berkurang, tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir. Infeksi
Shigella sering menyebabkan iritasi pada susunan saraf pusat yang bermanifestasi
sebagai kejang. Pada anak-anak sering didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa ke-
jang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk, dan letargi. Penderita fase pascainfeksi pada
umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu.1,2
2.2.2.4 Diagnosis
Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN
(polimorfonuklear). Untuk memastikan diagnosis, dilakukan kultur dari bahah tinja
segar atau hapus rektal. Sigmoideskopi pada umumnya tidak diperlukan, karena
menyebabkan pasien merasa tidak nyaman. Pemeriksaan serologi Shigella pada fase akut
tidak bermanfaat.1,3
2.2.2.5 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi intestinal dan
ekstraintestinal. Komplikasi intestinal biasanya berupa megakolon toksik,
perforasi intestinal, dehidrasi renjatan hipovolemik dan malnutrisi. Sedangkan
komplikasi ekstraintestinal yang telah dilaporkan cukup banyak, di antaranya
adalah batuk, pilek, pneumonia, meningismus, kejang, neuropati perifer, sindrom
hemolitik uremik, trombositopenia, reaksi leukemoid, dan artritis (sindrom
Reiter).1
2.2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit ini adalah mengatasi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Pada sebagian besar penderita dapat diberi rehidrasi oral, namun
7
pada keadaan di mana rehidrasi oral tidak dapat dilakukan dapat memerlukan rehidrasi
intravena. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya
penyakit. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah ampicillin 4x500 mg
perhari atau kotrimoksazol 2x2 tablet perhari atau tetrasiklin 4x500 mg perhari selama 5
hari. Penggunaan anti-spasmodik perlu dihindari karena dapat menghambat motilitas
usus dan mengurangi eliminasi bakteri serta memprovokasi terjadinya megakolon
toksik. Obat-obat simptomatik lainnya dapat diberikan sesuai dengan keadaan
pasien.1
2.2.3.2 Patofisiologi
Terjadinya infeksi kuman ini ke dalam saluran cerna dapat terjadi secara primer
dan sekunder. Infeksi primer terjadi melalui tertelannya mikroorganisme secara
langsung ataupun penyebaran dari tuberkulosis milier. Sedangkan infeksi sekunder
terjadi melalui tertelannya material yang telah terinfeksi kuman ini seperti sputum yang
kemudian menginvasi mukosa intestin secara langsung, penyebaran hematogenik
melalui darah menuju hepar yang kemudian diekskresi melalui cairan empedu ke
dalam saluran cerna ataupun melalui pembentukan tuberkuloma. Terjadi peningkatan
insidens tuberkulosis paru yang luas dengan tuberkulosis intestinal sekunder sebanyak
25-80%. Terdapat hubungan yang tinggi antara berat-ringannya infeksi tuberkulosis
paru dengan frekuensi tuberkulosis pada saluran cerna. Semua bagian saluran cerna
dapat terkena infeksi, namun yang paling sering adalah pada daerah ileosekal dan
ileum terminal.1,7
8
Gambar 4. Kolitis tuberkulosa 5
2.2.3.4 Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman M. tuberculosis
melalui pemeriksaan mikroskopik langsung ataupun kultur biopsi jaringan. Pada
pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi lekukan
mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip keganasan di sekum.1
2.2.2.5 Komplikasi
komplikasi yang dapat terjadi berupa perdarahan, obstruksi intestinal, fistula
dan sindroma malabsorpsi. Komplikasi yang sering terjadi yaitu obstruksi intestinal (±
30%).1
2.2.3.6 Penatalaksanaan
9
Penatalaksanaan kolitis tuberkulosa tidak jauh berbeda dengan tuberkulosis
paru karena sama-sama memerlukan kombinasi pengobatan dengan waktu
pengobatan yang lama dengan dosis tertentu. Pengobatan TB ekstra paru berat seperti
TB usus digunakan kategori I yaitu 2RHZE/4H3R3. INH 4-6 mg/kgBB/hari atau 300-
450 mg. Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari atau 1-1,5 g. Rifampisin 8-12 mg/kgBB/hari
atau 450-600 mg dan pirazinamid 20-30 mg/kgBB/hari atau 1-1,5 g.8
2.2.4 Kolitis pseudomembran
2.2.4.1 Definisi
Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai
dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang lekat di permukaan
mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab umumnya timbul setelah
menggunakan antibiotik. Insidensnya semakin meningkat bersamaan dengan
meningkatnya penggunaan antibiotik. Sebagian besar kasus terjadi setelah penggunaan
antibiotik oral. Semua jenis antibiotik potensial menimbulkan kolitis pseudomembran,
namun yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin dan sefalosporin.1,2,9 Kolitis
pseudomembran dapat saja terjadi tanpa didahului penggunaan antibiotik sebelumnya.
Pada dasarnya, 75-90% kuman penyebab kolitis pseudomembran adalah Clostridium
difficile.3,9
2.2.4.2 Patofisiologi
Mekanisme pasti antibiotik menjadikan usus lebih rentan terhadap infeksi C.
difficile belum jelas. Hal tersebut dimungkinkan karena penekanan flora usus normal
oleh antibiotik memberi kesempatan tumbuh dan terbentuknya kolonisasi disertai
pengeluaran toksin. C. difficile adalah suatu bakteri gram positif, bentuk spora,
anaerob dan dapat diisolasi. Penularan kuman ini terjadi melalui fekal-oral. Kuman ini
menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman yang tidak
menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis ataupun diare.1,2,9
Toksin yang berperan adalah toksin A (enterotoksin) dengan aktivitas
sitotoksik lemah dan toksin B (sitotoksin) mengakibatkan perubahan kultur
jaringan. enterotoksin terutama bertanggung jawab pada gejala klinik yang
berhubungan dengan infeksi C. difficile tetapi memiliki efek sitotoksik lebih
lemah dibandingkan sitotoksin. Enterotoksin mengakibatkan sekresi cairan dan
kerusakan mukosa dengan akibat diare dan inflamasi. Toksin melekat dan
10
menyerang mukosa serta mikrofilamen dari sel mukosa dan kemudian
menghasilkan kontraksi sitoplasma, perdarahan, inflamasi, nekrosis sel dan
kehilangan protein. Toksin juga mengganggu sintesa protein, stimulasi
kemotaksis granulosit dan meningkatkan permeabilitas kapiler dan respon
mioelektrik usus serta mengganggu peristaltik. Kerusakan awal oleh toksin A
memungkinkan toksin B masuk ke dalam sel dan memungkinkan kedua toksin
menyebabkan trauma pada sel. Replikasi patogen, produksi toksin dan
pengerahan neutrofil mengakibatkan kerusakan dan apoptosis, nekrosis lokal dan
terbentuk pseudomembran.9
2.2.4.4 Diagnosis
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik, perlu
dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. C. difficile ditemukan di tinja 3-5%
orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di kolonnya. Menegakkan diagnosis kolitis
pseudomembran memerlukan kultur anaerob feses, pemeriksaan toksin kuman dan
kolonoskopi. Sebagai gold standard adalah ditemukannya toksin B (sitotoksin) pada
tinja, mengingat spesifisitasnya 94-100% dan sensitivitasnya 99%. Namun karena
memakan waktu lama dan mahal maka cukup dengan memeriksa terdapatnya toksin A
(enterotoksin) dengan metode ELISA.1,3
11
Pemeriksaan laboratorium non spesifik adalah ditemukan lekositosis
15.000/mm3 sampai 50.000/mm3, hipoalbumin dan lekosit pada feses. Pada
sebagian besar penderita kolitis pseudomembran yang dilakukan pemeriksaan
sigmoidoskopi fleksibel memberikan hasil positif diatas 90%, pada sebagian kecil
penderita jika penyakit terbatas pada proksimal kolon memerlukan pemeriksaan
kolonoskopi. Inspeksi langsung dengan endoskopi pada sebagian besar penderita
ditemukan mukosa kolon dan rektum tampak normal atau menunjukan inflamasi
ringan berupa berupa eritema, friability dan edema sampai menunjukkan kelainan
kolitis pseudomembran berupa plak pseudomembran dengan ukuran antara 2-5
mm dan seringkali bergabung menjadi bentuk besar berwarna putih kekuningan.
Pemeriksaan radiologi meliputi foto polos abdomen, barium enema dan CT scan
abdomen dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis kolitis pseudomembran.9
12
elektrolit, hipotensi dan protein loss dengan akibat hipoalbuminemia. Komplikasi
serius tapi jarang terjadi dari kolitis pseudomembran adalah kolitis fulminan
dengan toksik megakolon. Perforasi merupakan komplikasi yang mengakibatkan
kematian tertinggi. Mortality rate penderita kolitis pseudomembran 1,1-3,5%.3,9
2.2.4.5 Penatalaksanaan
Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga
menjadi penyebab, juga obat-obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik dan
antidiare), mencegah penyebaran nosokomial serta mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Pada kasus kolitis pseudomembran yang ringan, keadaan sudah
dapat diatasi dengan penghentian antibiotik penyebab dan rehidrasi cairan serta
elektrolit. Pada kasus-kasus dengan gejala yang lebih berat sebaiknya dilakukan
pemeriksaan toksin C. difficile dan mulai terapi spesifik dengan metronidazol atau
vankomisin.1,9
Terapi awal digunakan metronidazol dengan dosis peroral 250-500 mg empat
kali sehari selama 7-10 hari. Vankomisin digunakan sebagai second line therapy
dengan dosis per oral 125-500 mg empat kali sehari selama 7-14 hari. Alternatif
pengobatan lainnya adalah dengan kolestiramin untuk mengikat toksin yang
dihasilkan C. difficile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin sehingga diberikan
2 sampai 3 jam sebelum atau sesudah pemberian vancomycin. Kolestiramin
diberikan peroral dengan dosis 4 gram tiga kali sehari selama 5-10 hari. Dianjurkan
setelah pengobatan spesifik maka diberikan kuman Lactobacillus atau ragi
(Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu untuk menumbuhkan kembali
flora usus yang normal.1,9
Tindakan pembedahan diindikasikan pada penderiita yang tidak respon
dengan terapi medik atau kecurigaan perforasi kolon atau toksik megakolon.
Pembedahan diperlukan kurang lebih 0.4% kasus. Dua pertiga penderita dengan
toksik megakolon memerlukan tindakan pembedahan.9
2.2.5 Kolitis akibat Escherichia coli
2.2.5.1 Definisi
Kolitis akibat Escherichia coli adalah salah satu bentuk dari gastroenteritis
yang disebabkan oleh strain bakteri Escherichia coli (E.coli), yang menginfeksi
13
usus besar dan menghasilkan racun (toksin) yang secara tiba-tiba menyebabkan
diare berdarah atau tidak dan kadang-kadang dengan komplikasi lainnya yang
serius. Angka kejadiannya tidak diketahui pasti, namun bisa menyerang segala
usia.1,10
2.2.5.2 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya diare dan sindroma hemolitik uremik (SHU) akibat
infeksi E. coli belum jelas. Diduga E. coli patogen melekat pada mukosa dan
memproduksi toksin (Shiga like toxins) yang bekerja lokal dan sistemik.
Kerusakan pembuluh darah kolon akibat toksin tersebut menyebabkan
lipopolisakarida dan mediator inflamasi dapat beredar dalam tubuh dan memicu
terjadinya SHU.1
14
- gagal ginjal akut.
Pada beberapa penderita juga timbul kejang, stroke atau komplikasi lain
dari kerusakan saraf atau otak. Komplikasi ini terjadi pada minggu kedua dan
didahului oleh kenaikan suhu tubuh. SHU ini sering terjadi pada anak-anak di
bawah 5 tahun dan pada orang tua.10
Purpura trombositopenia mempunyai gejala mirip SHU namun gejala
gagal ginjal dan kelainan neurologik lebih ringan. Biasa ditemukan pada dewasa.1
2.2.5.4 Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejalanya. Untuk memperkuat
diagnosis dilakukan pemeriksaan contoh tinja terhadap E.coli. Contoh ini diambil
dalam waktu seminggu setelah gejala timbul. Pada pemeriksaan barium enema
dapat dilihat gambaran thumbprinting pattern pada kolon ascenden dan atau
transversum akibat edema dan perdarahan mukosa. Pada pemeriksaan
kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa edematous dan hiperemia, kadang-
kadang ditemukan ulserasi superfisial.1
2.2.5.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan berupa terapi suportif dan simtomatik. Yang terpenting
dalam pengobatan adalah minum cukup cairan untuk menggantikan cairan yang
telah hilang dan tetap memberikan makanan lunak. Antibiotik tidak
menghilangkan gejala, membunuh bakteri ataupun mencegah komplikasi.
Penderita dengan komplikasi sebaiknya dirawat secara intensif di rumah sakit.1,10
15
Indonesia belum dapat melakukan studi epidemiologi ini. Namun dari data
unit endoskopi beberapa Rumah sakit (RS) di Jakarta (RS Cipto Mangunkusumo,
RS Tebet, RS Siloam Glesnegles, RS Jakarta) didapatkan bahwa kasus IBD
terdapat pada 12,2% dari kasus yang dikirim karena diare kronik, 3,9% dari kasus
dengan diare kronik, berdarah dan nyeri perut serta 2,8% pada kasus dengan nyeri
perut.12
16
ditemukan mukosa eritem, edem dan mengalami granulasi. Pada stadium sedang
dan berat kolon tampak mengalami ulserasi, erosi, friability dan perdarahan
spontan.11,15
2.2.6.1.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan
tinja. Pada stadium ringan biasanya hasil laboratorium yang ditemukan normal.
Pada stadium sedang dan berat, pemeriksaan darah menunjukan adanya: 15
- anemia
- peningkatan jumlah sel darah putih
- peningkatan laju endap darah
- hipoalbuminemia.
17
Pemeriksaan tinja untuk melihat apakah terdapat sel darah putih pada tinja.
Selain itu, juga dapat mendeteksi perdarahan atau infeksi kolon karena bakteri,
virus dan parasit.13
Sigmoidoskopi (pemeriksaan sigmoid) atau kolonoskopi merupakan
metode paling akurat untuk menegakkan diagnosis kolitis ulseratif. Namun untuk
keadaaan akut digunakan sigmoidoskopi untuk mencegah resiko perforasi kolon.
Hal ini memungkinkan dokter untuk secara langsung mengamati beratnya
peradangan. Bahkan selama masa bebas gejalapun, usus jarang terlihat normal.
Sampel jaringan yang diambil untuk pemeriksaan mikroskopik menunjukan suatu
peradangan menahun.14,15
Barium enema dan kolonoskopi bertujuan untuk mengetahui penyebaran
penyakit dan untuk meyakinkan tidak adanya kanker. Peradangan usus besar
memiliki banyak penyebab selain kolitis ulseratif. Karena itu, dokter menentukan
apakah peradangan disebabkan oleh infeksi bakteri atau parasit. Sampel tinja yang
diperoleh selama pemeriksaan sigmoidoskopi diperiksa dibawah mikroskop dan
dibiakkan. Sampel darah dianalisa untuk menentukan apakah terdapat infeksi
parasit. Sampel jaringan diambil dari lapisan rektum dan diperiksa dibawah
mikroskop. Diperiksa apakah terdapat penyakit menular seksual pada rektum
(seperti gonore, virus herpes atau infeksi klamidia), terutama pada pria
homoseksual. Pada orang tua dengan aterosklerosis, peradangan bisa disebabkan
oleh aliran darah yang buruk ke usus besar. Kanker usus besar jarang
menyebabkan demam atau keluarnya nanah dari rektum, namun harus difikirkan
kanker sebagai kemungkinan penyebab diare berdarah.14,15
2.2.6.1.5 Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan kolitis ulseratif, yaitu:
1. Intestinal15
Toksik megakolon
Perforasi
Striktur
Perdarahan masif
kanker kolon
2. Ekstraintestinal14
18
Bila kolitis ulseratif menyebabkan kambuhnya
gejala usus, penderita juga mengalami:
- peradangan pada sendi (artritis)
- peradangan pada bagian putih mata (episkleritis)
- nodul kulit yang meradang (eritema nodosum)
- luka kulit biru-merah yang bernanah (pioderma gangrenosum).
Bila kolitis ulseratif tidak menyebabkan gejala usus,
penderita masih bisa mengalami:
- peradangan tulang belakang (spondilitis ankilosa)
- peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis)
- peradangan di dalam mata (uveitis).
Meskipun penderita kolitis ulseratif sering memiliki kelainan fungsi hati,
hanya sekitar 1-3% yang memiliki gejala penyakit hati ringan sampai berat.
Penyakit hati yang berat bisa berupa hepatitis menahun yang aktif, kolangitis
sklerosa primer dan sirosis.14
2.2.6.1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi
gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Obat-obatan yang
digunakan untuk kolitis ulseratif, yaitu:13,15
5-aminosalicyclic acid (5-ASA), seperti sulfasalazin, olsalazin, mesalamin
dan balsalazid digunakan untuk mengontrol inflamasi.
Kortikosteroid, seperti prednison, metilprednison dan hidrokortison
digunakan untuk mengurangi inflamasi.
Obat Imunosupresif, seperti azatioprin dan 6-merkapto purin (6-MP)
bermanfaat mengurangi inflamasi yang disebabkan reaksi imun. Digunakan
pada pasien yang tidak berspon terhadap 5-ASA atau kortikosteroid atau yang
tergantung pada kortikosteroid.
Obat-obat untuk mengurangi rasa sakit, diare atau infeksi dapat juga
diberikan.
Adapun indikasi pembedahan pada kolitis ulseratif jika terjadi keadaan
dibawah ini:11,13,15
19
Emergensi : perforasi kolon, perdarahan masif dan kolitis fulminan yang
gagal bersepon dengan terapi medis
Elektif : kanker kolon, penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh
sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.
2.2.6.1.2 Patofisiologi
Penyebab penyakit Crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan
perhatian pada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu kelainan fungsi sistim
pertahanan tubuh, infeksi dan makanan.17
Pada penyakit Crohn terjadi penebalan dan edem pada dinding usus yang
terkena. Terdapat lesi pada mukosa berupa ulkus yang besar, dalam, kadang-
kadang bergabung membentuk ulkus linear longitudinal dan transversal. Dasar
dari ulkus ini bisa penestrasi lebih dalam membentuk fisura pada lapisan
muskularis. Karakteristik dari penyakit Crohn adalah inflamasi transmural dan
granuloma non nekrosis. Oleh karena itu, penyakit Crohn dapat mengenai banyak
bagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus.11,15
20
Gambar 9. Penyakit Crohn16
2.2.6.1.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan
tinja. Biasanya ditemukan leukositosis dan trombositosis ringan, anemia dan
peningkatan laju endap darah. Hipoalbuminemia menunjukkan keadaan yang
berat dan kronik.15
Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit
Crohn. Penemuan khas pada pemeriksaan ini meliputi skip lesions, cobblestone
appearance dan penyempitan lumen usus (string sign) karena penebalan dan
edem pada dinding usus. Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan
kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) dan biopsi untuk memperkuat diagnosis.
21
CT scan bisa memperlihatkan perubahan di dinding usus dan menemukan adanya
abses, namun tidak digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan diagnostik
awal.15,17
2.2.6.1.5 Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan penyaki Crohn, yaitu:
1. Intestinal15
Perforasi
Striktur
Penyakit perirektal
kanker kolon
Defisiensi nutrisi
2. Ekstraintestinal17
Bila penyakit Crohn menyebabkan kambuhnya
gejala usus, penderita juga mengalami:
- peradangan pada sendi (artritis)
- peradangan pada bagian putih mata (episkleritis)
- nodul kulit yang meradang (eritema nodosum)
- luka kulit biru-merah yang bernanah (pioderma gangrenosum).
Bila penyakit Crohn tidak menyebabkan gejala
usus, penderita masih bisa mengalami:
- peradangan tulang belakang (spondilitis ankilosa)
- peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis)
- peradangan di dalam mata (uveitis).
2.2.6.1.6 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksanaan penyakit Crohn sama dengan kolitis
ulseratif. Obat-obatan yang digunakan untuk penyakit Crohn, yaitu:13,15
5-aminosalicyclic acid (5-ASA), seperti sulfasalazin, olsalazin, mesalamin
dan balsalazid digunakan untuk sadium penyakit ringan sampai sedang.
Kortikosteroid, seperti prednison, metilprednison dan hidrokortison
digunakan untuk sadium penyakit sedang sampai berat.
22
Obat Imunosupresif, seperti azatioprin and 6-merkapto purin (6-MP)
bermanfaat mengurangi inflamasi yang disebabkan reaksi imun.
Digunakan pada pasien yang tidak berspon terhadap 5-ASA atau
kortikosteroid atau yang tergantung pada kortikosteroid.
Antibiotik, seperti metronidazol dan siprofloksazin.
Agen biologik, seperti Infliximab (anti TNF α)
Nutrisi
Adapun indikasi pembedahan pada penyakit Crohn jika terjadi keadaan
dibawah ini:11,15,17
perforasi
striktur
penyakit perirektal berupa fistula dan abses.
23
Histopatologi
Kedalaman biasa terbatas pada mukosa Transmural
inflamasi dan submukosa, kecuali
kolitis fulminan
hanya pada kripta pada 20% dari biopsi
Granuloma stadium berat endoskopi
2.2.7.2 Patofisiologi
Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan menjadi kerusakan
akibat:18
24
Gejala kronik berupa hematoskezia, diare, kolik dan tenesmus. Terjadi
dalam 2 tahun pasca radiasi, umumnya 6-9 bulan setelah terapi radiasi
selesai.
2.2.7.4 Diagnosis
Diagnosis kolitis iskemik ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan endoskopi saluran cerna dan pemeriksaan histopatologi. Jika endoskopi sulit
dilakukan, dilakukan pemeriksaan dengan barium enema. Pada pemeriksaan
kolonoskopi ditemukan gambaran telengiektasis, edema, striktur, fistula, mukosa
yang kaku serta mudah berdarah.18
Kolitis radiasi dibagi menjadi 4 derajat menurut Kottmeimer (1964):18
Derajat I : Keluhan ringan disertai kelainan mukosa ringan
Derajat II : Diare disertai mukus dan darah. Pada kolonoskopi
didapatkan jaringan nekrosis, ulkus atau stenosis sedang.
Derajat III : Stenosis rektum berat sehingga memerlukan kolostomi
Derajat IV : Terdapat fistula
2.2.7.5 Penatalaksanaan
Pada umumnya terapi dimulai pemberian steroid enema,
sulfasalazin/mesalazin dan sukralfat enema. Pada pasien dengan kerusakan berat
umumnya memerlukan pembedahan karena perdarahan yang tidak dapat
dikendalikan, striktur dan fistula.18
2.2.8.2 Patofisiologi
Kolitis iskemik dapat disebabkan karena aliran sistemik yang kurang atau
faktor lokal berupa vasokonstriksi pembuluh darah usus dan trombus. Sehingga
penyebab kolitis iskemik dibedakan atas oklusif dan non oklusif. Pada banyak
kasus, penyebab non spesifik banyak ditemukan. 19,20
25
Kolon didarahi oleh A. Mesenterika superior dan A. Mesenterika inferior.
Terbentuk kolateral dari hubungan kedua arteri ini. Namun fleksura splenikus dan
kolon ascenden memiliki sedikit kolateral dari kedua arteri ini sehingga iskemia
lebih mudah terjadi pada daerah ini. Sedangkan rektum mendapat suplai darah
dari A. Mesenterika inferior & A. Iliaka interna sehingga pada rektum jarang
terjadi iskemia.19
26
2.2.8.3 Gejala klinis
Gejala klinis kolitis iskemik tergantung pada beratnya iskemia. Gejala-
gejala yang dapat ditemukan meliputi:19
Nyeri perut (78%), paling umum ditemukan sebagai gejala awal
Perdarahan saluran cerna bawah (62%)
Diare (38%)
Demam lebih tinggi dari 38oC (34%)
Secara umum fase kolitis iskemik progresif dibagi 3, yaitu:19
1. Fase hiperaktif, ditandainyeri perut dan BAB berdarah
2. Fase paralitik, terjadi jika iskemia berlanjut. Pada fase ini neri
perut meluas dan lebih nyeri jika disentuh, motilitas usus berkurang,
kembung, bunyi bising usus berkurang sampai tidak ada.
3. Fase syok, akibat perforasi kolon.
2.2.8.4 Diagnosis
Diagnosis kolitis iskemik ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Hasil laboratorium menunjukkan leukositosis
(>15.000/mm3) dan penurunan kadar bikarbonat <24 mmol/L. Endoskopi berupa
kolonoskopi atau fleksibel sigmiodoskopi merupakan prosedur pilihan jika
diagnosis masih belum jelas. Biopsi melalui endoskopi bermanfaat menyediakan
lebih banyak informasi. Visible light spectroscopic catheter ditempatkan di usus
menggunakan endoskopi, berguna untuk menganalisis kadar oksigen. Spesifitas
alat ini 90% atau lebih untuk iskemia kolon akut dan 83% untuk iskemia
mesenterika kronik.19,20
2.2.8.5 Komplikasi
Komplikasi kolitis iskemik berupa sepsis, gangren intestinal, perforasi
kolon dan striktur.19
2.2.8.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolitis iskemik berupa terapi suportif, yaitu:19,20
IVFD (Intravenous fluid drift) untuk mengatasi dehidrasi.
Puasa
27
Antibiotik
Analgesik
Pembedahan dilakukan jika leukositosis berat, demam serta nyeri perut
dan perdarahan yang bertambah.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
1. Kolitis dapat diklasifikasikan menjadi kolitis infeksi dan non infeksi.
2. Kolitis infektif terdiri dari kolitis amebik, shigelosis, kolitis tuberkulosa,
kolitis pseudomembran dan kolitis oleh parasit serta bakteri lain seperti E.
coli.
3. Kolitis noninfektif antara lain berupa kolitis ulseratif, penyakit Crohn,
kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, maupun kolitis
nonspesifik.
4. Pemeriksaan endoskopi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
masing-masing kolitis.
3.2 Saran
1. Perlu dilakukan evaluasi pada pasien kolitis agar tidak terjadi
komplikasi-komplikasi yang serius.
2. Perlu dilaksanakan penelitian epidemiologi mengenai insidensi dari
berbagai macam kolitis di Indonesia.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
with Chronic Diarrhea : Role of Intubation Biopsy;
http://www.psmid.oiy.ph/vol27/vol27numltopics.pdf [Diakses tanggal 7
April 2009]
8. Aditama TY, dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis
di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.
9. Theresia E. Kolitis Pseudomembran; http://health.dir.groups.yahoo.com
[Diakses tanggal 7 April 2009]
10. Kolitis Hemoragika; http://medicastore.com [Diakses tanggal 7 April
2009]
11. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollack
RE. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th Edition. 1076-81
12. Djojoningrat D. Inflamatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I
dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 384-8
13. The National Digestive Diseases Information Clearinghouse (NDDIC).
Ulcerative Colitis 2006; http://digestive.niddk.nih.gov [Diakses tanggal 7
April 2009]
14. Kolitis Ulseratif; http://medicastore.com [Diakses tanggal 7 April 2009]
15. Judge TA, Lichentenstein. Inflamatory Bowel Disease. In: Friedman SL,
McQuaid KR, Grendell JH (ed). Current Diagnosis & Treatment in
Gastroenterology. 2nd Edition. Singapore: McGraw Hill, 2003. 108-30
16. Geboes K, Jouret A. Macroscopy and Microscopy the Inflamatory Bowel
Disease (IBD); http://documents.irevues.inist.fr/bitstream [Diakses tanggal
7 April 2009]
17. Penyakit Crohn (Enteritis Regionalis, Ileitis Granulomatosa, Ileokolitis);
http://medicastore.com [Diakses tanggal 7 April 2009]
18. Makmun D. Kolitis radiasi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I
dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 379
19. Ischemic Colitis; http//www.wikipedia.org [Diakses tanggal 7 April 2009]
30
20. Rasyad SB. Penyakit Vaskular Mesenterika. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI,2007.400-1
21. Salaru, G, Shen E. Ischemic Colitis; http//pleiad.umdnj.edu [Diakses
tanggal 7 April 2009]
31