Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

Disusun oleh :

Ghandis Wulandari Subiyanto

5C

1711020129

PRODI KEPERAWATAN S1

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAN PURWOKERTO

2019
A. Pengertian
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto,
2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000)
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik (anonim, 2008)
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi otak
secara periodik yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan listrik secara
berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba sehingga penerimaan
dan pengiriman impuls antara bagian otak dan dari otak ke bagian tubuh terganggu
(Mutiawati, 2008)
Epilepsi atau yang sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan sistem
saraf pusat yang disebabkan karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf secara
berulang-ulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik dan
mental, dengan atau tanpa kejang-kejang (Ramali, 2005 : 114)
Menurut Harsono )2007 : 4) Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf
pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang
bersifat spontan dan berkala
Epilepsi merupaka gangguan kejang kronis dengan serangan yang berulang
dan tanpa di provokasi (Wong, 2009)
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan
gangguan yang menyerang sistem saraf pusat karena lepasnya muatan listrik yang
berlebihan dan abnormal dari sel-sel saraf otak yang bersifat spontan dan berkala
ditandai dengan kejang kronik dan serangan yang berulang.

B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik).
Epilepsi terjadi pada :
a) Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
b) Cedera kepala, infeksi sistem syaraf
c) Keracunan CO2, Intoksikasi obat/alkohol
d) Demam, gangguan metabolik (Hipoglikemia, Hipokalsemia, Hiponatremia)
e) Tumor otak
f) Kelainan pembuluh darah
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama,
ialah epilepsi idopatik, remote symptomatic epilepsy (RSE), epilepsi simtomatik akut,
dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau
antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi
idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang
berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak
yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan
defisit neurologik yang jelas. Sementara itu, dipandang dari kemungkinan terjadinya
bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat
awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12
bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit
neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah
75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan
pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko
40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang.
Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian
besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain:
a) Epilepsi Grand Mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik
yang berlebihan dari neuron diseluruh area otak-di korteks, di bagian
dalam serebrum, dan bahkan di batang otak dan talamus. Kejang grand
mal berlangsung selama 3 atau 4 menit.
b) Epilepsi Petit Mal
Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar
atau penurunan kesadaran selama 3 sampai 30 detik, di mana selama waktu
serangan ini penderita merasakan beberapa kontraksi otot seperti sentakan
(twitch- like),biasanya di daerah kepala, terutama pengedipan mata.
c) Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regio
setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada
serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal disebabkan oleh resi organik
setempat atau adanya kelainan fungsional.

Menurut Wong (2009) Penyebab pasti epilepsi masih belum diketahui


(idiopatik) dan masih menjadi banyak spekulasi. Predisposisi yang mungkin
menyebabkan epilepsi meliputi:

a) Pasca trauma kelahiran


b) Riwayat bayi dan ibu menggunakan obat antikolvusan yang digunakan
sepanjang hamil
c) Asfiksia neonatorum
d) Riwayat ibu-ibu yang memiliki resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan,
diabetes atau hipertensi)
e) Pasca cidera kepala
C. Tanda dan Gejala

Karena ayan disebabkan oleh aktivitas abnormal di otak, kejang dapat


memengaruhi proses apa pun yang diatur oleh otak Anda. Dalam banyak kasus, gejala
epilepsi berlangsung secara spontan dan singkat. Beberapa tanda dan gejala epilepsi
adalah :

a) Mata kosong (bengong) menatap satu titik terlalu lama


b) Gerakan menyentak tak terkendali pada tangan dan kaki
c) Hilang kesadaran sepenuhnya atau sementara
d) Gejala psikis
e) Kekakuan otot
f) Gemetar atau kejang, pada sebagian anggota tubuh (wajah, lengan, kaki) atau
keseluruhan
g) Kejang yang diikuti oleh tubuh menegang dan hilang kesadaran secara tiba-tiba,
yang bisa menyebabkan orang tersebut tiba-tiba terjatuh
h) Kebingungan sementara

Kemungkinan ada tanda-tanda dan gejala epilepsi yang tidak disebutkan di


atas. Bila Anda memiliki kekhawatiran akan sebuah gejala epilepsi tertentu, segera
konsultasikanlah dengan dokter Anda.

Terlebih, gejala kejang karena ayan bervariasi pada setiap orang. Beberapa
orang mungkin mengalami gerakan berulang yang terjadi secara cepat, mendadak, dan
berulang tanpa bisa dikendalikan serta kehilangan kesadaran sesaat. Gejala kejang
ayan ini disebut sebagai penyakit epilepsi umum. Dalam beberapa kasus, seseorang
juga dapat mengalami kehilangan kesadaran secara mendadak, kekakuan tubuh dan
gemetar, dan kadang-kadang kehilangan kontrol kandung kemih atau menggigit
lidahnya.

Beberapa orang lainnya mungkin hanya memiliki tatapan kosong seperti


sedang bengong sesaat, padahal itu adalah kejang. Kondisi ini disebut epilepsi parsial
alias sebagian. Beberapa orang juga menunjukkan gejala gerakan berulang, seperti
menggosok tangan, mengunyah, menelan, atau berjalan berputar-putar.

Pada beberapa orang lainnya, gejala kejang epilepsi sering disalahartikan


sebagai gangguan saraf lainnya seperti migrain, narkolepsi, atau penyakit mental.
Seseorang dengan kondisi ini masih merasakan sadar dan kemudian mengalami cemas
atau perubahan emosi secara tiba-tiba. Kemudian kondisi ini dapat berkembang
menjadi epilepsi parsial komplek yang membuat penderitanya hilang kesadaran atau
bengong dalam beberapa detik.
D. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron.
Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf
yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat
yang dinamakan neurotransmiter. Asetikolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter
eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen.
Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-
neron disekitarnya dan demikian setersnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak
dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan
terlihat kejang yang bermula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian
tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari
belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansis retikularis dan inti pada talamus yang seanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga
sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium
ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak diluar membrane sel itu masuk
ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang
mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeotasis
kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Ditingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA)
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas
muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik.
Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan.
Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (css) selama dan setelah kejang.
Asam glutamat mungkin mengahalangi deplesi (proses berkurangnya cairan atau
darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh
kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
E. Penatalaksanaan Medis
Prinsip terapi epilepsi :
a) Pemilihan obat, disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping, interna atas-
OAE (0bat Anti Epilepsi), dan harga obat
b) Strategi pengobatan, dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis,
kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/didapat hasil yang
optimal dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan
tidak teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini jedua sebelum pemberian
politerapi
c) Konseling, beritahukan pada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka
lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen (meskipun penyebab
dasar kejang dapat menimbulkan keadaan demikian) dan pencegahan kejang 1-2
tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat atau
dosis harus sepengetahuan dokter
d) Tindak lanjut, periksa pasien secara berkala dan awasi adanya toksisitas OAE.
Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan secara periodik pada
beberapa OAE. Penting juga dilakukan evaluasi ulang fungsi neurologis secara
rutin
e) Penanganan jangka panjang, teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas
bangkitan sekurang-kurangnya 1-2 tahun
f) Penghentian pengobatan, dilakukan secara bertahap. Jika penghentian pengobatan
dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat karena dpat
mencetuskan bangkitan atau bahkan status epileptikus. Jika bangkitan timbul
selama atau sesudah penghentian pengoabatan, OAE harus diberikan lagi
sekurang-kurangnya 1-2 tahun
Untuk keberhasilan pengobatan epilepsi, disamping ketepatan diagnosa dan
jenis OAE, diperlukan juga kepatuhan, sikap dan pengetahuan penderita
menghadapi penyakit epilepsi
Memulai pengobatan :
a) Pengobatan OAE dapat dimulai bila terjadi kedua kali bangkitan dalam selang
waktu yang tidak lama (maksimal 1 tahun)
b) Pada umumnya bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE, kecuali bila
terdapat kemungkinan berulang yang tinggi
c) Bangkitan parsial sederhana tipe sensorik / psikis biasanya tidak perlu OAE,
kecuali mengganggu penderita
Obat-obat untuk Epilepsi :Karbamezepin, Fenitonin, Benzodiazepin,
Klonazepam, Fenorbital, Valporat

F. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Beberapa hal yang dapat kita tanyakan antara lain:
a) Lama serangan yang dialami.
b) Jenis serangan yang dialami seperti apa.
c) Riwayat penyakit sistemik atau SSP seperti keganasan, infeksi,
kelainan metabolik, keracunan, putus alkohol, dan banyak kondisi lain
yang memberikan petunjuk penyebab terjadinya kejang.
d) Riwayat putus obat atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan.
e) Riwayat trauma kepala.2
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Dapat kita tanyakan penyakit-penyakit yang di derita pasien terdahulu
yang dapat menunjang diagnosis. Yang ditanyakan antara lain apakah terdapat
riwayat kejang berulang, kejang demam pada masa anak-anak, cedera kepala,
infeksi SSP, stroke, penyakit jantung, dilaporkan pernah kehilangan
kesadaran, episode inkontinensia, aktivitas kejang yang disaksikan oleh orang
lain, riwayat kecelakaan kendaraan bermotor atau cedera yang tidak dapat
diterangkan lainnya.3
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Kita tanyakan apakah terdapat riwayat keluarga menderita kejang positif,
infeksi SSP, stroke, dan penyakit jantung
d. Riwayat Sosial
Apakah pasien merokok atau pernah merokok? Bagaimana konsumsi alkohol
pasien? Apa pekerjaan pasien? Bagaimana kemampuan olahraga pasien?
Adakah keterbatasan gaya hidup akibat penyakit?
e. Obat-Obatan
Tanyakan obat-obatan yang telah dikonsumsi pasien.
Beberapa hal yang kita nilai dari pemeriksaan fisik antara lain:
a. Keadaan umum pasien, apakah terlihat sakit ringan, sedang, ataupun berat.
Hal ini untuk menentukan penatalaksanaan pada pasien tersebut. Pada
skenario pasien tidak sadarkan diri.
b. Tanda-tanda vital, untuk menilai jika terdapat penurunan ataupun peningkatan
nilai normal keadaan pasien yang dapat bermakna patologis. Yang dinilai
antara lain tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan. Dari kasus kita dapatkan
data sebagai berikut: tekanan darah 130/70 mmHg, suhu 36,60C, nafas
19x/menit, nadi 88x/menit.
c. Pemeriksaan kulit untuk melihat apakah didapati tanda trauma, bekas
suntikan, berkeringat, kering, dll.
d. Pemeriksaan kepala untuk melihat adanya tanda trauma, perdarahan hidung
dan telinga.
e. Pemeriksaan thorax, jantung, paru, ekstremitas serta pupil dan gerakan mata.
f. Pemeriksaan fisik neurologis yang meliputi:
a) Kesadaran
b) Tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, Bruczinsky, Lasegue’ sign,
Kernig’s sign).
c) Saraf kranialis (N. I – N. XII).
d) Motorik (inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerakan pasif, pemeriksaan
gerakan aktif).
e) Sensorik (nyeri, raba, suhu, posisi, gerak, getar).
f) Koordinasi
g) Status mental/kognitif (atensi, orientasi, bahasa, daya ingat, fungsi
lobus frontalis, neglect, praxis.
2. Diagnosa
a. Risiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan)
b. ketidakefektifan pola nafas b.d dispnea dan apnea
c. intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
d. gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
e. risiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
f. ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d sumbatan lidah di endotrakea,
pengingkatan sekresi saliva
g. isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
G. Rencana Keperawatan
1) Risiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan)
Tujuan : klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk
klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Intervensi :
- Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan risiko terjadinya
jatuh
- Pantau status neurologis setiap 8 jam
- Jauhkan benda-benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera
pada pasien saat terjadi kejang
- Pasang penghalang tempat tidur pasien
- Letakkan pasien ditempat yang rendah dan datar
- Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
- Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah
saat terjadi kejang
- Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak bisa dialami beberapa
saat sebelum kejang
- Berikan obat anti konvulsan sesuai advicc dokter
- Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang
tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai
permulaan terjadinya kejang
- Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus
dilakukan selama pasien kejang
Rasional :
- Barang-barang disekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi
kejang
- Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang
diharapkan
- Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat akivitas kejang yang
tidak terkontrol
- Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
- Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada
pasien
- Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan
terjadi kejang kembali
- Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
- Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang
pada pasien mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang
dapat mengurangi suplai oksigen ke otak
- Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan
sebelum terjadi kejang berkelanjutan
- Melibatkan keluarga untuk mengurangi risiko cedera
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d sumbatan lidah di endotrakea,
penginkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20x/menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada
dispnea
Intervensi :
- Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu /
gigi palsu atau alatyang lain jika fase aura terjadi dan untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai
gejala awal
- Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar
- Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
- Melakukan suction sesuai indikasi
- Berikan oksigen sesuai program terapi
Rasional :
- Menurunkan risiko aspirasi atau masuknya sesuatu enda asing ke
faring
- Meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan
menyumbat jalan nafas
- Untuk memfasilitasi usaha bernafas /ekspansi dada
- Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan risiko aspirasi atau
asfiksia
- Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat
menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama
serangan kejang.
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan : mengurangi rendah diri pasien dan keluarga
Kriteria hasil :
- Adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- Menunjukan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat

Intervensi :

- Identifikasi denga pasien, faktor-faktor yang berpengaruh pada perasaan


isolasi sosial pasien

- Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien

- Kolaborasi dengan tim psikiter

- Rujuakn pasien/orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan


epilepsi dan sebagainya

- Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien

- Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit
epilepsi tidak menular

Rasional :

- Memberi informasi pada perawat tentang faktor yang menyebabkan isolasi


sosial pasien
- Dukunga psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
- Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri
sendiri
- Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide
untuk mengatasi masalah dari oranglain yang telah mempunyai pengalaman
yang sama
- Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar
dalam keadaan psikologis pasien
- Menghiangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit
epilepsi tidak dapat menular)
Daftar Pustaka

Ariani, Tutu April.2012.Sistem Neurobihavior.Jakarta: Salemba Medika

Arif, Mansjoer, dkk, 2000 . Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. FKUI, Jakarta: Medica
Aesculpalus

Gunardi, Hartono.2011.Buku Kumpulan Tips Pediatri. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia

Markam, Sumarmo.2009.Penuntun Neurologi.Tangerang Selatan: Binarupa


Aksara

Meadow R dan Simon N.2006. Lecture Notes PEDIATRIKA.7th ed. Jakarta:


Erlangga.

Muttaqin, Arif.2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan.Jakarta: Salemba Medika
Ariani, Tutu April.2012.Sistem Neurobihavior.Jakarta: Salemba Medika

Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
InfoMedika

Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Sagung Seto.

Widagdo.2012.Tatalaksana Masalah Penyakit Anak Dengan Kejang.Jakarta:


Sagung Seto

Wilkinson, Judith M.2011.Buku saku diagnosa keperawatan: diagnosis


NANDA,intervensi NIC,Kriteria hasil: NOC;alih bahasa, Esty
Wahyuningsih; editor bahasa Indonesia, Dwi Widarti.Edisi 9.Jakarta:EGC

Wong, Donna L.2009. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik/ Donna L. Wong;


alih bahasa, Dr. Andry Hartono; editor edisi bahasa Indonesia, Sari
Kurnianingsih. Edisi 6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai