Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Onikomikosis adalah setiap infeksi kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita,
nondermatofita, atau ragi (yeast).1-3 Prevalensi onikomikosis di Eropa dan Amerika Utara
berkisar antara 3-22% dan meningkat pada pasien berusia lanjut. 4 Kasus onikomikosis di
Indonesia tidak sebanyak yang ditemukan di Eropa dan Amerika Utara. 5 Angka kejadian
onikomikosis di Indonesia sendiri belum terdata dengan baik, di RSUP Dr Kariadi dari tahun
1994-98 didapati pada 0,1% seluruh pasien baru. 6 Dermatofita, yakni Trichopyton rubrum,
Trichopyton mentagrophytes dan Epidermophyton, merupakan penyebab utama
onikomikosis di Eropa dan Amerika Utara, sedangkan di Indonesia penyebab terbanyak
adalah spesies Candida.7,8
Patogenesis onikomikosis diawali dengan masuknya fungi lewat permukaan lempeng
kuku, celah lipat kuku lateral, dan proksimal serta hiponikium. Setelah terjadi perlekatan awal,
selanjutnya jamur mengalami pertumbuhan, germinisasi, dan penetrasi pada jaringan kuku.
Penetrasi fungi pada lempeng kuku mulai dari ventral sampai bantalan kuku (nail bed).
Seluruh lapisan kuku terpenetrasi oleh fungi, lebih banyak pada rongga interselular. Kondisi
ini secara bertahap akan menyebabkan kuku menjadi rusak. 1,7
Baran dan kawan-kawan membagi onikomikosis menjadi lima bentuk klinis, yaitu
onikomikosis subungual distal-lateral (OSDL), onikomikosis putih superfisial (OPS)
(superficial white onychomycosis), onikomikosis subungual proksimal (OSP), onikomikosis
endoniks (OE), dan onikomikosis distrofik total (ODT). 9 Sedangkan pada onikomikosis yang
disebabkan oleh Candida terdapat tiga manifestasi klinis utama. Manifestasi tersering adalah
onikolisis (OSDL) yang berhubungan dengan paronikia. Destruksi lengkap lempeng kuku
dapat ditemui pada beberapa pasien dengan kandidosis mukokutan kronik. Selain keadaan
ini, erosi (OSDL) lempeng kuku distal dan lateral yang biasanya tidak berlanjut menjadi
distrofi total juga dihubungkan dengan invasi Candida terhadap kuku.8,10
Elemen kunci dalam penegakkan diagnosis onikomikosis adalah pengumpulan
spesimen kuku yang adekuat, pemrosesan yang benar, dan interpretasi hasil mikroskopik dan
kultur yang teliti.11
Tujuan akhir pengobatan onikomikosis adalah penyembuhan mikologik dan penampilan kuku
yang kembali normal.9,12 Baik obat topikal maupun oral saat ini tersedia untuk terapi
onikomikosis, namun demikian terapi sistemik hampir selalu memberikan hasil akhir yang
lebih baik daripada terapi topikal.12 Akan tetapi, walaupun farmakoterapi untuk onikomikosis
telah mengalami kemajuan pesat, pengamatan menunjukkan bahwa angka kegagalan terapi
mencapai 20% (kadang-kadang 20-50%) untuk obat antijamur yang baru. 4 Beberapa
penelitian terkini menunjukkan bahwa terapi kombinasi merupakan suatu cara untuk
mempercepat waktu penyembuhan dan meningkatkan angka kesembuhan. 13 Terapi
kombinasi dapat dilakukan secara sekuensial atau paralel. Terapi paralel dianjurkan untuk
pasien yang kemungkinan akan gagal terapi (misalnya: pasien diabetes), sedangkan terapi
sekuensial dianjurkan untuk pasien yang memperlihatkan respons kurang memuaskan pada
terapi awal.12,13
Pengangkatan kuku yang sakit sebanyak mungkin oleh spesialis kulit atau podiatrist
dapat menolong, tetapi hanya sebagai tambahan pada terapi antijamur oral atau topikal. Hal
ini merupakan pendekatan logis untuk mengeradikasi patogen penyakit dari kuku lateral dan
dari kantung atau kanal onikolitik pada permukaan bawah kuku, yang kadang terisi keratin
nekrotik dan sejumlah besar jamur (dermatofitoma). Faktor-faktor ini sering kali berperan
pada kegagalan terapi antijamur sistemik.9 Sebagaimana pada kasus infeksi kuku oleh
dermatofita, pencabutan lempeng kuku juga bermanfaat dalam terapi onikomikosis yang
disebabkan oleh ragi dan kapang nondermatofita.9

KASUS
Seorang perempuan berusia 18 tahun, datang ke Klinik Kulit dan Kelamin RS. R.
Kariadi (RSDK) dengan keluhan utama kuku ibu jari, jari tengah dan jari manis tangan kanan
serta ibu jari dan jari tengah tangan kiri berlekuk-lekuk, berubah warna menjadi putih
kekuningan, dan tepi bebasnya sebagian rusak.

1
Dari anamnesis diketahui bahwa keluhan tersebut sudah berlangsung sejak 6 bulan
yang lalu. Mula-mula timbul bercak putih tipis pada distal kuku jari tengah kanan dan kiri yang
makin meluas ke arah lateral dan proksimal. Semakin lama kuku tampak suram, berlekuk-
lekuk, dan bagian tepinya pecah-pecah (rusak). Keadaan ini meluas dan mengenai kuku ibu
jari kedua tangan. Ujung jari-jari tersebut juga bengkak dan pernah mengeluarkan nanah dan
nyeri, namun saat ini nyeri sudah tidak dirasakan lagi. Kulit di sekitar kuku saat ini tidak lagi
bengkak atau kemerahan. Keluhan gatal disangkal. Pasien baru pertama kali sakit seperti ini
dan belum pernah berobat ke dokter. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan
pekerjaan utama mencuci pakaian dan membersihkan rumah.
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum dan gizi baik, BB 58 kg, TB 159cm.
Pemeriksaan fisis dalam batas normal.
Pada kuku ibu jari, jari tengah dan jari manis tangan kanan serta kuku ibu jari dan jari
tengah tangan kiri tampak perubahan warna (discoloration), kuku berlekuk-lekuk transversal,
sebagian terangkat (onycholysis) dengan debris subungual, juga dijumpai kerusakan
(onychodystrophy) pada tepi lateral dan distal kuku.
Hasil pemeriksaan laboratorium rutin dalam batas normal. Pada pemeriksaan
sediaan langsung kerokan dari kelima kuku jari tangan yang sakit dengan KOH 20% tampak
pseudohifa dan sel ragi. Pada kultur lesi kuku didapatkan pertumbuhan koloni spesies
Candida. Pemeriksaan germ tube memberikan hasil yang menyokong spesies Candida
albicans.
Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang yang meliputi
sediaan langsung dengan KOH 20%, kultur dan uji germ tube, ditegakkan diagnosis
onikomikosis subungual disto-lateral (OSDL) dengan etiologi Candida albicans.
Penatalaksanaan kasus ini dilakukan secara sekuensial, dimulai dengan pemberian
terapi denyut itrakonasol 2 x 200 mg per hari secara oral, tujuh hari setiap bulan selama dua
bulan. Pengamatan pada bulan ketiga menunjukkan perbaikan klinis pada kuku jari tengah
tangan kiri dan kedua ibu jari, namun kuku jari tengah dan jari manis tangan kanan belum
memberikan perbaikan berarti. Untuk kuku kedua jari ini dilakukan pencabutan kuku dengan
anestesi lokal, dilanjutkan dengan pengolesan krim ketokonazol tiga kali sehari pada dasar
kuku (yang lempeng kukunya telah dicabut). Pasien ini kemudian diberikan itrakonazol 2 x
200 mg/hari per-oral selama tujuh hari untuk denyut ketiga. Pengamatan dilanjutkan setiap
dua minggu sekali. Pada akhir bulan keenam tampak perbaikan klinis pada semua kuku yang
sakit. Pada pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 20% tidak didapati elemen jamur
dan hasil kultur negatif.

DISKUSI
Diagnosis onikomikosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gambaran klinis, dan pemeriksaan laboratorium.
Onikomikosis merupakan penyakit kuku yang paling sering. 9 Frekuensi onikomikosis
meningkat karena peningkatan risiko terkena infeksi dan semakin banyaknya kasus yang
dapat dideteksi.14 Prevalensi onikomikosis meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.
Penyakit ini jarang dijumpai pada anak-anak (0,2-0,44%), umum dijumpai pada dewasa
muda, dan lebih sering pada usia lanjut. 9 Data dari proyek Achilles di Asia Tenggara
menunjukkan bahwa onikomikosis lebih banyak diderita wanita (43%) daripada pria (39%). 15
Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya onikomikosis serupa dengan
penyakit jamur superfisial lainnya, yakni kelembaban yang tinggi, oklusi, trauma berulang
pada kuku, dan penurunan imunitas. Gaya hidup tertentu, misalnya penggunaan kaos kaki
dan sepatu tertutup terus menerus, olah raga berlebihan, serta penggunaan tempat mandi
umum akan memudahkan terjadinya onikomikosis.8
Kasus yang dilaporkan ini adalah seorang wanita berusia 18 tahun, bekerja sebagai
pembantu rumah tangga dengan tugas utama mencuci pakaian dan membersihkan rumah.
Pekerjaan ini patut diduga berhubungan erat dengan kelembaban yang tinggi, trauma
berulang pada kuku, dan lingkungan kerja yang basah.
Keluhan utama pasien datang berobat adalah kuku ibu jari, jari tengah dan jari manis
tangan kanan serta ibu jari dan jari tengah tangan kiri berlekuk-lekuk, berubah warna menjadi
putih kekuningan, dan tepi bebasnya sebagian rusak. Hal ini sesuai dengan kepustakaan

2
yang menyatakan adanya perubahan warna kuku menjadi putih suram atau keperakan pada
awal penyakit yang akhirnya menjadi kekuningan dan kecoklatan. 1,10 Ujung jari tengah dan
jari manis tangan kanan pernah mengalami pembengkakan, mengeluarkan nanah, dan nyeri,
namun saat ini pembengkakan sudah tidak dijumpai dan nyeri tidak dirasakan lagi. Paronikia
Candida sering dijumpai pada individu yang tangannya berhubungan erat dan lama dengan
pekerjaan yang lembab (misalnya: pembantu rumah tangga, tukang roti, nelayan, dan
bartender). Umumnya dijumpai kemerahan, bengkak, dan nyeri pada daerah paronikia
dengan gambaran utama retraksi kutikula ke arah lipatan kuku proksimal. Kadang-kadang,
keluar pus pada penekanan.16
Perubahan kuku pada onikomikosis Candida berupa onikolisis dan garis lekuk
transversal pada lempeng kuku (Beau’s lines) dengan perubahan warna kehijauan atau
kecoklatan sepanjang tepi lateral.16 Manifestasi klinis onikomikosis Candida dapat dibedakan
dalam 3 kategori, yakni (1) dimulai sebagai paronikia yang kemudian menginvasi matriks
sehingga memberikan gambaran klinis depresi transversal kuku, kuku menjadi cekung, kasar,
dan akhirnya distrofik. (2) Pada kandidosis mukokutan kronik, Candida langsung menginvasi
lempeng kuku sehingga baru pada stadium lanjut tampak sebagai pembengkakan lipat kuku
proksimal dan lateral yang membentuk gambaran pseudoclubbing atau chicken drumstick. (3)
Invasi pada kuku yang telah onikolisis, terutama terjadi pada tangan, tampak sebagai
hiperkeratosis subungual dengan massa abu-abu kekuningan di bawahnya, mirip
onikomikosis subungual distal.8,10
Pada kasus ini dijumpai kuku ibu jari, jari tengah dan jari manis tangan kanan serta
kuku ibu jari dan jari tengah tangan kiri mengalami perubahan warna (discoloration) ke arah
kuning kecoklatan, kuku berlekuk transversal, sebagian terangkat (onycholysis) dengan
debris subungual, juga dijumpai kerusakan (onychodystrophy) pada tepi lateral dan distal
kuku. Tanda klinis ini sering dijumpai pada onikomikosis. 8-10,16
Pada pemeriksaan preparat langsung dengan KOH 20% dijumpai pseudohifa dan sel
ragi. Kultur spesimen lesi pada agar Sabouraud memperlihatkan koloni berwarna putih-krem,
licin, sesuai dengan gambaran koloni ragi. Uji germ tube pada spesimen yang diambil dari
koloni menyokong spesies Candida albicans. Gambaran khas spesies Candida pada sediaan
segar adalah adanya hifa dan pseudohifa (bentuk miselia) dengan cabang dan penyempitan
pada septa dan tampak blastospora oval dekat septa. 17 Koloni Candida berwarna putih-krem,
seperti bubur, dan licin. Spesies Candida albicans dapat diidentifikasi karena kemampuan
khasnya untuk menghasilkan germ tubes ketika isolat digabungkan dengan serum dan
dieramkan selama 2-3 jam pada suhu 35oC.17,18 Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan
histopatologik karena pemeriksaan laboratorium penunjang sudah cukup untuk penegakkan
diagnosis.
Pengetahuan mengenai farmakokinetik obat dalam hal penetrasi dan ketersediaan-
hayati obat dalam kuku, serta spektrum aksi obat sangat diperlukan untuk menentukan
pilihan obat.8 Penatalaksanaan onikomikosis telah berubah dari pencabutan kuku ke
farmakoterapi dengan cat kuku dan agen antijamur oral. 4 Dengan tersedianya antijamur
sistemik baru, jika terapi dilakukan dini, kesembuhan paripurna dimungkinkan. Akan tetapi,
biaya yang dibutuhkan untuk antijamur sistemik baru ini jauh lebih tinggi daripada terapi
tradisional.4 Penelitian terkini menunjukkan bahwa terapi kombinasi merupakan suatu cara
untuk mempercepat waktu penyembuhan dan meningkatkan angka kesembuhan. Terapi
kombinasi dapat dilakukan secara sekuensial atau paralel. Terapi paralel dianjurkan untuk
pasien yang kemungkinan akan gagal terapi (misalnya: pasien diabetes), sedangkan terapi
sekuensial dianjurkan untuk pasien yang memperlihatkan respons kurang memuaskan pada
terapi awal.12,13
Pada kasus ini dilakukan terapi sekuensial, terapi awal diberikan denyut itrakonazol 2
x 200 mg per hari selama tujuh hari per bulan selama dua bulan. Sesuai dengan
kepustakaan, terapi denyut itrakonazol bekerja aktif pada onikomikosis yang disebabkan oleh
Candida albicans.2,12 Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengobatan infeksi kuku jari
tangan adalah dua bulan.2,4 Terapi denyut itrakonazol didasarkan atas rasionalitas bahwa
obat tersebut mencapai kuku dalam 7 hari terapi dan menetap di sana selama 6 hingga 9
bulan. Walaupun kuku belum mencapai normal ketika terapi dihentikan, kuku yang baru
tumbuh bebas jamur karena adanya itrakonazol pada kuku. 2

3
Selain itrakonazol, dapat dipilih griseofulvin atau terbinafin. 12 Pada kasus ini
griseofulvin tidak dipilih karena terapi dengan obat ini membutuhkan waktu yang lama,
kepatuhan akan sulit dicapai, dan angka kesembuhan lebih rendah dibandingkan dua obat
sistemik lainnya. Sedangkan terbinafin tidak dipilih karena relatif lebih mahal dan
membutuhkan waktu lebih lama, yakni 250 mg per hari selama 6 bulan untuk onikomikosis
pada kuku jari tangan.2,4,12
Pemantauan satu bulan setelah pasien menjalani denyut itrakonazol yang kedua
menunjukkan perbaikan pada kuku jari tengah tangan kiri dan kedua ibu jari, namun kuku jari
tengah dan jari manis tangan kanan belum memperlihatkan kemajuan berarti. Atas
pertimbangan klinis, efektivitas waktu terapi, dan biaya, dilakukan pencabutan kuku pada
kedua jari tersebut, dilanjutkan dengan terapi topikal krim ketokonazol 2% yang dioleskan
pada dasar kuku (nail bed) pasca pencabutan diiringi dengan denyut itrakonazol ketiga (2x
200mg per hari selama tujuh hari).
Tiga bulan pasca terapi kombinasi pencabutan kuku, krim ketokonazol 2% topikal tiga
kali sehari selama tiga bulan, dan denyut itrakonazol 2 x 200 mg per hari selama 7 hari
memperlihatkan perbaikan pada pertumbuhan dan bentuk kuku jari tengah dan jari manis
tangan kanan. Pengamatan pada bulan keenam, hampir semua kuku megalami perbaikan
yang bermakna.
Pencabutan kuku yang terkena dapat dilakukan sebagai terapi ajuvan terhadap terapi
topikal dan/atau sistemik pada onikomikosis. 9,19 Pencabutan merupakan pendekatan logis
untuk mengeradikasi patogen penyakit dari kuku lateral dan dari kantung atau kanal onikolitik
pada permukaan bawah kuku, yang kadang-kadang terisi keratin nekrotik dan sejumlah besar
jamur (dermatofitoma).9 Faktor-faktor ini diduga berperan terhadap tidak optimalnya terapi
antijamur sistemik pada kasus ini. Setelah pengangkatan kuku yang terinfeksi, jangka waktu
terapi antijamur dapat diperpendek, lamanya remisi dapat ditingkatkan, dan kesempatan
untuk menghambat rekurensi dapat ditingkatkan.19
Terapi topikal merupakan komponen yang bermanfaat dalam penatalaksanaan
onikomikosis, terutama ketika dikombinasikan dengan terapi sistemik dan/atau terapi bedah.
Terapi topikal berguna untuk menekan infeksi jamur pada kuku, walaupun biasanya tidak
mampu menyembuhkan infeksi yang terjadi. 19 Krim ketokonazol 2% digunakan pada kasus ini
dengan pertimbangan bahwa lempeng kuku sudah diangkat sehingga penghalang proses
penetrasi zat aktif pada dasar kuku sudah tidak ada dan diharapkan dapat membantu
menekan pertumbuhan jamur pada dasar kuku.
Pada kasus ini diberikan denyut itrakonazol ketiga sebagai bagian terapi kombinasi
karena kesembuhan yang diharapkan belum tercapai dan tidak terdapat kontra indikasi.
Pemberian denyut itrakonazol ketiga diharapkan akan mempertahankan konsentrasi
itrakonazol sehingga dicapai kesembuhan optimal pada kuku yang akan tumbuh setelah
dilakukan pencabutan kuku.
Terapi sekuensial pada pasien ini didasarkan bahwa kesembuhan yang diharapkan
dengan monoterapi denyut itrakonazol tidak sepenuhnya tercapai, sehingga dibutuhkan terapi
lanjutan. Untuk itu dipilih terapi kombinasi pencabutan kuku dilanjutkan dengan terapi krim
ketokonazol 2% topikal dan itrakonazol sistemik.
Pasien adalah seorang pembantu rumah tangga dengan tugas utama mencuci
pakaian dan membersihkan rumah, sehingga disarankan kepadanya agar senantiasa
menggunakan pelindung, misalnya sarung tangan karet pada saat berkontak dengan air dan
melakukan pekerjaan yang berisiko meningkatkan kelembaban .

KESIMPULAN
Dapat disimpulkan terapi kombinasi secara sekuensial pada kasus ini memberikan
hasil yang lebih baik. Akan tetapi, tindakan pencabutan kuku pada onikomikosis hanya
bermanfaat jika dikombinasikan dengan terapi topikal atau sistemik. Sifatnya hanya
membantu mencegah infeksi lebih lanjut dan tidak dapat menghilangkan infeksi. Pada kasus
ini terapi antijamur sistemik tetap diperlukan dan dipilih preparat itrakonazol dengan terapi
denyut karena memberikan tingkat kepatuhan tinggi dan efek samping relatif kecil
dibandingkan dengan terapi kontinyu.

4
DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infection: dermatophytosis, onychomycosis, tinea
nigra, piedra. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill, 2003: 1989-2005.
2. Drayton GE. Onychomycosis. Current Treatment Options in Infectious Diseases 2001; 3: 237-46.
3. Odom RB, James WD, Berger TG. Andrew’s diseases of the skin. Edisi ke-9. Philadelphia: W.B. Saunders
Company, 2000: 358-416.
4. Joish VN, Armstrong EP. Newer drugs and overall costs of treating onychomycosis. Rev Iberoam Micol
2002; 19: 130-2.
5. Suling PL. Patofisiologi onikomikosis. Kongres dan Temu Ilmiah Nasional II PMKI. Jakarta 2000.
6. Chandra EN, et al. Onikomikosis di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Dr Kariadi Semarang. KONAS IX
Perdoski. Surabaya 1999.
7. Subakir. Aspek mikologi pada onikomikosis. Dalam: Makalah malam klinik Onychomycosis breakthrough
2000. Perdoski Semarang. Agustus 1999.
8. Bramono K. Onikomikosis. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty
S, editor. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001: 46-54.
9. Baran R, Hay R, Haneke E, Tosti A, Piraccini BM. Onychomycosis: the current approach to diagnosis and
therapy. London: Martin Dunitz Ltd, 1999.
10. Hay RI, Moore MK. Mycology. Dalam: Burns T, Breatnatch S, Cox N, Griffiths C, editor. Rook’s textbook of
dermatology. Edisi ke-7. Oxford: Blackwell Publishing, 2004: 31.1-100.
11. Ellis DH. Diagnosis of onychomycosis made simple. J Am Acad Dermatol 1999; 40: (Supl.): S3-S8.
12. Roberts DT, Taylor WD, Boyle J. Guidelines for treatment of onychomycosis. Br J Dermatol 2003; 148:
402-10.
13. Olafsson JH, Sigurgeirsson B, Baran R. Combination therapy for onychomycosis. Br J Dermatol 2003; 149
(Supl. 65): 15-8.
14. Drake LA, Patrick DL, Fleckman P. The impact of onychomycosis on quality of life: development of an
international onychomycosis-specific questionaire to measure patient’s quality of life. J Am Acad Dermatol
1999; 41: 189-96.
15. Haneke E, Roseeuw D. The scope of onychomycosis: epidemiology and clinical features. Int J Dermatol
1999; 38: (Supl.2): 7-12.
16. Klenk AS, Martin AG, Heffernan MP. Yeasts infections: candidiasis, pityriasis (tinea) versicolor. Dalam:
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill, 2003: 2006-18.
17. Fisher F, Cook NB. Fundamentals of diagnostic mycology. Philadelphia: WB. Saunders Company, 1998:
196-230.
18. Crisey JT, Lang H, Parish LC. Manual of medical mycology. Oxford: Blackwell-Science, 1995: 83-114.
19. Cohen PR, Scher RK. Topical and surgical treatment of onychomycosis. J Am Acad Dermatol 1994; 31
(Supl.3, part 2): S74-S7.

Anda mungkin juga menyukai