Aji Pameleng
Aji Pameleng
Ditambah lagi bahwa kemudian banyak orang India dan Hindu yang menjadi
Jawa menyebarkan ajaran agama dan pengetahuan olah ruhani, serta ilmu
kebijaksanaan (kawicaksanan). Ibarat sekejapan mata, bangsa Jawa di semua
pelososk memeluk Hindu, dan juga, dengan kawruh pasamadèn dan
kawicaksanan, sudah merasakan keberuntungan, kemuliaan, kebahagiaan
dan sebagainya, sebab dari buah pengetahuan lelaku hening tersebut.
Akan tetapi, walau demikian, tidak serta merta bangsa Jawa kemudian mau
secara sukarela memeluk Islam semua, kemauan memeluk Islam itu lebih
disebabkan karena takut hukuman pejabat negara (Sultan). Jadi islamnya itu
hanya berada pada tataran permukaan, atau Islam pengaran-aran (Islam
KTP), sedangkan secara batin dan perilaku masih tetap memegang
kepercayaan lama.
Oleh karena itu pengetahuan tadi oleh orang-orang yang sudah mendapatkan
pencerahan batin yaitu Syekh Siti Jenar, yang juga menjadi pembimbing
agama Islam berpangkat wali, kemudian tercantum di dalam karya seratnya,
yang kemudian disebut dengan daim, yang berasal dari kata daiwan yang
disebut di atas. Kemudian juga kemudian menjadi bagian dari sarana
manembah (penyembahan), sambil diberi tambahan julukannya, kemudian
muncul istilah shalat daim (shalat bahasa Arab, daim dari kata daiwan bahasa
sansekerta). Adapaun kemudian ditambahi istilah Arab, hanya untuk
perhatian untuk mengukuhkan keyakinan murid-muridnya yang sudah
meresapi agama Islam. Juga perkataan shalat kemudian terpilah menjadi dua
perkara. Pertama, shalat lima waktu, yang disebut shalat syari’at, maksudnya
adalah panembah lahir. Kedua, shalat daim, itu adalah panembah batin,
maksudnya adalah menekadkan (mengi’tikadkan) manunggalnya pribadi,
atau disebut pula loroning atunggal (dua yang menyatu [kawula-Gusti,
ingsun-Gusti]).
Kitab karangan Syekh Siti Jenar tersebut kemudian digunakan sebagai pokok
pengajaran. Kemudian setelah mendapatkan perhatian orang banyak, sholat
lima waktu dan syara’ agama yang lain kemudian terpinggir, bahkan
kemudian tidak terajarkan sama sekali. Yang menjadi perhatian hanya lelaku
shalat daim saja. Maka orang Jawa yang semula memeluk islam, apalagi yang
belum, hampir semuanya berguru kepada Syekh Siti Jenar, karena
pengajarannya lebih mudah, jelas, dan nyata.
Diceritakan Pangèran Panggung tidak mempan oleh amuk api, dan kemudian
melompat keluar dari dalam api, meninggalkan Demak. Sultan Bintara dan
segenap para wali terbengong-bengong dan terkagum-kagum serta
terpengaruh kewibawaan serta kesaktian Sunan panggubng, hanya
kamitenggengen seperti tugu.
Sesudah sementara waktu, Pangèran Panggung sudah jauh, Sultan dan para
wali baru ingat jika Sunan Panggung sudah pergi dari tempat pidana, serta
merasa kalah. Disertai dengan banyak prajurit Sunan Geseng atau Ki
Cakrajaya pergi menyusul Sunan Panggung. Sultan Demak tidak mampu
menahan marah, dan melampiaskan kemarahannya, sahabat serta murid-
murid Syekh Siti Jenar yang bisa ditangkap di bantai.
Para sahabat dan murid yang masih hidup, masih tetap melestarikan ajaran
dan perguruan Syekh Siti jenar tentang pengetahuan pasamadèn, tetapi
kemudian dibalut dengan pengajaran syari’at Islam, agar tidak diganggu
gugat oleh para wali yang menjadi alat negara.
Pengajaran shalat daim itu –di sebagian kalangan- disebut wiridan (tarekat)
naksyabandiyah, sedangkan lelaku pengajarannya disebut tafakkur.
Sebagian ada yang dalam pengajarannya, sebelum murid menerima
pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan dzikir dan wirid
membaca ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamadèn kemudian
terbagi menjadi dua, yaitu;
1. Pengajaran pasamadèn atau wewiridan dari para sahabat Syekh Siti
Jenar, yang disertai dengan pengajaran syara’ rukun agama islam. Pengajaran
tadi sampai sekarang ini sudah meleset dari ajaran pokok semula, karena itu
para guru sekarang, yang mempraktekkan pengetahuan pasamadèn, yang
diberi nama (tarekat) Naksabandiyah atau Syatariyah mengira bahwa
pengetahuan dan wewiridan tersebut berasal dari ulama di Jabalkuber (Hijaz,
Makkah).
Kemudian para kiyai dan guru tadi menyebut guru klenik kepada para orang
yang melaksanakan pengetahuan pasamadèn menurut ajaran Jawa yang
berasal dari pengajaran Syekh Siti Jenar.
Atau juga para guru dan kiyai tadi senang memberikan sebutan Kiniyai, yang
mengandung maksud; guru yang mengajarkan ilmu setan. Sedang nama
Kiyai, adalah guru yang mengajarkan ilmu para nabi.
Lelaku lima hal tadi harus dilaksankaan beserta iringan puja-brata dengan
melaksanakan laku semèdi, yaitu amesu cipta mengheningkan teropong
penglihatan (mubasyirah).
Oleh karena itu bagi pengamalan agama Jawa, bab mengenai pengetahuan
pasamadèn serta lelaku lima perkara di atas harus diajararkan kepada semua
orang, tua muda tanpa memilih rendah tingginya derajat orang.
Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila ada anggapan
bahwa semèdi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa (hidupnya)
keluar dari badan wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya berasal dari
cerita perjalanan Sri Kresna di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika angraga-
suksma.
Agar diperhatikan, bahwa cerita seperti itu tetap hanya sebagai persemuan
atau perlambang (simbol, bukan hal atau cerita yang sebenarnya).
Apa yang dimaksudkan semèdi di sini, tidak ada lain kecuali hanya untuk
mengetahui kesejatian dan kasunyatan.
Adapun sarananya tidak ada lagi kecuali hanya mengetahui atau menyilahkan
anggapan dari perilaku rasa, yang disebut hilang-musnahnya papan dan tulis.
Ya di situ itu tempat beradanya rasa-jati yang nyata, yang pasti, yang melihat
tanpa ditunjukkan (weruh tanpa tuduh).
Pengendalian anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur terlentang,
disertai dengan sidhakep (tangan dilipat di dada seperti takbiratul ihram, atau
seperti orang meninggal), atau tangan lurus ke bawah, telapak tangan kiri
kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang kanan
menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemudian disebut dengan
sidhakep suku (saluku) tunggal.
Adapun hal itu disebut sastra-cetha, karena ketika mengucapkan dua mantra
sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya di batin saja, juga kelihatan dari
kekuatan cethak (tenggorokan).
(Ucapan dan bunyi mantra atau dua penyebutan; “hu-ya” pada wirid
Naksyabandiyah berubah menjadi ucapan; “hu-Allah”,
Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut di atas, satu angkatan hanya
mampu mengulangi tiga kali ulang, walau demikian, karena nafas kita sudah
tidak sampai kuat melakukan lagi, karena sudah berat rasanya (menggèh-
menggèh). Adapun kalau sudah sarèh (sadar-normal), ya bisa di laksanakan
lagi, demikian seterusnya sampai merambah semampunya, karena semakin
kuat tahan lama, semakin lebih baik.
Adapun setiap satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri =
tiga, pandu = suci, rat = jagad = badan = tempat. Maksudnya adalah tiga kali
nafas kita dapat menghampiri jagat-besar Yang Maha Suci bertempat di dalam
suhunan (yang dimintai). Yaitulah yang di bahasakan dengan paworong
kawula-Gusti, maksudnya kalau nafas kita pas naik, kita berketempatan
Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi kawula.
Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah terima! Adapun
maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita, akan tetapi daya
(kekuatan) cipta kita. Jadi olah semèdi itu, pokoknya kita harus menerapkan
secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar-masuk dan naik-
turunnya nafas, disertai dengan mengheningkan penglihatan, sebab
penglihatan itu terjadi dari rahsa.
i. Tujuan dan Kegunaan Semèdi
Adapun pelaksanaan semèdi seperti dituturkan di atas, juga bisa
diringkaskan, yang penting kita selalu terus menerus tiada putus melakukan
laku naik turunnya nafas, dengan duduk, berjalan, atau bekerja tidak boleh
ketinggalan mengendalikan keluar masuknya nafas, yang disertai dengan
pembacaan mantra “hu ya” seperti yang sudah diterangkan di atas.
Kecuali itu, wirid yang disebut daiwan, masih memiliki maksud yang lain lagi,
yaitu memiliki pengertain panjang tanpa ujung, atau langgeng. Adapun
maksud penyebutan bahwa nafas kita itu ternyata menjadi keberadaan hidup
kita yang langgeng (abadi), yaitu dengan adanya nafas (ambegan) kita.
Intinya, barang siapa yang selalu ajeg berdisiplin melakukan lelaku olah
semèdi, jika pada mulanya orang buruk, kemudian sirna keburukannya,
berubah menjadi orang yang baik perilakunya. Orang sakit sirna penyakitnya,
menjadi sembuh waras, orang murka dan aniaya menjadi menerima, sabar
dan berbelas kasih. Orang yang bohong atau curang menjadi dipercaya dan
bersungguh-sungguh. Orang bodoh menjadi pintar, orang pandai menjadi
pandai sekali dan mengerti (bener dan pener, pikir dan nalar).
Demikian juga orang yang semula menjadi orang sudra menjadi waisa, waisa
menjadi ksatria, ksatria menjadi brahmana, brahmana dapat menjadi penjaga
dunia yang disertai oleh Hyang Kuasa (Batara).
Demikian juga segala bahaya yang keluar dari keburukan atau perbuatan
orang lain, seperti walaupun hewan yang mau mengganggu, tentu akan
terkena akibat buruk, burung yang terbang melebihi, tentu mati sirna bentuk
badan wadagnya.
Demikian juga bagi sesama titah yang sengaja meremehkan atau meluhurkan
kemenangannya dan sejenisnya tentu tidak akan terjadi, selagi masih mau
berpandang-hadapan saja, sudah tentu badannya kemudian gemetaran,
ibarat gosong menjadi abu. Semua itu sebagai akibat terkalahkannya oleh
besarnya kewibawaan yang selalu bersinar menggema daya kekuatan, seperti
terangnya bulan purnama tanggal setengah (akibat olah semèdi yang
dijalankan secara konsisten)