Anda di halaman 1dari 6

Terkadang saya merasa prihatin terhadap generasi muda Indonesia saat ini.

Apa yang ada di


benak kalian saat mendengar malam 1 Suro? Mungkin tidak semua orang mengerti sejarah Suro
(Tahun baru Jawa / tahun baru Islam). Kali ini saya akan berbagi sedikit mengenai hal itu.
Tentunya tidak semua suku/bangsa di dunia, bahkan sangat sedikit yang, memiliki kalender
sendiri, dan Jawa termasuk di antara yang sedikit itu. Berdasar diskusi dari beberapa rekan
penghayat / kejawen yang cukup aktif di Facebook / blog, saya akan sedikit cerita tentang awal
Kalender Jawa.
Kalender Jawa diciptakan oleh mPu Hubayun, pada tahun 911 Sebelum Masehi, dan pada tahun
50 SM Raja/ Prabu Sri Mahapunggung I (juga dikenal sebagai Ki Ajar Padang I) melakukan
perubahan terhadap huruf/aksara, serta sastra Jawa. Bila kalender Jawa diibuat berdasarkan
Sangkan Paraning Bawana (=asal usul/isi semesta), maka aksara Jawa dibuat berdasarkan
Sangkan Paraning Dumadi (=asal usul kehidupan), serta mengikuti peredaran matahari (=Solar
System).
Jawa Masa Aji Saka
Pada 21 Juni 0078 Masehi, Prabu Ajisaka mengadakan perubahan terhadap budaya Jawa, iaitu
dengan memulai perhitungan dari angka nol (Das=0), menyerap angka 0 dari India, sehingga
pada tanggal tersebut dimulai pula kalender Jawa baru, tanggal 1 Badrawana tahun Sri Harsa,
Windu Kuntara ( = tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1), hari Radite Kasih (- Minggu Kliwon),
bersamaan dengan tanggal 21 Juni tahun 78 M.
Selama ini, banyak pendapat yang mengatakan, bahwa Prabu Ajisaka ialah orang India/
Hindustan. Tetapi hal tersebut nampaknya kurang tepat, dengan fakta-fakta kisah dalam huruf
Jawa bahwa:
1. Pusaka Ajisaka yang dititipkan kepada pembantunya berujud keris. Tak ditemukan bukti-bukti
peninggalan keris di India, dan keris adalah asli Jawa.
2. Para pembantu setia Ajisaka sebanyak 4 (empat) orang (bukan 2 orang seperti yang banyak
dikisahkan), dengan nama berasal dari bahasa Kawi, atau Jawa Kuno. Mereka adalah :

DURA (dibaca sesuai tulisan), yang dalam bahasa Kawi berarti anasir alam berupa AIR.
Bila dibaca sebagai Duro (seperti bunyi huruf O pada kata Sidoarjo), artinya =
bohong, sangat jauh berrbeda dengan aslinya.

SAMBADHA (dibaca seperti tulisan), yang dalam Bahasa Kawi berarti anasir alam yang
berupa API. Bila dibaca dengan cara kini, iaitu seperti O pada kata Sidoarjo, akan berarti
mampu atau sesuai.

DUGA ( dibaca seperti tulisan), dalam bahasa Jawa Kuno berarti anasir TANAH, namun
bila dibaca dengan cara kini, akan berarti pengati-ati atau adab.

PRAYUGA (dibaca seperti tulisan), dalam Bahasa Jawa Kuno artinya adalah ANGIN,
dan bila dibaca dengan cara sekarang akan berarti sebaiknya/ seyogyanya. Keempat
unsur/anasir tersebut adalah yang ada di alam semesta (Jagad/bawana Ageng) serta dalam
tubuh manusia (Jagad/ bawana Alit).

3. Nama Ajisaka ( Aji & Saka) adalah berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yang berarti Raja/ Aji
yang Saka (=mengereti & memiliki kemampuan spiritual), Raja Pandita, Pemimpin Spiritual.
Prabu Ajisaka juga bernama Prabu Sri Mahapunggung III, Ki Ajar Padang III, Prabu Jaka
Sangkala, Widayaka, Sindhula.
Petilasannya adalah api abadi di Mrapen, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pada saat Sultan
Agung Anyakrakusuma bertahta di Mataram abad XVI Masehi, terdapat 3 unsur kalender budaya
dominan, iaitu Jawa/ Kabudhan (solar system), Hindu (solar system), dan Islam (Hijriah, Lunar
Sytem), sementara di wilayah Barat/ Sunda Kelapa dan sekitarnya sudah mulai dikuasai bangsa
asing / Belanda.
Untuk memperkuat persatuan di wilayah Mataram guna melawan bangsa asing, Sultan Agung
melakukan penyatuan kalender yang digunakan. Namun penyatuan kalender Jawa /Saka dan
Islam/Hijriah tersebut tetap menyisakan selisih 1 (satu) hari, sehingga terdapat 2 perhitungan,
iaitu istilah tahun Aboge (tahun Alip, tgl 1 Suro jatuh hari Rebo Wage), serta istilah Asapon
(Tahun Alip, tg 1 Suro, hari Selasa Pon).
Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah, 29 Besar 1554 Saka, 8 Juli
1633 Masehi. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan Suro tahun 1554 Jawa (Sultan
Agungan), yang digunakan sekarang.
Dengan demikian, apabila ditilik berdasarkan penanggalan Jawa yang diciptakan mPu Hubayun
pada 911 SM, maka saat ini (2013) adalah tahun 2924 Jawa (asli, bukan Saka, Jowo kini, atau
Hijriah). Sebuah Kalender asli yang dibuat tidak berdasarkan agama, atau aliran kepercayaan
apapun.

Budaya Spiritual Jawa merupakan bagian dari perkembangan kebudayaan makro bangsa
Indonesia. Pengaruh Budha Hindu sampai sekitar tahun 1500 masehi yang ditandai dengan
runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Dalam hal ini pengaruh budaya Hindu masih
dominan dalam kehidupan bangsa Indonesia umumnya dan orang Jawa khususnya. Pengaruh
kebudayaan Islam di Jawa kemudian berkembang seiring runtuhnya Majapahit.
Namun, bukan berarti pengaruh Hindu menjadi hilang begitu saja,melainkan malah teradaptasi
dan membentuk suatu budaya Jawa. Di jawa sendiri terdapat suatu Ideologi kawula gusti saat itu
yang nerupakan suatu alat legitimasi raja untuk mengontrol rakyatnya dalam rangka mengatur
negara.

Dengan ideologi inilah yang mendorong Sultan Agung sebagai Raja waktu itu untuk merubah
system kalender SAKA (perpaduan Jawa Asli dan Hindu), menjadi kalender yang merupakan
perpaduan antara kalender SAKA dan kalender Hijriah (Islam).
Perubahan tersebut dimulai pada tanggal 1 Sura tahun ALIP 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam
Tahun 1043 Hijriah atau pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Nah, uang menarik di sini menurut tulisan dari H Zahid Hussein adalah hari Jumat Legi dimana
bagi bangsa Indonesia mempunyai nilai historis yang tinggi karena Hari Jumat Legi tanggal 17
Agustus 1945 adalah hari Proklamasi Kemerdekan Bangsa Indonesia.
Sugeng Mahargyo Warsa Enggal Selasa Pon 1 Sura 1947 Alip. | Wening ing cipta pasrah ing
rasa, kanthi sumunarning budhi. Mugya kita sami tansah manggih ing karaharjan. Hamemayu
Hayuning Bawana, Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Wilujeng rahayu kang tinemu
banda lan beja kang teka Rahayu

Pendapat kontra

Mengubah Kalender Jawa-Islam Sultan Agung, M


oleh: Ki Mas Badaruddin Manconegara

Sabtu sore di Padhepokan Grind Punk yang diasuh Kyai Semar Puzz, terjadi peristiwa
aneh tetapi lucu yang membuat para cantrik tertawa terpingkal-pingkal. Menurut cerita: pada
awalnya, Tualen Puss membeli Kalender Jawa yang aneh di sebuah Kongres Bahasa Jawa.
Dikatakan aneh, karena kalender itu menetapkan usia kalender tahun Jawa 2923. Tanpa pikir
panjang Tualen Puss, sarjana sejarah yang asal Bali tapi sangat ingin tahu sejarah kebudayaan
Jawa itu membeli kalender aneh tersebut seharga Rp 25.000. Tualen Puss berharap, ia
menemukan rumusan baru kalender Jawa yang benar-benar akurat dan sesuai dengan fakta
historis dalam kaitan dengan penyusunan sistem penanggalan Jawa kuno.
Betapa terkejut Tualen Puss sewaktu membuka dan membaca kalender Jawa yang aneh itu.
Sebab disebutkan di situ bahwa kalender Jawa didasarkan pada gagasan "Sangkan Dumadining
Bawana" yang berkaitan dengan Huruf Jawa yang didasarkan pada gagasan "Sangkan Paraning
Dumadi". Entah darimana sumber historisnya, penyusun kalender itu menetapkan bahwa
kalender Jawa pertama kali diperkenalkan oleh Mpu Hubayun pada tahun 911 SM (Sebelum
Masehi) sehingga pada tahun 2011 ini sudah berusia 2923 tahun. Tualen Puss yang terbiasa
berpikir ilmiah dengan epistemologi kesejarahan mengerutkan kening dan menggelenggelengkan kepala berulang-ulang, berusaha memahami penjelasan yang sangat tidak masuk akal
sehat (common sense) apalagi nalar akademik. Tualen Puss, pertama-tama tidak menemukan
hubungan korelasional antara kalender Jawa yang disusun sejak tahun 911 SM itu dengan huruf
Jawa yang baru digunakan pada abad ke-12 Masehi (sebelum itu prasasti-prasasti menggunakan
huruf asal India: Pallawa, Dewanagari). Pada tahun 50 SM Prabu Sri Maha Punggung atau Ki

Ajar Padang mengadakan perubahan pada huruf dan sastra Jawa.


Lebih terkejut lagi Tualen Puss mendapati klaim pada kalender itu bahwa Aji Saka adalah
orang Jawa asli dan kalender yang diperkenalkan Aji Saka yang dimulai tanggal 21 Juni 77 M
dimulai dari angka nol (das), dimulai pada tanggal 1 Badrawarna (Suro) tahun Sri Harsa, Windu
Kuntara tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1tepat hari Radite Kasih (Minggu Kliwon) sebagai
permulaan tahun Jawa, yang bertepatan dengan 21 Juni 78 M. Kalender Jawa memakai pedoman
peredaran Matahari (Solar). Klaim ini mengejutkan, karena semua sejarawan sedunia sudah
mengetahui dan faham jika kalender yang digunakan orang Jawa sejak tahun 78 M itu adalah
kelender Saka, yaitu kalender yang dicanangkan oleh Raja Kaniska, raja di kerajaan Sakya di
India, yang menetapkan kalender berdasar solar system (sistem matahari) pada tanggal 1 bulan
Aniani atau Badrapada tahun 1 Saka, yang bertepatan dengan 21 Juni 78 M. Nah bagaimana
nalar historisnya, kalender Saka bikinan Raja Kaniska yang sudah diketahui para sejarawan
sedunia itu bisa disulap oleh pembuat kalender aneh itu sebagai kalender asli Jawa kelanjutan
dari kalender bikinan Mpu Hubayun? Bagaimana tokoh simbolik Aji Saka yang dijadikan
simbol pengaruh budaya Sakya di India yang menandai digunakannya kalender Saka oleh orang
Jawa pada tahun 78 M itu diklaim sebagai orang Jawa asli? Tidakkah penyusun kalender itu
mengetahui jika dongeng Aji Saka dengan dua orang abdinya bernama Dora dan Sembada itu
baru muncul pada masa akhir era Mentaram abad ke-17 M? Bagaimana pula muncul dongeng
baru bahwa abdi Aji Saka itu empat orang, selain Dora dan Sembada masih ada Duga dan
Prayoga?
Ketika sampai di padhepokan, Tualen Puss mengumpulkan teman-temannya untuk
membincang kalender Jawa yang menurutnya aneh itu. Dalam sekejap sudah berkumpul Bagong
Purr, Sangut Pull, Gareng Punk, Petruk Puff, Delem Putt, Merdah Pupp, Bancak Punn, Doyok
Pudd, Besut Muff, Udel Lull, Cepot Mudd, dan Dawala Mugg mengitari Tualen Puss. Secara
bergiliran para cantrik itu membaca lembar demi lembar kalender aneh itu dengan ujung mereka
tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut. Bagong Purr saking gelinya sampai ketawa
terkentut-kentut.
"Hihihi," kata Sangut Pull ketawa sambil menepuk-tepuk perutnya,"Kalau kalender Jawa
berdasar sistem matahari (solar system), bagaimana dengan sistem hitungan kalender Jawa kuno
berdasar rembulan yang disebut Candrasengkala? Apa dia tidak tahu bagaimana prasasti-prasasti
sejak zaman Tarumanagara sampai Majapahit ditulis dengan menggunakan kelender sistem
rembulan Candrasengkala?"
"Halaah Ngut Sangut," sahut Petruk Puff mencibir,"Kamu lihat lembar terakhir kelender itu.
Dari situ saja orang sudah tahu bahwa penyusun kalender itu wong sing ora pinter tapi keminter."
Sangut Pull membuka lembar akhir kalender dan membaca isinya. Dengan mata mendelik dan
kepala geleng-geleng ia menggumam,"Lhadalah, ini ada nama hari dalam kalender Jawa yang
terdiri dari tujuh satuan hari (Radite/Rawiwara/Minggu; Soma/Sumawara/Senin;
Anggara/Manggala/Selasa; Buda/Pertala/Rabu; Respati/Wrehaspati/Kamis; Sukra/Wiku/Jum'at;
Tumpak/Saniscara/Sabtu) yang disebut macrocosmos dan lima satuan hari
(Manis/Legi/Pethakan; Jenar/Pahing/Abritan; Palguna/Pon/Jenean; Langking/Wage/Cemengan/
Kasih/Kliwon/Gesang) yang disebut microcosmos. Walah-walah, memang ini bukti kang, kalau
orang yang menyusun kalender ini tidak faham benar dengan wewaran. Jelas dia tidak tahu
bahwa dalam kalender Jawa yang disebut Wewaran itu ada sepuluh, yaitu Ekawara, Dwiwara,
Triwara, Caturwara, Pancawara, Sadwara, Saptawara, Astawara, Sangawara, dan Dasawara."
"Ya begitu itulah Ngut," sahut Petruk Puff sinis,"Dengan menetapkan bahwa kalender
Jawa berdasar sistem matahari (solar system), penyusun kalender itu tidak akan mengetahui

sedikit pun rumus hitungan Tanggal dan Palong dalam kalender Jawa Candrasengkala. Dia juga
tidak akan tahu apa itu yang disebut Purnama dalam Tanggal atau Suklapaksa maupun apa yang
disebut Tilem dalam Panglong yang disebut Krsnapaksa."
"Kayaknya orang ini pakai rujukan tulisan Ir H Wibatsu Harianto S," kata Sangut
Pull,"Soalnya kalendernya mirip dengan uraian dalam Qomarul Syamsi Adamakna halaman 21
yang cetakan wukunya terbalik akibat salah cetak. Wah, wah, wah..."
"Tapi lihat kang Petruk," sahut Delem Putt menyela sambil menunjuk cover kalender,"Dia
menyatakan kalau kalender yang disusun Sultan Agung Hanyakra Kusuma sudah waktunya
disesuaikan atau diadakan perubahan karena selain memunculkan istilah tahun ABOGE (Tahun
Alip, 1 Suro jatuh hari Rebo Wage) dan istilah tahun ASAPON (Tahun Alip, 1 Suro jatuh hari
Seloso Pon) akibat disatukannya kalender Jawa yang berdasar sistem matahari (solar system)
dengan kalender Islam yang berdasar sistem rembulan (lunar system), orang-orang Jawa harus
kembali kepada kalender Jawa yang asli bikinan Mpu Hubayun tahun 911 SM."
"Itulah masalahnya," sahut Petruk Puff sinis,"Penyusun kalender itu tidak cukup kompeten
menguasai sistem kalender Jawa Candrasengakala, sistem kalender Saka Suryasengkala, sistem
kalender Kala Sanjaya yang disebut Pawukon, sistem kalender pranatamangsa, dan sistem
kalender Hijriyyah yang sangat dikuasai Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Bagaimana kita
mempercayakan sebuah perubahan kalender Jawa yang rumit yang merupakan gabungan
mathematical calendar dengan astronomical calendar kepada orang tidak lebih cerdas dari
Sultan Agung Hanyakra Kusuma?"
"Justru karena kekagumanku pada rumus-rumus mathematis yang ditetapkan Sultan Agung
Hanyakra Kusuma dalam memadukan secara selaras Kalender Jawa Candrasengkala (lunar
system), kalender Saka Suryasengakala (solar system), kalender Hijriyyah Qomariyyah (lunar
system), dan pranatamangsa yang membuatku belajar khusus masalah itu di padhepokan ini. Jika
bukan manusia jenius, mana mungkin Sultan Agung Hanyakra Kusuma bisa memadukan
mathematical calendar dengan astronomical calendar yang begitu rumit. Jadi menurutku, masih
sangat rasional aku meyakini kalender Sultan Agung hanyakra Kusuma daripada mempercayai
kalender aneh yang tidak jelas rumusan sistemiknya itu," kata Tualen Puss menimpali.
"Asal kamu tahu saja Len," sahut Sangut Puff mengomentari kata-kata Tualen Puss,"Penyusun
kalender ini menetapkan 1 Suro sebagai awal tahun baru Jawa yang asli Jawa. Itu menunjukkan
penyusun kalender ini buta sejarah, karena dia tidak tahu kosa kata SURO itu darimana. Dia
tidak tahu bahwa sepanjang sejarah kalender Jawa sejak tahun 1 Saka yang bertepatan dengan
tahun 78 Masehi hingga masa Majapahit tidak dikenal kosa kata SURO sebagai nama bulan. Ini
sungguh tragis."
"O iya ya," sahut Tualen Puss manggut-manggut,"Penyusun kalender itu rupanya tidak
tahu bahwa kosa kata SURO itu berasal dari bahasa Arab logat Persia Asy-Syuro yang
digunakan oleh orang-orang Syi'ah untuk menyebut bulan Muharram karena di dalam bulan
Muharram terdapat tanggal kesepuluh (Asy-Syaro) yang keramat, yaitu tanggal terbunuhnya
Sayyidina Husein putera Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad Saw di Karbala. Atas latar
historis itulah orang-orang Syi'ah sedunia pada tiap-tiap bulan Asy-Suro memperingati peristiwa
itu dengan membuat bubur Asy-Suro. Orang-orang Syiah juga melarang bulan dukacita AsySyuro itu digunakan untuk perhelatan nikah, khitan, pindah rumah, dan lain-lain. Nah kata AsySyuro itulah dalam lidah Jawa dilafalkan SURO."
"Ya, ya, rupanya dia mengira SURO itu kosa kata asli Jawa."
"Itu namanya otak-atik mathuk. Kalender ini jadinya kalender otak-atik gathuk, kalender
yang pas untuk petungan pedukunan tapi tidak mungkin untuk dijadikan sistem penghitung

satuan waktu yang ilmiah dan masuk akal sebagaimana warisan para leluhur kita yang terbukti
sampai sekarang rumus-rumusnya masih akurat."
"He he he...bener itu."
"Ha ha ha...."

Anda mungkin juga menyukai