NIM : F1041181060
Kelas : A2
Mata Kuliah : Etnomatematika
Kalender Jawa menjadi sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai
kerajaan pecahannya. Sistem penanggalan Jawa disebut sebagai yang sangat istimewa karena memadukan
sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sebagian penanggalan Julian dari Romawi.
Sistem penanggalan Jawa menggunakan dua siklus hari, yakni siklus mingguan yang terdiri dari tujuh
hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran. Sama dengan
kalender Hijriyah, kalender jawa menggunakan perputaran bulan pada bumi sebagai dasar penentuan
waktu. Hal yang unik dari sistem penanggalan Jawa adalah angka tahun Saka yang tetap digunakan dan
diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah. Hal tersebut bertujuan demi asas
kesinambungan, sehingga tahun saat itu adalah 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Sistem Penanggalan Jawa
Sebagian nama bulan dalam sistem penanggalan Jawa diambil dari Kalender Hijriyah dengan nama-nama
Arab, sebagian lagi berasal dari Bahasa Sansekerta serta perpaduan dari Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu.
Penanggalan Jawa Jumlah Hari
Sura 30
Sapar 29
Mulud 30
Bakda Mulud 29
Jumadil Awal 30
Jumadil Akhir 29
Rejeb 30
Ruwah (Arwah, Saban) 29
Pasa (Ramelan, Siyam, Puwasa) 30
Sawal 29
Sela (Dulkangidah, Apit) 30
Besar (Dulkahijjah) 29/30
Sebelum adanya penyesuaian, sistem penanggalan Jawa tidak hanya tujuh hari saja tetapi sampai 10 hari.
Pekan-pekan ini disebut dengan naman dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara,
astawara, dan sangawara. Dalam satu pekan terdapat tujuh hari yang dihubungkan dengan sistem bulan-
bumi.
1. Minggu; Radite, melambangkan meneng (diam)
2. Senin; Soma, melambangkan maju
3. Selasa; Hanggara, melambangkan mundur
4. Rabu; Budha, melambangkan mangiwa (bergerak ke kiri)
5. Kamis; Respati, melambangkan mangengen (bergerak ke kanan)
6. Jumat; Sukra, melambangkan munggah (naik)
7. Sabtu; Tumpak, melambangkan mudhun (turun)
Dalam satu minggu terdapat lima hari pasaran yang merupakan posisi sikap (patrap) dari bulan, yaitu
sebagai berikut.
Tradisi saat merayakan 1 Suro selalu berulang di sejumlah kraton di Tanah Air. Kasunanan
Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, hingga Kasepuhan Cirebon merayakannya.
Kraton Surakarta misalnya, menggelar agenda jamas (memandikan) pusaka-pusaka kraton pada malam 1
Suro. Kirab kerbau bule, Kiai Slamet juga dilaksanakan pada hari yang sama.
Ritual tersebut hanya sebagian dari pemanfaatan kalender Jawa yang dicanangkan oleh Sri Sultan
Muhammad Sultan Agung Prabu Anjokrokusumo atau dikenal dengan Sultan Agung; Raja Mataram
Islam ketiga dan memerintah periode 1633-1645. Kalender yang dia ciptakan itu memadukan kalender
Hijriah dengan kalender Saka, penyatuan antara animisme, dinamisme dan Hindu.
Kalender punya makna penanda waktu kegiatan atau ritual-ritual keagamaan. Dalam tradisi agama-agama
di dunia kalender memiliki posisi penting dalam penentuan hari-hari besar atau waktu-waktu yang
disakralkan.
Menurut Islam, sistem kalender terkait dengan waktu puasa, hari raya, dan ibadah haji. Setelah terjadi
perpaduan antara budaya Jawa dan Islam dalam kalender Sultan Agung, fungsi kalender, semakin penting
dan vital bagi kehidupan masyarakat.
Suku Jawa yang kuat dengan keyakinan akan animisme dan dinamisme, menjadikan kalender Sultan
Agung sebagai acuan dalam mengatur kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan kalender Hijriyah, aturan
hal-hal terkait ibadah dan tidak banyak jumlahnya, menjadi utama.
Berdasarkan Politik Hukum Dalam Perumusan Kalender Islam (Studi Tentang Kebijakan Kalender Nabi
Muhammad SAW di Jazirah Arab dan Kalender Sultan Agung di Tanah Jawa), budaya Jawa sudah
terbentuk dan berkembang sejak zaman prasejarah. Budaya Jawa zaman prasejarah berdasarkan pada
kepercayaan animisme dan dinamisme. Yakni, berdasarkan pemikiran, alam semesta dihuni oleh arwah-
arwah yang di antaranya adalah arwah leluhur.
Selain itu di antara karakteristik budaya masyarakat Jawa adalah kepercayaan bahwa segala yang ada di
alam semesta merupakan simbol-simbol memiliki makna. Baik itu benda konkrit atau abstrak, semua
memiliki makna dan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu.
Tatkala Islam datang ke Jawa, pola pikir kepercayaan lama masyarakat masih melekat. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh para penyeru agama Islam, menyiarkan dakwah bercorak toleransi. Yakni, mengadopsi
budaya lama tetapi dengan diisi dengan nilai-nilai agama Islam.