Anda di halaman 1dari 10

Nama : Yogi Yastika

NIM : F1041181060
Kelas : A2
Mata Kuliah : Etnomatematika

Penanggalan Kasultanan jogjakarta


Tanggalan Jawa pertama kali digunakan pada masa Kerajaan Mataram Islam di pemerintahan Sultan
Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645 M).

Kalender Jawa menjadi sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai
kerajaan pecahannya. Sistem penanggalan Jawa disebut sebagai yang sangat istimewa karena memadukan
sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sebagian penanggalan Julian dari Romawi.

Sistem penanggalan Jawa menggunakan dua siklus hari, yakni siklus mingguan yang terdiri dari tujuh
hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran. Sama dengan
kalender Hijriyah, kalender jawa menggunakan perputaran bulan pada bumi sebagai dasar penentuan
waktu. Hal yang unik dari sistem penanggalan Jawa adalah angka tahun Saka yang tetap digunakan dan
diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah. Hal tersebut bertujuan demi asas
kesinambungan, sehingga tahun saat itu adalah 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Sistem Penanggalan Jawa

Sebagian nama bulan dalam sistem penanggalan Jawa diambil dari Kalender Hijriyah dengan nama-nama
Arab, sebagian lagi berasal dari Bahasa Sansekerta serta perpaduan dari Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu.
Penanggalan Jawa Jumlah Hari
Sura 30
Sapar 29
Mulud 30
Bakda Mulud 29
Jumadil Awal 30
Jumadil Akhir 29
Rejeb 30
Ruwah (Arwah, Saban) 29
Pasa (Ramelan, Siyam, Puwasa) 30
Sawal 29
Sela (Dulkangidah, Apit) 30
Besar (Dulkahijjah) 29/30

Sebelum adanya penyesuaian, sistem penanggalan Jawa tidak hanya tujuh hari saja tetapi sampai 10 hari.
Pekan-pekan ini disebut dengan naman dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara,
astawara, dan sangawara. Dalam satu pekan terdapat tujuh hari yang dihubungkan dengan sistem bulan-
bumi.
1. Minggu; Radite, melambangkan meneng (diam)
2. Senin; Soma, melambangkan maju
3. Selasa; Hanggara, melambangkan mundur
4. Rabu; Budha, melambangkan mangiwa (bergerak ke kiri)
5. Kamis; Respati, melambangkan mangengen (bergerak ke kanan)
6. Jumat; Sukra, melambangkan munggah (naik)
7. Sabtu; Tumpak, melambangkan mudhun (turun)

Dalam satu minggu terdapat lima hari pasaran yang merupakan posisi sikap (patrap) dari bulan, yaitu
sebagai berikut.

1. Kliwon; Asih, melambangkan jumeneng (berdiri)


2. Legi; Manis, melambangkan mungkur (berbalik arah ke belakang)
3. Pahing; Pahit, melambangkan madep (menghadap)
4. Pon; Petak, melambangkan sare (tidur)
5. Wage; Cemeng, melambangkan lenggah (duduk)
Orang Jawa banyak yang suka membuat sengkalan, kalimat dan katakatanya berwatak bilangan,
sehingga tersusun angka tahun seperti yang dituliskan pada pintu gerbang halaman rumah atau kuburan.
Demikian pula buku buku bacaan Jawa hampir semua mencantumkan saat penulisanya dengan sengkalan
mengingat sesuatu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Apalagi yang berkaitan dengan angka-angka
petunjuk waktu, meletusnya gunung berapi, bertahtanya dan wafatnya seorang raja, berdirinya atau
runtuhnya suatu keraton, dan segala hal yang dianggap penting lainya. Menggunakan nama-nama
binatang, tumbuhan ataupun alam semesta, merupakan simbol-simbol yang digunakan untuk
menggantikan bilangan waktu.
Orang Jawa jaman dahulu, terbiasa menggunakan cara ini sebagai penanda tahun suatu peristiwa.
Suatu susunan rangkaian kalimat indah yang terdiri dari empat kata, membentuk sebuah makna tertentu,
begitulah yang disebut sebagai sengkalan. Sebagian besar sengkalan merupakan sengkalan
Candrasengkala. Candra berarti bulan, maksudnya Sengkalan yang penulisan angka tahunnya berdasarkan
peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar calendar). Sengkalan Candrasengkala digunakan setelah masa
Islam dengan memakai tahun Jawa. Tahun Jawa ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma sejak 1
Suro 1555 Jawa, bertepatan 1 Muharam 1043 Hijriah, atau 1 Srawana 1555 Saka, atau 8 Juli 1633
Masehi. Tahun Jawa merupakan perpaduan antara tahun Hijriah dengan tahun Saka. Sedangkan
sengkalan yang angka tahunnya berdasarkan peredaran bumi mengitari matahari (Solar Calendar) disebut
Surya Sengkala, misalnya tahun Masehi. Surya berarti matahari.
Terdapat dua sistem penanggalan yang digunakan oleh Keraton Yogyakarta, kalender Masehi dan
kalender Jawa. Kalender Masehi digunakan agar urusan administrasi keraton dapat selaras dengan
kegiatan sehari-hari masyarakat umum, sedang kalender Jawa digunakan sebagai patokan bagi upacara-
upacara adat yang diselenggarakan oleh keraton.
Kalender Jawa juga disebut sebagai Kalender Sultan Agungan karena diciptakan pada
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Sultan Agung adalah raja ketiga dari Kerajaan Mataram Islam.
Pada masa itu, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India. Kalender Saka
didasarkan pergerakan matahari (solar), berbeda dengan Kalender Hijriyah atau Kalender Islam yang
didasarkan pada pergerakan bulan (lunar). Oleh karena itu, perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan
oleh keraton tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.
Sultan Agung menghendaki agar perayaan-perayaan tersebut dapat bersamaan waktu. Untuk
itulah diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan
kalender Hijriyah. Sistem penanggalan inilah yang kemudian dikenal sebagai kalender Jawa atau kalender
Sultan Agungan. Kalender ini meneruskan tahun Saka, namun melepaskan sistem perhitungan yang lama
dan menggantikannya dengan perhitungan berdasar pergerakan bulan. Karena pergantian tersebut tidak
mengubah dan memutus perhitungan dari tatanan lama, maka pergeseran peradaban ini tidak
mengakibatkan kekacauan, baik bagi masyarakat maupun bagi catatan sejarah.

Siklus Hari pada Penanggalan Jawa


Tahun Jawa, atau tahun Jawa Islam Sultan Agung, memiliki berbagai macam siklus. Siklus harian
yang masih dipakai sampai saat ini adalah saptawara ( siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima
hari). Saptawara, atau padinan, terdiri
dari Ngahad (Dite), Senen (Soma), Selasa (Anggara), Rebo (Buda), Kemis (Respati), Jemuwah (Sukra),
dan Setu (Tumpak). Siklus tujuh hari ini sewaktu dengan siklus mingguan pada kalender Masehi; Minggu,
Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat,dan Sabtu.
Pancawara terdiri dari Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar), Pon (Palguna),
dan Wage (Cemengan). Pancawara juga biasa disebut sebagai pasaran. Siklus ini dahulu digunakan oleh
pedagang untuk membuka pasar sesuai hari pasaran yang ada. Karena itu kini banyak dikenal nama-nama
pasar yang menggunakan nama pasaran tersebut, seperti Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing, Pasar
Pon, dan Pasar Wage.
Selain pancawara dan saptawara, masih ada siklus 6 hari yang
disebut sadwara atau paringkelan. Walau kadang masih digunakan dalam pencatatan
waktu, paringkelan tidak digunakan dalam menghitung jatuhnya waktu upaca-upacara adat di
keraton. Paringkelan terdiri dari Tungle, Aryang, Warungkung, Paningron, Uwas, dan Mawulu.

Siklus Bulan pada Penanggalan Jawa


Seperti pada penanggalan lainnya, kalender Jawa memiliki dua belas bulan. Bulan-bulan tersebut
memiliki nama serapan dari bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah
Jawa; Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkan
gidah, dan Besar. Umur tiap bulan berselang-seling antara 30 dan 29 hari.

Siklus Tahun pada Penanggalan Jawa


Satu tahun dalam kalender Jawa memiliki umur 354 3/8 hari. Untuk itu terdapat siklus delapan
tahun yang disebut sebagai windu. Dalam satu windu terdapat delapan tahun yang masing-masing
memiliki nama tersendiri; Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Tahun Ehe, Dal,
dan Jimakir memiliki umur 355 hari dan dikenal sebagai tahun panjang (Taun Wuntu), sedang sisanya
354 hari dikenal sebagai tahun pendek (Taun Wastu). Pada tahun panjang tersebut, bulan Besar sebagai
bulan terakhir memiliki umur 30 hari.
Selain itu, terdapat siklus empat windu berumur 32 tahun di mana nama hari, pasaran, tanggal,
dan bulan akan tepat berulang atau disebut tumbuk. Keempat windu dalam siklus itu diberi
nama Kuntara, Sangara, Sancaya, dan Adi. Tiap windu tersebut memiliki lambang
sendiri, Kulawu dan Langkir. Masing-masing lambang berumur 8 tahun, sehingga siklus total dari
lambang berumur 16 tahun.
Meski demikian, masih ada perbedaan perhitungan antara tahun Jawa dan tahun Hijiriyah. Tiap
120 tahun sekali, akan ada perbedaan satu hari pada kedua sistem penanggalan tersebut. Maka pada saat
itu tahun Jawa diberi tambahan satu hari. Periode 120 tahun ini disebut dengan khurup. Sampai awal abad
21 ini, telah terdapat empat khurup; Khurup Jumuwah Legi/Amahgi (1555 J-1627 J/1633 M-1703
M), Khurup Kemis Kliwon/Amiswon (1627 J-1747 J/1703 M-1819 M), Khurup Rebo Wage/Aboge (1867
J-1987 J/1819 M-1963 M), dan Khurup Selasa Pon/Asapon (1867 J-1987 J/1936 M-2053 M).
Nama khurup yang berlangsung mengacu pada jatuhnya hari pada tanggal 1 bulan Sura tahun Alip.
Pada Khurup Asapon, tanggal 1 bulan Sura tahun Alip akan selalu jatuh pada hari Selasa Pon selama
kurun waktu 120 tahun.

Sengkalan Kasunanan Surakarta


Sengkalan yang tidak berupa kalimat tetapi berwujud rupa atau gambar obyek-obyek tertentu
dalam bentuk gambar, lukisan arca, wayang, gambar hewan, dan gambar tumbuh-tumbuhan yang
melambangkan angka-angka tahun yang dimaksud dan sangat rumit untuk mengartikannya, sengkalan
semacam ini disebut sengkalan memet. Memet artinya rumit. Memang cukup rumit untuk menafsirkan
angka dari sebuah rupa atau gambar. Sebagai contoh: seperti sengkalan memet yang berada di Kerataon
Surakarta pada Pangung Sangga Buana (Pentas Penyangga Dunia) dengan susunan katakata yang
bunyinya: Naga Muluk Tinitian Janma (Naga Terbang Dikendarai Orang) naga menunjukan angka 8;
muluk (terbang) menunjukan angka 0; tinitian (dikendarai) menunjukan angka 7; janma (orang)
menunjukan angka 1. Cara dalam membaca sengkalan dengan metode dibalik, angka yang paling
belakang dibalik menjadi didepan jadi dibaca tahun 1708. Tetapi pernyataan kata-katanya tidak
menggunakan tulisan berupa kalimat tetapi bentuk karya senirupa bisa berupa lukisan, arca, wayang,
gambar dua dimensi, maupun monumental.
Contoh lain adalah di bangsal Kemagangan Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
(Kerajaan Yogyakarta) terdapat sengkalan memet berupa gambar dua naga yang menjulur yang menjulur
horizontal, bertolak belakang, masing-masing menghadap kekiri dan kekanan. Sedangkan ekor kedua
naga saling berlilitan menjadi satu ditengah. Bila ditafsirkan dalam kalimat bahasa jawa: Dwi Nogo Roso
Tunggal (Dua Naga Menyatu Rasa) yang melambangkan angka tahun 1682 Jawa (Dwi menunjukang
angka 2, Naga menunjukan angka 8, Rasa menunjukan angka 6, Tunggal menunjukan angka 1. Atau
dalam hitungan kalender Masehi, adalah tahun 1760. Tahun ini adalah tahun mulai dibangunya Keraton
Yogyakarta. Pendapat lain mengatakan bahwa sengkalan memet tersebut berbunyi: Dwi Nogo Roso
Tunggal (Dua Negara Yang bersatu). Kedua tafsir kalimat sengkalan tersebut sebenarnya memiliki
maksud yang hampir sama. Yakni semboyan tentang adanya dua negara (dilambangkan oleh wujud naga)
yang menyatu sikap (berkolaborasi) menentang kolonialis Belanda pada jaman itu. Akan tetapi sikap
perlawanan ini tidak ditunjukan secara terbuka, tetapi merupakan politik dibelakang layar. Hal ini
dilambangkan pada bagian belakang naga (ekor) yang saling berlilitan, sedang kepala naga masing-
masing menghadap keluar (kiri dan kanan) sebagai lambang sikap politik diplomasi ramah-tamah
terhadap penjajah Belanda.
Dengan demikian, sengkalan memet lebih sukar diartikan atau menafsirkanya kata atau gambar
manakah yang harus dibaca dahulu. Pembaca hanya dengan perkiraan saja, secara untunguntungan,
didukung dengan keterangan dan petunjuk. Sebab tidak diketahui siapa pembuatnya dan pada jaman apa
atau tahun berapa peristiwa itu terjadi. Oleh karena itu angka-angka di belakang (satuan, puluhan)
disebutkan lebih dulu sebagai kata-kata diawal kalimat sengkalan, supaya angka detail yang mudah
dilupakan orang ini dapat teringat lebih dahulu. Adapun angka-angka ratusan maupun ribuanya rasanya
masih lebih mudah diingat atau diperkirakan, maka ditaruh diakhir kalimat. Orang-orang yang pandai
menafsirkan sengkalan adalah para budayawan dan pujangga masa lalu. Para sejarawan juga banyak
mempelajarinya karena sangat berguna dalam bidang keilmuanya. Dengan kata lain sengkalan merupakan
salah satu piranti untuk menelusuri sejarah.
Prasasti Batu Tulis Kerajaan Pakuan Pajajaran
Kisah berawal saat Adolf Winkler, seorang kapten VOC (Perusahaan Dagang Belanda) tertarik
untuk menyelusuri peta lokasi "bekas kerajaan Pajajaran' yang sebelumnya dilakukan oleh Sersan Scipio
bersama pasukannya. Untuk mencapai tujuannya, Winkler membawa serta seorang ahli ukur, 16 orang
pasukan Eropa, serta 26 anak buah yang sebagian besar didatangkannya dari Makassar. 
Pada 25 Juni 1690, rombongan tim ekspedisi pimpinan Winker tiba di sebuah daerah yang kita
kenal sebagai Batutulis. Di lokasi ini mereka mendapati sebuah batu prasasti setinggi dua hasta yang
memuat informasi penting yang berhubungan dengan sejarah Sunda Kuna. Penemuan batu bertulis itu
kemudian dicatat dalam Daghregister 1690. 
Catatan Adolf Winkler mengenai penemuan prasasti batu bertulis itu pun mengundang perhatian para
peneliti Eropa untuk menyelidikinya. Namun saat itu, penelitian mereka hanya terbatas pada bentuk dan
letak batu tulis tersebut, tidak membahas isi tulisan dan tahun pembuatannya.
Penelitian mengenai tulisan di batu tulis itu sendiri baru dilakukan pada tahun 1817 oleh Letnan Gubernur
Thomas Stamford Raffles. Hasil penelitian itu dituangkannya dalam karya monumentalnya yang
berjudul The History of Java. Dalam bukunya itu, Raffles melampirkan transkripsi dari prasasti Batutulis
sebagai objek penelitiannya. Raffles juga menyebutkan kalau batu prasasti itu dalam kondisi kurang baik
saat ditemukan.
Apa yang disebutkan Raffles mengenai kondisi batutulis ini ditentang oleh seorang sarjana
Belanda, R.Friederich dalam tulisannya "Verklaring van de Batoe-toelis van Buitenzorg" yang terbit di
jurnal ilmiah Tijdschrift voor Indische taal-,land-,end volkenkunde, I.1853. Ia justru menganggap kalau
tulisan yang ada di batu prasasti itu masih cukup layak dibaca. Selain itu, ia juga membuat alih aksara dan
menterjemahkannya ke dalam bahasa Belanda lengkap dengan transkripsinya di tahun 1853.
Prasasti Batu tulis berisikan sembilan baris susunan yang bertuliskan Jawa Kuna dan berbahasa
Sunda Kuna, namun tidak seluruh tulisannya bisa terbaca dengan sempurna. Salah satu aksara yang masih
menjadi bahan perdebatan para ahli adalah satu aksara di depan frasa ban yang hanya tampak tanda
diakritik (Pepet). Perdebatan tersebut terutama menyangkut candrasengkala atau penentuan tahun dari
prasasti Batutulis tersebut. Candrasengkala itu berbunyi panca pandawa ban bumi.
C.M.Pleyte seorang etnolog Belanda memiliki pemikiran lain yang dituangkannya dalam Het
Jaartal op den Batoe-toelis nabij Buitenzorg, yang terbit di jurnal Tijdschrift voor Indische taal-land-, en
volkenkunde, LIII, 1911. Dalam tulisannya, Pleyte menafsirkan aksara yang tidak terbaca di depan kata
"ban" adalah huruf A, lalu ia menyisipkan huruf M di antara kata tersebt sehingga membentuk kalimat
emban / amban. Pleyte memperkirakan bahwa kata emban berasal dari angka empat sesuai dengan jumlah
para punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Dengan demikian, aksara
sengkalan itu berarti: Panca (5), Pandawa (5), Emban (4), dan Bumi (1), sehingga bisa ditafsirkan bahwa
tahun dituliskannya prasasti itu adalah tahun 1455 Caka atau 1533 Masehi. 

Prasasti Batutulis tahun 1770


Akan tetapi, apa yang ditafsirkan Pleyte itu disanggah oleh sejarawan Hoesein Djajadiningrat.
Beliau inilah yang menjadi pribumi pertama yang melakukan penelitian dan pengkajian terhadap prasasti
Batutulis di Bogor. Ia menuangkan pemikirannya itu dalam disertasi Critische Beschouwing van de
Sadjarah Banten tahun 1913 di Rijksuniversiteit Leiden. Hoesein berpendapat bahwa ngemban lebih
layak memiliki angka tiga (3), sehingga angka di tahun prasasti Batutulis adalah 1355 Caka atau 1433 M.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh seorang ahli epigrafi Poerbatjaraka. Dalam De Batoe-Toelis
bij Buitenzorg jurnal TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), 59, 1920, dia menyebutkan bahwa
frasa ngemban adalah dua (2). Dasar pemikirannya adalah arti kata ngemban yang bermakna mengendong
atau mengemban/mengutus selalu memiliki jumlah dua yaitu menggendong dan digendong, serta
mengutus dan yang diutus, sehingga Poerbatjaraka memperkirakan bahwa tarikh prasasti Batutilis adalah
1255 Caka atau tahun 1333 M.
Merujuk pada pendapat Hoesein bahwa angka tahun di prasasti Batutulis bertepatan dengan naik
tahtanya Niskala Wastukancana (1363-1467), sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa angka tahun di
prasasti tersebut berkaitan dengan masa Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur di lapangan Bubat.
Hasan Djafar, ahli epigrafi yang selalu melakukan kajian terhadap prasasti peninggalan kerajaan
Sunda ini mengungkap bahwa kedua pendapat tersebut jauh berbeda dari informasi yang tertulis dalam
batu prasasti tersebut. Menurutnya, isi prasasti menyebutukan bahwa prasasti ini dibuat pada masa Prabu
Surawisesa (1521-1535) untuk mengenang jasa-jasa Prabu Ratu, cucu dari Niskala Wastukancana yang
mangkat di Nusalarang. Prabu Ratu kemudian dinobatkan dengan nama Prabu Dewataprana, dan kembali
dinobatkan menjadi Sri Baduga Maharaja yang mangkat di Gunatiga. Dari hal tersebut, disimpulkan
bahwa angka yang paling mendekati adalah angka tahun 1533, sama seperti yang diperkirakan oleh
Pleyte. 

Prasasti Batutulis berada di daerah Batu Tulis, Kota Bogor.


Batu prasasti ini memiliki tiga bagian isi, yaitu: 
1. Manggala atau pembuka yang memuat seruan wang na pun dan permohonan keselamatan kepada
Dewa.
2. Sambandha atau tujuan pembuatan prasasti sebagai tanda peringatan (sakakala) untuk mendiang
Sri Baduga Maharaja atas jasa-jasanya dalam membuat parit pertahanan yang mengelilingi ibukota
Pakuan-Pajajaran, membuat jalan yang diurug oleh batu-batuan, membuat hutan larangan atau samida,
dan membuat Telaga Warna Mahawijaya.
3. Candrasengkala atau titimangsa yang bertuliskan panca pandawa ngemban bumi berangka 1455
Caka atau 1533 M.

Tradisi saat merayakan 1 Suro selalu berulang di sejumlah kraton di Tanah Air. Kasunanan
Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, hingga Kasepuhan Cirebon merayakannya.

Kraton Surakarta misalnya, menggelar agenda jamas (memandikan) pusaka-pusaka kraton pada malam 1
Suro. Kirab kerbau bule, Kiai Slamet juga dilaksanakan pada hari yang sama.

Ritual tersebut hanya sebagian dari pemanfaatan kalender Jawa yang dicanangkan oleh Sri Sultan
Muhammad Sultan Agung Prabu Anjokrokusumo atau dikenal dengan Sultan Agung; Raja Mataram
Islam ketiga dan memerintah periode 1633-1645. Kalender yang dia ciptakan itu memadukan kalender
Hijriah dengan kalender Saka, penyatuan antara animisme, dinamisme dan Hindu.

Kalender punya makna penanda waktu kegiatan atau ritual-ritual keagamaan. Dalam tradisi agama-agama
di dunia kalender memiliki posisi penting dalam penentuan hari-hari besar atau waktu-waktu yang
disakralkan.

Menurut Islam, sistem kalender terkait dengan waktu puasa, hari raya, dan ibadah haji. Setelah terjadi
perpaduan antara budaya Jawa dan Islam dalam kalender Sultan Agung, fungsi kalender, semakin penting
dan vital bagi kehidupan masyarakat.

Suku Jawa yang kuat dengan keyakinan akan animisme dan dinamisme, menjadikan kalender Sultan
Agung sebagai acuan dalam mengatur kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan kalender Hijriyah, aturan
hal-hal terkait ibadah dan tidak banyak jumlahnya, menjadi utama.
Berdasarkan Politik Hukum Dalam Perumusan Kalender Islam (Studi Tentang Kebijakan Kalender Nabi
Muhammad SAW di Jazirah Arab dan Kalender Sultan Agung di Tanah Jawa), budaya Jawa sudah
terbentuk dan berkembang sejak zaman prasejarah. Budaya Jawa zaman prasejarah berdasarkan pada
kepercayaan animisme dan dinamisme. Yakni, berdasarkan pemikiran, alam semesta dihuni oleh arwah-
arwah yang di antaranya adalah arwah leluhur.

Selain itu di antara karakteristik budaya masyarakat Jawa adalah kepercayaan bahwa segala yang ada di
alam semesta merupakan simbol-simbol memiliki makna. Baik itu benda konkrit atau abstrak, semua
memiliki makna dan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu.

Tatkala Islam datang ke Jawa, pola pikir kepercayaan lama masyarakat masih melekat. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh para penyeru agama Islam, menyiarkan dakwah bercorak toleransi. Yakni, mengadopsi
budaya lama tetapi dengan diisi dengan nilai-nilai agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai