A. Pendahuluan
Salah satu hal yang menandai perkembangan astronomi suatu negara adalah
dengan digunakannya kalender sebagai patokan dan pertanda terjadinya peristiwa-
peristiwa penting di negara tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa negara yang
bersangkutan sudah mulai melihat siklus peredaran benda langit secara valid,
sistematis, dan ilmiah. Di negara Indonesia sendiri, kalender sudah mulai
digunakan sejak abad ke-8 M yang dibuktikan dengan munculnya berbagai
prasasti bertuliskan huruf Pallawa atau Jawa kuna disertai waktu pembuatan
prasasti tersebut (Zoetmulder, 1983:3 dalam Marsono, 2008:163). Sumber yang
lain menyebutkan bahwa Indonesia sudah mulai mengenal kalender sejak tahun +
911 SM yang diperkenalkan oleh Mpu Hubayun dan sudah mengalami tiga kali
revisi, yaitu pada tahun + 50 SM oleh Prabu Sri Maha Punggung I atau Ki Ajar
Padang I, diikuti tanggal 21 Juni 77 M oleh Prabu Ajisaka atau Prabu Sri Maha
Punggung III, dan terakhir pada tanggal 8 Juli 1633 M oleh Sultan Agung
Hanyakra Kusuma dari kerajaan Mataram (what-is-java.org). Kalender hasil revisi
Sultan Agung inilah yang sampai sekarang masih digunakan masyarakat Jawa dan
dikenal sebagai kalender Jawa.
Sistem kalender Jawa yang dikembangkan Sultan Agung merupakan
perpaduan antara sistem tahun Saka dengan tahun Hijriah. Sistem tahun Saka
sendiri merupakan perpaduan hasil akulturasi asli Jawa dengan Hindu-Budha
(bdk. Pigeaud dalam Marsono, 2008:163). Dalam budaya Jawa, kalender Jawa
tidak hanya berfungsi sebagai waktu penanda suatu peristiwa tetapi juga berfungsi
sebagai prediksi keberlangsungan dan kebahagiaan suatu perjodohan ataupun
suatu kejadian tertentu (Tjakraningrat, 1994: 17 dalam Marsono, 2008:168).
Selain kalender Jawa, kebudayaan Jawa juga mengenal pranatamangsa
yang dipakai sebagai pegangan oleh nenek moyang khususnya pelaut untuk
navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan, para petani tradisional
untuk memulai mengolah sawah lahannya, dan nelayan untuk menangkap ikan di
laut (Marsono, 2008:168). Karena peredaran matahari dalam setahun
menyebabkan perubahan musim, pranatamangsa juga memiliki sejumlah penciri
klimatologis sebagai pertanda tibanya suatu musim tertentu.
Seiring berjalannya waktu, konsep penanggalan kalender Jawa dan
pranatamangsa ini semakin meredup pamornya. Hal ini disebabkan antara lain
karena: (1) kalender yang berkembangang di Indonesia adalah kalender Masehi,
sehingga kebanyakan orang lebih memilih kalender Masehi sebagai penanda
waktu, (2) anggapan orang-orang bahwa semua hari adalah hari baik, sehingga
tidak diperlukan lagi penghitungan untuk acara-acara tertentu berdasarkan
perhitungan neptu dari hari dan pasaran dalam kalender Jawa, dan (3) mulai
berkurangnya masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai petani, dan pelaut yang
menyebabkan berkurangnya masyarakat Jawa yang menggunakan pranatamangsa
sebagai penanda waktu tanam maupun panen. Jika hal ini terus berlanjut dengan
semakin minimnya pemerhati kebudayaan Nusantara, maka tidak menutup
kemungkinan kalender Jawa akan terhapus dari sistem kalender Nusantara, dan
hanya menjadi cerita di masa lalu yang akan terlupakan.
Sebagai antisipasi dari permasalahan tersebut, penulis mencoba untuk
mengkaji kembali bagaimana sistem penanggalan dan pranatamangsa yang ada di
pulau Jawa. Untuk pembahasannya penulis batasi hanya pada kalender Jawa yang
diterapkan di pulau Jawa (Jawa Tengah dan Yogyakarta) hasil revisi Sultan
Agung Hanyakra Kusuma dari kerajaan Mataram pada tahun 1633 M. Hal ini
disebabkan karena minimnya informasi yang penulis dapatkan terkait dengan
perkembangan kalender Jawa sebelum Sultan Agung Hanyakra Kusuma.
Harapannya semoga melalui tulisan ini penulis dan pembaca dapat lebih
aware dan peduli terhadap kebudayaan Nusantara yang juga mawakili sejarah
perkembangan astronomi Nusantara di masa lalu.
B. Pembahasan
1. Sejarah Kalender Jawa: Sultan Agung
Kalender Jawa yang saat ini masih digunakan masyarakat Jawa Tengah
dan Yogyakarta merupakan kalender hasil gubahan Sri Sultan Muhammad
Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo (Sultan Agung) dari kerajaan Mataram.
(Muh. Wardan, tanpa tahun:5 dalam Abdur Rachim, 2003:5). Sebelum
menggunakan kalender Jawa, Kesultanan Demak, Banten, dan Mataram
menggunakan kalender Saka dan kalender Hijriah secara bersama-sama
(Susiknan, 2008:194). Kalender Saka yang berasal dari sistem penanggalan
Hindu-Budha mendasarkan perhitungannya pada peredaran Matahari (Solar
System) sedangkan kalender Hijriah mendasarkan perhitungannya pada
pergerakan Bulan mengelilingi Bumi (Lunar System).
Perombakan Kalender Jawa ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan
dua kalender tersebut dengan semangat memadukan tradisi dan tuntutan syar’i,
dengan harapan agar hari raya Islam (maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha)
yang dirayakan di Kraton Mataram dengan sebutan “grebeg” dapat
dilaksanakan pada hari dan tanggal yang tepat sesuai ketentuan dalam Kalender
Hijriah (Susiknan, 2008:200). Selain itu perombakan tersebut juga
dimaksudkan untuk merangkul seluruh rakyat Jawa agar menyatu di bawah
kekuasaan Mataram. Bersatunya masyarakat Mataram tidak lain adalah upaya
Sultan Agung untuk menggalang kekuatan menyerbu Belanda dengan VOC-
nya di Batavia pada tahun 1628 dan 1629 (halamanputih.wordpress.com).
Adapun prombakan-perombakan yang dilakukan Sultan Agung teradap
kalender sebelumnya adalah sebagaimana penjelasan berikut:
a. Sistem kalender Saka yang awalnya merupakan sistem Surya dirubah ke
dalam sistem Lunar seperti pada perhitungan kalender Hijriah.
b. Pergantian tahun diawali di akhir tahun 1554 tahun Saka. Angka 1554
diteruskan dengan tahun Jawa Sultan Agung dimulai pada hari Jum’at Legi
tanggal 1 Suro tahun Alip 1555, bertepatan pada tanggal 1 Muharram
tahun 1043 Hijriah, dan 8 Juli 1633 Masehi.
c. Nama bulan dalam tahun Saka diganti menjadi nama bulan seperti pada
kalender Hijriah. Untuk memudahkan pembacaan dan penyesuaiaan
dengan lidah orang Jawa, beberapa nama bulan dalam tahun Hijriah,
diganti dan disesuaikan dengan pengucapan lidah Jawa.
d. Bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan
genap umurnya 29 hari (kecuali bulan Besar pada tahun panjang/wuntu
ditambah satu hari menjadi genap 30 hari) (Susiknan, 2008:201).
e. Hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) tetap dipertahankan
(Susiknan, 2008:201).
f. Penentuan tahun kabisat dalam kalender Jawa berbeda dengan kalender
Hijiriah. Dalam kalender Jawa 1 windu yang lamanya 8 tahun dianggap
sebagai satu siklus yang mempunyai 3 tahun kabisat yaitu tahun dengan
urutan ke -3, 5, dan 8. Sedangkan pada kalender Hijriah menggunakan
siklus 30 tahun, dengan tahun kabisat adalah tahun yang berada pada
urutan ke, 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29.
g. Setiap 120 tahun terjadi pergantian kurup.
(Irfan Anshori, 2008:129; Stibbe & Spat, 1927:409; Partokusumo,
1995:223 dalam Marsono, 2008:164)
Referensi:
Abdur Rachim. 2003. Aspek Astronomi dalam kalender Bulan dan Kalender Matahari
di Indonesia (Penanggalan Jawa dan Sura). Makalah disampaikan dalam Seminar
dan Workshop Nasional, “Aspek Astronomi dalam Kalender Bulan dan Kalender
Matahari di Indonesia”, diselenggarakan oleh KK Astronomi dan Observatorium
Boscha tanggal 14 Oktober 2003 di Observatorium Boscha, Lembang.
halamanputih.wordpress.com
Irfan Anshori. 2003. Tahun Berapakah Sekarang. Makalah disampaikan dalam Seminar
dan Workshop Nasional, “Aspek Astronomi dalam Kalender Bulan dan Kalender
Matahari di Indonesia”, diselenggarakan oleh KK Astronomi dan Observatorium
Boscha tanggal 14 Oktober 2003 di Observatorium Boscha, Lembang
Marsono. 2008. Astronomi, dalam Persepektif Budaya Nusantara dan Identitas Budaya
Lokal. Makalah disampaikan dalam Risalah Seminar Nasional. “Mengembangkan
Penemuan Kekayaan Kandungan Astronomi Klasik dalam Kebhinekaan Budaya
dan Pengaruhnya terhadap Masyarat Indonesia”, diselenggarakan oleh IOAA
bekerjasama dengan ITB tanggal 26-27 Agustus 2008 di Sabuga, Bandung.
Susiknan. 2008. Kalender Jawa Islam, Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar’i.
Makalah disampaikan dalam rangka menyambut Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu
Budaya UGM Yogyakarta, diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM pada
tanggal 23 Februari 2008 di UGM Yogyakarta.
Suwitra, Nyoman.2001. Astronomi Dasar. Jurusan Pendidikan Fisika, IKIP N
Singaraja: Singaraja
what-is-Java.org
wikipedia.org/pranatamangsa