Anda di halaman 1dari 14

Menggali Khazanah Astronomi Nusantara

Melalui Kalender Jawa dan Pranatamangsa

Arfilisiana An Nafi (20313001)


Magister Astronomi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesha No 10 Bandung 40132 Indonesia
arfilisiana.annafi@gmail.com

A. Pendahuluan
Salah satu hal yang menandai perkembangan astronomi suatu negara adalah
dengan digunakannya kalender sebagai patokan dan pertanda terjadinya peristiwa-
peristiwa penting di negara tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa negara yang
bersangkutan sudah mulai melihat siklus peredaran benda langit secara valid,
sistematis, dan ilmiah. Di negara Indonesia sendiri, kalender sudah mulai
digunakan sejak abad ke-8 M yang dibuktikan dengan munculnya berbagai
prasasti bertuliskan huruf Pallawa atau Jawa kuna disertai waktu pembuatan
prasasti tersebut (Zoetmulder, 1983:3 dalam Marsono, 2008:163). Sumber yang
lain menyebutkan bahwa Indonesia sudah mulai mengenal kalender sejak tahun +
911 SM yang diperkenalkan oleh Mpu Hubayun dan sudah mengalami tiga kali
revisi, yaitu pada tahun + 50 SM oleh Prabu Sri Maha Punggung I atau Ki Ajar
Padang I, diikuti tanggal 21 Juni 77 M oleh Prabu Ajisaka atau Prabu Sri Maha
Punggung III, dan terakhir pada tanggal 8 Juli 1633 M oleh Sultan Agung
Hanyakra Kusuma dari kerajaan Mataram (what-is-java.org). Kalender hasil revisi
Sultan Agung inilah yang sampai sekarang masih digunakan masyarakat Jawa dan
dikenal sebagai kalender Jawa.
Sistem kalender Jawa yang dikembangkan Sultan Agung merupakan
perpaduan antara sistem tahun Saka dengan tahun Hijriah. Sistem tahun Saka
sendiri merupakan perpaduan hasil akulturasi asli Jawa dengan Hindu-Budha
(bdk. Pigeaud dalam Marsono, 2008:163). Dalam budaya Jawa, kalender Jawa
tidak hanya berfungsi sebagai waktu penanda suatu peristiwa tetapi juga berfungsi
sebagai prediksi keberlangsungan dan kebahagiaan suatu perjodohan ataupun
suatu kejadian tertentu (Tjakraningrat, 1994: 17 dalam Marsono, 2008:168).
Selain kalender Jawa, kebudayaan Jawa juga mengenal pranatamangsa
yang dipakai sebagai pegangan oleh nenek moyang khususnya pelaut untuk
navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan, para petani tradisional
untuk memulai mengolah sawah lahannya, dan nelayan untuk menangkap ikan di
laut (Marsono, 2008:168). Karena peredaran matahari dalam setahun
menyebabkan perubahan musim, pranatamangsa juga memiliki sejumlah penciri
klimatologis sebagai pertanda tibanya suatu musim tertentu.
Seiring berjalannya waktu, konsep penanggalan kalender Jawa dan
pranatamangsa ini semakin meredup pamornya. Hal ini disebabkan antara lain
karena: (1) kalender yang berkembangang di Indonesia adalah kalender Masehi,
sehingga kebanyakan orang lebih memilih kalender Masehi sebagai penanda
waktu, (2) anggapan orang-orang bahwa semua hari adalah hari baik, sehingga
tidak diperlukan lagi penghitungan untuk acara-acara tertentu berdasarkan
perhitungan neptu dari hari dan pasaran dalam kalender Jawa, dan (3) mulai
berkurangnya masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai petani, dan pelaut yang
menyebabkan berkurangnya masyarakat Jawa yang menggunakan pranatamangsa
sebagai penanda waktu tanam maupun panen. Jika hal ini terus berlanjut dengan
semakin minimnya pemerhati kebudayaan Nusantara, maka tidak menutup
kemungkinan kalender Jawa akan terhapus dari sistem kalender Nusantara, dan
hanya menjadi cerita di masa lalu yang akan terlupakan.
Sebagai antisipasi dari permasalahan tersebut, penulis mencoba untuk
mengkaji kembali bagaimana sistem penanggalan dan pranatamangsa yang ada di
pulau Jawa. Untuk pembahasannya penulis batasi hanya pada kalender Jawa yang
diterapkan di pulau Jawa (Jawa Tengah dan Yogyakarta) hasil revisi Sultan
Agung Hanyakra Kusuma dari kerajaan Mataram pada tahun 1633 M. Hal ini
disebabkan karena minimnya informasi yang penulis dapatkan terkait dengan
perkembangan kalender Jawa sebelum Sultan Agung Hanyakra Kusuma.
Harapannya semoga melalui tulisan ini penulis dan pembaca dapat lebih
aware dan peduli terhadap kebudayaan Nusantara yang juga mawakili sejarah
perkembangan astronomi Nusantara di masa lalu.
B. Pembahasan
1. Sejarah Kalender Jawa: Sultan Agung
Kalender Jawa yang saat ini masih digunakan masyarakat Jawa Tengah
dan Yogyakarta merupakan kalender hasil gubahan Sri Sultan Muhammad
Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo (Sultan Agung) dari kerajaan Mataram.
(Muh. Wardan, tanpa tahun:5 dalam Abdur Rachim, 2003:5). Sebelum
menggunakan kalender Jawa, Kesultanan Demak, Banten, dan Mataram
menggunakan kalender Saka dan kalender Hijriah secara bersama-sama
(Susiknan, 2008:194). Kalender Saka yang berasal dari sistem penanggalan
Hindu-Budha mendasarkan perhitungannya pada peredaran Matahari (Solar
System) sedangkan kalender Hijriah mendasarkan perhitungannya pada
pergerakan Bulan mengelilingi Bumi (Lunar System).
Perombakan Kalender Jawa ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan
dua kalender tersebut dengan semangat memadukan tradisi dan tuntutan syar’i,
dengan harapan agar hari raya Islam (maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha)
yang dirayakan di Kraton Mataram dengan sebutan “grebeg” dapat
dilaksanakan pada hari dan tanggal yang tepat sesuai ketentuan dalam Kalender
Hijriah (Susiknan, 2008:200). Selain itu perombakan tersebut juga
dimaksudkan untuk merangkul seluruh rakyat Jawa agar menyatu di bawah
kekuasaan Mataram. Bersatunya masyarakat Mataram tidak lain adalah upaya
Sultan Agung untuk menggalang kekuatan menyerbu Belanda dengan VOC-
nya di Batavia pada tahun 1628 dan 1629 (halamanputih.wordpress.com).
Adapun prombakan-perombakan yang dilakukan Sultan Agung teradap
kalender sebelumnya adalah sebagaimana penjelasan berikut:
a. Sistem kalender Saka yang awalnya merupakan sistem Surya dirubah ke
dalam sistem Lunar seperti pada perhitungan kalender Hijriah.
b. Pergantian tahun diawali di akhir tahun 1554 tahun Saka. Angka 1554
diteruskan dengan tahun Jawa Sultan Agung dimulai pada hari Jum’at Legi
tanggal 1 Suro tahun Alip 1555, bertepatan pada tanggal 1 Muharram
tahun 1043 Hijriah, dan 8 Juli 1633 Masehi.
c. Nama bulan dalam tahun Saka diganti menjadi nama bulan seperti pada
kalender Hijriah. Untuk memudahkan pembacaan dan penyesuaiaan
dengan lidah orang Jawa, beberapa nama bulan dalam tahun Hijriah,
diganti dan disesuaikan dengan pengucapan lidah Jawa.
d. Bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan
genap umurnya 29 hari (kecuali bulan Besar pada tahun panjang/wuntu
ditambah satu hari menjadi genap 30 hari) (Susiknan, 2008:201).
e. Hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) tetap dipertahankan
(Susiknan, 2008:201).
f. Penentuan tahun kabisat dalam kalender Jawa berbeda dengan kalender
Hijiriah. Dalam kalender Jawa 1 windu yang lamanya 8 tahun dianggap
sebagai satu siklus yang mempunyai 3 tahun kabisat yaitu tahun dengan
urutan ke -3, 5, dan 8. Sedangkan pada kalender Hijriah menggunakan
siklus 30 tahun, dengan tahun kabisat adalah tahun yang berada pada
urutan ke, 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29.
g. Setiap 120 tahun terjadi pergantian kurup.
(Irfan Anshori, 2008:129; Stibbe & Spat, 1927:409; Partokusumo,
1995:223 dalam Marsono, 2008:164)

2. Sistem Penanggalan Kalender Jawa: Sulatn Agung


Sistem kalender Jawa yang dikembangkan Sultan Agung merupakan
sistem Lunar, yaitu sistem penanggalan yang berdasarkan pada peredaran
Bulan mengelilingi Bumi. Awal bulan dimulai ketika Bulan dan Matahari
berada pada sisi yang sama (New Moon).
Periode revolusi Bulan mengeliling Bumi membutuhkan waktu 27,32166
hari (periode sideris). Tetapi selama satu kali revolusi ini, Bumi dan Bulan
bersama telah bergerak mengitari Matahari sekitar 27o atau 1/3 perjalanan
mengitari Matahari. Sebagaimana digambarkan pada gambar 2, misalnya pada
awalnya Bumi berada di titik B1 dan posisi bulan baru berada pada sisi yang
sama dengan Matahari. Setelah 27,32 hari Bulan telah mengitari Bumi selama
satu putaran, tetapi Bumi telah berada di posisi B2, sehingga tidak
memungkinkan untuk terjadi bulan baru. Untuk mencapai posisi fase yang
sama, bulan harus berada di posisi sebagaimana diperlihatkan gambar ketika
Bumi berada di posisi B3, dan untuk itu diperlukan lagi waktu sekitar 2 hari,
tepatnya untuk mencapai posisi oposisi ini lagi waktunya menjadi 29,5 hari
(Periode Sinodis) (Nyoman Suwitra, 66:2001). Periode sinodis inilah yang
pada akhirnya digunakan sebagai jumlah hari selama satu bulan dalam sistem
kalender Lunar. Karena jumlahnya 29,5 hari maka selama satu bulan sebagian
bulan berjumlah 29 hari dan sebagian lainnya berjumlah 30 hari.

Gambar 1. Fase-fase Bulan

Gambar 2. Periode Sideris dan Sinodis Bulan


Meskipun sama-sama menggunakan Lunar sebagai patokan dalam
penanggalan, tetapi kalender Jawa berbeda dengan kalender Hijriah dalam
menentukan tahun pendek/354 (basithoh dalam Hijriah dan wastu dalam
Jawa) dan tahun panjang/355 (kabisah dalam Hijriah dan wuntu dalam Jawa).
Pada penanggalan Hijriah penentuan tahun pendek dan panjang didasarkan
pada periode siklus yang terdiri dari 30 tahun, sedangkan penanggalan Jawa
mempunyai periode siklus 8 tahun. Dalam kalender Hijriah yang termasuk
tahun panjang adalah tahun ke: 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29.
Sedangkan dalam kalender Jawa, tahun panjangnya jatuh pada tahun ke 2, 5,
dan 8 (Wardan, 1957: 9,13 dalam Marsono 2008:165).
Perhitungan di atas akan menyebabkan perbedaaan jumlah hari antara
penanggalan Jawa dengan penanggalan Hijriah dalam kurun waktu 120 tahun.
Sebagaimana penjelasan dalam tabel dibawah.
Tabel 1.
Perbedaan Jumlah Hari dalam Kurun Waktu 120 tahun
antara Kalender Jawa dan Kalender Hijriah
Kurun waktu 120 tahun K. Hijriah K. Jawa
Jumlah hari dalam tahun panjang 44x355=15.620 hari 45x355=15.975 hari
Jumlah hari dalam tahun pendek 76x354= 26.904 hari 75x354= 26.550 hari
Jumlah hari selama 120 tahun 42.524 hari 42.525 hari

Untuk menyelesaikan permasalahan ini, atau agar kalender Jawa sejajar


dengan kalender Hijriah, maka setiap 120 tahun dilakukan pengurangan satu
hari dengan cara tahun yang seharusnya masuk dalam tahun panjang (wuntu)
menjadi tahun pendek (wastu) atau dalam istilah Jawa dikenal dengan istilah
pergantian “huruf/kurup” (Warsono, 2008)
Semenjak penanggalan Jawa Sultan Agung diberlakukan, pengunduran
tersebut telah terjadi sebanyak tiga kali, yaitu:
a. Pengunduran setelah 72 tahun (17 Mei 1703 M/1115 H/1627 Jawa)
b. Pengunduran setelah 120 kemudian (20 Oktober 1819 M/1235H/1747H)
c. Pengunduran setelah 120 tahun kemudian (24 Maret 1936 M/ 1355 H/
1867 Jawa). Dan pengunduran selanjutnya akan terjadi setelah 120 tahun
kemudian atau bertepatan dengan tahun 1475 H/1987 Jawa

3. Rangkapan Sistem Penanggalan Jawa


Rangkapan merupakan komponen-komponen yang ada dalan kalender
Jawa meliputi antara lain: bulan (wulan/sasi), hari (dinten), pasaran, wuku,
dan nama tahun. Dalam budaya Jawa masing-masing rangkapan mempunyai
neptu dan watak masing-masing, yang digunakan masyarakat Jawa untuk
menunjukkan watak waktu yang bersangkutan.
a. Nama Bulan (Wulan/Sasi)
Tabel 2.
Nama Bulan dalam Kalender Jawa
Nama Bulan Jumlah Hari Neptu Watak
Suro 30 7 banyak celakanya
Sapar 29 2 baik,bersahaja
Mulud 30 3 mudah celaka
Bakda Mulud 29 5 selamat atas segalanya
Jumadil Awal 30 6 sakit berganti-ganti
Jumadil Akhir 29 1 mendapat restu orangtua
Rejeb 30 2 banyak masalah
Ruwah 29 4 selamat, hati-hati
Pasa 30 5 banyak keberuntungan dan rezeki
Sawal 29 7 banyak berniat jelek/jahat
Dzulkangidah 30 1 dikasihi saudara
Besar 29/30 3 utama, selamat, baik
(Wardan, 1957:14; Tjakraningrat, 1994:7,73; Partokusumo, 1995:22 dalam
Marsono, 2008:167)
b. Dina (Dinten)
Perhitungan ganti hari menurut masyarakat di kasultanan Mataram
(Yogyakarta/sebagian pulau Jawa) dimulai setelah maghrib. Berbeda
dengan masyarakat barat yang menghitung bergantinya hari mulai pukul
12 malam. Tetapi jumlah hari masih sama tujuh hari. Nama yang
digunakan menggunakan nama hari pada kalender Hijriah yang
disesuaikan dengan lidah orang Jawa. Masing-masing hari mempunyai
neptu dan watak yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya.
Ketujuh hari, neptu, dan sifat wataknya seperti tabel di bawah.
Tabel 3
Nama Hari dalam Kalender Jawa
Hari Neptu Watak
Ahad/Ngat 5 baik, baik pada lahir, mudah ikut-ikutan
Senen 4 bagus terhadap segala yang dikerjakan
Selasa 3 tidak gampang percaya
Rebu 7 sesuai yang dikatakan
Kemis 8 suka memikir, mencela/memuji
Jumu’ah 6 serba bersh, suci
Sabtu 9 banyak kehendak, serakah, suka memuji barang bagus
(Resowidjojo, 1959:122; Tjakraningrat, 1994:7,72 dalam Marsono,
2008:167)
c. Pasaran
Hari pasaran atau sering disebut pancawara sudah ada sejak sebelum
orang Hindu datang di Nusantara. Jumlah pasaran itu ada lima. Masing-
masing hari pasaran mempunyai neptu dan watak sendiri yang diyakini
dapat berpengaruh dalam kehidupan manusia, diantaranya pada sifat anak
yang lahir pada hari tersebut. Kelima hari, neptu, dan sifat wataknya
seperti di bawah,
Tabel. 4
Pasaran dalam Kalender Jawa
Pasaran Neptu Watak
Kliwon 8 Pandai bicara, menguasai
Legi 5 Menguasai, kaya, suka menolong, segalanya bisa
Paing 9 Suka kepunyaan orang lain, suka kepada apa saja yang dilihat
Pon 7 Suka memperlihatkan kekayaan
Wage 4 Tetap atau keras hati
(Resowidjojo, 1959:122-123; Tjakraningrat, 1994:7,73 dalam Marsono,
2008:167)
d. Wuku
Wuku adalah penamaan siklus hari yang digunakan oleh orang Jawa
untuk antara lain mengetahui sifat dan nasib manusia sesuai dengan hari
kelahiran dalam wuku itu dan memilih hari baik untuk hajat penting.
Wuku terdiri dari 30 nama, setiap satu nama berumur 7 hari, sehingga satu
siklus wuku lamanya menjadi 30x7 hari = 210 hari. Watak masing-masing
wuku biasanya dilukiskan dengan sifat-sifat dewa, unsur alam dari dunia
fauna seperti burung dan dunia flora seperti air, daun, dan kayu.
Tabel 5.
Siklus Wuku
Nama Waktu Nama Waktu
Sinta Ahad Paing – Sabtu Pon Pahang Ahad Paing – Sabtu Pon
Landep Ahad Wage – Sabtu Kliwon Kuruwelut Ahad Wage – Sabtu Kliwon
Wukir Ahad Legi – Sabtu Paing Marakeh Ahad Legi – Sabtu Paing
Kuranti Ahad Pon – Sabtu wage Medangkungan Ahad Pon – Sabtu wage
Tolu Ahad Kliwon – Sabtu legi Tambir Ahad Kliwon – Sabtu legi
Gumbreg Ahad Paing – Sabtu Pon Maktal Ahad Paing – Sabtu Pon
Warigalit Ahad Wage – Sabtu Kliwon Wuye Ahad Wage – Sabtu Kliwon
Warigagung Ahad Legi – Sabtu Paing Manail Ahad Legi – Sabtu Paing
Julungwangi Ahad Pon – Sabtu wage Prangbakat Ahad Pon – Sabtu wage
Sungsang Ahad Kliwon – Sabtu legi Bala Ahad Kliwon – Sabtu legi
Galungan Ahad Paing – Sabtu Pon Wugu Ahad Paing – Sabtu Pon
Kuningan Ahad Wage – Sabtu Kliwon Wayang Ahad Wage – Sabtu Kliwon
Langkir Ahad Legi – Sabtu Paing Kulawu Ahad Legi – Sabtu Paing
Mandasiya Ahad Pon – Sabtu wage Dukut Ahad Pon – Sabtu wage
Julungpujud Ahad Kliwon – Sabtu legi Watugunung Ahad Kliwon – Sabtu legi
e. Nama Tahun (Taun)
Satu siklus tahun Jawa terdiri dari delapan tahun. Masing- masing
tahun mempunyai neptu sendiri. Uraian beserta aksara dalam ejaan arab
seperti di bawah.
Tabel. 6
Nama Tahun dalam Kalender Jawa
Tahun
Nama Huruf Neptu
Ke
1 Alip Alif 1
2 Ehe Ha’ 5
3 Jimawil Jim 3
4 Je Zain 7
5 Dal Dal 4
6 Be Ba’ 2
7 Wawu Wawu 6
8 Jimakir Jim 3
(Wardan, 1957:13, Tjakraningrat, 1994:7 dalam Marsono, 2008:169)
Keadaan atau sifat fisis masing-masing tahun Jawa ditentukan oleh
jatuhnya tanggal satu suro seperti penjelasan di bawah:
a. Satu suro jatuh pada hari Jum’at disebut tahun udang. Menurut
Resowidojo pada tahu itu jarang hujan, sedangkan karkono kamajaya
partokusumo menyebutkan banayak hujan.
b. Jatuh pada hari sabtu, disebut tahun kambing: tahun itu sifatnya jarang
hujan.
c. Jatuh pada hari Ahad, tahun lipan, sifatnya jarang hujan.
d. Hari senin, tahun cacing, sifatnya banyak hujan.
e. Hari selasa, tahun katak, sifatnya banyak hujan.
f. Hari Rabu, tahun kerbau, sifatnya banyak hujan.
g. Hari kamis, tahun mimi, banyak hujan.
(Resowidojo, 1959:122 dalam Marsono, 2008:17)
d. Windu
Siklus satu windu terdiri dari delapan tahun. Satu siklus ada empat
windu. Nama masing-masing windu dengan wataknya seperti di bawah
a. Adi, watak/maknanya “bagus, permulaan, unggul, di dunia banyak
pembangunan baru
b. Kuntara, watak/maknanya bergerak, di dunia banyak pergerakan baru
c. Sangara, watak/maknanya banjir, di dunia banyak hujan, banyak banjir
d. Sancaya, watak/maknanya pergaulan, banyak orang menjadi
bersahabat/rukun
(Resowidjojo, 1959:122 dalam Marsono, 2008:170)
4. Pranatamangsa
Pranatamangsa dalam masyarakta Jawa sudah ada sejak lebih 2.000
tahun yang lalu yang memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam
lainnya. Pranatamangsa yang berbasis peredaran Matahari dimanfaatkan
sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri
menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu
tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu.
Sebelum tahun 1855, lama siklus pranatamangsa berbeda dalam daftar yang
satu dengan yang lain, misalnya ada daftar yang menyebut 360, 362, atau 365
hari. Sejak 22 Juni 1855 oleh Sunan Pakubuwono VII di Surakarta jumlahnya
dibekukan yakni 365,5 hari (Resowidjojo, 1959: 120 dalam Marsono, 2008)
Pranatamangsa bersifat lokal dan temporal (dibatasi oleh tempat dan
waktu) sehingga suatu perincian yang dibuat untuk suatu tempat tidak
sepenuhnya berlaku di tempat lain. Petani, umpamanya, menggunakan
pedoman pranatamangsa untuk menentukan awal masa tanam. Nelayan
menggunakannya sebagai pedoman untuk melaut atau memprediksi jenis
tangkapan.
Pranatamangsa memiliki latar belakang kosmografi ("pengukuran posisi
benda langit"), pengetahuan yang telah dikuasai oleh orang Austronesia
sebagai pedoman untuk navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual
kebudayaan. Karena peredaran Matahari dalam setahun menyebabkan
perubahan musim, pranatamangsa juga memiliki sejumlah penciri
klimatologis.
Awal mangsa kasa (pertama) adalah 22 Juni, yaitu saat posisi Matahari
di langit berada pada Garis Balik Utara, sehingga bagi petani di wilayah
antara Merapi dan Lawu saat itu adalah saat bayangan terpanjang (empat
pecak/kaki ke arah selatan). Pada saat yang sama, rasi bintang Waluku terbit
pada waktu subuh (menjelang fajar). Dari sinilah keluar nama "waluku",
karena kemunculan rasi Orion pada waktu subuh menjadi pertanda bagi petani
untuk mengolah sawah/lahan menggunakan bajak (bahasa Jawa: waluku).
Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim (mangsa)
utama, yaitu musim kemarau atau ketigå (88 hari), musim pancaroba
menjelang hujan atau labuh (95 hari), musim hujan atau dalam bahasa Jawa
disebut rendheng (baca [rəndhəŋ ], 95 hari) , dan pancaroba akhir musim hujan
atau marèng (baca [marɛŋ], 86 hari). Empat musin ini secara lebih rinci dibagi
ke dalam 12 nama.
Tabel 7.
Nama-Nama Pranatamangsa dalam Satu Siklus
Jumlah
Nama Waktu Musim
hari
Kasa (Kartika) 22 Juni – 1 Agustus 41 hari Kemarau/
Karo(Pusa) 2 Agustus – 14 Agustus 23 hari jarang hujan
Katelu(Manggasri) 25 Agustus – 17 sepetember 24 hari
Kapat(Sitra) 18 September – 12 Oktober 25 hari Mulai turun
Kalima(Manggala) 13 Oktober – 8 Nopember 27 hari hujan, para
Kanem(Maya) 9 Nopember – 21 Desember 43 hari petani mulai
menggarap
sawah
Kapitu(Palguna) 22 Desember – 2 Pebruari 43 hari Musim
Kawolu (wisaka) 3Februari – 28 Februari 26/27 hari penghujan
Kasanga (Jita) 1 Maret – 25 Maret 25 hari
Kasapuluh (Srawana) 26 Maret – 18 April 24 hari Menjelang
Dhesta(Padrawana) 19 April – 11 Mei 23 hari kemarau,
Sadda (Asuji) 12 Mei – 12 Juni 41 hari sehabis
panen
(mareng)
(Daldjoni, t.t. :2; Partokusumo, 1995: 222 dalam Marsono, 2008)
Mangsa pertama berakhir di saat bayangan menjadi tiga pecak, dan
mangsa karo (kedua) dimulai. Demikian selanjutnya, hingga mangsa keempat
berakhir di saat bayangan tepat berada di kaki, di saat posisi matahari berada
pada zenit untuk kawasan yang disebutkan sebelumnya (antara Merapi dan
Lawu). Pergerakan garis edar matahari ke selatan mengakibatkan
pemanjangan bayangan ke utara dan mencapai maksimum sepanjang dua
pecak di saat posisi matahari berada pada Garis Balik Selatan (21/22
Desember), dan menandai berakhirnya mangsa kanem (ke-6). Selanjutnya
proses berulang secara simetris untuk mangsa ke-7 hingga ke-12. Sebuah jam
matahari di Gresik yang dibuat pada tahun 1776 secara eksplisit menunjukkan
hal ini. Mangsa ke-7 ditandai dengan terbenamnya rasi Waluku pada waktu
subuh. Beberapa rasi bintang, bintang, atau galaksi yang dijadikan rujukan
bagi pranata mangsa adalah Waluku, Lumbung (Gubukpèncèng, Crux),
Banyakangrem (Scorpius), Wuluh (Pleiades), Wulanjarngirim (alpha- dan
beta-Centauri), serta Bimasakti.
Bentuk formal pranatamangsa diperkenalkan pada masa Sunan
Pakubuwana VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856,
dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu. Perlu disadari
bahwa penanaman padi pada waktu itu hanya berlangsung sekali setahun,
diikuti oleh palawija atau padi gogo. Selain itu, pranata mangsa pada masa itu
dimaksudkan sebagai petunjuk bagi pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan
diri menghadapi bencana alam, mengingat teknologi prakiraan cuaca belum
dikenal. Pranatamangsa dalam bentuk "kumpulan pengetahuan" lisan tersebut
hingga kini masih diterapkan oleh sekelompok orang dan sedikit banyak
merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam.
Perubahan teknologi yang diterapkan di Jawa semenjak 1970-an, berupa
paket intensifikasi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia, kultivar
berumur genjah (dapat dipanen pada umur 120 hari atau kurang, sebelumnya
memakan waktu hingga 180 hari), meluasnya jaringan irigasi melalui berbagai
bendungan atau bendung, dan terutama berkembang pesatnya teknik prakiraan
cuaca telah menyebabkan pranatamangsa (dalam bentuk formal versi
Kasunanan) kehilangan banyak relevansi. Isu perubahan iklim global yang
semakin menguat semenjak 1990-an juga membuat pranatamangsa harus
ditinjau kembali karena dianggap "tidak lagi dapat dibaca"
Secara klimatologi, pranatamangsa mengumpulkan informasi mengenai
perubahan musim serta saat-saatnya yang berlaku untuk wilayah Nusantara
yang dipengaruhi oleh angin muson, yang pada gilirannya juga dikendalikan
arahnya oleh peredaran matahari. Awal musim penghujan dan kemarau serta
berbagai pertanda fisiknya yang digambarkan pranatamangsa secara umum
sejajar dengan hasil pengamatan klimatologi. Kelemahan pada pranatamangsa
adalah bahwa ia tidak menggambarkan variasi yang mungkin muncul pada
tahun-tahun tertentu (misalnya akibat munculnya gejala ENSO). Selain itu,
terdapat sejumlah ketentuan pada pranatamangsa yang lebih banyak terkait
dengan aspek horoskop, sehingga cenderung tidak logis.
C. Kesimpulan
Keberadaan kalender dengan rangkapannya dan pranatamangsa
memberikan arti kepada kita bahwa telah ada sciencetific culture dalam kehidupan
masyarakat Nusantara di masa lalu. Ada usaha yang mereka lakukan dalam
memahami gerak objek langit. Objek langit tidak sebatas dipandang sebagai
penghias langit tetapi dianggap sebagai sebuah gejala yang memudahkan mereka
untuk menandai terjadinya suatu peristiwa melalui perhitungan waktu yang
sistematis. Adanya neptu juga merupakan upaya masyarakat untuk menghayati
peristiwa dan kejadian alam pada waktu-waktu tertentu, dari penghayatan tersebut
kemudian mereka menarik kesimpulan bahwa kejadian alam-pun merupakan
sesuatu yang dinamis, yang pada akhirnya mempengaruhi sisi kehidupan
seseorang. Pranatamangsa sendiri merupakan pemikiran cerdas yang jelas untuk
mendapatkan rinciannya mereka butuh waktu yang cukup lama untuk pada
akhirnya mampu menyimpulkan bahwa pada bulan-bulan tertentu akan terjadi
musim tertentu, artinya ada semacam observasi yang mereka lakukan untuk bisa
mendapatkan perincian pranatamangsa tersebut.

Referensi:
Abdur Rachim. 2003. Aspek Astronomi dalam kalender Bulan dan Kalender Matahari
di Indonesia (Penanggalan Jawa dan Sura). Makalah disampaikan dalam Seminar
dan Workshop Nasional, “Aspek Astronomi dalam Kalender Bulan dan Kalender
Matahari di Indonesia”, diselenggarakan oleh KK Astronomi dan Observatorium
Boscha tanggal 14 Oktober 2003 di Observatorium Boscha, Lembang.
halamanputih.wordpress.com
Irfan Anshori. 2003. Tahun Berapakah Sekarang. Makalah disampaikan dalam Seminar
dan Workshop Nasional, “Aspek Astronomi dalam Kalender Bulan dan Kalender
Matahari di Indonesia”, diselenggarakan oleh KK Astronomi dan Observatorium
Boscha tanggal 14 Oktober 2003 di Observatorium Boscha, Lembang
Marsono. 2008. Astronomi, dalam Persepektif Budaya Nusantara dan Identitas Budaya
Lokal. Makalah disampaikan dalam Risalah Seminar Nasional. “Mengembangkan
Penemuan Kekayaan Kandungan Astronomi Klasik dalam Kebhinekaan Budaya
dan Pengaruhnya terhadap Masyarat Indonesia”, diselenggarakan oleh IOAA
bekerjasama dengan ITB tanggal 26-27 Agustus 2008 di Sabuga, Bandung.
Susiknan. 2008. Kalender Jawa Islam, Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar’i.
Makalah disampaikan dalam rangka menyambut Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu
Budaya UGM Yogyakarta, diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM pada
tanggal 23 Februari 2008 di UGM Yogyakarta.
Suwitra, Nyoman.2001. Astronomi Dasar. Jurusan Pendidikan Fisika, IKIP N
Singaraja: Singaraja
what-is-Java.org
wikipedia.org/pranatamangsa

Anda mungkin juga menyukai