Rumus atau perhitungan tersebut dikumpulkan dalam sebuah primbon. Suwardhi membagi jenis
primbon ke dalam sebelas bagian. Mulai dari ramalan hingga tata cara upacara selamatan. Berikut
pembagiannya.
Ade Faizal dalam tulisannya yang berjudul Tradisi Ilmu Hikmah, Dari Sufisme Persia Hingga Kyai
Nusantara (2010) , menyebut primbon merupakan bentuk kepercayaan masyarakat Jawa bahwa
pergerakan alam semesta mempengaruhi perilaku manusia.
Dalam filosofi Jawa, ini disebut Jagat Gedhe (semesta) dan Jagat Cilik (bumi dan manusia). Oleh karena
itu, perhitungan dalam primbon kerap menggunakan tanggal lahir manusia.
Yang menjadi unik, masyarakat dipengaruhi tiga budaya dalam menentukan penanggalan. Sebelum
pengaruh Hindu-Budha, masyarakat Jawa Kuno memiliki penanggalan dengan empat musim yang terdiri
12 bulan (mangsa).
Meski telah mengenal nama-nama hari seperti Senin-Minggu, kalender Jawa Kuno memiliki hitungan
pekan sendiri. Yakni, Pancawara, satu pekan yang terdiri lima hari pasaran, yaitu: Legi, Pahing, Pon,
Wage, dan Kliwon.
Penanggalan Jawa kemudian berubah kembali karena pengaruh penyebaran Agama Islam. Pada 1653 M
(Masehi) atau 1555 Saka atau 1043 H (Hijriah), Sultan Agung dari Mataram ingin menghapuskan sistem
kalender Saka.
Akan tetapi, niatnya terbentur dengan kondisi sosial budaya. Banyak orang Jawa yang masih meyakini
Hindu-Budha. Sementara, di berbagai kalangan masyarakat Islam menjamur.
Untuk menciptakan keselarasan, Sultan Agung akhirnya memilih menggabungkan kedua penanggalan
tersebut. Yakni, tahun Saka tetap berjalan. Tetapi, pergantian tahun Saka disamakan dengan tahun
Hijriyah. Jadi 1 Muharram 1043 H sama dengan 1 Muharram 1555 Saka (Jawa). Nama bulan pun berubah
dengan pengaruh Islam.
Dalam Puncak Kekuasaan Mataram (1990), H.J. de Gaff menulis, karya sastra dari berbagai pesisir yang
dipengaruhi pesantren menjadi sumber utama dalam karya sastra Jawa pada masa Mataram.
Dari gambaran ini, banyak pendapat yang mengatakan bahwa primbon belum muncul pada Hindu-
Budha. Argumentasi itu pun dikuatkan dengan ramalan Jayabaya yang baru ditulis pada 1741-1743 M.
Penanggalannya pun diikutkan melalui kalender Jawa-Islam.
Dahulu kala, primbon merupakan catatan yang diturunkan dari keluarga ke keluarga. Primbon baru
ditulis dan diterbitkan pada 1906 M dengan tebal 36 halaman oleh De Bliksem. Tapi, penyusunan
tersebut belum sistematis. Kemudian mulai dicetak bebas pada awal abad ke-20 M.
Kembali lagi ke kosmologi, bahwa masyarakat Jawa percaya bagaimana Jagat Gedhe bisa mempengaruhi
Jagat Cilik (mikrokosmos). Suwardhi menjelaskan, Jagat Cilik yang dimaksud terdapat dalam filosofi
Sedulur Papat Limo Pancer (Empat Saudara dan yang Kelima Tengah).
Artinya adalah, empat saudara itu yang menemani kelahiran bayi. Yang terdiri dari, kakang kawah (air
ketuban), adi ari-ari (plasenta, getih (darah), dan puser (tali plasenta). Pancer (yang tengah) adalah
manusia itu sendiri dan lingkungannya.
Lalu, filosofi ada juga yang memaknai, empat arah mata angin dan tengah. Pergeseran arah itu
kemudian diartikan bergantinya hari. Untuk selaras dengan alam, maka acuannya adalah perhitungan
dalam primbon.
Jadi, pandangan masyarakat yang mendukung primbon didasari oleh berbagai hal filosofis yang telah
disebutkan di atas. Secara umum, primbon hampir mendekati Feng Shui yang dipercayai oleh
masyarakat Tiongkok.
Bagi sebagian kaum muslim, primbon hanya merupakan suatu bentuk penanggalan yang ada di Jawa
karena berkaitan dengan tanggal-tanggal yang telah disebutkan sebelumnya. Tetapi, bagi sebagian yang
lain mempercayainya dapat dianggap mempersekutukan Allah SWT sebagai pengaturnya karena
banyaknya ayat dalam Al-Qur’an dan riwayat hadits yang menyatakan bahwa menyalahkan suatu takdir
terhadap waktu merupakan hal yang bersifat syirik.