Anda di halaman 1dari 4

Imlek, Alam, Manusia, dan Waktu

ALAM dengan seluruh gejalanya, dan kesatuan manusia di dalamnya, ternyata tak hanya
melahirkan berbagai filosofi, sejenis kepercayaan, dan sistem nilai. Sejarah kebudayaan
berbagai bangsa di manapun selalu menunjukkan bagaimana kesatuan manusia dan alam
dengan seluruh gejalanya itu, juga melahirkan berbagai cara pandang dan kesadaran
mereka dalam memaknai waktu. Seluruh gerak dalam gejala-gejala siklus alam dipahami
sebagai ruang pergantian waktu yang tak hanya berhubungan dengan mata pencaharian,
melainkan juga menyangkut hubungan bagaimana waktu dimaknai sebagai sebuah
harapan. Dengan kata lain, alam dan seluruh gejalanya adalah sebuah gerak pergantian
siklus waktu, yang pada satu titik tertentu menjadi penanda batas antara yang telah
berakhir dan yang segera akan menjadi permulaan. Di situlah manusia menaruh berbagai
harapan.

Mungkin awalnya harapan itu berhubungan dengan mata pencarian, pertanian yang jauh
dari hama atau hasil tangkapan laut yang lebih baik. Namun lebih jauh harapan itu
kemudian berkembang, bahwa mereka akan dijauhkan dari segala bala dan kesusahan
serta keinginan membuang jauh-jauh kesialan yang telah terjadi sebelumnya. Di sebuah
titik dalam siklus pergantian alam itulah, manusia membayangkan adanya sebuah waktu
yang kembali menjadi permulaan. Sebuah ruang untuk memulai kembali, menemukan,
merawat, dan memaknai berbagai harapan.

Dan ruang permulaan inilah yang dalam praktik pemaknaannya direpresentasikan dalam
berbagai upacara ritual hingga festival. Pesta Nadran atau Syukur Laut atau berbagai
ritual yang dilakukan oleh berbagai komunitas adat untuk memulai kembali musim tanam
di sawah dan ladang agaknya bisa dilihat dari konteks seperti itu. Sebuah peristiwa yang
menghadirkan hubungan antara manusia, alam, waktu, dan harapan-harapan, yang
seluruhnya menjadi demikian sakral. Di situ dihadirkan kembali berbagai mitos dan
kepercayaan yang sayup-sayup memberi identifikasi dan sugesti tentang sebuah kekuatan
yang akan melindungi harapan-harapan manusia.

Inilah juga yang menjadi permulaan Imlek. Sebuah festival atau perayaan tahun baru
dalam tradisi dan kebudayaan Cina yang tak bisa disendirikan dari jejak fenomena
kesatuan manusia dan alam dengan seluruh gejalanya. Perayaan tahun baru ini kemudian
menjadi tradisi panjang dalam kebudayaan komunitas masyarakat Cina hingga hari ini di
seluruh dunia, yang pada tahun 2006 akan jatuh Ahad (29/1).

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sejak perayaan ini kembali diizinkan setelah selama 30
tahun lebih rezim Soeharto melarangnya, suasana persiapan tahun baru Imlek telah terasa
di berbagai tempat, terutama di kota-kota besar. Dari mulai klenteng hingga berbagai
pertokoan yang penuh dengan ornamen dan ikon-ikon yang didominasi oleh warna
merah. Lampion, gambar-gambar para dewa, hio dan dupa, hingga barongsai.

Menengok jauh ke belakang, tradisi ini sesungguhnya lebih merupakan perayaan tahun
baru yang tak ada hubungannya dengan sejenis kepercayaan atau agama apapun. Ia lebih
merupakan sebuah titik penanda dari siklus perubahan alam yang menjadi batas antara
berakhirnya musim dingin dan permulaan musim semi. Pada musim semi inilah para
petani mulai kembali menggarap lahannya. Inilah yang kemudian pahami sebagai ruang
untuk mulai menemukan kembali berbagai harapan atas pemaknaan waktu. Dalam
praktiknya, seluruhnya inilah yang lantas melahirkan kebutuhan untuk memaknai ruang
permulaan tersebut dalam sebuah perayaan. Di dalam perayaan tersebut itulah, muncul
berbagai mitos kepercayaan yang diperlakukan sebagai kekuatan yang sakral dalam
suasana ritual yang akhirnya menjadi sebuah keniscayaan. Dalam konteks masyarakat
Cina, merujuk pada uraian Prof. Kong Yuanzhi (2005), hal ini pada akhirnya juga
berhubungan dengan sejarah panjang agama dan kepercayaan yang mereka anut, yakni
Buddha, Taoisme, Kong Hu Cu, nilai-nilai kultus orang tua, dan kepercayaan-
kepercayaan tradisional lainnya. Seluruhnya seakan-akan membayangkan kesadaran
bahwa manusia itu adalah makhluk yang lemah, yang karena itu dibutuhkan sebuah
kekuatan untuk melindunginya, termasuk melindungi harapan-harapannya di tahun yang
baru itu dan bisa terlepas dari bala.

**

TAPI sesungguhnya kapan dan bagaimanakah sesungguhnya Imlek sebagai tradisi ini
berawal? Menurut pengamat budaya Tiongkok, Soeria Disastra, meski tak ada fakta yang
utuh untuk bisa menjadi semacam penjelasan sejarah, diperkirakan tradisi ini berawal
sejak 2000 tahun sebelum masehi. Ketika itu ada seorang raja dari kerajaan Sun yang
terkenal sebagai raja yang piawai memimpin rakyatnya dalam persoalan pertanian.
Dialah yang pertama menetapkan sebuah awal bagi permulaan suatu tahun dengan
membuat perayaan. Namun kalender tahunan ini selalu mengalami perubahan setiap kali
generasi para raja yang berkuasa berganti. Demikian juga dengan tradisi yang
mengikutinya.

"Imlek sendiri pengertiannya tak bisa dipisahkan dari Im dan Yang, negatif dan positif
atau gelap dan terang. Li itu adalah kalender. Jadi Im-Lek itu adalah kalender. Kalau
bahasa standarnya Yang-Li dan Yin Li atau Im-Li, kalender berdasarkan peredaran bulan.
Bulan di sini diartikan sebagai Im atau Yin, perempuan. Kalau perhitungan berdasarkan
peredaran matahari namanya Yang-Li. Yang itu laki-laki. Maka di sini Imlek itu adalah
kalender yang diperhitungkan berdasarkan peredaran bulan," ujarnya seraya menyebut
Imlek juga kerap disebut sebagai hari raya atau festival musim semi.

Di sinilah akhirnya kita tahu bahwa pada awalnya Imlek sebagai tradisi lahir sebagai
hasil budaya masyarakat agraris. Karena itulah kerap Imlek disebut juga dengan Nungli,
yakni kalender pertanian. Tentu saja dalam rentang waktu ribuan tahun berbagai
pergeseran dan perubahan cara pandang di dalamnya mengalami perubahan dari generasi
ke generasi. Namun identitasnya sebagai sebuah tradisi yang berhubungan erat dengan
pemaknaan manusia atas waktu dan harapan tetaplah yang menjadi landasan pokoknya.

Termasuk, misalnya, bagaimana pemaknaan atas harapan itu juga terdapat dalam mitos
mengenai barongsai.
"Barongsai adalah sejenis makhluk khayalan yang dibayangkan bisa menolak bala atau
segala sesuatu yang bisa mengganggu. Karena itulah di bank atau di tempat-tempat
tertentu selalu di tempatkan makhluk menyerupai singa, jadi mereka seolah-olah menjaga
atau menghalau bala," tutur Soeria Disastra.

Maka inilah agaknya filosofi yang menyaran dalam perayaan tahun baru Imlek, yakni
ketika manusia memaknai waktu dan harapan-harapannya seraya menjaganya dari
berbagai gangguan. Imlek dengan kata lain menempatkan manusia di antara tarik-
menarik realitas hidup dan dunia ideal yang dibayangkan sebagai harapan atas waktu,
kemakmuran, ,rezeki dan kedamaian. Perayaan dengan berbagai upacara ritual bisa
dikatakan sebagai upaya untuk melindungi dunia ideal tersebut.

"Karena itu mereka meminta pada berbagai dewa, melalui barongsai, atau melalui
petasan, atau memakai warna yang semuanya merah. Ini menjelaskan kesadaran bahwa
manusia itu lemah dan meminta pada suatu kekuatan untuk menghalau setiap kejahatan
yang akan mengganggu," tambah Soeria Disastra.

Berbeda dengan berbagai hari raya di banyak tradisi dan kebudayaan yang umumnya
berhubungan langsung dengan peristiwa keagamaan dan ketuhanan, namun dalam budaya
Tiongkok, termasuk Imlek, lebih menekan pada aspek hubungan antara manusia dan
manusia, dan antara manusia dan lingkungannya. "Mungkin bisa dikatakan tak ada
hubungannya dengan ritual keagamaan. Tapi mereka itu memiliki sejenis kepercayaan,
yang mungkin bisa dikatakan sebagai agama juga, misalnya, pemasangan berbagai
gambar para dewa atau tulisan-tulisan yang ditempelkan di pintu, yang semuanya
dipercaya untuk menolak bala. Jadi di situ terdapat pada kepercayaan pada dewa-dewa,"
papar Soeria Disastra seraya membenarkan bagaimana dalam sejarah panjang
kepercayaan di daratan Cina terdapat percampuran unsur-unsur antara Budha, Tao, dan
Kong Hu Cu.

Seperti juga tradisi-tradisi lain yang menempatkan waktu sebagai penanda suatu
pergantian siklus, Imlek juga memiliki suatu malam di mana setiap orang tidak tidur
untuk menunggu detik-detik pergantian tahun. Dan pada malam itulah para oranng tua
diam-diam memberi angpao pada anak-anaknya ketika mereka sudah tidur dengan cara
menyelipkannya di bawah bantal. Makna dari pemberian angpao ini bukan hanya
bertujuan agar anak-anak itu merasa senang, namun juga sebagai pemaknaan pada masa
depan dan harapan yang disimbolkan oleh anak-anak sehingga ia kelak bisa hidup
makmur.

Akhirnya, Imlek adalah peristiwa ketika sebuah harapan akan kehidupan yang lebih
berbahagia hendak kembali ditemukan dalam sebuah perayaan siklus pergantian dan
pergerakan alam yang menjadi manifestasi dari waktu. Seperti dalam tradisi perayaan-pe-
rayaan keagamaan dan kepercayaan lainnya, harapan-harapan itu selalu ditaruh dalam
ruang permulaan. Dalam konteks Indonesia, memaknai kembali waktu dan mulai kembali
menaruh suatu harapan di dalamnya sungguh teramat penting. Lewat Imlek, paling tidak
kita diingatkan untuk tidak terus berputus-asa berharap dan menjaga setiap harapan itu.
PERTUNJUKAN liong juga menjelaskan kesadaran bahwa manusia itu lemah.
Karenanya, ia meminta pada satu kekuatan yang disimbolkan dengan seekor naga untuk
menjaga serta menghalau kejahatan yang akan mengganggunya.*HARRY
SURJANA/”PR”

Anda mungkin juga menyukai