Anda di halaman 1dari 9

Tuntutan Pusat

“SAPTA DARMA”

Alamat: Jalan Kemuda Nomor 6 Denpasar-Bali

SAMBUTAN TUNTUTAN PUSAT SAPTA DARMA DALAM TANGGAP WARSA 1 SURO

1952 SAKA-JAWA

(Tanggal 2 Oktober 2016)

Bapak-bapak Tuntutan dan ibi-ibu Koordinator wanita, serta segenap keluarga besar Warga
Sapta Darma yang kam sayangi.
Marilah kita merundukan kepada sejenak, dengan kebersihan jiwa kita panjatkan piji syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang telah dilimpahkan kepada kita, sehingga pada malam
hari ini kita diperkenankan berkumpul ditempat ini untuk mengenang dan memperingati Tahun Baru
Nasional Bangsa Indonesia tanggap Warsa 1 Suro 1950 Jawa Saka yang diberi Candra Sengkala:
“SIRNANING YAKSA JAWATA TUNGGAL”, yang mengandung maksud: Hilangnya angkara murka
manunggalnya Hyang Maha Kuasa. Bila nanti sudah tentram dan damai maka, allah Hyang Maha
Kuasa lewat sinarnya akan menyatu (manunggal) dalam pribadi kita.
Marilah kita kenang jasa para pahlawan yang telah gugur mendahului lita dan kita panjatkan
doa, semoga Tuhan Hyang maha Esa berkanan meberikan tempat yang tentram dan langgeng sesuai
dengan darma baktinya kepada Nusa, Bangsa dan Negara. Kepada keluarga yang ditinggalkan, semoga
mendapat kebahagiaan hidup lahir dan batin.

Hadirin yang kami hormati,


lebih kurang 2000 Tahan yang lalu, nenek moyang kita telah berbudaya, bahkan telah
mempunyai kebudayaan yang tinggi. Mereka telah mampu membuat perhitungan: WAKTU, HARI,
PASARAN, MONGSO, TAHUN dan WINDUNYA. Namun karena Bangsa Indonesia mengalami
penjajahan kurang lebih 350 Tahun lamanya dan pergolakan-pergolakan yang terjadi pada jaman
kerajaan menjelang penjajahan Belanda, maka bangsa kita mengalami tekanan fisik, sangat
keterbatasan dalam menuntut ilmu, sehingga dalam beberapa generasi sebelum merdeka bangsa kita
mengalami kebodohan dan keterbelakangan, sehingga Adi Luhung dan Edi Peninya Budaya Luhur kita
menjadi kabur dan terpendam. Dengan kabur dan tenggelamnya nilai-nilai Budaya leluhur kita, sama
halnya kita tidak tahu jati diri kita sendiri. Tuhun Baru Nasional Bangsa kita sendiri banyak yang tidak
tahu, apalagi mengerti. Oleh karena itu dalam peringatan Tahu Baru 1 Suro 1950 Jawa-Saka ini, perlu
diungkap sedikit mengenai Historis_Sosiologisnya.

Hadirin yang berbahagia,


Tahun 1 Saka (aslinya) diciptakan pada tanggal 26 Maret 79 Masehi, sebagai momentum
bertahanya raja yang bernama JAKA SENGKALA kemudian bergelar AJI SAKA, di pulau yang
disebut pulau Jawa sekarang ini. Bertahannya AJI SAKA di pulau Jawa ini bersamaan dengan
diterimanya wahyu “JAWA” yang berbentuk syair yang berbunyi: “HA – NA – NA – CA – RA – KA –
DA – TA – SA – WA – LA – PA – DHA – JA – YA – NYA – MA – GA – BA -THA – NGA”. Syair HA
– NA – NA – CA – RA – KA tersebut kemudian ditemukan didalam Ajaran Sapta Darma, merupakan
tanda BUNDELAN TALI RASA yang terdapat dalam PRIBADI MANUSIA sebagai alat yang bersifat
metafisika. Juga merupakan petunjuk tentang TATA HIDUP, KODRAT dan ASALNYA, TUGAS dan
TUJUAN HIDUP MANUSIA.

Oleh sang AJI SAKA agar petunjuk AJARAN HIDUP yang disebut “JAWA” tersebut tidak
hilang, lalu diciptakan dijadikan AKSAR/HURUF yang jumlahnya “20”. Kemudian pulau ini pun
disebut “TANAH JAWA”, bahasa yang digunakan oleh rakyatnya disebut “BANGSA JAWA”,
sedangkan Tuhannya disebut “TAHUN SAKA”.

Hadirin yang berbahagia,


adapun Historis-Sosiologinya Tahun Saka dapat diungkap sebagai berikut :
A. Tahun Saka diciptakan oleh raja Aji Saka pada tanggal 26 Maret 79 Masehi dengan perhitungan
peredaran Matahari (Solar System). Satu tahun panjangnya = 365 ¼ hari, dibagi
Mongso sebagai berikut :
Mongso KASAPULUH = 24 hari Mongso KAPAT = 25 hari
Mongso DHESTA = 23 hari Mongso KALIMO = 27 hari
Mongso SADHA = 41 hari Mongso KANEM = 43 hari
Mongso KASA = 41 hari Mongso KAPITU = 43 hari
Mongso KARO = 23 hari Mongso KAWOLU = 26/27 hari
Mongso KATELU = 24 hari Mongso KASONGO = 25 hari

Tahun kabisatnya 4 (empat) tahun sekali, jatuh pada Mongso KAWOLU = 27 hari atau pada bulan
februari = 29 hari.
Keunikan tahun saka yang diawali dari tanggal 1 Mongso KASAPULUH ini mempunyai filsafat yang
mengkiaskan dihitung dari lahirnya MANUSIA dari kandungan sang IBU yang lamanya = 278 ¼ hari
( 9 bulan 10 hari ) dengan uraian sebagai berikut :
Mongso KASA ( 1 KASA = tes terjadinya manusia) = 41 hari
Mongso KARO Panjang/umurnya = 23 hari
Mongso KATELU Panjang/umurnya = 24 hari
Mongso KAPAT Panjang/umurnya = 25 hari
Mongso KALIMO Panjang/umurnya = 27 hari
Mongso KANEM Panjang/umurnya = 43 hari
Mongso KAPITU Panjang/umurnya = 43 hari
Mongso KAWOLU Panjang/umurnya = 26 ¼ hari
Mongso KASONGO Panjang/umurnya = 25 hari
Mongso KASEPULUH ( tanggal lahirnya manusia ) = 1 hari

Umur manusia dalam kandungan = 278 ¼ hari

Jika dibagi rata-rata 1 bulan = 30 hari, maka = 9 bulan 8 ¼ hari, dibulatkan 9 bulan 10 hari.
B. Nama-nama Hari dan Pasaran :
1. Nama – nama Hari :
RADITE, SOMO, ANGGORO, BUDHO, RESPATI, SUKRA dan TUMPAK
Siklus Hari : 1 Minggu = 7 hari
2. Nama- nama Pasaran :
PETHAKAN, ABRITAN, JANEAN, CEMENGAN, dan KASIH
Siklus Pasaran : Sepasar = 5 hari
Siklus hari dan pasaran : Selapan = 7x5 = 35 hari
C. Nama-nama Tahun dan Windu :
1. Nama-nama Tahun :
SRI, INDRA, GURU, YAMA, LUDRA, BRAHMA, KALA dan UMA
Siklus Tahun 1 Windu = 8 Tahun
2. Nama-nama Windu :
ADI, KUNTORO, SANGARA, dan SANCAYA
Siklus Windu : 4x8 = 32 Tahun ( Catur Windu )
perhitungan Tahun saka ini sejak diciptakan sampai berabad-abad lamanya dipakai oleh bangsa
kita diseluruh wilayah Nusantara, dan berjalan mulus sampai berdirinya kerajaan Majapahit
(1215 Saka/ 1293 Masehi).
Setahun kemudian ( 1216 saka/ 1294 Masehi ) Raden Wijaya mengadakan perubahan
perhitungan Mongso dijadikan Bulan. 1 Bulan rata-rata = 30 hari.
Nama bulan disebut juga SASIH sebagai berikut :
Nama MONGSO :
KASEPULUH, DHESTO, SODHO, KASA, KARO KATELU, KAPAT, KALIMA, KANEM,
KAPITU, KAWOLU, KASONGO diganti menjadi :
Nama SASIH :
SRAWANA, ASUJI, KARTIKA, PUSA, MANGGASRI, SITRA, MANGGALA, NAYA,
PALGUNA, WISAKA dan JJITA.
Perhitungan Tahun Saka ( Versi Majapahit ) ini hingga sekarang masih dipakai oleh bangsa kita
di Bali, yang sekarang mencapai Tahun 1917 Saka ( 1995 masehi). Selisihnya tetap 78 Tahun
( 1995-1917 = 78 Tahun )

PEROMBAKAN PERHITUNGAN TAHUN SAKA MENJADI TAHUN JAWA


Hadirin yang kami hormati,
Pada tahun 1555 Saka (1633 masehi) Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo yang telah
memeluk agama islam, namun juga tetap masih merangkap ngilmu kejawen (kebatinan) ingin
mempersatukan rakratnya (bangsa Nusantara) dengan jalan memadukan Tahun Saka (Tahun Nasional
Nusantara) dengan Tahun HIJRIAH (Tahun Arab/Islam), karena sebagian bangsa kita telah memeluk
agama islam.
Perombakan perhitungan Tahun saka menjadi Tahun Jawa tersebut dilakukan pada tagnggal 17 Mongso
KASA (sasih KARTIKA) tahun 1555 SAKA atau 1 Muharam 1043 Hijriah (8 Juli 1633 Masehi).

Perubahan nama-nama Mongso menjadi Bulan/Sasih.


Nama Mongso :
SURO, KARO, KATELU, KAPAT,KALIMA, KANEM, KAPITU, KAWOLU, KASONGO,
KASAPULUH, DHESTA, dan SADHA.
Diubah menjadi :
Nama Bulan/Sasih :
SURO, SAPAR, MULUD, BAKDO MULUD, JUMADILAWAL, JUMADILAKHIR
REJEB,RUWAH,PASA,SAWAL, SELO dan BESAR

Perombakan perhitungan Tahun Saka menjadi Tahun Jawa pada garis besarnya adalah sebagai berikut :
• Nama Tahun “SAKA” diganti menjadi Tahun “JAWA”, demikian pula nama : Hari, Pasaran,
Bulan dan Tahunnya.
• Tahun Saka, 1 Tahun = 365 ½ hari ( Solar Sistem)
• Tahun Jawa, 1 Tahun = 354 1/3 hari (Lunasr Sistem)
Sehingga 1 tahun selisihnya hampir 11 hari.
• Tahun Baru Saka dihitung dari tanggal 1 Mongso KASAPULUH yang melambungkan hari
lahirnya manusia ; oleh Sultan Agung dijadikan hari besar Nasional tanggal 1 Bulan ke-10
(SYAWAL) dengan istilah “BODO SYAWAL” yang dimuat bersamaan dengan hari besar
“IDUL FITRI” Tahun HIJRIAH/ISLAM.
Kemudian Sultan Agung mengintruksikan kepada seluruh rakyatnya untuk merayakan hari
besar Nasional Bodo Syawal dengan hari besar Idul Fitri bersama-sama secara besar-besaran.
• Tanggal 1 Mongso KAS Tahun SAKA yang mempunyai nilai filsafat melambungkan Terjadinya
manusia (Tesing Dumadi), oleh Sultan Agung diganti menjadi tanggal 1 SURO Tahun Jawa,
yang memang dibersamakan dengan tanggal 1 Muharam 1043 Hijriah. Dengan maksud agar
Sultan Agung dengan seluruh rakyatnya dapat merayakan hari besar Nasional/ Tahun Jawa dan
Hari Besar Tahun Islam/ Arab secara bersama-sama. Oleh karena itu 1 SURO JAWA SAKA
selalu bertepatan dengan 1 MUHARAM HIJRIAH.
• Angka tahunnya meneruskan Angka tahun Sala dari tahun 1555 Saka (17 Kasa) menjadi 1 Suro
1555 Jawa, hingga sekarang kita peringati 1 Suro 1950 Jawa Saka. Dekrit Sultan Agung 1 Suro
sebagai awal tahun baru Jawa 1555 tersebut dirayakan besar-besaran dengan pesta Slametan
Rakyat yang disebut Slametan MAESOLAWUNG, dengan intruksi agar seluruh rakyat
Nusantara mengadakan Pesta Slametan setiap tanggal 1 SURO sebagai Tahun Baru JAWA.
• Perubahan nama-nama Hari, pada :
Kalender Saka, Hari:
SOMA, ANGGARA, BUDHA, RESPATI, SUKRA, TUMPAK, dan RADITE, pada :
kalender Jawa, menjadi :
SENEN, SELASA, REBO, KEMIS, JUMUAH, SETU dan AHAD
• Perubahan nama-nama Pasaran, pada:
kalender saka, Pasaran:
PETHAKAN, ABRITAN, CEMENGAN, dan KASIH, pada :
kalender Jawa, menjadi :
LEGI, PAHING, PON, WAGE, dan KLIWON.
• Perubahan nama-nama Tahun, pada :
Kalender saka, Tahun :
SRI, INDRA, GURU, YAMA, LUDRA, BRAHMA, KALA dan UMA, pada :
Kalender jawa, menjadi :
ALIP, EHE, JIMAWAL, JE, DAL, BE, WAWU, dan JIMAKIR.
• Windunya yang tetap ialah Windu :
ADI, KUNTARA, SANGARA, dan SANCAYA.

PENANGGALAN PERTANIAN JAWA PRANATA MANGSA

Hadirin yang kami hormati,


Pada tanggal 22 Juni 1855 Masehi Sri Susuhan Pakubuwono VII Surakarta mendekritkan
pembakuan “PENANGGALAN PERTANIAN JAWA PRANATAMANGSA”. Latar Belakang
pembakuan tersebut hanya sekedar untuk menguatkan SISTEM PENANGGALAN yang mengatur tata
kerja kaum tani dan nelayan, sebagaimana yang telah ada pada kalender tahun Saka. Perbedaannya,
tahun Baru Saka Diawali tanggal 1 Mongso KASAPULUH, sedang penanggalan Pertanian JAWA
PRANOTOMANGSA (PPJP) diawali tanggal 1 Mongso KASA 1777 SAKA (22 Juni 1855 Masehi).

Hadirin yang kami berbahagia,


setelah kita ketahui Historis-Sosiologinya tahun Jawa-Saka, mari Tahun Baru 1 SURO ini kita
pakai sebagai peringatan untuk “MAWAS DIRI”, untuk saling maaf memaafkan atas segala kesalahan
yang kita lakukan di tahun yang silam, selama kita hidup bermasyarakat yang saling terkait.
Khususnya kepada Warga Sapta Darma, dimanapun berada, terutama para Bapak Tuntunan dan Ibu
Koordinator wanita yang membina warga di daerahnya masing-masing, diharapkan dapat
meningkatkan mutu rohaninya menjaga keutuhan persatuan, kerukunan serta kerjasama yang baik
diantara warga dengan Tuntunan dan selalu berpedoman WEWARAH TUJUH sebagai landasan
kewajiban selaku Warga Sapta Darma.

Hadirin yang berbahagia,


Tanggap Warsa 1 Suro 1950 Jawa-Saka ini dapat ditinjau dari dua sisi, ialah:
1. Sisi lahiriyah
2. Sisi Filsafatnya secara rohaniah

1. Bila ditinjau dari lahiriyah, maka Tanggap Warsa 1 Suro, adalah kita memperingati lahirnya
Tahun baru Jawa 1950, sama halnya bangsa-bangsa lain yang memperingati tahun Barunya
masing-masing, misalnya :
• Bangsa Eropa memperingati Tahun Baru Masehi, yang sekarang telah mencapai Tahun 2016.
Tahun Masehi ini diakui sebagai Tahun Internasional, yang dipakai oleh seluruh Bangsa di
dunia.
• Bangsa Jepang mempunyai tahun sendiri yaitu Tahun SYOOA, sekarang sudah mencapai 2677.
• Bangsa Tiong Hwa (Cina) juga mempunyai tahun sendiri, Sekarang telah mencapai 2568
(Tahun Imlek).
• Bangsa Arab mempunyai tahun Hijriah / Islam, sekarang mencapai 1438 (1 Muharam 1438
Hijriah)
Pada malam/ hari ini, segenap Warga Sapta Darma dan Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan yang Maha Esa, serta sebagian Bangsa Indonesia memperingati Tanggap Warsa 1 Suro
1950 Jawa-Saka.

2. Bila ditinjau dari sisi filsafatnya secara Rohaniah, maka akan kita jumpai adat bangsa kita
khususnya SUKU JAWA dalam menyambut Tanggap Warsa 1 SURO tersebut, dengan berbagai
upacara tradisional dan ritual, diantaranya dengan : PUASA, TAPA, MBISU, BERSIH DESA,
BESRIH PUSAKA, kalau di Kraton PENYUCIAN KERETA KENCANA dsb.
Kesemuanya itu mengandung maksud untuk membersihkan diri atau “MAWAS DIRI” yang
mengarah untuk KESELAMATAN dana KESEJAHTERAAN HIDUP pada tahun mendatang.
Bulan SURO dipandang sebagai bulan yang suci, kita jadikan untuk MAWAS DIRI untuk
MENYUCIKAN ROHANI kita, agar memasuki Tahun Baru ini kita senantiasa dituntun, dibimbing
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa pada perbuatan yang baik, Sesuai dengan asal terjadinya, (Tesing
Dumadi). Maka dalam usaha kita membangun jiwa anak harus benar-benar suci, agar anak yang
bertapa dalam kandungan Ibu kelak bila lahir menjadi anak yang berbudi luhur.
Hubungan asal terjadinya manusia; sewaktu anak masih dalam kandungan Ibu mulai berkembang
sampai umur 3 bulan, disini sudah menunjukkan “GOTRO”. Telu-teluning atunggal: NUR-RASA,
NUR-BUAT dan NUR-CAHAYA sudah menjadi satu, maka diadakan upacara Slametan
“DITELONI”.
Setelah kandungan ibu 7 bulan, lalu “DIPITONI” karena “SAPTA RENGGA” nya sudah lengkap.
Slamatan “MITONI” ini biasanya lebih lengkap danada “KELAPA GADING MUDA” yang
bergambar wayang “KOMOJOYO” dan “DEWI RATIH”, yang merupakan kiasan penuh nilai-nilai
rohani yang luhur.
Setelah kandungan ibu mencapai 8 sampai 9 bulan, maka dalam bulan 10 lahirlah ang jabang bayi,
yaitu bulan SAWAL (Uwal-Lahir). Kemudian sampai bulan 11 atau bulan “SELO” yang artinya
kosong/istirahat, Ibu yang melahirkan harus istirahat dan tidak boleh diganggu.
Akhirnya sampai pada bulan ke 12, adalah bulan “BESAR”, yang mengandung maksud anak kita
sudah besar, lalu punya hajad mantu (mengawinkan).

Hadirin yang berbahagia,


Apabila kita memperingati Tanggap Warsa 1 SURO yang mengandung Wejangan Suci dan Luhur
tentang “ASAL TERJADINYA MANUSIA” (TES DUMADINING MANUNGSA atau ILMU
PENITISAN), maka hal ini merupakan pelajaran bagi kita untuk membentuk Watak (Jiwa) manusia
yang berbudi luhur.
Dari TESING DUMADI itu dapat dikatakan bertemunya ROHANI dan JASMANI yang penuh
KEBERANIAN (SURO) yang dapat dibuat contoh, bahwa antara ROHANI dan JASMANI dapat
brsatu dan harus mendapat pemeliharaan yang baik dan adil/sama (seimbang), misalnya :
• Jasmani harus bekerja untuk memenuhi kewajiban/kebutuhan penghidupan sesuai dengan bakat,
keahlian atau profesinya masing-masing.
• Rohani harus mendapat pemeliharaan yang sebaik-baiknya dengan jalan SUJUD kepada
ALLAH YANG MAHA KUASA dengan tekun, agar memiliki BUDI PEKERTI YANG
LUHUR.
Tentu saja harapan kita sebagai bangsa yang sudah memasuki alam modern dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologinya yang canggih, tidak bermaksud mendidik kea lam yang Takhayul,
melainkan justru budaya peninggalan nenek moyang tersebut kita cari dan kita gali makna serta nilai
filsafatnya. Kemudian kita jadikan bekal untuk mendidik bangsa yang disesuaikan dengan derap
langkah pembangunan berdasarkan Pancasila menuju masyarakat sejahtera, tentram, adil dan makmur,
sesuai dengan kata-kata mutiara dari nenek moyang kita yang berbunyi: “AJINING DHIRI
DUMUNUNG NENG LATHI, LUHURING BANGSA DUMUNUNG NENG BUDHAYA” yang
artinya : Harga diri seseorang terletak pada kata-katanya, martabat suatu bangsa terletak pada tingkat
budayanya.
Dengan semakin mahal dan langkanya Sumber Daya, serta dalam situasi GLOBAL yang
kompetitip ini, Corak pembangunan perlu mencakup hal-hal yang lebih bersifat kualitatif. Dalam kaitan
aspek kualitatif ini telah diamanatkan secara eksplisit 9 (sembilan) asas Pembangunan Nasional.
Sebagai misal antara lain : Asas Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus
menjiwai, menggerakkan dan mengendalikan setiap gerak pembangunan sebagai nilai luhur yang
menjadi landasan Spiritual, Moral dan Etika dalam aktualisasi pembangunan sebagai pengamalan
Pancasila. Demikian pula asas keseimbangan, Keserasian dan Keselarasan menuntut keseimbangan
dalam perikehidupan kita antara dunia dan akhirat, materiil dan spiritual, jiwa dan raga.

Dalam kesempatan ini pula kami mengajak para Warga Sapta Darma khususnya dan putra putri
Indonesia pada umumnya untuk lebih mendekatkan diri pada ALLAH HYANG MAHA KUASA, agar
kita senantiasa mendapatkan tuntunan dan lindungan-Nya.

Semoga sinar-sinar Allah Hyang Maha Kuasa selalu menyertai kita sekalian.
Akhirnya kami sampaikan salam RAHAYU BAGAS WARAS....!

Yogyakarta, 1 Suro 1950 Jawa-Saka


Tuntunan Pusat
Sapta Darma

(R. BAROTO HARTOTO)

Anda mungkin juga menyukai