Anda di halaman 1dari 12

*MAKNA SIMBOL dan FILOSOFI Lambang Keraton Surakarta*

*1. Makna Simbolis*

Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I mengilhami dirinya dalam makna gambar *Paku
dan Bumi* ( *Paku Buwana*, nama tersebut kemudian dipakai sebagai nama raja-raja yang
memerintah Karaton Surakarta dan Sinuhun Paku Buwana I hingga Paku Buwana XIII), yang
mencerminkan sejarah para raja-raja/penerusnya dalam lingkaran bulat telur.

*Gambar Surya (matahari)* mengisyaratkan nama R.M.G. Sasangka, yang kemudian bernama
Panembahan Purbaya. Kemudian gambar bintang, dalam bahasa Jawa disebut Kartika atau Sudama,
mengisyaratkan nama R.M.G. Sudama yang kemudian bergelar Pangeran Balitar. Makna historis
tersebut selengkapnya dapat diperiksa pada Bagan Silsilah keraton Surakarta.

*2. Makna Filosofis*

*Radya Laksana* sendiri juga memiliki makna filosofis yang berupa ajaran tentang kenegaraan dan
kehidupan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : *Makutha ( mahkota )*
Sebagai simbol raja dan sebagai simbol kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, siapa saja yang memakai
atau menerima gambar mahkota selayaknya berjiwa budaya Jawa. Dalam arti bahwa jiwa budaya Jawa
memberi tuntunan, budaya sebagai uwoh pangolahing budi secara lahir dan batin berdasarkan budi
luhur dan keutamaan.

_Pakarti lahir harus seiring dengan pakarti batin, hal yang demikian mencerminkan adanya sifat
keharmonisan dalam budaya Jawa._

*Warna merah dan kuning*

Dalam budaya Jawa merah dan kuning merupakan simbol kasepuhan (yang dianggap tua). Sifat
kasepuhan ini terlihat dalam bentuk lahir dan batin, yang mencerminkan sabar, tidak terburu nafsu
dan sejenisnya. Hal ini memiliki makna filosofis bahwa seseorag raja harus memiliki jiwa kasepuhan.

*Warna biru muda*

Dasar warna biru muda dan putih. Warna biru dan putih membawa watak menolak perbuatan yang
tidak baik. Warna biru muda merupakan simbol angkasa atau langit, merupakan simbol orang yang
berwatak luas pandangannya dan juga pemberi maaf.

*Surya (matahari)*

Surya atau matahari merupakan sumber kekuatan dan sumber penerangan dan hidup, yang akan
menjadikan dunia tegak penuh dengan sinar penerang dan hidup. Hal ini merupakan simbol bahwa
orang yaang berjiwa budaya harus dapat menanamkan kekuatan dan dapat memancarkan sinar
kehidupan dengan tidak mengharapkan imbalan. Surya menjadi sarana kehidupan bumi.

*Candra / Sasangka (Bulan)*

Bulan merupakan sumber penerangan di malam hari tanpa menimbulkan panas, tetapi teduh,
memberi cahaya kepada siapapun dan apapun tanpa kecuali. Hal yang demikian memiliki makna
bahwa jiwa budaya harus didasari watak pemberi dan memancarkan penerangan yang tidak
menyebabkan silau tetapi memancarkan kelembutan dan kedamaian. Candra menjadi sarana daya
rasa (batin) bagi kehidupan di bumi.

*Kartika (bintang)*

Kartika atau bintang memiliki sifat memancarkan sinar, hanya kelihatan gemerlap di sela-sela
kegelapan malam. Hal ini memiliki ajaran bahwa raja atau seseorang agar dapat memberikan
penerangan kepada siapapun yang sedang dalam kegelapan. Makna itu juga mengingatkan kepada
kita bahwa masalah gelap dan terang dalam kehidupan ini silih berganti. Kartika menjadi sarana dan
daya menambah teduhnya kehidupan di bumi.

*Bumi (bumi)*

Secara lahiriah bumi merupakan tempat kehidupan dan juga tempat berakhirnya kehidupan. Bumi
atau jagad melambangkan bahwa manusia (mikrokosmos) yang memiliki jagad besar (makrokosmos).
Di sini sebagai kiasan atau pasemon adanya kesatuan jagad kecil dan jagad besar. Bumi atau jagading
manungsa berada dalam hati. Oleh kerena itu manusia agar dapat menguasai keadaan, harus dapat
menyatukan diri dengan dunia besar. Dalam Kejawen disebut Manunggaling Kawula-Gusti. Sifat bumi
adalah momot dan kamet dapat menampung dan menerima yang gumelar (ada). Bumi sebagai
lambang welas asih, dapat anyrambahi sakabehe.

*Paku*

Paku sebagai kiasan atau pasemon agar selalu kuat. Hal ini mengandung ajaran bahwa kehidupan di
bumi bisa kuat, sentosa harus didasari jiwa yang kuat, tidak mudah goyah, atas dasar satu kekuatan
yang maha besar dari Tuhan YME, yang menjadi pegangan bagi manusia yang hidup di bumi

*Kapas dan padi*

Kapas dan padi melambangkan sandang pangan yakni kebutuhan lahir dalam kehidupan manusia.
Sandang di nomor satukan atau didahulukan, sedang pangan dinomor duakan atau dikemudiankan.
Hal yang demikian mengandung ajaran bahwa sandang berhubungan dengan kesusilaan dan
diutamakan, sedangkan pangan berhubungan dengan lahiriah dinomor duakan. Oleh karena itu
manusia hendaknya mengutamakan kesusilaan daripada masalah pangan. Kehidupan manusia di bumi
tidak dapat lepas dari kebutuhan-kebutuhan duniawi.
*Pita merah putih*

Pita merah putih sebagai kiasan bahwa manusia terjadi dengan perantara ibu-bapak (ibu bumi bapa
kuasa). Merah melambangkan ibu, sedangkan putih melambangkan bapak. Oleh karena itu, manusia
hendaknya selalau ingat kepada ibu-bapak, yang tercermin dalam ungkapan : mikul dhuwur mendhem
jero maksudnya sebagai anak harus dapat mengharumkan nama orangtua dan dapat menghapuskan
kejelekan nama orang tua. Juga dapat diartikan laki-laki dan perempuan sebagai lambang persatuan.
Untuk mencapai tujuan harus dilandasi semangat persatuan u(antara Gusti dan Kawula).

Sri Radya Laksana, Identitas Kasunanan Surakarta


Hadiningrat?

Iklan

Kraton Surakarta Hadiningrat, salah satu kerajaan Jawa yang masih terjaga
eksistensinya hingga kini, menyimpan berbagai peninggalan yang dijadikan
pusaka, salah satunya adalah Radya Laksana. Banyak referensi mengartikan
“radya” sebagai “kerajaan” atau “negara”, sedangkan “laksana” berarti
“karakter”, “identitas”, atau “lambang”, yang jika digabungkan bermakna
“lambang kerajaan”.

Wujud fisik lambang kerajaan itu berbentuk dasar garis oval warna emas yang
mengitari gambar matahari, bintang, bulan, serta bumi berpaku yang
menggelayut di angkasa biru. Wujud oval itu dilengkapi mahkota berwarna
merah dengan garis-garis keemasan, dan berlandaskan kapas dan padi yang
berbulir keemasan pula. Pita merah-putih berjuntai indah menguntai pangkal
kapas dan padi itu.
Sri Radya Laksana itu terpampang sebagai relief sejumlah aset Kasunanan
Hadiningrat yang tersebar di Kota Solo. Radya Laksana dalam bentuk Iencana
kerap dikenakan para kerabat Kasunanan Surakarta di sisi kiri baju, menjadi
motif batik, atau dipasang sebagai vandel di rumah. Radya Laksana sejak
mulanya merupakan penanda kerabat Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang
terdiri atas:

1. Sampeyan-dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana, raja


Kraton Solo,

2. putra-putri dalem atau putra dan putri raja,

3. wayah dalem atau cucu raja,

4. sentana dalem atau kerabat raja,

5. tedak turun dalem atau keturunan keluarga kerajaan,

6. abdi dalem atau pegawai kerajaan, dan

7. kawula hangedhep atau masyarakat yang berkiblat ke Kasunanan Surakarta


Hadiningrat.

Sri Hartatiningtyas dalam buku Gelar dan Ageman Pisowan Surakarta


Hadiningrat, tak hanya memaknai lambang kerajaan, karena “laksana”
menurut dia bermakna “perjalanan yang tulus lahir dan batin”. Dengan
demikian, makna dari lambang kraton tersebut menurutnya lebih merupakan
tuntunan hidup dengan tatanan budaya Jawa.

Lebih terperinci, Eko Adhy Setiawan dalam tesis Program Pasca Sarjana
Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro berjudul Konsep
Simbolisme Tata Ruang Keraton Surakarta Hadiningratmemaparkan istilah
Radya Laksana terdiri atas dua kata bahasa bahasa Sansekerta atau Kawi.
“Radya” berasal dari kata “radian” yang bermakna “krajan” atau “kerajaan.
Sedangkan, “laksana” bisa dimaknai:

1. Ifiri, pratanda, ngalamat, atau ciri, tanda, pertanda,

2. Kabegjan atau keberuntungan,

3. Laku atau jalan, perilaku.

Untuk itu, sambung Eko Adhy Setiawan dalam tesis yang dibikin tahun 2000
itu, Radya Laksana bisa diurai dalam makna simbolis dan filosofis. Makna
simbolis terkait dengan nilai historis asal-usul raja, mulai dari Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana I. Menurut dia, sejarah raja
merupakan silsilah yang tercermin dalam lingkaran bulat telur. Gambar paku
dan bumi menunjukkan nama Paku Buwana, yaitu Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan Pakubuwono yang selanjutnya terus dipakai sebagai nama raja-raja
yang memerintah di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Gambar surya atau matahari, menurut Eko Adhy Setiawan, mengisyaratkan


nama R.M.G. Surya atau Sunan Hamengkurat Jawa.
Gambar candra atau sasangka atau bulan mengisyaratkan nama R.M.G.
Sasangka yang bernama Panembahan Purbaya. Gambar kartika atau sudama
atau bintang mengisyaratkan nama R.M.G. Sudama yang juga bernama
Pangeran Blitar.

A.M. Hadisiswaya dalam bukunya, Pergolakan Raja Mataram, lebih


gamblang menguraikan hubungan ketiga tokoh yang perlambangnya termuat
dalam Radya Laksana tersebut dengan Sunan Pakubuwono X sebagai
penciptanya. Menurutnya, ketiga putra Pakubuwono I selaku pendiri Kraton
Kartasura adalah leluhur yang sama bagi Pakubuwono X dan
permaisurinya. Menurut catatan sejarah, ia berpermaisurikan putri K.G.P.A.A.
Mangkunagara IV bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana dan putri Sri
Sultan Hamengku Buwono VII bergelar Gusti Kanjeng Ratu Emas.

Lambang Kasunanan Surakarta Hadiningrat Sri Radya Laksana.


(Kratonsolo.com)

Sedangkan makna filosofis yang merupakan tuntunan hidup bernegara dan


berperikehidupan (tuntunaning ngagesang) didasarkan Eko Adhy Setiawan
pada setiap bentuk benda yang tergambar pada lambang tersebut. Format
penjelasan yang sama disampaikan sejarawan Purwadi dan arkeolog Djoko
Dwiyanto dalam buku mereka, Kraton Surakarta, yang diterbitkan delapan
tahun setelah tesis Eko Adhy Setiawan. Nama ada Eko Adhy Setiawan dalam
daftar pustaka buku 903 halaman yang disebut penerbit Panji Pustaka sebagai
karya Purwadi dan Djoko Dwiyanto itu.

1. Makutha atau mahkota merupakan simbol raja dan sebagai simbol


kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, siapa saja yang memakai atau menerima
gambar mahkota selayaknya berjiwa budaya Jawa. Dalam arti jiwa budaya
Jawa mestinya memberi tuntunan, budaya sebagai uwoh pangolahing
budi secara lahir dan batin berdasarkan budi luhur dan keutamaan. Pakarti
lahirharus seiring dengan pakarti batin, hal yang demikian mencerminkan
adanya sifat keharmonisan dalam budaya Jawa,

2. Wama merah dan kuning pada mahkota dalam budaya Jawa merupakan
simbol kasepuhan(yang dianggap tua). Sifat kasepuhan ini terlihat dalam
bentuk lahir dan batin yang mencerminkan sabar, tidak terburu nafsu dan
sejenisnya. Hal ini memiliki makna filosofis bahwa seseorang raja harus
memiliki jiwa kasepuhan,

3. Warna biru muda yang menjadi warna dasar bentuk oval pada lambang itu
adalah perpaduan antara warna biru dan putih. Warna biru dan putih
membawa watak menolak perbuatan yang tidak baik. Wama biru muda
merupakan simbol angkasa atau langit yang mencerminkan watak orang
berwawasan luas dan pemberi maaf,

4. Surya atau matahari merupakan sumber kekuatan dan sumber penerang dan
hidup yang akan menjadikan dunia tegak penuh dengan sinar penerang dan
hidup. Hal ini merupakan simbol bahwa orang yang berjiwa budaya Jawa
harus dapat menanamkan kekuatan dan dapat memancarkan sinar kehidupan
dengan tidak mengharapkan imbalan. Surya menjadi sarana bagi kehidupan di
bumi.

5. Candrasasangka atau bulan menjadi sumber penerang pada malam hari


tanpa menimbulkan panas, tetapi teduh memberi cahaya kepada siapapun dan
apapun tanpa kecuali. Hal yang demikian makna bahwa jiwa budaya Jawa
harus didasari watak pemberi dan memancarkan penerang yang tidak
menyebabkan silau tetapi memancarkan kelembutan dan kedamaian. Candra
menjadi sarana daya rasa (batin) bagi kehidupan di planet Bumi.

6. Kartika atau bintang memiliki sifat memancarkan sinar, hanya kelihatan


gemerlap di sela-sela kegelapan malam. Hal ini memiliki ajaran bahwa raja
atau seseorang agar dapat memberikan penerang kepada siapapun yang sedang
dalam kegelapan. Makna itu juga mengingatkan kepada manusia bahwa
masalah gelap dan terang dalam kehidupan ini silih berganti. Kartika menjadi
sarana dan daya menambah teduhnya kehidupan di planet Bumi.
7. Bumi secara lahiriah merupakan tempat kehidupan dan juga tempat
berakhirnya kehidupan. Bumi atau jagat juga mengingatkan manusia sebagai
mikrokosmos juga memiliki jagad besar atau malcrokosmos. Lambang Bumi
ini sekaligus menjadi pasemon atau kiasan adanya kesatuan jagad kecil dan
jagad besar. Bumi atau jagat manusia berada dalam hati. Oleh karena itu
manusia agar dapat menguasai keadaan harus dapat menyatukan diri dengan
dunia besar. Dalam Kejawen, sikap semacam itu disebut Manunggaling
Kawula lan Gusti. Sifat bumi adalah momot dan kamet atau dapat menampung
dan menerima yang gumelar (ada). Bumi sebagai lambang welas asih,
dapat anyrambahi sakabehe.

8. Paku sebagai kiasan atau pasemon agar selalu kuat. Hal ini mengandung
ajaran bahwa agar kehidupan di Bumi bisa kuat dan sentosa maka harus
didasari jiwa yang kuat. Tidak mudah goyah atas dasar satu kekuatan yang
maha besar dari Tuhan YME yang menjadi pegangan bagi manusia yang hidup
di Bumi.

9. Kapas dan padi melambangkan sandang pangan, yakni kebutuhan lahir


dalam kehidupan manusia. Sandang dinomorsatukan atau didahulukan,
sedangkan pangan dinomorduakan atau dikemudiankan. Hal yang demikian
mengandung ajaran bahwa sandang berhubungan dengan kesusilaan dan
diutamakan, sedangkan pangan berhubungan dengan lahiriah dinomorduakan.
Oleh karena itu, manusia hendaknya mengutamakan kesusilaan daripada
masalah pangan. Kehidupan manusia dibumi tidak lepas dari kebutuhan-
kebutuhan duniawi.

10. Pita merah putih sebagai kiasan bahwa manusia terjadi dengan perantara
ibu-bapak (ibu bumi bapa kuasa). Merah melambangkan ibu, sedangkan putih
melambangkan bapak. Oleh karena itu, manusia hendaknya selalu ingat
kepada ibu-bapak, yang tercermin dalam ungkapan Mikul Dhuwur Mendhern
Jero yang maksudnya sebagai anak harus dapat mengharumkan nama orang
tua dan dapat menghapuskan kejelekan nama orang tua. Pita merah putih juga
dapat diartikan laki-laki dan perempuan sebagai lambang persatuan. Untuk
mencapai tujuan harus dilandasi semangat persatuan (antara gusti dan kawula).

Maka, jelaslah Radya laksana merupakan tuntunan hidup, bagi yang memakai
lambang tersebut, dimana pun mereka berada akan menjalankan watak-watak
yang terlukis dalam lambang (tindakna, watak wantun kang tinemu ing
lambang).

Lalu dari mana Pakubuwono X beroleh gagasan membuat Radya Laksana


yang kaya perlambang bermakna simbolis dan filosofis itu? Purwadi selaku
dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta dalam Jurnal
Seni dan Budaya Tradisi terbitan Asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI)
Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan bahwa Pakubuwono X membuat
Radya Laksana berdasarkan, “relief gambar kuno yang yang merupakan
lambang kerajaan Jawa kuno yang terdapat di atas Regol atau Kori Sri
Manganti.”

Jika dugaan Purwadi bahwa lambang yang ada regol atau kori Sri Manganti itu
benar lambang kerajaan, sejatinya tidak tepat benar lambang di bagian atas
kosen regol atau Kori Sri Manganti itu disebut lambang “kerajaan Jawa kuno”.
Berdasarkan data yang dihimpun Eko Adhy Setiawan, regol atau Kori Sri
Manganti—baik lor maupun kidul—dibangun Pakubuwono III ( 1749-1788)
pada tahun 1772. Sedangkan, tim penulis Pustaka Sri Radyalaksanaterbitan
1939, mencatat Kori Sri Manganti Wetan diperbaiki 1814, pada masa
berkuasanya Pakubuwono IV (1788 -1820). Maka lambang di bagian atas
kosen regol atau Kori Sri Manganti itu lebih mungkin lambang Kasunanan
Surakarta Hadiningrat sebelum diperkenalkannya Sri Radya Laksana ciptaan
Pakubuwono X.

Sarjana Sastra pendidik Kesenian yang bekerja di Universitas Negeri


Yogyakarta dan sejumlah perguruan tinggi lainnya itu mestinya mengerti
benar bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Pakubuwono
III ataupun Pakubuwono IV bukan tergolong “kerajaan Jawa kuno”. Bahkan
meskipun karya kedua raja itu lebih usang ketimbang karya-karya
Pakubuwono X. Pada dasarnya sejak Pakubuwono II hingga Pakubuwono
XIII, kerajaan itu mestinya dipandang dalam satu kesatuan Kasunanan
Surakarta Hadiningrat.
Sri Radya laksana dilengkapi inisial Pakubuwono X dengan senjata semburan di
sekitarnya yang terdapat di atas kosen depan Kraton Solo. (Kratonsolo.com)

Kalaupun Sri Radya Laksana lebih kondang sebagai lambang Kasunanan


Surakarta Hadiningrat, maka tak semestinya lambang mirip lambang
Kesultanan Otoman—dengan banyak wujud senjata semburat dari wujud dasar
lambangnya—yang hingga kini masih bisa ditemui di bagian atas kosen regol
atau Kori Sri Manganti itu disebut lambang “kerajaan Jawa kuno”.
Ketenaran Sri Radya Laksana itu tidak bisa dipisahkan dari masa keemasan
selama Sampeyan-dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono
Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayiddin Panotogomo Ingkang kaping
X sebagai pembuat lambang baru Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu
berkuasa, 1893-1939. Lambang Kasunana Surakarta Hadiningrat bikinan
Pakubuwono X itu tersebar ke seantero Pulau Jawa, bahkan luar negeri.

Setiap kali melakukan kunjungan kenegaraan ataupun menerima tamu negara,


ia gemar membagikan buah tangan yang mencantumkan lambang tersebut.
Itupun tak selalu dalam wujud Sri Radya Laksana karena pada kenyataannya
Pakubuwono X bukan hanya memperkenalkan dan menggunakan satu jenis
lambang. Hingga kini, berbagai varian lambang Pakubuwono X itu masih bisa
dilihat di kereta-kereta kencana atau bagian atas bangunan-bangunan yasan-
dalem atau hasil karyanya di seputaran Kraton Solo maupun Kota Solo.
Sumber:

 Hadisiswaya, A.M.. 2011. Pergolakan Raja Mataram. Yogyakarta:


Interprebook.
 Hartatiningtyas, Sri. 2010. Gelar, dan Ageman Pisowan Surakarta
Hadiningrat.Surakarta: Intermedia Paramadina.
 Prajaduta, Mas Ngabei. Et. Al. 1939. Pustaka Sri Radyalaksana. Surakarta:
N.V. Boedi Oetomo.
 Purwadi. 2008. Kraton Surakarta: Sejarah, Pemerintaha, Konstitusi,
Kesusastraan, dan Kebudayaan. Yogyakarta: Panji Pustaka.
 Purwadi. 2010. Makna Lambang Kraton Surakarta dalam Perspektif
Hermeneutik dalam Jurnal Seni dan Budaya Tradisi. Yogyakarta: Asosiasi
Pendidik Seni Indonesia (APSI) Daerah Istimewa Yogyakarta.
 Setiawan, Eko Adhy. 2000. Konsep Simbolisme Tata Ruang Keraton
Surakarta Hadiningrat. Semarang: Tesis Program Pasca Sarjana Magister
Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro.

Sumber:
https://www.google.com/amp/s/kratonsoloblog.wordpress.com/2016/04/30/sri-
radya-laksana-identitas-kasunanan-surakarta-hadiningrat/amp/

Anda mungkin juga menyukai