Anda di halaman 1dari 14

PAKU BUWONO X NARENDRA GUNG BINATHARA

April 28, 2021

PAKU BUWONO X NARENDRA GUNG BINATHARA

Oleh : Dr. Purwadi, M.Hum.

Ketua bidang sejarah Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA, hp.087864404347

A. Negari Surakarta

Kraton Surakarta dibangun di atas desa Sala yang masih berawa rawa. Tanah rawa ini
dibeli dari Ki Gedhe Sala. Sinuwun Paku Buwana II membayar Satu Leksa Ringgit. Harga
itu mahal sekali (Bratadiningrat, 1992: 84). Kraton Surakarta Hadiningrat berdiri pada
tahun 1745 pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana II. Beliau juga mendapat
gelar Sinuwun Kumbul.

Berdirinya kraton Surakarta mendapat dukungan penuh dari Ki Gedhe Sala. Saat ini kraton
Surakarta merupakan pusat dan sumber budaya Jawa yang edi peni dan adi luhung.

1. Sunan Paku Buwana II

Lahir Selasa Pahing, 23 Sawal 1634 atau 8 Desember 1711 di Kartasura. Menjadi raja pada
hari Kamis Legi, 16 Besar 1650 atau 15 Agustus 1726. Dan di Surakarta tahun 1745. Wafat
tahun 1749.

2. Sunan Paku Buwana III

Lahir Sabtu Wage, 26 Ruwah 1656 atau 24 Februari 1732. Menjadi raja pada hari Senin
Wage, 5 Sura 1675 atau 15 Desember 1749. Wafat Jum’at Wage, 25 Besar 1714, atau 26
September 1788.

3. Sunan Paku Buwana IV

Lahir Kamis Wage, 18 Rabi’ul Akhir 1694 atau 2 September 1768. Menjadi raja pada hari
Senin Paing, 28 Besar 1714, atau 29 September 1788. Wafat Senin Paing, 25 Besar 1747,
atau 2 Oktober 1820.

5. Sunan Paku Buwana V

Lahir Selasa, 5 Rabi’ul Akhir 1711 atau 15 Februari 1785. Menjadi raja pada hari Sela-sa, 3
Muharam 1748, atau 10 Oktober 1820. Wafat Jum’at, 29 Besar 1750, atau 5 September 1823.

1
6. Sunan Paku Buwana VI

Lahir Ahad Wage, 18 Sapar 1734, atau 26 April 1807. Menjadi raja pada hari Senin, 10 Sura
1751, atau 15 September 1824. Wafat Ahad Pon, 12 Rejeb 1777 atau 2 Juni 1849 di Ambon.

7. Sunan Paku Buwana VII

Lahir Kamis Wage, 16 Muharam 1723 atau 28 Juli 1796. Menjadi raja pada hari Senin Wage,
22 Besar 1753 atau 14 Juni 1830. Wafat Senin Legi, 27 Siam 1786 atau 28 Juli 1858.

8. Sunan Paku Buwana VIII

Lahir pada hari Senin, 20 April 1789. Menjadi putra mahkota pada hari Kamis 15 Besar 1731
atau 1805.

9. Sunan Paku Buwana IX

Lahir Rabu, 7 Saban 1758 atau 22 Desember 1830. Menjadi raja pada tanggal 30 Desember
1861. Wafat Jum’at Legi, 28 Ruwah 1822 atau 16 Maret 1893.

10. Sunan Paku Buwana X

Lahir Kamis Legi, 21 Rejeb 1795 Jawa atau 29 November 1866. Menjadi raja pada tanggal
30 Maret 1839. Wafat pada tanggal 20 Februari 1939.

11. Sunan Paku Buwana XI

Lahir Senin, 25 Rabi’ul Akhir 1815, atau 1 Februari 1886. Menjadi raja pada hari Rabu Legi,
7 Mulud 1878, atau 26 April 1939. Wafat Sabtu, 21 Jumadilakir 1876 atau 2 Juni 1945.

12. Sunan Paku Buwana XII

Lahir Selasa Legi, 20 Ramelan 1855, atau 14 April 1925. Menjadi raja pada hari Jum’at
Pahing, 19 Rejeb 1876, atau 29 Juni 1945. Wafat 11 Juni 2004.

13. Sunan Paku Buwana XIII

Lahir pada hari Senin, 28 Juni 1948 atau 21 Ruwah tahun Dal 1879. Menjadi raja, Jum’at
Kliwon 10 September 2004 atau 25 Rejeb 1937.

B. Sinuwun Paku Buwono X

Kejayaan masa silam bangsa Indonesia dapat dilacak dari rentetan kehidupan sejarah raja-raja
di nusantara. Bahkan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai kerajaan nasional
yang luas dan besar pengaruhnya. Kedua kerajaan ini memberi inspirasi bagi kerajaan
pelanjutnya untuk membangun peradaban yang lebih anggun dan agung. Di antara sekian
banyak raja raja nusantara yang perlu diketahui peranannya adalah Sunan Paku Buwono X
yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat.

2
Dalam lintasan sejarah nasional, Kraton Surakarta merupakan kelanjutan dari kraton
Mataram, Pajang, Demak dan Majapahit (Denys Lombard, 2000: 173). Dengan demikian
secara genealogis, Sunan Paku Buwono X adalah pewaris sah atas nilai nilai kebesaran
kerajaan Majapahit yang telah mampu mengukir prestasi gemilang.

Pemerintahan negara Majapahit yang menguasai dan mempersatukan nusantara tentu menjadi
inspirasi bagi Sunan Paku Buwono X dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Kraton Surakarta yang diperintah oleh Sri Sunan pada zamannya merupakan pusat
kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar terhadap perjalanan sejarah bangsa
Indonesia.

.Oleh karena raja memiliki kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum, pengatur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan dianggap sebagai ‘wakil Tuhan di
muka bumi (Soemarsaid Moertono, 1985: 2-5).

Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi
oleh kebijakan sang raja yang berkuasa.

Bersama GKR Pembayun PB X di rumah Harjowinatan

Sunan Paku Buwono X termasuk raja yang taat dengan tradisi yang diwariskan leluhurnya.

Ajaran ajaran yang diwariskan oleh para pendahulunya di Kraton Surakarta selalu ia
dijadikan referensi untuk memecahkan problematika yang dihadapinya. Sebegitu pentingnya
nilai etis filosofis untuk pegangan hidup sehari hari maka para penguasa Kraton Surakarta,
juga terlibat aktif dalam bidang sastra budaya. Oleh karena itu muncul istilah brahmana raja,
sebuah predikat agung yang mendudukkan raja sekaligus bergelar pujangga (Moejanto, 1994:
43).

Dapat disebutkan misalnya Sunan Paku Buwono IV yang mengarang Serat Wulangreh.
Beliau memberi konsep kepemimpinan yang menjunjung azas profesionalisme. Dikatakan
bahwa narendra tan darbe garwa myang putra atau raja tidak mempunyai istri dan anak, di
sini Sunan Paku Buwono IV menegaskan bahwa raja selaku institusi yang memegang
kekuasaan eksekutif kraton tidak boleh mencampuradukkan dengan segala hal yang berkaitan
dengan urusan pribadi dan keluarga.

Urusan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada angger-angger atau tata aturan
yang telah disepakati bersama. Wejangan Serat Wulangreh ini dihayati benar oleh Sunan
Paku Buwono X (Darusuprapta, 1986: 90).

Pikiran utama yang dipegang teguh oleh para raja Surakarta berpangkal tolak dan konsep Ber
Budi Bawa Laksana. Ber budi mengandung makna yang berkaitan dengan unsur keramahan
dan kemurahan sang raja kepada segenap kawula dasih atau warganya. Sedangkan Bawa
laksana mengandung arti konsistensi dan konsekuensi atas segala kebijakan dan
kebijaksanaan kraton.

3
Perkataan dan perbuatan raja mesti bisa dipertanggung jawabkan di hadapan bangsa dan
negara. Ungkapan manunggaling kawula Gusti memberi orientasi bahwa raja sebagai Gusti
mesti selalu bersemayam di hati kawula atau rakyat.

Berkaitan dengan perkembangan peradaban dunia masa kini, perlu kiranya memperhatikan
wejangan Sultan Agung, Raja Mataram yang menjadi panutan Sunan Paku Buwono X yang
memberi pesan mangasah mingising budi mamasuh malaning bumi. Sebuah ajaran yang
menghendaki keselarasan antara makro kosmos (jagad gumelar) dan makro kosmos
(jagad gumulung).

Itulah intisari makna yang dikandung dalam sesanti mamayu hayuning bawana
(Soerjohoedojo Soetardi,1922: 151). Untuk memahami perjuangan, jasa dan pengabdian
Sunan Paku Buwono X kepada nusa dan bangsa, perlu dikaji sisi historis, filosofis, dan
praksis yang meliputi perjalanan hidup dan karya karyanya.

C. Masa Kecil di Lingkungan Kraton

Sunan Paku Buwono X lahir Kamis Legi, 21 Rejeb 1795 Jawa atau 29 November 1866 dari
permaisuri Raden Ajeng Kustijah atau Kanjeng Ratu Paku Buwono IX. Nama kecilnya
adalah nama Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna (Puspaningrat, 1996: 12). Beliau
dilahirkan sebagai putra ke-30 dari putra-putra Sunan Paku Buwono IX. Kraton menyambut
kelahirannya dengan perasaan bahagia dan penuh kemegahan, karena selama pemerintahan
Paku Buwono V sampai dengan Paku Buwono VII, permaisuri raja tidak melahirkan putra
laki-laki.

Dikatakan bahwa untuk mengumumkan kelahiran agung ini dibunyikan segala macam
bunyian, tambur dan slompret dan di Panggung Songgobuwono dibunyikan meriam, para
abdi dalem niyogo diperintahkan nabuh gamelan kodok ngorek di Siti Hinggil (RM Karno,
1990: 25). Sri Mangkunegara IV juga merasa sangat bahagia, karena Raden Ajeng Kustijah
yang juga kemenakannya dapat menjadi perantara lahirnya calon putra mahkota yang kelak
akan memerintah di kerajaan Surakarta Hadiningrat (RM Sayid, 1980: 66).

Rakyat sangat gembira karena untuk negeri Surakarta Hadiningrat sudah ada calon pengganti
raja, seorang Pangeran Adipati, negara akan bertambah makmur. Karena itu rakyat dan
seluruh kerabat kraton memohon kepada Yang Maha Agung, agar sang narendra putra selalu
diberi keselamatan dan selalu dalam keadaan sehat walafiat. Selama satu minggu di kraton
diadakan tirakatan semalam suntuk. Eyang putri, Ibu Sinuwun Paku Buwono IX, sangat
menyayangi cucunya, sehingga sang cucu selama masih kecil tidurnya sama eyang putri.
Setelah menjelang dewasa Sang Pangeran Adipati dibuatkan gedung tersendiri yang
dinamakan gedung Sasono Hadi (RM Karno, 1990: 25).

Raden Ajeng Kustijah permaisuri Paku Buwono IX adalah putri Pangeran Hadiwijaya dengan
Ratu Bendara. Pernikahan beliau berlangsung pada 1865, ketika Sunan telah memegang
pemerintahan selama 4 tahun dan telah menginjak usia 35 tahun.

4
Setelah RM Gusti Sayidin Malikul Kusna berusia tiga tahun (1869), Sunan Paku Buwono IX
mengangkatnya menjadi Pangeran Adipati Anom dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Anom Amangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram V Ing Kraton
Surakarta Hadiningrat ( Puspaningrat, 1996: 12). Gubernur Jenderal pun menghaturkan
selamat atas lahirnya sang Pangeran Muda, juga memberi restu atas pengangkatan Sang
Pangeran menjadi Pangeran Adipati Anom. Suasana di Bangsal Praba Suyasa, Kraton
Surakarta.

Setiap putra-putri raja Mataram, diharuskan menjalani bimbingan dan pendidikan yang keras
sejak belia, baik dari orang tua maupun para guru terpilih. Tradisi demikian, telah terbentuk
sejak zaman kuno, karena para putra raja adalah benteng penjaga kedaulatan kerajaan (Darsiti
Soeratman, 1990: 7). Demikian pula dengan Sang Pangeran Adipati Anom. Pendidikan untuk
putra mahkota itu diarahkan agar ia kelak dapat memangku jabatannya sebagai raja utama.

Pendidikan diberikan secara Jawa yang diikuti Pangeran Adipati Anom, meliputi berbagai
bidang pengetahuan mengenai kesusasteraan, agama termasuk mengaji, besi aji, dan segala
hal tentang kuda;

kesenian, termasuk seni tari;

ketrampilan menggunakan senjata seperti keris, pedang, dan tombak secara timur, pencak
silat dan bermain pedang secara Barat;

olah raga, seperti berenang dan menunggang kuda;

pendidikan dari buku buku lama dan ajaran dari ayahnya yang terkumpul dalam serat serat
piwulang Jawa

pengetahuan psikologi, kejiwaan.

pelajaran bahasa seperti Arab, Melayu, Belanda (RM Sayid, 1980: 45).

Sunan Paku Buwono X pada waktu masih kecil belum dikhitankan. Duduk di muka-
bawahnya adiknya bernama BRM Sudarmaji (KPH Tjakraningrat)

KGP Adipati Anom menyadari bahwa syarat untuk men-jadi Raja ialah menguasai segala
ilmu yang ada, yang nantinya perlu untuk bekal dalam mengatur negara, baik itu ilmu
kebathinan dan ajaran-ajaran Jawa lainnya sebagai warisan dari leluhur, agar kelak menjadi
manusia yang berbudi luhur dan berwatak utama, maupun ilmu dari barat, agar dapat
mengikuti dan memahami keadaan dunia.

Segalanya ini dipelajari di kraton, segala macam guru baik dalam ilmu barat maupun ilmu
ketimuran didatangkan ke kraton.

Sejak muda, putra mahkota di Kraton Surakarta telah diperkenalkan dengan tugas-tugas
kenegaraan di samping tugas belajar. Salah satu tugas itu adalah menjadi pimpinan Rad

5
Kadipaten Anom, semacam majelis yang berisi tokoh-tokoh keluarga kerajaan sebagai dewan
pertimbangan raja ( Puspaningrat, 1996: 13). Namun sebelum ia menginjak usia dewasa,
tugas sebagai ketua Rad Kadipaten Anom dilaksanakan oleh Pangeran Arya Prabuningrat. Ia
juga merangkap menjadi ketua Rijksraad, sejenis Rad Kadipaten Anom namun komposisinya
terdiri dari tokoh tokoh masyarakat, pengusaha, ulama dan sebagainya.

Dalam pengajaran etika, tata krama dan diplomasi, Pangeran Adipati Anom sejak berusia 7
tahun, selalu diajak mengikuti ayahandanya memenuhi undangan residen untuk makan siang
di rumah residen. Kadangkala ia bahkan datang sebagai wakil raja. Jika sebagai wakil raja,
putra mahkota yang masih di bawah umur itu, mendapat kehormatan seperti yang ditujukan
kepada raja, misalnya memperoleh penghormatan dentuman meriam, apabila ia melewati
benteng Vastenburg. Selain itu ia melakukan tugas atas nama Raja.

Selama itu, para pangeran yang lebih tua, demikian pula pepatih dalem masuk dalam
rombongan pengiring wakil raja itu (RM Sayid, 1980: 51).

Para pangeran putra yang usianya lebih tua dari putra mahkota adalah: Pangeran Hangabehi,
Pangeran Arya Mataram, Pangeran Arya Natakusuma, Pangeran Arya Nyakrakusuma,
Pangeran Arya Kusumadiningrat, Pangeran Arya Purbaningrat, dan Pangeran Arya
Cakradiningrat. Pada 1884, ketika sudah berusia 18 tahunf putra mahkota itu diangkat secara
kehormatan oleh Pemerintah menjadi Letnan Kolonel pada Angkatan Perang Kerajaan
Belanda (Groneman, 1886). Dua tahun kemudian (1886), ia mulai menjalankan tugasnya
sebagai ketua Rad Kadipaten Anom. Pada 1890, putra mahkota itu telah menjadi Kolonel dan
dinikahkan dengan Raden Ajeng Sumarti, putri Mangkunegara IV.

D. Menjadi Raja Surakarta

Pada tahun 1893, Pangeran Adipati Anom dinobatkan sebagai raja Kraton Surakarta
menggantikan ayahnya, dengan gelar Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sunan
Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Ingkang Jumeneng
Kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat atau ringkasnya Sunan Paku Buwono X
( Puspaningrat, 1996: 6).

Pemerintah menaikkan pangkat militernya menjadi Mayor Jenderal (Groneman, 1886).


Pemberian pangkat militer secara tituler oleh kepada raja-raja Jawa telah dimulai sejak
pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama kerajaan Surakarta yang memerintah tanpa
daerah manca negara. Berikut ini adalah peta kekuasaan kraton Surakarta pada masa Sunan
Paku Buwono X, yang berwarna coklat.

Sunan Paku Buwono X sebagai raja, kemudian melakukan sejumlah pembaruan politik,
ekonomi, kebudayaan dan pendidikan di Kraton Surakarta yang tercatat dengan tinta emas
hingga saat ini. Upacara jumenengan Sri Susuhunan.

Pada intinya, Kraton Surakarta Hadiningrat mencatat sebagai berikut:

6
1. Bidang Politik dan Pemerintahan: membantu dan mengayomi organisasi organisasi
nasional, melindungi tokoh-tokoh politik nasional.

Contoh seperti Bung Karno, HOS Cokroaminoto dan Agus Salim; Sunan Paku Buwono X
secara terbuka maupun diam diam memberi sokongan fasilitas dan dana kepada perkumpulan
perkumpulan politik itu; membuat radya laksana kraton; mendirikan Raad Bale Agung
sebagai Dewan Perwakilan Rakyat di Kraton dan membuka keran demokrasi; mendirikan
Rijksraad, memperbaiki birokrasi dan manajemen pemerintahan.

2. Bidang Ekonomi: membangun sejumlah pasar, seperti Pasar Gedhe Harjonagoro,


membangun Bank Banda Lumaksa, mendirikan pabrik gula, pabrik teh dan perkebunan,
pabrik cerutu dan sejumlah perusahaan yang berorientasi publik.

3. Bidang Sarana Publik: membangun jaringan listrik di kota solo pada tahun 1902,
membangun PDAM seluruh kota Solo, merenovasi stasiun dan membuka jalur kereta api,
membangun jalan-jalan dan jembatan, seperti Jembatan Bacem dan Jurug, membangun
gedung pertemuan publik Habi Praya.

4. Bidang Pendidikan: mendirikan sekolah Mamba’ul Ulum di kompleks Masjid Agung,


membangun sekolah sejumlah TK Pamardi Siwi, HIS Kasatriyan, Sekolah sekolah Desa,
Sekolah Angka II, mempermudah akses sekolah kepada seluruh kawula Mataram dan
memberikan beasiswa kepada sejumlah bangsa-wan untuk meneruskan studi di Eropa.

5. Bidang Keagamaan: mencetak kader-kader ulama melalui Mamba’ul Ulum, meneruskan


syiar Islam dalam grebeg maulid, mendirikan sejumlah masjid di Surakarta dan sekitarnya.

6. Bidang Sosial: mendirikan panti jompo dan yatim piatu, memprakarsai berdirinya
organisasi organisasi sosial seperti Narpa Wandawa, organisasi wanita dan sebagainya.

7. Bidang Kesehatan dan Olahraga: mendirikan Rumah Sakit Kadipolo, memberikan


bantuan pendidikan kedokteran bagi para bangsawan, mendirikan apotik dan poliklinik
layanan kesehatan, membangun sarana olahraga dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
keolahragaan.

8. Bidang Arsitektur: melakukan renovasi besar besaran terhadap sejumlah bangunan


kraton, mendirikan pagar dan batas kota, membangun empat tanggul sebagai pintu air kota
Surakarta, membangun pesanggrahan wisata, membangun kembali bangunan bangunan
bersejarah seperti makam para leluhur Mataram di Kotagede, Imogiri, Laweyan dan
Pengging.

9. Bidang Komunikasi, membangun stasiun radio dan mendorong tumbuhnya pers.

10. Bidang Seni dan Budaya: mendorong tumbuhnya seni dan budaya, modernisasi kaum
priyayi, membuka perpustakaan Radya Pustaka untuk publik.

Selain itu masih banyak sekali prestasi gemilang Sunan Paku Buwono X dan Kraton
Surakarta. Di antaranya yang menyangkut hubungan kekeluargaan antara para penerus dinasti

7
Mataram di Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Dalam masa
pemerintahannya, tercatat kerja sama yang harmonis antar keempat dinasti tersebut.

Sunan Paku Buwono X dalam memerintah Kraton Surakarta didampingi oleh saudara
kandungnya (Pangeran Sentana), maupun anak anaknya sendiri (Pangeran Putra). Hal ini
adalah satu keniscayaan yang pasti terjadi di dalam pemerintahan kerajaan.

Di antaranya adalah Pangeran Arya Dipakusuma, cucu Paku Buwono IV, Pangeran Arya
Cakranegara, cucu Paku Buwo-no VII, Pangeran Arya Suryaatmaja, cucu Paku Buwono VI,
dan empat orang cucu Paku Buwono IX. Mereka adalah Pangeran Rangga Danupaya,
Pangeran Arya Mataram, Pangeran Tumenggung Sindusena, dan Pangeran Panji Singasari.

Pangeran Arya Kusumadilaga, Pangeran Arya Mangkudiningrat, Pangeran Arya


Hadiningrat, Pangeran Arya Mlayakusuma, Pangeran Arya Nata-praja dan Pangeran Arya
Natadiningrat (Darsiti Soeratman, 1989: 22). Para pangeran tersebut memainkan peranan
sosial politik yang sangat penting dan menjadi tanan kanan Sunan dalam berbagai
kepentingan di luar urusan birokrasi kerajaan.

Pada tahun 1935, pangeran putra dalem berjumlah 10 orang, di samping itu terdapat 10 orang
pangeran sentana.

Pada dasawarsa kedua abad XX, di dalam kraton masih terdapat sepuluh orang pangeran
putra Paku Buwono IX. Empat di antaranya adalah saudara tua sunan (Darsiti Soeratman,
1989: 155). Mereka adalah Pangeran Arya Natakusuma; Pangeran Arya Prabuningrat,
bersama Pangeran Hangabehi menjadi bekel putra sentana dalem, merangkap ketua
Pengadilan Kadipaten Anom dan juga ketua Rijksraad; Pangeran Arya Kusumadiningrat,
anggota Rijksraad, dan Pangeran Arya Purbadiningrat.

Rijksraad (Dewan Kerajaan), yang didirikan oleh Sunan Paku Buwono X pada 1905,
beranggotakan tiga belas orang, terdiri atas putra putra Paku Buwono IX, beberapa pangeran
putra raja yang sedang memerintah, ditambah dengan RMA Wuryaningrat bupati nayaka
yang menjadi menantu Raja. Rijksraad juga berhak membahas masalah pengganti raja.

E. Silsilah Sunan Paku Buwono X.

Lukisan Sunan Paku Buwono X dengan segala kebesaran .

Terlihat sejumlah lencana pada ageman dalem. Lukisan Gusti Kanjeng Ratu Kencana,
permaisuri Sunan Paku Buwono X. Sunan Paku Buwono X dan permaisuri Gusti Kanjeng
Ratu Hemas, Puteri Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Para raja Surakarta masih keturunan Dinasti Mataram, Pajang, Demak dan Majapahit
(Sindusastra, 1978: 19).

Demikian pula Sunan Paku Buwono X. Apabila dirunut, maka dapatlah disusun daftar silsilah
sebagai berikut:

8
1. Prabu Brawijaya V Majapahit ( 1478)

2. Bondan Kejawan

3. Ki Getas Pandawa

4. Ki Ageng Sela

5. Ki Ageng Ngenis

6. Ki Ageng Pemanahan, menerima tanah perdikan Mataram.

7. Panembahan Senopati (1587 - 1601)

8. Prabu Hanyakrawati (1601 - 1613)

9. Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613 - 1645)

10. Sunan Amangkuat I (1645 - 1677)

11. Sunan Amangkuat II (1677– 1703)

12. Sunan Amangkuat III (1703 – 1708)

13. Sunan Paku Buwono I (1708 – 1719)

14. Sunan Amangkuat IV (1719 – 1726)

15. Sunan Paku Buwono II (1726 - 1749)

16. Sunan Paku Buwono III (1749 - 1788)

17. Sunan Paku Buwono IV (1788 - 1820)

18. Sunan Paku Buwono V (1820 - 1823)

19. Sunan Paku Buwono VI (1823 - 1830)

20. Sunan Paku Buwono VII (1830 - 1858)

21. Sunan Paku Buwono VIII (1858 - 1861)

22. Sunan Paku Buwono IX (1861 - 1893)

23. Sunan Paku Buwono X (1893 - 1939)

(Padmawarsita, 1953)

Prameswari dalem atau garwa padmi Sunan Paku Buwono X ada 2 yaitu:

9
1. Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwono atau Raden Ajeng Sumarti, putri Mangkunegara IV,
Surakarta, nikah hari Kamis Pon 20 Besar Alip 1819 atau 7 Agustus 1890, dalam usia 24
tahun

2. Gusti Kanjeng Ratu Mas atau Gusti Raden Ajeng Mursudarinah yakni putri Sultan
Hamengku Buwono VII, Kraton Yogyakarta nikah hari Rabu Wage 17 Besar Jimawal 1845
atau 27 Oktober 1915, mempunyai seorang putri yakni Gusti Kanjeng Ratu Pembayun
( Puspaningrat, 1996: 14).

Selain itu Sunan Paku Buwono X mempunyai garwa ampeyan sebanyak 36 dan putra-
putri dalem berjumlah 63. Adapun putra-putri Sunan Paku Buwono X adalah sebagai
berikut:

1. GKR Alit

2. GRAy Singasari

3. GRAy Pergiwati

4. GRM Antasena (Sunan Paku Buwono XI)

5. KGPH Kusumayuda

6. GPH Natapura

7. GPH Natabrata

8. GRM Sutandar.

9. GPH Hadisurya

10. GRAy Arya Jayanegara

11. KG Panembahan Hadiwijaya Maharsi Tama

12. GRAy Adipati Paku Alam VII, GRAy Retnapuasa.

13. GRAy Tandanegara, GRAj Kusretna Fatimah.

14. GRAy Pawiradiningrat, GRAj Kuskhatijah

15. GPH Suryabrata, GRM Sumeh.

16. GRAy Sasradipura, GRAj Kusnah

17. GRAy Jayadiningrat, GRAj Kusyah

10
18. KGPH Kusumabrata, GRM Irawan.

19. GPH Demang Tanpa Nangkil, GRM Nawawi.

20. GRAj Kusmandinah.

21. GRAy Wuryaningrat, GRAj Kustantinah

22. GPH Hadinegara, GRM Rofiatun

23. GPH Purbanegara, GRM Sujana

24. GRAy Cakradiningrat, GRAj Kusindinah

25. GRAy Suryaningrat, GRAj Kusnapsiyah

26. GRAy Purnama Hadiningrat, GRAj Kussalbiyah

27. GPH Hadikusuma, GRM Sanitiyasa

28. GRM Sunata.

29. GRAy Suryanegara, GRAj Kusma’ani

30. GRAy Wiryadiningrat, GRAj Kus’aimah

31. GRAy Adipati Sasradiningrat, GRAj Kus’aisyah

32. GPH Surya Hamijaya, GRM Sudira

33. GRAy Adipati Sasranegara, GRAj Kustarinah

34. GRAy Suripta, GRAj Kusmartinah

35. Mr. KGPH Jaya Hadikusuma, GRM Sutijap

36. Ir. Mr. GPH Natakusuma, GRM Sahid.

37. GRAy Mangkuyuda, GRAj Kuspiyah

38. GRAy Cakrakusuma, GRAj Kussrinah

39. GRM Sangadi

40. GRAy Sartana, GRAj Kusmaknawiyah

41. GRM Ngaliman.

11
42. GRAy Susetya.

43. GRAy Natadilaga, GRAj Kustrinah

44. GRAj Kustrini.

45. GRAy Bratadiningrat, GRAj Kusdinah

46. Jenderal TNI GPAH Jati Kusuma, GRM Soebandana.

47. GPH Suryakusuma, GRM Suninta

48. GPH Cakraningrat, GRM Kasan

49. GPH Natapraja, GRM Kusen

50. GRM Suyitna

51. GKR Pambayun, GRAy Sekar Kedaton Kustiyah.

52. GRAy Pramukusuma, GRAj Kusduryatinah

53. Mr. GPH Puspakusuma, GRM Suranta

54. GRAy Kusumajati, GRAj Kusprapti

55. GRAy Natanegara, GRAj Kustimah

56. GRAj Kustikah.

57. GPH Mangkukusuma, GRM Suwardi

58. GPH Aryamataram, SH

59. GRAj Kusbandinah.

60. GPH Priyambada, GRM Subandriya

61. GRM Suwanta

62. GRM Sugandi.

63. GPH Nyakrakusuma, GRM Subarja (Bratadiningrat, 1992).

Sunan Paku Buwono X adalah pejuang yang telah memberikan kontribusi nyata terhadap
perintisan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai raja sebuah kerajaan berdaulat yang

12
memerintah dua pertiga tanah Jawa, dalam rentang waktu yang sangat panjang, yakni 46
tahun, tentu memainkan peranan yang sangat penting sehubungan dengan interaksi bangsa
Jawa terhadap bangsa bangsa asing khususnya Belanda dan Jepang.

Sunan Paku Buwono X telah menyorong masyarakat Jawa memasuki zaman baru.

Masuknya zaman modernisasi yang berhembus dari bumi Eropa, dimanfaatkan oleh Sunan
untuk meningkatkan kesejahteraannya dengan melakukan modernisasi di sebagian tanah
Jawa yang dinaunginya, dengan Surakarta sebagai ibukotanya. Dukungannya terhadap
gerakan kaum republik juga semakin lama semakin membuahkan hasil. Putra-putri dan para
bangsawan kraton disekolahkannya ke berbagai belahan dunia, telah kembali menjadi
kader-kader perjuangan yang tangguh.

Banyak sekali bukti yang bisa dilihat, dibaca dan didengar langsung dari para kerabat dan
keturunannya, apa saja jasa dan perjuangannya yang telah dilakukan selama rentang waktu 46
tahun kepemimpinannya.

Namun, seiring dengan kemajuan zaman yang disokongnya, ikut berubah pula situasi dan
kondisi masyarakat. Ia sadar pula bahwa usianya sudah menjelang senja hari. Di lingkungan
istana pun sudah terdengar pula sayub-sayub sanak kerabat membicarakan tentang suksesi di
istana.

Awalnya pada tahun 1934, surat kabar Darmakandha berbahasa Melayu menampilkan
tulisan berjudul Wahyu Cakraningrat (Darsiti Soeratman, 1989: 162). Dikemukakan bahwa
setiap raja dalam memilih calon putra mahkota tidak semudah memilih anggota Regentschaps
Raad (Dewan Kabupaten) atau Volksraad (Dewan Rakyat), karena pencalonan putra mahkota
itu harus dihubung-lkan dengan wahyu kraton atau wahyu cakraningrat.

Walaupun pemerintahan Paku Buwono X sudah menginjak zaman baru, tetapi pemikiran
tentang wahyu cakraningrat dihubungkan dengan calon pengganti raja, masih sangat kuat.

Sehubungan dengan pendapat itu, surat kabar itu menilai, bahwa apa yang dibahas dan
diusulkan oleh berbagai pihak mengenai cara-cara penunjukkan putra mahkota yang mulai
hangat waktu itu, hanya sampai pada tingkat lahiriahnya, sedang intinya belum tercakup.
Hendaknya hal ini diserahkan kepada sunan yang telah memiliki pandangan yang bijaksana,
atau Sunan Paku Buwono X sendiri. Diskusi disambut oleh Majalah Narpa Wandawa
menyatakan sangat setuju dengan pendapat Darmakandha itu (Ricklefs, 1995: 86).

Disebutkan bahwa seorang putra mahkota yang selanjutnya akan diangkat menjadi raja,
yang harus memikirkan rakyatnya, harus mendapat wahyu kraton, sebuah wahyu yang
akan digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Wahyu di sini hendaknya diberi arti
kelebihan.

Narpa Wandawa selanjutnya menambahkan bahwa siapapun di antara putra sunan yang
menginginkan kedudukan pangeran adipati anom hendaknya tidak hanya tertarik pada
kewibawaan yang akan diperoleh. Namun, segala sesuatu mengenai hal ini, sebaiknya
diserahkan kepada sunan yang bijaksana.

Namun rupanya Sunan sudah melihat ke depan tentang nasib Negari Surakarta. Maka sampai
ujung usianya, beliau tidak mengusulkan nama calon putra mahkota (Darsiti Soeratman,

13
1989: 162). Pada bulan Desember 1938, Sunan jatuh sakit, lalu pada 20 Februari 1939, Paku
Buwono X wafat (Ricklefs, 1995: 89

Namun kehidupan harus terus berlangsung. Raja baru sebagai penerus harus ditentukan.
Sumber-sumber menyebut nama Pangeran Hangabehi sebagai calon putra mahkota. Ibu
pangeran ini semula adalah abdi dalem priyantun bedhaya, kemudian diwisuda menjadi
priyantun.

Baru dua bulan kemudian, pada 26 April 1939, disepakati secara bulat, Pangeran Hangabehi
dilantik menjadi Paku Buwono XI (Darsiti Soeratman, 1989: 90). Kini sejarah telah berubah,
seolah membenarkan sebuah ramalan mengenai usia negari Surakarta. (Padmawarsita, 1953:
34).

Karaton Surakarta Hadiningrat tetap menjadi sumber inspirasi untuk membangun peradaban.
Bersama elemen sosial lain, Karaton Surakarta Hadiningrat berjuang dalam bidang budaya.
Rum kuncaraning bangsa dumunung ing luhuring budaya.

14

Anda mungkin juga menyukai