Sobana Hardjasaputra
18 March 2009
I. PENDAHULUAN
Tema seminar Ngaguar Budaya Sunda Pikeun Mulangkeun Jati Diri Ki Sunda
(Mengungkap Budaya Sunda Untuk Mengembalikan Jati Diri Ki Sunda), sangatlah
tepat. Tema itu mengandung makna, bahwa kini jati diri Ki Sunda cenderung luntur.
Memang sekarang budaya Sunda seolah-olah terserabut dari akarnya oleh pengaruh
budaya lain (budaya deungeun). Banyak orang Sunda yang seolah-olah kehilangan atau
lupa akan jati dirinya. Hal itu menyebabkan kondisi Ki Sunda saat ini sering dibahas,
baik dalam forum diskusi dan seminar, maupun dalam mass media.
Pertama, raja-raja Tarumanagara boleh jadi keturunan orang Sunda. Kedua, Maharaja
Tarusbawa adalah pendiri Kerajaan Sunda, tetapi kerajaan itu merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan
Pajajaran, karena Maharaja Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan dari daerah
pantai ke Pakuan (Pakuan Pajajaran) di daerah pedalaman. Hampir seiring dengan
kemunculan Kerajaan Sunda, di Tatar Sunda berdiri pula Kerajaan Galuh yang
diproklamasikan oleh Wretikandayun. Tahun 612 M.
Hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Galuh terus berlangsung dengan
baik, bahkan untuk beberapa waktu lamanya, kedua kerajaan itu bersatu menjadi
Kerajaan Sunda-Galuh. Hal itu terjadi mulai tahun 723 M. ketika Kerajaan
Sunda/Pajajaran diperintah oleh Maharaja Tarusbawa, dan Kerajaan Galuh diperintah
oleh Sanjaya (723 732 M.). Maharaja Tarusbawa mewariskan tahta Kerajaan Sunda
kepada Sanjaya selaku menantunya. Perpaduan Kerajaan Sunda-Galuh setidaknya
berlangsung sampai dengan akhir abad ke-15.
Pusat kerajaan itu berpindah-pindah, dari Pakuan Pajajaran ke Galuh, dari Galuh ke
Kawali, kemudian pindah lagi ke Pakuan Pajajaran (ketika pusat kerajaan berada di
Pakuan Pajajaran, pemerintahan di Galuh terus berlangsung. Hal itu berarti terjadi
dualisme pemerintahan, yaitu adanya pemerintahan Kerajaan Sunda-
Sampai dengan akhir abad ke-16, boleh jadi jati diri Ki Sunda mengakar
cukup kuat, karena belum terpengaruh atau terganggu oleh budaya luar. Pengaruh
dari luar baru terjadi sejak Mataram menguasai Galuh. Tahun 1595 Galuh jatuh ke
dalam kekuasaan Mataram di bawah pemerintahan Senopati (1586 1601).
Pemerintahan di Galuh dijalankan oleh Adipati Panaekan yang diangkat oleh
penguasa Mataram menjadi Bupati Wedana Galuh. Berdasarkan jabatan dan gelar
adipati pada diri Adipati Panaekan, diduga sejak itulah Galuh menjadi sebuah
kabupaten, yaitu sebagai kabupaten vassal Mataram.
Perubahan status Galuh dari kerajaan menjadi kabupaten merupakan salah satu
pengaruh Mataram (Jawa) terhadap kehidupan Ki Sunda. Pengaruh budaya Mataram
yang cukup kuat terhadap Ki Sunda adalah feodalisme. Pengaruh itu terutama terjadi
melalui bahasa, sehingga dalam bahasa Sunda terjadi undak-usuk (tingkatan) bahasa
Huruf Jawa (Cacarakan) disosialisasikan dengan efektip dalam kehidupan di Tatar Sunda,
sehingga sampai sekarang pun masih ada orang Sunda yang menganggap, bahwa
Cacarakan adalah huruf Sunda). Dalam eksistensi Ki Sunda masa selanjutnya, perpaduan
budaya Sunda dan budaya Jawa, disadari atau pun tidak, menjadi jati diri Ki Sunda.
Meskipun raja-raja Sunda memiliki kekuasaan absolut, tetapi mereka pun memiliki
dan menerapkan sikap demokratis. Misalnya, Indrawarman, raja Tarumanagara kelima
(455 515 M.) dan Sanjaya, raja Sunda-Galuh (723 732 M.), tidak mengharuskan
(memaksa) rakyatnya untuk memluk agama/ajaran yang dianut oleh raja/keluarga
kerajaan. Dalam menentukan batas wilayah kerajaan, Sanjaya melakukannya melalui
musyawarah. Candrawarman, raja Tarumanagara keenam (515 535 M.), menyerahkan
kembali pemerintahan beberapa daerah kekuasaannya kepada keturunan raja-raja daerah
yang bersangkutan.
Bahwa sifat demokratis telah terdapat dalam budaya kekuasaan dan kepemimpinan
Sunda masa kerajaan, ditunjukkan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian.
Naskah itu antara lain berisi ajaran kesusilaan (moral) dan gambaran birokrasi Kerajaan
Sunda. Bagian awal naskah itu memuat dasar ajaran Sanghyang Sasanakreta (cara
mencapai kesejahteraan), yaitu ajaran untuk melangsungkan pemerintahan. Dalam ajaran
itu antara lain disebutkan bahwa Siapa (penguasa) yang hendak menegakkan
Sasanakreta, agar dapat lama hidup, lama berjaya, ternak berkembang biak, tanaman
subur, selalu unggul dalam perang, sumbernya terletak pada orang banyak (rakyat).
Disebutkan pula, bahwa apabila raja teguh dalam tugasnya sebagai penguasa, maka akan
sejahteralah kerajaannya.
Ajaran tersebut rupanya dilaksanakan oleh raja-raja Sunda. Hal itu antara lain
ditunjukkan oleh Prasasti Kawali yang bertuliskan huruf Sunda -- peninggalan Prabu
Wastukancana atau Prabu Raja Wastu (1371 1475). Dalam Prasasti Kawali I antara lain
dinyatakan .. parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali .. nu najur sagala desa
.. (.. Prabu Raja Wastu bertahta di kota Kawali .. yang mensejahterakan seluruh
negeri ..). Melalui prasasti itu, ia juga berwasiat kepada para penerusnya agar
membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia (pakena gawe rahayu
pakeun heubeul jaya di buana). Dalam Prasasti Kawali II, Prabu Wastukancana juga
berwasiat agar membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam
perang (pakena kereta bener pakeun nanjeur na juritan).
Itulah gambaran jati diri Ki Sunda yang pada hakekatnya mengacu pada sifat dan sikap
yang baik. Sifat dan sikap itu pula yang menjadi pandangan hidup Ki Sunda, seperti
tercermin dalam sejumlah ungkapan tradisional. Ungkapan itu menunjukan pandangan
hidup Ki Sunda tentang sikap manusia :
a) Manusia secara pribadi.
b) Hubungan pribadi dengan masyarakat (kehidupan bermasyarakat).
c) Sikap manusia yang mengacu pada alam.
d) Hubungan manusia dengan Tuhan.
e) Sikap manusia dalam mengejar kemajuan.
III. PENUTUP
Secara historis, jati diri Ki Sunda berakar dari masa lampau yang bertitik tolak dari
masa kerajaan. Jati diri itu ditunjukkan oleh karakter yang tercermin dalam budaya
kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat.
Kedua, dari contoh-contoh kasus yang terjadi, terkesan adanya sikap yang
cenderung kebablasan dalam mengartikan kemerdekaan dan reformasi. Kemerdekaan
diartikan sebagai kebebasan, dan reformasi diterapkan pula terhadap jati diri
(reformasi jati diri).
Ketiga, secara umum, sekarang ini hampir tidak ada pemimpin yang benarbenar
dapat menjadi panutan. Sejak Indonesia merdeka, lepas dari belenggu penjajahan sampai
sekarang, Ki Sunda belum memiliki pemimpin yang menduduki jabatan tertinggi di
tingkat nasional. Pemimpin Ki Sunda di tingkat daerah, terkesan kurang memelihara jati
diri Ki Sunda khususnya dan budaya Sunda umumnya.
SUMBER ACUAN
Alisjahbana, Samiati. 1954. A Preliminary Study of Class Structure Among the
Sundanese in the Priangan. Master Thesis. Cornell University.
Berg, L.W.C. van den. 1902. De Inlandsche Rangen en Titels op Java en Madoera. s-
Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Danasasmita, Saleh et al. 1983/1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa
Barat. Jilid ke-2 dan ke-3. Bandung : Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat.
Deenik, A.C. 1929. Aanvulingen op Babad Pasoendan Djeung Ringkesan Babad Hindia
Belanda. Groningen : Wolters.
--------. 2003 Budaya Kekuasaan Sunda; Analisis Historis. Makalah dalam seminar
dengan tema Sunda dan Budaya Kekuasaan. Bandung : IAIN Sunan Gunung Jati.
Jawa Barat. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I. 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa
Barat. Bandung.
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Mnak Priangan 1800 1942. Bandung : Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda.
Mayer, L.Th. 1889. Soerat Kandoengan Boeat Goenanja Segala Prijajie-Prijajie jang
Memegang Pekerdjaan di Tanah Gouvernemennan di Poelo Djawa dan Madoera. I.
Semarang : Van Dorp.
Rusyana, Yus. 1985. Carita Pantun tentang Prabu Siliwangi dan Tedak Pakuan. Makalah
pada Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung.