Anda di halaman 1dari 17

SISTEM PENANGGALAN SUKU DAYAK WEHEA KALIMANTAN

TIMUR SEBAGAI PENENTU TANGGAL DAN KEGIATAN SUKU


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Tugas Mata Kuliah Etnosains

Dosen Pengampu: Fatma Widyastuti, S.Pd., M.Ed.

Disusun oleh:
Emy Shofiah Setyowati K4516015
Eva Dewi Masitoh K4516017
Fatimah Azahroh K4516019
Gendhis Wilujeng S. K4516021
Luqmaul Hakim Abi A. K4516033
Muh. Hidayatullah K4516039
Nirwanasari Nur K. K4516045
Nurhayati Eka S. K4516051
Titi Ardiyanti K4516065
Yesi Agustin K4516071

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta innayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Sistem Penanggalan Suku Dayak Wehea
Kalimantan Timur sebagai Penentu Tanggal dan Kegiatan Suku ini.
Makalah ini kami susun dengan maksimal dan dengan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga kami dapat menyelesaian penyusunan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Sistem Penanggalan
Suku Dayak Wehea Kalimantan Timur sebagai Penentu Tanggal dan Kegiatan
Suku ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan terhadap
pembaca.

Surakarta, 14 Mei 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..........................................................................................1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................1

C. Tujuan .........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Pranotomongso.............................................................................2

B. Sejarah Suku Dayak ..................................................................................3

C. Sistem Penanggalan Pada Suku Dayak ...................................................4

D. Penggunaan Penanggalan Suku Dayak....................................................6

E. Perbandingan Penanggalan Suku Dayak Dan Bali...............................10

BAB III PNUTUP


A. Kesimpulan...............................................................................................13
B. Saran..........................................................................................................14
DAFTAR RUJUKAN ..........................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kearifan lokal merupakan tatanan nilai dan perilaku masyarakat lokal dalm
berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan
Kebudayaan, (2016) kearifan lokal dalam sistem budaya di Indonesia tercermin dalam
keberagaman agama, keberagaman suku/ etnis, keberagaman bahasa yaitu terdapat lebih
dari 250 suku bangsa. Suku yang menggunakan pranatamangsa atau sistem penanggalan
selain suku Jawa yaitu Bali, Sunda, Lombok, Banjar, Batak, Aceh dan Dayak. Suku
dayak merupakan suku yang berada di Kalimantan Timur yang tersebar di berbagai
daerah seperti di Kutai Barat, Kutai Timur, dan Tenggarong.
Suku dayak menggunakan sistem penanggalan ini untuk kegiatan dalanm sosial,
budaya, dan ibadah. Sistem penanggalan pada suku dayak disebut Papan Katika.
Biasanya sistem penanggalan ini digunakan untuk berladang. Alasan kami memilih judul
tersebut karena kami ingin mengetahui sistem penanggalan selain yang ada didaerah
Jawa yaitu di suku Dayak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Pranotomongso ?
2. Bagaimana sejarah penanggalan suku Dayak?
3. Bagaimana sistem penanggalan pada suku Dayak?
4. Bagaimana penggunaan penanggalan suku Dayak?
5. Bagaimana perbandingan penanggalan suku Dayak dan Bali?
C. Tujuan
1. Mengetahui mengenai Pranotomongso
2. Mengetahui mengenai sejarah penanggalan suku Dayak
3. Mengetahui mengenai sistem penanggalan pada suku Dayak
4. Mengetahui mengenai penggunaan penanggalan suku Dayak
5. Mengetahui mengenai perbandingan penanggalan suku Dayak dan Bali

BAB II
1
PEMBAHASAN

A. Pranotomongso
Pranata mangsa merupakan salah satu kearifan lokal dan warisan budaya yang
harus tetap di kembangkan dengan menggunakan kaidah ilmiah. Suku jawa mengenal
pranata mangsa sejak lama, jauh sebelum mengenal sains. Pranata mangsa digunakan
untuk memberikan pedoman berbagai kegiatan bahasan yang mendalam tentang
pengenalan waktu secara tradisional, terutama yang berkaitan dengan
perbintangan/meteorologi (Ranggawarsita, 1912).
Pranata mangsa artinya adalah penentuan musim, biasa di lakukan oleh para
petani dan nelayan di suku jawa. Pranata Mangsa diambil dari sejarah para raja di
Surakarta, yang tersimpan di musium Radya-Pustaka. Menurut sejarah, sebetulnya baru
dimulai tahun 1856, saat kerajaan Surakarta diperintah oleh Pakoeboewono VII yang
memberi patokan bagi para petani agar tidak rugi dalam bertani, tepatnya dimulai tanggal
22 Juni 1855 titik balik matahari pada musim panas, penanggalan ini dipakai di daerah
tropis seperti di jawa dan bali.
Pranata Mangsa mengacu pada sistem kalender yang perhitungannya berdasarkan
pada perjalanan bumi saat melakukan revolusi mengorbit matahari. Kalender Pranata
Mangsa juga mengenal tahun kabisat dan basithah yang dikenal dengan wastu dan
wuntu. Hal itu dilakukan sama persis dengan sistem kalender syamsiah agar tetap
sinkron dengan tahun tropis (musim). Untuk menjaga sinkronisasi inilah, jumlah harinya
disisipi dalam bentuk tahun kabisat (leap year) sebagai tambahan pada jumlah hari rata-
rata kalender tersebut.
Daur kalender baku Pranata Mangsa :

Umur
No. Hamaning Mangsa Waktu Mangsa Wuntu
Wastu
1. Kasa (kartika) 22 Juni – 1 Agustus 41 41
2. Karo (poso) 2 Agustus – 24 Agustus 23 23
3. Katelu 25 Agustus – 17 September 24 24
4. Kapat (sitra) 18 Sepetember – 12 Oktober 25 25
5. Kalima (manggala) 13 Oktober – 8 November 27 27
6. Kanem (naya) 9 November – 21 Desember 43 43
7. Kapitu (palguna) 22 Desember – 2 Februari 43 43
8. Kawolu (wasika) 3 Februari – 28 Februari 26 27
2
9. Kasanga (jita) 1 Maret – 25 Maret 25 25
10. Kasadasa (srawana) 26 Maret – 18 April 24 24
11. Dhesta (pradawana) 19 April – 11 Mei 23 23
12. Sadha (asuji) 12 Mei – 21 Juni 41 41
365 366

B. Sejarah Penanggalan Suku Dayak


Wehea adalah nama dari satu sub suku Dayak, yang sebelum tahun 2006 belum
banyak diketahui oleh masyarakat.Khususnya masyarakat daerah Muara Wahau
Kabupaten Kutai Timur di Kalimantan Timur yang sebagian besar memang merupakan
masyarakat dari suku Jawa. Wehea sendiri merupakan nama sungai yang mengalir di
sekitar wilayah Muara Wahau. Dayak wehea yang tinggal di sekitar bantaran sungai
Wehea akhirnya mendapatkan sebutan dan menyebut diri mereka sebagai Dayak Wehea
yang menguasai sungai Wehea.
Dayak Wehea tersebar di enam Desa yang terdapat di Muara Wahau. Desa Nehes
Liah Bing atau yang biasa disebut Desa Slabing oleh masyarakat Muara Wahau, Desa
Long Wehea, Desa Diaq Leway, Desa Dea Beq, Desa Diaq Lay, dan Desa Bea Nehas.
Sebagai masyarakat adat asli Kalimantan meskipun keadaan Dayak Wehea saat ini sudah
bercampur dengan modernitas mereka masih banyak yang memegang adat istiadat yang
berlaku dari nenek moyang mereka hingga kini termasuk didalamnya penggunaan
penanggalan Dayak Wehea. Dayak Wehea menamakan 29/30 bulan tersebut dengan
bahasa Dayak mereka dan Dayak Bahau Busang menamai bulan dengan bahasa Dayak
mereka sendiri.

C. Sistem Penanggalan Suku Dayak


Sistem penanggalan Dayak Wehea terdiri dari Bulan, dan Masa merupakan
penanggalan yang berdasarkan pada fase-fase bulan di langit. Fase bulan yang terlihat
inilah yang kemudian mereka berikan penyebutan dengan bahasa Dayak Wehea. Berikut
adalah 30 Bulan dalam Penanggalan Dayak Wehea. Nama-nama bulan ini diambil dari
bahasa Dayak Wehea. Bulan dalam Penanggalan Dayak Wehea memiliki bulan jelek dan
bulan baik.
Penetapan bulan bagus dan bulan jelek adalah berdasarkan pada bentuk
bulan dilangit yang berbentuk setengah lingkaran. Kuartir pertama dan Kuartir
terakhir dalam fase-fase bulan menurut adat dayak menunjukan kepada keadaan

3
yang jelek untuk menentukan dan melaksanakan sesuatu. Bentuk bulan pada
kuartir pertama dan terakhir yang berbentuk setengah lingkarang vertikal itulah
yang memiliki makna jelek dalam penanggalan Dayak Wehea sehingga
dikategorikan sebagai bulan jelek.

NO NAMA BULAN BENTUK BULAN


1 Mailih Bulan sedang
2 Mes Liet Bulan Sedang
3 Cep Keal Laneng Bulan Bagus
4 Cep Keal Wel Guak Bulan Bagus
5 Cep Keal Lawet Bulan Bagus
6 Kelang Laneng Bulan Jelek
7 Kelang Wel Guak Bulan Jelek
8 Kelang Lawet Bulan Jelek
9 Seb bling Laneng Bulan Bagus
10 Seb bling Wel Guak Bulan Bagus
11 Seb bling Lawet Bulan Bagus
12 Seg loh Laneng Bulan Bagus
13 Seg loh Wel Guak Bulan Bagus
14 Seg loh Lawet Bulan Bagus
15 Keslih Bulan Bagus
16 Keldem Bulan Bagus
17 Wel Seung Laneng Bulan Bagus
18 Wel Seung Wel Guak Bulan Bagus
19 Wel Seung Lawet Bulan Bagus
20 Pliq Laneng Bulan Bagus
21 Pliq Wel Guak Bulan Bagus
22 Pliq Lawet Bulan Bagus
23 Kelang Laneng Bulan Jelek
24 Kelang Wel Guak Bulan Jelek
25 Kelang Lawet Bulan Jelek
26 Epkeal Laneng Bulan Bagus
27 Epkeal Wel Guak Bulan Bagus
28 Epkeal Lawet Bulan Bagus
29 Mailih Bulan Sedang
30 Cepteq Bulan Jelek

Masa dalam penanggalan Dayak Wehea berjumlah 10 masa. Masa ini


dilaksanakan pada bulan Masehi, namun tetap berdasarkan penanggalan Dayak Wehea.
Jumlah bulan dalam satu masa tidak tentu, ada yang 29, 30, bahkan ada yang mengulang
hingga dua kali perputaran bulan Dayak. Masa dalam penanggalan Dayak Wehea dimulai
pada bulan Juni namun harus pada bulan Mailih dan berakhir pada bulan Mei-Juni yaitu
pada masa Erau anak. Masa dan bulan dalam Penanggalan Dayak Wehea merupakan dua
hal yang saling berkaitan karena pelaksanaan masa selalu bergantung pada bulan.
4
No Nama Bulan Bulan Masehi Keterangan
1 Nep bloh Juni Mas Tebas
2 Nemeq Juli Mas Berladang
3 Nugal Agustus – Mas Menanam Padi
Oktober
4 Entaglel dan Nag November Masa Ritual ada di ladang
Unding
5 Embeq Hemin Plai Desember Masa ritual saat membuka hasil
padi
6 Neljiang Januari Masa Panen Padi
7 Mel Haq Pangseh Februari - Mei Masa Selesai Panen
8 Erau/ Lom Plai Maret Masa pelaksanaan pesta adat
kampung
9 Nak Jengea April Masa gotong royong desa
dayak
10 Nak Lom Mei Masa Erau anak

Sepuluh masa ini digunakan oleh suku Dayak Wehea untuk pelaksanaan-
pelaksanaan kegiatan adat di Desa. Penetapan bulan pertama dilakukan proses melihat
bulan oleh Tetua adat agar untuk keesokan harinya bulan sudah bisa diurutkan dengan
mudah sehingga dapat diketahui oleh seluruh masyarakat Dayak Wehea. Salah satu cara
lain dalam mengetahui bulan sekarang adalah bulan apa dalam penanggalan Dayak
Wehea adalah dengan mengetahui hari ini jatuh pada tanggal berapa Hijriah. Setelah itu
tinggal mengetahui tanggal tersebut tanggal berapa maka bulan yang jatuh dalam
penanggalan Dayak Wehea adalah bulan yang berdasarkan tanggal dari kalender Hijriah.
Terkait pembelajaran terhadap penanggalan Dayak Wehea hanya boleh dipelajari
oleh masyarakat dayak yang telah berumur 60 tahun atau lebih. Untuk mereka yang
berumur di bawah 60 tahun menurut mereka merupakan hal yang tidak boleh karena
dianggap belum memiliki kesiapan untuk mempelajarinya. Sehingga hanya sebagian
orang-orang dibawah umur 60 tahun yang mengetahui penanggalan ini, yaitu orang-
orang yang ikut berkontribusi dalam Dewan Adat saja. Dalam mengetahuinya mereka
juga tidak boleh mempelajarinya hanya boleh mendengar dari apa yang dipaparkan oleh
Tetua Adat atau Kepala Suku dalam Sidang adat tanpa boleh bertanya satu katapun.
D. Penggunaan Penanggalan Suku Dayak
Penanggalan suku Dayak memiliki banyak kegunaan bagi masyarakat Dayak.
Karena dalam kesehariannya untuk menentukan bermulanya segala kegiatan selalu
menggunakan bulan dalam penanggalan ini. Manfaat dan Kegunaan penanggalan ini
5
memang lebih banyak dirasakan oleh orang-orang yang beragama Non Islam. Namun
orang Dayak yang beragama Islam juga tetap merasakan adanya kegunaan penanggalan
ini selama mereka masih menetap di salah satu dari 6 kampung Dayak yang ada.
Penanggalan ini memang memberikan banyak manfaat dalam kehidupan mereka,
khususnya dalam perladangan karena dalam masyarakat Dayak seperti apapun profesi
yang mereka miliki mereka tetap harus berladang. Hal ini karena menurut mereka
berladang merupakan sebuah aturan adat yang telah berlaku dari nenek moyang mereka.
Hal lainnya juga karena untuk melaksanakan acara-acara adat lainnya mereka terlebih
dahulu harus berladang karena berladang memang merupakan acara pertama sebelum
mereka bisa menuju ke acara puncak atau Erau.
Penggunaan penanggalan Dayak ini dapat dilihat dari Masa yang ada dalam
penanggalan. Masa yang ada tersebut merupakan titik acuan dalam memulai berbagai
pelaksanaan kegiatan. Kegunaan penanggalan ini diantaranya :
1. Untuk menentukan masa tebas (Nep Bloh).
Bulan Juni merupakan masa awal dilakukan Tebas. Tebas disini
merupakan pertanda bahwa pada bulan Juni dari Penanggalan Masehi sudah
mulai dilakukan tebas yaitu pembersihan terhadap diri dan lingkungan dari hal-
hal yang dianggap tidak baik. Sedangkan untuk hari apa pada tanggal berapa
Masehi boleh dilakukan tebas, maka melihat kepada penanggalan Dayak yaitu
pada Bulan Mailih atau bulan pertama dalam penanggalan Dayak. Masa Nep bloh
ini menurut orang Dayak adalah masa membuang sial sebelum berladang. Masa
tebas belaku selama 29/30 bulan dayak, mulai dari Mailih hingga Mailih (29),
atau bulan Cepteq. Selama satu putaran bulan ini tebas boleh dilakukan pada
bulan-bulan baik atau bulan sedang saja. Namun dalam kenyataannya masyarakat
Dayak biasa melaksanankan ritual tebas bersama-sama pada bulan Mailih.
Bulan dan Keslih serta Keldem maka seseorang tidak boleh melakukan
tebas. Hal ini dikarenakan menurut kepercayaan adat mereka jika tebas dilakukan
pada bulan jelek akan membuat panen di akhir nanti tidak berhasil atau bisa
mendatangkan bahaya bagi mereka. Pada saat Nep Bloh masyarakat Dayak tidak
boleh melaksanakan apa-apa di ladang kecuali tebas. Kegiatan menanam yang
merupakan hal utama bagi mereka tidak boleh dilakukan. Namun untuk berburu
atau memancing boleh dan baik dilakukan pada masa ini.
2. Untuk menentukan masa berladang (Nemeq)
Setelah berlalu selama 29/30 bulan masa tebas maka ladang mereka sudah
siap untuk ditanami tanaman termasuk padi. Masa berladang ini biasanya di isi
dengan menanam tanaman ubi-ubian seperti singkong juga padi. Namun pada
6
masa ini padi belumlah disemai, masyarakat dayak memiliki masa semai padi
sendiri. Masa berladang inilah yang di sebut Nemeq. Pelaksanaan Nemeq selama
ini jatuh pada bulan Juli mengacu pada Penanggalan Masehi. Namun untuk
memulainya haruslah dilakukan pada bulan baik. Berbeda dengan Masa Tebas
yang dilakukan pada bulan pertama atau bulan Mailih. Pelaksanaan berladang ini
bisa saja tidak dilakukan pada bulan Mailih, peladangan bisa dilakukan pada
bulan lainnya selama bulan itu adalah bulan baik atau bulan sedang.
Dalam berladang mereka hanya perlu pemberitahuan dari Kepala adat
bahwa bulan Mailih setelah masa tebas telah datang. Jika Kepala adat telah
memberitahukan bahwa esok hari adalah bulan Mailih dan telah masuk Nemeq
maka mereka bisa berladang dan jika tidak berladang pada hari pertama tersebut,
mereka tinggal mengurutkan sendiri kapan bulan baik atau sedang berikutnya
terjadi, misalnya berladang pada bulan Cep Keal Lawet atau bulan ke-5. Hal ini
boleh saja dilakukan karena bulan ke-5 adalah bulan baik dalam penanggalan
Dayak.
3. Untuk menentukan masa menanam padi (Nugal)
Setelah masa berladang habis dalam 29/30 hari maka masuklah pada masa
untuk menanam padi. Pada masa inilah benih padi yang telah ada di sebar
keseluruh sawah yang sudah di bajak sehingga setelah selesai menanami sawah
dengan padi mereka hanya perlu menunggu masa panen padi. Nugal dilakukan
dalam kurun waktu sekitar 2 kali pengulangan penanggalan Dayak yang terjadi
antara bulan Agustus hingga Oktober. Sama seperti masa Nemeq atau berladang,
masa Nugal juga tidak ditentukan kapan memulainya yang terpenting hanya di
mulai pada hari-hari yang baik selama bulan Agustus hingga Oktober.
Pelaksanaan Nugal atau menanam padi akan terhenti saat akhir bulan
Oktober meskipun jika pada akhir Oktober tersebut belum masuk pada bulan ke-
29 atau 30. Namun dalam pelaksanaannya jika pada pertengahan bulan Oktober
telah masuk bulan pertama maka pelaksanaan masa Nugal harus terhenti dan
masuk ke Masa berikutnya. Hal ini menyebabkan masyarakat Dayak memilih
untuk menanam padi pada bulan bagus yang jatuh di bulan Agustus untuk
menghindari tidak selesainya menanam padi jika dilakukan di bulan-bulan
berikutnya. Hal lainnya juga dikarenakan pada bulan November mereka harus
melakukan ritual adat lainnya.
4. Untuk menentukan masa ritual adat di Ladang (Masa Entaglel dan Nag Unding)
Ritual adat ini dilakukan oleh orang yang berladang itu saja, bukan
dilakukan oleh seluruh masyarakat Dayak. Pelaksanaan Entaqlel juga tidak
7
dilakukan secara bersamaan oleh masyarakat dayak. Entaqlel dilakukan pada
bulan November dengan melihat bulan bagus dalam penanggalan Dayak.
5. Untuk menentukan masa ritual saat akan membuka hasil padi (Masa Embeq
Hemin Plai)
Sebelum memanen padi maka masyarakat Dayak terlebih dahulu
melakukan ritual untuk membuka hasil padi. Ritual ini bukan berarti masyarakat
Dayak telah memanen padi atau tanaman lainnya yang mereka tanam. Ritual ini
adalah ritual untuk memulai memanen padi pada bulan berikutnya. Ritual ini
dilakukan pada saat padi mulai berisi dan tinggal menunggu masa panen. Ritual
ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas tanaman padi yang akan siap
dipanen pada bulan berikutnya, juga sebagai bentuk doa untuk memohon agar
saat panen padi nanti tidak ada halangan. Ritual ini sama seperti halnya masa
Entaqlel dan Naq Unding hanya saja jika Entaqlel dan Naq Unding merupakan
ritual sebagai bentuk syukur atas keberhasilan mereka menanam padi dan
tanaman lainnya. Sedangkan Embeq Hemin Plai adalah bentuk syukur dan doa
karena akan tiba masa panen padi.
6. Untuk menentukan masa panen padi (Masa Neljiang)
Setelah pelaksanaan ritual adat di Ladang baik berupa masa Entaqlel dan
Naq Unding serta masa Embeq Hemin Plai yang merupakan masa menunggu
sampai padi yang ditanam telah siap di panen, maka masuklah masyarakat Dayak
pada masa panen padi. Neljiang yang berarti memanen merupakan masa yang
digunakan oleh Dayak pada bulan Januari dari Penanggalan Masehi untuk
memanen padi yang telah mereka tanam. Masa Neljiang ini berlaku sekitar 29
atau 30 bulan penanggalan Dayak. Ketika masa Neljiang berlaku maka seluruh
masyarakat Dayak beramai-ramai memanen padi mereka dan menyimpannya
untuk keperluan sehari-hari. Masa Neljiang yang di mulai pada Januari ini bisa
saja terjadi hingga bulan Februari jika bulan pertama atau Mailih terjadi bukan
bertepatan pada tanggal 1 januari.
7. Untuk menentukan masa selesai panen (Mel Haq Pangseh mei)
Masa Mel Haq Pangseh mei adalah masa ketika masyarakat Dayak telah
selesai memanen hasil tanaman mereka. Masa ini terjadi pada bulan Februari atau
setelah masa Neljiang. Pada masa ini keadaan kampung Dayak sedang bersiap-
siap untuk mengadakan perayaan atas hasil panen atau pesta panen yang biasa
disebut dengan Erau. Pesta panen akan dilaksanakan pada masa berikutnya
setelah Mel Haq Pangseh mei. Namun persiapan untuk mengadakan pesta panen
itu dilakukan pada masa ini. Hal ini agar kesiapan dalam pelaksanaan pesta panen
8
benar-benar sempurna. Sehingga pada masa ini tidak ada kegiatan adat yang
dilakukan oleh masyarakat Dayak.
8. Untuk menentukan masa pesta panen (Erau atau Lom Plai)
Erau atau biasa disebut dengan Lom Plai adalah acara adat yang besar
bagi masyarakat Dayak karena Lom Plai ini merupakan pesta panen. Dalam
pelaksanaan Lom Plai ini masyarakat yang merayakan tidak hanya masyarakat
Dayak, masyarakat yang bukan dayak juga bisa ikut merayakannya. Lom Plai
berlangsung selama 29 atau 30 bulan Penanggalan Dayak. Sehingga apabila
dimulai dari bulan baik ke berapapun dalam penanggalan Dayak akan berakhir
pada bulan itu kembali. Sedangkan secara penanggalan Masehi Lom Plai biasa
dilaksanakan pada bulan Maret atau April. Pelaksanaan Erau atau Lom Plai ini
pada dasarnya merupakan bentuk syukur mereka terhadap mitos nenek moyang
mereka.
9. Untuk menentukan masa membuat pondok (Nak Jengea)
Nak Jengea merupakan salah satu ritual adat berupa pembuatan pondok di
pinggir sungai secara bergotong royong oleh masyarakat Dayak. Nak Jengea di
laksanakan pada bulan April setelah pelaksanaan Erau atau Lom Plai.
10. Untuk menentukan masa Erau anak (Nak Lom)
Nak Lom atau Erau anak adalah ritual pernikahan masyarakat Dayak
berupa pernikahan adat yang dilaksanakan untuk masyarakat Dayak sebagai
syukur atas asal usul dari padi yang merupakan pengorbanan putri Long Diang
Yung. Erau anak atau Nak Lom dilaksanakan pada bulan Mei, ini juga
menandakan sebagai akhir dari pelaksanaan ritual masyarakat adat Dayak.
Setelah masa Nak Lom ini maka mereka kembali lagi ke masa awal Nep Bloh dan
berulang terus menerus.
E. Perbandingan Penanggalan Suku Dayak dan Bali

Suku Dayak Penanggalan Pakuwon (Bali)


Masyarakat dilarang mempelajari Setiap rumah memiliki kalender pakuwon
penanggalan mereka
Terdiri atas 29-30 hari. 1 siklus ada 29-30 Terdiri dari 210 hari dan 30
hari minggu(wuku). 1 siklus ada 210 hari
Memulai hari pertama ditentukan oleh Sudah ditentukan sebagai suatu siklus
kepala suku
Tidak ada istilah bulan dan tahun.
Terdapat 10 masa
Berdasarkan penanggalan hijriah Berdasarkan penanggalan lunar dan surya
Penggunaan dalam sistem pertanian Penggunaan dalam tradisi, sosial, budaya,

9
dan ekonomi
Wuku dalam kalender pakuwon bali :

1. Sinta
2. Landep
3. Ukir
4. Kulantir
5. Toulu
6. Gumbreg
7. Wariga
8. Warigadian
9. Julungwangi
10. Sungsang
11. Dunggulan
12. Kuningan
13. Langkir
14. Medangsia
15. Pujut
16. Pahang
17. Krulut
18. Merakih
19. Tambir
20. Medangkungan
21. Matal
22. Uye
23. Menail
24. Perangbakat
25. Bala
26. Ugu
27. Wayang
28. Kulawu
29. Dukut
30. Watugunu

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pranata mangsa artinya adalah penentuan musim, biasa di lakukan
oleh para petani dan nelayan di suku jawa
2. Wehea adalah nama dari satu sub suku Dayak, yang sebelum tahun
2006 belum banyak diketahui oleh masyarakat
3. Penanggalan Dayak Wehea. menamakan 29/30 bulan tersebut dengan
bahasa Dayak mereka dan Dayak Bahau Busang menamai bulan
dengan bahasa Dayak mereka sendiri.
4. Sistem penanggalan Dayak Wehea terdiri dari Bulan, dan Masa
merupakan penanggalan yang berdasarkan pada fase-fase bulan di
langit. Terdapat 30 nama bulan yang diantaranya dikatekorikan
sebagai bulan baik sedang dan jelek. Masa dalam penanggalan Dayak
Wehea berjumlah 10 masa Nep bloh, Nemeq, Nugal, Entaglel dan Nag
Unding, Embeq Hemin Plai, Neljiang, Mel Haq Pangseh, Erau/ Lom
Plai, Nak Jengea, dan Nak Lom
5. Sistem penanggalan digunakan menentukan masa tebas (Nep Bloh),
menentukan masa berladang (Nemeq), menentukan masa menanam,
menentukan masa ritual adat di Ladang (Masa Entaglel dan Nag
Unding), menentukan masa panen padi (Masa Neljiang), menentukan
masa ritual saat akan membuka hasil padi (Masa Embeq Hemin Plai),
menentukan masa selesai panen (Mel Haq Pangseh mei), menentukan
masa pesta panen (Erau atau Lom Plai), menentukan masa membuat
pondok (Nak Jengea), menentukan masa Erau anak (Nak Lom)
6. Penanggalan suku dayak berbeda juga dengan penanggalan
masyarakat bali penanggalan tersebut sesuai dengan adat dan
kegunaan masing-masing.
B. Saran
Demikianlah makalah ini yang kami buat, tentunya masih banyak
sekali kekurangan. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan kami juga mengharapkan kritik dan saran bagi para pembaca
agar dapat menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN

Ronggowarsito, R. Ng. (1912). Serat Pustakaraja Purwa. Jilid I. Yayasan Centhini


Yogyakarta.

Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSP). (2016) Analisi
Kearifan Lokal Ditinjau dari Keragaman Budaya. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Ramadhani, Fajri Zulia. (2017). Analisis Sistem Penanggalan Pakuwon Bali.


Diperoleh pad tanggal 13 Mei 2019 melalui
http://eprints.walisongo.ac.id/8002/1/1402046072.pdf.

Anda mungkin juga menyukai