Anda di halaman 1dari 36

WEWARAH WAHYU

SAPTA DARMA
BAHASA INDONESIA

GAMBAR SIMBUL SAPTA DARMA

Ijin Terbit : BUKU WEWARAH SAPTA DARMA


No. 1/Kep./Pedarsipda/1962.
Tanggal 12 januari 1962.
WEWARAH WAHYU

SAPTA DARMA
JILID - I

Disusun oleh :

SRI PAWENANG

Juru Bicara Panuntun Agung

SAPTA DARMA

Dikeluarkan oleh:

Yayasan SAPTA DARMA Pusat

Siapa saja dilarang mencetak atau menjual buku ini.


WEWARAH TUJUH

Kewajiban Warga Sapta Darma

1. Setia tuhu kepada Panca Sila (Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha
Wasesa, Maha Langgeng).

2. Dengan jujur dan suci hati harus setia menjalankan perundang-undangan Negaranya.

3. Turut serta menyingsingkan lengan baju menegakkan berdirinya Nusa dan Bangsanya.

4. Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan,
melainkan berdasarkan rasa cinta kasih.

5. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.

6. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan harus susila beserta halusnya budi
pekerti, selalu merupakan penunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan.

7. Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah (Anyakra
manggilingan).
SESANTI

ING NGENDI BAE MARANG SAPA BAE

WARGA SAPTA DARMA KUDU SUMUNAR PINDHA BASKARA

DIMANA SAJA, KEPADA SIAPA SAJA

WARGA SAPTA DARMA HARUS BERSINAR LAKSANA SURYA (BASKARA)


SRI GUTAMA
Panuntun Agung Sapta Darma
SRI PAWENANG

Tuntunan Agung Sapta Darma

SAMBUTAN DARI PANUNTUN AGUNG SAPTA DARMA

PADA PERINGATAN DASA WARSA (10 TAHUN)

TURUNNYA AJARAN SAPTA DARMA

Saya sambut dengan gembira atas keluarnya Buku Wewarah Sapta Darma yang disusun
kedalam Bahasa Indonesia. Kita telah 10 tahun menerima AJARAN Sapta Darma, aslinya kita
terima dalam bahasa Daerah (Jawa). Namun demikian kita selalu berusaha untuk menerbitkan
ajaran Sapta Darma ini kedalam bahasa Indonesia, yaitu: bahasa Nasional kita bangsa
Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan cita-cita kita bangsa Indonesia untuk mewujudkan:

SATU BANGSA – ialah BANGSA INDONESIA,


SATU NEGARA – ialah NEGARA INDONESIA,
SATU BAHASA – ialah BAHASA INDONESIA.

Kediri, 27 Desember 1962

Panuntun Agung

SRI GUTAMA
BAB I

KATA PENGANTAR

Untuk menyempurnakan penggalian “Hidup” ke arah “Kepribadian yang asli” menuju


“Keluhuran Budi” serta mencapai “Ksatria Utama” yang bercita-cita dan berkewajiban
menghayu-hayu bahagianya buana, maka perlu kita jalankan sujud kehadapan Tuhan Hyang
Maha Kuasa dengan penuh kesadaran dan menjalankan perintah-perintahNya, serta selalu
meluhurkan lima Asma Allah yang mutlak adanya.

Wahyu ajaran Sapta Darma diterima masih dalam wujud : murni, pokok (Bhs.Jawa =
Wungkul). Oleh karena tidak mungkin mudah dipahami atau dimengerti isi yang selengkapnya,
apabila tidak diberikan uraian penjelasan pengertiannya.

Maka atas dasar itulah dan dikuatkan pula adanya permintaan dan desakan dari para
warga Sapta Darma di seluruh penjuru Tanah Air, kami berusaha mewujudkan Buku Wewarah,
yang isinya disusun dalam bahasa Indonesia. Hal ini di maksudkan untuk menyelaraskan dengan
keadaan serta perkembangan kebudayaan bangsa indonesia di dalam jaman kemajuan
sekarang ini, dan mengingat bahwa Bahasa Indonesia merupakan Bahasa Nasional dan Bahasa
Persatuan yang resmi disahkan oleh Bangsa dan Negara Indonesia.

Buku ini merupakan terjemahan bebas dari Buku Wewarah Sapta Darma Jilid I yang
telah diterbitkan dalam bahasa Jawa (daerah), hanya di sana-sini ada tambahan dan
pembetulan kesalahan cetak, sehingga merupakan keterangan yang lebih lengkap sesuai
petunjuk Panuntun Agung Sri Gutama.

Perlu diketahui bahwa BUKU WEWARAH SAPTA DARMA diedarkan khusus untuk
mencukupi kebutuhan para warga Sapta Darma sendiri. Maka dari itu apabila ada orang yang
berminat ingin “Sujud” dipersilakan untuk minta penjelasan dan petunjuk kepada salah seorang
Warga atau Tuntunan Sapta Darma yang terdekat. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang yang
ingin belajar “Sujud” tidak dibenarkan belajar Sujud sendiri setelah membaca Buku Wewarah
Sapta Darma ini, tetapi harus “dituntuni” oleh seorang warga atau Tuntunan Sapta Darma
secara jelas, bagaimana cara sujud yang sesungguhnya seperti yang tertera pada Bab V Buku
Wewarah Sapta Darma ini. Jadi jangan mencoba belajar sujud sendiri, apabila belum dituntuni
oleh warga /Tuntunan Sapta Darma, agar jangan sampai keliru dalam menjalankan sujud
tersebut.

Sujud menurut Wewarah Sapta Darma, bilamana dilaksanakan dengan sungguh-


sungguh dan dengan cara sujud yang sempurna, niscaya kita betul-betul akan mengerti apa
yang dikatakan “pembangunan Rokhani” yang sesungguhnya. Karena Sujud, selain
membuktikan kebaktian umat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, juga memberikan manfaat yang
besar bagi tercapainya keluhuran budi dan lain sebagainya antara lain: ketenangan, kesadaran,
kewaspadaan serta ketentraman hidup, yang akhirnya akan menuju kepada kebahagiaan dan
kesempurnaan hidup didunia dan di alam langgeng.

Akhirnya tiada kami lupakan atas jasa–jasa Panuntun Agung Sapta Darma dan para
Tuntunan yang telah membantu kami dalam berusaha menterjemahkan Buku Wewarah Jilid I
Bahasa Jawa (Daerah) demi mempercepat terbitnya Buku Wewarah Bahasa Indonesia ini, yang
telah lama dinanti–nanti oleh para Warga Sapta Darma yang kurang memahami Bahasa Jawa.

Penyusun berusaha sebaik mungkin dalam menyusun buku ini baik sistem maupun
redaksinya, namun koreksi dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan
buku ini untuk penerbitan dimasa yang akan datang. Untuk itu kami terima dengan tangan
terbuka serta ucapan terima kasih yang tak terhingga.

Semoga dengan dikeluarkan buku ini dapat memberikan manfaat kepada para pemakai,
guna membantu para Warga/pembaca dalam mencapai cita–cita yang luhur dan dalam
mengolah (menggali) kerokhanian yang sempurna.

Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil senantiasa
melimpahkan rakhmatnya kepada para Ksatria yang ingin menggali “Kepribadian Bangsa Yang
Asli” demi tegaknya “Pancasila” menuju kejayaan Negara dan Bangsa Indonesia.

Penyusun

SRI PAWENANG
BAB II
CITA–CITA SAPTA DARMA

Wahyu Sapta Dama mempunyai tujuan luhur yaitu hendak menghayu–hayu bahagianya
Buana. Antara lain membimbing manusia untuk mencapai suatu kebahagiaan hidup di dunia
dan alam langgeng.

Guna mencapai cita–cita itu, Sapta Darma menyampaikan petunjuk–petunjuk kepada


sekalian manusia, yaitu dengan menyampaikan ajaran–ajaran Sapta Darma yang pertama kali
diterima oleh Panuntun Agung Sri Gutama, berkebangsaan Indonesia berasal dari Pare, Kediri
(Jawa Timur).

Adapun sejarah turunnya wahyu ajaran Sapta Darma dengan persaksian sahabat–
sahabatnya akan diutarakan dalam buku–buku selanjutnya.

Tentang inti sari tujuan/cita–cita ajaran Sapta Darma terperinci sebagai berikut :

1. Menanamkan tebalnya kepercayaan, dengan menunjukan bukti–bukti secara


persaksian, bahwa sesungguhnya Allah itu ada dan tunggal = (Esa), serta memiliki lima sila
(sikap perwujudan kehendak) yang mutlak, yaitu: Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha
Wasesa, Maha Langgeng. Menguasai alam semesta beserta isinya yang terjadi. Oleh karena itu
manusia wajib mengagungkan Asma Allah, serta setia tuhu menjalankan perintah–perintahNya.

2. Melatih kesempurnaan sujud, yaitu berbaktinya manusia pada Hyang Maha Kuasa.
Mencapai keluhuran budi dengan cara–cara yang mudah dan sederhana, dapat
dijalankan/dilakukan oleh semua umat manusia.

3. Mendidik manusia bertindak suci dan jujur, mencapai nafsu, budi dan pekerti yang
menuju pada keluhuran dan keutamaan guna bekal hidupnya di dunia dan alam langgeng.
Maka Sapta Darma mendidik warganya menjadi Ksatria Utama yang dengan penuh kesusilaan,
bertabiat dan bertindak pengasih dan penyayang, suka menolong kepada siapa saja yang
sedang menderita dan kegelapan. Juga mendidik warganya untuk dapat hidup dengan
kepercayaan atas kekuatan sendiri. Semboyannya: Dimana saja dan kepada siapa saja selalu
bersinar laksana surya. Bagi warga Sapta Darma isi wewarah Tujuh wajib dijalankan dengan
sungguh–sungguh serta diamalkan kepada sekalian umat.
4. Mengajar warganya untuk mengatur hidupnya. Mengingat hidup manusia di dunia
adalah rokhaniah dan jasmaniah, maka diwaktu siang diwajibkan bekerja demi mencukupi
kebutuhan jasmaniah, sedang diwaktu malam dan di waktu senggang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan rokhaniah, seperti misalnya : sujud berbakti pada Hyang Maha Kuasa,
serta melatih rasa dan sebagainya. Bila kedua hal tersebut dilakukan secara sungguh–sungguh
dan tertib, pasti akan mencapai luhurnya rokhani dan jasmani.

5. Menjalankan wewarah tujuh yang dilandasi melatih kesempurnaan sujud seperti


diutarakan pada nomor 2 tersebut di atas, bila dijalankan dengan ikhlas dan sungguh–sungguh
serta penuh rasa yang halus sekali, menurut Sapta Darma: dapat mempengaruhi dan
menyebabkan manusia memiliki ketajaman dan kewaspadaan (=kawaskitan) yang bermacam -
macam yang antara lain ialah:

1. Waskita akan penglihatan (=pandulu),


2. Waskita akan penciuman (=pangganda),
3. Waskita akan pendengaran (=pamiarsa),
4. Waskita akan tutur kata (=pangandika) dan sebagainya,
yang telah banyak dibuktikan oleh kebanyakan warga Sapta Darma, umpamanya: Sabda Usada
(kata–kata penyembuhan) guna menolong orang sakit. Mencapai sabda luhur dan waskita
seperti tersebut di atas dapat dilakukan/dilatih di sanggar–sanggar (rumah pasujudan),
bersama–sama warga lain dibawah asuhan Tuntunan Sanggar, di waktu malam meskipun hanya
sampai jam 23.00 atau 24.00.

Bila dirumah dan melatih diri, dapat dilakukan dalam segala waktu, di tempat pasujudan yang
khusus disediakan, yaitu tempat yang bersih/suci. Berarti tempat tidur sehari–hari tak
seyogyanya guna tempat sujud.
Jadi bagi Sapta Darma, Sanggar adalah tempat suci yang berarti harus dipingit/disucikan, tidak
diperkenankan guna melakukan sembarang kerja yang serba meninggalkan ketentraman dan
kesucian, seperti antaranya guna bersenda - gurau guna perbuatan maksiat dan sebagainya.

PERINGATAN

Bagi para warga serta siapa saja yang menjalankan serta melatih sujud, ulah rasa dan
racut, dilarang keras meninggalkan/ melanggar wewarah yang diutarakan dalam buku suci ini.
Seperti misalnya : bersikap yang tidak susila di waktu sujud pada Hyang Maha Kuasa.

Karena itu latihan tersebut sebaiknya dilakukan bersama–sama di sanggar, seyogyanya


ada salah satu warga yang diserahi oleh tuntunan mengawasi sikap warga lainnya.
6. Memberantas kepercayaan akan takhayul dalam segala macam bentuk dan
manifestasinya, karena dewasa ini sebagian besar bangsa Indonesia masih percaya terhadap
takhayul dalam alam pikiran atau kebiasaan hidupnya. Hal yang demikian sebetulnya sering
menjadikan terhambatnya kemajuan bangsa dalam hidup bersama di dunia ini.

Sapta Darma mengajarkan kepada manusia untuk melakukan/mengagungkan Allah


Hyang Maha Kuasa, serta menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tertinggi
martabatnya, dimana hidupnya ada dalam kekuasaanNya.

Maka dari itu Warga Sapta Darma yang telah melakukan sujud serta sungguh–sungguh
telah menjalankan/mengamalkan isi wewarah tujuh, tidak perlu takut akan hari, bulan, musim,
(waktu–waktu) tertentu dan sebagainya guna melaksanakan pekerjaannya.

Jadi dilarang keras: mengagungkan batu, kayu, serta mengeramatkan segala hasil karya
manusia biasa, mengagungkan serta minta pertolongan rokh penasaran/jin/setan dan
sebagainya.

Semboyan Warga Sapta Darma:

“ Satria Utama yang disayangi serta dilindungi oleh Hyang Maha Kuasa, dijauhkan dari
perbuatan dan sikap angkara murka.”

Maka Warga Sapta Darma bila sungguh - sungguh mencita–citakan dengan menjalankan
wewarah/ajaran yang telah diajarkan oleh Panuntun Agung Sapta Darma, pasti dapat mencapai
kesempurnaan pribadi serta kebahagiaan hidup di dunia dan alam langgeng.
BAB III
WEWARAH TUJUH
KEWAJIBAN WARGA SAPTA DARMA,
SERTA PENJELASANNYA

1. Setia tuhu kepada Panca Sila (Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha
Wasesa, Maha Langgeng).

a. Allah Hyang Maha Agung artinya keagungan Allah tiada yang menyamainya lagi.

b. Allah Hyang Maha Rokhim artinya sifat belas kasihan Allah tiada yang menyamai.

c. Allah Hyang Maha Adil artinya tiada yang menyamai lagi akan keadilan-Nya.

d. Allah Hyang Maha Wasesa artinya kuasa Allah tiada yang menyamai dan berarti pula bahwa
Allah Hyang Wasesa (menguasai) alam semesta serta segala isinya yang terjadi.

e. Allah Hyang Maha Langgeng artinya tiada yang menyamai keabadian Allah.

Maka dari itu, manusia yang diadakan, dihidupi, serta dijadikan makhluk yang tertinggi oleh
Allah Hyang Maha Kuasa, seyogyanya :

1. Memiliki sifat–sifat kelebihan budi (Jawa: berbudi) terhadap sesama umat.

2. Memiliki sifat–sifat belas kasih kepada sesama umat.

3. Berperasaan serta bertindak adil yang berarti tak membeda–bedakan.

4. Menyadari bahwa manusia dalam Kuasa (Jawa= Purbawasesa) Allah, manusia dapat
menguasai/mengendalikan nafsu pribadinya serta mampu mencukupi kebutuhan
hidupnya.

5. Menyadari bahwa hanya rokhani manusia yang berasal dari sinar cahaya Allah yang bersifat
abadi.
Rokhani berasal dari sinar cahya Allah, sedangkan jasmani berasal dari sari – sari bumi,
maka manusia wajib berbudi luhur. Luhurnya budi menandakan luhurnya nama. Bila di
kemudian hari rokhani meninggalkan jasmani (manusia meninggal), maka keluhuran nama
tetap/langgeng. Dengan demikian jasmani yang asalnya dari sari-sari bumi kembali ke
asalnya yaitu di bumi, sedangkan rokhani kembali ke alam langgeng (sentralnya).

Sebagaimana disebut di atas, maka manusia sebagai makhluk yang tertinggi di dunia
mempunyai kewajiban hidup dalam darma kerokhanian ialah : melakukan sujud menghadapkan
rokh suci kita ke hadapan Allah Hyang Maha Kuasa setiap harinya dan didasari dengan
kesadaran mengakui serta menginsyafi dan meluhurkan 5 (lima) sifat Allah yang merupakan
sikap perwujudan kehendak Allah.

Manusia seharusnya ingat dan sadar serta berusaha menyelaraskan diri dengan 5 (lima)
sifat Tuhan itu sebagai pedoman, sebab kehendak Tuhan yang tersirat dalam 5 (lima) sifat
tersebut, sehingga barang siapa yang dapat menyelaraskan diri dengan dasar kehendak Tuhan
maka mereka pasti dikaruniai kebahagiaan hidup di dunia maupun di alam langgeng.

Cara menjalankan darma kejasmanian selain kita selalu mendasarkan diri pada 5 (lima) sifat
Tuhan tadi sebagai pedoman hidup sehari–hari telah disebutkan dalam wewarah nomor 2
sampai nomor 7.

2. Dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan Perundang–undangan Negaranya.

Tiap orang pada umumnya menjadi warga negara suatu negara.

Mengingat Undang–Undang Negara merupakan pengaturan /penertiban warganya demi


tercapainya keselamatan, kesejahteraan serta kabahagiaannya, maka menjadi suatu keharusan
bahwa setiap warga negara menjalankan Undang–Undang Negaranya dengan jujur dan suci hati
serta penuh keikhlasan. Misalnya warga Sapta Darma sebagai Warga Negara Republik
Indonesia, harus menjujung tinggi menjalankan dengan penuh: kejujuran, keikhlasan,
kesadaran, kesetiaan dan kesucian akan Undang–Undang Negaranya.

Dalam Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ialah:


1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Inilah merupakan kewajiban dari warga Sapta Darma sebagai Warga Negara Indonesia harus
melaksanakan, menegakkan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar falsafah Negara
Republik Indonesia. Selain itu harus melaksanakan dan taat kepada Perundang–undangan
Negara Indonesia yang berlaku sekarang atau Hukum Positif.

3. Turut serta menyingsingkan lengan baju menegakkan berdirinya Nusa dan Bangsanya.
Dalam rangka membina/berjuang demi tercapainya keadilan, kemakmuran,
kesejahteraan, kebahagiaan dan kejayaan bangsanya, Warga Sapta Darma tidak boleh absen,
masa bodoh atau ingkar dari tanggung jawab, melainkan harus turut serta menyingsingkan
lengan baju bersama–sama/bahu–membahu berjuang sepenuhnya dalam batas kemampuan,
keahlian serta pada bidangnya masing–masing. Bantuan itu dapat berupa tenaga, benda
maupun pikiran. Lebih–lebih dalam rangka pembinaan watak dan pembentukan jiwa manusia,
Sapta Darma telah mempunyai cara–cara praktis dan berhasil baik.

4. Menolong kepada siapa saja bila perlu tanpa mengharapkan sesuatu balasan, melainkan
berdasarkan rasa cinta dan kasih.

Alat serta cara mamberikan pertolongan itu bermacam–macam seperti misalnya tenaga,
harta, benda, dan pikiran.

Bagi warga Sapta Darma bentuk pertolongan selain tersebut di atas masih ditambah lagi
dengan Sabda Usada, yaitu pertolongan guna menyembuhkan orang sakit.

Dalam memberikan pertolongan pangusadan janganlah didasarkan atas pengharapan


untuk menerima balasan, melainkan diberikan hanya atas dasar rasa cinta kasih terhadap umat.
Dalam hal ini manusia hanya sebagai perantara ke–Rokhiman Allah. Bagi yang melanggar
Wewarah ini terserah akan hukuman Tuhan.

5. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.

Hyang Maha Kuasa telah memberi akal, budi pekerti serta alat–alat yang cukup kepada
manusia guna berusaha/berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya baik kebutuhan jasmaniah
maupun rokhaniah. Warga Sapta Darma harus melatih /membiasakan diri berusaha
bekerja/berjuang demi terpenuhi kebutuhan hidup atas kepercayaan penuh akan kekuatan diri
sendiri. Jadi berarti : tidak boleh menggantungkan pertolongan orang lain. Berjuang dengan
jujur, tidak boleh menginginkan milik orang lain. Apalagi membiarkan merajalelanya napsu
angkara yang merugikan sesama. Harus penuh kepercayaan, bahwa bekerja secara jujur dengan
penuh kesungguhan atas dasar keluhuran budi, akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Lebih–lebih dalam kehidupan rokhani Warga Sapta Darma harus bertanggung jawab pada
dirinya sampai akhirnya dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa.

6. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta halus budi pakerti,
selalu merupakan petunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan.

Hidup bermasyarakat, adalah hidup bersama–sama dengan orang lain di tengah –tengah
masyarakat. Warga Sapta Darma harus dapat bergaul dengan siapa saja, tanpa memandang
jenis kelamin , umur maupun kedudukan dengan pengertian bahwa dalam hidup bersama
sikapnya harus susila, sopan santun penuh kerendahan hati, tak boleh congkak maupun
sombong, dan tak boleh bersikap membeda–bedakan dalam arti yang kurang baik. Lebih–lebih
sikapnya terhadap lain jenis harus penuh kesusilaan atas dasar sifat keluhuran budi.

7. Yakin bahwa keadaan dunia itu tidak abadi, melainkan selalu berubah–ubah (Anyakra
manggilingan).

Perubahan keadaan di dunia laksana berputarnya roda. Karenanya Warga Sapta Darma harus
memahami ini. Dengan demikian, Warga Sapta Darma tidak boleh bersifat statis dogmatis
tetapi harus dinamis, pandai menyesuaikan diri dengan mengingat waktu dan tempat ( situasi ).

KESIMPULAN :

Wewarah Tujuh tersebut di atas merupakan suatu kesatuan yang bulat, yang berarti tidak
terpisah–pisah/berdiri sendiri.

Jadi yang disebut Warga Sapta Darma adalah mereka yang betul–betul dapat menghayati serta
mengamalkan Wewarah Tujuh.

(Sapta = Tujuh; Darma = Kewajiban Suci atau Bakti).


BAB IV

SIMBUL SAPTA DARMA

Simbul berarti gambaran atau lambang (simbul pribadi manusia). Simbul Sapta Darma (=simbul
pribadi manusia), menggambarkan asal, sifat serta pribadi manusia.

KETERANGAN :

1. Bentuk segi empat belah ketupat menggambarkan asal mula terjadinya manusia, yaitu:
a. Sudut puncak : Sinar Cahaya Allah.
b. Sudut bawah : sari–sari bumi.
c. Sudut kanan dan kiri : perantara ayah dan ibu.
2. Tepi belah ketupat yang berwarna hijau tua, menggambarkan wadag (raga) manusia.
3. Dasar warna hijau muda (maya), menggambarkan Sinar Cahaya Tuhan, berarti bahwa di
dalam wadag/raga manusia diliputi Sinar–sinar Cahaya Allah.

4. Segi tiga sama sisi yang sama dan sebangun serta berwarna putih menunjukkan bahwa asal
terjadinya (=dumadi) manusia dari tri tunggal, ialah:
a. Sinar Cahaya Allah (Nur Cahaya).
b. Air sarinya Bapak (Nur Rasa).
c. Air sarinya Ibu (Nur buat).
yang digambarkan oleh segi tiga yang kiri, kanan dan atas.

Warna putih serta bentuk yang sama dan sebangun menunjukkan bahwa asal manusia dari
barang yang suci/bersih, baik luar maupun dalamnya.

Garis kuning yang ada di tepi segitiga mempunyai arti bahwa ketiganya asal manusia tersebut
mengandung Sinar Cahaya Allah. Ini dimaksudkan, agar tiap–tiap manusia menyadari bahwa ia
berasal/ dumadi dari barang yang suci (=bersih). Karenanya harap selalu berusaha kembali pada
kesucian seperti asalnya. Jalannya ialah hidup di jalan Tuhan yang berarti bertindak/bersikap
demi keluhuran/kesucian jasmani dan rokhani.

5. Ketiga segitiga tersebut memiliki 9 sudut ( 3 x 3 ).


Menggambarkan bahwa manusia memiliki sembilan lubang ( Bahasa Jawa = Babahan hawa
sanga ), ialah di: Mata = 2, Hidung = 2, Telinga = 2, Mulut = 1, Kemaluan = 1 dan Pelepasan = 1.

6. Lingkaran menggambarkan keadaan yang senantiasa berubah–ubah (Anyakra manggilingan).

Manusia akan kembali ke asalnya, bila selama hidup di dunia fana ia berjalan di jalan Tuhan
atau bertabiat, bersikap serta bertindak atas dasar keluhuran budi maka rokhaninya akan
kembali ke Alam Langgeng, jasmaninya akan kembali ke bumi.

a. Lingkaran berwarna hitam menggambarkan bahwa manusia memiliki hawa hitam atau nafsu
angkara. Bentuknya ialah dalam kata–kata kotor/ kasar yang dikeluarkan/diucapkan melalui
mulut.

Pengertian : asal hawa hitam ialah karena pengaruh hawa/getaran yang membeku.

Caranya menghilangkan bekunya hawa tersebut ialah rajin sujud sesuai wewarah, serta
mengusahakan kata–kata yang baik, tidak kotor/kasar serta baik terhadap siapapun juga.

b. Lingkaran berwarna merah menggambarkan adanya nafsu amarah pada manusia. Nafsu ini
timbul akibat rangsang suara yang tidak enak didengar oleh telinga. Sifatnya mudah sekali
timbul/menyala (=muntab) menimbulkan kemarahan. Jadi manusia harus dapat
menuntun/menindas sifat–sifat yang jelek tersebut. Caranya ialah supaya jangan
mendengarkan suara–suara yang tidak enak/yang jelek. Meskipun mendengar, jangan
sampai/tidak usah dirasakan.

c. Warna kuning menggambarkan adanya nafsu keinginan (pepinginan) yang timbul karena
pengaruh indera mata akibat rangsang sesuatu yang terlihat oleh mata.
Jadi berarti segala sifat atau kemauan yang timbul karena pengaruh indra mata yang sedang
melihat/ terlihat sesuatu, harus disalurkan atau ditujukan kepada keinginan,sifat, kemauan
yang baik serta benar.

d. Warna putih menggambarkan adanya perbuatan/tindakan yang suci. Ini adalah akibat
pengaruh indra hidung (pencium) yang menerima rangsang berupa bau-bauan. Artinya indra ini
hanya mau menerima rangsang (bau–bauan) baik, suci dan bersih; dan menolak yang kotor–
kotor/yang tidak bersih.

Maka bila manusia ingin mempunyai ketajaman (waskita), hendaknya mulut, telinga, dan mata
bertindak seperti hidung. Karena hidung telah memiliki ketajaman. Yang berarti mata guna
melihat barang yang baik, telinga guna mendengarkan suara yang baik, mulut guna berkata-
kata yang baik.

Hingga dengan demikian manusia dapat mencocokkan/mempertemukan perbuatan dengan


asalnya yaitu kebersihan atau kesucian.

e. Besar kecilnya lingkaran menunjukan besar kecilnya 4 sifat tersebut yang dimiliki manusia.

Dengan demikian manusia mengetahui serta dapat menggolong–golongkan segala kemauan


dan tindakannya terhadap golongan warna hitam, merah, kuning dan putih.

7. Lingkaran ditengah–tengah berwarna putih yang tertutup oleh gambar Semar


menggambarkan: lubang pada ubun–ubun manusia (merupakan lubang yang ke–10 yang
tertutup = pudak sinumpet).

Warna putih yang ada pada gambar Semar itupun menggambarkan Nur Cahaya atau Nur Putih
ialah hawa suci (Hyang Maha Suci) yang dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa.
Artinya, menyatupadukan rasa di ubun–ubun hingga mewujudkan Nur Putih yang dapat
menghadap Hyang Maha Kuasa.

8. Gambar Semar juga mengiaskan budi luhur dan Nur Cahaya.

Maksudnya: Warga Sapta Darma supaya berusaha memiliki keluhuran budi seperti Semar.

Semar menunjuk dengan jari telunjuk. Hal ini memberikan petunjuk pada manusia, bahwa
hanya ada satu sesembahan, yaitu Hyang Maha Kuasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Semar menggenggam menggambarkan bahwa ia telah memiliki keluhuran.

Semar pakai klintingan, artinya klintingan adalah suatu tanda (suara) agar orang mendengar bila
telah dibunyikan. Maka bilamana kita sebagai tuntunan (warga) Sapta Darma, haruslah kita
selalu memberikan keterangan–keterangan/ penerangan–penerangan (berdarma) budi pekerti
yang luhur kepada siapa saja agar mereka mengerti tujuan yang luhur itu.

Semar memakai pusaka menunjukkan bahwa tutur katanya (sabdanya) selalu suci (putih).

Lipatan kainnya 5 menunjukkan bahwa Semar telah memiliki/dapat menjalani (nglenggahi) lima
sifat Allah : Agung, Rokhim, Adil, Wasesa dan Langgeng.
Maka dari itu Warga Sapta Darma supaya meniru/berusaha dapat melakukan jejak Semar
seperti yang tersebut di atas. Atau memiliki pribadi seperti Semar. Sebab Semar itu dapat
langsung berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa. Dan meskipun jelek rupanya, tapi luhur
budinya. Maka diperibahasakan: “Semar adalah dewa yang menjelma ( mangejawantah ).”

9. Tulisan dengan huruf jawa : Napsu, Budi, Pakarti pada dasar hijau maya.

Memberikan petunjuk bahwa manusia memiliki nafsu budi dan pakarti yang luhur dan rendah
atau yang baik dan buruk. Warga Sapta Darma berusaha mencapai, budi pekerti yang luhur.

Tulisan Sapta Darma berarti : Sapta berarti tujuh, Darma berarti amal kewajiban suci (=bakti).

Maka dari itu Warga Sapta Darma wajib menjalankan/amalkan isi wewarah tujuh seperti yang
dikehendaki Hyang Maha Kuasa.

Jadi sesuai dengan keterangan tersebut di atas. Simbul Sapta Darma menggambarkan asal dan
isi pribadi manusia, yang harus dimengerti serta diusahakan oleh manusia demi tercapainya
keluhuran budi sesuai dengan Wewarah Sapta Darma.
BAB V

SUJUD DAN PENJELASANNYA


Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikit–dikitnya sekali.
Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyak kalinya warga
melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya (emating sujud).

Bila sujud dilakukan di sanggar, dapat dilakukan bersama–sama dengan tuntunan dan dapat
sewaktu–waktu, namun lebih baik waktu ditentukan.

Sikap duduk

Duduk tegak menghadap ke timur (=timur/kawitan/asal), artinya di waktu sujud manusia harus
menyadari/mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila jajar kaki kanan di depan kaki kiri. Bagi
wanita bertimpuh. Namun diperkenankan mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak
meninggalkan kesusilaan sikap duduk dan mengganggu jalannya getaran rasa.
Tangan bersidakep, tangan kanan di depan tangan kiri.
Lihat gambar nomor 1 dan 2

Nomor 1. nomor 2.

Selanjutnya menenteramkan badan, mata melihat ke depan ke satu titik yang terletak ± satu
meter tepat di depannya, kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus. Setelah merasa
tenang dan tenteram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari
bawah ke atas. Selanjutnya getaran rasa tersebut harus merambat ke atas sampai dikepala,
karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah
terasa dingin seperti kena angin (jawa = pating trecep) dan keluar air liur terus ditelan, lalu
mengucap dalam bathin :

“Allah Hyang Maha Agung”


“Allah Hyang Maha Rokhim”
“Allah Hyang Maha Adil”

Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan
badan tergoyang dengan sendirinya. Kemudian dimulai dengan merasakan jalannya air sari
yang ada di tulang ekor (Jawa : brutu atau silit kodok). Jalannya air sari merambat halus sekali,
naik seolah–olah mendorong tubuh membungkuk ke depan. Membungkuknya badan diikuti
terus, (bukan karena kemauan tapi karena rasa) sampai dahi menyentuh kain sanggar/mori.
Setelah dahi menyentuh kain sanggar/mori, dalam bathin mengucap:

“Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa”


“Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa”
“Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa”

Lihat gambar nomor 3 dan 4

Nomor 3. Nomor 4.

Selesai mengucapkan, kepala diangkat perlahan–lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak
lagi seperti semula.

Mengulang lagi merasakan di tulang ekor seperti tersebut di atas, sehingga dahi menyentuh
kain sanggar/mori lagi. Setelah dahi menyentuh kain sanggar/mori diucapkan di dalam bathin:

“Kesalahannya Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa”


“Kesalahannya Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa”
“Kesalahannya Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa”

Dengan perlahan–lahan tegak kembali, lalu mengulang, merasakan lagi di tulang ekor seperti
tersebut di atas sampai dahi menyentuh kain sanggar/mori yang ke–3 kalinya.

Kemudian dalam bathin diucapkan:

“Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuasa”


“Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuasa”
“Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuasa”

Akhirnya duduk tegak kembali, masih tetap dalam sikap tersebut hingga beberapa menit lagi :
baru kemudian sujud selesai.

Keterangan ucapan dalam sujud :


1. Allah Hyang Maha : Agung, Rokhim, Adil, maksudnya:

a. Mengagungkan/meluhurkan nama Allah.

b. Mengingat–ingat akan sifat keluhuran Allah.

Ucapan itu tak hanya diucapkan dalam mulai sujud,tetapi juga diucapkan bila Warga Sapta
Darma akan mulai semadi (ening).

2. Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa. Hyang Maha Suci ialah sebutan bagi rokh suci
seorang manusia yang berasal dari Sinar Cahaya Allah yang meliputi seluruh tubuh seorang
manusia.

Maha berarti Ter (=paling). Kuasa berarti Kuasa atau menguasai.

Maha Suci berarti meliputi/tersuci (terputih).

Jadi maksudnya adalah kesucian yang meliputi pribadi kita bersujud pada Hyang Maha Kuasa.

Hyang Maha Kuasa adalah sebutan Allah yang menguasai alam seisinya termasuk manusia baik
rokhaniah maupun jasmaniahnya.

Sujud berarti : penyerahan diri pada Hyang Maha Kuasa atau menyembah Hyang Maha Kuasa.
Jadi berarti : rokh suci kita menyerahkan purbawasesa pada Hyang Maha Kuasa.

3. Kesalahannya Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa.


Maksudnya: setelah meneliti dan menyadari kesalahan–kesalahan (dosa–dosa) setiap harinya,
maka selalu Rokh suci mohon ampun pada–Nya akan segala dosa–dosanya tersebut.

4. Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuasa.


Akhirnya penelitian pada kesadaran akan dosa setiap harinya, maka setelah mohon ampun lalu
bertobat yang arti dan maknanya berusaha untuk tidak berbuat kesalahan/dosa lagi.

PERINGATAN :

Warga Sapta Darma harap melatih sungguh–sungguh menuju kesempurnaan sujudnya sesuai
dengan wewarah. Maksudnya dalam melaksanakan sujud jangan sampai sujud wadag atau
sujud kemauan, karena bila demikian sujudnya tidak mempunyai arti.

Dapat dikatakan sujudnya: hanya ikut–ikutan saja (Jawa: sujud rubuh–rubuh gedang). Adapun
sujud yang diterangkan di atas (dengan tiga kali membungkuk) disebut Sujud Dasar atau Sujud
Wajib.
BAB VI

GUNANYA SUJUD

SERTA KETERANGAN ASALNYA AIR SUCI

Sujud yang dilakukan dengan penuh kesungguhan seperti petunjuk Bab V mempunyai arti dan
berguna yang besar sekali. Dalam 24 jam (sehari semalam). Sedikit–dikitnya dilakukan satu kali
dengan pengertian bukan banyaknya melakukan sujud, tetapi adalah kesungguhannya.

Jadi tak boleh tergesa–gesa, memburu lekas selesai berhubung dengan itu, bila sujud harap
dipilih waktu yang sesuai, yaitu yang tenang tentram dalam waktu senggang dari pekerjaan.

Sebenarnya sujud menurut wewarah tersebut bila didalami serta diteliti sungguh–sungguh
adalah membimbing/menuntun jalannya air sari. Air sari yang telah tersaring sungguh–
sungguh, serta menuntun Sinar Cahaya yang ada/meliputi seluruh tubuh, diratakan sampai ke
sel–sel yang sedalam–dalamnya.

Yang perlu dimengerti adalah :

Apakah sebenarnya getaran–getaran serta air sari itu, dari mana asalnya dan dimana
tempatnya?

Getaran atau Sinar Cahaya Allah adalah cahaya yang digambarkan berwarna hijau muda
(=maya) yang ada di dalam seluruh pribadi manusia.

Adapun air sari atau air putih/suci berasal dari sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan
yang di makan manusia. Sari–sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di
ekor (Jawa=Cetik/silit kodok/brutu). Bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air
sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh,menimbulkan daya kekuatan yang
besar sekali. Daya kekuatan ini disebut: “Atom Berjiwa” yang ada pada pribadi manusia.

Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan guna yang besar sekali seperti antaranya:
- Dapat membrantas kuman–kuman penyakit dalam tubuh.
- Dapat menentramkan/menindas napsu angkara.
- Dapat mencerdaskan pikiran.
- Dapat memiliki kawaskitaan, seperti kawaskitaan akan penglihatan, pendengaran, penciuman,
tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa.
Bila telah memusat di ubun–ubun akan mewujudkan Nur Putih. Akhirnya naik menghadap
Hyang Maha Kuasa untuk menerima perintah–perintah/petunjuk yang berupa isyarat/kias
seperti berupa gegambaran, tulisan–tulisan (tulis tanpa papan = sastra jendrahayuningrat).

Sekali lagi dikatakan, bahwa syarat untuk memiliki kemampuan itu semua, tiada lain adalah
pengolahan/penyempurnaan budi pekerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan
sehari–hari.

Pengolahan/penyempurnaan pribadi itu, bagi para pemeluk yang sudah dapat/mampu, adalah
berarti selalu mencetak atom berjiwa pada pribadinya. Atom tersebut digunakan untuk
perikemanusiaan ialah menolong orang yang menderita sakit.
BAB VII

PENYEMBUHAN ORANG SAKIT

SERTA CARA–CARANYA

Penyembuhan yang dilakukan oleh Warga Sapta Darma adalah penyembuhan di jalan Tuhan.

Artinya melakukan penyembuhan itu dilaksanakan atas kuasa dan sesuai dengan petunjuk–
petunjuk dari Hyang Maha Kuasa.

Bagi Warga Sapta Darma diwajibkan pula menolong mengobati pada sekalian umat yang
sedang sakit apabila diperlukan.

Pertolongan dalam hal ini dilarang sama sekali untuk mengharapkan balas jasa, baik berupa
apapun saja selain berdasarkan atas cinta kasih atau belas kasih. Jadi melulu menjalankan sikap
Kerokhiman Allah.

Murka/hukum Tuhan menimpa mereka yang melanggar tersebut. Sebaliknya, Tuhan akan selalu
memberi karunia dan kekuatan pada mereka yang setia sepenuh hati menjalankan perintah–
perintah dan petunjuk–petunjuk–Nya. Karunia Allah datang dalam segala waktu dan berasal
dari segala tempat, yang berarti tak dapat diduga sebelumnya.

Cara mengobati (penyembuhan) di jalan Tuhan dilakukan dengan :

1. Ening sambil memandang bagian badan si pasien. Setelah merasa seluruh rasa terkumpul di
dalam mulut, dengan tanda lidah seperti terbelai angin (Jawa: pating trecep) dan ujung lidah
terasa berat, maka dalam batin menyebut Asma Allah (Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang
Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil), kemudian menyabda : “Sembuh” (“Waras”).
Selanjutnya si pasien/si sakit disuruh merasakan keadaan badannya.

2. Bagi mereka yang sakitnya telah menahun (bertahun–tahun), atau sakit bagian dalamnya
seperti antara lain: paru–paru, asma, ayan, lepra, nier (ginjal), tekanan darah tinggi, seyogyanya
mereka itu dituntuni sujud yang sungguh–sungguh (emat).
Setelah melakukan sujud, lalu didalam batin supaya mengucapkan: “Minta geraknya Nur Rasa”,
kemudian disuruh ening, rasa ditujukan pada tangan. Bila tangannya telah bergerak (bergetar) :
lalu diminta mengucapkan “Mohon diobati hingga sembuh” gerak tangan itu diikuti kemana
arahnya guna mengobati sakitnya, hingga badan menjadi ringan/enak.

Manakala telah sembuh, boleh meneruskan sujudnya, boleh tidak. Artinya diteruskan sujudnya
ya baik, tidak pun tidak apa–apa. Soalnya untung rugi pada pribadi masing–masing yang
merasakan. Jadi Warga Sapta Darma tak boleh memaksa pada siapapun saja dalam hal sujud
maupun untuk menjadi Warga Sapta Darma.

3. Apabila Warga Sapta Darma sendiri yang sakit, maka cara mengobati seperti yang dijelaskan
pada sub 2 tersebut di atas yaitu sujud yang emat (sungguh–sungguh) lalu minta geraknya Nur
Rasa untuk mengobati sakitnya sendiri hingga sembuh. (Ini adalah mengingat wewarah nomor
5, berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri).
Jadi warga Sapta Darma harus dapat/sanggup mengobati dirinya sendiri tak boleh minta tolong
pada warga yang lain. Hanya dalam keadaan yang istimewa, dimana ia tak dapat/sanggup lagi
melakukan pengobatan sendiri dalam arti tak dapat melakukan seperti yang diterangkan pada
sub 2 di atas seperti misalnya: dalam keadaan lumpuh, maka diperkenankan Warga Sapta
Darma yang lain melakukan pertolongan untuk mengobatinya.

4. Bagi pasien yang parah sekali, hingga ada rasa tidak dapat sembuh, maka Warga Sapta Darma
harus dapat menggunakan kewaspadaan atau kewaskitaan, yaitu supaya dieningkan dengan
mata terpejam, bagaimana kias (isyarat) atau tanda–tanda si pasien. Artinya bila ada
gegambaran atau tanda–tanda seperti : burung yang kekablak (menggerak–gerakan sayapnya)
atau burung terbang, pohon kering/menjadi kering, orang yang duduk membelakangi, atau
tercium bau jenazah berarti bahwa telah sampai waktunya bagi si pasien, atau sudah sampai
pada garis yang ditentukan oleh Hyang Maha Kuasa. Dalam hal ini meskipun disabda sembuh
(waras), penyakit menjadi sembuh namun umur telah sampai pada janji untuk diambil kembali
oleh Hyang Maha Kuasa. Jadi ajal tak dapat dielakkan lagi.
Apabila pada waktu ening kita lihat tanda–tanda/gegambaran seperti : pohon beringin, bunga
mawar yang kembang (mekar) ini adalah petunjuk bahwa : si pasien akan sembuh.

5. Bagi yang sakit lumpuh, atau badannya mati sebelah cara mengobatinya seperti yang
diterangkan pada sub 1 diatas, dan simpul–simpul tali rasa pada bagian tubuh yang sakit diuyeg
(di guyar–guyar) dengan jari tengah tangan kanan. Kemudian disuruh menggerakkan tangan
dan kakinya, dan akhirnya, disabda “sembuh” (“waras”)!!!.

6. Untuk orang gila, sakit syaraf: cara mengobatinya ialah bagian otak kecilnya (kepala bagian
belakang agak bawah) diuyeg dengan jari tengah tangan kanan sambil ening. Satria Utama
(tempatnya di antara alis/kening) ditampar (ditempeleng) perlahan dengan telapak tangan
kanan 3 kali lalu disabda “sembuh” (“waras”)!!!.

BAB VIII

TALI RASA

Manusia hidup memiliki saluran rasa yang jalannya tali temali merupakan saluran–saluran yang
disebut TALI RASA. Di beberapa tempat tali rasa/saluran –saluran rasa tersebut mewujudkan
simpul, yaitu merupakan sentral setempat. Diseluruh tubuh ada 20 sentral/simpul tali rasa, dan
ditandai dengan abjad huruf jawa sebagai berikut :

1. Ha – di dagu (di tengah–tengah)

2. Na – di tenggok (pangkal leher bawah muka, tepat di atas pertemuan tulang selangka).

3. Ca – di atas tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk yang nomor 2 (di dada).

4. Ra – di cekungan di bawah tulang stenum (tulang dada tempat pertemuan lubang rusuk
kecer hati).

5. Ka – di pusat perut (Jawa : puser).

6. Da – di tengah–tengah tulang kemaluan.

7. Ta – di ujung tulang ekor.

8. Sa – di tulang belakang tepat di belakang pusat perut.

9. Wa – di bawah ujung tulang belikat (Jawa: entong–entong).

10. La – di pundak (tonjolan ujung tulang belakang yang di atas)

11. Pa – di tengah ketiak.

12. Dha – di siku.

13. Ja – di tengah–tengah pergelangan tangan bagian depan.

14. Ya – di tengah–tengah telapak tangan (pangkal jari tengah)


15. Nya – di susu kanan kiri. (bagi wanita di pangkal lipatan buah dada).

16. Ma – di tengah–tengah pangkal paha.

17. Ga – di tengah–tengah belakang lutut (lipatan lutut).

18. Ba – di atas tumit aschiles bagian dalam.

19. Tha – di tengah–tengah telapak kaki.

20. Nga – di pangkal hidung (di tengah–tengah antara alis/kening)

GUNANYA MENGETAHUI TALI RASA

Bila Warga Sapta Darma menolong mengobati/ menyembuhkan orang yang mati urat syarafnya
seperti lumpuh, mati separo, setelah ening maka simpul–simpul tali rasa bagian tubuh yang
lumpuh, tadi di uyeg–uyeg (di guyar–guyar) sambilening, kemudian disabda “sembuh”
(“waras”).

PERINGATAN
Dalam melakukan pertolongan pengobatan, harap senantiasa menjujung tinggi kesusilaan.
Dengan demikian bila yang sakit wanita, maka wanita pula yang harus menolong. Demikian pula
sebaliknya.Hanya dalam keadaan yang memaksa sekali, seperti misalnya tiada orang lain yang
dapat melakukan pertolongan sedang si pasien harus segera ditolong maka diperkenankan
memberi pertolongan pengobatan penyembuhan terhadap lain jenis. Bila memungkinkan,
sebaiknya disaksikan orang ketiga.
Dengan pembatasan cara melakukan pengobatan tidak diperkenankan memegang. Jadi hanya
dengan sabda saja. Dalam penyembuhan kelumpuhan, setelah disabda disuruh menggerakan
kaki dan tangannya.

BAB IX

ENING (SEMADI)

Yang dimaksud ening /semadi ialah menentramkan pikiran (pangrasa) yang beraneka warna
angan–angan dan sebagainya. Dengan demikian mesti badan bergerak asal hal di atas telah
dilakukan maka dapat dikatakan seseorang telah ening.

Sebaliknya meskipun tubuh kelihatan tenang tetapi pikiran angan–angan dan sebagainya masih
kesana-kemari, maka belum dapat dikatakan orang itu telah ening.

Ening semadi pada Sapta Darma tidak diperkenankan dipakai atau digunakan untuk bermain–
main, sebab dalam hal ini dilakukan dengan menyebut/meluhurkan Asma Allah.

Diperkenankan ening bila melakukan pekerjaan/tugas yang luhur seperti misalnya:

1. Menerima perintah–perintah dari Hyang Maha Kuasa yang berupa isyarat/tanda–tanda,


gegambaran–gegambaran, tulisan–tulisan, petunjuk–petunjuk (sastrajendra hayuningrat).

2. Memeriksa arwah/nenek moyang, bagaimana keadaannya sudahkah diterima di alam


langgeng atau belum. Bila masih di alam pesiksaan maka kita lakukan sujud, untuk memohon
ampun dan bertobatnya arwah tersebut akan segala dosa–dosa yang telah dilakukan semasa
hidupnya di dunia. Sehingga dengan demikian dapat diterima/diangkat dari alam pesiksaan dan
ditempatkan di tempat yang lebih baik.

3. Melihat tempat–tempat yang wingit (keramat = angker) dimana penghuni tempat itu banyak
mengganggu manusia. Penghuni yang demikian dapat disingkirkan atau tempat tersebut
ditawarkan/ hambarkan.
Dengan ening penghuni dapat diketahui ujudnya, bagaimana rokh penasaran atau setan–setan
yang ada disitu, setelah diketahui maka rokh tersebut dimohonkan ampun pada Hyang Maha
Kuasa agar dapat ditempatkan di tempat yang semestinya, serta supaya tidak lagi mengganggu
manusia.
4. Ening dapat dipakai guna mendahului segala tindakan atau tutur kata dengan maksud
melatih kesabaran dan sifat yang berhati–hati guna menuju kebijaksanaan. Dengan demikian
sikap, langkah, tindakan serta tutur katanya menjadi selalu benar.

5. Guna melihat saudara/keluarga yang jauh yaitu bilamana ada keperluan yang penting sekali
dan ada perasaan yang mendorong untuk itu.

Ening dapat dilakukan dengan mata terbuka atau terpejam.


BAB X

TUKAR HAWA, ULAH RASA DAN RACUT

A. TUKAR HAWA.

Adalah suatu usaha/tindakan yang dilakukan untuk melepaskan/menghilangkan kelelahan,


serta sehabis melakukan perjalanan jauh dan sebagainya.

CARANYA:
Terlentang membujur ke timur (kepala di timur) kedua tangan lurus di samping badan, telapak
tangan menghadap ke atas (seluruh badan dalam keadaan kendor). Pikiran serta angan–angan
ditenangkan (dihentikan aktivitasnya). Ini dilakukan sekitar 10 sampai 15 menit kemudian
dihentikan lalu mandi (bila keadaan mengijinkan baik pula mandi dengan air panas).
Dalam tukar hawa ini, hawa getaran yang telah digunakan keluar/dikeluarkan dan melalui pori–
pori kulit serta ubun–ubun dan berganti/diganti dengan hawa yang baru (segar atau bersih).
Dengan demikian akan terasa bagai telah istirahat yang berjam–jam lamanya. Badan menjadi
segar bugar, kekuatan kembali seperti sedia kala.

Gambar nomor 7.

TUKAR HAWA DAN ULAH RASA


B. ULAH RASA

Ulah rasa adalah suatu usaha/tindakan mengadakan penelitian jalannya rasa dan getaran yang
meliputi seluruh tubuh.

CARANYA:

Sehabis melakukan Sujud Dasar (Sujud Wajib), ditambah satu bungkukan lagi dan mengucapkan
dalam bathin “minta geraknya rasa”.

Lalu seperti pada tukar hawa (A) semua pakaian yang menekan (kencang) yang mengganggu
jalannya rasa, dikendorkan.

Selanjutnya melakukan pemusatan untuk merasakan (meneliti) jalannya getaran dari telapak
kaki yang merambat perlahan–lahan dan halus sekali meliputi seluruh tubuh di atas.

Juga merasakan jalannya darah serta denyutnya jantung, keluar masuknya hawa baik melalui
hidung maupun yang melalui pori–pori.

Hal tersebut semua, bila dilatih serta dilakukan dengan kesabaran serta ketelitian, maka dengan
ening kita dapat juga mengetahui bagaimana jalannya sari–sari, getaran–getaran yang merata
melalui seluruh tubuh serta denyut jantung.

C. RACUT

Racut adalah memisahkan rasa dengan perasaan, dengan tujuan menyatukan diri dengan sinar
sentral atau Rokh Suci bersatu dengan sinar sentral.

Ini berarti, racut dapat digunakan menghadapkan Hyang Maha Suci ke hadirat Hyang Maha
Kuasa. Jadi selagi kita masih hidup di dunia ini, supaya dapat menyaksikan tempat dimana kelak
bila kita kembali ke alam langgeng.

Dengan demikian benarkah kata–kata “manusia harus dapat mati dalam hidup, supaya dapat
mengenal/mengerti rupa dan rasanya.”

Maksudnya, yang dimatikan adalah alam pikirannya, sedang rasanya tetap hidup.

Maka sewaktu racut, kita dapat mengetahui rokh kita naik ke Alam Langgeng menghadap
Hyang Maha Kuasa dan rokh kita dapat mengetahui jasmani yang kita tinggalkan sementara
terbaring di bawah.

CARANYA:
Setelah melakukan sujud wajib (sujud dasar), maka ditambah satu bungkukan, dengan ucapan
di dalam bathin:

“HYANG MAHA SUCI MENGHADAP HYANG MAHA KUASA.”

Kemudian lalu berbaring dalam SIKAP ULAH RASA, hanya saja kedua tangan dilipat (bersidakep),
tapak tangan kanan ditumpangkan (diletakkan) di atas telapak tangan kiri menghadap ke
bawah, dan diletakkan di atas “CO” (=tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk nomor dua di
dada di bawah pertemuan kedua tulang selangka). Racut juga dapat dilakukan dalam
sikap/posisi duduk bersila/bersimpuh dengan tangan tetap bersidakep.

Segala kegiatan pikiran, angan–angan dan sebagainya dihentikan, Satria Utama (mata satu yang
tak dapat rusak) digunakan untuk menyaksikan berangkatnya Hyang Maha Suci (Nur Putih),
keluar dari ubun–ubun menghadap Hyang Maha Kuasa.

Mengingat Racut adalah pekerjaan/ perbuatan rumit dan sulit, maka memerlukan latihan yang
penuh kesabaran, dengan, ketelitian dan kesungguhan serta ketekunan.

Gambar nomor 8.

Latihan dapat dilakukan di rumah sendiri. Racut dapat memungkinkan seseorang dapat
memiliki kewaskitaan yang tinggi.

Racut ini tidak membahayakan, karena hanya Hyang Maha Suci saja yang meninggalkan
jasmani, sedangkan 11 saudara yang lain masih tetap menjaga tubuh (badan). Karena sewaktu
Racut, masih bernafas, serta masih bisa menerima rangsangan melalui indra (panca indra)
tetapi segala rangsangan tak dirasakan.
BAB XI

HARI PERINGATAN SAPTA DARMA

1. Tanggal 27 Desember 1952 pukul 01.00 (malam) Turunnya Wahyu Pertama: Sujud.

Diterima oleh Bapak Hardjosapoero di Pare, Kediri, Jawa Timur.

2. Tanggal 13 Februari 1953 pukul 10.00 pagi turunnya Wahyu Racut.

3. Tanggal 12 Juli 1954, pukul 11.00 (siang) Turunnya Wahyu:

i. Simbul Sapta Darma.


ii. Wewarah Tujuh.
iii. Sesanti.

4. Tanggal 27 Desember 1955

i. Turunnya Wahyu Nama SRI GUTAMA. (pukul 24:00 WIB)

ii. Nama Agama Sapta Darma

5. Tanggal 1 Sura Hari Raya Sapta Darma.

6. Tanggal 27 Desember 1915 lahirnya Hardjosapoero.

7. Tanggal 16 Desember 1964 wafatnya Bapak Hardjosapoero.

8. Tanggal 17 Desember 1930 lahirnya Soewartini Martodihardjo.

9. Tanggal 24 Mei 1996 wafatnya Ibu Soewartini Martodihardjo, SH.

Anda mungkin juga menyukai