Anda di halaman 1dari 24

Seri Pustaka Klampis Ireng

LeburTara:
Pelestari Budaya Luhur Nusantara

SadCaraka
Seri Pustaka Klampis Ireng

Pelestari Budaya Luhur Nusantara


© LeburTara

Bagi Pembaca yang berkenan mendukung Chanel NSI dan Seri


Terbitan ini silakann berdonasi dengan top up DANA atau melalui
Rekening BRI berikut ini:

i
Seri Pustaka Klampis Ireng

LeburTara
Pelestari Budaya Luhur Nusantara

1
SadCaraka
2

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

DAFTAR ISI
Daftar Isi .............................................................................................................................. 3
Pustaka Klampis Ireng ...................................................................................................... 4
LeburTara ............................................................................................................................ 7
Sad Caraka ...................................................................................................................... 10
Nusantara Jaya ............................................................................................................... 13
Antara Dewi Tara, Amba dan Dewabrata ................................................................ 14
Prolog .................................................................................................................... 14
Dewi Tara ............................................................................................................. 14
3
Dewi Amba ........................................................................................................... 15
Dewabrata ........................................................................................................... 15
Epilog ..................................................................................................................... 19
PUSTAKA KLAMPIS IRENG
“Saya mengharap NSI jadi
Klampis Ireng. Meski kita
santai, kita belajar. Untuk
menopang bangsa ini…”

(Romo KRT Manu J. Widyaseputra,


Filolog Jawa Kuna dan Sansekerta)

4
Harapan Romo Manu di atas ditegaskan pada momentum Chanel
Ngobrol Santai Indonesia (NSI) membincangkan dirinya. Dari mana
dan hendak kemana obrolan santai selama ini merajut diri. Para
penggagas NSI, yakni Bang Dori Alam Girsang dan Ijoo pun didaulat
Pak Wiro Kosro untuk buka-bukaan tentang Ngobrol Santai
Indonesia ini bermula. Praktis, obrolan malem Respati Kasih, 7 Juni
2023 itu pun berbeda dari kebiasaan. Bila selama ini Bang Dori
menjadi tuan rumah, pada malam itu Pak Wiro unjuk kebolehan
menjadi pemandu obrolan.

Tidak disangka-sangka bahwa di tengah suasana obrolan sangat


santai itu, Romo Manu melahirkan gagasan baru terhadap NSI.
Sesepuh yang selama ini menjadi mahaguru sekaligus panakawan
NSI ini mengajak semua yang hadir di ruang zoom untuk menengok
keberadaan Pedukuhan Klampis Ireng. Pedukuhan ini disebut juga
Karang Kedempel. Pedukuhan ini adalah tempat pertapaan Semar,
Gareng, Petruk, Bagong, yang dikenal sebagai Panakawan. Pana

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

berarti berilmu pengetahuan, paham akan jatidiri dan kawan adalah


teman. Panakawan kurang lebihnya adalah kawan perjalanan yang
memiliki ilmu dan pengetahuan tentang jati diri.
Para panakawan memiliki ilmu dan pengetahuan sedemikian karena
mereka sejatinya adalah para Widusaka. Seorang guru atau ajar.
Jadilah, pedukuhan Klampis Ireng bukan semata sebagai tempat
tinggal Semar. Klampis ireng sejatinya juga merupakan tempat bagi
para ksatria belajar. Sebuah pawiyatan, tempat yang nyaman untuk
berguru berbagai macam ilmu pengetahuan.

Keunikan dari Pedukuhan Klampis Ireng sebagai tempat belajar


adalah metodologinya. Bila pawiyatan pada umumnya metode
pengajarannya serba formal, Klampis Ireng menyuguhkan
pengajaran dengan metode Hasya Rasa. Dengan lelucon, dengan
santai penuh canda, tanpa kehilangan bobot keilmuan. Tidak heran
bila dari Pedukuhan Klampis Ireng ini, lahirlah raja-raja nan masyur.
Dari leluhur para Pandhawa seperti Raja Bharata, Raja Kuru, Prabu
Santanu, hingga Raja Parikesit sebagai keturunan Pandhawa. 5

“Saya mengharap NSI jadi Klampis Ireng. Meski kita santai, kita
belajar. Untuk menopang bangsa ini. Tanpa tindakan nyata, tiada
guna omongan tentang Indonesia Emas, dan seterusnya. Jadilah NSI
sebagai Klampis Ireng dengan Hasya Rasya. Ngobrol santai tapi
mendapatkan ilmu…” Demikian Romo Manu menyampaikan
harapannya.

Apalagi, lanjut Romo, “Semar itu brahmana yang widusaka. Caranya


mengajar beda. Tetapi semua ksatria yang diajar adalah para raja
dan ksatria-ksatria hebat. Mereka adalah nenek moyang pandhawa,
para pandhawa sendiri, hingga keturunannya. Mereka itu diajar oleh
para widusaka. Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Maka, NSI jadilah
Klampis Ireng, jadilah kita para widusaka dengan hasya rasa.”

***
Menengok perjalanan Chanel Youtube NSI sejauh ini, telah banyak
ilmu pengetahuan dituturkan lewat obrolan nan santai. Banyak guru
mewedhar ilmu, banyak ajar menyajikan materi belajar. Tidak
ketinggalan para Brahmana Nusantara ini pun menghidangkan
kawruh adiluhung di Chanel NSI. Dan, dalam hal inilah Romo Manu
telah berkontribusi penuh dedikasi dalam rangka menunjukkan
mutiara ilmu pengetahuan milik Nusantara ini.

Menyadari hal tersebut, rasanya sayang bila wedharan-wedharan


tersebut mengalami pembiaran. Perkawinan swara dan aksara mesti
digelar, demi eksistensi ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan, Pustaka
Klampis Ireng yang dibidani oleh SadCaraka ini anggaplah sebagai
tempat terselenggaranya pawiwahan swara dan aksara yang bisa
dikunjungi oleh siapa pun. Melalui pawiwahan demikian, kiranya
keagungan dan keindahan ilmu pengetahuan terus terjaga sepanjang
masa.

Saniscara Cemengan, 17 Juni 2023


SadCaraka

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

LEBURTARA
Pelestari Budaya Luhur Nusantara

Leburtara menjadi nama untuk Pelestari


Budaya Luhur Nusantara. Nama yang
awalnya diusulkan oleh salah satu SadCaraka
NSI (Ngobrol Santai Indonesia), R.A. Bagus
Sugiharto, S.Si. Nama yang kemudian
mendapat apresiasi dan persetujuan semua
personil SadCaraka lainnya: Wira-Pandhu- 7
Santo-Widya-Satya.

Kelahiran Leburtara tidak terlepas dari tugas


lanjutan dari SadCaraka NSI ketika rencana
pentas wayang dengan lakon “Bhima Widya
Satya” pada malem Minggu Kliwon, 26-27
Agustus 2023 disepakati. Itulah momen
SadCaraka bertindak atas nama NSI melakukan komunikasi dengan pihak-
pihak yang berkehendak baik, hingga diperlukanlah wadah kerjasama untuk
melestarikan budaya luhur Nusantara. Jadilah Leburtara: Pelestari Budaya
Luhur Nusantara mengemuka.

Sejujurnya tidak terbayangkan sebelumnya, kalau terhadap rencana pentas


wayang tersebut mendapatkan antusiasme dukungan dari berbagai pihak.
Seolah semua sudah diatur sesuai kehendak semesta loka ini. Bahwa swara
gamelan dengan pentas wayang yang merefleksikan keagungan leluhur
Nusantara mesti dipersembahkan untuk mengisi akasa Nusantara. Ruang yang
telah sejauh ini menerima aneka kebisingan swara budaya dan bahasa dari
luar Nusantara. Sudah semestinya swara gamelan yang mengiringi pentas
keagungan leluhur mendapatkan tempat yang terhormat di rumahnya.

Untuk mengartikulasikan santiswara Nusantara sedemikian, tentu saja


membutuhkan kesadaran para putra-putri Ibu Pertiwi. Kesadaran untuk berani
kembali ke akar budayanya. Dari keberakaran inilah sari-sari kehidupan
dapat menghidupi pepohonan Nusantara. Pepohonan yang membutuhkan
habitat sesuai ekologi, kosmologi dan kosmogoni Nusantara. Kesadaran
demikian pada gilirannya akan mengembalikan tahta ekosufi bagi penghuni
bhumi. Itulah kesadaran yang melahirkan kecerdasan manusia bumi dalam
mencari rejeki dengan menjaga alam tetap lestari.

Merefleksikan kelahiran Leburtara seolah melukiskan perjalanan diri


menemukan istadewata Nusantara. Itulah Sang Leburtara yang membawa
ingatan pada sosok Sang Pe-Lebur –Sang Pendaur Ulang semesta dalam sosok
Siwa atau yang dikenal di Nusantara sebagai Bathara Guru– dan Dewi Tara –
Sang Ibu Pencipta, Sang Ibu Bhumi, Sang Dewi Kesuburan.

Jadilah Leburtara menjelma sebagai laku bagi jiwa untuk menemukan sang
istadewata Nusantara. Leburtara juga menjadi kemampuan metodologis untuk
meleburkan semua kekuatan menjadi energi kesadaran baru bagi Nusantara
Jaya. Dalam rangka inilah Leburtara pun menyambut harapan Romo KRT
Manu J. Widyaseputra untuk Ngobrol Santai Indonesia supaya menjadi
Pedukuhan Klampis Ireng. Sebuah pedukuhan tempat para Panakawan –
Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong– sebagai sang Widusaka membimbing

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

para ksatria, pangeran dan calon raja. Mereka adalah sosok brahmana yang
menguasai metode hasya rasa dalam menggelar ilmu dan pengetahuan.

Menyambut hal di atas, Leburtara pun siap merentang dengan gerak literasi
menyajikan Pustaka Klampis Ireng sebagai yajna bagi kejayaan Nusantara.

Padhepokan Klampis Ireng, 19 Juni 2023

SadCaraka

9
SAD CARAKA
Sad Caraka adalah enam utusan. Mereka adalah Wira-Bagus-
Pandhu-Santo-Widya-Satya sebagai duta NSI untuk berbincang
dengan Bp. Luluk Sumiarso sebagai pemrakarsa DiriPedia. Tugas
perutusan yang diemban adalah untuk mengomunikasikan
kemungkinan bekerjasama dalam rangka bergerak kembali menuju
akar kenusantaraan.
10
Bermula dari perjumpaan di ruang Zoom Ngobrol Santai Indonesia
(NSI) ketika Pak Luluk berkenan menjadi narasumber. Dari ruang
santai itu ditemukanlah titik-titik perjumpaan yang menjadi arah dan
perhatian DiriPedia yang digagas Pak Luluk dengan arah dan tujuan
NSI. Bila DiriPedia mengajak kembali ke jatidiri hingga menjadi
manusia mandiri, NSI mengajak kembali ke akar supaya kehidupan
manusia Nusantara dapat selaras dengan ekologi dan kosmologinya.

Dalam obrolan inilah Pak Luluk bertutur kembali tentang sejarah


DiriPedia yang digelitik oleh berkembangnya noetic science di dunia
Barat. Padahal ilmu yang bicara tentang kebijaksanaan batin,
pengetahuan langsung, atau pemahaman subjektif itu sudah
mendarah daging di Nusantara. Selain dikenal adanya kebenaran
obyektif, masih ada kebenaran subyektif hingga kebenaran
intersubyektif. Apalagi, imbuh Ki Pandhu, di Nusantara ini
keberadaan suksma atau ruh bisa diidentifikasi. Jadi sudah
melampaui ilmu psikologi Barat yang hanya berhenti pada kajian
tentang kejiwaan.

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

Pak Luluk pun membenarkan itu sambil merujuk disertasi dari Prof.
DR. Dr. Brigjend (purn) Sri Soemantri Hardjoprakosa berjudul Ajaran
Candra Jiwa Soenarto. Kajian penting tentang dhiri yang mengalami
evolusi jiwa menurut aliran Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal).

Dari sinilah percakapan antara Pak Luluk dan Ki Pandhu bagaikan


pentas bawa rasa sajroning rasa hingga membawa pada aliran
sungai pengetahuan baru. Aliran yang mengalirkan ilmu Nusantara
yang mempesona hingga bermuara pada signifikansi pementasan
wayang berdasar literasi NawaRuci di Rumah Budaya Nusantara.
Siapa dhalangnya? Ki Pandhu “Pamedhar Diripedia”!

NawaRuci bercerita tentang Bhima yang mengalami kisah diripedia.


Kisah pencarian pengetahuan diri sejati dengan masuk ke dalam diri.
Perjalanan yang mempertemukan dirinya dengan Hyang Nawaruci.
Sosok dewa mirip diri Bhima sendiri dalam wujud mungil yang di
dalamnya menampung semesta raya lambang ketidak-berhinggaan 11
cahaya pengetahuan. Hal yang tentu membuat Bhima terpesona
karena jauh dari sangkanya.

Besar harapan, dari literasi tersebut apa yang menjadi tujuan dan
harapan kehadiran Diripedia di tengah masyarakat dapat
diwedharkan, pun demikian mengapa semangat kembali ke akar
yang diusung NSI perlu digelorakan. Pentas wayang dipilih karena
wayang tidak sekedar tuntunan apalagi hanya sekedar tontonan.
Wayang di dalamnya ada ilmu, teknik dan metodologi leluhur untuk
menjadi insan kosmosofi. Manusia yang pintar mencari rejeki dengan
menjaga alam tetap lestari. Sebagai teknik, wayang menunjukkan
cara dan jalan-jalan bagaimana menempa diri untuk menemukan
faktisitas dan fasilitas diri dalam memayu hayuning mikro dan makro
kosmos. Sebagai metodologi, wayang mengungkapkan ekologi,
kosmologi sekaligus kosmogoni Nusantara.
Begitulah kisah SadCaraka ketika mengemban tugas perutusannya.
Pemenuhan tugas yang melahirkan lakon wayang Bhima Widya-
Satya untuk pagelaran 27 Agustus 2023 oleh Ki Pandhu “Pamedhar
Diripedia.” Berdasarkan widya (pengetahuan) dan satya (setia pada
tugas kebenaran) dari Bhima ini, siapa sangka melahirkan sebuah
wadah baru bernama “LeburTara” sebagai Pelestari Budaya Luhur
Nusantara. Sebuah wadah supaya widya dan satya terus ditutur-
tinularkan di Pedukuhan Klampis Ireng melalui penerbitan pustaka.
Pada akhirnya, tetaplah hidup gelora asa, semoga semua cipta dan
cita yang baik datang dari penjuru nawadewata.

Saniscara Cemengan, 17 Juni 2023


SadCaraka

12

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

NUSANTARA JAYA
Dicipta oleh:
13
IGD. Lingsartha Patra

Oooh Negri Nusantaraku


Saatnya terjaga dari tidur panjangmu
Lihat cerah sinar sang surya
Telah bangkit, dari ufuk Timur

Reff.
Semut-semut hitam berbarislah
Usung panji kesadaran
Garudaku kepakkan sayapmu
Jaga tanah warisan leluhur
Merah putih teruslah berkibar
Di gerbang negri nusantara jaya

Oooh putra-putri Pertiwi


Bersatulah dalam bakti sejati
Hari depan negeri ini
Seiring mentari, terbit dari Timur
ANTARA DEWI TARA, AMBA
DAN DEWABRATA
Prolog
_“Suatu malam bulan purnama, Dewabrata bersemadi di tepi sungai suci.”_ (B.B.
Triatmoko, SJ, 2005).

Dewi Tara
Dewi Tara sebagai Dewi Hindu dikenal
sebagai Ibu Pencipta. Sumber kekuatan
14 hidup abadi. Sang pemberi energi
kehidupan pada semua makhluk. Dalam
Budhisme seturut tradisi Tibet, Dewi Tara
adalah Buddha wanita yang telah
mendapatkan pencerahan. Sosok yang telah
mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi.

Dengan keagungannya yang demikian, Dewi


Tara dikenali oleh peradaban sebagai Sang
Ibu Bhumi, Dewi Kesuburan. Candi Kalasan
bisa disebut sebagai salah satu monumen
peradaban yang mentahtakan Dewi Tara
sedemikian rupa. Bahwa di bhumi Nusantara ini, Sang Dewi menemukan tempat
terhormatnya. Hal ini disadari benar oleh para leluhur karena pemujaan pada
Dewi Tara akan melahirkan kebijaksanaan batin dalam diri sang pemuja.

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

Kebijaksanaan yang menuntun dan melindungi perjalanan jagat kecil


menelusuri kedalaman samudera pengetahuan.

Dewi Amba
“Biasanya seorang gadis akan tampak lebih cantik di kejauhan. Akan tetapi,
Dewi Amba ini justru semakin mempesona ketika diperhatikan dari jarak yang
amat dekat. Bentuk tubuhnya sempurna. Warna kulitnya putih segar seolah-
olah tembus pandang, menunjukkan urat-urat darah di baliknya. Rambutnya
digelung cantik dengan sekuntum bunga terselip di sela-selanya” (B.B.
Triatmoko, SJ, 2005).

Rasanya tidak berlebihan, ketika Dewi Amba digambarkan seperti di atas.


Puteri kerajaan Giyantipura ini memang sudah kesohor kecantikannya di triloka
15
buana. Banyak pangeran, para raja dan ksatria dibuat kesengsem olehnya.
Sayangnya, bukan perkara mudah untuk meminangnya. Mengalahkan dua
ksatria perkasa, Wahmuka dan Arimuka adalah syarat utama. Siapa yang
sanggup mengalahkan dua ksatria Giyantipura?

Dewabrata
Dewabrata artinya kesayangan dewata. Ia dikenal pula sebagai Bhisma Putra
Gangga. Pasalnya sungai Gangga yang suci telah melahirkannya. Tak heran
bila di tepian Sungai Gangga, dia betah berlama-lama melakukan yoga
brata. Seperti pada suatu malam purnama. Saat dia menghadapi peliknya
masalah yang menyelimutinya.
“Ibunda, beri aku petunjuk,” desah Dewabrata putusasa. “Meski dia tidak
pernah mengenal ibundanya, namun dia tahu bahwa aliran sungai suci bisa
membawa doanya naik ke surga, ke pangkuannya. Tidak ada hati seorang ibu
yang rela melihat putranya menggapai dari kegelapan. Alam sendiri tidak
tega membiarkan permohonan yang tulus itu menggema tanpa jawaban”, tulis
Romo B.B. Triatmoko melukis tirtayatra Dewabrata. Sebuah perjalanan suci
yang mempertemukan dia dengan Dewi Tara, Sang Ibu Bhumi yang memegang
utpala biru muda. Sang Dewi yang kemudian menjelma menjadi
istadewatanya. Tak heran bila dia pun bertekad, ”Aku harus menemukan
kediaman Dewi Bumi.”

Di manakah Sang Putra Gangga ini menemukan kediaman Dewi Bumi? Hanya
kecerdasan sastrawi yang mampu menghantar Pangeran Hastinapura itu untuk
bertemu Ibu Bhumi dan mendapatkan anugerah bunga utpala.

16

***

“Cinta yang ditahan untuk dinikmati sendiri seumpama anak panah yang berhenti
pada busurnya. Begitu dilepas, anak panah itu akan melesat menemukan jalannya
sendiri.”

Adalah Romo B.B. Triatmoko, SJ melalui perjalanan tujuh tingkat kesadaran


jiwa, di antara kabut dan tanah basah (2005), menyajikan narasi tentang kisah
perjuangan Dewabrata mendapatkan bunga utpala biru muda. Perjuangan
yang tidak sendiri, karena hadirnya sosok Wulandari. Seorang prajurit
perempuan yang mendapat pujian Rama Bargawa. “Gadis yang cantik dan
lincah.” Pujian tulus dari sang guru itu pun memunculkan senyum Dewabrata dan
ucap lirih, ”Hatinya lebih cantik dari parasnya.”

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

Wulandari yang tampak lincah dan kini dipercaya menjadi kepala pasukan
keamanan kerajaan tidak terlepas dari didikan Dewabrata. Selain ilmu
memanah, Wulandari pun sudah ahli dalam strategi perang. Oleh Sang
Brahmacarya ini, Wulandari telah diangkat sebagai adik dan pengawal
pribadinya, dengan restu Prabu Sentanu. Perihal keberanian, jangan ditanya
lagi. Soal nyali itu pun telah teruji. Selain dari dalam pribadinya memiliki
kemurnian hati. Tidak heran bila Dewabrata pun mengijinkan ketika Wulandari
berketetapan hendak menemaninya mencari bunga Utpala.

“Kanda Dewabrata, aku akan membaktikan seluruh hidupku untuk membantumu


menemukan bunga Utpala. Aku akan melindungimu sekuat tenagaku.
Seandainya aku harus mengorbankan jiwa sekalipun, aku akan melakukannya.
Tidak hanya karena dirimu, tetapi juga untuk kepentingan banyak orang.
Mereka akan disembuhkan oleh kesaktian bunga Utpala.” 17

Ditemani Wulandari, Dewabrata pun mengerti. Perjalanan menjumpai Ibu


Bhumi bukanlah sebuah perjalanan mudah. Tak cukup hanya bermodalkan ilmu
dan kesaktian. Tekad kuat penuh bhakti dan laku kesabaran mesti menjadi
sayap kala harus menyusuri jalan senyap. Lagi pula untuk mendapatkan bunga
Utpala mesti disertai penguasaan kekuatan jiwa. Kekuatan yang hanya bisa
efektif ketika sudah menempuh perjalanan tujuh tingkat kesadaran jiwa:
pemurnian budi, pemurnian rasa, pemurnian hati, keheningan jiwa, kebebasan
batin, pengorbanan diri, dan pencerahan.

Bagaimana cara Dewabrata mendapatkan bunga Utpala? Lalu apa peran


Wulandari?
“Crattt!” Terdengar bunyi keris menembus tubuh. Wulandari tergeletak jatuh
dalam pangkuan Dewabrata dengan keris menancap di punggungnya.” Itulah
saat Wulandari memenuhi panggilan jiwanya, menjadi pelindung bagi
kakandanya. Melihat Patih Danureja melemparkan senjata rahasia keris
bermuka ular ke arah Dewabrata, Wulandari hadir sebagai perisai sakti.

“Kanda Dewabrata,” katanya sambil menahan sakit di dadanya. “Engkau tahu,


sudah lama aku merindukan istirahat dalam pelukanmu seperti saat ini.
Sekarang aku merasakan detak hatimu dari dekat. Cukuplah itu bagiku…”

“Tiba-tiba halilintar menggelegar disertai suara gemuruh membahana. Tubuh


Wulandari terangkat perlahan mengikuti cahaya yang turun dari langit
18 terbuka. Mendadak Wulandari lenyap dan berganti dengan Dewi Bhumi yang
tersenyum kepada Dewabrata sambil memberikan serumpun bunga Utpala.”

Siapa sangka, dia yang selama ini menemaninya adalah penjelmaan Dewi
Bhumi yang dicari kian kemari. Dewabrata telah salah kira. Bukan dia yang
mencari cinta, tetapi Cintalah yang menuntun dan menemukannya. Cinta pula
yang telah berkorban supaya Sang Putra Gangga ini menemukan jalan
hidupnya.

Kini anugerah Dewi Bhumi telah ia terima. Saatnya menundukkan kepala,


memberi hormat kepada Sang Bunda. Siapakah ksatria jagat raya ini yang
bisa berlagak di hadapan Sang Ibu?

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

Epilog
“… dan sastra, itu betul-betul menghaluskan batin kita. (Karlina Supelli, 2023)”

19
20

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

21

Seri Pustaka Klampis Ireng ini didukung penuh oleh:

Anda mungkin juga menyukai