Anda di halaman 1dari 20

Seri Pustaka Klampis Ireng

Srikandi Nusantara

SadCaraka
Seri Pustaka Klampis Ireng

Srikandi Nusantara
© LeburTara

Bagi Pembaca yang berkenan mendukung Chanel NSI dan Seri


Terbitan ini silakann berdonasi dengan top up DANA atau melalui
Rekening BRI berikut ini:

i
PUSTAKA KLAMPIS IRENG
“Saya mengharap NSI jadi Klampis
Ireng. Meski kita santai, kita belajar. Untuk
menopang bangsa ini…”

ii

(Romo KRT Manu J. Widyaseputra,


Filolog Jawa Kuna dan Sansekerta)

Harapan Romo Manu di atas ditegaskan pada momentum Chanel


Ngobrol Santai Indonesia (NSI) membincangkan dirinya. Dari mana
dan hendak kemana obrolan santai selama ini merajut diri. Para
penggagas NSI, yakni Bang Dori Alam Girsang dan Ijoo pun didaulat
Pak Wiro Kosro untuk buka-bukaan tentang Ngobrol Santai
Indonesia ini bermula. Praktis, obrolan malem Respati Kasih, 7 Juni
2023 itu pun berbeda dari kebiasaan. Bila selama ini Bang Dori
menjadi tuan rumah, pada malam itu Pak Wiro unjuk kebolehan
menjadi pemandu obrolan.

Tidak disangka-sangka bahwa di tengah suasana obrolan sangat


santai itu, Romo Manu melahirkan gagasan baru terhadap NSI.
LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

Sesepuh yang selama ini menjadi mahaguru sekaligus panakawan


NSI ini mengajak semua yang hadir di ruang zoom untuk menengok
keberadaan Pedukuhan Klampis Ireng. Pedukuhan ini disebut juga
Karang Kedempel. Pedukuhan ini adalah tempat pertapaan Semar,
Gareng, Petruk, Bagong, yang dikenal sebagai Panakawan. Pana
berarti berilmu pengetahuan, paham akan jatidiri dan kawan adalah
teman. Panakawan kurang lebihnya adalah kawan perjalanan yang
memiliki ilmu dan pengetahuan tentang jati diri.
Para panakawan memiliki ilmu dan pengetahuan sedemikian karena
mereka sejatinya adalah para Widusaka. Seorang guru atau ajar.
Jadilah, pedukuhan Klampis Ireng bukan semata sebagai tempat
tinggal Semar. Klampis ireng sejatinya juga merupakan tempat bagi
para ksatria belajar. Sebuah pawiyatan, tempat yang nyaman untuk
berguru berbagai macam ilmu pengetahuan.

Keunikan dari Pedukuhan Klampis Ireng sebagai tempat belajar


adalah metodologinya. Bila pawiyatan pada umumnya metode
pengajarannya serba formal, Klampis Ireng menyuguhkan iii
pengajaran dengan metode Hasya Rasa. Dengan lelucon, dengan
santai penuh canda, tanpa kehilangan bobot keilmuan. Tidak heran
bila dari Pedukuhan Klampis Ireng ini, lahirlah raja-raja nan masyur.
Dari leluhur para Pandhawa seperti Raja Bharata, Raja Kuru, Prabu
Santanu, hingga Raja Parikesit sebagai keturunan Pandhawa.

“Saya mengharap NSI jadi Klampis Ireng. Meski kita santai, kita
belajar. Untuk menopang bangsa ini. Tanpa tindakan nyata, tiada
guna omongan tentang Indonesia Emas, dan seterusnya. Jadilah NSI
sebagai Klampis Ireng dengan Hasya Rasya. Ngobrol santai tapi
mendapatkan ilmu…” Demikian Romo Manu menyampaikan
harapannya.

Apalagi, lanjut Romo, “Semar itu brahmana yang widusaka. Caranya


mengajar beda. Tetapi semua ksatria yang diajar adalah para raja
dan ksatria-ksatria hebat. Mereka adalah nenek moyang pandhawa,
para pandhawa sendiri, hingga keturunannya. Mereka itu diajar oleh
para widusaka. Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Maka, NSI jadilah
Klampis Ireng, jadilah kita para widusaka dengan hasya rasa.”

***

Menengok perjalanan Chanel Youtube NSI sejauh ini, telah banyak


ilmu pengetahuan dituturkan lewat obrolan nan santai. Banyak guru
mewedhar ilmu, banyak ajar menyajikan materi belajar. Tidak
ketinggalan para Brahmana Nusantara ini pun menghidangkan
kawruh adiluhung di Chanel NSI. Dan, dalam hal inilah Romo Manu
telah berkontribusi penuh dedikasi dalam rangka menunjukkan
mutiara ilmu pengetahuan milik Nusantara ini.

Menyadari hal tersebut, rasanya sayang bila wedharan-wedharan


tersebut mengalami pembiaran. Perkawinan swara dan aksara mesti
digelar, demi eksistensi ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan, Pustaka
Klampis Ireng yang dibidani oleh SadCaraka ini anggaplah sebagai
tempat terselenggaranya pawiwahan swara dan aksara yang bisa
iv
dikunjungi oleh siapa pun. Melalui pawiwahan demikian, kiranya
keagungan dan keindahan ilmu pengetahuan terus terjaga sepanjang
masa.

Saniscara Cemengan, 17 Juni 2023


SadCaraka

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

SAD CARAKA
Sad Caraka adalah enam utusan. Mereka adalah Wira-Bagus-
Pandhu-Santo-Widya-Satya sebagai duta NSI untuk berbincang
dengan Bp. Luluk Sumiarso sebagai pemrakarsa DiriPedia. Tugas
perutusan yang diemban adalah untuk mengomunikasikan
kemungkinan bekerjasama dalam rangka bergerak kembali menuju
akar kenusantaraan.

Bermula dari perjumpaan di ruang Zoom Ngobrol Santai Indonesia


(NSI) ketika Pak Luluk berkenan menjadi narasumber. Dari ruang
santai itu ditemukanlah titik-titik perjumpaan yang menjadi arah dan
perhatian DiriPedia yang digagas Pak Luluk dengan arah dan tujuan v
NSI. Bila DiriPedia mengajak kembali ke jatidiri hingga menjadi
manusia mandiri, NSI mengajak kembali ke akar supaya kehidupan
manusia Nusantara dapat selaras dengan ekologi dan kosmologinya.

Dalam obrolan inilah Pak Luluk bertutur kembali tentang sejarah


DiriPedia yang digelitik oleh berkembangnya noetic science di dunia
Barat. Padahal ilmu yang bicara tentang kebijaksanaan batin,
pengetahuan langsung, atau pemahaman subjektif itu sudah
mendarah daging di Nusantara. Selain dikenal adanya kebenaran
obyektif, masih ada kebenaran subyektif hingga kebenaran
intersubyektif. Apalagi, imbuh Ki Pandhu, di Nusantara ini
keberadaan suksma atau ruh bisa diidentifikasi. Jadi sudah
melampaui ilmu psikologi Barat yang hanya berhenti pada kajian
tentang kejiwaan.

Pak Luluk pun membenarkan itu sambil merujuk disertasi dari Prof.
DR. Dr. Brigjend (purn) Sri Soemantri Hardjoprakosa berjudul Ajaran
Candra Jiwa Soenarto. Kajian penting tentang dhiri yang mengalami
evolusi jiwa menurut aliran Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal).

Dari sinilah percakapan antara Pak Luluk dan Ki Pandhu bagaikan


pentas bawa rasa sajroning rasa hingga membawa pada aliran
sungai pengetahuan baru. Aliran yang mengalirkan ilmu Nusantara
yang mempesona hingga bermuara pada signifikansi pementasan
wayang berdasar literasi NawaRuci di Rumah Budaya Nusantara.
Siapa dhalangnya? Ki Pandhu “Pamedhar Diripedia”!

NawaRuci bercerita tentang Bhima yang mengalami kisah diripedia.


Kisah pencarian pengetahuan diri sejati dengan masuk ke dalam diri.
Perjalanan yang mempertemukan dirinya dengan Hyang Nawaruci.
Sosok dewa mirip diri Bhima sendiri dalam wujud mungil yang di
dalamnya menampung semesta raya lambang ketidak-berhinggaan
cahaya pengetahuan. Hal yang tentu membuat Bhima terpesona
karena jauh dari sangkanya.
vi
Besar harapan, dari literasi tersebut apa yang menjadi tujuan dan
harapan kehadiran Diripedia di tengah masyarakat dapat
diwedharkan, pun demikian mengapa semangat kembali ke akar
yang diusung NSI perlu digelorakan. Pentas wayang dipilih karena
wayang tidak sekedar tuntunan apalagi hanya sekedar tontonan.
Wayang di dalamnya ada ilmu, teknik dan metodologi leluhur untuk
menjadi insan kosmosofi. Manusia yang pintar mencari rejeki dengan
menjaga alam tetap lestari. Sebagai teknik, wayang menunjukkan
cara dan jalan-jalan bagaimana menempa diri untuk menemukan
faktisitas dan fasilitas diri dalam memayu hayuning mikro dan makro
kosmos. Sebagai metodologi, wayang mengungkapkan ekologi,
kosmologi sekaligus kosmogoni Nusantara.

Begitulah kisah SadCaraka ketika mengemban tugas perutusannya.


Pemenuhan tugas yang melahirkan lakon wayang Bhima Widya-
Satya untuk pagelaran 27 Agustus 2023 oleh Ki Pandhu “Pamedhar
Diripedia.” Berdasarkan widya (pengetahuan) dan satya (setia pada
tugas kebenaran) dari Bhima ini, siapa sangka melahirkan sebuah
LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

wadah baru bernama “LeburTara” sebagai Pelestari Budaya Luhur


Nusantara. Sebuah wadah supaya widya dan satya terus ditutur-
tinularkan di Pedukuhan Klampis Ireng melalui penerbitan pustaka.
Pada akhirnya, tetaplah hidup gelora asa, semoga semua cipta dan
cita yang baik datang dari penjuru nawadewata.

Saniscara Cemengan, 17 Juni 2023


SadCaraka

vii
LEBURTARA
Pelestari Budaya Luhur Nusantara

Leburtara menjadi nama untuk Pelestari


Budaya Luhur Nusantara. Nama yang
awalnya diusulkan oleh salah satu SadCaraka
NSI (Ngobrol Santai Indonesia), R.A. Bagus
Sugiharto, S.Si. Nama yang kemudian
mendapat apresiasi dan persetujuan semua
personil SadCaraka lainnya: Wira-Pandhu-
viii Santo-Widya-Satya.

Kelahiran Leburtara tidak terlepas dari tugas


lanjutan dari SadCaraka NSI ketika rencana
pentas wayang dengan lakon “Bhima Widya
Satya” pada malem Minggu Kliwon, 26-27
Agustus 2023 disepakati. Itulah momen
SadCaraka bertindak atas nama NSI melakukan komunikasi dengan pihak-
pihak yang berkehendak baik, hingga diperlukanlah wadah kerjasama untuk
melestarikan budaya luhur Nusantara. Jadilah Leburtara: Pelestari Budaya
Luhur Nusantara mengemuka.

Sejujurnya tidak terbayangkan sebelumnya, kalau terhadap rencana pentas


wayang tersebut mendapatkan antusiasme dukungan dari berbagai pihak.
Seolah semua sudah diatur sesuai kehendak semesta loka ini. Bahwa swara
gamelan dengan pentas wayang yang merefleksikan keagungan leluhur

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

Nusantara mesti dipersembahkan untuk mengisi akasa Nusantara. Ruang yang


telah sejauh ini menerima aneka kebisingan swara budaya dan bahasa dari
luar Nusantara. Sudah semestinya swara gamelan yang mengiringi pentas
keagungan leluhur mendapatkan tempat yang terhormat di rumahnya.

Untuk mengartikulasikan santiswara Nusantara sedemikian, tentu saja


membutuhkan kesadaran para putra-putri Ibu Pertiwi. Kesadaran untuk berani
kembali ke akar budayanya. Dari keberakaran inilah sari-sari kehidupan
dapat menghidupi pepohonan Nusantara. Pepohonan yang membutuhkan
habitat sesuai ekologi, kosmologi dan kosmogoni Nusantara. Kesadaran
demikian pada gilirannya akan mengembalikan tahta ekosufi bagi penghuni
bhumi. Itulah kesadaran yang melahirkan kecerdasan manusia bumi dalam
mencari rejeki dengan menjaga alam tetap lestari.

ix
Merefleksikan kelahiran Leburtara seolah melukiskan perjalanan diri
menemukan istadewata Nusantara. Itulah Sang Leburtara yang membawa
ingatan pada sosok Sang Pe-Lebur –Sang Pendaur Ulang semesta dalam sosok
Siwa atau yang dikenal di Nusantara sebagai Bathara Guru– dan Dewi Tara –
Sang Ibu Pencipta, Sang Ibu Bhumi, Sang Dewi Kesuburan.

Jadilah Leburtara menjelma sebagai laku bagi jiwa untuk menemukan sang
istadewata Nusantara. Leburtara juga menjadi kemampuan metodologis untuk
meleburkan semua kekuatan menjadi energi kesadaran baru bagi Nusantara
Jaya. Dalam rangka inilah Leburtara pun menyambut harapan Romo KRT
Manu J. Widyaseputra untuk Ngobrol Santai Indonesia supaya menjadi
Pedukuhan Klampis Ireng. Sebuah pedukuhan tempat para Panakawan –
Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong– sebagai sang Widusaka membimbing
para ksatria, pangeran dan calon raja. Mereka adalah sosok brahmana yang
menguasai metode hasya rasa dalam menggelar ilmu dan pengetahuan.

Menyambut hal di atas, Leburtara pun siap merentang dengan gerak literasi
menyajikan Pustaka Klampis Ireng sebagai yajna bagi kejayaan Nusantara.

Padhepokan Klampis Ireng, 19 Juni 2023

SadCaraka

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

DAFTAR ISI
Pustaka Klampis Ireng ....................................................................................................... ii
Sad Caraka ......................................................................................................................... v
LeburTara .......................................................................................................................... viii
Daftar Isi ............................................................................................................................. xi
Menjadi Srikandi Nusantara ........................................................................................... 1
Dari Sikandi Menjadi Srikandi ........................................................................................ 5

xi
xii

LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

MENJADI SRIKANDI
NUSANTARA
Tidak semua perempuan bernama Srikandi. Srikandi itu paham jati
diri. Ketika ditahbiskan sebagai jatidiri perempuan nusantara, mesti
paham dulu dengan ekologi, kosmologi hingga kosmogoni nusantara
ini. Siapakah sejatinya Srikandi?

Naskah Rama Manu berjudul “Śrikaṇḍī Mahîrakaca menurut


Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca dalam Tradisi Wayang
Yogyakarta” dapat menjadi rujukan berharga, manakala berbicara
perihal Srikandi ini. Baik itu sebagai figur maupun sebagai metafor.

Srikandi sebagai figur merupakan wujud komunikatif antropomorfik.


Melalui komunikasi figuratif ini, sosok Srikandi bisa memasuki alam
manusiawi. Sebagai metafor, Srikandi mengungkapkan ke-diri-an
yang lebih luas, mengatasi, hingga tak terbelenggu lagi oleh
persepsi figur. Di sinilah dalam batasan tertentu, anugerah Dewa
Hermes dapat dipakai untuk memberi tambahan keterangan.
1
Srikandhi menurut “Lampahan
Tumurunipun Taman
Maerakaca dalam Tradisi
Wayang Yogyakarta”
adalah avatara dari
Durganetri, sang mata Dewi
Durga. Figur ilahi yang masih
memiliki misi di bhumi untuk
diselesaikan. Keterangan ini
sekaligus membawa pada
eksistensi kosmogoni
Nusantara tentang entitas
luhur yang partisipatif atas
kelangsungan tata kehidupan
di muka bhumi ini. Dengan kata lain, sosok Srikandi yang lahir dan
hadir dalam pentas wayang tidak lain merupakan kehadiran leluhur
yang perlu mendapatkan respon kita seturut dinamika rasa. Dengan
melewati tataran dinamik itu, kita diharapkan mendapatkan
anugerah santa rasa pada akhir gelaran lampahan. Santa rasa ini
pula yang menjadi payung agung ketika atman berjalan menuju
brahman.

Dengan melihat Srikandi dalam konteks pementasan wayang, figur


Srikandhi pun menyampaikan pesan-pesan simboliknya. Apalagi
dengan menyadari ekologi dan kosmologi yang melahirkan pentas
wayang. Menurut Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca dalam
Tradisi Wayang Yogyakarta, figur Srikandhi memiliki rambut
panjang yang terurai. Dari rambut yang sederhana ini, sejatinya
ingin menyingkap banyak hal. Selain sebagai jatidiri, rambut
panjang itu melambangkan pusaka sekaligus pustaka Nusantara.

Rambut panjang Srikandi sebagai jatidiri tidak terlepas dari


keberadaan Taman Maerakaca. Romo Manu menulis,”Mengenai

2 LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

identifikasi Maerakaca
(Skt. Mahirakaca), sejumlah
teks Sansekerta dengan
genre-genrenya masing-
masing menjelaskan bahwa
secara etimologis
mahīrakaca berasal dari
kompositum Sansekerta,
yang terdiri atas tiga kata,
yakni mahī, ‘bumi’, irā (iḍā),
‘Devī Pemujaan’, dan kaca,
‘rambut’ (Monier-Williams
1976; Macdonell 1954:
45-46, 61, 222; cf.
Sørensen 1963: 659), sehingga kompositum tatpuruṣaḥ itu berarti,
‘rambut dari Devī Bhūmi yang menjadi pusat pemujaan’.”

Artinya jatidiri Srikandi tidak terlepas dari identifikasi Maerakaca


ini. Rambut panjang Srikandi yang terurai tak ditutupi oleh kerudung,
ternyata menyimpan energi sakral. Rambut adalah mahkota kesucian
yang pantas dipuja dan bukan untuk ditutupi. Dari kajian Romo
Manu, tampak bahwa kaca (rambut) mempunyai kaitan yang sangat
erat dengan kekuatan rajawi dan kosmis dan merupakan sakti,
‘Energy Tertinggi’ (Assayag 1992: 364-365). Berikutnya, melalui
pemikiran Tarachand, Romo Manu menunjukkan bahwa kaca
merupakan salah satu jenis kurban yang dipersembahkan kepada
Devī (Tarachand 1991: 90) oleh para bhaktā-nya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa mahirakaca, yang dalam Lampahan
Tumturunipun Taman Maerakaca, merupakan kosmos yang berkaitan
erat dengan masalah kerajawian dan Energi Tertinggi (śakti). Dari
sinilah rambut panjang Srikandi sebagai pusaka menemukan
penjelasannya.

Bagaimana dengan Srikandi yang berambut panjang terurai


sebagai pustaka? Tradisi vīracarita dan Tantris sebagaimana
diterangkan Romo Manu menjelaskan hal ini. Dalam tradisi tersebut
3
menunjukkan “bahwa Devī Bhūmi yang menjadi pusat pemujaan
adalah Durgā sebagai Ibu, dan Devī, pada tataran yang paling
tinggi dan cemerlang (Kinsley 1988: 55-64). Masih menurut Kinsey
sebagaimana diterangkan oleh Romo Manu, Sang Devi dengan
rambut panjangnya itu sejatinya “memantulkan keagungan,
kemasyhuran, dan keharuman, karena kehidupan sangat tergantung
pada, dan ditopang oleh Durgā yang menjadi kekuatan (śakti) Ilahi
yang berkuasa di lingkungan tertentu, dan menyambut setiap sumber
air hidup sebagai mu’jizat; hampir setiap desa, kota atau pemukiman
cenderung untuk memuja sumbernya atau sungainya.” Begitulah figur
Srikandi dengan metaforanya mesti dibaca bagaikan pustaka suci.
Dengan bacaan demikian, kosmologi dan kosmogoni Nusantara ini
pun dapat dipahami secara tepat guna.

Rambut yang terurai panjang, tanpa ditutup-tutupi, memiliki daya


untuk mengangkat dan menghidupkan kesakralan bhumi. Hal mana
akan tampak pada musim tanam, ketika perempuan-perempuan
sakti, para Srikandi Nusantara yang berambut panjang terurai itu
mengerjakan ritual tanam padi. Rambut suci itu menyentuh tanah dan
memberkatinya. Jadilah, “Bhūmi suci dengan sendirinya menjadi
hierofani, modalitas kesucian, dan revelasi terhadap sebuah
kesakralan kosmis.”

Ah, andai kata para perempuan Nusantara sadar akan jatidirinya.


Sadar bahwa dirinya adalah Srikandi, tentu akan mengerti betul
mengapa dilahirkan di bhumi Nusantara yang memiliki ekologi,
kosmologi dan kosmogoni yang mengagumkan. |

4 LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

DARI SIKANDI MENJADI


SRIKANDI
“Srikandi itu nama yang
sudah ada di Jawa. Semula
tanpa ‘r’, Sikandhi…”,
demikian wedharan Romo
Manu pada suatu malam.
Nama Sikandi berasal dari
kata ‘sika’ yang berarti
jambul. Rambut yang
menumpuk di depan. Jambul
ini adalah perwujudan api
Shiwa. Disebut juga Agni
Rudra atau Kala Agni.
Artinya, Sikandi sendiri
sejatinya adalah Shiwa
ketika turun ke bhumi untuk
memelihara keadaan bhumi.
Maka membentuk api dalam
rangka membersihkan alam
semesta. Dalam teks
Mahabharata ditemukanlah
nama itu. Teks Mahabharata
yang berbahasa
Sansekertas sendiri terdiri
dari 18 parwa.
5
Dari 18 parwa tersebut, ada dua parwa yang berkisah tentang
Sikandi. Kedua parwa tersebut adalah Adiparwa dan
Udyogaparwa.

Dalam bahasa Sansekerta, Sikandi itu laki-laki. Menarik bahwa


Arjuna diminta memperistri laki-laki juga. Hal ini tidak bisa secara
semena-mena ditafsir menurut kacamata sekarang di Indonesia.
Sebuah kacamata yang hanya melihat pernikahan hanya bermuara
pada masalah seksual belaka.

Apa yang dilakukan Arjuna dengan menikahi Sikandi yang laki-laki


itu sejatinya bersifat ritual. Arjuna adalah representasi
kemaharajaan. Dia adalah
raja yang harus melindungi
semua makhluk. Dia adalah
Sang Bhumipati sekaligus
Sang Prajapati. Arjuna
sebagai Sang Bhumipati
artinya menjadi suami
bhumi. Arjuna sebagai
Sang Prajapati artinya ia
adalah istri rakyat banyak.
Baik bhumi maupun rakyat
berada di bawah
perlindungan Arjuna. Maka, hewan hermaprodit pun termasuk
berada dalam perlindungannya. Itulah pentingnya memahami
konteks ritual terhadap pernikahan Arjuna dengan Sikandi yang laki-
laki ini. Di sini pula pentingnya
memahami segi ekologi dan budaya Nusantara. Ada sifat ilahi
dalam ritual. Arjuna memang beristrikan laki-laki, itu betul. Maka
tidak bisa memandang pernikahan hanya sebatas masalah seksual.

Tentang Srikandi di Jawa, tidak pernah diketahui secara pasti


tentang sumber-sumbernya. Sekalipun kisah Srikandi ini bertebaran

6 LeburTara
Seri Pustaka Klampis Ireng

di dunia maya, penulisnya sebenarnya tidak pernah mengetahui


sumber primer.

Pada era Jawa Kuna, Srikandi masih bernama Sikandi. Menurut Seni
Pedhalangan Surakarta, Srikandi itu seorang putri. Ia membawa
panah karena berguru pada Arjuna. Keberadaan Srikandi sebagai
prajurit wanita ini untuk menjawab kutukan Dewi Amba terhadap
Bhisma. Senapati Korawa ini pada saat perang Bharatayudha akan
meninggalkan dunia setelah berjumpa dengan prajurit putri di medan
Kurusetra. Itulah saat Srikandi menjadi panglima perang Pandhawa
didampingi Arjuna. Sayangnya, di Surakarta ini, tidak pernah
dijumpai sumber teks Mahabharata yang berbahasa Jawa Kuna.

Berbeda dengan pedhalangan Surakarta, Srikandi menurut tradisi


Yogyakarta merupakan titisan laki-laki yakni Durganetri (kakak Dewi
Durga yang dikenal juga sebagai mata Dewi Durga). Tidak
mengherankan apabila Srikandi selalu pakai celana.

Seri Pustaka Klampis Ireng ini didukung penuh oleh:

Anda mungkin juga menyukai