Bismillahirrahmanirrahim
Muhammadar Rasulullah
Yang saya hormati para Kyai dan Ulama, Para pejabat pemerintah, pimpinan ormas
Islam, seluruh jajaran Pengurus Nahdlatul Ulama, para tamu undangan, para santri
dan seluruh peserta upacara yang saya muliakan.
Marilah kita bersama-sama memanjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa karena karunianya kita dapat menghadiri upacara Hari Santri
Nasional 22 Oktober 2016 dalam keadaan sehat wal „afiat. Sholawat dan salam
marilah kita haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, semoga beliau beserta
keluarga dan para pengikutnya senantiasa dirahmati Allah SWT.
Dicetuskannya Resolusi Jihad 22 Oktober yang oleh Hadrotusy Syekh KH. Hasyim
Asy‟ari, pendiri Nahdlatul Ulama, telah membakar semangat patriotisme dan
nasionalisme, menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak
bersama, bahu membahu berjuang melawan pasukan kolonial sampai titik darah
penghabisan. Sebuah perjuangan panjang dan sangat heroik sampai puncaknya
pada 10 Nopember 1945 yang kita kenal sebagai Hari Pahlawan.
AMANAT
KETUA UMUM PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
PADA PERINGATAN HARI SANTRI TANGGAL 22 OKTOBER 2019
Hari ini tahun keempat Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat
Indonesia memperingati Hari Santri. Setelah sebelumnya peran kaum santri diakui
negara melalui Kepres No. 22 Tahun 2015 tentang Penetapan Tanggal 22 Oktober
sebagai HARI SANTRI, tahun ini kaum santri kembali mendapat penguatan negara
melalui pengesahaan UU Pesantren. Diharapkan melalui UU ini, santri dan
pendidikan pesantren dapat meningkatkan peran dan kontribusinya dalam
pembangunan bangsa dan negara melalui fungsi pendidikan, dakwah, dan
pemberdayaan masyarakat.
Di tengah revolusi gelombang keempat (4.0), santri harus kreatif, inovatif, dan
adaptif terhadap nilai-nilai baru yang baik sekaligus teguh menjaga tradisi dan nilai-
nilai lama yang baik. Santri tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai Muslim yang
berakhlakul karimah, yang hormat kepada kiai dan menjanjung tinggi ajaran para
leluhur, terutama metode dakwah dan pemberdayaan Walisongo. Santri disatukan
dalam asâsiyât (dasar dan prinsip perjuangan), khalqiyat (jati diri), dan ghâyat
(tujuan).
Jati diri santri adalah moralitas dan akhlak pesantren dengan kiai sebagai simbol
keKomandanan spiritual (qiyâdah rūhâniyah). Karena itu, meskipun santri telah
melanglang buana, menempuh pendidikan hingga ke mancanegara, dia tidak boleh
melupakan jati dirinya sebagai santri yang hormat dan patuh pada kiai. Tidak ada
kosakata bekas kiai atau bekas santri dalam khazanah pesantren. Santri melekat
sebagai stempel seumur hidup, membingkai moral dan akhlak pesantren. Di hadapan
kiai, santri harus menanggalkan gelar dan titelnya, pangkat dan jabatannya, siap
berbaris di belakang keKomandanan kiai.
Tujuan pengabdian santri adalah meninggikan kalimat Allah yang paling luhur (li i’lâi
kalimâtillâh allatî hiya al-ulyâ) yaitu tegaknya agama Islam rahmatan lil alamin. Islam
yang harus diperjuangkan bukan sekadar akidah dan syariah, tetapi ilmu dan
peradaban (tsaqâfah wal-hadlârah), budaya dan kemajuan (taqaddum wat
tamaddun). Islam dalam ethos santri adalah keterbukaan, kecendekiaan, toleransi,
kejujuran, dan kesederhanaan. Semangat inilah yang diwariskan oleh salafus shâlih,
yang telah mencontohkan cara bela agama yang benar. Islam pernah mencapai
zaman keemasan pada abad ke-7 sampai 13 M dengan ilmu dan peradaban. Para
filsuf dan ulama seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M), Al-Fazari (w. 796/806 M), Al-
Farghani (w. 870 M), Al-Kindi (801-873 M), Al-Khawarizmi (780-850 M), Al-Farabi
(874-950 M), Al-Mas’udi (896-956 M), Ibn Miskawaih (932-1030 M), Ibn Sina (980-
1037 M), Al-Razi (1149-1209 M), Al-Haitsami (w. 1039 M), Al-Ghazali (1058-1111 M),
dan Ibn Rushd (1126-1198 M) telah berjasa kepada dunia dengan sumbangan
mereka yang tiada tara bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Manfaatnya lintas
zaman, melampaui sekat agama dan bangsa. Dunia berterima kasih kepada Islam
karena ilmu pengetahuan. Itulah cara bela Islam yang benar.
Islam tidak boleh dibela dengan pekik takbir di jalan-jalan, dengan kerumunan massa
yang mengibar-ngibarkan bendera, dengan caci maki dan sumpah serapah. Islam
harus dibela dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Itulah cara bela Islam yang
benar. Benarlah peringatan Imam Ghazali dalam Kitab Tahâfutul Falâsifah:
“Dan kecelakaan agama dari para pembela yang tidak tahu caranya itu lebih besar
daripada kecelakaan agama dari para pencela yang tahu caranya.”
Santri mewarisi legacy yang ditinggalkan oleh para ulama di abad keemasan Islam.
Karena itu, kebangkitan Islam akan sangat ditentukan oleh kiprah dan peranan kaum
santri.