Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

“PEB (PRE EKLAMSIA BERAT)”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Maternitas
di Ruang Nifas RSU Mitra Delima

Disusun Oleh :
Yanis Sofi Handini
NIM. 1930055

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN
MALANG
2019

HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN
“PEB (Pre Eklamsia Berat)”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Maternitas
di Ruang Nifas RSU Mitra Delima

Oleh :
Yanis Sofi Handini
NIM. 1930055

Menyetujui,

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

(……………....……………..) (……………………..………..)

ACUTE LUNG OEDEMA


(ALO)

1. DEFINISI
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Akumulasi Cairan Di Paru Yang Terjadi
Secara Mendadak. (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam, 2006).
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terjadinya Penumpukan Cairan Secara
Masif Di Rongga Alveoli Yang Menyebabkan Pasien Berada Dalam Kedaruratan
Respirasi Dan Ancaman Gagal Napas.
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di
paru-paru. cairan ini terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak,
sehingga sulit untuk bernapas. Dalam kebanyakan kasus, masalah jantung
menyebabkan edema paru. Tapi cairan dapat menumpuk karena alasan lain,
termasuk pneumonia, paparan terhadap racun tertentu dan obat-obatan, dan
olahraga atau hidup pada ketinggian tinggi.
Pulmonary edema adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-
paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru
ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini
adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon
dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli
normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran
udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini
kehilangan integritasnya.
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru
yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular
yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran
kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi
cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011).

2. MEKANISME
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
1. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstitial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam kedaan
normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke
ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat
diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun dan Sally,
2009).

Q(iv-int) = Kf [(Piv - Pint) – df (IIiv – IIint)]


Keterangan:
Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial
Piv = Tekanan hidrostatik intravaskular
Pint = Tekanan hidrostatik interstitial
IIiv = Tekanan osmotik koloid intravaskular
IIint = Tekanan osmotik koloid interstitial
df = Kefisien refleksi protein
Kf = Kondukstan hidraulik

2. Sistem limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari
pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstitial
peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstitium
alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika
kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari
saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema.
Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas
sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe
bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi
peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi
dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah
yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai
konsekuensi terjadinya edema interstitial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh
darah akan terkompresi (Harun dan Sally, 2009).
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama
melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan
selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran
kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada
keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel
alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki
ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang
kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein
plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan
untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Maria,
2010).
3. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau
sistem kardiovaskuler.
1) Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan
darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung
yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami
gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa.
2) Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut
beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat
disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan
alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi.
Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak
mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung
memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak
mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke
paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-
paru (flooding).
3) Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis)
atau tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini
menyebabkan darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
4) Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada
otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.

b. Edema paru non kardiogenik


Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi
paru itu sendiri. Pada non-kardiogenik, alo dapat disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain:
1) Infeksi pada paru
2) Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
3) Paparan toxic
4) Reaksi alergi
5) Acute respiratory distress syndrome (ards)
6) Neurogenik

4. FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor risiko untuk pulmonary edema pada dasarnya adalah penyebab-
penyebab yang mendasari kondisi. Tidak ada faktor risiko spesifik apa saja untuk
pulmonary edema yang lain daripada faktor-faktor risiko untuk kondisi-kondisi
kausatif (yang menyebabkan).
a. Edema paru-jantung
Edema paru jantung – juga dikenal sebagai gagal jantung kongestif –
terjadi ketika ventrikel kiri berpenyakit atau bekerja terlalu keras, sehingga tidak
mampu memompa cukup darah yang diterima dari arah paru-paru. Akibatnya,
terjadi peningkatan tekanan di atrium kiri dan kemudian menyebar ke pembuluh
darah serta kapiler paru-paru. Hal ini menyebabkan cairan harus didorong
melalui dinding kapiler ke dalam kantung udara.
Gagal jantung kongestif juga bisa terjadi bisa ventrikel kanan tidak
mampu mengatasi peningkatan tekanan di arteri paru, yang biasanya dihasilkan
dari gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, atau tekanan darah tinggi di arteri
paru (hipertensi pulmonal). Kondisi medis yang dapat menyebabkan ventrikel
kiri melemah dan mengakibatkan gagal jantung diantaranya:
 Penyakit arteri koroner. Seiring waktu, pembuluh darah yang memasok
darah ke jantung anda bisa menyempit akibat deposito lemak (plak).
Serangan jantung terjadi ketika gumpalan darah terbentuk di salah satu
arteri yang menyempit, hingga menghalangi aliran darah dan merusak
bagian otot jantung anda yang disuplai oleh arteri tersebut. Hasilnya
adalah otot jantung yang rusak dan tidak dapat lagi memompa darah
sebagaimana mestinya.
Meskipun bagian lain dari jantung anda akan mencoba untuk
mengkompensasi kondisi ini, bagian tersebut tidak akan mampu
mengatasinya secara efektif ataupun menjadi lemah karena tambahan
beban kerja. Ketika tindakan pemompaan jantung anda melemah, darah
kemudian mengalir ke arah paru-paru, memaksa cairan dalam darah
untuk melewati dinding kapiler ke dalam kantung udara.
 Kardiomiopati. Ketika otot jantung anda rusak karena masalah aliran
darah lainnya, kondisi ini disebut kardiomiopati. Karena kardiomiopati
membuat ventrikel kiri menjadi lemah –yakni pompa utama jantung
anda- jantung mungkin tidak mampu merespon kondisi yang
mengharuskan ia bekerja lebih keras, seperti peningkatan tekanan
darah, detak jantung lebih cepat, terlalu banyak garam dll – dapat
menyebabkan retensi air atau infeksi. Ketika ventrikel kiri tidak dapat
memenuhi tuntutan yang ada, maka cairan akan kembali ke paru-paru
anda.
 Masalah katup jantung. Pada penyakit katup mitral atau katup aorta,
kondisi katup yang mengatur aliran darah di sisi kiri jantung anda tidak
dapat membuka cukup lebar (stenosis) atau tidak dapat menutup
sepenuhnya (insufisiensi). Hal ini memungkinkan darah untuk mengalir
mundur melalui katup. Ketika katup menyempit, darah tidak dapat
mengalir dengan bebas ke dalam jantung dan timbul tekanan pada
ventrikel kiri, sehingga menyebabkan ventrikel kiri bekerja lebih keras
dengan setiap kontraksi. Ventrikel kiri juga melakukan pelebaran untuk
mengalirkan darah lebih banyak, tapi hal ini menyebabkan pemompaan
yang dilakukan ventrikel kiri menjadi tidak efisien. Karena ventrikel kiri
bekerja lebih sulit, maka akhirnya ia menebal/mengental, sehingga
memberi tekanan lebih besar pada arteri koroner, yang kemudian
melemahkan otot ventrikel kiri.
Peningkatan tekanan ini meluas ke atrium kiri dan kemudian ke
pembuluh darah paru, menyebabkan cairan menumpuk di paru-paru
anda. Di sisi lain, jika katup mitral mengalami kebocoran, sebagian darah
kembali ke arah paru-paru setiap kali jantung anda memompanya. Jika
kebocoran ini terjadi tiba-tiba, anda dapat mengalami edema paru cukup
parah.
 Tekanan darah tinggi (hipertensi). Tekanan darah tinggi yang tidak
diobati atau dikontrol menyebabkan penebalan otot pada ventrikel kiri,
dan memperburuk penyakit arteri koroner.
Edema paru non cardiac
Tidak semua edema paru dihasilkan dari penyakit jantung. Cairan juga
dapat bocor dari kapiler dalam kantung udara paru-paru karena kapiler
sendiri memiliki banyak pori sehingga memungkinkan terjadi kebocoran
– bahkan tapa disertai tekananan balik dari jantung. Kondisi ini dikenal
dengan edema paru non cardiac karena jantung anda bukanlah
penyebab masalah edema paru. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan edema paru non cardiac adalah:
 Infeksi paru-paru. Bila edema paru dihasilkan dari infeksi paru-paru,
seperti pneumonia, maka edema hanya terjadi di bagian paru-paru anda
yang mengalami pembengkakan.
 Terkena racun jenis tertentu. Termasuk ketika anda menghirup udara
beracun – seperti klorin atau ammonia – atau rancun yang beredar
dalam tubuh anda sendiri, misalnya ketika anda menghirup beberapa
kandungan isi perut anda ketika anda muntah.
 Penyakit ginjal. Bila ginjal tidak dapat mengeluarkan “sampah” secara
efektif, maka cairan berlebihan terhimpun di ginjal, hal ini menimbulkan
edema paru.
 Inhalasi asap. Asap dari api mengandung bahan kimia yang merusak
membran antara kantung udara dan kapiler, sehingga cairan dapat
memasuki paru-paru anda.
 Reaksi obat. Banyak jenis obat –mulai dari obat-obatan ilegal seperti
heroin dan kokain hingga aspirin dan obat kemoterapi – diketahui dapat
menimbulkan edema paru non cardiac.
 Sindrom kesulitan pernapasan akut (ARDS). Gangguan serius ini terjadi
ketika paru-paru anda tiba-tiba dipenuhi cairan dan peradangan sel
darah putih. Banyak kondisi yang dapat menimbulkan ARDS, termasuk
luka berat (trauma), infeksi sistemik (sepsis), radang paru-paru, dan
shock.
 Ketinggian tertentu. Pendaki gunung dan orang-orang yang tinggal atau
melakukan perjalanan ke lokasi ketinggian tertentu memiliki risiko
terkena edema paru ketinggian (HAPE). Kondisi ini –yang umumnya
terjadi pada ketinggian di atas 8000 kaki (2400 meter)- juga dapat
mempengaruhi pejalan kaki atau atlit ski yang mulai berolahraga pada
ketinggian ekstrim tanpa membiasakan diri terlebih dahulu. Akan tetapi,
bahkan orang-orang yang telah terbiasa mendaki atau berolahraga ski di
ketinggian tertentu tetap saja tidak kebal terhadap HAPE.
Meskipun penyebab HAPE tidak sepenuhnya dipahami, nampaknya
HAPE timbul sebagai akibat dari peningkatan tekanan yang dihasilkan
dari penyempitan kapiler paru-paru. Tanpa perawatan yang tepat, HAPE
juga bisa berakibat fatal.
 Tenggelam. Menghisap air dapat menyebabkan edema paru non cardiac
yang dapat disembuhkan dengan pertolongan yang tepat.

5. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan
non-kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat
berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri
apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya
Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula
pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik
a. Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan
pada organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung
memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang
buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung
yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan
penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan
jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi
dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari
paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan cairan dari pembuluh-
pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar.
b. Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan
oleh hal berikut:
1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang
bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
2) Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang
parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru,
merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.
3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh
dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah,
berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal
yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan
cairan tubuh.
4) High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan
yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
5) Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-
seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada
akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
6) Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika
paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan
sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang
cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi
yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
7) Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada
pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi
yang kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum
tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema.
8) Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary
edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah
berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi
atau transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi
virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.

Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak Dan Nonkardiak


Edema Paru Kardiak Edema Paru Non Kardiak
Riwayat Penyakit : Penyakit Jantung Akut Penyakit Dasar di luar
Jantung
Pemeriksaan Klinik :
Akral dingin Akral hangat
S3 gallop/Kardiomegali Pulsasi nadi meningkat
Distensi vena jugularis Tidak terdengar gallop
Ronki basah Tidak ada distensi vena jugularis
Ronki kering
Pemeriksaan Penunjang :
EKG : Iskhemia/infark EKG : biasanya normal
Ro : distribusi edema perifer Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung mungkin meningkat Enzim jantung biasanya normal
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg
Intrapulmonary shunting : meningkat ringan Intrapulmonary shunting : sangat meningkat
Cairan edema/protein serum < 0,5 Cairan edema/serum protein > 0,7

Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik
(dikutip dari Lorraine et al, 2005)
6. PATOFISIOLOGI
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan
filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada
tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan
efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema
yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan
tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan
tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 – 25 mmHg)
menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular.
Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan
menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan
menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut
(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010) :
· Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya
pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
· Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi
pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan
ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin
menurunkan fungsi ventrikel kiri.
· Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk
fungsi jantung.
Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada
transporaktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama
reabsorbsi natrium dan klorida adalah ion channels epitel yang terdapat pada
membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal.
Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-
ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif
mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang
ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).
Gambar Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al,
2005)

Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis
Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya
gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang
tidak normal (Maria, 2010).
Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan
dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan
tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa
perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil
akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas
(Harun dan Sally, 2009).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru
akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara
diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada
keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai
ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally,
2009).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema
interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar
dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan
mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan
petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi
untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan
peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut, dan akan
terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks
bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan
mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang
semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya
hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru.
Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea (Harun dan Sally, 2009).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema
paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia
yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi
akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan
mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara
keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal.
Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang
telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila
keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis
respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru
obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek
depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang
ketat (Harun dan Sally, 2009).
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik
maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan
protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema
paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah
lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma.
Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak
adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara
aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury
dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan
untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang
merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas
(oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan
pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam
paru-paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary
edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat
dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau
dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary
edema.

7. MANIFESTASI KLINIK
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang
secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus
dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah
lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas
yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau
kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru
dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal,
sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi
gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas
saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas
yang tertutup pada saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-
sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering
terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.

c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan
nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita
hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-
hati (Ingram and Braunwald, 1988).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang
dapat dicegah de-ngan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan
bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide
phosphodiesterase akan mengurangi edema’ paru sekunder akibat peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler; pada ma-nusia masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru,
tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya
pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru
sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup
yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa
kemiripan.
a. Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya
riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung
kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi
pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang
menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang
akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
b. Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau
tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau
sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela
interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif
intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum
yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada
pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau
lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop,
bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis
(Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
c. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi
edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah
rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim
jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan
prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema
paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan
dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-
diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien
gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal
jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas
93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai
BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004).
Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan
gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung
kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP
memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit
lainnya (AHA, 2009).
d. Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis
kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran
ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler
< 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal
dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru.
Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan
dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto
thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan
diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya
terkesan menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan
tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa
masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru,
seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al,
2005; Maria, 2010).
Tabel 1 Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik (dikutip dari Lorraine et al, 2005)
NO. Gambaran Edema Kardiogenik Edema Non
Radiologi Kardiogenik
1 Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal
2 Lebar pedikel Normal atau melebar Biasanya normal
Vaskuler
3 Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
4 Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
5 Efusi pleura Ada Biasanya tidak ada
6 Penebalan Ada Biasanya tidak ada
Peribronkial
7 Garis septal Ada Biasanya tidak ada
8 Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada

e. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel
kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga
dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
f. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia
atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi
gambaran EKG biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas,
dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam
1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa
keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-
endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding,
peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat
perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).
g. Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion pressure / PAOP)
dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk menentukan penyebab
edema paru akut. Lorraine dkk mengusulkan suatu algoritma pendekatan klinis
untuk membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7). Disamping itu,
ada sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab multipel.
Sebagai contoh, pasien syok sepsis dengan ALI, dapat mengalami kelebihan
cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan
gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena pneumonia (Lorraine et al,
2005; Maria, 2010).
Gambaran Radiologi yang ditemukan :
- Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
- Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
- Kranialisasi vaskuler
- Hilus suram (batas tidak jelas)
- Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)

Gambar hasil radiologi

Gambar 1 : Edema Intesrtitial


Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).

Gambar 2 : Kardiomegali dan edema paru


Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
Edema “ butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)
Gambar 3 : Bat’s Wing
Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai
kelainan sebelumnya, contoh : emfisema).

1. Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi


ventrikel (hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner),
dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.
2. Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari
dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide
(BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan
timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung.
Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari
beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac
pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya
menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya.
3. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan
dimajukan melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam
kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara
langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary
artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah
konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge pressure yang
kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary
edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada
intensive care unit (ICU).
10. PENATALAKSANAAN
- Posisi ½ duduk.
- Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
- Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi
CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara
adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
- Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
- Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 –
10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
- Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90
mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama
dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
- Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
- Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan
tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.
- Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
- Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
- Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan oleh perawat adalah sebagai berikut:
a. Secara seksama pantau pasien yang berisiko untuk melihat apakah ada tanda
edema pulmoner, terutama takipnea, taikardi, dan bunyi napas abnormal. Periksa
adanya edema perifer, yang juga bisa mengindikasikan bahwa cairan
terakumulasi dalam jaringan pulmoner.
b. Beri oksigen sesuai perintah dan pantau adanya efek.
c. Pantau tanda vital tiap 15 sampai 30 menit saat memberikan nitroprusside
dalam dextrose 5% dalam air melalui tetesan I.V.
Algoritma Penatalaksanaan

Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)
11. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah gagal napas. Selain itu kebanyakan
komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-
komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih
spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang
dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia)
dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke
organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak (Panji, 2008).

12. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
1. Identitas :
2. Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
3. Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-
batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun
dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar
dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal
mungkin ditemui pada klien
5. Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif :-
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat,
terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung
tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan
otot aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
6. Pemeriksaan Laboratorium :
- Hb : menurun/normal
- Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah,
kadar karbon darah meningkat/normal
- Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

Diagnosa yang mungkin muncul


1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder
terhadap pemasangan selang endotrakeal
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot
jantung
5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan terhadapprosedur medis
6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder
terhadap pemasangan alat bantu nafas
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang
endotrakeal

RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa NOC Intervensi (NIC)
1 Ketidakefektifan Respiratory status: ventilation Airway management
pola nafas Respiratory status: aiway patency Oxygen therapy
berhubungan Vital sign status Vital sign monitoring
dengan keadaan Indicator 1 2 3 4 5 1.Atur posisi semi fowler
tubuh yang Tidak ada √
2.Observasi tanda dan gejala
lemah dyspneu
sianosis
Irama nafas √
Frekuensi √ 3.Auskultasi suara napas
pernapasan tambahan
Tidak ada √
4.Berikan terapi oksigenasi
suara nafas
5.Pertahankan jalan napas
abnormal
paten
TTV dalam √
batas normal√ 6.Observasi tanda-tanda vital
7.Monitor irama dan frekuensi
pernapasan
8.Monitor suara paru
9.Monitor pola napas
abnormal
10. Observasi timbulnya
gagal nafas.
11. Kolaborasi dengan
tim medis dalam
memberikan pengobatan
2 Gangguan Respiratory status: gas exchange Airway management
pertukaran Gas Respiratory status: ventilation Respiratory monitoring
berhubungan Vital sign status Acid base management
dengan distensi Indicator 1 2 3 4 5 1. Atur posisi semi fowler
kapiler pulmonar Tidak ada √ 2. Observasi tanda dan
dyspneu gejala sianosis
Batuk efektif √
Irama nafas √ 3. Auskultasi suara napas
Frekuensi √ tambahan
pernapasan 4. Berikan terapi
Tidak ada √
oksigenasi
suara nafas
5. Pertahankan jalan napas
abnormal
TTV dalam √ paten

batas normal√ 6. Observasi tanda-tanda


vital
- BGA normal: 7. Monitor irama dan
 partial pressure of oxygen frekuensi pernapasan
(PaO2): 75-100 mm Hg 8. Monitor suara paru
 partial pressure of carbon 9. Monitor pola napas
dioxide (PaCO2): 35-45 mm Hg abnormal
 oxygen content (O2CT): 15- 10. Tentukan kebutuhan
23% suction
 oxygen saturation (SaO2): 94- 11. Observasi timbulnya

100% gagal nafas.

 bicarbonate (HCO3): 22-26 12. Kolaborasi dengan tim

mEq/liter medis dalam

 pH: 7.35-7.45 memberikan pengobatan


13. Pertahankan iv line
14. Monitor BGA
3 Resiko tinggi Immune status Infection control
infeksi Risk control Infection protection
berhubungan Indicator 1 2 3 4 5 1. Instruksikan pengunjung
dengan area Tidak ada √ untuk mencuci tangan
invasi tanda-tanda sebelum dan stelah
mikroorganisme infeksi mengunjungi pasien
Jumlah √
sekunder 2. Pertahankan teknik
leukosit dalam
terhadap aseptic saat
batas normal
pemasangan pemasangan alat
selang 3. Tingkatkan intak nutrisi
endotrakeal 4. Berikan terapi antibiotic
jika perlu
5. Monitor leukosit
6. Pertahankan iv line
7. Tingkstksn istirahat

Implementasi
Melakukan tindakan berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul baik yang actual,
maupun potensial sesuai dengan prioritas diagnosa yang sudah ditetapkan.
Evaluasi:
Menyimpulkan hasil dari pengkajian sejauh mana keberhasilan tindakan keperawatan
mencapai kriteria hasil sehingga dapat diputuskan apakah intervensi yang diberikan akan
tetap dilanjutkan, dihentikan atau diganti jika tindakan sebelumnya kurang berhasil.
TERAPI OKSIGEN

Pendahuluan
Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsure vital
dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh
sel tubuh. Secara normal elemen ini iperoleh dengan cara menghirup udara
ruangan dalam setiap kali bernafas.
Penyampaian O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi system
respirasi,
kardiovaskuler dan keadaan hematologis. Adanya kekurangan O2 ditandai
dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan
kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan. Klien dalam situasi
demikian mengharapkan kompetensi perawat dalaam mengenal keadaan
hipoksemidengan segera untuk mengatasi masalah.
Pemberian terapi O2 dalam asuhan keperawatan, memerlukan dasar
pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya O2 dari
atmosfir hingga sampai ke tingkat sel melalui alveoli paru dalam proses respirasi.
Berdasarkan hal tersebut maka perawat harus memahami indikasi pemberian
O2, metode pemberian O2 dan bahaya-bahaya pemberian O2.

Proses Respirasi
Proses respirasi merupakan proses pertukaran gas yang masuk dan
keluar melaluikerjasama dengan sistem kardiovaskuler dan kondisi hematologis.
Oksigen di atmosfir mengandung konsentrasi sebesar 20,9 % akan masuk ke
alveoli melalui mekanisme ventilasi kemudian terjadi proses pertukaran gas yang
disebut proses difusi. Difusi adalah suatu perpindahan/ peralihan O2 dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah dimana konsentrasi O2 yang tinggi di
alveoli akan beralih ke kapiler paru dan selanjutnya didistribusikan lewat darah
dalam 2 (dua) bentuk yaitu : (1) 1,34 ml O2 terikat dengan 1 gram Hemoglobin
(Hb) dengan persentasi kejenuhan yang disebut dengan “Saturasi O2” (SaO2),
(2) 0,003 ml O2 terlarut dalam 100 ml plasma pada tekanan parsial O2 di arteri
(PaO2) 1 mmHg. Kedua bentuk pengangkutan ini disebut sebagai kandungan O2
atau “Oxygen Content” (CaO2) dengan formulasi :

CaO2 = (1,34 x Hb x SaO2) + (0,003 x PaO2)


Sedangkan banyaknya O2 yang ditransportasikan dalam darah disebut dengan
“Oxigen Delivery” (DO2) dengan rumus :

DO2 = (10 x CaO2) x CO


Dimana CO adalah “Cardiac Output” (Curah Jantung). CO ini sangat tergantung
kepada besar dan ukuran tubuh, maka indikator yang lebih tepat dan akurat
adalahdengan menggunakan parameter “Cardiac Index” (CI). Oleh karena itu
formulasi DO2 yang lebih tepat adalah :

DO2 = (10 x CaO2) x CI


Selanjutnya O2 didistribusikan ke jaringan sebagai konsumsi O2 (VO2) Nilai VO2
dapat diperoleh dengan perbedaan kandurngan O2 arteri dan vena serta CI
dengan
formulasi sebagai berikut :

VO2a = (CaO2 – CvO2) x CI


Selain faktor difusi dan pengangkutan O2 dalam darah maka faktor masuknya
O2 kedalam alveoli yang disebut sebagai ventilasi alveolar.

Ventilasi Alveolar
Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena O2 pada
tingkat
alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya ventilasi
alveolar
berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk keluar paru, laju nafas,
udara dalam jalan nafas serta keadaan metabolik.
Banyaknya udara masuk keluar paru dalam setiap kali bernafas disebut
sebagai
“Volume Tidal” (VT) yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai VT
normal
pada orang dewasa berkisar 500 – 700 ml dengan menggunakan “Wright’s
Spirometer”. Volume nafas yang berada di jalan nafas dan tidak ikut dalam
pertukaran gas disebut sebagai “Dead Space” (VD)(Ruang Rugi) dengan nilai
normal
sekitar 150 - 180 ml yang terbagi atas tiga yaitu : (1) Anatomic Dead Space, (2)
Alveolar Dead Space, (3) Physiologic Dead Space. Anatomic Dead Space yaitu
volume nafas yang berada di dalam mulut, hidung dan jalan nafas yang tidak
terlibat dalam pertukaran gas.
Alveolar Dead Space yaitu volume nafas yang telah berada di alveoli,
akan tetapi
tidak terjadi pertukaran gas yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut
tidak
ada suplai darah. Dan atau udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya
dari
pada aliran darah pada alveoli tersebut.
Ventilasi alveolar dapat diperoleh dari selisih volume Tidal dan ruang rugi,
dengan
laju nafas dalam 1 menit.

VA = (VT – VD) x RR
Sedangkan tekanan parsial O2 di alveolar (PaO2) diperoleh dari fraksi O2
inspirasi
(FiO2) yaitu 20,9 % yang ada di udara, tekanan udara, tekanan uap air, tekanan
parsial CO2 di arteri (PaCO2).

PaO2 = FiO2 (760 – 47) – (PaCO2 : 0,8)


Demikian faktor-faktor yang mempengaruhi proses respirasi dimana respirasi
tidak
saja pertukaran gas pada tingkat paru (respirasi eksternal) tetapi juga pertukaran
gas yang terjadi pada tingkat sel (respirasi internal).

Terapi Oksigen
Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam
mempertahankan
okasigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan utama pemberian O2
adalah:
(1) untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa
Gas Darah
(2) untuk menurunkan kerja nafas dan meurunkan kerja miokard.
Syarat-syarat pemberian O2 meliputi :
(1) Konsentrasi O2 udara inspirasi dapat terkontrol
(2) Tidak terjadi penumpukan CO2
(3) mempunyai tahanan jalan nafas yang rendah
(4) efisien dan ekonomis
(5) nyaman untuk pasien.
Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan “Humidification”. Hal ini
penting diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup telah mengalami
humidfikasi sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber O2 (Tabung) merupakan
udara kering yang belum terhumidifikasi, humidifikasi yang adekuat dapat
mencegah komplikasi pada pernafasan.

Indikasi Terapi Oksigen


Berdasarkan tujuan terapi pemberian O2 yang telah disebutkan, maka
adapun
indikasi utama pemberian O2 ini adalah sebagai berikut :
(1) Klien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah
(2) Klien dengan peningkatan kerja nafas,
dimana tubuh berespon terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan
laju dan dalamnya pernafasan serta adanya kerja otot-otot tambahan
pernafasan
(3) Klien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk
mengatasi gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang
adekuat.
Berdasarkan indikasi utama diatas maka terapi pemberian O2 dindikasikan
kepada klien dengan gejala : (1) sianosis, (2) hipovolemi, (3) perdarahan, (4)
anemia berat, (5) keracunan CO, (6) asidosis, (7) selama dan sesudah
pembedahan, (8) klien dengan keadaan tidak sadar.

Metode Pemberian Oksigen


Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 tehnik, Yaitu:
a. Metode Aliran darah
Tehnik system aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara
ruangan.
Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe
pernafasan
dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini
ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu bernafas
dengan
pola pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume Tidal 500 ml dengan
kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit.
Contoh system aliran rendah ini adal;ah : (1) kateter nasal, (2) kanula nasal,
(3) sungkup muka sederhana, (4) sungkup muka dengan kantong
rebreathing, (5) sungkup muka dengan kantong non rebreathing.
Keuntungan dan kerugian dari masing-masing system :
 Kateter Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara
kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.
Keuntungan:
Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara,
murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%, tehnik
memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi
distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran
dengan lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan
mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat.
 Nasal Kanula
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu
dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter
nasal.
Keuntungan:
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur,
mudah memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas makan,
bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan nyaman.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2
berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam
kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
 Simple Mask
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt
dengan konsentrasi O2 40 – 60%.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula
nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup
berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.

 Rebreathing Mask
Suatu teknik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80%
dengan aliran 8 – 12 L/mnt.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah
dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat.

 Non Rebreathing Mask


Merupakan tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai
99% dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur
dengan udara ekspirasi.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak
mengeringkan selaput lendir.
Kerugian:
Kantong O2 bisa terlipat.

b. Metode Sistem Aliran Tinggi


Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi
oleh tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat menambahkan
konsentrasi O2 yang lebih tepat dan teratur. Adapun contoh tehnik system
aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury. Prinsip pemberian O2
dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan
menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2
sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udaraluar dapat diisap dan
aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini sekitas 4
– 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat
dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan
kelembaban gas dapat dikontrl serta tidak terjadi penumpukan CO2.
Kerugian:
Kerugian system ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup muka
yang lain pada aliran rendah.

Bahaya Pemberian Terapi Oksigen


a. Kebakaran
O2 bukan zat pembakar tetapi O2 dapat memudahkan terjadinya kebakaran,
oleh karena itu klein dengan terapi pemberian O2 harus menghindari :
Merokok, membukan alat listrik dalam area sumber O2, menghindari
penggunaan listrik tanpa “Ground”.

b. Depresi Ventilasi
Pemberian O2 yang tidak dimonitor dengan konsentrasi dan aliran yang
tepat pada klien dengan retensi CO2 dapat menekan ventilasi.
c. Keracunan Oksigen
Dapat terjadi bila terapi O2 yang diberikan dengan konsentrasi tinggi dalam
waktu relatif lama. Keadaan ini dapat merusak struktur jaringan paru seperti
atelektasi dan kerusakan surfaktan. Akibatnya proses difusi di paru akan
terganggu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner &Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 2.


Jakarta: EGC.
2. Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
3. Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Simon, G. 1981. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum.
Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga.
5. Smeltzer C.S & Bare B.(2003). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical
Surgical Nursing. 10th Edition. Philadelphia: Lippincott.
6. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and
Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016.
7. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema.
N Engl J Med 2008;359:142-51.
8. Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1515-1519.
9. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.
10. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.
11. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and
Lymphatic Systems. In: McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The
Biologic Basis for Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p.
1075.
12. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute
Cardiogenic Pulmonary Edema. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences. 2007; 11: 193-205.
13. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in
the Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the
internet]. California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2015 Okt
4]. Available from www.ashpadvantage.com/website_
images/pdf/adhf_scios_06.pdf.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I
    Bab I
    Dokumen4 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Sikap Perawat Dalam Praktek
    Sikap Perawat Dalam Praktek
    Dokumen15 halaman
    Sikap Perawat Dalam Praktek
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen13 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • RKM Perina
    RKM Perina
    Dokumen5 halaman
    RKM Perina
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen23 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Aisa Titip LP
    Aisa Titip LP
    Dokumen16 halaman
    Aisa Titip LP
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • RKM Perina
    RKM Perina
    Dokumen5 halaman
    RKM Perina
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • MENGENAL GANGGUAN MENTAL ORGANIK DAN NON ORGANIK
    MENGENAL GANGGUAN MENTAL ORGANIK DAN NON ORGANIK
    Dokumen36 halaman
    MENGENAL GANGGUAN MENTAL ORGANIK DAN NON ORGANIK
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen4 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Seminar Jurnal Keperawatan Gerontik
    Seminar Jurnal Keperawatan Gerontik
    Dokumen12 halaman
    Seminar Jurnal Keperawatan Gerontik
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen23 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • ARITMIA
    ARITMIA
    Dokumen18 halaman
    ARITMIA
    nugrahita
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen15 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen33 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen16 halaman
    Bab 1
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Seksual
    Gangguan Seksual
    Dokumen16 halaman
    Gangguan Seksual
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen15 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • CAMPAK
    CAMPAK
    Dokumen6 halaman
    CAMPAK
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Seksual
    Gangguan Seksual
    Dokumen16 halaman
    Gangguan Seksual
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Anemia Edit
    Anemia Edit
    Dokumen13 halaman
    Anemia Edit
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • CAMPAK
    CAMPAK
    Dokumen6 halaman
    CAMPAK
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Cover Mater
    Cover Mater
    Dokumen37 halaman
    Cover Mater
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen13 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen23 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen13 halaman
    Bab I
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Campak
    Campak
    Dokumen12 halaman
    Campak
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Campak
    Campak
    Dokumen12 halaman
    Campak
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • KLMPK 1 Patfis
    KLMPK 1 Patfis
    Dokumen11 halaman
    KLMPK 1 Patfis
    Yanis Sofi
    Belum ada peringkat
  • Cedera Kepala Ringan
    Cedera Kepala Ringan
    Dokumen26 halaman
    Cedera Kepala Ringan
    Ely Prayunika Dewi
    80% (5)