Anda di halaman 1dari 3

Resensi Novel The School for Good and Evil

Judul Buku : The School for Good and Evil (Sekolah Kebaikan dan Kejahatan)

Penulis : Soman Chainani

Penerbit : Penerbit Buana Sastra

Tebal : 580 halaman

ISBN : 9786022497561

Tahun : Cetakan ke-VI tahun 2017

Novel ini menceritaka tentang dua orang gadis bersahabat namun memilki sifat yang sangat
berlawanan. Sophie, gadis bermabut pirang yang menunjukan sifat-sifat kebaikan, menyukai
semua hal yang rupawan dan sangat suka merawat tubuhnya. Sedangkan Agatha, gadis yang
berpenampilan seperti penyihir, suka mengenakan pakaian serba gelap dan memelihara kucing
yang senang memakan burung. Suatu ketika, Sang Guru menculik mereka berdua ke sekolah
negeri dongeng. Sekolah dimana para remaja dididik menjadi seoramg penyihir di sekolah
kejahatan, atau seorang putri di sekolah kebikan. Sophie sangat menunggu momen tersebut, ia
yakin bahwa dirinya akan diculik oleh Sang Guru dan akan dimasukkan ke dalam sekolah
kebaikan. Berbeda dengan Agatha, ia sangat takut diculik oleh Sang Guru, baginya,
kehidupannya saat ini sudah cukup membuatnya bahagia.Walaupun ia diasingkan oleh penduduk
desa, ia sudah terbiasa menjalani kehidupan bersama ibunya yang merupakan seorang penyihir.

Namun, saat Sang Guru menculik mereka, terdapat kekeliruan yang dilakukan oleh Sang Guru,
Sophie dimasukkan ke dalam sekolah kejahatan, sedangkan Agatha dimasukkan ke dalam
sekolah kebaikan. Sophie berkeyakinan bahwa Sang Guru melakukan sebuah kesalahan dengan
memasukannya ke sekolah kejahatan. Sementara itu, Agatha berkeinginan pulang ke desa
bersama Sophie, karena ia yakin bahwa ia tidak seharusnya berada di sekolah negeri dongeng itu.

Seiring berjalannya waktu, Agatha dan Sophie menyadari diri mereka yang sebenarnya. Seorang
putri harus memiliki sifat murah hati, sedangkan Sophie memilki sifat egois dan ingin
kebaikannya dilihat oleh irang lain. Semua kebaikan yang ia lakukan semata –mata agar Sang
Guru memasukannya ke sekolah kebaikan. Di sisi lain, Agatha, yang berpenampilan seperti
penyihir sangat menyayangi Sophie yang merupakan satu-satunya teman yang ia kenal. Ia ingin
pulang ke desa bersama Sophie. Hingga akhirnya mereka harus memecahkan teka-teki dari Sang
Guru.

Novel terjemahan asal Amerika ini memilki tema persahabatan antara sosok Agatha dan Sophie
yang memilki karakter yang bertolak belakang. Adapun latar dari cerita ini adalah desa
Galvadon, desa di benua Eropa, juga negeri fantasi yakni sekolah di negeri dongeng. Diceritakan
bahwa Sophie dan Agatha hidup di zaman dulu dan megalami berbagai peristiwa yang
menegangkan, sedih, dan terkadang mengerikan. Alur yang disajikan dalam novel ini adalah alur
maju. Dilihat dari penyampaian cerita, sudut pandangnya adalah sudut pandang orang ketiga.
Dalam menyampaikan cerita, penulis lebih banyak menceritakan sosok Sophie dibandingkan
Agatha, meskipun pada pertengahan hingga akhir, keduanya diceritakan secara seimbang.
Penulis mengajak para pembaca untuk mengetahui sifat asli dari kedua tokoh secara perlahan,
meskipun pada awal cerita penulis menyatakan secara tesurat bahwa Sophie adalah gadis baik,
namun dengan penggambaran prilaku Sophie saja, pembaca dapat mengetahui karakter Sophie,
sehingga pembaca tahu bahwa memang seharusnya Sophie berada di sekolah kejahatan.

Novel ini memilki keunggulan tersendiri yang dibuat oleh penulisnya. Penulis membuat
imajinasi yang membuat daya khayal pembaca berkembang dengan cerita fiksi yang di luar nalar.
TIdak hanya itu, alur yang disajikan pun tidak monoton dan membuat para pembaca menikmati
bagian dari setiap cerita. Dalam versi Bahasa Indonesia, penerjemah masih mmepertahankan
beberapa kosa kata bahasa inggris,sehingga menambah wawasan pembaca dalam hal istilah asing
sederhana. Tidak hanya itu, novel ini juga diselingi oleh kata-kata mutiara di beberapa peralihan
cerita, hal itu membuat pembaca hanyut dalam cerita yang disajikan.
Hanya saja, dalam novel versi Bahasa Indonesia, bahasa hasil terjemahan kadang tak sesuai
dengan kata-kata yang lumrah digunakan oleh orang Indonesia, sehingga pembaca harus
memahami betul apa yang ingin disampaikan penulis secara cermat, bahkan mungkin harus
dibaca secara berulang.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini sangat sesuai untuk dibaca oleh kalangan remaja.
Kisah-kisah khayal yang disajikan merangsang daya imajinasi, sehingga memicu kreativitas
pembaca. Selain itu, novel terjemahan yang dinanti-nantikan di negara asalnya ini memilki
keunikan tersendiri, yakni menggambarkan kebiasaan orang-orang desa di negara barat, sehingga
sangat sesuai bagi para pembaca yang menyukai hal-hal yang dianggap klasik. Novel ini juga
mengajarkan bhawa kita tidak boleh menilai orang dari segi penampilannya saja, karena hal
terpenting yang dimiliki oleh manusia adalah karakter yang baik.

Anda mungkin juga menyukai