Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Bayi cukup bulan yang sehat telah dipersiapkan untuk menjalani transisi nutrisi

di dalam kandungan menjadi nutrisi di luar kandungan, tanpa memerlukan pemantauan

metabolik ataupun intervensi proses menyusui yang alami. Mekanisme homeostatic

mencukupi energi yang adekuat untuk otak dan organ lainnya, bahkan jika pemberian

minum tertunda. Istilah hipoglikemia merujuk pada kadar glukosa yang rendah.

Hipoglikemia sesaat pada awal kehidupan neonates cukup bulan merupakan hal yang

wajar, sering didapatkan dan terjadi pada hamper seuruh mamalia. Hal ini akan normal

dengan sendirinya dan bukanlah sesuatu yang patologis karena kadar glukosa darah

meningkat secara spontan dalam 2-3 jam. Dalam situasi dimana kadar glukosa darah

yang rendah karena belum mendapat asupan makanan (ASI belum ada) terjadi respon

ketogenik yaitu metabolism dari asam lemak menjadi bahan keton. Otak bayi dengan

kemampuannya akan memanfaatkan badan keton untuk menghemat glukosa bagi otak

dan melindungi fungsi neurologis bayi1.

Bayi yang mendapat ASI cenderung mempunyai kadar glukosa yang rendah

dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula, tetapi tidak berkembang

menjadi hipoglikemia simptomatik. Pemberian minum awal dengan ASI yang

mengandung alanin, asam lemak rantai panjang dan laktosa, akan meningkatkan proses

1
glukoneogenesis. Bayi cukup bulan yang minum ASI mempunyai kadar glukosa yang

lebih rendah tetapi mempunyai kadar badan keton yang lebih tinggi1.

Skrining hipolikemia direkomendasikan pada bayi risiko tinggi. Pemberian ASI

merupakan terapi inisial pada bayi dengan hipoglikemia tanpa gejala. Sebaliknya

hipoglikemia dengan gejala harus diterapi dengan infuse dekstrosa parenteral yang

continue. Neonates yang memerlukan laju infuse glukosa (GIR = Glukose Infusion

Rate) > 12 mg/kg/menit harus dicari penyebabnya. Hipoglikemia berhubungan dengan

gangguan perkembangan saraf di kemuan hari sehingga skrining dan pengobatan yang

agresif direkomendasikan2.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Hipoglikemia adalah kondisi bayi kadar glukosa darah <45 mg/dL baik

yang memberikan gejala maupun tidak. Keadaan hipoglikemia dapat sangat

berbahaya terutama bila kadar glukosa <25 mg/dL. Ketika kadar glukosa darah

rendah, sel-sel dalam tubuh terutama otak, tidak menerima cukup glukosa dan

akibatnya tidak dapat menghasilkan cukup energy untuk metabolisme. Sel-sel otak

dan saraf dapat rusak dan menyebabkan palsi serebral, retardasi mental, dan lain-

lain3.

Hipoglikemia adalah penurunan kadar gula darah serum < 45 mg% dengan

atau tanpa manifestasi klinis. Pemeriksaan kadar gula darah secara rutin dilakukan

pada bayi-bayi beresiko seperti BBLR, bayi prematur, asfiksia neonatorum,

makrosomia, bayi sakit berat dan intake yang tidak terjamin4.

Definisi hipoglikemia sebelumnya lebih didasarkan pada nilai statistik

dalam populasi daripada nilai fungsionalnya, menghasilkan kadar glukosa darah

sangat rendah, yaitu berturut-turut 20 sampai 30 mg/dL untuk bayi kurang bulan

dan bayi cukup bulan. Rekomendasi terakhir didasarkan sebagian pada analisis

statistic kisaran kadar glukosa darah dan hasil perkembangan neurologis yang

buruk yang diakibatkan hipoglikemia pada bayi dengan kadar glukosa darah

bervariasi. Pada semua kelompok umur bayi, kadar glukosa darah harus

3
dipertahankan di atas 40 mg/dL. Risiko gejala sisa perkembangan neurologis akibat

hipoglikemia mungkin berhubungan dengan durasi dan keparahan kadar glukosa

darah. Semua kadar glukosa darah di bawah 40 mg/dL membutuhkan terapi. Lebih

lanjut, manifestasi yang menunjukkan perbaikan klinis setelah pemberian glukosa

saat glukosa darah melebihi 40 mg/dL, harus juga dianggap akibat hipoglikemia6.

B. ETIOLOGI

Normal kadar gula darah dipertahankan dengan glikogenolisis dan

glukoneogenesis dari berbagai sumber energy yang nonkarbohidrat. Hipoglikemia

selalu timbul pada bayi dengan gangguan glukoneogenesis yang disebabkan oleh

produksi insulin yang meningkat, perubahan produksi hormon ataupun cadangan

yang tidak adekuat. Ada beberapa penyebab hipoglikemia3:

1. Peningkatan Pemakaian Glukosa (Hiperinsulinemia)

a. Neonatus dari ibu penderita diabetes.

b. Besar Masa Kehamilan (BMK).

c. Neonates yang menderita eritroblastosis fetalis (isoimunisasi Rh-berat)

d. Neonatus dengan sindrom Beckwith-Wiedemann (makrosomia,

mikrocephali ringan, omfalokel, makroglosia, hipoglikemia, dan

viseromegali).

e. Neonatus dengan nesidioblastosis atau adenoma pankreatik.

f. Malposisi kateter arteri umbilikalis.

4
g. Ibu yang mendapat terapi tokolitik seperti terbutalin (β-simpatomimetik),

klorporamid; thiazid (diuretik).

h. Setelah (pasca) transfuse tukar

2. Penurunan produksi/simpanan glukosa

a. Prematur

b. IUGR (Intrauterine Growth Restriction)

c. Asupan kalori yang tidak adekuat

d. Penundaan pemberian asupan (susu/minum)

3. Peningkatan pemakaian glukosa dan atau penurunan produksi glukosa

a. Stress Perinatal

- Sepsis

- Syok

- Asfiksia

- Hipotermi

- Respiratory distress

- Pasca resusitasi

b. Transfusi tukar

c. Defek metabolism karbohidrat

- Penyakit penyimpanan glikogen

- Intoleransi fruktosa

- Galaktosemia

d. Defisiensi endokrin

5
- Insufisiensi adrenal

- Defisiensi hipotalamus

- Hipotuitarisme congenital

- Defisiensi glucagon

- Defisiensi epinefrin

e. Defek metabolism asam amino

- Maple syrup urine disease

- Asidemia propionate

- Asidemia metilmalonat

- Tirosinemia

- Asidemia glutarat tipe II

- Ethylmalonic adipic aciduria

f. Polisitemia

g. Ibu mendapat terapi β-blocker (labetalol atau propanolol) atau steroid.

C. FAKTOR RISIKO

Pada bayi baru lahir yang mempunyai risiko hipoglikemia, kadar glukosa

darahnya dipantau secara rutin, terlepas dari pemberian, macam dan cara minum

apapun yang didapatkan. Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia1:

1. Bayi dari ibu dengan diabetes. Ibu dengan diabetes yang tidak terkontrol

memiliki kadar glukosa darah yang tinggi yang bisa melewati plasenta sehingga

merangsang pembentukan insulin pada neonatus. Saat lahir, kadar glukosa

6
darah tiba-tiba turun karena pasokan dari plasenta berhenti, padahal kadar

insulin masih tinggi, sehingga terjadi hipoglikemia. Pencegahannya adalah

dengan mengontrol kadar glukosa darah pada ibu hamil1.

2. Bayi besar untuk masa kehamilan (BMK). Bayi BMK biasanya lahir dari ibu

dengan toleransi glukosa yang abnormal1.

3. Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK). Selama dalam kandungan, bayi

sudah mengalami kekurangan gizi, sehingga tidak sempat membuat cadangan

glikogen, dan kadang persediaan yang ada sudah terpakai. Bayi KMK

mempunyai kecepatan metabolisme lebih besar sehingga menggunakan

glukosa lebih banyak daripada bayi yang berat lahirnya sesuai untuk masa

kehamilan (SMK), dengan berat badan yang sama. Meskipun bayi KMK bugar,

bayi mungkin tampak lapar dan memerlukan lebih banyak perhatian. Bayi

KMK perlu diberi minum setiap 2 jam dan kadang masih hipoglikemia,

sehingga memerlukan pemberian suplementasi dan kadang memerlukan cairan

intravena sambil menunggu ASI ibunya cukup.

4. Bayi kurang bulan. Deposit glukosa berupa glikogen biasanya baru terbentuk

pada trimester ke-3 kehamilan, sehingga bila bayi lahir terlalu awal, persediaan

glikogen ini terlalu sedikit dan akan lebih cepat habis terpakai.

5. Bayi lebih bulan. Fungsi plasenta pada bayi lebih bulan sudah mulai berkurang.

Asupan glukosa dari plasenta berkurang, sehingga janin menggunakan

cadangan glikogennya. Setelah bayi lahir, glikogen tinggal sedikit, sehingga

bayi mudah mengalami hipoglikemia.

7
6. Pasca asfiksia. Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak

sekali memakai persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa

hanya menghasilkan 2 ATP, sedang pada keadaan normal 1 gram glukosa bisa

menghasilkan 38 ATP.

7. Polisitemia. Bayi dengan polisitemia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya

hipoglikemia dan hipokalsemia, karena pada polisitemia terjadi perlambatan

aliran darah.

8. Bayi yang dipuasakan, termasuk juga pemberian minum pertama yang

terlambat. Bayi dapat mengalami hipoglikemia karena kadar glukosa darah

tidak mencukupi.

9. Bayi yang mengalami stres selama kehamilan atau persalinan, misalnya ibu

hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi mempunyai kecepatan

metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih besar

dibandingkan bayi lain.

10. Bayi sakit. Bayi kembar identik yang terjadi twin to twin tranfusion,

hipotermia, distress pernapasan, tersangka sepsis, eritroblastosis fetalis,

sindrom Beckwith-Wiedermann, mikrosefalus atau defek pada garis tengah

tubuh, abnormalitas endokrin atau inborn error of metabolism dan bayi stres

lainnya, mempunyai risiko mengalami hipoglikemia.

11. Bayi yang lahir dari ibu yang bermasalah. Ibu yang mendapatkan pengobatan

(terbutalin, propanolol, hipoglikemia oral), ibu perokok, ibu yang mendapat

8
glukosa intra vena saat persalinan, dapat meningkatkan risiko hipoglikemia

pada bayinya.

D. KLASIFIKASI

Pada bayi baru lahir yang mempunyai risiko hipoglikemia, kadar glukosa

darahnya dipantau secara rutin, terlepas dari pemberian, macam dan cara minum

apapun yang didapatkan. Kadar gula darah terendah terlihat pada saat usia 2 jam.

Bayi dengan ibu diabetes biasanya mengalami hipoglikemia asimptomatik lebih

awal yaitu 1-2 jam (berkisar antara 0,8-8,5 jam), sehingga dianjurkan untuk

skrining lebih awal. Pada bayi premature dan kecil masa kehamilan (KMK) masih

mempunyai risiko hipoglikemia sampai dengan usia 36 jam (berkisar antara 0,8-

34,2 jam). Terdapat 3 klasifikasi hipoglikemia yaitu2:

1. Hipoglikemia dengan Gejala. Berbagai penelitian mendapatkan bahwa

hipoglikemia dengan gejala dapat mengakibatkan kerusakan saraf dan

gangguan perkembangan sehingga intervensi perlu dilakukan segera. Oleh

karena belum ada kadar absolute kapan intervensi harus dilakukan, bila kadar

gula plasma darah < 47 mg/dL intervensi segera dilakukan2.

2. Hipoglikemia tanpa Gejala. Kadar glukosa yang menetap di bawah 47 mg/dL

pada bayi premature dapat mengakibatkan efek jangka panjang. Bayi premature

yang KMK dengan kadar gula darah < 47 mg/dL mempunyai lingkaran kepala

yang lebih kecil dan angka perkembangan yang rendah. Bayi dengan ibu

diabetes yang mempunyai kadar gula darah < 27 mg/dL mengalami gangguan

9
disfungsi saraf pada usia 8 tahun walaupun bayi tersebut tidak mengalami

gejala hipoglikemia. Beberapa peneliti menganjurkan untuk melakukan

intervensi bila kadar glukosa <47 mg/dL walaupun tanpa gejala2.

3. Hipoglikemia yang Berulang dan Persisten. Hipoglikemia berulang dan

persisten adalah kegagalan mempertahankan kadar normal gula darah

walaupun sudah mendapat infuse glukosa dengan GIR 12mg/kg/min atau ketika

stabilitas tidak tercapai setelah 7 hari pengobatan. Pengobatannya selain dengan

meningkatkan GIR, obat tambahan dapat diberikan untuk hipoglikemia

menetap dengan GIR > 12mg/kg/min2.

E. PATOFISIOLOGI

Hipoglikemia pada bayi baru lahir dalam 4 golongan dengan perbedaan

patofisiologi yang nyata, yaitu5:

1. Bayi dari ibu penderita diabetes mellitus, pradiabetes mellitus dan bayi

eritroblastosis berat. Pada bayi dengan kelainan ini memperlihatkan keadaan

yang terjadi karena pengaruh hiperinsulinisme, mempunyai jumlah glikogen

dan deposit lemak yang banyak dan mempunyai respons terhadap glikemia

dengan peninggian 5 – 20 kali pada pengeluaran insulin. Hipoglikemia terjadi

pada jam-jam pertama sesudah lahir5.

2. Bayi yang menderita gangguan nutrisi atau gizi kurang intrauterine. Misalnya

bayi dari ibu penderita toksemia, bayi dengan kelainan plasenta dan bayi

kembar yang terkecil. Bayi seperti ini mempunyai kadar glikogen dalam hepar

10
yang rendah dan perbandingan yang besar antara besar otak dan berat hati

dengan peninggian konsumsi oksigen dan peninggian metabolism, kadar

glikogen hati dan otot akan berkuran. Sebagian bayi seperti ini tidak mampu

meninggikan pengeluaran adrenalin untuk memperbaiki hipoglikemia seperti

yang terjadi pada bayi normal. Kadar katekolamin yang sangat rendah pada

bayi yang lebih tua yang menderita hipoglikemia sejak lahir dan tergolong pada

bayi kecil untuk masa kehamilannya5.

3. Bayi yang sangat imatur, yang rentan terhadap komplikasi sindrom gangguan

pernapasan atau asfiksia dan membutuhkan metabolism yang lebih tinggi

daripada kemampuan yang ada pada bayi tersebut5.

4. Golongan terkecil ditemukan dan termasuk defek genetic atau defek

perkembangan seperti galaktosemia, penyakit penimbunan glikogen, kepekaan

terhadap leusin, insulinismus dan gangguan metabolic dan atau gangguan

anatomis lain5.

F. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis hipoglikemia pada bayi cukup bulan bisa samar dan non

spesifik, muncul pada neonatus bersama dengan berbagai masalah neonatus

lainnya. Pemeriksaan fisis dan observasi keadaan umum bayi harus dilakukan

untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Untuk menunjukkan bahwa

gejala yang timbul berhubungan dengan hipoglikemia, diperlukan hal-hal berikut1:

11
1. Tanda klinik harus didapatkan

2. Kadar glukosa darah rendah, diukur secara akurat

3. Tanda klinik menghilang pada saat kadar glukosa darah normal

Pemberian ASI secara dini dan eksklusif dapat memenuhi kebutuhan nutrisi

dan metabolik bayi baru lahir cukup bulan yang sehat. Bayi cukup bulan yang sehat

tidak akan menjadi hipoglikemia yang simptomatik karena pemberian minum yang

kurang1.

Hipoglikemia pada bayi baru lahir seringkali asimtomatik tetapi dapat

menyebabkan gelisah, kejang-kejang, apatis, hipotonia, koma, tidak mau

menghisap, apnea, gagal jantung kongestif, sianosis, sura tangis melengking,

gerakan mata abnormal, atau suhu tidak stabil dengan hipotermia. Pada bayi kecil

yang sakit, gejala mudah terlewatkan6.

Banyak bayi baru lahir dengan satu atau lebih gejala-gejala ini adalah

normoglikemia dan memiliki masalah lainnya. Oleh karena itu, hipoglikemia harus

selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dan dengan melihat

responnya terhadap terapi6.

Gejala klinis yang sering berhubungan dengan hipoglikemia: stupor,

jitteriness, tremors, apatis sianosis, kejang, apnoe, takikardia, lemah, high pitched

cry, limpness, letargi, gangguan minum dan eye rolling. Episode berkeringat, pucat,

hipotermia dan henti jantung juga dapat dilaporkan2.

12
G. DIAGNOSIS

Pada anamnesis didapatkan bayi tremor, jitterness (gerakan tidak

beraturan), atau iritabilitas, kejang, koma, letargi, apatis, sulit menyusui, muntah

sehingga asupan kurang, apneu, menangis melengking atau lemah, sianosis,

beberapa bayi tidak memberikan gejala3.

Pada pemeriksaan fisik, bayi berat lahir ≥ 4000 gram, beberapa saat sesudah

lahir menunjukkan gejala sakit seperti lemas atau letargi, kejang, atau gangguan

napas3.

Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan kadar glukosa darah, baik

menggunakan strip reagen, maupun melalui laboratorium, pemeriksaan urin rutin,

khususnya reduksi urin pada waktu yang sama dengan pengambilan sampel gula

darah, kadar elektrolit darah jika fasilitas tersedia, apabila ditemukan hipoglikemia

yang refrakter atau berat atau jika telah diberikan infuse glukosa > 1 minggu, perlu

dicari penyebab hipoglikemia dengan memeriksa (jika tersedia fasilitas) insulin,

growth hormone, kortisol, ACTH, tiroksin, TSH, glucagon, asam amino plasma,

atau keton urin3.

Metode ini sangat akurat glukosa dapat diukur dengan metode glucose

oxidase (kalorimetrik) atau dengan metode glucse electrode seperti yang digunakan

di mesin analisis gas darah dan elektrolit). Sampel darah harus segera dianalisis

untuk mencegah kesalahan kadar glukosa yang rendah2.

13
Skrining hipoglikemia mengenai kapan dilakukannya dan berapa lama

pemantauannya, belum disepakati secara umum. Strip glukosa untuk skrining tidak

mahal, praktis, dan hasilnya cepat. Jika didapatkan hipoglikemia harus

dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah di laboratorium, karena hasil yang

diperoleh sering berbeda sekitar 15% dari hasil laboratorium, atau tidak sesuai

dengan varian yang signifikan dari kadar glukosa yang sesungguhnya. Beberapa

pedoman singkat skrining glukosa pada bayi baru lahir1:

1. Pemantauan glukosa darah rutin bayi baru lahir cukup bulanyang asimtomatik

tidak perlu dan mungkin merugikan.

2. Skrining glukosa darah harus dilakukan pada bayi dengan risiko hipoglikemia

untuk mengetahui adanya hipoglikemia ataupun bayi yang menunjukkan

manifestasi klinis hipoglikemia, dengan frekuensi dan lama pemantauan

tergantung dari kondisi bayi masing-masing.

3. Pemantauan dimulai dalam 30-60 menit pertama bayi dengan dugaan

hiperinsulinisme dan tidak lebih dari umur 2 jam pada bayi dengan risiko

hipoglikemia kategori lainnya.

4. Pemantauan sebaiknya dilanjutkan setiap 3 jam sampai kadar glukosa darah

sebelum minum mencapai normal. Kemudian lanjutkan tiap 12 jam.

5. Skrining glukosa dihentikan setelah 2 kali didapatkan kadar glukosa normal

atau dengan pemberian minum saja, didapatkan 2 kali pemeriksaan kadar

glukosa normal.

14
6. Konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah di laboratorium harus dilakukan

jika hasil skrining glukosa darah abnormal.

H. TATALAKSANA

Data yang ada menunjukkan bahwa pemberian ASI yang tidak adekuat

meningkatkan risiko hipoglikemia, bahkan pada bayi yang sudah pulang ke rumah.

Tata laksana pemberian ASI yang tepat sangat penting bagi perkembangan bayi.

Tata laksana umum pada bayi yang mempunyai risiko1:

1. Pemberian ASI sedini mungkin dalam 30-60 menit kemudian

diteruskan sesuai keinginan bayi1.

a. Pemberian asupan enteral sedini mungkin -- ungkin merupakan tindakan

pencegahan tunggal yang paling penting. Secara khusus disebutkan bahwa

pemberian ASI sedini mungkin, merupakan hal yang terpenting untuk

pencegahan bayi dengan risiko dan terapi hipoglikemia. Mengenali bahwa

bayi menangis merupakan tanda yang terlambat jika bayi lapar. Bayi baru

lahir akan mendapatkan kolostrum yang berisi protein, lemak, dan

karbohidrat yang akan membuat glukosa darah stabil. Pemberian kolostrum

tidak boleh dihentikan hanya karena bayi masuk dalam kriteria yang harus

dipantau kadar glukosa darahnya1.

b. Jika memungkinkan berikan ASI dengan bayi menyusu langsung atau

melalui pipa orogastrik. Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia tetapi

belum memungkinkan menyusu dan belum bisa diberi ASI melalui pipa

15
orogastrik karena adanya darah yang tertelan, lakukan pembilasan lambung

dan kemudian berikan ASI melalui pipa orogastrik. Jika tidak berhasil,

segera mulai pemberian glukosa intravena1.

2. Suplementasi rutin pada bayi cukup bulan yang sehat dengan air, air gula atau

susu formula tidak diperlukan. Hal ini dapat mengganggu pemberian ASI dan

mekanisme kompensasi metabolik yang normal. Jika bayi tidak dapat menyusu

langsung, berikan ASI dengan cara alternatif lainnya; dengan sendok, gelas,

atau pipa orogastrik. Jika bayi tidak mampu menghisap, tidak perlu dipaksakan

pemberian minum melalui mulut, untuk mencegah aspirasi. Pemilihan

suplemen tergantung dari ketersediaan ASI perah ibu. Kolostrum perah adalah

pilihan utama. ASI akan meningkatkan glukoneogenesis dan keseimbangan

energi. Jika tidak tersedia, pilihan berikutnya adalah donor ASI yang sudah di

pasteurisasi. Jika pilihan kedua tidak tersedia, terpaksa diberikan susu formula

dengan mempertimbangkan riwayat keluarga mengenai toleransi susu. Jika

didapatkan alergi susu sapi, pilihannya adalah susu formula khusus (susu

formula dengan protein dihidrolisis sempurna). Air gula akan meningkatkan

sekresi insulin dan menunda mulainya glukoneogenesis yang alami dan proses

homeostasis ketogenik. Jika air gula diberikan pada bayi, kadar glukosa akan

berfluktuasi dan akan muncul masalah hipoglikemia rebound1.

3. Memfasilitasi kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi untuk merangsang

pembentukan ASI. Cara ini akan mempertahankan suhu tubuh normal,

menurunkan pengeluaran energi, dan mempertahankan kadar glukosa darah

16
normal, sementara hal tersebut akan menstimulasi produksi ASI dan

pengisapan. Dengan melekatkan bayi ke ibunya secara sering dapat mencegah

suplementasi pada banyak kasus1.

4. Pemberian minum yang sering. Berikan minum 10-12 kali dalam 24 jam pada

beberapa hari pertama sesudah lahir. Pemberian ASI yang sering, meskipun

sedikit-sedikit, tetapi dengan protein tinggi dan kalori tinggi dari kolostrum

akan lebih baik bila dibandingkan dengan pemberian susu formula atau air

gula1.

Bayi dengan risiko hipoglikemia, harus dipantau kadar glukosa darahnya.

Glukosa yang diperlukan mungkin belum cukup hanya dengan pemberian

kolostrum saja pada umur beberapa hari, tetapi tidak ada bukti klinik yang

menyebutkan bahwa bayi dengan hipoglikemia asimtomatik mendapatkan

keuntungan dari pemberian glukosa intra vena yang diberikan1.

Mempunyai bayi yang diperkirakan akan lahir normal dan sehat, tetapi

ternyata kemudian berkembang mengalami hipoglikemia sering mengganggu

kepercayaan pemberian ASI. Ibu sebaiknya diyakinkan bahwa tak ada masalah

dengan air susunya, dan bahwa pemberian suplementasi hanya sementara saja.

Perah ASI dengan tangan ataupun pompa tertentu yang dianjurkan. Memberikan

minum paling tidak 8 kali dalam 24 jam sampai bayi bisa menyusu dan menghisap

dengan baik, akan membantu mempertahankan produksi ASI. Sangat penting untuk

sesegera mungkin menstimulasi produksi ASI dengan melekatkan bayi ke dada ibu.

17
Kontak kulit-ke-kulit yang dikerjakan meskipun bayi masih menggunakan akses

vena, akan sangat berguna dan akan menurunkan trauma karena intervensi. Kontak

kulit-ke-kulit akan memberikan termoregulasi fisiologis, yang akan berkontribusi

dalamhomeostasis metabolic. Sangat penting untuk melakukan edukasi kepada ibu

tentang pemberian ASI sedini mungkin dan pemberian minum secara bertahap

dengan tidak mengharapkan ASI keluar banyak pada saat awal menyusui. Bayi

mampu menghisap dan menelan selama 5 menit merupakan pertanda bayi siap

beralih dari cara mendapat asupan melalui pipa orogastrik menuju cara menyusu

langsung pada ibu1.

Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI perah dengan menggunakan

salah satu alternatif cara pemberian minum. Anjurkan ibu untuk menyusui jika

kondisi bayi bayi baru lahir sudah memungkinkan. Tata laksana pemberian ASI

pada bayi hipoglikemia1:

1. Asimtomatik (tanpa manifestasi klinis)1

a. Pemberian ASI sedini mungkin dan sering akan menstabilkan kadar glukosa

darah. Teruskan menyusui bayi (kira-kira setiap 1-2 jam) atau beri 3-10 ml

ASI perah tiap kg berat badan bayi, atau berikan suplementasi (ASI donor

atau susu formula).

b. Periksa ulang kadar glukosa darah sebelum pemberian minum berikutnya

sampai kadarnya normal dan stabil.

18
c. Jika bayi tidak bisa menghisap atau tidak bisa mentoleransi asupannya,

hindari pemaksaan pemberian minum, dan mulailah pemberian glukosa

intra vena. Pada beberapa bayi yang tidak normal, diperlukan pemeriksaan

yang seksama dan lakukan evaluasi untuk mendapatkan terapi yang

intensif.

d. Jika kadar glukosa tetap rendah meskipun sudah diberi minum, mulailah

terapi glukosa intra vena dan sesuaikan dengan kadar glukosa darah.

e. ASI diteruskan selama terapi glukosa intra vena. Turunkan jumlah dan

konsentrasi glukosa intra vena sesuai dengan kadar glukosa darah.

f. Catat manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah,

konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik bayi

(misalnya respon dari terapi yang diberikan).

2. Simtomatik dengan manifestasi klinis atau kadar glukosa plasma < 20-25

mg/dL atau < 1,1 - 1,4 mmol/L1.

a. Berikan glukosa 200 mg tiap kilogram berat badan atau 2 mL tiap kilogram

berat badan cairan dekstrosa 10%. Lanjutkan terus pemberian glukosa 10%

intra vena dengan kecepatan (glucose infusion rate atau GIR) 6-8 mg tiap

kilogram berat badan tiap menit.

b. Koreksi hipoglikemia yang ekstrim atau simtomatik, tidak boleh diberikan

melalui oral atau pipa orogastrik.

c. Pertahankan kadar glukosa bayi yang simtomatik pada >45 mg/dL atau >2.5

mmol/L.

19
d. Sesuaikan pemberian glukosa intravena dengan kadar glukosa darah yang

didapat.

e. Dukung pemberian ASI sesering mungkin setelah manifestasi hipoglikemia

menghilang.

f. Pantau kadar glukosa darah sebelum pemberian minum dan saat penurunan

pemberian glukosa intra vena secara bertahap (weaning), sampai kadar

glukosa darah stabil pada saat tidak mendapat cairan glukosa intra vena.

Kadang diperlukan waktu 24-48 jam untuk mencegah hipoglikemia

berulang.

g. Lakukan pencatatan manifasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining

glukosa darah, konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi

klinik (misal respon dari terapi yang diberikan).

3. Hipoglikemia yang Berulang dan Persisten2

Obat yang dapat digunakan berupa hidrokortison (menurunkan utilitas glukosa

perifer), diazoxide (mengurangi sekresi insulin), glucagon (meningkatkan

glukoneogenesis dan glikogenolisis). Jangan gunakan diazoxide dan glucagon

pada bayi KMK.

20
Gambar 2.1. Alur dan Bagan Tatalaksana Hipoglikemia2

21
Gambar 2.2. Tatalaksana Hipoglikemia Persisten2

4. Terapi Darurat. Pemberian segera dengan bolus 200 mg/kg dengan dekstrosa

10% = 2 cc/kg dan diberikan melalui IV selama 5 menit dan diulang sesuai

keperluan3.

5. Terapi Lanjutan3.

a. Infus glukosa 6-8 mg/kg/menit.

b. Kecepatan Infus Glukosa (GIR) dihitung menurut formula berikut:

𝐾𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 × 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐷𝑒𝑥𝑡𝑟𝑜𝑠𝑒 (%)


𝐺𝐼𝑅 =
6 × 𝐵𝐵

22
c. Periksa ulang kadar glukosa setelah 20-30 menit dan setiap jam sampai

stabil.

d. Ketika pemberian minum telah dapat ditoleransi dan nilai pemantauan

gluksoa bed-side sudah normal maka infuse dapat dituunkan secara

bertahap. Tindakan ini mungkin memerlukan waktu 24-48 jam atau lebih

untuk menghindari kambuhnya hipoglikemia. (PPM)

I. KOMPLIKASI

Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadang

asimptomatis. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat

mengakibatkan dampak yang menetap pada SSP. BBL yang mempunyai risiko

tinggi untuk terjadinya hipoglikemia adalah bayi kecil untuk masa kehamilan, bayi

besar untuk masa kehamilan dan bayi dari ibu dengan diabetes mellitus7.

Hipoglikemia dapat menjadi penyebab dasar pada kejang BBL dan gejala

neurologis lainnya seperti apneu, letargi dan jiternes. Faktor yang paling kritis pada

hipoglikemia yang berhubungan dengan gejala neurologik adalah masa atau durasi

terjadinya hipoglikemia dan jumlah waktu yang terbuang sebelum terapi dimulai7.

Tidak ada keraguan pemberian terapi dekstrosa intravena jika ditemukan

kadar glukosa rendah pada bayi kejang untuk mengembalikan kadar gula darah

kembali normal secepatnya7.

23
J. PENCEGAHAN

Keluaran jangka panjang dan pendek yang tidak baik dapat dijumpai pada

bayi risiko tinggi dengan kadar gula darah < 47mg/dl, terutama bila hipoglikemia

menetap atau dengan gejala. Skrining dan intervensi diperlukan untuk mendeteksi

dan mengobati bayi dengan risiko hipoglikemia. Ada beberapa skrining dan

intervensi yang dilakukan antara lain2:

1. Skrining Hipoglikemia rutin perlu dilakukan pada bayi dengan ibu diabetes,

bayi prematur (gestasi < persentil ke-10), bayi dengan BMK (berat badan >

persentil ke-90).

2. Skrining pada bayi tanpa gejala dimulai pada usia 2 jam dan setiap 3-6 jam

dengan minum ASI tetap dipertahankan. Pemeriksaan gula darah diberhentikan

bila kadar gula darah dalam 12 jam > 47mg/dL(untuk bayi BMK dan bayi

dengan ibu diabetes), dan dalam 36 jam pada bayi prematur dan KMK.

3. Bayi dengan gejala segera periksa gula darah.

4. Bayi berisiko dengan kadar gula darah >35mg/dL (1,8 mmol/L) setelah minum

atau berulang < 47mg/dL perlu diintervensi.

5. Bayi dengan gejala segera terapi, bila kadar gula darah < 47 mg/dL dan perlu

dicari penyebabnya.

6. Suplementasi minum oral diberikan pada bayi tanpa gejala bila kadar gula darah

36-47 mg/dL, periksa ulang setelah 1 jam untuk mengidentifikasi hipoglikemia

persisten.

24
7. Infus intravena direkomendasikan pada bayi hipoglikemia dengan gejala atau

tanpa gejala tetapi gagal terhadap respon suplementasi oral.

8. Pertimbangkan investigasi, konsultasi ke pihak terkait dan pemberian obat bila

kadar gula darah normal tidak tercapai dengan pemberian infus dekstrosa.

Ada beberapa pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah

hipoglikemia pada bayi3:

1. Menghindari faktor risiko yang dapat dicegah (misalnya hipotermia).

2. Pemberian nutrisi segera enteral merupakan tindakan preventif tunggal paling

penting.

3. Jika bayi tidak mungkin menyusu, mulailah pemberian minum dengan

menggunakan sonde dalam waktu 1-3 jam setelah lahir.

4. Neonates yang beresiko tinggi harus dipantau nilai glukosanya sampai

asupannya penuh dan tiga kali pengukuran normal (sebelum pemberian minum

gula darah > 45 mg/dL

5. Jika ini gagal, terapi IV dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa

dipantau.

K. PROGNOSIS

Hipoglikemia simptomatik dan jangka panjang atau kambuhan

menyebabkan kerusakan SSP spesifik. Hal tersebut biasanya terjadi pada bayi

25
kecil yang sakit dengan berbagai faktor lain yang mempengaruhi, misalnya

anoksia atau malnutrisi intrauterine berat. Bayi hipoglikemia dengan kejang

memiliki prognosis paling buruk7.

Bayi yang dapat bertahan hidup dari hipoglikemia neonatal simptomatik

memperlihatkan insiden gangguan neurologis sebesar 30% sampai 50% dan

insiden hipoglikemia kambuhan sebesar 10%. Bayi dengan hipoglikemia

asimptomatik dalam kondisi baik. Bayi dengan sindrom Beckwith atau dengan

gangguan metabolic saat lahir, kondisinya buruk. Diagnosis tepat dan terapi

hipoglikemia akan mencegah trauma SSP akibat hipoglikemia7.

26
BAB III

KESIMPULAN

1. Hipoglikemia adalah kondisi bayi kadar glukosa darah <45 mg/dL baik yang

memberikan gejala maupun tidak. Keadaan hipoglikemia dapat sangat berbahaya

terutama bila kadar glukosa <25 mg/dL.

2. Hipoglikemia selalu timbul pada bayi dengan gangguan glukoneogenesis yang

disebabkan oleh produksi insulin yang meningkat, perubahan produksi hormon

ataupun cadangan yang tidak adekuat.

3. Pada bayi baru lahir yang mempunyai risiko hipoglikemia, kadar glukosa darahnya

dipantau secara rutin, terlepas dari pemberian, macam dan cara minum apapun yang

didapatkan. Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia.

4. Manifestasi klinis hipoglikemia pada bayi cukup bulan bisa samar dan non spesifik,

muncul pada neonatus bersama dengan berbagai masalah neonatus lainnya.

Pemeriksaan fisis dan observasi keadaan umum bayi harus dilakukan untuk

menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.

5. Bayi dengan risiko hipoglikemia, harus dipantau kadar glukosa darahnya. Glukosa

yang diperlukan mungkin belum cukup hanya dengan pemberian kolostrum saja

pada umur beberapa hari, tetapi tidak ada bukti klinik yang menyebutkan bahwa

bayi dengan hipoglikemia asimtomatik mendapatkan keuntungan dari pemberian

glukosa intra vena yang diberikan.

27
6. Bayi yang dapat bertahan hidup dari hipoglikemia neonatal simptomatik

memperlihatkan insiden gangguan neurologis sebesar 30% sampai 50% dan insiden

hipoglikemia kambuhan sebesar 10%.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Haksari, Ekawaty. 2014. Menyusui Bayi dengan Risiko Hipoglikemia. Current

Evidences in Pediatric Emergencies Management. Departement Ilmu Kesehatan

Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

2. Kaban, Risma. 2012. Skrining dan Tatalaksana Awal Hipoglikemia pada Neonatus

untuk Mencegah Komplikasi. Kegawatan pada Bayi dan Anak. Departement Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

3. Pudjiadi, Antonius. 2010. Hipoglikemia. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Ikatan

Dokter Anak Indonesia : Jakarta.

4. Daud, Dasril. 2012. Tatalaksana Hipoglikemia pada Neonatus. Standar

Operasional Prosedur Kesehatan Anak. Departement Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Makassar.

5. Wahidijat, Iskandar. 1985. Buku Kuliah 3: Ilmu Kesehatan Anak. Departement

Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

6. Fanaroff AA & Klaus MH. 1998. Penatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi Edisi

4. EGC: Jakarta.

7. Sarosa GI. 2014. Kejang dan Spasme. Buku Ajar Neonatologi Edisi 1. Ikatan

Dokter Anak Indonesia : Jakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai