Anda di halaman 1dari 27

PROFESIONALISASI PENDIDIK

PROFESIONALISASI PENDIDIK

Pendidik mempunyai dua arti, ialah arti yang luas dan arti yang sempit. Pendidik dalam arti yang luas
adalah semua orang yang berkewajiban membina anak-anak. Secara alamiah semua anak, sebelum
mereka dewasa menerima pembinaan dan orang-orang dewasa agar mereka dapat berkembang dan
bertumbuh secara wajar. Sebab secara alamiah pula anak manusia membutuhkan pembimbingan
seperti itu karena ia dibekali insting sedikit sekali untuk mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini
orang-orang yang berkewajiban membina anak secara alamiah adalah orang tua mereka masing-masing,
warga masyarakat, dan tokoh-tokohnya.

Sementara itu pendidik dalam arti sempit adalah orang-orang yang disiapkan dengan sengaja untuk
menjadi guru dan dosen Kedua jenis pendidik ini diberi pelajaran tentang pendidikan dalam waktu relatif
lama agar mereka menguasai ilmu itu dan terampil melaksanakannya di lapangan. Pendidik ini tidak
cukup belajar di perguruan tinggi saja sebelum diangkat jadi guru atau dosen, melainkan juga belajar
dan diajar selama mereka bekerja, agar profesionalisasi mereka semakin meningkat. Profesionalisasi
sendiri menurut Sahertian (1994) adalah suatu usaha untuk mencapai tingkat profesional.

Makalah ini secara berturut-turut akan membicarakan (1) profesi pendidik, (2) kode etik pendidik, (3)
pengembangan dan organisasi profesi, (4) penyelenggaraan pendidikan, (5) implikasi konsep pendidikan.

A. PROFESI PENDIDIK

Guru dan dosen adalah pejabat profesional, sebab mereka diberi tunjangan profesional. Namun
walaupun mereka secara formal pejabat profesional, banyak kalangan yang tidak meyakini
keprofesionalan mereka, terutama guru-guru. Mengapa demikian? Sebab masyarakat pada umumnya
melihat kenyataan bahwa (1) banyak sekali guru maupun dosen melakukan pekerjaan yang tidak
memberi keputusan kepada mereka, dan (2) menurut pendapat masyarakat, pekerjaan mendidik dapat
dilakukan oleh siapa saja.

Mengenai alasan pertama di atas, mungkin tidak terlalu memberatkan sebab hal itu masih dapat
diperbaiki. Lagi pula pejabat-pejabat profesional yang lain juga tidak semuanya bekerja dengan
memuaskan. Tetapi alasan yang kedua perlu diberi perhatian yang serius sebab ini yang memberi ciri
utama suatu jabatan profesional. Suatu jabatan dikatakan profesional, kalau hanya pejabat yang
bersangkutan bisa melaksanakan tugas tersebut.

1. Pengertian Profesi

Sebelum membahas tentang bagaimana seharusnya guru dan dosen bekerja sehingga mereka benar-
benar diterima oleh masyarakat sebagai pejabat profesional, ada baiknya kita memahami apa yang
disebut dengan profesional. Kata profesional beraawal dari kata profesi.
Profesi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka (to profess artinya
menyatakan), yang menyatakan bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau
pelayanan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu (Sahertian,
1994). Mengenai istilah profesi ini Everett Hughes dalam Sahertian (1994) menjelaskan bahwa istilah
profesi merupakan simbol dari suatu pekerjaan dan selanjutnya menjadi pekerjaan itu sendiri

Menurut Schein dalam Pidarta (2007), mengemukakan ciri-ciri profesional sebagai berikut: (1) bekerja
sepenuhnya dalam jam-jam kerja {fulltime), (2) pilihan pekerjaan itu didasarkan pada motivasi yang
kuat, (3) memiliki seperangkat pengetahuan, ilmu, dan keterampilan khusus yang diperoleh lewat
pendidikan dan latihan yang lama, (4) membuat keputusan sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan atau
menangani klien, (5) pekerjaan berorientasi kepada pelayanan, bukan untuk kepentingan pribadi, (6)
pelayanan itu didasarkan kepada kebutuhan objektif klien, (7) memiliki otonomi untuk bertindak dalam
menyelesaikan persoalan klien, (8) menjadi anggota organisasi profesi, sesudah memenuhi persyaratan
atau kriteria tertentu, (9) memiliki kekuatan dan status yang tinggi sebagai eksper dalam spesialisasinya,
dan (10) keahlian itu tidak boleh diadvertensikan untuk mencari klien.

Sementara itu Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia I pada Tahun 1988 menentukan syarat-syarat
suatu pekerjaan profesional sebagai berikut: (1) atas dasar panggilan hidup yang dilakukan sepenuh
waktu dan untuk j angka waktu yang lama, (2) telah memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus, (3)
dilakukan menurut teori, prinsip, prosedur, dan anggapan-anggapan dasar yang sudah baku sebagai
pedoman dalam melayani klien, (4) sebagai pengabdian kepada masyarakat, bukan mencari keuntungan
finansial, (5) memiliki kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif dalam melayani klien, (6) dilakukan
secara otonom yang bisa diuji oleh rekan-rekan seprofesi, (7) mempunyai kode etik yang dijunjung tinggi
oleh masyarakat, dan (8) pekerjaan yang dilakukan untuk melayani mereka yang membutuhkan.

Sedangkan profesi pendidikan di Amerika Serikat memiliki karakteristik sebagai berikut, (Imran Manan,
1989): (1) sebagai pekerjaan jasa sosial yang unik, jelas, dan penting, (2) menekankan teknik intelektual,
(3) membutuhkan pendidikan spesialisasi dalam waktu panjang, (4) memerlukan otonomi yang luas
sebagai individu ataupun organisasi profesi, (5) otonomi individu dapat persetujuan dari organisasi
profesi, (6) tekanan pada jasa lebih besar dibandingkan dengan hasil ekonomis, baik secara
perseorangan maupun secara kelompok profesional, (7) memiliki organisasi profesi secara otonom, dan
(8) ada kode etik yang jelas dan tegas.

ISPI (1991) menyimpulkan ciri-ciri utama profesi adalah sebagai berikut: (1) memiliki fungsi dan
signifikansi sosial, (2) memiliki keahlian dan keterampilan tingkat tertentu, (3) memperoleh keahlian dan
keterampilan melalui metode ilmiah, (4) memiliki batang tubuh disiplin ilmu tertentu, (5) studi dalam
waktu lama di perguruan tinggi, (6) pendidikan ini juga merupakan wahana sosialisasi nilai-nilai
profesional di kalangan mahasiswa/ siswa yang mengikutinya, (7) berpegang teguh kepada kode etik
yang dikontrol oleh organisasi profesi dengan sanksi-sanksi tertentu, (8) bebas memutuskan sendiri
dalam memecahkan masalah bertalian dengan pekerjaannya, (9) memberi layanan sebaik-baiknya
kepada klien dan otonom dari campur tangan pihak luar, dan (10) mempunyai prestise yang tinggi di
masyarakat dan berhak mendapat imbalan yang layak.

Dan Manap Somantri (1996) yang mengutip dari Volmer 1996 dan Oteng 1989 menulis standar profesi
sebagai berikut: (1) memiliki ilmu yang diperoleh melalui pendidikan lama setara dengan SI atau lebih,
(2) kewenangan profesional diakui oleh klien, (3) ada sanksi dan pengakuan masyarakat akan keabsahan
kewenangannya, (4) memiliki kode etik, (5) punya budaya profesi yang dinamis dan terus berkembang,
dan (6) ada persatuan profesi yang kuat dan berpengaruh.

Menurut Samana (1994) ciri-ciri jabatan profesional adalah sebagai berikut.

(1) Bagi para pelakunya secara nyata (de facto) dituntut berkecakapan kerja (berkeahlian) sesuai
dengan tugas-tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya (cenderung ke spesialisasi).

(2) Kecakapan atau keahlian seorang pekerja profesional bukan sekedar hasil pembiasaan atau latihan
rutin yang terkondisi, tetapi perlu didasari oleh wawasan keilmuan yang mantap, jadi jabatan
profesional menuntut pendidikan pra-jabatan yang terprogram secara relevan serta berbobot,
terselenggara secara efektif-efisien, dan tolok ukur evaluatifnya terstandar.

(3) Pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas, sehingga pilihan jabatan serta kerjanya
didasari oleh kerangka nilai tertentu (bukan ikut-ikutan), bersikap positif terhadap jabatan dan
perannya, dan bermotivasi serta berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya. Hal ini mendorong pekerja
profesional yang bersangkutan untuk selalu meningkatkan (menyempurnakan) diri serta karyanya.
Orang tersebut secara nyata mencintai profesinya dan memiliki etos kerja yang tinggi.

(4) Jabatan profesional perlu mendapat pengesahan dari masyarakat dan atau negaranya, dalam hal
ini pendapat serta tolok ukur yang dikembangkan oleh organisasi profesi sepantasnyalah dijadikan
acuannya. Secara tegas, jabatan profesional memiliki syarat-syarat serta kode etik yang harus dipenuhi
oleh pelakunya, hal ini menjamin kepantasan berkarya dan sekaligus merupakan tanggung jawab sosial
pekerja profesional yang bersangkutan.

Dari pendapat-pendapat para ahli di atas tentang ciri-ciri profesi perlu dikaji esensialnya. Setiap butir
perlu dikaji dicari esensinya, kemudian dibandingkan dengan esensi esensi pada butir yang lain, dan
disintesis. Dengan cara demikian akan ditemukan butir-butir pendukung profesi sebagai ciri-cirinya. Ciri-
ciri profesi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(1) Pilihan terhadap jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat dan merupakan panggilan hidup
orang bersangkutan.

(2) Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan terus
berkembang.

(3) Ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut di atas diperoleh melalui studi dalam jangka
waktu lama di perguruan tinggi.

(4) Punya otonomi dalam bertindak ketika melayani klien.

(5) Mengabdi kepada masyarakat atau berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan
keuntungan finansial.

(6) Tidak mengadvertensikan keahliannya untuk mendapatkan klien.

(7) Menjadi anggota organisasi profesi.

(8) Organisasi profesi tersebut menentukan persyaratan penerimaan para anggota, membina profesi
anggota, mengawasi perilaku anggota, memberi sanksi, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota.
(9) Memiliki kode etik profesi.

(10) Punya kekuatan dan status yang tinggi sebagai eksper yang diakui oleh masyarakat.

(11) Berhak mendapat imbalan yang layak.

2. Guru Sebagai Suatu Profesi

Chandler dalam Sahertian (1994) mengemukakan guru sebagai suatu profesi serta memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:

(1) Mengutamakan layanan sosial, lebih dari kepentingan pribadi.

(2) Mempunyai status yang tinggi.

(3) Memiliki pengetahuan yang khusus (dalam hal mengajar dan mendidik).

(4) Memiliki kegiatan intelektua.

(5) Memiliki hak untuk memperoleh standard kualifikasi professional.

(6) Mempunyai kode etik profesi yang ditentukan oleh organisasi profesi.

Robert Richey dalam Sahertian (1994) mengemukakan ciri-ciri guru sebagai suatu profesi, yaitu adalah
sebagai berikut:

(1) Adanya komitmen dari para guru bahwa jabatan itu mengharuskan pengikutnya menjunjung tinggi
martabat kemanusiaan lebih dari pada mencari keuntungan diri sendiri.

(2) Suatu profesi mensyaratkan orangnya mengikuti persiapan professional dalam jangka waktu
tertentu.

(3) Harus selalu menambah pengetahuan agar terus-menerus bertumbuh dalam jabatannya.

(4) Memiliki kode etik jabatan.

(5) Memiliki kemampuan intelektual untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi.

(6) Selalu ingin belajar terus-menerus mengenai bidang keahlian yang ditekuni.

(7) Menjadi anggota dari suatu organisasi profesi.

(8) Jabatan itu dipandang sebagai suatu karier hidup.

Seorang guru yang sungguh merasa terpanggil akan memandang jabatan itu sebagai suatu karier dan
telah menyatu dalam jabatannya. Ia punya komitmen dan kepedulian yang tinggi terhadap jabatan itu,
punya rasa tanggungjawab dan dedikasi yang tinggi punya karena tugas itu telah menyatu dengan
dirinya sendiri.

Seorang ahli sosiologi pendidikan, Eric Hoyle, dalam bukunya The Role of The Teacher, sebelum
mengemukakan pandangannya mengulas terlebih dahulu pendapat Myron Lieberman dalam buku
Education as A profession. Liebermann, 1956). Menurut Lieberman dalam Sahertaian (1994) ciri suatu
profesi adalah sebagai berikut:

(1) Suatu profesi menampakkan diri dalam bentuk layanan sosial. Ciri dari suatu profesi ialah bahwa
orang itu ebih mengutamakan tugas pelayanan sosial lebih dari pada mencari keuntungan diri sendiri
(lihat uraian dari Richey).

(2) Suatu profesi diperoleh atas dasar sejumlah pengetahuan yang sistematis.

(3) Suatu profesi membutuhkan jangka waktu panjang untuk dididik dan dilatih.

(4) Suatu profesi memiliki cirri bahwa seseorang itu punya otonomi yang tinggi. Maksudnya, orang itu
memiliki kebebasan akademis di dalam mengungkapkan kemampuan diri dan ia bertanggungjawab atas
kemampuan dan keahliannya itu.

(5) Suatu profesi punya kode etik tertentu.

(6) Suatu profesi umumnya juga ditandai oleh adanya pertumbuhan alam jabatan.

Atas dasar ulasan terhadap pandangan Liberman itu Eric Hoyle dalam Sahertian (1994) mengemukakan
ciri-ciri guru sebagai suatu profesi sebagai berikut:

(1) Hakikat suatu profesi ialah bahwa seseorang itu lebih mengutamakan tugasnya sebagai suatu
layanan sosial.

(2) Suatu profesi dilandasi dengan memiliki sejumlah pengetahuan yang sistematis.

(3) Suatu profesi punya otonomi yang tinggi. Artinya, orang itu akan memiliki kebebasan yang besar
dalam melakukan tugasnya karena merasa punya tanggungjawab moral yang tinggi.

(4) Suatu profesi dikatakan punya otonomi kalau orang itu dapat mengatur diriya sendiri atas
tanggungjawabnya sendiri.

(5) Suatu profesi mempunyai kode etik.

(6) Suatu profesi umumnya mengalami pertumbuhan terus-menerus.

Bila diperhatikan ciri-ciri profesi tersebut di atas tampak bahwa profesi pendidik tidak mungkin dapat
dikenakan kepada sembarang orang yang dipandang oleh masyarakat umum sebagai pendidik. Jadi,
ditinjau dari segi rumusan profesi sudah jelas dapat dibedakan antara pendidik dalam keluarga dan di
masyarakat dengan pendidik di lembaga-lembaga pendidikan, yaitu guru dan dosen. Tetapi bila ditinjau
dari cara kerja kedua kelompok ini belum menunjukkan perbedaan yang jelas. Seharusnya bila
konsepnya berbeda jelas maka praktiknya pun juga berbeda secara jelas. Mengapa kekaburan ini bisa
terjadi, sebab utamanya adalah karena pengertian mendidik itu belum jelas sehingga membuat praktik
pendidikan tidak tepat.

Kalau mendidik diartikan sebagai memberi nasihat, petunjuk, mendorong agar rajin belajar, memberi
motivasi, menjelaskan sesuatu atau ceramah, melarang perilaku yang tidak baik, menganjurkan dan
menguatkan perilaku yang baik, dan menilai apa yang telah dipelajari anak, memang hampir semua
orang bisa melakukannya. Dan tidak perlu susah-susah membuat pendidik menjadi profesional. Tetapi
mendidik seperti ini apakah dapat menjamin anak-anak akan berkembang sempurna secara batiniah dan
lahiriah?

Mendidik adalah membuatkan kesempatan dan menciptakan situasi yang kondusif agar anak-anak
sebagai subjek berkembang sendiri. Mendidik adalah suatu upaya membuat anak-anak mau dan dapat
belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan potensi-potensi lainnya
secara optimal. Berarti mendidik memusatkan diri pada upaya pengembangan afeksi anak-anak,
sesudah itu barulah pada pengembangan kognisi dan keterampilannya. Berkembangnya afeksi yang
positif terhadap belajar, merupakan kunci keberhasilan belajar berikutnya, termasuk keberhasilan dalam
meraih prestasi kognisi dan keterampilan. Bila afeksi anak sudah berkembang secara positif terhadap
belajar, maka guru, dosen, orang tua, maupun anggota masyarakat tidak perlu bersusah-payah
membina mereka agar rajin belajar. Apa pun yang terjadi mereka akan belajar terus untuk mencapai
cita-citanya.

Inilah pengertian yang benar tentang mendidik. Melakukan pekerjaan mendidik seperti ini tidaklah
gampang. Hanya orang-orang yang sudah belajar banyak tentang pendidikan dan sudah terlatih mampu
melaksanakannya. Ini berarti pekerjaan mendidik memang harus profesional. Profesionalisasi seperti di
bidang pendidikan memang harus dilakukan bila ingin pendidikan berhasil.

Hanya mendidik seperti ini yang akan membuat pekerjaan guru dan dosen dipandang profesional oleh
masyarakat umum. Sebab hanya para guru dan dosen saja yang dapat melakukannya, orang lain tidak
bisa. Inilah suatu cara untuk meningkatkan citra pendidikan di mata masyarakat umum. Ini pula yang
merupakan tantangan bagi guru dan dosen bila ingin profesinya tidak diragukan.

Untuk memenuhi persyaratan profesi seperti ini, maka peran lembaga pendidikan guru perlu
ditingkatkan. Pertama-tama perlu diperkenalkan pengertian pendidikan tersebut kepada calon guru dan
calon dosen, diberi kesempatan memikirkan dan merenungkan secara mendalam agar mereka benar-
benar paham. Mereka harus memikirkan bahwa mendidik bukanlah sekadar mengajarkan sesuatu,
melainkan membangunkan peserta didik agar aktif mengembangkan dirinya secara antusias dan penuh
dengan semangat.

Sesudah paham akan makna kata mendidik, lalu dikembangkan kriteria keberhasilan mendidik.
Keberhasilan itu tidak ditentukan oleh prestasi akademik peserta didik. Prestasi akademik otomatis akan
muncul manakala pendidikan berhasil. Lagi pula prestasi seperti itu akan benar-benar mencerminkan
prestasi akademik mereka masing-masing secara objektif bukan karena mencontek atau cara-cara yang
tidak sah lainnya, sebab para peserta didik telah memiliki budaya belajar yang positif. Kriteria
keberhasilan mendidik tersebut adalah:

1. Memiliki sikap suka belajar.

2. Tahu tentang cara belajar.

3. Memiliki rasa percaya diri.

4. Mencintai prestasi tinggi.

5. Memiliki etos kerja.

6. Produktif dan kreatif.


7. Puas akan sukses yang dicapai.

Hal ketiga yang perlu diperkenalkan kepada calon guru dan calon dosen untuk dipelajari, dipahami,
dilatih, dan dilaksanakan setelah bertugas di lapangan adalah sejumlah perilaku pendidik dalam proses
pendidikan yang bisa dipilih salah satu atau beberapa di antaranya yang cocok dengan tujuan
pendidikan setiap kali tatap muka. Perilaku-perilaku pendidik yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pendidik bertindak sebagai mitra atau saudara tua peserta didik.

2. Melaksanakan disiplin yang permisif, ialah memberi kebebasan bertindak asal semua peserta didik
aktif belajar.

3. Memberi kebebasan kepada semua peserta didik untuk mengaktualisasi potensi mereka masing-
masing.

4. Mengembangkan cita-cita riil para peserta didik atas dasar pemahaman mereka tentang diri
sendiri.

5. Melayani pengembangan bakat setiap peserta didik.

6. Melakukan dialog atau bertukar pikiran secara kritis dengan peserta didik.

7. Menghargai agama dalam dunia modern yang penuh dengan rasionalitas. Hal-hal di luar rasio
manusia dibahas lewat agama.

8. Melakukan dialektika nilai budaya lama dengan nilai-nilai budaya modern.

9. Mempelajari dan ikut memecahkan masalah masyarakat, yang mencakup ekonomi, sosial,
budaya, dan geografis, termasuk aplikasi filsafat Pancasila.

10. Mengantisipasi perubahan lingkungan dan masyarakat oleh pendidik atau bekerja sama dengan
para peserta didik.

11. Memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk berkreasi.

12. Mempergunakan metode penemuan.

13. Mempergunakan metode pemecahan masalah.

14. Mempergunakan metode pembuktian.

15. Melaksanakan metode eksperimentasi.

16. Melaksanakan metode berproduksi barang-barang nyata yang mungkin bisa dipasarkan.

17. Memperhatikan dan membina perilaku nyata agar positif pada setiap peserta didik.

3. Guru Profesional

Guru yang profesional punya kualifikasi tertentu. Perlu dibedakan antara kualifikasi personal dan
kualifikasi professional.
a) Kulaifikasi Personal

Ada berbagai ungkapan untuk melukiskan kualifikasi personal.

Ada yang menyebutkan sebagai berikut: (1) guru yang baik, (2) guru yang berhasil, dan (3) guru yang
efektif.

(1) Guru yang Baik (A Good Teacher)

Baik dalam artian ini punya konotasi sifat/atribut-atribut moral yang baik. Sifat-sifat ini diutamakan dari
asumsi dasar bahwa manusia itu sejak lahir sudah membawa sifat-sifat yang baik, seperti jujur, setia,
sabar dan bertanggungjawab. Guru yang baik bila guru itu dilengkapi dengan sejumlah atribut-atribut
moral seperti yang disebut di atsas. Lebih jelas lagi kalau digambarkan dalam penampilan mengajar
sepeerti terlihat dalam grafik dibawah ini.

Bagan 1

Keterangan :

1. Sabar

2. Setia

3. Tegas

4. Tanggungajwab

5. Luwes

6. Jujur

7. Ramah Tamah

8. Taat (konsisten)

9. Berinisiatif

10. Berwibawa
(2) Guru yang Berhasil (A Succesfull Teacher)

Seorang guru dikatakan berhasil bila dalam mengajar ia dapat menunjukkan kemampuannya sehingga
tujuan-tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai oleh subjek belajar. Itulah sebabnya setiap guru yang
mengajar harus dapat melihat dengan jelas tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan
itu ada criteria pencaaian tujuan. Bila tujuan telah tercapai maka dikatakan guru itu telah berhasil.

(3) Guru yang Efektif (A Effective Teacher)

Guru disebut efektif bila ia dapat mendayagunakan waktu dan tenaga yang sedikit tetapi dapat
mencapai hasil yang banyak. Guru yang pandai menggunakan strategi mengajar dan mampu
menerapkan metode-metode mengajar secara berdaya guna dan berhasil guna akan disebut guru yang
efektif.

b) Kualifikasi Profesional

LPTK pernah menegaskan mengenai kualifikasi kompetensi. Kompetensi ialah kemampuan melakukan
tugas mengajar dan mendidik yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan. Pada umumnya dibedakan
profil kompetensi dan spektrum kompetensi. Profil kompetensi mengacu paa berbagai aspek
kompetensi yang dimiliki seorang tenaga professional pendidikan, sedangkan spectrum kompetensi
mengacu pada variasi kuantitatif dan kualitatif perangkat kompetensi yang dimiliki seorang guru.

Makna Profesional dapat dipandang dari tiga dimensi, yaitu: (1) ekspert/ahli, (2) rasa tanggung jawab,
dan (3) rasakesejawatan (Sahertian, 1994).

(1) Ahli (ekspert)

Yang pertama ialah ahli dalam bidang pengetahuan yang diajarkan dan ahli dalam tugas mendidik.
Seorang guru tidak saja menguasai isi pengajaran yang diajarkan, tetapi juga mampu dalam
menanamkan konsep mengenai pengetahuan yang diajarkan.

Pemahaman konsep dapat dikuasai bila guru juga memahami psikologi belajar. Psikologi membantu
guru menguasai cara membimbing subjek belajar dalam memahami konsep tentang apa yang diajarkan.
Selain itu guru juga harus mampu menyampaikan pesan-pesan didik.

Mengajar adalah sarana untuk mendidik, untuk meyampaikan pesan-pesan didik. Guru yang ahli
memiliki pengetahuan tentang cara mengajar (Teaching is a Knowledge), juga ketrampilan (Teaching is a
Skill) dan mengerti bahwa mengajar adalah juga suatu seni (Teaching is an Art).

Dalam kaitan ini orang selalu membcarakan guru yang berhasil (A Succesfull Teacher),guru yang efektif
(An Effectiv Teacher) dan guru yang baik (A Good Teacher).

Ada sisi lain yang dipertanyakan orang, apakah guru yang mengajar itu harus ahli dalam bidang studi
yang diajarkan atau ahli dalam vara mengajarkan bidang studi atau kedua-duanya?

Ada pandangan yang mengatakan bahwa bila orang itu menguasai bidang studi maka dia akan mampu
mengajarkan pengetahuan bidang itu kepada subjek didik.pandangan lain mengatakan orang harus ahli
dalam cara mengajar suatu bidang studi, walaupun dia bukan ahli dalam bidang studi itu. Pendapat
ketiga beranggapan bahwa di samping harus ahli dalam cara mengajarkan, dia harus mampu
menyampaikan pesan-pesan didik melalui bidang studi itu.

Kalau guru harus mampu menyampaikan pesan-pesan didik maka ia harus menguasai prinsip-prinsip
ilmu mendidik. Nampaknya banyak guru ahli dalam mengajar tetapi kurang memperhatikan segi-segi
mendidik. Pemahaman seperti itu tidak akan bermanfaat bagi guru sebagai pendidik.

Guru yang mampu mengajar saja dan hanya melihat pada tujuan-tjuan dan materi pelajaran belaka,
mereka ini menerapkan apa yang oleh Paulo Freire disebut Banking Concept. Konsep Bank menurut
Paulo Freire ialah cara guruyang memandang bahwa mengajar itu seperti orang yang memasukkan uang
ke dalam bank. Uang dimasukkan di bank dan akan mendapatkan bunga. Guru mengajar, murid belajar,
guru menerangkan, murid mendengarkan, guru bertanya, murid menjawab. Konsep seperti itu tidak
manusiawi (Dehumanisasi) menurut Paulo Freire (Freire, 1972).

Padahal dalam proses belajar terjadi dialog yang ekstensial antara pendidik dan subjek didik sehingga
subjek didik menemukan dirinya. Konsep lain yang terlalu optimis terhadap kemutlakan pengaruh
eksternal seperti yang dikemukakan leh Skinner dengan apa yang disebut Teknologi Tingkah Laku dalam
bukunya Beyond Freedom and Dignity bahwa manusia dapat direkayasa (Skinner, 1971). Kita harus ingat
bahwa manusia bukanlah sebuah manusia, tetapi seorang manusia.

Pengetahuan yang diberikan adalah untuk membentuk pribadi yang utuh (holistic). Kalau guru hanya
ahli dan trampil saja dalam mentransfer materi pelajaran, maka pada suatu saat peranan guruakan
dapat diganti dengan media teknologi modern.

Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik. Melalui pengjaran guru membentuk konsep berpikir,
sikap jiwa dan menyentuh afeksi yang terdalam dari inti kemanusiaan subjek didik. Guru berfungsi
sebagai pemberi inspirasi. Guru membuat siswa dapat berbuat. Guru menolong agar subjek didik dapat
menolong dirinya sendiri. Seperti yang diungkapkan Laurence J. Peter dalam Sahertian (1994) seperti
berikut.

Guru biasa : “Mengatakan”

Guru yang baik : “Menerangkan”

Guru yang superior : “ Mendemonstrasikan”

Guru yang hebat : “Memberi inspirasi”

Jadi guru yang ahli mampu menciptakan situasi belajar yang mengandung makna relasi interpersonal.
Relasi interpersonal harus diciptakan sehingga subjek didik merasa “diorangkan”, subjek didik
mempunyai jati diri. Guru yang ahli harus dapat menyentuh inti kemanusiaan subjek didik melalui
pelajaran yang diberikan.

(2) Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab.

Guru memiliki otonomi maksudnya suatu sikap yang professional yang disebut mandiri. Seorang guru
telah memiliki otonomi atau kemandiran yang dalam mengemukakan apa yang harus dikatakan
berdasarkan keahliannya. Melalui proses belajar dan perkembangan profesi maka pada sutu saat ia akan
memiliki sikap mandiri. Ciri-ciri kemandirian antara lain sebagai berikut (Sahertian, 1994).
· Dapat meng-awakan nilai-nilai hidup.

· Dapat membuat pilihan nilai.

· Dapat menentukan dan mengambil keputusan sendiri.

· Dapat bertanggung jawab atas keputusan itu.

Guru yang profesional bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Pengertian bertanggung jawab
menurut teori ilmu mendidik mengandung arti bahwa seseorang mampu memberi pertanggungjawaban
dan kesediaan untuk diminta pertanggungjawaban. Tanggung jawab yang mengandung makna
multidimensional ini, berarti bertanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap siswa, terhadap orang
tua, lingkungan sekitarnya, masyarakat, bangsa, dan Negara, sesama manusia, dan akhirnya kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Guru mempunyai tanggung jawab intelektual, maksudnya secara nalar mampu mengembangkan
konsep-konsep berpikir nalar dan problematis serta sistematis. Tanggung jawab dari sisi lain, yaitu
mempunyai aspek individual, sosial, etis, dan religius. Tanggung jawab mengandung aspek individual,
artinya yang bertanggung jawab adalah seorang individu. Ia berdiri sendiri sebagai individu yang utuh
untuk mengambil keputusan dan mempertanggungjawabkan keputusan itu. Ia juga harus mempunyai
keasadaran untuk dimintai pertanggungjawaban. Tanggung jawab juga mempunyai makna sosial,
maksudnya orang yang bertanggung jawab harus mampu memberi pertanggungjawaban kepada orang
lain. Tanggung jawab mengandung makna etis maksudnya, tanggung jawab itu sendiri adalah perbuatan
yang baik (etis). Tanggung jawab mengandung makna religius maksudnya, seseorang yang bertanggung
jawab, ia mempunyai tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

(3) Memiliki rasa kesejawatan.

Yang dimaksudkan dengan rasa kesejawatan di sini adalah rasa kesejawatan yang dikembangkan dalam
organisasi profesi. Melalui organisasi profesi diciptakan rasa kesejawatan. Semangat korps (l’esprit de
corps) dikembangkan agar harkat dan martabat guru dijunjung tinggi, baik oleh korps guru sendiri
maupun masyarakat pada umumnya.

B. KODE ETIK PENDIDIK

Kode etik pendidik adalah salah satu bagian dari profesi pendidik. Artinya setiap pendidik yang
profesional akan melaksanakan etika jabatannya sebagai pendidik. Bagaimanakah isi etika jabatan
pendidik itu, marilah kita telusuri melalui kutipan-kutipan berikut.

ISPI dalam temu karya pendidikan III dan Rakornas di Bandung Tahun 1991 mengemukakan kode etik
sarjana pendidikan Indonesia sebagai berikut: (1) bertakwa kepala Tuhan Yang Maha Esa, setia dan jujur
berdasarkan Pancasila dan UUD 45, (2) menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik, (3)
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (4)
selalu menjalankan tugas dengan berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan Ilmu Pendidikan,
dan (5) selalu melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Kode etik pendidik ini dapat pula diambil dari peraturan kenaikan jabatan akademik ke jenjang guru
besar IKIP Surabaya Tahun 1994 Bab I Pasal I tentang Kelayakan Integritas Kepribadian sebagai berikut:
(1) mengutamakan tugas pokok dan atau tugas negara lainnya, (2) memelihara keharmonisan pergaulan
dan kelancaran komunikasi, (3) menjaga nama baik dan memiliki loyalitas kepada lembaga pendidikan,
(4) menghargai berbagai sikap, pendapat, dan pandangan, (5) memiliki sifat kepepimpinan, (6) menjadi
teladan dalam berperilaku, (7) membela kebenaran secara jujur dan objektif, dan (8) menjunjung tinggi
norma-norma kemasyarakatan.

Kode etik pendidik ini bertalian erat dengan unsur-unsur yang dinilai dalam menentukan DP3 menurut
PP Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1979. Unsur-unsur yang dimaksud adalah:

(1) kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 45, negara, serta bangsa,

(2) berprestasi dalam bekerja,

(3) bertanggung jawab dalam bekerja,

(4) taat kepada peraturan perundang-undangan dan kedinasan,

(5) jujur dalam melaksanakan tugas,

(6) bisa melakukan kerja sama dengan baik,

(7) memiliki prakarsa yang positif untuk memajukan pekerjaan dan hasil kerja, dan

(8) memiliki sifat kepemimpinan.

Buku pedoman IKIP Surabaya Tahun 1994 mencantumkan kode etik guru Indonesia seperti berikut: (1)
berbakti dalam membimbing peserta didik, (2) memiliki kejujuran profesional dalam melaksanakan
kurikulum sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta didik, (3) mengadakan komunikasi untuk
mendapatkan informasi tentang peserta didik, (4) menciptakan suasana belajar yang kondusif dan
mengadakan hubungan dengan orang tua siswa, (5) memelihara hubungan dengan masyarakat untuk
kepentingan pendidikan, (6) secara individual atau berkelompok mengembangkan profesi, (7)
menciptakan dan memelihara hubungan baik antarpendidik, (8) secara bersama-sama memelihara dan
meningkatkan mutu organisasi profesi, dan (9) melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan.

Konsep-konsep tentang kode etik pendidik tersebut di atas sesudah dianalisis masing-masing butirnya
dengan cara menentukan hakikat dan kemudian disintesis, maka ditemukan kode etik pendidik yaitu.

(1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(2) Setia kepada Pancasila, UUD 45, dan negara.

(3) Menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik.

(4) Berbakti kepada peserta didik dalam membantu mereka mengembangkan diri.

(5) Bersikap ilmiah dan menjunjung tinggi pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni sebagai wahana
dalam pengembangan peserta didik.

(6) Lebih mengutamakan tugas pokok dan atau tugas negara lainnya daripada tugas sampingan.

(7) Bertanggung jawab, jujur, berprestasi, dan akuntabel dalam bekerja.


(8) Dalam bekerja berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan ilmu Pendidikan.

(9) Menjadi teladan dalam berperilaku.

(10) Berprakarsa.

(11) Memiliki sifat kepemimpinan.

(12) Menciptakan suasana belajar atau studi yang kondusif.

(13) Memelihara keharmonisan pergaulan dan komunikasi serta bekerja sama dengan baik dalam
pendidikan.

(14) Mengadakan kerja sama dengan orang tua siswa dan tokoh-tokoh masyarakat.

(15) Taat kepada peraturan perundang-undangan dan kedinasan.

(16) Mengembangkan profesi secara kontinu.

(17) Secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.

Sekarang mari kita teruskan pembicaraan kode etik pendidik ini! Apakah bisa dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari terutama ketika bertindak sebagai pendidik. Kita mulai dari butir satu dan dua
tentang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada Pancasila, UUD 45, dan
negara. Keimanan, ketakwaan, dan kesetiaan ini cukup sulit diukur, apalagi tidak pernah bergaul rapat
dengan orang bersangkutan. Pada umumnya diberikan nilai baik atau baik sekali terhadap pendidik
tentang kedua butir ini. Kecuali kalau ada data yang menunjukkan orang bersangkutan tidak
memperhatikan nilai-nilai agama dan merendahkan filsafat Pancasila, UUD 45, serta negara.

Mengenai kewajiban menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik pada umumnya belum
tampak persis seperti itu. Para pendidik bersikap netral terhadap peserta didik dan hanya melayani
kebutuhan mereka bila diperlukan. Masih banyak pendidik yang memandang peserta didik sebagai
orang yang bergantung kepadanya, belum banyak yang menghargai mereka sebagai teman yang
memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Melalui pendidikan yang berkelanjutan diharapkan sikap ini
dapat ditingkatkan.

Sama halnya dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik, mengabdi kepada mereka,
tampaknya memiliki nada yang sama. Namun dengan memberi perhatian dan kesadaran kepada para
pendidik, kode etik pengabdian pada anak ini lama-lama bisa ditegakkan.

Tentang butir lima yang menyatakan bersikap ilmiah dan menjunjung tinggi kaidah-kaidah keilmuan dan
seni pada umumnya sudah dilaksanakan oleh para pendidik walaupun belum sempurna. Sebab sikap dan
perilaku ini merupakan cara dan wahana untuk mendidik para peserta didik.

Mengenai kewajiban lebih mengutamakan tugas pokok daripada tugas sampingan cukup sulit dinilai,
kecuali bila diadakan pengamatan khusus untuk itu. Hampir semua pendidik dewasa ini melaksanakan
tugas sampingan, tetapi mana yang mereka utamakan apakah tugas pokok atau tugas sampingan
memang sulit diketahui. Hal ini mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka
merasa tidak cukup hidup dari gaji saja.
Pada umumnya para pendidik bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya, dalam tingkat tertentu
mereka jujur dan berprestasi. Tetapi belum banyak di antara mereka yang akuntabel dalam bekerja.
Belum banyak pendidik memberi rasa puas kepada pihak-pihak yang berkepentingan tentang proses dan
hasil kerjanya. Hal ini bisa dikembangkan selama masih ada itikad baik untuk memiliki etos kerja dan
kecintaan terhadap prestasi tinggi.

Mengenai berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan Ilmu Pendidikan tampaknya tidak ada
yang perlu dirisaukan, kecuali pengaruh televisi yang banyak menayangkan kebudayaan asing. Tentang
Ilmu Pendidikan walaupun belum tercipta Ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia, namun para
pendidik telah memiliki pegangan dalam mendidik para peserta didik.

Mengenai keharusan menjadi teladan dalam berperilaku, berprakarsa, dan mampu menjadi pemimpin
tampaknya masih harus dibina dan dikembangkan terus. Menjadi teladan dalam mendidik merupakan
faktor penting, sebab di samping memakai pikiran, perkataan, dan keterampilan, pendidik juga mendidik
melalui pribadinya. Meningkatkan prakarsa dan kemampuan memimpin dapat dilakukan dengan sering
memberi kesempatan untuk itu.

Menciptakan suasana belajar dan studi yang kondusif dan memelihara keharmonisan pergaulan,
komunikasi serta kerja sama pada umumnya sudah dilaksanakan oleh para pendidik. Tetapi kerja sama
mereka dengan para orang tua siswa dan para tokoh masyarakat belum banyak tampak. Hal ini perlu
lebih digalakkan untuk menyukseskan misi pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan para pendidik
itu sendiri.

Hampir semua pendidik telah menaati peraturan perundang-undangan dan kedinasan. Tetapi belum
banyak yang mengembangkan profesinya secara kontinu dan ikut memelihara serta memajukan mutu
organisasi profesi. Kedua hal terakhir ini adalah keharusan bagi setiap pendidik. Sebab itu mereka perlu
diimbau dan diberi jalan atau sarana untuk melaksanakannya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa ada sebagian butir kode etik sudah terlaksana, dan sebagian
lagi pelaksanaannya belum baik. Sebab itu perlu dipikirkan upaya mengatasi hambatan yang
menyebabkan sejumlah butir kode etik pendidik tidak dilaksanakan dengan baik. Upaya meningkatkan
pelaksanaan kode etik pendidik tersebut, dalam garis besarnya dapat dilakukan sebagai berikut:

(1) Para pendidik diberi kesempatan seluas-luasnya, selama mereka mampu, untuk studi lebih lanjut
ke SI, S2, atau S3. Dengan menimba ilmu lebih banyak serta meningkatkan sikap dan pribadinya sebagai
pendidik, diharapkan kode etik pendidik itu lebih disadari keharusannya untuk ditaati dan dilaksanakan.

(2) Membangun perpustakaan pendidik di lembaga-lembaga pendidikan yang belum memiliki


perpustakaan seperti itu. Perpustakaan ini disiapkan untuk pendidik yang tidak sempat studi lebih lanjut.
Dia bisa belajar sendiri lewat buku-buku di perpustakaan ini untuk meningkatkan profesinya, dan
menyadarkan dirinya akan pentingnya etika pendidik untuk dilaksanakan olehnya.

(3) Meningkatkan kesejahteraan para pendidik. Seperti telah diuraikan dalam landasan ekonomi,
bahwa peran ekonomi cukup menentukan dunia pendidikan, termasuk para pendidiknya. Pendidik yang
kebutuhan dasarnya belum terpenuhi cenderung tidak menghiraukan kode etik jabatanya. Kondisi
ekonomi para pendidik pada masa sekarang masih sangat memprihatinkan. Dengan segala cara yang
sah, pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu mengupayakan peningkatan kesejahteraan
para pendidik. Sesudah itu sangat mungkin pelaksanaan kode etik pendidik dapat ditingkatkan.
(4) Sejalan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan para pendidik, kerja sama lembaga
pendidikan dengan orang tua, dan dengan tokoh-tokoh masyarakat perlu ditingkatkan. Melalui kerja
sama seperti ini lebih mungkin untuk mencari sumber-sumber dana tambahan, sehingga dana
pendidikan yang serba terbatas ini dapat ditingkatkan. Dan kesejahteraan pendidik pun akan meningkat
pula.

(5) Fungsi DP3 perlu dibenahi dan ditingkatkan. Seperti diketahui fungsi DP3 adalah alat pengawasan
agar para pendidik bekerja secara efektif dan efisien, termasuk dalam melaksanakan kode etik jabatan
pendidik. DP3 sebagai alat untuk menilai perilaku pendidik, seharusnya dilaksanakan secara objektif,
artinya dilaksanakan secara sama terhadap pendidik yang berpangkat rendah maupun tinggi. Sama
persis dengan cara menilai prestasi para siswa atau mahasiswa. Hanya dengan cara demikian DP3 akan
dapat difungsikan untuk meningkatkan pelaksanaan kode etik pendidik.

(6) Selain dengan DP3, pelaksanaan etika pendidik dapat juga ditingkatkan dengan mengintensifkan
pengawasan. Ketua-ketua lembaga bersama-sama dengan kepala-kepala unit kerja dalam melaksanakan
pengawasan melekat, juga akan mengarahkan pengawasannya pada praktik kode etik yang dilakukan
oleh para pendidik bawahannya. Dengan instrumen observasi tertentu para pemimpin ini akan
mencatat perilaku bawahannya. Kalau terjadi penyimpangan perlu diperbaiki dengan segera. Dengan
cara ini secara perlahan-lahan kode etik pendidik bisa ditegakkan.

Kalau para pendidik yang melanggar kode etik pendidik tidak mempan dinasihati atau diimbau oleh
pemimpin lembaga, maka para pemimpin ini dapat mengenakan sanksi kepada mereka sesuai dengan
aturan yang berlaku atau sesuai dengan peraturan lembaga bersangkutan yang sudah disepakati
bersama.

C. PENGEMBANGAN DAN ORGANISASI PROFESI

Pengembangan profesi pendidik bertalian dengan organisasi profesi pendidik. Sebab pengembangan
profesi itu, di samping dilakukan oleh para pendidik secara individual, secara konsep dibantu, diawasi,
dan dikoordinasi oleh organisasi profesinya. Namun fungsi organisasi profesi seperti ini dalam bidang
pendidikan masih belum tampak. Karena itu kebanyakan pendidik mengembangkan profesinya sendiri-
sendiri.

Sebelum mengemukakan rasional pentingnya setiap pendidik mengembangkan profesinya, sebaiknya


kita tinjau dahulu peranan pendidik itu. Ada beberapa pendapat tentang peranan pendidik. Well (1978)
misalnya mengemukakan peranan pendidik sebagai berikut: (1) sebagai konselor, (2) bertindak sebagai
fasilitator, (3) sebagai manajer pengajaran, (4) penyusun kurikulum, (5) pengajar, (6) sebagai penilai, dan
(7) menjadi pendisiplin.

Sementara itu Connell (1974) menulis peranan pendidik seperti berikut (1) sebagai pendidik yang
memberi dorongan, supervisi, pendisiplin peserta didik, (2) sebagai model perilaku yang akan ditiru oleh
anak-anak, (3) sebagai pengajar dan pembimbing dalam proses belajar mengajar, (4) sebagai pengajar
yang selalu meningkatkan profesinya, khususnya untuk memperbarui materi yang akan diajarkan, (5)
sebagai komunikator terhadap orang tua siswa dan masyarakat, (6) sebagai tata usaha terhadap
administrasi kelas yang diajarnya, dan (7) sebagai anggota organisasi profesi pendidikan.
Dan Mohammad Surya yang dikutip oleh Manap Sumantri (1996) mengemukakan kecenderungan
peranan pendidik di masa depan adalah sebagai berikut: (1) menyusun sumber-sumber pendidikan yang
ada di masyarakat yang berkaitan dengan kebutuhan pendidikan, (2) sebagai spesialis sumber-sumber
pendidikan yang ada di masyarakat, (3) lebih banyak memberikan layanan pendidikan di masyarakat dan
dalam keluarga, (4) bekerja sama dengan orang tua siswa untuk mendidik anak-anak dan memandang
dirinya sebagai orang tua di sekolah, (5) sebagai konselor dan administrator terhadap mitra kerja di
masyarakat dan personalia lembaga pendidikan, (6) sebagai salah satu unsur sistem pendidikan, bukan
di'bawah komando pemimpin lembaga, (7) mempergunakan wewenang yang sah sebagai alat
pendidikan, dan (8) pengembangan profesi direncanakan bersama antara pendidik bersangkutan dan
lembaga pendidikan tempat ia bekerja.

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas akan dirumuskan kembali peranan pendidik sekarang dan
kecenderungan peranan mereka di masa yang akan datang tetap seperti kutipan di atas sebab tidak ada
pembandingnya, hanya mungkin kalimatnya disederhanakan. Peranan pendidik adalah seperti berikut:

1. Sebagai manajer pendidikan atau pengorganisasi kurikulum.

2. Sebagai fasilitator pendidikan.

3. Pelaksana pendidikan.

4. Pembimbing atau supervisor para siswa.

5. Penegak disiplin.

6. Menjadi model perilaku yang akan ditiru siswa.

7. Sebagai konselor.

8. Menjadi penilai.

9. Petugas tata usaha tentang administrasi kelas yang diajarnya.

10. Menjadi komunikator dengan orang tua siswa dan masyarakat.

11. Sebagai pengajar untuk meningkatkan profesi secara berkelanjutan.

12. Menjadi anggota organisasi profesi pendidikan.

Sementara itu kecenderungan peranan pendidik pada masa yang akan datang, yang disederhanakan dari
kutipan tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Sebagai spesialis sumber-sumber pendidikan yang ada di masyarakat.

2. Mengidentifikasi sumber-sumber pendidikan di masyarakat.

3. Lebih banyak memberi layanan pendidikan dalam keluarga dan masyarakat.

4. Sebagai orang tua siswa di sekolah yang bersama orang tua mendidik anak bersangkutan.

5. Sebagai konselor dan administrator kerja sama dengan masyarakat dan personalia lembaga
pendidikan.
6. Sebagai salah satu unsur sistem pendidikan, bukan di bawah komando atasan.

7. Mempergunakan wewenang yang sah sebagai alat pendidikan.

8. Pengembangan profesi direncanakan bersama oleh pendidik bersangkutan dengan pemimpin


lembaga tempat ia bekerja.

Dari rumusan peranan pendidik tersebut di atas, baik yang sekarang maupun kecenderungan pada masa
yang akan datang, keduanya mengandung unsur pengembangan profesi. Ini menunjukkan bahwa profesi
pendidik memang harus dikembangkan secara terus-menerus. Mengapa harus demikian, sebab para
pendidik mengemban misi pengembangan individu manusia. Pengembangan itu bertujuan membuat
manusia menerima warisan budaya, dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, ikut
mengubah lingkungan untuk meningkatkan hidup dan kehidupan manusia itu sendiri.

Tujuan pengembangan individu tersebut di atas mengandung unsur kebudayaan, perubahan lingkungan,
dan meningkatkan hidup dan kehidupan manusia. Lingkungan berubah adalah akibat perkembangan
budaya. Budaya adalah diciptakan oleh manusia. Tujuan penciptaan budaya adalah untuk meningkatkan
hidup dan kehidupan manusia. Dan keterkaitan ini, tampak bahwa kebudayaan memegang peranan
utama, artinya perubahan

lingkungan dan peningkatan hidup dan kehidupan manusia diakibatkan oleh pengembangan
kebudayaan.

Sebagian besar kebudayaan dikembangkan lewat dunia pendidikan oleh para pendidik, pendidik
bersama peserta didik, dan kadang-kadang oleh para pendidik itu sendiri. Pengembangan budaya ini
dapat dilakukan secara sengaja lewat penelitian-penelitian dan dapat juga lewat proses belajar
mengajar. Ketika menemukan hal yang baru atau budaya baru otomatis penemu ini sudah belajar. Dan
supaya dapat mengembangkan budaya mereka harus belajar banyak. Budaya tidak pernah berhenti
berkembang. Ini berarti pencipta-pencipta budaya tidak pemah berhenti belajar. Salah satu pencipta
budaya adalah pendidik itu sendiri. Inilah rasionalnya mengapa pendidik harus mengembangkan
profesinya secara terus menerus. Paling sedikit agar pendidik tidak tertinggal dari budaya yang baru
berkembang sehingga baban pelajaran yang disiapkan kepada peserta didik tidak ketinggalan zaman.

Sekarang kita teruskan dengan pertanyaan siapakah yang berkewajiban mengembangkan profesi para
pendidik itu? Seperti tercantum baik pada profesi, kode etik, maupun pada peranan pendidik, yang
paling berkewajiban mengembangkan profesi adalah pendidik itu sendiri, sesudah itu baru oleh
organisasi profesi pendidikan. Mengapa demikian, sebab pendidik itu sendiri paling bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri, termasuk terhadap profesinya. Atau dapat pula dia lakukan bersama teman-
temannya yang memiliki spesialisasi sama.

Di samping bertanggung jawab terhadap diri sendiri, juga disebabkan pendidik itu sendiri yang paling
tahu tentang kemajuan, kemunduran, dan letak-letak kelemahan profesinya. Bila ia merasa mundur
atau lemah dalam melakukan penelitian misalnya, tentu ia akan belajar metodologi penelitian. Bila
lemah dalam menulis artikel atau buku, ia akan berusaha meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya dalam bidang itu. Bila ia merasa

lemah dalam mendidik, tentu ia akan mempelajari cara-cara mendidik yang lebih baik. Demikian
seterusnya, bergantung kepada hasil introspeksi pendidik itu sendiri.
Dalam mengembangkan profesi oleh diri sendiri, adakalanya pendidik dibantu oleh supervisor, baik
supervisor dari dalam atau pemimpin lembaga, maupun supervisor dari luar. Pengembangan ini boleh
atas inisiatif pendidik sendiri boleh juga atas prakarsa supervisor, bergantung kepada kebutuhan
pendidik dan situasi pendidikan. Seperti diketahui tugas supervisor adalah membantu para pendidik
dalam meningkatkan profesinya. Jadi supervisor punya wewenang untuk memprakarsai peningkatan
profesi seorang pendidik bila ia memandang perlu. Dalam hal ini perbaikan profesi tetap ada ditangan
pendidik itu sendiri. Supervisor hanya sebagai pembimbing.

Adapun tugas utama organisasi profesi bertalian dengan pengembangan profesi pendidik adalah
mengkoordinasi kesempatan yang ada untuk meningkatkan profesi, menilai tingkat profesionalisme
pendidik, mengawasi pelaksanaan pendidikan dan perilaku pendidik sebagai seorang profesional, dan
menjatuhkan sanksi terhadap mereka yang melanggar kode etik profesi pendidikan. Tentang organisasi
profesi akan dibicarakan lebih lanjut pada bagian berikut.

Di mana dan bagaimana cara mengembangkan profesi pendidik? Ada sejumlah cara dan tempat
mengembangkan profesi pendidik, yaitu:

1. Dengan belajar sendiri di rumah. Kini, banyak pendidik terutama para dosen memiliki
perpustakaan pribadi di rumah-rumah mereka sendiri. Buku-bukunya dibeli sendiri baik secara rutin
maupun insidental ketika bepergian ke suatu daerah atau ke luar negeri. Seorang pendidik memang
pantas memiliki perpustakaan sendiri, sebab pekerjaannya tidak bisa lepas dari buku atau disket yang
menyimpan informasi tentang pengetahuan. Buku-buku tersebut haruslah dibaca secara teratur. Tidak
pada tempatnya hanya dipakai pajangan saja untuk menunjukkan prestise sebagai sarjana, master, atau
doktor.

2. Belajar di perpustakaan khusus untuk pendidik atau di perpustakaan umum. Untuk perguruan
tinggi mungkin tidak diperlukan perpustakaan khusus untuk pendidik. Pendidik dan mahasiswa bisa
belajar bersama-sama di perpustakaan umum. Atau dapat juga dibuat perpustakaan khusus jurusan.
Dosen-dosen sejurusan akan belajar di perpustakaan ini. Untuk sekolah memang diperlukan
perpustakaan khusus untuk pendidik, sebab materi yang dipelajari guru-guru untuk meningkatkan
profesinya berbeda dengan yang dipelajari para siswa. Kedalaman materi yang dipelajari guru tidak
sama dengan kedalaman materi yang dipelajari para siswa.

3. Dengan cara membentuk persatuan pendidik sebidang studi atau yang berspesialisasi sama dan
melakukan tukar pikiran atau berdiskusi dalam kelompoknya masing-masing. Cara belajar seperti ini
yang dilakukan di lembaga pendidikan sangat intensif sebab masing-masing peserta akan
menyumbangkan pengalaman dan pikirannya yang memberikan masukan banyak kepada para pendidik.

4. Mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah di mana pun pertemuan itu diadakan selama masih
dapat dijangkau oleh pendidik. Pertemuan-pertemuan seperti ini biasanya diisi oleh para ahli yang sudah
punya nama. Dengan mengikuti hasil karya mereka dan berpartisipasi aktif di dalamnya akan memberi
pengalaman tambahan kepada para pendidik di samping kemungkinan ada materi-materi baru yang
perlu diserap.

5. Belajar secara formal di lembaga-lembaga pendidikan baik dalam negeri maupun di luar negeri.
Studi lanjut ini bisa ditingkat S1, S2, atau S3. Atau dapat juga dalam waktu pendek satu sampai enam
bulan untuk mendalami bidang studi tertentu yang disahkan dengan pemberian sertifikat.
6. Mengikuti pertemuan organisasi profesi pendidikan. Dalam pertemuan ini utusan-utusan dan
beberapa daerah akan berkumpul. Pada umumnya mereka membawakan makalahnya masing-masing
yang berisi pengalaman, hasil penelitian, atau pemikiran kritis yang bertalian dengan tugas mendidik di
daerahnya masing-masing. Perpaduan informasi dari seluruh penjuru ini sangat membantu
pengembangan pandangan dan pikiran para peserta. Sudah tentu hal ini merupakan modal besar bagi
pendidik bersangkutan untuk mengembangkan profesinya.

7. Ikut mengambil bagian dalam kompetisi-kompetisi ilmiah. Seperti kompetisi untuk mendapatkan
dana penelitian dan pemerintah pusat, kompetisi pengabdian masyarakat, kompetisi desain bangunan
tertentu, kompetisi desain kendaraan bermotor; kompetisi pemikiran inovatif dalam bidang tertentu,
dan sebagainya. Kemenangan dalam berkompetisi seperti ini akan memberi dorongan kuat untuk
mengembangkan profesi.

Sesudah mengetahui cara dan tempat mengembangkan profesi, sekarang kita teruskan dengan
pembicaraan tentang apa yang harus dikerjakan dalam mengembangkan profesi itu. Hal-hal yang patut
dilakukan dalam mengembangkan profesi adalah:

1. Membaca buku atau disket, terutama yang berkenaan dengan materi-materi baru yang ditekuni
dan- cara-cara mendidik barn.

2. Meringkas isi bacaan. Ringkasan ini bermanfaat untuk memudahkan mengingat sebab disusun
atas pemahaman sendiri dengan sistematika tersendiri pula. Di samping itu ringkasan ini menghindarkan
pendidik untuk selalu membaca banyak, sebab sangat sulit mengingat sesuatu hanya dengan satu kali
baca.

3. Membuat makalah, yaitu mengemukakan ide baru yang didukung oleh informasi-informasi ilmiah.
Manfaat utama membuat makalah adalah belajar menyusun pikiran secara teratur dalam bentuk
tulisan. Manfaat lain adalah belajar raj in mengumpulkan informasi dan memadukannya dengan ide
baru sehingga menjadi tulisan yang enak dibaca dengan isi yang menarik.

4. Melakukan penelitian baik penelitian perpustakaan, laboratorium, maupun lapangan.

5. Membuat artikel hasil penelitian atau artikel pemikiran inovatif. Artikel ini adalah untuk konsumsi
majalah atau jurnal ilmiah. Hasil penelitian yang baik adalah bila ia dikomuni-kasikan lewat artikel, agar
dapat dimanfaatkan oleh banyak orang.

6. Menulis buku ilmiah baik untuk perguruan tinggi maupun untuk sekolah. Penulisan buku ini perlu
digalakkan sejak awal agar ilmu tentang Indonesia tumbuh di Indonesia.

7. Mengaplikasikan ilmu untuk kepentingan masyarakat umum atau mengadakan pengabdian


kepada masyarakat.

Pengembangan profesi di atas perlu dikaitkan dengan organisasi profesi pendidikan. Seperti sudah
diungkapkan sebelumnya bahwa organisasi profesi adalah pendukung, pembina, dan berupaya agar
profesi setiap pendidik berkembang secara berlanjutan. Jadi keberadaan organisasi profesi pendidikan
sesungguhnya sangat menguntungkan pengembangan profesi para pendidik manakala ia berfungsi
dengan baik.
PGRI adalah organisasi profesi pendidikan yang paling besar di Indonesia, yang kedua adalah ISPI, dan
ada lagi sejumlah organisasi profesi yang lebih kecil yaitu spesialisasi-spesialisasi tertentu dalam bidang
pendidikan. Tujuan dan tugas organisasi -organisasi itu tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Dalam
kaitan dengan pengembangan profesi pendidik organisasi-organisasi profesi ini berkewajiban:

1. Menciptakan kriteria pendidik yang profesional.

2. Menampung para pendidik yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menjadi anggota
organisasi profesi.

3. Mencari peluang untuk memajukan profesi para anggota, antara lain untuk studi lanjut.

4. Mengadakan pembinaan profesi, antara lain dalam bentuk tim-tim pembina ke daerah-daerah.

5. Mengawasi pelaksanaan pendidikan dan menilai tingkat profesionalitas pendidik.

6. Menjatuhkan sanksi kepada mereka yang melanggar kode etik pendidik.

7. Meneliti dan menilai konsep-konsep dan praktik- praktik pendidikan di tingkat mikro maupun
makro.

8. Mengadakan pertemuan-pertemuan secara berkala atau insidental untuk mengomunikasikan


informasi- informasi pendidikan, bertukar pikiran, dan bila mungkin menyatukan pendapat.

9. Membentuk konsep-konsep pendidikan melalui hasil-hasil penelitian pendidikan di tanah air.

10. Memperjuangkan hak-hak pendidik sebagai pejabat profesional.

11. Meningkatkan kesejahteraan pendidik agar bisa berpenghasilan layak sebagai orang profesional.

Kewajiban organisasi profesi pendidikan tersebut hampir semuanya baru dalam tingkat konsep saja.
PGRI dan ISPI misalnya, baru melaksanakan kewajiban butir delapan saja secara jelas. Kegiatan nyata
organisasi ini baru dalam bentuk mengadakan pertemuan secara berkala, untuk bertukar pengalaman
dan konsep, serta berupaya mewujudkan kebijakan-kebijakan tertentu dalam pendidikan. Sementara itu
kegiatan-kegiatan lain belum jelas kelihatan.

Untuk mengatasi kesenjangan antara konsep dan praktik organisasi profesi itu perlu dipikirkan jalan
keluarnya. Manap Somantri (1996) misalnya mengusulkan ISPI berinisiatif untuk menjadi pelopor atau
mesin penggeraknya. Sebab semua anggota ISPI adalah sarjana. Alternatif lain, bisa juga dilakukan
dengan menggelar kompetisi antarwilayah atau daerah. Bagi yang menang dijadikan contoh dalam
meningkatkan kegiatan organisasi profesi. Dengan cara ini diharapkan suatu ketika semua cabang atau
ranting organisasi profesi dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik.

D. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari profesionalisasi pendidik. Sebab yang menjadi
penyelenggara pendidikan adalah para pendidik juga. Yang dimaksud dengan penyelenggara adalah
mereka yang menduduki jabatan struktural, seperti kepala sekolah, ketua jurusan, dekan, dan rektor.
Pejabat struktural di kantor-kantor pendidikan juga dapat disebut penyelenggara pendidikan, walaupun
hanya menangani aturan dan kebijakan, sebab kedua hal ini juga mempengaruhi bahkan dalam hal-hal
tertentu menentukan pelaksanaan pendidikan di sekolah atau di perguruan tinggi.

Pertalian antara penyelenggara dengan pelaksana pendidikan adalah ibarat hubungan antara kusir
dengan kuda atau orang tua dengan anak-anak. Gerak dokar atau bendi lebih banyak ditentukan oleh
kusir, begitu pula pola pergaulan dalam keluarga lebih banyak ditentukan oleh orang tua. Kata lebih
banyak ditentukan mengandung arti kuda dan anak-anak juga punya hak untuk bergerak dan
berperilaku menurut kata hatinya sendiri. Jadi penyelenggara pendidikan dan pendidik sama-sama
punya hak untuk memilih konsep, menentukan kebijakan, dan cara-cara melaksanakan pendidikan.
Hanya saja baik dalam system sentralisasi maupun desentralisasi, hak penyelenggara selalu lebih besar
daripada hak pendidik. Hak pendidik ada dalam ruang lingkup hak penyelenggara.

Bila demikian halnya, seperti diutarakan di atas, maka suatu keharusan mutlak bagi para penyelenggara
pendidikan untuk bertindak profesional dalam pendidikan. Malah mereka harus lebih profesional
daripada para pendidik. Hanya dengan cara demikian penyelenggaraan pendidikan yang melibatkan
sejumlah pendidik yang profesional dapat berialan dengan efektif dan efisien.

Apakah para penyelenggara pendidikan di Indonesia sekarang sudah profesional? Mari kita lihat tulisan
para ahli di bidang itu. Hasil penelitian Sugianto (1992) mengatakan bahwa sebagian besar manajer
sekolah lanjutan bertindak atas dasar buku petunjuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, pada
umumnya mereka berpendapat tugas manajer sekolah adalah menjalankan tugas dan tanggung jawab
seperti yang sudah ditetapkan oleh atasan. Hasil penelitian ini menyatakan sesungguhnya para
penyelenggara pendidikan itu belum atau tidak melaksanakan fungsi manajemen. Mereka dapat
dipandang hanya sebagai instruktur, suatu pejabat yang hanya melaksanakan perintah-perintah atasan.
Seorang penyelenggara pendidikan haruslah benar- benar bertindak sebagai manajer di sekolahnya
masing-masing, agar lembaga pendidikan itu mampu melaksanakan misinya sebagaimana mestinya.

Selanjutnya mari kita lihat hasil penelitian Sanusi pada Tahun 1992. Hasil penelitian itu mengatakan
bahwa kualitas manajemen lembaga pendidikan ternyata serupa dengan manajemen pemerintahan
umum. Seharusnya kedua manajemen itu dibedakan. Berkaitan dengan ini, laporan Dirjen Departemen
P dan K (1990) mengatakan bahwa aparat yang menduduki posisi kunci, kurang memahami peranan dan
tanggung jawabnya yang amat besar. Mereka bekerja hanya berdasarkan pada peraturan perundangan,
kurang mengacu kepada kepentingan para siswa.

Kembali lagi kita mendapat kesan bahwa para penyelenggara pendidikan tampaknya belum
paham betul akan tugasnya. Mereka hanya bertindak atas dasar peraturan, dan peraturan itu sendiri
dibuat bernada sama dengan peraturan pada pemerintahan umum.

Manajemen pendidikan seharusnya tidak sama dengan manajemen pemerintahan, apa lagi manajemen
bisnis yang mementingkan keuntungan uang. Manajemen pendidikan adalah menangani individu-
individu peserta didik yang hidup dinamis dan unik yang sedang berkembang dan bertumbuh.
Bantuan dan kesempatan berkembang ke arah positif inilah yang harus dicapai oleh manajemen
pendidikan. Manajemen ini membutuhkan banyak variasi, kreasi, dan kiat yang hanya bisa diperoleh
melalui pendidikan formal dan sejumlah pengalaman di lapangan. Sebab manajemen ini bermuara pada
keberhasilan proses pendidikan.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa para penyelenggara pendidikan belum
professional dalam bidang itu. Hal ini dapat dimaklumi sebab hampir semua penyelenggara pendidikan
jalur sekolah direkrut dari para pendidik yang berpengalaman dan -sukses. Sebagai pendidik sangat
mungkin mereka sudah profesional, tetapi sebagai penyelenggara pendidikan haruslah seorang
profesional di bidang itu, malah harus lebih profesional daripada para pendidik, sebab peranan
penyelenggara pendidikan lebih besar dibandingkan dengan peranan para pendidik dalam
menyukseskan pendidikan. Memang benar di masa yang akan datang ada kecenderungan pendidik itu
adalah sebagai komponen dari suatu sistem pendidikan, bukan sebagai bawahan atau di bawah
komando penyelenggara pendidikan. Tetapi sebagai suatu sistem, tentu ada koordinatornya. Sebab
kalau tidak ada koordinator tentu masing-masing komponen sistem akan tidak mengarah pada satu
tujuan terfokus kepada pencapaian pendidikan. Dengan demikian kapan pun penyelenggara pendidikan
memegang peranan utama-dalam lembaga pendidikan. Jadi, penyelenggara pendidikan mutlak harus
seorang profesional dalam manajemen pendidikan.

Kini mari kita bahas apakah kewajiban-kewajiban seorang penyelenggara pendidikan! Kewajiban-
kewajiban itu adalah:

1. Menjadi manajer lembaga pendidikan bersangkutan dengan tugas-tugas sebagai berikut:

a. Mengadakan prediksi tentang kemungkinan perubahan lingkungan seperti perkembangan ilmu dan
teknologi, tuntutan hidup, aspirasi masyarakat, dan sebagainya.

b. Merencanakan dan melakukan inovasi dalam pendidikan.

c. Menciptakan strategi dan kebijaksanaan lembaga agar proses pendidikan tidak mengalami
hambatan.

d. Mengadakan perencanaan dan menemukan sumber-sumber pendidikan.

e. Menyediakan dan mengkoordinasi fasilitas pendidikan.

f. Melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan agar tidak terlanjur berbuat salah.

2. Menjadi pemimpin lembaga pendidikan:

a. Memimpin semua bawahan.

b. Memotivasi agar bekerja dengan rajin dan giat

c. Meningkatkan kesejahteraan para bawahan..

d. Mendisiplinkan para pendidik dan pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

3. Sebagai supervisor atau pegawas

a. Mengawasi dan menilai cara kerja dan hasil kerja pendidik dan pegawai.

b. Memberi supervise dalam meningkatkan cara bekerja.

c. Mencari dan memberi peluang untuk meningkatkan profesi para pendidik.

d. Mengadakan rapat-rapat untuk memperbaiki pendidikan dan pengajaran.


4. Sebagai pencipta iklim bekerja dan belajar yang kondusif dengan tugas-tugas:

a. Menempatkan personalia secara benar sesuai dengan keahlian dan ketrampilannya.

b. Membina antar hubungan personalia yang positif.

c. Meningkatkan dan memperlancar komunikasi.

d. Menyelesaikan konflik.

e. Meningkakan dan memelihara persatuan dan kesatuan personalia.

5. Sebagai pencipta lingkungan bekerja dan belajar yang kondusif, dengan tugas-tugas:

a. Menghimpun dan memanfaatkan informasi tentang sumber belajar.

b. Memperkaya alat-alat belajar, alat-alat peraga, dan media pendidikan.

c. Memperkaya lingkungan seperti kebun, pohon elindung, taman, dan sebaginya.

d. Mengharmoniskan lingkungan lembaga dan ruangan kelas.

6. Menjadi administrator lembaga pendidikan dengan tugas menyelenggarakan kegiatan rutin yang
dioperasikan oleh para ersonalia lembaga, seperti:

a. Mengendalikan struktur organisasi

b. Melaksanakan administrasi substantif, yaitu administrasi:

1) Kurikulum

2) Kemahasiswaan/kesiswaan

3) Personalia

4) Keuangan

5) Sarana umum/lain-lain

c. Melakukan pengawasan terhadap efektivitas dan efisiensi kerja.

d. Menilai efektivitas dan efisiensi kerja para personalia pendidikan.

7. Menjadi koordinator kerja sama lembaga pendidikan dengan masyarakat:

a. Berinisiatif membentuk suatu badan kerja sama.

b. Mengadakan survey untuk menampung aspirasi masyarakat.

c. Menghimpun dukungan masyarakat.

d. Melaksanakan kerja sama dengan masyarakat.

e. Membentuk paguyuban sekolah dan masyarakat bila dipandang perlu.


Inilah kewajiban para penyelenggara lembaga pendidikan baik sekolah maupun perguman tinggi. Semua
kewajiban ini harus dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan agar misi pendidikan
berhasil.

Kewajiban-kewajiban tersebut di atas tidak semuanya dan tidak selalu ada dalam Peraturan pemerintah
baik yang berasal dari pusat maupun dari daerah. Karena itu, penyelenggara pendidikan harus mampu
membuat konsep sendiri atau melakukan inovasi bila hal itu dibutuhkan. Kebutuhan akan konsep baru
ini selalu akan terjadi sebab lingkungan dengan isinya selalu berubah. lagi pula daerah atau wilayah satu
dengan lainnya tidak mesti sarna, yang membuat penanganan terhadap pendidikan di daerah-daerah itu
juga tidak mesti sama. Hal ini mengharuskan para penyelenggara pendidikan tidak patut hanya
melaksanakan peraturan dari pemerintah saja. Ia atau mereka harus selalu berinisiatif, kreatif,
mengadakan konsep baru untuk memperbarui pendidikan di lembaga mereka masing-masing agar tidak
ketinggalan zaman.

Gerak dan dinamika penyelenggara pendidikan hampir sama dengan gerak dan dinamika manajer
perusahaan, tidak sama dengan kepala kantor dalam bidang pemerintahan. Sama hanya dengan kepala
perusahaan, penyelenggara pendidikan adalah gemimpin lembaga pendidikan, yang bertanggung jawab
terhadap hidup dan majunya lembaga yang ia pimpin. Ia adalah seolah-olah pemilik lembaga pendidikan
itu, hal ini jelas sekali pada lembaga pendidikan swasta, ia bukan sekadar perpanjangan tangan
pemerintah. Ia hanya berbeda pada tujuan akhir yang ingin dicapai dengan manajer perusahaan. Kalau
manajer perusahaan ingin mendapatkan keuntungan uang sebesar-besarnya, maka penyelenggara
pendidikan bertujuan mengembangkan peserta didik pada segala aspeknya secara optimal. Hal ini yang
nmeyebabkan penyelenggara pendidikan dinamis, banyak kiat, strategi, pendekatan, dan memakai
berbagai macam metode.

Sesudah membaca uraian di atas, tahulah kita bahwa kewajiban-kewajiban penyelenggara pendidikan
culup rumit dan tidak sama dengan kewajiban-kewajiban pendidik baik disekolah maupun di perguruan
tinggi. Dengan demikian, penyelenggara pendidikan tidak cukup hanya direkrut dari pendidik-pendidik
yang sukses dan sudah berpengalaman. Sebab kesuksesan dan pengalaman yang mereka miliki tidak
sama dengan tugas-tugas penyelenggara pendidikan. Ini berarti ada suatu keharusan mutlak untuk
membuat penyelenggara pendidikan sebagai jabatan profesi tersendiri.

Dewasa ini tempat pembentukan profesi penyelenggara pendidikan sudah ada dengan nama profesi
atau spesialisasi manajemen pendidikan atau administrasi pendidikan di beberapa universitas negeri
maupun IKIP dalam tiga strata, yaitu Sl, S2, dan S3. Pertanyaan baru lalu muncul, apakah pencetakan
penyelenggara pendidikan ini sudah cukup untuk seluruh Indonesia?

Kenyataan menunjukkan walaupun lembaga pendidikan tersebut di atas sudah berkiprah dalam bidang
ini sejak lama,hampir semua penyelenggara pendidikan di Indonesia belum memiliki profesi manajemen
pendidikan. Hal ini disebabkan karena tamatan mereka, terutama S2 dan S3, diserap oleh perguruan
tinggi, sebagai dosen. Untuk mengatasi hal ini sudah waktunya untuk membuka, paling sedikit S2 di
bidang itu, pada perguruan-perguruan tinggi pencetak tenaga pendidik, selama persyaratannya
terpenuhi.

Diprioritaskannya pembukaan S2 spesialisasi manajemen pendidikan, dengan harapan para


penyelenggara pendidikan kelak lebih tinggi kemampuannya daripada para pendidik di tingkat sekolah.
Sebab para guru sekarang sudah banyak yang menyandang gelar sarjana. Sementara itu untuk para
penyelenggara pendidikan di perguruan tinggi diupayakan agar bergelar doktor di bidang itu, sebab
syarat dosen sekarang minimal lulusan S2.

E. IMPLIKASI KONSEP PENDIDIKAN

Sesudah membahas profesi pendidik, etika pendidik, pengembangan profesi dan organisasi profesi,
serta penyelenggara pendidikan, kini tiba saatnya untuk mengemukakan implikasi konsep-konsep
pendidikan yang bersumber dari pembahasan itu. Konsep-konsep pendidikan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:

1. Ciri-ciri profesi pendidikan yang lebih lengkap, antara lain pilihan didasarkan atas motivasi yang
kuat untuk menjadi pendidik dan sebagai eksper yang diakui oleh masyarakat. Pengakuan ini
mengimplisitkan tidak ada orang lain yang bisa melaksanakan tugas mendidik kecuali para pendidik
profesional.

2. Karena pengertian mendidik bukanlah sekadar memberi nasihat, petunjuk, dorongan, motivasi,
atau menjelaskan sesuatu dengan ceramah, melarang dan menganjurkan, serta menilai hasil belajar
anak, maka mendidik adalah membuat kesempatan dan menciptakan situasi yang kondusif agar anak-
anak mau dan dapat belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan
potensi-potensi lainnya secara optimal. Pembimbingan diadakan bila diperlukan saja. Berarti mendidik
memusatkan diri pada upaya pengembangan afeksi anak-anak, sesudah itu barulah menginjak
pengembangan kognisi dan keterampilannya.

3. Kriteria keberhasilan mendidik adalah:

a. Memiliki sikap suka belajar

b. Tahu tentang cara belajar

c. Memiliki rasa percaya diri

d. Mencintai prestasi tinggi

e. Memiliki etos kerja

f. Kreatif dan produktif

g. Puas akan sukses yang dicapai

4. Perilaku pendidik yang bisa dipilih satu atau beberapa antaranya ketika melaksanakan pendidikan
di lapangan adalah:

a. Menjadi mitra peserta didik

b. Melaksanakan disiplin yang permisif

c. Memberi kebebasan dalam mengaktualisasi diri

d. Mengembangkan cita-cita riil peserta didik

e. Melayani pengembangan bakat


f. Berdialog agar peserta didik berpikir kritis

g. Menghargai agama dalam dunia modern yang penuh dengan rasionalitas

h. Melakukan dialektika nilai budaya lama dengan yang modern dengan peserta didik

i. Mempelajari dan ikut memecahkan masalah-masalah masyarakat dalam proses pendidikan

j. Mengantisipasi perubahan lingkungan dan masyarakat dalam proses pendidikan

k. Memberi kesempatan kreatif

l. Menggunakan metode penemuan, pemecahan masalah, pembuktian, dan eksperimen

m. Membiasakan peserta didik memproduksi barang-barang nyata

n. Membina perilaku sehari-hari agar positif

5. Kode etik pendidik yang lebih lengkap, antara lain mengandung unsur menjunjung tinggi harkat
dan martabat peserta didik, berbakti kepada peserta didik, menjadi teladan dalam berperilaku,
mengembangkan profesi secara kontinu, dan sebagainya.

6. Profesi pendidik perlu ditingkatkan, untuk itu perlu dicarikan berbagai jalan agar bias terlaksana.

7. Dikembangkan peranan pendidik baik untuk masa sekarang maupun kecenderungan pada masa
depan.

8. Ada sejumlah kewajiban organisasi profesi pendidikan dalam rangka mengembangkan profesi
pendidik, antara lain mencari peluang untuk memajukan profesi para anggota, mengadakan pembinaan
profesi, mengawasi pelaksanaan pendidikan, membentuk konsep-konsep pendidikan melalui hasil-hasil
penelitian, dan sebagainya.

9. Penyelenggara lembaga-lembaga pendidikan tidak cukup memiliki profesi pendidik, mereka harus
professional dalam manajemen pendidikan.

10. Manajemen pendidikan tidak sama dengan manajemen bisnis yang mengejar keuntungan uang,
tetapi bisa meniru manajemen itu dalam gerak dan dinamika untuk mempertahankan kehidupan dan
kemajuan pendidikan.

11. Manajemen pendidikan juga tidak sama dengan manajemen pemerintahan, sebab manajemen
kedua ini menangani manusia dewasa yang relative sudah paham akan budaya yang patut ditaati.
Sementara itu manajemen pendidikan adalah menangani peserta didik yang sedang berkembang pada
individu-individu yang serba unik. Untuk itu dibutuhkan banyak strategi, pendekatan, dan metode yang
sesuai, dibutuhkan pula sejumlah konsep, agar perkembangan setiap peserta didik terealisasi secara
relative lancar dan optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Samana. A. 1994. Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius.

Sahertian, Piet A. Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Anda mungkin juga menyukai