Anda di halaman 1dari 24

2.2.

3 Bahaya Potensial Kerja

Potensi bahaya yang terdapat dalam suatu pekerjaan dapat menyebabkan penyakit

akibat kerja. Faktor pekerjaan dan atau lingkungan kerja memegang peranan penting

yang dapat mengakibatkan penyakit terkait kerja dan memiliki dampak risiko jangka

panjang pada kesehatan. Suatu bahaya kesehatan akan muncul bila seseorang terpapar

dengan sesuatu yang dapat menyebabkan gangguan/kerusakan bagi tubuh ketika

terjadi pajanan (“exposure”) yang berlebihan. Bahaya kesehatan dapat menyebabkan

penyakit yang disebabkan oleh pajanan suatu sumber bahaya di tempat kerja. Potensi

bahaya kesehatan yang biasa di tempat kerja berasal dari lingkungan kerja antara lain

faktor kimia, faktor fisik, faktor biologi, faktor ergonomis dan faktor psikologi

(ILO,2016).

2.2.3.1 Faktor Fisik

Faktor fisik adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat fisika antara

lain kebisingan, penerangan, getaran, iklim kerja, gelombang mikro dan sinar

ultra ungu. Faktor-faktor ini mungkin didapatkan dari bagian tertentu yang

dihasilkan dari proses produksi atau produk samping yang tidak diinginkan.

1. Kebisingan

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber

dari alat–alat proses produksi dan atau alat–alat kerja yang pada tingkat

tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Suara keras,

berlebihan atau berkepanjangan dapat merusak jaringan saraf sensitif di

telinga, menyebabkan kehilangan pendengaran sementara atau permanen.

Hal ini sering diabaikan sebagai masalah kesehatan padahal hal tersebut
merupakan salah satu bahaya fisik utama. Nilai ambang batasan pajanan

terhadap kebisingan adalah 85 dB selama 8 jam sehari.

2. Penerangan

Penerangan di setiap tempat kerja harus memenuhi syarat untuk

melakukan pekerjaan. Penerangan yang sesuai sangat penting untuk

peningkatan kualitas dan produktivitas. Sebagai contoh, pekerjaan

perakitan benda kecil membutuhkan tingkat penerangan lebih tinggi. Studi

menunjukkan bahwa perbaikan penerangan meningkatkan produktivitas

dan mengurangi terjadinya kesalahan. Bila penerangan kurang sesuai, para

pekerja terpaksa membungkuk dan mencoba untuk memfokuskan

penglihatan mereka, sehingga tidak nyaman dan dapat menyebabkan

masalah pada punggung dan mata pada jangka panjang serta dapat

memperlambat pekerjaan.

3. Getaran

Getaran merupakan gerakan bolak–balik cepat (reciprocating), memantul

ke atas dan ke bawah atau ke belakang dan ke depan. Gerakan tersebut

terjadi secara teratur dari benda atau media dengan arah bolak balik dari

kedudukannya. Hal tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap sebagian

atau seluruh tubuh. Misalnya, memegang peralatan yang bergetar sering

mempengaruhi tangan dan lengan pengguna, menyebabkan kerusakan

pada pembuluh darah dan sirkulasi di tangan. Sebaliknya, mengemudi

traktor di jalan bergelombang dengan rancangan kursi yang kurang sesuai

dapat menimbulkan getaran ke seluruh tubuh sehingga mengakibatkan


nyeri punggung bagian bawah. Getaran tersebut juga dapat dirasakan

melalui lantai dan dinding oleh orang-orang disekitarnya. Misalnya, mesin

besar di tempat kerja dapat menimbulkan getaran yang mempengaruhi

pekerja yang tidak memiliki kontak langsung dengan mesin tersebut dan

menyebabkan nyeri dan kram otot. Batasan getaran alat kerja yang

berkontak langsung maupun tidak langsung dengan lengan dan tangan

pekerja adalah sebesar 4 m/detik2.

4. Iklim kerja

Ketika suhu berada di atas atau di bawah batas normal, keadaan ini

memperlambat pekerjaan. Hal tersebut merupakan respon alami dan

fisiologis tubuh sehingga sangat penting untuk mempertahankan tingkat

kenyamanan suhu dan kelembaban ditempat kerja. Faktor–faktor ini

secara signifikan dapat berpengaruh pada efisiensi dan produktivitas

individu pada pekerja. Bila sirkulasi udara di suatu tempat kerja bersih

maka dipastikan bahwa lingkungan kerja tersebut sehat dan mengurangi

pajanan bahan kimia. Sebaliknya, ventilasi yang kurang sesuai dapat

mengakibatkan pekerja kekeringan atau kelembaban yang berlebihan;

menciptakan ketidaknyamanan bagi para pekerja; mengurangi konsentrasi

pekerja, akurasi dan perhatian mereka untuk praktek kerja yang aman,

perlu untuk tetap berada dalam kisaran suhu normal. Iklim kerja yang

sesuai diperlukan bagi tenaga kerja agar tubuh berfungsi secara efisien

saat melakukan pekerjaan. Iklim kerja merupakan hasil perpaduan antara

suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan


tingkat panas dari tubuh pekerja sebagai akibat dari pekerjaannya.

Berdasarkan Kepmenaker No 51 tahun 1999 suhu dan kelembaban diatur

dengan memperhatikan perbandingan waktu kerja dan waktu istirahat

setiap hari dan berdasarkan beban kerja yang dimiliki tenaga kerja saat

bekerja (ringan, sedang dan berat).

5. Radiasi Tidak Mengion

Radiasi gelombang elektromagnetik yang berasal dari radiasi tidak

mengion antara lain gelombang mikro dan sinar ultra ungu (ultra violet/

UV). Gelombang mikro digunakan antara lain untuk gelombang radio,

televisi, radar dan telepon. Gelombang mikro mempunyai frekuensi 30

kilo hertz – 300 giga hertz dan panjang gelombang 1 mm – 300 cm.

Radiasi gelombang mikro yang pendek < 1 cm yang diserap oleh

permukaan kulit dapat menyebabkan kulit seperti terbakar. Sedangkan

gelombang mikro yang lebih panjang (> 1 cm) dapat menembus jaringan

yang lebih dalam. Radiasi sinar UV berasal dari sinar matahari, las listrik,

laboratorium yang menggunakan lampu penghasil sinar UV. Panjang

gelombang sinar UV berkisar 1 – 40 nm. Radiasi ini dapat berdampak

pada kulit dan mata. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan

dan mencegah efek dari radiasi sinar tidak mengion yaitu, menutup

sumber radiasi, menghindari atau berada pada jarak yang sejauh mungkin

dari sumber radiasi, tidak terus menerus kontak dengan benda yang dapat

menghasilkan sinar radiasi, menggunakan alat pelindung diri (APD) dan

melakukan pemantauan secara rutin.


2.2.3.2 Faktor Kimia

Risiko kesehatan dapat timbul dari pajanan berbagai bahan kimia. Banyak

bahan kimia yang memiliki sifat beracun dapat memasuki aliran darah dan

menyebabkan kerusakan pada sistem tubuh dan organ lainnya. Bahan kimia

berbahaya dapat berbentuk padat, cairan, uap, gas, debu, asap atau kabut.

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.Kep.187/Men/1999

Tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya Di Tempat Kerja Terdapat

kriteria bahan kimia berbahaya, yaitu:

1. Bahan beracun (Ammonia, Bromine, Carbon disulphide, Chlorine)

2. Bahan sangat beracun (Benzidine, Beryllium (powder compounds))

3. Cairan mudah terbakar (eter, alkohol, aseton, benzena, Formaldehyde)

4. Cairan sangat mudah terbakar

5. Gas mudah terbakar (hidrogen, asetilen, etilen oksida, ammonia)

6. Bahan mudah meledak (Trinitoluen (TNT), nitrogliserin, campuran bahan

oksidator dan reduktor (asam nitrat + etanol))

7. Bahan reaktif (Ammonium nitrate, Ethylene oxide, Ethylene nitrate,

Hydrogen, Oxygen)

8. Bahan oksidator (permanganat, perklorat dikromat, bensil peroksida, eter

oksida)

Bahan–bahan tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga cara, yaitu:

1. Inhalasi (menghirup)

Bernapas melalui mulut atau hidung dapat menyebabkan zat beracun yang

ada masuk ke dalam paru–paru. Saat seorang dewasa istirahat, sekitar lima
liter udara per menit yang mengandung debu, asap, gas atau uap dihirup.

Beberapa zat, seperti fiber/serat, dapat secara langsung melukai paru–paru

sedangkan zat lainnya diserap ke dalam aliran darah dan beredar ke

seluruh tubuh.

2. Pencernaan (menelan)

Memakan makanan yang terkontaminasi bahan kimia dapat memasuki

bagian dalam tubuh. Kontaminasi bisa didapat dengan cara makan dengan

tangan yang terkontaminasi atau makan di lingkungan yang

terkontaminasi. Menghirup udara yang telah terkontaminasi zat kimia juga

dapat memasuki saluran pencernaan karena bercampur dengan lendir dari

mulut, hidung atau tenggorokan. Peredaran zat beracun sama halnya

seperti makanan, yaitu bergerak melalui organ–organ pencernaan.

3. Penyerapan ke dalam kulit atau kontak invasif

Penyerapan zat ke dalam tubuh dapat melalui kulit, biasanya tangan dan

wajah, yang kemudian akan masuk ke pembuluh darah. Namun, terkadang

dapat juga masuk melalui luka dan lecet atau suntikan (misalnya

kecelakaan medis). Pengendalian lingkungan kerja secara teknis serta

penetepan nilai ambang batas kadar bahan kimia di udara lingkungan kerja

perlu ditetapkan agar dampak negatif yang mungkin terjadi di lingkungan

kerja akibat bahaya faktor kimia dapat dicegah.

Seluruh bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan, kabut,

partikel nano dan lain-lain dapat menjadi sumber bahaya potensial faktor

kimia yang mungkin terjadi di suatu tempat kerja.


2.2.3.3 Faktor Biologi

Faktor biologi penyakit akibat kerja sangat beragam jenisnya. Seperti pekerja

di pertanian, perkebunan dan kehutanan termasuk di dalam perkantoran

faktor biologi yang mungkin ada yaitu berupa indoor air quality, banyak

penyakit yang disebabkan virus, bakteri atau hasil dari pertanian yang harus

dihadapi, misalnya tabakosis pada pekerja yang mengerjakan tembakau,

bagasosis pada pekerja - pekerja yang menghirup debu-debu organik

misalnya pada pekerja gandum (aspergillus) dan di pabrik gula. Penyakit

paru oleh jamur sering terjadi pada pekerja yang menghirup debu organik,

seperti yang pernah dilaporkan dalam sebuah kepustakaan tentang aspergilus

paru pada pekerja gandum. Demikian juga “grain asma” sporotrichosis

adalah salah satu contoh penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh jamur.

Penyakit jamur kuku sering diderita para pekerja yang tempat kerjanya

lembab dan basah atau bila mereka terlalu banyak merendam tangan atau

kaki di air seperti pencuci. Agak berbeda dari faktor-faktor penyebab

penyakit akibat kerja lainnya, faktor biologis dapat menular dari seorang

pekerja ke pekerja lainnya. Usaha yang lain harus dilakukan untuk mencegah

penularan penyakit, antara lain imunisasi dengan pemberian vaksinasi atau

suntikan, mutlak dilakukan untuk pekerja-pekerja di Indonesia sebagai usaha

kesehatan dasar. Imunisasi tersebut berupa vaksin cacar terhadap variola, dan

suntikan terhadap kolera, typhi dan paratyphi. Bila memungkinkan dilakukan

juga imunisasi TBC dengan pemberian vaksin BCG pada pekerja dan

keluarganya meskipun hasil uji Mantaoux negatif, dan imunisasi terhadap


difteri, tetanus, pertusis (DPT) pada keluarga pekerja, sedangkan di negara

yang maju diberikan pula imunisasi virus influenza.

2.2.3.4 Faktor Ergonomi

Ergonomi adalah studi mengenai hubungan antara pekerjaan dan tubuh

manusia. Prinsip ergonomi adalah mencocokan pekerjaan untuk pekerja.

Industri barang dan jasa telah meningkatkan kualitas dan produktivitasnya.

Restrukturisasi proses produksi barang dan jasa dengan menyesuaikan desain

kondisi kerja terbukti secara langsung meningkatkan produktivitas dan

kualitas suatu produk. Pengaturan cara kerja dapat memiliki dampak besar

baik bagi pekerjaan dilakukan maupun kesehatan pekerja yang

melakukannya. Mulai dari posisi mesin pengolahan sampai penyimpanan

alat-alat dapat menciptakan hambatan dan risiko. Penyusunan tempat kerja

dan tempat duduk yang sesuai harus diatur sedemikan rupa agar tidak

memberi dampak berbahaya bagi kesehatan. Tempat duduk yang cukup dan

sesuai harus disediakan untuk pekerja dan pekerja harus diberi kesempatan

yang cukup untuk menggunakannya. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan

dan area kerja disesuaikan dengan kebutuhan pekerja, bukan mengharapkan

pekerja untuk menyesuaikan diri. Desain ergonomis yang efektif yaitu berupa

penyediaan workstation, peralatan dan perlengkapan yang nyaman dan

efisien bagi pekerja untuk digunakan. Hal ini juga dapat menciptakan

lingkungan kerja yang sehat, karena proses kerja diatur untuk mengendalikan

atau menghilangkan potensi bahaya. Tenaga kerja akan memperoleh

keserasian antara tenaga kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya. Cara
bekerja harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan

ketegangan otot, kelelahan yang berlebihan atau gangguan kesehatan yang

lain. Risiko potensi bahaya ergonomi akan meningkat bila pekerja melakukan

hal-hal seperti:

a. Pekerjaan yang monoton, berulang atau kecepatan tinggi;

b. Postur tubuh saat bekerja tidak netral atau canggung;

c. Terdapat alat/pendukung kerja yang kurang sesuai;

d. Kurang istirahat yang cukup.

2.2.3.5 Faktor Psikologi

Bahaya faktor psikososial dalam kehidupan individu berkaitan dengan peran

dan harapan dari pekerjaan, keluarga, dan kegiatan komunitas. Ada beberapa

stresor psikososial yang perlu dipertimbangkan antara lain: pekerjaan,

hubungan, situasi keuangan, anak-anak, kelainan psikologis (depresi,

kegelisahan, dan lain-lain), rendahnya rasa percaya diri, kondisi dunia

(masalah di lingkungan tempat tinggal, situasi politik internasional, dan lain–

lain). Stresor psikososial merupakan penyebab stres yang berasal dari risiko

bahaya potensial psikososial (Kementerian Kesehatan, 2011). Dalam

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 56 Tahun 2016 tentang

Penyelenggaran Pelayanan Penyakit Akibat Kerja juga menyebutkan faktor

psikososial yang mungkin ada di tempat kerja, yaitu bekerja dalam shift,

beban kerja yang berlebihan, bekerja monotoni, mutasi dalam pekerjaan,

tidak jelasnya peran kerja, serta konflik dengan teman kerja. Adapun variasi

faktor psikososial dari berbagai sumber pada dasarnya tetap mempunyai


ruang lingkup yang sama, yakni berkaitan dengan kondisi psikologi dan

sosial seseorang. Suatu gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman,

kurang konsentrasi, susah tidur, dan cepat marah. Misalnya, kebisingan yang

terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik, seperti

gastritis, jantung, stres, kelelahan dan lain-lain.

Selain penyakit akibat kerja, kejadian yang tidak biasa di tempat kerja yang mungkin

dapat membahayakan orang atau properti juga dapat terjadi bila terdapat suatu

keadaan yang sedikit berbeda. Hal ini disebut kejadian “Hampir celaka”, baik

kecelakaan atau hampir celaka mengakibatkan cedera, setiap kecelakaan kerja yang

terjadi harus diselidiki untuk menentukan akar penyebabnya sehingga tindakan

korektif dapat diambil untuk mencegah kemungkinan terulangnya kejadian dan

cedera yang sama. Kecelakaan atau hampir celaka jarang terjadi hanya karena satu

hal tetapi seringkali dipicu oleh beberapa faktor kausal yang mengakibatkan

kecelakaan. Faktor-faktor ini seperti penghubung dalam rantai yang berakhir dengan

suatu kecelakaan. Faktor yang berkontribusi terhadap penyebab kecelakaan kerja

adalah faktor manusia, faktor material, faktor peralatan, faktor lingkungan dan faktor

proses. (ILO, 2016)

2.2.4 Diagnosis Okupasi/ Penyakit Akibat Kerja

2.2.4.1 Prinsip Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Terdapat tiga prinsip yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis penyakit

akibat kerja (PAK), yaitu:

1. Hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit


2. Frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi dibanding

yang terjadi di masyarakat

3. Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan promosi kesehatan dan

pencegahan penyakit

2.2.4.2 Aspek Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Diagnosis okupasi memiliki tiga aspek, yaitu:

1. Aspek medis berfungsi sebagai dasar tata laksana medis dan tata laksana penyakit

akibat kerja serta membatasi kecacatan dan keparahan penyakit.

2. Aspek komunitas berfungsi untuk melindungi pekerja lain

3. Aspek legal berfungsi untuk memenuhi hak pekerja

2.2.4.3 Langkah dalam Melakukan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk

mendapatkan informasi yang diperlukan, agar interpretasi yang nantinya

dilakukan tepat. Pendekatan tersebut dilakukan melalui 7 (tujuh) langkah

diagnosis okupasi yang dilakukan sebagai berikut:

1. Langkah Pertama: Menegakkan diagnosis klinis

Diagnosis klinis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan melakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan bila diperlukan dapat dilakukan

pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan khusus.

2. Langkah Kedua: Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja

Dokter harus mendapatkan informasi mengenai semua pajanan yang

dialami dan pernah dialami oleh pekerja karena beberapa pajanan dapat

menyebabkan satu penyakit. Untuk memperoleh informasi tersebut,

dilakukan anamnesis pekerjaan yang lengkap, mencakup deskripsi semua


pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang dialami (pekerjaan terdahulu

sampai saat ini); Lamanya waktu melakukan masing-masing pekerjaan;

Produk yang dihasilkan; Bahan yang digunakan; Cara bekerja; Proses

kerja; Riwayat kecelakaan kerja (tumpahan bahan kimia); Alat Pelindung

Diri (APD) yang digunakan. Informasi tersebut semakin bernilai, bila

ditunjang dengan data yang objektif, seperti MSDS (Material Safety Data

Sheet) dari bahan yang digunakan dan catatan perusahaan mengenai

informasi tersebut.

3. Langkah Ketiga: Menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis

klinis

Pajanan yang teridentifikasi berdasarkan evidence based dihubungkan

dengan penyakit yang dialami. Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis

dapat dilihat dari:

a. Waktu timbulnya gejala setelah terpajan oleh bahan tertentu

b. Penyakit lebih sering timbul apabila berada di tempat kerja dan

berkurang saat libur atau cuti

c. Hasil pemeriksaan pra-kerja dan berkala dapat digunakan sebagai salah

satu data untuk menentukan penyakit berhubungan dengan

pekerjaannya.

4. Langkah Keempat: Menentukan besarnya pajanan

Penilaian untuk menentukan apakah suatu pajanan cukup untuk

menimbulkan gejala penyakit dapat dilakukan secara:


a. Kualitatif: Hal yang diamati adalah cara, proses dan lingkungan kerja

dengan memperhitungkan lama kerja dan masa kerja, pemakaian alat

pelindung (APD) apakah sudah secara benar dan konsisten atau tidak.

b. Kuantitatif: Dilakukan dengan melihat data pengukuran lingkungan

kerja yang dilakukan secara periodik dan data monitoring biologis.

5. Langkah Kelima: Menentukan faktor individu yang berperan

Faktor individu yang berperan terhadap timbulnya penyakit adalah jenis

kelamin, usia, kebiasaan, riwayat penyakit keluarga (genetik), riwayat

atopi, penyakit penyerta.

6. Langkah Keenam: Menentukan pajanan di luar tempat kerja

Penyakit yang timbul mungkin disebabkan oleh pajanan yang sama di luar

tempat kerja sehingga perlu informasi tentang kegiatan yang dilakukan di

luar tempat kerja seperti hobi, pekerjaan rumah dan pekerjaan sampingan.

7. Langkah Ketujuh: Menentukan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Berdasarkan enam langkah tersebut diatas, dapat dibuat kesimpulan

penyakit yang diderita oleh pekerja adalah penyakit akibat kerja atau bukan

penyakit akibat kerja.


Gambar 1. Tujuh Langkah Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

2.2.4.4 Penatalaksanaan dan Alur Kasus

Tata laksana penyakit akibat kerja secara garis besar dibagi menjadi dua,

yaitu:

1. Tata Laksana Medis

Tata laksana medis dilakukan setelah diagnosis klinis ditegakkan, dapat

berupa rawat jalan dan/atau rawat inap yang dilakukan di fasilitas

pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya.

Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan/atau non


medikamentosa seperti edukasi, exercise, fisioterapi, konseling,

psikoterapi dan nutrisi. Rujukan klinis dilakukan dengan syarat, yaitu

diagnosis klinis belum dapat ditegakkan karena timbul keraguan dari

dokter yang melakukan pemeriksaan dan sumber daya manusia, sarana,

dan prasarana yang tidak memadai.

2. Tata Laksana Okupasi

Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis PAK ditegakkan.

Sasarannya adalah individu pekerja dan komunitas pekerja. Tata laksana

okupasi pada individu pekerja terdiri dari:

a. Penetapan Kelaikan Kerja

Hal ini meliputi penilaian risiko, kapasitas dan tolerasi pekerja dengan

tuntutan pekerjaan yang ada di tempat kerja yang digunakan untuk

menentukan pekerja tersebut dapat kembali bekerja pada pekerjaan

sebelumnya, bekerja dengan keterbatasan (limitasi) ataupun restriksi

tertentu atau berganti pekerjaan yang sesuai dengan kondisi kesehatan

pekerja.

b. Program Kembali Bekerja (return to work)

Hal ini merupakan suatu upaya terencana agar pekerja yang mengalami

cedera/sakit dapat segera kembali bekerja secara produktif, aman dan

berkelanjutan. Upaya yang dilakukan, yaitu pemulihan medis, pemulihan

kerja, pelatihan keterampilan, penyesuaian pekerjaan, penyediaan

pekerjaan baru, penatalaksanaan biaya asuransi dan kompensasi serta

partisipasi pemberi kerja


c. Penentuan Kecacatan

Penyakit akibat kerja dapat menimbulkan disabilitas akibat kecacatan

anatomi maupun fungsi yang perlu dinilai persentasenya sehingga pekerja

berhak mendapatkan kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Tata laksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri dari dua, yaitu:

a. Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja

1) Melakukan identifikasi potensi bahaya penyakit akibat kerja

2) Promosi kesehatan kerja sesuai dengan hasil identifikasi potensi

bahaya yang ada di tempat kerja

3) Melakukan pengendalian potensi bahaya di tempat kerja

4) Pemberian informasi mengenai alat pelindung diri yang sesuai

dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja dan cara

pemakaian alat pelindung diri yang benar

5) Pemberian imunisasi bagi pekerja yang terpajan dengan agen

biologi tertentu.

b. Penemuan Dini Penyakit Akibat Kerja

Penemuan dini penyakit akibat kerja dilakukan dengan:

1) Pemeriksaan kesehatan pra kerja

2) Pemeriksaan berkala

3) Pemeriksaan khusus

4) Surveilans kesehatan pekerja dan lingkungan kerja


Gambar 2. Alur Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja

2.2.5 Pelayanan Kesehatan Kerja

Setiap pengelola tempat kerja wajib mengatasi masalah kesehatan yang terjadi pada

pekerja dengan mengadakan upaya penanganan masalah kesehatan bagi pekerja.

Masalah-masalah kesehatan pada pekerja, baik yang berhubungan maupun yang tidak

berhubungan dengan pekerjaan memerlukan pelayanan kesehatan kerja secara

komprehensif meliputi promotif, pencegahan, diagnosis dan tata laksana serta

rehabilitatif. Hal ini perlu didukung oleh berbagai lintas sektor terkait, seperti

Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Tentara Negara Indonesia,


Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, agar efektif

dan efisien

2.2.5.1 Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja

Dalam menyelenggarakan pelayanan penyakit akibat kerja harus didukung

oleh lima hal dibawah ini:

1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan harus kompeten, terlatih,

mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur

operasional. Penyelenggara pelayanan penyakit akibat kerja di fasilitas

pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah dokter dengan kompetensi

tambahan terkait penyakit akibat kerja yang diperoleh dari pendidikan

formal pascasarjana kedokteran kerja. Pelatihan yang dimaksud adalah

pelatihan kesehatan kerja dasar atau pelatihan dokter hiperkes; dan

pelatihan diagnosis dan tata laksana penyakit akibat kerja. Sedangkan

penyelenggaran pelayanan penyakit akibat kerja di fasilitas pelayanan

kesehatan rujukan tingkat lanjutan dilakukan oleh dokter spesialis

kedokteran okupasi. Dalam melakukan pelayanan penyakit akibat kerja,

dokter dapat dibantu oleh tenaga kesehatan lain yang mempunyai

kompetensi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Penyelenggaran pelayanan penyakit akibat kerja dapat dilakukan di

fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, dan fasilitas pelayanan

kesehatan rujukan tingkat lanjutan untuk kasus yang perlu dirujuk.

Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang dimaksud, yaitu

puskesmas, klinik pratama, dokter praktek mandiri. Sedangkan fasilitas

pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutannya adalah klinik utama,

rumah sakit, dokter praktek mandiri spesialis kedokteran okupasi. Kedua

fasilitas pelayanan kesehatan harus sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan mengenai standar fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mendukung

penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja dibagi berdasarkan

strata fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu:

a. Sarana dan prasarana pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat

pertama

b. Sarana dan prasarana pada fasilitas pelayanan kesehatan rujukan

tingkat lanjutan

c. Sarana penunjang diagnosis penyakit akibat kerja

d. Perlengkapan pemeriksaan lingkungan dan alat pemeriksaan

lingkungan.

Apabila tidak dapat diadakan sendiri oleh fasilitas pelayanan kesehatan

dapat bekerja sama dengan laboratorium kesehatan daerah (Labkesda),


Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL), Balai Hiperkes Dinas

Tenaga Kerja setempat atau laboratorium lingkungan kerja lainnya yang

telah terakreditasi.

4. Pembiayaan

Pembiayaan penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja dapat

dilakukan oleh pekerja, pemberi kerja atau melalui sistem jaminan sosial

nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Prinsip

pembiayaan penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja adalah

sebagai berikut:

a. Pembiayaan penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

b. Pembiayaan dilaksanakan berdasarkan penetapan diagnosis dan tata

laksana penyakit akibat kerja.

5. Alur Rujukan

Pelayanan Alur pelayanan PAK memperhatikan alur pelayanan kesehatan

pada umumnya sesuai dengan strata pelayanan kesehatan.


Gambar 3. Alur Pelayanan Penyakit Akibat Kerja

Pelayanan penyakit akibat kerja dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan

tingkat pertama dan/atau di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan.

Apabila ada keterbatasan baik sumber daya manusia, dan tidak tersedia peralatan

maupun fasilitas, maka dapat merujuk ke fasilitas pendukung lainnya dengan sarana

dan prasarana yang lebih baik serta mempunyai sumber daya manusia yang

kompeten. Hasil rujukan dikembalikan ke fasilitas pelayanan kesehatan pengirim.

2.2.5.2 Pencatatan dan Pelaporan

1. Pencatatan

Pencatatan kasus diduga penyakit akibat kerja dan kasus penyakit akibat

kerja wajib dilakukan oleh setiap fasilitas pelayanan kesehatan

penyelenggara pelayanan penyakit akibat kerja di dalam rekam medis. Hal

ini dilakukan sebagai bagian dari surveilans kesehatan pekerja.


2. Pelaporan

Pelaporan dilakukan sebagai bagian dari surveilans kesehatan pekerja

secara berjenjang mulai dari pelayanan kesehatan kepada dinas kesehatan

kabupaten/kota, dilanjutkan ke dinas kesehatan provinsi, dan Kementerian

Kesehatan melalui Direkrorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. Pelaporan

terkait dengan pembiayaan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

2.2.5.3 Pembinaan dan Pengawasan

Kegiatan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh para pemangku

kepentingan terkait dengan pemantauan dan peningkatan kualitas pelayanan

untuk penyakit akibat kerja. Kegiatan yang dilakukan meliputi:

1. Advokasi dan Sosialisasi

Dilakukan untuk memperoleh komitmen dan dukungan dalam upaya

pelayanan kesehatan untuk penyakit akibat kerja baik berupa kebijakan,

sumber daya manusia, dan sarana dan prasarana.

2. Pendidikan dan Pelatihan

Kegiatan pendidikan diperoleh dengan jenjang pendidikan formal di

universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran okupasi.

Pelatihan yang dilakukan berupa pelatihan kurikulum terstandar

berdasarkan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi atau lembaga

lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi. Kegiatan ini

dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan.


3. Pemantauan dan Evaluasi

Dilaksanakan secara periodik oleh dinas kesehatan setempat untuk

mengevaluasi kinerja fasilitas pelayanan kesehatan terhadap pelayanan

untuk penyakit akibat kerja dan memberikan umpan balik capaian kinerja

serta jumlah kasus penyakit akibat kerja. Setiap kasus ditindaklanjuti

dengan program upaya kesehatan masyarakat pekerja yang dilaksanakan

oleh dinas kesehatan dan/atau sektor swasta industri (Permenkes RI,

2016).
DAFTAR PUSTAKA

International Labour Office. 2013. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja. Modul 5.

Jakarta: ILO.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja.

Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Seri Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibat

Kerja bagi Petugas Kesehatan: Gangguan Kesehatan Akibat Faktor Psikososial di Tempat Kerja.

Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Tenaga Kerja. 1999. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI. No.Kep. 187/Men/1999

Tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya di Tempat Kerja. Jakarta: Kemnaker RI.

Anda mungkin juga menyukai