Anda di halaman 1dari 20

Infeksi Virus Hepatitis B Akibat Pekerjaan

Joshua Armando Sitompul

102016103

D2

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email: Johua.2016fk103@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan

Penularan virus hepatitis B biasanya terjadi akibat selaput lendir atau kulit
yang terluka terpajan dengan darah, semen, cairan otak, saliva, dan urine yang
terinfeksi. Dengan demikian, petugas kesehatan yangs sering kontak dengan darah
pasien, misalnya petugas yang bertugas di laboratorium klinis, kamar bedah, unit
gawat darurat, unit dialasis, unit karsinoma, bank darah, dan petugas yang sering
kontak dengan cairan tubuh lainnya.1 Oleh karena itu, dibutuhkan keamanan dan
keselamatan kerja pada instansi medis yang terkait. Kesehatan/kedokteran kerja
adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang
bertujuan, agar pekerja memperoleh derajat kesehatan sebaik-baiknya (dalam hal
dimungkinkan; bila tidak, cukup derajat kesehatan yang optimal), fisik, kuratif,
mental, emosional, maupun social, dengan upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
pekerjaan dan/atau lingkungan kerja, serta terhadap penyakit pada umumnya.2 Berikut
akan dibahas mengenai pajanan biologis yaitu hepatitis B virus terhadap pekerjaan
seorang perawat senior di rumah sakit.

1
Pembahasan
I. Penyakit Kerja Akibat Pajanan Biologis

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23


dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja harus diselenggarakan
di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya
kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10
orang.2 Berbeda dengan pajanan lainnya, pajanan biologis tidak memiliki nilai
ambang/ NAB, karena pada pajanan terendah sekalipun, apabila mikroorganismenya
sangat virulen dan daya tahan tubuh sedang rendah maka dapat menimbulkan
penyakit.3 Penyakit akibat kerja karena pajanan biologis adalah penyakit yang
disebabkan pajanan biologis yang terjadi akibat kontak langsung dengan bahan kerja,
proses kerja, dan lingkungan kerja.

Pajanan biologis dapat terjadi karena akibat:3

 Proses kerja dan bahan kerja

Bila pekerja terpajan bahan biologis karena bekerja langsung dengan bahan
biologis tersebut ataupun merupakan hasil langsung dari proses kerja yang
dilakukan pekerja.

 Lingkungan kerja

Bila pekerja terpajan lingkungan yang tercemar pajanan biologis yang berasal
langsung dari proses kerja di tempat kerja. Ini termasuk penyakit akibat kerja.
Sebagai contoh, penyakit hepatitis pada petugas laboratorium kesehatan dan
perawat di rumah sakit.

Bila pekerja terpajan bahan biologis akibat tercemarnya lingkungan kerja oleh
suatu bahan biologis yang tidak langsung akibat proses kerja seperti hygene
dan pemeliharantempat kerja yang tidak baik bukan merupakan PAK.
Contohnya penyakit hepatitis pada pekerja pabrik sepatu

2
Tabel 1. Pekerja yang Beresiko terkena PAK akibat Pajanan Biologis.4

Sektor Pekerjaan

Pertanian perkebunan, peternakan

Produk Pertanian kehutanan, perikanan, pengolahan


makanan, penyimpanan produk,
penyamakan kulit, pengolahan kayu

Kesehatan Perawatan pasien : medis, dental,


laboratorium, farmasi

Pemeliharaan Pembersihan system ventilasi, karpet,


penanganan limbah

Pajanan biologis yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja terdiri dari:
(1) golongan mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, jamur; (2) vertebrata
seperti ternak dan binatang liar; (3) invertebra (serangga); (4) binatang dalam air.3

Centers for Disease Control/CDC mengkategorikan berbagai penyakit di


tingkat Biohazard, Level 1 menjadi risiko minimum dan Level 4 menjadi risiko
ekstrim. Laboratorium dan fasilitas lainnya dikategorikan sebagai BSL (Biosafety
Level) 1-4. Pembagiannya adalah:4

 Biohazard Level 1: Bakteri dan virus termasuk Bacillus subtilis, hepatitis,


Escherichia coli, varicella (cacar air), serta beberapa kultur sel dan bakteri
non-menular. Pada tingkat ini tindakan pencegahan terhadap bahan
biohazardous yang dimaksud adalah minimal, kemungkinan besar
melibatkan sarung tangan dan beberapa jenis perlindungan wajah.

 Biohazard Level 2: Bakteri dan virus yang menyebabkan hanya penyakit


ringan bagi manusia, atau sulit untuk kontak melalui aerosol dalam
pengaturan laboratorium, seperti hepatitis A, B, dan C, influenza A,
penyakit Lyme, salmonella, gondok, campak, scrapie, demam berdarah.
3
"Pekerjaan diagnostik rutin dengan spesimen klinis dapat dilakukan secara
aman di Biosafety Level 2, menggunakan Biosafety Level 2 praktek dan
prosedur.

 Biohazard Level 3: Bakteri dan virus yang dapat menyebabkan parah


penyakit fatal pada manusia, tapi untuk yang vaksin atau perawatan lain
ada, seperti anthrax, virus West Nile, Venezuela ensefalitis kuda, virus
SARS, TBC, tifus, demam Rift Valley, HIV, Rocky Mountain spotted
fever, demam kuning, dan malaria. Di antara parasitesPlasmodium
falciparum, yang menyebabkan Malaria, dan Trypanosoma cruzi, yang
menyebabkan trypanosomiasis, juga berada di bawah tingkat ini.

 Biohazard Level 4: Virus dan bakteri yang menyebabkan penyakit fatal


pada manusia, dan yang vaksin atau perawatan lain yang tidak tersedia,
seperti demam hemoragik, virus Marburg, virus Ebola, hantaviruses, Lassa
demam virus, Crimean-Kongo demam berdarah, dan penyakit hemoragik.

II. Diagnosis Klinis


Anamnesis

Pada anamnesis hal-hal yang perilu ditanyakan adalah :

o Identitas pasien
Nama : Ny. A (disamarkan)
Usia : 28 tahun
Pekerjaan : Penata laboratorium swasta
Selain itu perlu juga ditanyakan alamat,dan status perkawinan.
o Keluhan utama
Merasa lemas dan sering merasa demam
Berikut adalah pertanyaan untuk menggali keluhan utama :1
 Lemasnya terus-menerus atau hilang timbul?
 Lemasnya sampai tidak bisa berjalan atau seperti apa?
 Semakin lemas saat melakukan apa?
 Lemas menghilang saat melakukan apa?
 Adakah gejala lain seperti lemas? Seperti pusing atau demam?

4
 Apakah gejala yang timbul membaik pada saat istirahat atau liburan?

o Riwayat penyakit sekarang


Berikut adalah pertanyaan yang dapat menggali RPS :
 Apakah terdapat keluhan lain?

o Riwayat pekerjaan1
 Apakah terdapat pekerja lain yang menderita gejala yang sama di
lingkungan kerja?
 Apakah terjadi pajanan debu, uap, atau partikel-partikel zat kimia yang
beracun di lingkungan kerja?
 Kronologis pekerjaan : kronologis tentang pekerjaan terdahulu sampai
sekarang, mengenai: deskripsi lingkungan tempat kerja, infromasi
tentang bahan yg dipakai, proses kerja, produk yang dihasilkan serta
tata cara penanganan limbah industri, lama bekerja di masing-masing
tempat kerja, deskripsi tugas dan jadwal waktu kerja/shift, jumlah hari
absen dan alasannya, penggunaan APD, prosedur pemeriksaan fisik
sebelum masuk kerja, adanya pekerjaan lain disamping pekerjaan
utama (misalnya kerja malam hari).
o Riwayat penyakit dahulu
 Apakah dahulu pernah mengalami hal serupa?
 Apakah memiliki riwayat alergi?
 Apakah memiliki riwayat diabetes?
 Apakah memiliki riwayat hipertensi?
o Riwayat pengobatan
 Apakah sudah pernah berobat sebelumnya?
 Apakah sudah mengkonsumsi obat – obatan?
o Riwayat penyakit keluarga
 Apakah dikeluarga ada yang mengalami hal serupa?
o Riwayat kebiasaan
 Apakah suka merokok?
 Apakah suka meminum minuman alkohol?
o Riwayat social dan ekonomi1
5
 Riwayat kesehatan lingkungan: industri lain di sekeliling tempat kerja
(tingkat polusi lingkungan, pajanan limbah indsutri/percikan zat
beracun dari tempat lain).

Untuk mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja (PAK), kunci utama anamnesis


terdapat pada anamnesis riwayat pekerjaan pasien. Hal yang harus diketahui dari
anamnesis riwayat pekerjaan adalah riwayat sejak pertama kali bekerja sampai
dengan waktu terakhir bekerja. Jangan sekali-kali hanya mencurahkan perhatian pada
pekerjaan yang dilakukan waktu sekarang, namun harus dikumpulkan informasi
tentang pekerjaan sebelumnya, sebab selalu mungkin bahwa penyakit akibat kerja
yang diderita waktu ini penyebabnya adalah pekerjaan atau lingkungan kerja dari
pekerjaan terdahulu. Hal yang lebih penting lagi jika tenaga kerja gemar pindah kerja
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Dapat dibuat tabel yang secara kronologis
memuat waktu, perusahaan, tempat bekerja, jenis pekerjaan, aktivitas pekerjaan,
faktor dalam pekerjaan atau lingkungan kerja yang mungkin menyebabkan penyakit
akibat kerja.

Penggunaan kuesioner yang direncanakan dengan tepat sangat membantu.


Kapan, bilamana, apa yang dikerjakan, bahan yang digunakan, jenis bahaya yang ada,
kejadian sama pada pekerja lain, pemakaian alat pelindung diri (APD), cara
melakukan pekerjaan, pekerjaan lain yang dilakukan, kegemaran (hobi), dan
kebiasaan lain (merokok, alkohol). Kita juga perlu membandingkan gejala penyakit
sewaktu bekerja dan dalam keadaan tidak bekerja. Disebut penyakit akibat kerja bila
pada saat bekerja maka gejala timbul atau menjadi lebih berat, tetapi pada saat tidak
bekerja atau istirahat maka gejala berkurang atau hilang. Perhatikan juga
kemungkinan pajanan di luar tempat kerja. Informasi tentang ini dapat ditanyakan
dalam anamnesis atau dari data penyakit di perusahaan.5

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus selalu disertai riwayat serinci dan setepat mungkin.
Pertama-tama, dilakukan pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital. Selain itu
juga dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi1

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan :

6
 KU : sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 TTV : 120/80mmHg, N : 70/min, RR : 22/min, Suhu : -
 Inspeksi : Sklera icterus +/+
 Palpasi : Hepar 1 jari bawah arcus costae
 Konjungtiva : Normal
IV. Pemeriksaan Penunjang
Bertujuan untuk memastikan ada infeksi pada tubuh pasien sekaligus
menyingkirkan diagnosis banding Hepatitis tipe lainnya. Pemeriksaan yang bisa
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, faal hati dan serologi hepatitis virus.3

Tes SGOT dan SGPT sangat berguna sebagai indeks nekrosis sel hati. Biasanya
nilai tes-tes tersebut akan meningkat sampai 10 kali nilai normal atau lebih pada
nekrosis sel hati.2

 Bilirubin :  kadar normal dalam serum bilirubin total 0,3-1,0


mg/ dL. Bilirubin direk normal 0,1-0,3 mg/dL. Pada
pemeriksaan hepatitis, didapatkan adanya
peningkatan bilirubin total lebih dari 5 mg/dl.6

Bilirubin berasal dari perombakan heme dari hemoglobin, dalam proses


penghancuran eritrosit oleh RES di limpa, hati dan sumsum tulang. Di samping itu
sekitar 20% dari bilirubin berasal dari sumber lain, seperti : non-heme porfirin,
precursor pirol (melalui jalur pintas) dan lisis eritrosit muda dengan eritropoesis yang
tak efektif misalnya talasemia.

Adanya bilirubin di dalam urin menyatakan bahwa adanya gangguan liver.


Bilirubin indirek akan terikat oleh albumin dan tidak saring oleh glomerulus, dan
tidak terdapat di urin. Sebagai akibatnya, hanya bilirubin direk yang ditemukan di
urin. Ini terjadi hanya ketika bilirubin direk ada di dalam serum, yaitu ketika adanya
gangguan liver.

 SGOT/AST :  >1000 U/L terdapat pada hepatitis fulminan,


nekrosis hati berat, hepatitis viral akut.

7
Pada hepatitis viral akut, sebelum ikterus (2-3hari) kadar SGOT sangat tinggi.
Lambat laun menurun dan bilirubinnya naik. Sedangkan pada malaria kadar SGOT
(AST) hanya meninggi sedang kurang lebih sekitar 100-400 U/L.7

 SGPT/ALT :  memiliki nilai normal 2-23 U/L. cara optimized


UV. (antara laboratorium dapat berbeda). Tes SGPT
menunjukkan kelainan parenkim hati dan sangkaan
kelainan faal apabila nilai SGPT lebih besar dari 2-3
kali batas atas nilai normal.

Pada umumnya nilai tes SGPT lebih tinggi daripada SGOT pada kerusakan
parenkim hati akut sedangkan pada proses kronis didapat sebaliknya. Di samping
meninggi pada kerusakan parenkin hati (seperti hepatitis viral) SGPT juga meninggi
pada : inflitrasi lemak (steatore hati) dan hepatitis reaktif nonspesifik.2

 GGT :  nilai normal pada pria sebesar 15-90 U/L, pada


wanita 10-80 U/L.

GGT merupakan yang paling peka pada hepatitis, tetapi GGT tidak spesifik. Pada
hepatitis tanpa komplikasi, GGT hanya meninggi sedikit atau sedang. GGT meninggi
pada kerusakan hati karena alcohol dan hepatoma serta pada kolestasis.

Biasanya dilakukan tes SGPT/SGOT dan GGT biasanya dilakukan bersama-sama.


SGOT dan SGPT untuk mendeteksi kerusakan parenkim hati. Dan GGT mendeteksi
reaksi terhadap zat toksik dan kolestatis, meninggi pada alkoholisme.

Tes SGOT dan SGPT umumnya sudah meninggi pada awal hepatitis akut sebelum
ikterus menjadi manifest. Pada hepatitis viral tanpa penyulit (antara lain kolestatis) tes
transaminase umumnya menurun pada minggu ke 2 atau ke 3 setelah mulainya
ikterus.8

 Serologi

 HBsAg : kemunculan HBsAg merupakan bukti pertama adanya infeksi


hepatitis B. apabila HBsAg tetap muncul selama lebih dari 6 bulan setelah

8
serangan akut, maka hal ini merupakan tanda adanya hepatitis B kronik.3-5

 Anti-HBs : merupakan antibody spesifik untuk HBsAg (Anti- HBs) muncul


pada hamper seluruh individu setelah pembersihan HBsAg dan setelah vaksinasi
hepatitis B. dengan hilangnya HBsAg dan munculnya Anti-HBs ini merupakan
suatu sinyal pertanda bahwa sudah sembuh dari infeksi hepatitis B, tidak adanya
infeksi, dan imunitas.

 Anti-HBc : IgM Anti HBc muncul setelah HBsAg terdeteksi. Merupakan sutau
tanda adanya hepatitis B akut. Anti-HBc ini bisa terus muncul selama 3-6 bulan
atau lebih lama. Namun IgG Anti-HBc juga muncul selama hepatitis B akut atau
pada hepatitis B kronik yang berkembang (dibarengi dengan kehadiran HBsAg)

 HBeAg : Merupakan secret dari bentuk HBcAg yang muncul selama fase
inkubasi setelah terdeteksinya HBsAg. HBeAg merupakan indikasi adanya
replikasi virus dan infeksi. Keunculan HBeAg selama 3 bulan menunjukkan
adanya hepatitis B kronik.

 HBV DNA : lebih sensitive untuk marker dari replikasi virus dan
kemampuan infeksi virus. HBV DNA yang rendah hanya bisa dideteksi
melalui PCR, mungkin saja terdeteksi di serum dan hati setelah pasien sembuh
dari hepatitis B akut, tetapi HBV DNA yang terdapat di dalam serum terikat
dengan IgG jarang sekali memiliki kemampuan infeksi (menular). Pada
hepatitis B kronik maka HBV DNA akan mencapai level tertinggi.3-5

V. Differential Diagnosis

 Hepatitis A : memiliki gejala klinik seperti demam, lemah, letih, dan lesu,
pada beberapa kasus, seringkali terjadi muntah muntah yang terus menerus
sehingga menyebabkan seluruh badan terasa lemas, penyakit kuning (kulit dan
mata menjadi kuning), air kencing berwarna tua, tinja pucat, tetapi gejala
kuning tidak selalu ditemukan.4-6

Demam yang terjadi adalah demam yang terus menerus, tidak seperti
demam yang lainnya yaitu pada demam berdarah, tbc, thypus, dll. Waktu

9
terekspos sampai kena penyakit kira-kira 2 sampai 6 minggu.

Untuk memastikan diagnosis dilakukan pemeriksaan enzim hati,


SGPT, SGOT. Karena pada hepatitis A juga bisa terjadi radang saluran
empedu, maka pemeriksaan gama-GT dan alkali fosfatase dapat dilakukan di
samping kadar bilirubin.

Hasil seroogi : IgM anti HAV dapat dideteksi selama fase akut dan 3-6
bulan sesudahnya dan Anti HAV yang positif tanpa IgM anti HAV
mengindikasikan infeksi lampau.3,4

 Hepatitis C

Penderita Hepatitis C sering kali tidak menunjukkan gejala, walaupun


infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Namun beberapa gejala yang
samar diantaranya adalah lelah, hilang selera makan, sakit perut bagian
kuadran kanan atas, urin menjadi gelap dan adanya jaundice pada kulit atau
mata (jarang terjadi).

Pada beberapa kasus dapat ditemukan peningkatan enzyme hati pada


pemeriksaan urine, namun demikian pada penderita Hepatitis C justru
terkadang enzyme hati fluktuasi bahkan normal.4

Hasil serologi : Anti HCV dapat dideteksi pada 60% pasien selama
fase akut dari penyakit, 35% sisanya akan terdeteksi pada beberapa minggu
atau bulan kemudian. Tetapi bisa saja Anti HCV tidak muncul pada <5%
pasien yang terinfeksi (pada pasien HIV, anti HCV tidak muncul dalam
persentase yang lebih besar).

Secara umum anti HCV akan tetap terdeteksi untuk periode yang
panjang, baik pada pasien yang mengalami kesembuhan spontan maupun yang
berlanjut menjadi kronik. Adanya HCV RNA merupakan petanda yang paling
awal muncul pada infeksi akut hepatitis C. Muncul setelah beberapa minggu
infeksi. Ditemukan pada infeksi kronik HCV.9

 Hepatitis D

Penderita hepatitis D berhubungan penderita hepatitis B dan biasanya


10
epidemiologi dengan transmisinya sama. Resiko terbesar pada pasien dengan
hepatitis B kronik, dan pasien yang terpapar secara parenteral berulang. Pasien
akan terdiagnosis terkena hepatitis D apabila ditemukan HbsAg, anti HDV,
dan IgM anti HBc serum. Paling baik mendiagnosis dengan anti HDV, namun
membutuhkan biaya yang mahal. Hepatitis D ini lebih berat infeksinya dan
kerusakan yang ditimbulkan daripada hepatitis B.

 Hepatitis E

Hepatitis E jarang sekali terjadi di daerah amerika dan eropa.


Transmisi melalui tikus, faecal oral, melalui air yang terkontaminasi, dan
lingkungan yang sanitasinya buruk.mas ainkubasinya 15-60 hari. Pada
pemeriksaan serologi, ditemukan sedikit peningkatan alkali fosfatase dan
bilirubin. Diagnosis untuk hepatitis E bisa ditegakkan apabila gejala klinik
sama seperti hepatitis lainnya yang akut, tetapi harus disertai dengan bukti
bahwa pasien habis berpegian di daerah endemik, perternakan, adanya kontak
dengan hewan yang dapat menjadi reservoir hepatitis E.4

VI. Working Diagnosis


Seorang penata laboratorium swasta berusia 28 tahun, diduga menderita Hepatitis
B akut.

VII. Gejala Klinis


Manifestasi klinik dari hepatitis akut sangatlah bervariasi, tergantung dari
transmisi, infeksi asimptomatik dari tingkat severe sampai ke tingkat fulminant.
Penyakit ini bisa hilang dengan sendirinya dan kembali terinfeksi, menuju ke arah
infeksi kronik.5,6

1. periode inkubasi  bervariasi dari 2 sampai 20 minggu. Tergantung dari


etiologi virus yang menginfeksi dan besarnya dosis yang terpapar pada pasien.
Pada fase ini virus dapat dideteksi di dalam darah. Tetapi serum
aminotransferase dan bilirubin masih di dalam batas normal juga antibodi
tidak terdeteksi.

2. peride pre-ikterus  memiliki gejala klinis seperti kelelahan, mual, muntah,


nafsu makan yang menurun, dan sakit yang tidak jelas pada kuadran kanan
11
atas. Antibodi spesifik virus pertama kali muncul pada fase ini menjadi sangat
tinggi pada umumnya, yang biasanya bertahan pada hari ke-3 sampai hari ke-
10. serum aminotransferase juga mulai meningkat.

3. periode ikterus  Kemunculan urin yang berwarna gelap menandai fase


ikterus pada penyakti ini. Munculnya jaundice, gejala klinik mual dan muntah
memburuk, anoreksia, pruritus, dan kehilangan berat badan 20lb mungkin juga
terjadi. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan perabaaan hepar yang lunak, pada
kasus yang lebih berat ditemukan hepatomegali dan splenomegali. Serum
bilirubin meningkat (total dan direct) biasanya serum aminotransferase
meningkat lebih dari 10x dari angka normal.

4. convalescence  merupakan fase penyembuhan, dapat terlihat dari perbaikan


nafsu makan dan dibarengin oleh serum bilirubin dan serum aminotransferase
yang menurun juga pembersihan virus. Neutralizing antibodies meningkat
menjadi level yang tinggi selama fase penyembuhan.

VIII. Faktor Resiko

Berbagai faktor risiko yang menyebabkan terjadinya Hepatitis B. Di Indonesia,


faktor risiko penularan dari 32 orang anti-HBs positif terbanyak melalui pencabutan
gigi yaitu sebanyak 29 orang (90,6%) diikuti dengan pernah tertusuk jarum tidak steril
sebanyak 18 orang (56,2%). Hanya 3 (9,3%) dari 32 orang pernah menderita Hepatitis
B sebelumnya. Pada 1 orang dengan HBsAg positif, faktor risiko penularan melalui
tertusuk jarum tidak steril, pengobatan akupuntur, cabut gigi, dan ada anggota
keluarga serumah yang pernah menderita Hepatitis B. Faktor risiko penularan
terbanyak pada tenaga kesehatan di Pekanbaru adalah melalui cabut gigi dan tertusuk
jarum bekas atau jarum tidak steril.

Kelompok orang yang menghadapi risiko infeksi termasuk pasangan seks orang
yang terinfeksi, pengguna narkoba suntik, bayi yang dilahirkan oleh wanita yang
terinfeksi, orang yang mempunyai banyak pasangan seks, pria yang berhubungan
kelamin dengan pria, pasien hemodialisis, petugas kesehatan dan anak yang
dilahirkan di negara dengan angka tinggi infeksi hepatitis B. Faktor risiko juga

12
termasuk riwayat keluarga dengan kanker hati, infeksi Hepatitis C, sirosis hati,
hemochromatosis, dan peminum alkohol kronis.5,6

IX . Pajanan

Faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja sangat banyak, tergantung pada bahan
yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja. Pada
umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan:10

1. Golongan fisik : suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan


yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang
kurang baik.
2. Golongan kimiawi : bahan kimiawi yang digunakan dalam proses
kerja,maupun yang terdapat dalam lingkungan
kerja, dapat berbentuk debu, uap,gas, larutan,
awan atau kabut.
3. Golongan biologis : bakteri, virus atau jamur (infeksi)
4. Golongan fisiologis : biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan
cara kerja.
5. Golongan psikososial : lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.

Penyakit hati dalam praktik kesehatan kerja tidak jauh berbeda dengan masalah
yang dihadapi. Secara umum, sel hati dapat dirusak (efek hepatoseluler) dan
mekanisme transpor dari dan ke sel hati dapat terhambat (efek obstruktif). Kedua
kelainan ini dapat berlanjut menjadi sakit kuning. Pajanan utama di tempat kerja
yang berhubungan dengan penyakit hati adalah bahan kimia dan agen infeksi.7

1. Agen kimia

Beberapa hepatotoksin bekerja dengan menyebabkan penyakit akut saat terjadi


pajanan. Hal ini biasanya disebabkan pajanan tersebut yang berat tapi pada
kasus lain, seperti pada kasus yang jarang yaitu keracunan fosfor kuning,
walaupun dalam pajanan yang kecil, efek yang terjadi dapat merupakan
bencana besar dengan kematian sel hati yang luas. Kini, kebanyakan pajanan
di tempat kerja relatif rendah sehingga apapun efek yang terjadi mungkin
disebabkan pajanan kronis dosis rendah yang mengarah ke penyakit keracunan

13
hati kronis.

2. Agen penyebab infeksi

Pekerja laboratorium yang harus memproses organisme atau spesimen


biologis yang terinfeksi merupakan kelompok yang dapat terpajan berbagai
jenis agen penyebab infeksi. Beberapa agen tersebut akan menyebabkan
sebagaian kelainan patologi berupa hati.

Tabel 2. Agen Penyebab Infeksi yang Mengenai Hati.7

Agen penyebab infeksi/penyakit Pekerjaan yang beresiko

Hepatitis A Pekerja saluran limbah

Hepatits B Ahli patologi, petugas lab, petugas kamar


mayat

Hepatitis C Petugas laboratorium

Leptospirosis Pekerja limbah

Malaria Pekerja yang terlibat dalam perjalanan


dan bekerja di daerah endemik

Yellow fever Pekerja yang terlibat dalam perjalanan


dan bekerja di daerah endemik

Schistosomiasis Pekerja pertanian, pekerja konstruksi


(bendungan, irigasi)

Jika dihubungkan dengan skenario, kemungkinan besar penyakit akibat kerja yang
diderita ibu A adalah akibat pajanan biologis yang disebabkan agen infeksi, yakni
virus hepatitis B. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa virus hepatitis B
dapat merusak sel-sel hati yang ditandai dengan meningkatnya serum ALT AST yang
diketahui pada skenario

14
IX. Hubungan Pajanan Dengan Penyakit

Langkah selanjutnya dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan


klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah dengan mecari
tahu hubungan pajanan yang dialami oleh pasien dengan penyakit. Langkah ini
dimulai dengan identifikasi pajanan yang ada, lalu dicari apakah ada hubungan antara
pajanan dengan penyakit yang dialami pasien tersebut. Hubungan antara pajanan dan
penyakit ini haruslah didukung oleh bahan ilmiah seperti literature atau penelitian.
Seandainya belum ada bahan ilmiah yang mampu membuktikan hubungan antara
pajanan dan penyakit, seorang dokter boleh menggunakan pengalaman yang ada
padanya untuk menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit.7
Dalam kasus seorang perempuan 28 tahun. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang diagnosis kerja yang digunakan untuk kasus ini
adalah Hepatitis Virus B akut.

X. Pajanan Cukup Besar?

Saat ini kita ingin mencari tahu apakah pajanan yang dialami oleh pasien cukup
besar sehingga dapat menimbulkan penyakit yang dialaminya. Langkah ini
melibatkan pemahaman mengenai patofisiologi penyakit, epidemiologi, observasi
tempat dan lingkungan kerja, pemakaian APD, dan jumlah pajanannya.7

 Bukti Epidemiologi

Penularan dari hepatitis B dapat melalui jarum suntik, transfusi darah, kulit
yang terabrasi atau tepotong, absorpsi dari permukaan mukosa, kontak langsung
dengan cairan tubuh seperti air mata, cairan serebrospinal, cairan sinovial, cairan
pleura, semen, urin, muntahan, dll. Transmisi dari ibu ke anak merupakan infeksi
yang paling sering terjadi pada neonatus. Anak yang terlahir dari ibu yang terinfeksi
HBV memiliki 90% kemungkinan terinfeksi dari saat jalan lahir. Hampir seluruhnya
menjadi carrier kronik dan sekitar 75% menebabkan kematian. HBV dapat ditemukan
di sekresi vagina, darah, cairan amnion, saliva, dan air susu ibu.3

 Bukti Kualitatif

Bukti kualitatif meliputi beberapa hal seperti cara dan proses kerja, lama kerja

15
dan lingkungan kerjanya.

 Lingkungan Kerja.
Pasien bekerja di laboratorium. Pemakaian APD.

Berdasarkan kasus tidak diberitahukan apakah pasien dalam melakukan


pekerjaan di laboratotium menggunakan alat pelindung diri.
 Jumlah pajanan
Untuk jumlah pajanan diperlukan pengukuran langsung besarnya pajanan di
tempat kerja pasien.7
Tabel 3. Intepretasi Pajanan Virus Hepatitis dalam Darah.3

XI. Pajanan Faktor Individu


Selanjutya, dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan klinis
dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah dengan mencari tahu
apakah ada factor individu yang boleh menimbulkan penyakit yang dialaminya.
Factor individu mencakup status kesehatan fisik pasien, factor kesehatan mental
pasien dan higinis perorangan pasien.7 Berdasarkan kasus, tidak dijelaskan adanya
pajanan factor individu.

16
XII. Faktor Diluar Pekerjaan

Langkah keenam dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan


klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah dengan mencari
tahu apakah ada factor lain di luar pekerjaan termasuk hobi, kebiasaan sehari-hari,
pajanan di rumah dan juga pajanan dari kerja sambilan seandainya ada.7 Berdasarkan
kasus tidak dijelaskan adanya pajanan factor lain di luar pekerjaan.

XIII. Diagnosis Okupasi

Langkah terakhir dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan


klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah penarikan
diagnosis okupasi berdasarkan hasil dari langkah pertama sampai langkah ke enam.
Penarikan diagnosis haruslah berdasarkan pada bukti ilmiah dapat dibagi atas :10

1. Penyakit Akibat kerja (PAK) atau Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK)
2. Penyakit yang diperberat pajanan di tempat kerja
3. Belum dapat ditegakan
4. Bukan Penyakit Akibat Kerja (PAK)
Hasil dari pendekatan klinis terhadap perempuan berusia 28 tahun yang didasari
dengan bukti ilmiah dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan berusia 28 tahun
mengalami infeksi virus hepatitis B akut akibat kerja.

XIV. Penatalaksanaan

Pada sebagian kasus terjadi pemulihan spontan dan hanya diberikan pengobatan
suportif , seperti pada hepatitis A. Keadaan karier biasanya asimptomatik namun
berhubungan dengan hepatitis kronis dan kanker hepatoseluler. Infeksi di masa kanak-
kanak lebih mungkin menjadi kronis daripada infeksi di masa dewasa. Pada karier,
pemerian interferon α disertai inhibitor reverse transcriptase (misalnya lamivudin)
akan direspons dengan menghilangkan HepBeAg dan DNA virus hepatitis B dari
serum.9

Tabel 4. Tatalaksana Hepatitis B.10


HbeAg HBV DNA ALT Terapi

(>105)

17
+ + 2xBANN Efikasi terhadap terapi rendah

Observasi bila ALT meningkat

+ + 2xBANN -Mulai terapi dengan : interferonalfa,


lamivudin atau adefovir

-End point terapi : serokonversi HBeAg dan


timbulnya anti HBe. Durasi terapi Interferon selama
16 bulan›

- + >2BANN -Mulai terapi dengan : interferon

-End point terapi : normalisasi kadarALT dan HBV


DNA (pemeriksaanPCR) tidak terdeteksi

-Durasi terapi :Interferon selama satu tahun·

XV. Pencegahan
 Pencegahan primer
Melaksanakan kewaspadaan standar. Seperti pengendalian lingkungan berupa
proses alat sesuai standar, dekontaminasi, pencucian, dan sterilisasi,
membersihkan permukaan dari barang yang terkontaminasi cairan tubuh.3
 Pencegahan sekunder
Penggunaan alat pelindung diri. Seperti menggunakan sarung tangan pada
waktu melakukan tindakan yang memungkinkan kontak dengan cairan tubuh
atau mencuci alat yang telat terkontaminasi, menggunakan alas kaki tertutup,
menggunakan alat pelindung wajah (google mask) bila melakukan tindakan
yang memungkinkan terkena cipratan vaksinasi. Bagi yang kulitnya terpajan
harus dilakukan mencuci bersih dengan air dan sabun. Untuk mata hidung atau
mulut bilas dengan air selama 10 menit. Kalau tertusuk atau tersayat cuci
dengan air dan sabun, biarkan darah mengalir kemudian luka ditutup. Lakukan
pemeriksaan HbsAg pada sesudah terpajan dan 6 bulan berikutnya.3
Jadwal yang sering untuk vaksinasi hepatitis B adalah 0,1 dan 6 bulan. Mereka
yang telah hanya satu/dua dosis tidak perlu mengulang series, mereka hanya

18
perlu melengkapi dosis yang telah mereka terima ( seperti vaksin lain yang
memerlukan dosis tambahan).3
 Pencegahan tersier
Deteksi dini atau melakukan medical check up. Pada petugas kesehatan
termasuk petugas lab dianjurkan pemeriksaan laboratorium (fungsi liver,
status vaksinasi hepatitis/HbsAg). Pada dasarnya ada 2 jenis pemeriksaan
kesehatan berkala, yaitu: (1) Pemeriksaan berkala umum yang dilakukan
terhadap seluruh pekerja sebagai bagian program pemeliharaan kesehatan
karyawan, atau bila dicurigai terjadinya suatu kemungkinan gangguan
kesehatan akibat berbagai kondisi kerja yang memadai.1,3 (2) Pemeriksaan
kesehatan yang dihubungan dengan ancaman gangguan kesehatan di
lingkungan kerja tertentu yang beresiko tinggi, dilaksanakan secara berkala
untuk memantau pekerja tertentu yang bekerja dalam kondisi spesifik.1,3

XVI. Rujukan
 Rujukan kasus: diagnosis, terapi, dan rawat inap
 Rujukan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas 
pemeriksaan HBsAg
 Rujukan unurk pengendalan di perusahaan

Kesimpulan

Wanita 28 tahun dengan keluhan lemas dan mual selama 5 hari setelah di lakukan
identifikasi terpapar penyakit infeksi hepatitis B akibat pekerjaan.

Daftar Pustaka

1. Jeyaratnam J, Koh D. Buku ajar praktik kedokteran kerja. Jakarta: Penerbit


EGC; 2012, h. 162-9.
2. Suma’mur PK. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (Hiperkes). Jakarta:
CV Sagung Seto; 2011, h. 78-86, 401-57.
3. Eugene RS, Michael FS, Wills CM. Sciff’s Diseases of the Liver. Volume 1.

19
Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia; 2013.p.3-15,715-7,746-86.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simahadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 5thed.Jakarta: Interna Publishing; 2014, h.644-77.
5. McPhee.SJ, Papadakis MA. Lange 2010 Current Medical Diagnosis &
Treatment. 49th ed. Mc Graw Hill: Philadelphia; 2013.p. 602-18.
6. Egi KY, Esty W, Devi Y. Buku Saku Patofisiologi. 4th ed. EGC: Jakarta;
2014.h.665-672
7. Barry S, Levy, et al. occupational and environmental helath. Ed.5.
USA;2012.h. 505-9.
8. Shanahan JF, Barahona M, Boyle PJ. Current occupational and environment
medicine. America; McGraw-Hill Companies Inc. 2013.p. 266-7.
9. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Ed 6. Jakarta:
Eirlangga; 2012.h.244.
10. Kementerian Kesehatan RI. Penyakit akibat kerja karena pajanan biologi.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014.h. 3-5,16-8.

20

Anda mungkin juga menyukai