Anda di halaman 1dari 6

TUGAS RESUME MATA KULIAH INTERVENSI KELOMPOK

(KELAS PSIKOLOGI B – 2017)

KELOMPOK 3

∙ Nama Anggota :

Nurul Izzah Tawil (201710230311084)

Jihan Ayu M.Saleh (201710230311092)

Wahyu Ananda Putri (201710230311108)

Eka Melliyani Zamzam (201710230311175)

TEKNIK INTERVENSI “GAMING”

1. Definisi

Terdapat perbedaan antara konsep game dan play. Dalam pengertian modern, play berfungsi
utama untuk memberikan kesenangan kepada pemain. Sedangkan game memiliki fungsi utama untuk
kepetingan pendidikan. “play” secara umum terlihat sebagai sebuah aktifitas yang spontan yang tidak
memiliki tujuan khusus dan hanya dimotivasi oleh hasrat akan kesenangan (Csikszentmihalyi, Erikson,
Garvey, dalam Schaefer dan Reid, 1986). Play memiliki sifat pleasurable (dapat terpuaskan), secara
alami terjadi dalam bentuk perilaku yang ditemukan pada kehidupan hewan dan manusia (Beach,
Huizinga, Hutt, Plant, dalam Schaefer dan Reid, 1986). Selanjutnya, dijelaskan bahwa play selalu
melibatkan sebuah distorsi atau memutarbalikkan realita, dengan kata lain mengandung unsur kepura-
puraan. Permainan yang berpura-pura dilakukan karena melalui hal tersebutlah seseorang dapat
menunjukkan ekspresi emosinya yang tidak dibolehkan pada kehidupan nyata hal ini juga berlaku pada
anak-anak.

Play juga memiliki unsur ketidakterbatasan, dan kualitas yang tidak terstruktur (Garvey, dalam
Schaefer dan Reid, 1986). “Games” biasanya mengacu pada sesuatu yang formal, permainan yang
terorganisir dengan beberapa aturan. Bermain game adalah sebuah aktifitas yang memberikan dua
elemen dasar pada permainan, yaitu bermaksud untuk mendapatkan kesenangan dan menyediakan
keadaan untuk pengalaman ilustratif (diaplikasikan di kehidupan nyata). Sebagai hasilnya, tingkatan
dan cakupan dari perilaku dalam game lebih terbatas dan terbentuk dibandingkan pada play. Dapat
disimpulkan bahwa game jauh dari sekedar sebagai bentuk dari hiburan. Akan tetapi muncul sebagai
alat untuk menyediakan wadah dalam menghadapi situasi dan keadaan dalam kehidupan nyata.

2. Aspek

Dalam aspek kependidikan, McGonigal (2011) merumuskan empat fitur utama dari sebuah
game yaitu adanya tujuan, aturan, feedback system, dan voluntary participation. Setiap game
mengandung keempat fitur tersebut. Fitur pertama adalah tujuan atau hasil yang akan didapat oleh
peserta dari aktivitasnya di dalam game. Sebuah tujuan yang menjadi bagian dari rancangan game
akan membuat peserta memiliki sebuah sense of purpose. Fitur yang kedua, yaitu aturan, merupakan
batasan-batasan mengenai bagaimana caranya pemain dapat mencapai tujuannya di dalam game.
Adanya aturan mendorong pemain untuk menggali berbagai cara yang dimungkinkan untuk
mewujudkan tujuannya. Karena itu aturan di dalam sebuah game pada dasarnya akan memacu
kreativitas dan strategic thinking pemain. Fitur berikutnya, feedback system, menunjukkan kepada
peserta seberapa dekat mereka dengan tujuan yang ingin diraih di dalam permainan.

Bentuk-bentuk feedback systems misalnya adalah poin, level (tingkatan), score (nilai), atau
progress bar. Feedback yang diberikan secara real-time berfungsi sebagai sebuah janji bagi pemain
bahwa tujuan yang diinginkan pasti bisa dicapai. Karena itu feedback system pada hakikatnya memberi
kepada peserta motivasi untuk tetap bermain. Fitur yang terakhir adalah voluntary participation. Setiap
orang terlibat di dalam sebuah game atas dasar pemahaman bahwa mereka secara suka rela
menerima adanya goals, rules, dan feedback system yang sudah ditetapkan. Voluntary participation
merupakan landasan dasar dari kesediaan sejumlah orang untuk bermain bersama. Kebebasan untuk
memasuki dan keluar dari sebuah permainan akan menjamin bahwa aktivitas yang stressful dan
menantang dilakukan di dalam permainan akan dirasakan sebagai sesuatu yang aman dan
menyenangkan.

3. Game sebagai intervensi

Game sebagai intervensi (games as intervention) menurut pandangan Schrader dan McCreery
(2012), games dipandang sebagai a delivery mechanism untuk intervensi yang dimaksudkan untuk
mengubah melalui proses belajar pemain. Perubahan terjadi sebagai hasil langsung dari pengalaman
di dalam game. Hasil dari intervensi dapat bersifat positif, misalnya meningkatkan motivasi, abilitas
spasial, dan perkembangan keterampilan motorik yang kompleks. Perubahan dapat pula bersifat
negatif, misalnya agresi dan adiksi. Dari sudut pandang ini, games memerlukan sebuah proses yang
disebut dengan proses immersion, yakni keterlibatan secara langsung dan menyeluruh dari pembelajar
dalam berinteraksi dengan sistem yang terdapat di dalam rancang bangun games (Schrader &
McCreery, 2012).

Blessinger dan Wankel (2012) menguraikan syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar sebuah
game bisa memicu proses pembelajaran yang immersive, yaitu (a) adanya unsur tantatangan yang
menggairahkan bagi individu untuk berpartisipasi di dalam permainan; (b) adanya tujuan-tujuan individu
dan kelompok yang selaras satu dengan yang lain, dan memungkinkan untuk diraih (feasible &
congruent goals); (c) adanya relasi antar individu baik di dalam sebuah kelompok, maupun dan antar
kelompok, yang terjadi di lingkungan permainan, baik yang bersifat kompetitif maupun nonkompetitif;
(d) adanya relasi yang bersifat positif dan menggembirakan; (e) adanya unsur-unsur yang
menggairahkan individu untuk belajar di dalam, dan melalui proses, permainan; rancangan permainan
harus mampu memenuhi kebutuhan belajar setiap partisipan; (f) adanya mekanisme yang mampu
memantau proses dan hasil pembelajarian setiap individu, dan memberikan feedback untuk memacu
pencapaian pembelajaran yang lebih tinggi; (g) adanya stiumulasi untuk menngkatkan rasa tanggung
jawab diri sendiri (selfregulation) dan efikasi diri dalam mecapai tujuan pribadi, sehingga dapat terwujud
perasaan positif atas capaian pribadi di dalam proses pembelajaran. Hal ini mengarah pada
kesimpulan tentang besarnya potensi pemanfaatan games sebagai sebuah media pembelajaran.

4. Manfaat dan tahapan Game dalam intervensi

Game menyediakan kesempatan untuk mempelajari keadaan sosial melalui beberapa cara
khusus : (1) komunikasi dengan orang lain, (2) menghormati dan patuh terhadap aturan, (3) disiplin diri,
(4) menghadapi permasalahan secara mandiri, (5) bekerjasama dengan orang lain, (6) kesadaran dan
tanggung jawab terhadap norma kelompok dan ekspektasi kelompok, (7) kompetisi sosial dan kontrol
terhadap ekspresi agresi, serta (8) menghadapi isu mengenai kekuatan dan otoritas. Adapun tahapan
game dalam intervensi diantaranya, tahap persiapan yaitu melakukan wawancara dan observasi pada
pihak – pihak yang terkait. Yang kedua masuk ke dalam tahap intevensi dengan cara membentuk
kelompok, melakukan perkenalan dan pelaksanaan game. Tahap ketiga, melakukan peninjauan pasca
intervensi. Dan yang terakhir melakukan analisa data, yaitu menganalisa hasil dari keseluruhan proses
intervensi.

5. Contoh game dalam intervensi

Berikut beberapa contoh game yang dapat digunakan dalam teknik intervensi :

1. Hoopla
Hoopla merupakan game yang digunakan Nonthern Ireland Curriculum (2009)
dengan tujuan meningkatkan sense of belonging pada anak. Prosedurnya yaitu
kelompok yang terbentuk pada permainan sebelumnya diminta untuk kembali berbaris
sesuai dengan kelompok masing-masing kemudian menghadap pada satu arah yang
sama. Tangan mereka diikat dengan teman yang berada tepat di samping mereka.
Anak yang berdiri paling ujung diminta untuk memutar hoolahoop dengan lengannya
yang tidak diikat dengan temannya. Kemudian hoolahoop tersebut diminta untuk
pindah ke tengan temannya yang berdiri paling ujung dan kemudian kembali ke tempat
start tadi. Aturannya, hoolahoop harus terus berputar dan tidak dijatuhkan ke bawah.

2. My Wish for You


My Wish for You merupakan game yang disusun oleh Flinner (dalam
Lowenstein,2011) yang bertujuan untuk meningkatkan sense of love, sense of
belonging serta self statement pada partisipan. Adapun alat dan bahan game berupa
karton ukuran besar yang telah dibentuk bintang serta glitter atau spidol warna.
Prosedurnya yaitu setiap anak diminta untuk menuliskan “My wish for you” pada sisi
depan bintang. Setelah itu di sisi bintang bagian belakang, mereka diminta untuk
menuliskan harapan mereka untuk orang yang duduk di samping kiri mereka dengan
menggunakan glitter atau spidol berwarna. Setelah selesai menuliskan harapan
tersebut, mereka diminta untuk memberikan bintang berisi harapan tersebut kepada
teman mereka. Anak yang telah menerima bintang diminta untuk membacakan
harapan tersebut. Setelah itu semua anak disuruh untuk mendiskusikan bagaimana
perasaan mereka ketika diminta untuk menuliskan harapan-harapan tersebut. Tugas
dari instruktur adalah menanyakan “Emosi apa yang terluapkan ketika menuliskan
harapan tersebut (apakah marah, sedih, gembira, dll)” atau pertanyaan “Bagaimana
perasaan kalian setelah menerima dan membaca pesan tersebut?” atau pertanyaan “
Apakah bintang itu akan menjadi pengingat bagi kalian?”. Bintang yang telah mereka
peroleh satu persatu diminta untuk diletakkan di tempat-tempat yang bisa dilihat dalam
jangka waktu sesering mungkin. Seperti disamping tempat tidur mereka.

3. What Would They Say


What Would They Say adalah game yang disusun oleh Lubimiv (dalam
Lowenstein, 2010) dengan tujuan meningkatkan kohesi serta involvement dalam
sebuah keluarga. Alat dan bahan berupa kartu melengkapi kalimat, spidol, game
crocodile dentist ̧ kertas, pulpen. Prosedurnya yaitu keluarga diminta untuk memainkan
game secara bergantian di komputer. Ketika salah satu anggota tersebut kalah pada
permainan tersebut (gagal) maka ia harus mengambil salah satu kartu melengkapi
kalimat dan membacakan dengan keras. Anggota keluarga yang lainnya diminta untuk
menebak jawaban atau respon dari anggota keluarga yang mangambil kartu tadi.
Aturannya adalah anggota keluarga tidak boleh marah dengan jawaban atau respon
dari setiap anggota keluarga baik yang menjawab maupun yang mencoba menebak.
Semua anggota keluarga harus mendapatkan giliran. Setiap satu jawaban yang benar
maka diberi nilai satu poin. Namun untuk menjadikan game menjadi noncompetitive,
tantang keluarga tersebut untuk memperoleh sebuah skor bersama dengan
menentukan target tersebut bersama. Ketika mampu mencapai target tersebut, terapis
memberi hadiah.

4. Magic Carpet Ride


Game ini disusun oleh Voortman (dalam Lowenstein, 2011) yang bertujuan
untuk membangun perilaku kooperatif dan membentuk kecocokan antar teman sebaya.
Pada game ini, terdapat tiga sesi permainan. Pertama, mewarnai dengan crayon.
Aturannya, setiap anak hanya boleh memegang satu crayon dan tidak boleh
menukarnya. Setelah itu, terapis menyediakan satu buah gambar yang harus diwarnai
dengan menggunakan crayon yang telah dipegang masing-masing anggota kelompok
dalam batasan waktu tertentu. Kedua, membentuk benda dengan plastisin. Aturannya
adalah setiap anggota harus membentuk satu bentuk yang belum memiliki makna.
Setelah itu digabungkan dan membentuk sebuah benda baru yang memiliki makna.
Ketiga, membangun menara dengan korek api. Aturannya, membangun menara
menjulang tinggi dengan mengginakan korek api.

5. TP. Tangle
Game ini disusun oleh Kelly (2008) dalam kumpulan game cooperative yang
dilakukan untuk membangun meningkatkan sense of belonging dan koneksi pada
anak. Semua pemain harus menghadap pada arah yang sama, kemudian diberi tisu
toilet yang diedarkan pada setiap pemain selanjutnya hingga garis finis. Ketika tisu
robek atau ada anggota yang tidak mengedarkan, maka diulang dari start.

6. Kesimpulan
Game adalah sebuah aktifitas yang memberikan dua elemen dasar pada permainan,
yaitu bermaksud untuk mendapatkan kesenangan dan menyediakan keadaan untuk
pengalaman ilustratif (diaplikasikan di kehidupan nyata). Games biasanya mengacu pada
sesuatu yang formal, atau bisa memiliki fungsi utama sebagai kepetingan pendidikan. Game
memiliki empat fitur utama yang masuk dalam aspek, yaitu adanya tujuan, aturan, feedback
system, dan voluntary participation. Adapun manfaat game dalam teknik intervensi
diantaranya, adanya komunikasi dengan orang lain, menghormati dan patuh terhadap aturan,
disiplin diri, menghadapi permasalahan secara mandiri, bekerjasama dengan orang lain,
kesadaran dan tanggung jawab terhadap norma kelompok dan ekspektasi kelompok, kompetisi
sosial dan kontrol terhadap ekspresi agresi, serta menghadapi isu mengenai kekuatan dan
otoritas.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Rahmat. (2018). “Game-Based Learning: Academic Games sebagai Metode Penunjang
Pembelajaran Kewirausahaan”. Vol. 26. No. 2, 71 – 85.

Muhaeminah. (2015). “Game Therapy Untuk Meningkatkan Sense Of Belonging Anak Panti Asuhan”.
Vol. 03, No.01.

Anda mungkin juga menyukai