Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) akut adalah
indikator terjadinya oklusi total pembuluh darah arteri coroner yang
disebabkan oleh thrombus. Diagnosis STEMI dapat ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris yang dapat dirasakan seperti rasa
tertekan benda berat di daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, nyeri
epigastrium, disertai keluhan penyerta seperti keringat dingin, sesak
napas, mual/muntah, dan pada pemeriksaan EKG didapatkan elevasi
segmen ST persisten di dua sadapan bersebelahan (PERKI 2015).
STEMI dapat terjadi saat istirahat maupun sewaktu-waktu (Pusponegoro
2015).
Pada pasien STEMI, terjadi penurunan aliran darah koroner secara
mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi
injuri vaskuler. Injuri vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Alwi, 2014). Karakteristik
gejala iskemia miokard yang berhubungan dengan elevasi gelombang ST
persisten yang dilihat berdasarkan EKG dapat menentukan terjadinya
STEMI.
Saat ini, kejadian STEMI sekitar 25-40% dari infark miokard, yang
dirawat di rumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1 tahunnya sekitar 7-
18% (O’Gara et al., 2013). Menurut American Heart Association (AHA)
infark miokard tetap menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan
di seluruh dunia, Setiap tahun diperkirakan785 ribu orang Amerika
Serikat mengalami infark miokard dan sekitar 470 ribu orang akan
mengalami kekambuhan berulang, setiap 25 detik diperkirakan terdapat
1 orang Amerika yang mati dikarenakan Infark Miokard (AHA,2012).
Di Indonesia menurut Kemenkes (2013) prevalensi jantung koroner
berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 %,
dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 persen.
Adapun komplikasi penyakit STEMI menurut Black & Hawks
(2014) yaitu disritmia yang meliputi supraventrikal takikardia (SVT),
disosiasi atrium dan ventrikel (blok jantung), takikardi ventrikel, fibrilasi
ventrikel, bradikardi simtomatik; syok kardiogenik; gagal jantung dan
edema paru; emboli paru; infark miokardium berulang; komplikasi yang
disebabkan oleh nekrosis miokardium; perikarditis dan sindrom dressler
(perikarditis akhir). Gangguan kebutuhan dasar pada pasien STEMI akan
menimbulkan masalah keperawatan, seperti gangguan kebutuhan
aktivitas dan juga sesak napas yang diakibatkan penurunan curah
jantung, serta gangguan kenyamanan pasien. Sehingga perlu dilakukan
penatalaknasanaan pasien yang lebih baik seperti terapi modalitas
mencakup medikasi, penatalaksanaan cairan, perubahan diet, modifikasi
gaya hidup dan pemantauan tindak lanjut yang intensif. Pendidikan
pasien dan kepatuhan merupakan aspek penting untuk hasil yang lebih
baik.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian STEMI inferior
2. Untuk mengetahui etiologi STEMI inferior
3. Untuk mengetahui patofisiologi STEMI inferior
4. Untuk mengetahui tanda gejala STEMI inferior
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang STEMI inferior
6. Untuk mengetahui pathway STEMI inferior
7. Untuk mengetahui pengkajian STEMI inferior
8. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan STEMI inferior
9. Untuk mengetahui fokus intervensi STEMI inferior
BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pembahasan
1. Definisi STEMI inferior
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) adalah suatu kondisi yang
dapat mengakibatkan kematian sel miosit jantung karena iskhemia yang
berkepanjangan akibat oklusi koroner akut (Black & Hawk, 2005).
STEMI terjadi akibat stenosis total pembuluh darah koroner sehingga
menyebabkan nekrosis sel jantung yang bersifat irreversible (Brown &
Edwars, 2005).

Infark inferior dan posterior diakibatkan oleh oklusi right coronary


artery (RCA) pada 80-90% pasien sedangkan 10- 20% pasien
diakibatkan oleh oklusi arteri left circumflex (LCX). Pada infark inferior
dijumpai adanya perubahan EKG ST elevasi pada lead II, III, aVF
sedangkan infark posterior dijumpai adanya ST segmen depresi di V1 -
V4 (Underhill, 2005; Libby, 2008).

2. Etiologi STEMI inferior


Penyebab terjadinya STEMI adalah penurunan secara mendadak
pada aliran darah coroner akibat dari oklusi trombotik total dari arteria
koronaria yang sebelumnya sebelumnya menyempit karena
arterosklerosis. Perkembangan atau progres terjadinya lesi
aterosklerotik sehingga sampai pada titik dengan pembentukan
thrombus yang terjadi merupakan proses yang kompleks yang
berhubungan dengan cedera vaskuler. Cedera ini dapat dikarenakan oleh
beberapa faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid
(Sudoyo et al 2010 dan Fauci et al 2010).
3. Patofisiologi STEMI
Proses aterosklerotik terjadi ketika ada luka pada sel endotel yang
bersentuhan langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel
endotel yang semula licin menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah
menempel dan masuk kelapisan dinding arteri. Penumpukan plak yang
semakin banyak akan membuat lapisan pelindung arteri perlahan-lahan
mulai menebal dan jumlah sel otot bertambah. Setelah beberapa lama
jaringan penghubung yang menutupi daerah itu berubah menjadi
jaringan sikatrik, yang mengurangi elastisitas arteri. Semakin lama
semakin banyak plak yang terbentuk dan membuat lumen arteri
mengecil.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah
ada sebelumnya (Black & Hawk, 2005; Libby, 2008 & Alwi, 2006).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisura, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau
sistemik memicu trombogenesis sehingga mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich
red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI yang
memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Pada lokasi ruptur plak,
berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin dan serotonin) memicu
aktivasi trombosit yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktivitas trombosit
juga akan memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktivasi faktor
VII dan X sehingga menkonversi protombin menjadi thrombin dan
fibrinogen menjadi fibrin. Pembentukan trombus pada kaskade
koagulasi akan menyebabkan oklusi oleh trombus sehingga
menyebabkan aliran darah berhenti secara mendadak dan
mengakibatkan STEMI (Black & Hawk, 2005; Lily, 2008; Libby, 2008
& Alwi, 2006).
4. Tanda gejala STEMI
STEMI dapat menimbulkan nyeri dada hebat yang tidak dapat hilang
dengan istirahat, berpindah posisi, ataupun pemberian nitrat, kulit pucat,
berkeringat dan dingin saat disentuh, gejala awal tekanan darah dan nadi
dapat naik, tetapi juga dapat berubah menjadi turun drastis akibat dari
penurunan curah jantung, jika keadaan semakin buruk hal ini dapat
mengakibatkan perfusi ginjal dan pengeluaran urin menurun. Jika
keadaan ini bertahan beberapa jam sampai beberapa hari, dapat
menunjukkan disfungsi ventrikel kiri. Pasien juga terkadang ada yang
mengalami mual muntah dan demam (Lewis, 2011).

 Fungsi atrium kanan menerima darah dari vena kava superior


dan inverior, sedangkan atrium kiri menerima darah dari
arteri pulmonalis.
 Fungsi ventrikel kiri menerima darah yang kaya oksigen dari
atrium kiri. Darah melewati katup mitral menuju ke ventrikel
kiri. Katup aorta menutup, sehingga darah yang sedang
mengisi ventrikel kiri tidak mengalir ke aorta. Setelah
ventrikel kiri terisi penuh tekanan akan naik melebihi
tekanan aorta sehingga katup aorta terbuka ventrikel kanan
berkontraksi memompa darah keseluruh tubuh dan katup
mitral menutup untuk mencegah darah kembalu ke atrium.
 Komplikasi yang dapat terjadi antara lain disritmia, shock
kardiogenik, gagal jantung dan lain lain yang dapat
menimbulkan kematian, oleh karena itu identifikasi dini
tanda dan gejala yang dapat mencetuskan awitan tersebut.
5. Pemeriksaan penunjang STEMI inferior.
Pemeriksaan penunjang:
1. Electrocardiograf (ECG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal
miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri
coroner menunjukkan elevasi segmen ST. kemudian gambaran
EKG berupa segmen elevasi ST akan berkembang menjadi
gelombang Q. ST elevasi pada STEMI dapat dilihat pada lead II,II
dan aVF.
2. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah
creatinin kinase myocardial band (CKMB) dan cardiac specific
troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB.
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien
dengan elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada
pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali
nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam
2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik
dapat meningkatkan CKMB.
2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14
hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
3) Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin,
creatinine kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH) Reaksi
non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah
onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat
mencapai 12.000-15.000/ul.
6. Pathway STEMI inferior

Thrombus atau arterosklerosis

Aliran darah koroner yang


mengarah pada bagian inferior
menurun secara mendadak

Terjadi peningkatan
kebutuhan metabolisme
jantung

Keadaan iskemik
Peningkatan kebutuhan Penurunan fungsi jantung berkembang
suplai O2 jantung cepat menjadi infark

Penurunan suplai Nyeri dada


Peningkatan kebutuhan
darah keseluruh tubuh
O2 tidak diimbangi
dan organ
fungsi optimal jantung
Nyeri akut

Sesak napas dan Tidak mampu


pernapasan tidak mentoleransi
Paru-paru
stabil aktivitas tertentu

Pola napas tidak Intoleransi aktivitas


efektif

(Mansjoer, 2000; Price & Wilson,


2006; Smeltzer & Bare, 2001)
(Subagjo, Achyar, & Ratnaningsih,
2011)
7. Pengkajian STEMI inferior
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam, nomor register, dan diagnosis
medis.
b. Pengkajian primer meliputi airway, breathing, circulation dan
disability
c. Pengkajian sekunder yang meliputi keluhan utama, rps, prd, rpk,
riwayat pekerjaan, riwayat geografi, riwayat alergi, kebiasaan sosial
dan kebiasaan merokok.
d. Pemeriksaan fisik lengkap
e. Pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan diagnostic, EKG
f. Program terapi yang meliputi obat-obatan atau terapi lain yang
diberikan.
8. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (STEMI
inferior)
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
anatar supali dan kebutuhan oksigen
9. Fokus intervensi
No Tujuan Intervensi
Dx
1 NOC : Tingkat nyeri NIC : Manajemen nyeri
Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri
keperawatan selama 3x24 jam komprehensif
diharapkan pasien dapat 2. Observasi adanya petunjuk
mengendalikan nyeri dengan krotria non verbal
hasil: 3. Ajarkan penggunaan teknik
Indikator Awal Tujuan non farmakologi
- Nyeri yang 4. Pastikan pemberian
dilaporkan analgesik dengan
- Ekspresi pemantauan ketat
wajah 5. Berikan individu penurun
- Mengerang nyeri yang optimal dengan
- Mengernyit resepan analgesic
- Mengeluarkan Pengalihan
keringat 1. Ajarkan pasien cara
- Kehilangan terlibat dalam pengalihan
nafsu makan (misalnya, menagnjurkan
- Mual kata positif atau netral)
- Frekuensi jika memungkinkan
nafas
- Tekanan darah
Keterangan :
1 : Berat
2 : Cukup berat
3 : Sedang
4 : Ringan
5 : Tidak ada

2 NOC : Setelah dilakukan tindakan Monitor pernafasan


3x24jam diharapkan pola napas 1. Monitor kecepatan,
pasien membaik dengan indikator irama, kedalaman dan
Status pernafasan kesulitan bernafas.
Indikator Awal Akhir 2. Monitor suara
Frekuensi tambahan
pernafasan 3. Monitor saturasi
Irama oksigen pada pasien
pernafasan yang tersedasi (SpO2)
Kedalaman Manajemen jalan nafas
inspirasi 1. Posisikan untuk
Dispena meringankan sesak
saat nafas
istirahat 2. Monitor status
Ket: pernafasan dan
1. Deviasi berat dari kisaran normal oksigenasi
2. Deviasi cukup dari kisaran normal sebagaimana
3. Deviasi sedang dari kisaran normal mestinya.
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak deviasi dari kisaran normal

3 NOC : status jantung paru NIC: Manajemen energi


Setelah dilakukan tindakan 3x24jam 1. Monitor sistem
diharapkan keadaan pasien membaik kardiorespirasi
dengan indikator (misalnya takikardi,
disritmia, dyspnea,
Indikator Awal Tujuan dan frekuensi
Tekanan darah pernafasan)
sistol Bantuan perawatan diri:
Tekanan darah 1. Monitor kemampuan
diastole diri secara mandiri
Denyut nadi
apical
Irama jantung
Saturasi oksigen

Keterangan:
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi cukup dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak deviasi dari kisaran normal

Toleransi terhadap aktivitas


Indikaotr Awal Akhir
Temuan/hasil EKG
(electrocardiogram)
Kemudahan dalam
melakukan
aktivitas hidup
harian (ADL)
DAFTAR PUSTAKA

Alwi I., 2014. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST, dalam: Buku Ajar Ilmu
Pengetahuan Penyakit Dalam Jilid II. Sudoyo A. W, Setryohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing pp. 1741-54.
American Heart Association. Older Americans and Cardiovascular
DiseasesStatistics. American Heart Association. 2012. Available from
:http://www.american heart.org/presenter.jhtml identifier_3000936
Black, J. M., & Hawk, J. H. (2005). Medical surgical nursing clinical management
for positive outcomes (7th Ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Saunders.
Giugliano RP, Cannon CP, Braunwald E (2015). Non-ST elevation acute coronary
syndromes. Dalam: Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E.
Braunwald’s heart disease. Philadelphia: Elsevier Saunders, pp. 1155- 1168.
Libby, A (2008). The Pathogenesis of Atheroclerosis. Dalam: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, (2005).
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition. Mc Graw Hill
education. pp: 1425
Perhimpunan Dokter spesialis kardiovaskuler indonesia. Pedoman tatalaksana
sindrom koroner akut. PERKI. 2015
Pusponegoro, D Aryono. 2015. Buku Panduan Basic Trauma and Cardiac Life
Support, Jakarta : Diklat Ambulance AGD 118
Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, M., & Setiati, S. et al. (2006).
Buku ajar ilmu penyakit dalam (Ed. 4). Jakarta: FKUI
Underhill, S. L., Woods, S. L., Froelicher, E. S. S., & Halpenny, C. J. (2005).
Cardiac nursing (5th Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
LAPORAN PENDAHULUAN STEMI INFERIOR

DI RUANG ICU RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO


PURWOKERTO

Stase Keperawatan Gadar dan Kritis

Oleh :
WINDA INDRIANI
I4B019011

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PROFESI NERS
2019

Anda mungkin juga menyukai