Anda di halaman 1dari 36

Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi

Mata Kuliah Penilaian Pembelajaran


Dosen Pengampu: Hieronimus Sujati, M.Pd. dan Kurniawati, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh :
Khotimah Safinatunnajah (18108241023)
KELAS 3E

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENGERTIAN PENGUKURAN, PENILAIAN, DAN EVALUASI

Dalam praktek sering kali terjadi kerancuan atau tumpang tindih (overlap)
penggunaan istilah “pengukuran”, “penilaian”, dan “evaluasi”. Kejadian ini dapat
dipahami karena antara ketiga istilah tersebut ada saling keterkaitan. Uraian
berikut ini dapat membantu dalam memperjelas perbedaan serta hubungan antara
pengukuran, penilaian, dan evaluasi.
A. Pengukuran
1. Pengertian Pengukuran
Pengukuran yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
measurement merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengukur
dalam arti memberi angka terhadap sesuatu yang disebut obyek
pengukuran atau obyek ukur. Mengukur pada hakekatnya adalah
pemasangan atau korespondensi 1-1 antara angka yang diberikan dengan
fakta dan diberi angka atau diukur.
Secara konseptual angka-angka hasil pengukuran pada dasarnya
adalah yang bergerak dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan,
misalnya dari rendah ke tinggi yang diberi angka dari 0 sampai 100, dari
negatif ke positif yang juga diberi angka dari 0 sampai 100, dari otoriter ke
demokratik yang juga diberi angka dari 0 sampai 100, dari dependen ke
independen yang juga diberi angka dari 0 sampai 100, dan sebagainya.
Rentangan angka yang diberikan tidak selalu harus dari 0 sampai 100
tetapi dapat pula menggunakan rentangan lain misalnya dari 10 sampai 50,
dari 20 sampai 100, atau dari 30 sampai 150, dan sebagainya, yang penting
ukuran dari fakta-fakta yang hendak diukur dari suatu obyek ukur harus
merupakan rentangan kontinum yang bergerak dari suatu kutub ke kutub
lain yang berlawanan. Alat yang dipergunakan dalam pengukuran dapat
berupa alat yang baku secara internasional, seperti meteran, timbangan,
Stopwatch, termometer dan sebagainya, serta dapat pula berupa alat yang
dibuat dan dikembangkan sendiri dengan mengikuti proses pengembangan
atau pembakuan instrumen.

2
Pengukuran atau measurement, pengertiannya menjadi lebih luas,
yakni dengan menggunakan observasi skala rating atau alat lain yang
membuat kita dapat memperoleh informasi dalam bentuk kuantitas. Juga
berarti pengukuran dengan berdasarkan pada skor yang diperoleh
(Mohrens, dalam Asrul, dkk. 2014: 3). Arikunto (dalam Astiti, 2017:2)
berpendapat bahwa pengukuran adalah proses membandingkan sesuatu
dengan satu ukuran tertentu, atau dapat juga dikatakan bahwa pengukuran
adalah proses pemberian angka kepada suatu atribut atau karakter tertentu
yang dimiliki oleh orang atau objek tertentu menurut aturan atau formulasi
yang jelas. Hasil pengukuran biasanya bersifat kuantitatif dalam bentuk
angka-angka, misalnya salah satu pengukuran yaitu pemberian ulangan
harian kepada siswa. Berdasarkan jawaban yang telah dibuat siswa,
diperoleh nilai masing-masing siswa di antaranya, Andi 70, Yoga 80,
Agus 85, dll. Nilai 70,80,85 tersebut merupakan hasil dari pengukuran.
Menurut Cangelosi (dalam Djaali dan Pudji, 2008: 3), pengukuran
adalah proses pengumpu lan data melalui pengamatan empiris. Pengertian
yang lebih luas mengenai pengukuran dikemukakan oleh Wiersma dan
Jurs (dalam Djaali dan Pudji, 2008: 3) bahwa pengukuran adalah penilaian
numerik terhadap fakta-fakta dari obyek yang hendak diukur menurut
kriteria atau satuan-satuan tertentu.
Pengukuran dapat diartikan sebagai proses memasangkan fakta-
fakta suatu obyek dengan satuan-satuan ukuran tertentu, sedangkan
penilaian adalah suatu proses membandingkan suatu obyek atau gejala
dengan mempergunakan patokan-patokan tertentu seperti baik tidak baik,
memadai tidak memadai, memenuhi syarat tidak memenuhi syarat, dan
sebagainya.
2. Pengukuran di Bidang Pendidikan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
pesat membawa dampak pada perkembangan pengukuran di bidang
pendidikan dan psikologi. Hal ini karena semakin banyaknya aspek
psikologis pada manusia yang berkaitan atau berpengaruh terhadap usaha

3
peningkatan pendidikan untuk memberdayakan kemampuan manusia
dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia lebih berkualitas
Obyek-obyek pengukuran dalam bidang pendidikan menurut
Djaali dan Pudji (2008: 4-5) ialah:
a. Prestasi atau hasil belajar siswa
Prestasi atau hasil belajar diukur dengan menggunakan tes. Dilihat
dari aspek standardisasi, ada dua macam tes yaitu tes baku dan tes
buatan guru. Tes baku adalah tes yang sudah diuji di lapangan dengan
maksud mendapatkan data tentang keterandalan (reliability) dan
kesahihan (validity) pengukuran serta standar normatif yang dipakai
untuk menaksir skor tes. Contoh tes baku adalah tes TOEFL, Stanford
achievement test, Metropolitan achievement test, lowa test of basic
skills, California achievement test, dan lain-lain. Selain tes baku ada
pula tes non-baku yang biasa disebut tes buatan guru, yaitu tes yang
dibuat oleh seseorang atau kelompok untuk digunakan sesaat dan hanya
berlaku inter serta hanya untuk mengukur satu jenis kemampuan. Tes
non-baku atau tes buatan guru biasanya tidak dilakukan pengujian di
lapangan tetapi langsung dipakai. Contoh tes non-baku adalah tes
buatan guru, dosen, instruktur pelatihan, dan lain-lain.
b. Sikap
Sikap ini diukur dengan menggunakan instrumen skala sikap
seperti yang dikembangkan oleh Likert, semantik diferensial, skala
Thurstone, dan lain-lain.
c. Motivasi
Motivasi diukur dengan instrumen berbentuk skala yang
dikembangkan dari teori-teori motivasi.
d. Intelgensi
Intelgensi diukur dengan menggunakan tes intelgensi seperti tes
Stanford Binet, tes Binet Simon, tes Wechsler, dan tes intelgensi
multiple.
e. Bakat

4
Bakat diukur dengan menggunakan tes bakat seperti tes bakat seni,
tes bakat mekanik, tes bakat olahraga, tes bakat numerik, dan lain-lain.
f. Kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional diukur dengan menggunakan instrumen
yang dikembangkan dari teori-teori emosional.
g. Minat
Minat diukur dengan menggunakan instrumen minat yang
dikembangkan dari teori-teori minat.
h. Kepribadian
Kepibadian diukur dengan menggunakan tes kepribadian seperti Q-
sort, sixteen personality factor pearson (16PF), Minnesota Multiphasic
Personality Inventori (MMPI), California Psychological Inventory
(CPI), Eysenck's Personality Inventory (EPI), dan lain-lain.
Dalam bidang pendidikan, pengukuran memegang peranan yang
sangat penting. Data hasil pengukuran dalam bidang pendidikan memiliki
arti penting baik bagi sekolah atau lembaga pendidikan, guru, maupun
bagi siswa dan orang tua siswa atau masyarakat. Bagi guru misalnya hasil
pengukuran berfungsi untuk membandingkan tingkat kemampuan siswa
dengan siswa-siswa lain dalam kelompok yang diajarnya. Di sekolah
pengukuran dilakukan guru untuk menaksir prestasi siswa. Alat yang
digunakan untuk mengukur prestasi siswa pada umumnya adalah tes yang
disebut tes hasil belajar.
3. Ciri-ciri Pengukuran
Purwanto (2010: 14-16) dalam bukunya yang berjudul “Evaluasi
Hasil Belajar” mengungkapkan bahwa pengukuran dalam pendidikan
mempunyai sejumlah ciri yaitu: meniru model pengukuran dalam ilmu
alam, bersifat tidak langsung, menggunakan ukuran kuantitatif, dan
mengandung kesalahan. Masing-masing ciri dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Meniru model pengukuran dalam ilmu alam

5
Pengukuran adalah cara yang digunakan dalam ilmu alam untuk
pengumpulan data. Cara ini kemudian diadaptasi ke dalam ilmu sosial
dan pendidikan untuk tujuan yang sama.
b. Bersifat tidak langsung
Pengukuran dalam pendidikan bersifat tidak langsung, sebab
perubahan perilaku yang menjadi hasil pendidikan tidak dapat secara
langsung diukur. Pengukuran benda-benda fisik dalam ilmu alam
seperti berat, tinggi, suhu, dan sebagainya dapat dilakukan secara
langsung karena sifat yang diukur dapat secara langsung dibandingkan
dengan alat ukur. Karakteristik manusia berupa hasil belajar tidak
tampak dalam penampilan langsung tapi harus dirangsang dulu agar
siswa memberikan respons, baru tampak sifat yang diukur dalam
respons yang diberikan. Pengukuran dalam pendidikan tidak dilakukan
dengan langsung membandingkan sifat yang diukur dengan alat ukur.
c. Menggunakan ukuran kuantitatif
Pengukuran dalam pendidikan – sebagaiaman pengukuran dalam
ilmu alam – menggunakan ukuran kuantitatif. Dalam proses
kuantifikasi, sifat kualitatif data pendidikan diubah dalam bentuknya
yang kuantitatif dengan aturan pengukuran tertentu. Penggunaan ukuran
kuantitatif ini mempunyai beberapa keuntungan:
1) Pemahaman karakteristik siswa yang diukur dapat dilakukan secara
objektif. Pengukuran memungkinkan pengumpulan data dapat
dilakukan secara objektif sebab dengan pengumpulan data dengan
alat ukur maka pengumpul data menyerahkan wewenang
pengumpulan data kepada alat ukur. Cara ini dapat menghindarkan
intervensi subjektivitas pengumpul data pengumpulan data.
2) Pengukuran ukuran kuantitatif dalam data pendidikan menyajikan
informasi dengan akurasi yang lebih tinggi. Misalnya: bila data
disajikan secara kualitatif maka informasi yang dapat diberikan
sangat terbatas. Pemberian penilaian dilakukan dengan cara yang
tidak akurat dengan memberikan hasil pengukuran berupa sangat
pandai, pandai, sedang, bodoh, atau sangat bodoh. Sebaliknya, bila

6
data disajikan dalam ukuran kuantitatif yang melibatkan bilangan,
maka data mengenai siswa dapat disajikan dengan akurasi yang
sangat tinggi.
d. Mengandung kesalahan
Pengukuran benda fisik dalam ilmu alam dapat mencapai hasil
yang lebih akurat karena benda yang diukur bersifat stabil. Akibatnya,
pengukuran dalam ilmu alam mengandung kekeliruan yang sangat
rendah. Berbeda dengan itu, pengukuran dalam pendidikan dilakukan
atas kejiwaan manusia yang dapat berubah-ubah. Manusia memiliki
perasaan yang turut memengaruhi hasil pengukuran atas dirinya.
4. Macam-macam Skala Pengukuran
Astiti (2017: 15-16) menyebutkan ada empat macam skala
pengukuran, diantaranya:
a. Skala Nominal
Pengukuran dengan skala nominal merupakan tingkat
mengategorikan, memberi nama, dan menghitung fakta-fakta dari
objek yang diteliti. Ciri skala nominal adalah posisi data setara dan
tidak dapat dilakukan operasi matematika untuk data tersebut. Contoh,
ikan biasanya diklasifikasikan menjadi 1) ikan tanpa rahang, 2) ikan
bertulang rawang, 3) dan sisanya tergolong ikan bertulang keras.
b. Skala Ordinal
Skala ordinal adalah skala yang dinyatakan dalam bentuk kategoru
dan memiliki peringkat. Ciri-ciri skala ordinal adalah posisi data tidak
setara dan tidak dapat dilakukan operasi matematika, misalnya
kepuasan pelanggan dikategorikan sebagai 1) sangat puas, 2) puas, 3)
tidak puas, dan 4) tidak puas.
c. Skala Interval
Skala interval adalah skala yang sama seperti nominal dan ordinal,
namun memiliki karakteristik tetap dan dapat dinotasikan dalam
fungsi matematika. Data interval juga dapat dikatakan sebagai data
yang diperoleh dengan cara pengukuran, di mana jarak antardua titip

7
pada skala, sudah diketahui. Contoh, Celcius pada 0-100 derajat
memiliki jarak 100.
d. Skala Rasio
Data berskala rasio adalah data yang diperoleh dengan cara
pengukuran, di mana jarak dua titik pada skala sudah diketahui, dan
mempunyai titik nol yang absolut. Ciri skala rasio adalah tidak ada
kategorisasi atau pemberian kode, bisa dilakukan operasi matematika.
Contoh, jumlah pensil di meja: jika 3, berarti ada 3 pensil. Jika 0,
berarti tidak ada pensil (absolut).
B. Penilaian
1. Pengertian Penilaian
Penilaian yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
assessment berarti menilai sesuatu. Menilai itu sendiri berarti mengambil
keputusan terhadap sesuatu dengan mengacu pada ukuran tertentu, seperti
menilai baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh, tinggi atau
rendah, dan sebagainya.
Menurut Astiti (2017: 2), penilaian (assessment) adalah proses
penentuan kualitas suatu objek dengan membandingkan antara hasil ukur
dengan standar penilaian tertentu atau dapat juga dikatakan sebagai suatu
pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik
seseorang atau sesuatu. Pendapat Astiti selaras disampaikan oleh
Baranovskaya & Shaforostova (2017: 32) dalam jurnal yang berjudul
Assessment and Evaluation Techniques yang menyatakan bahwa penilaian
adalah salah satu elemen yang paling penting dari desain kurikulum,
karena di sinilah tempat untuk mengetahui apakah siswa dapat menguasai
pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka pelajari. Pendapat yang
hampir senada dengan itu, dikemukakan oleh Brown (1999: 3) bahwa
penilaian jauh lebih penting dan akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari pembelajaran, serta harus ditangani dengan serius oleh
berbagai institusi secara strategis.
Firman (dalam Nabhan dan Dian, 2013: 31) mengemukakan bahwa
penilaian merupakan proses penentuan informasi yang dilakukan serta

8
penggunaan informasi tersebut untuk melakukan pertimbangan sebelum
keputusan. Suatu proses untuk mengambil keputusan dengan
menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar,
baik menggunakan tes dan non tes. Penilaian (assessment) adalah
penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk
memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau
ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian
menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang
peserta didik. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan
naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran
berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif
tersebut. Assessment bisa digunakan untuk memberikan diagnosa
terhadap problema seseorang. Dalam pengertian ia adalah sinonim dengan
evaluasi. Namun yang perlu ditekankan disini bahwa yang dapat dinilai
atau dievaluasi adalah karakter dari seseorang, termasuk kemampuan
akademik, kejujuran, kemampuan untuk mengejar dan sebagainya
(Mohrens, dalam Asrul, dkk. 2014: 3).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa pengertian penilaian (assessment) adalah suatu kegiatan yang
mengukur kemampuan siswa baik pengetahuan, sikap maupun
keterampilannya dalam proses pembelajaran.
2. Tujuan Penilaian
Di dalam Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2016 Pasal 4 terdapat
beberapa tujuan penilaian, diantaranya:

a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik bertujuan untuk memantau dan


mengevaluasi proses, kemajuan belajar, dan perbaikan hasil belajar
peserta didik secara berkesinambungan.
b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan bertujuan untuk menilai
pencapaian Standar Kompetensi Lulusan untuk semua mata pelajaran.
c. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran
tertentu.

9
Sedangkan menurut Astiti (2017: 3-4) tujuan penilaian adalah:
a. Menilai proses pembelajaran
Guru wajib melakukan penilaian terhadap kemampuan siswa.
Penilaian dilakukan untuk mengetahui efektivitas pembelajaran yang
telah dilakukan. Hasil penilaian yang dilakukan guru dapat
memberikan umpan balik kepada siswa serta memotivasi siswa untuk
meningkatkan kemampuannya. Perkembangan penilaian kelas yang
baik sangat bergantung kepada guru kelas tersebut. Guru harus
memiliki alat dan dukungan lain jika mereka ingin menerapkan
penilaian yang berkualitas serta menindaklanjuti setiap informasi yang
diperoleh dari penilaian tersebut secara efisien.
b. Penilaian untuk mengetahui prestasi individu
Penilaian dilakukan untuk mengetahui perkembangan individu
siswa. Melalui penilaian, gurur dapaat mengetahui sejauh mana siswa
mampu menerima materi pembelajaran yang telah diberikan, serta
sejauh mana prestasi siswa pada mata pelajaran tersebut.
c. Penilaian untuk evaluasi program
Proses penilaian juga dapat digunakan sebagai bahan dalam
evaluasi program pembelajaran yang telah dilakukan. Bagus tidaknya
hasil penilaian mampu mencerminkan keberhasilan program yang
dibuat.
d. Refleksi tujuan penilaian
Hasil penilaian dapat digunakan sebagai hasil refleksi dari tujuan
penilaian yang dilakukan. Mampu tidaknya suatu penilaian dalam
mengukur tujuan penilaian yang diharapkan dapat dilihat dari hasil
penilaian itu sendiri.
Pada intinya, tujuan dari penilaian adalah untuk mengetahui sejauh
mana kemampuan siswa dalam memahami konsep yang diberikan pada
saat pembelajaran,
3. Prinsip Penilaian Hasil Belajar
Asesmen dilakukan secara autentik yakni penilaian yang dilakukan
secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses,

10
dan keluaran (output) pembelajaran yang meliputi ranah pengetahuan,
sikap, dan keterampilan. Penilaian autentik menilai kesiapan peserta didik
serta proses dan hasil belajar secara utuh.
Prinsip-prinsip penilaian hasil belajar peserta didik menurut
Munadi (tanpa tahun: 3-4) adalah sebagai berikut:
a. Mendidik, yakni mampu memberikan sumbangan positif terhadap
peningkatan pencapaian belajar peserta didik. Hasil penilaian harus
dapat memberikan umpan balik dan memotivasi peserta didik untuk
lebih giat belajar.
b. Terbuka/transparan, yakni prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan
dasar pengambilan keputusan diketahui oleh pihak yang terkait.
c. Menyeluruh, yakni meliputi berbagai aspek kompetensi yang akan
dinilai. Penilaian yang menyeluruh meliputi ranah pengetahuan
(kognitif), keterampilan (psikomotor), sikap dan nilai (afektif) yang
direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
d. Terpadu dengan pembelajaran, yakni menilai apapun yang dikerjakan
peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar itu dinilai, baik kognitif,
psikomotorik dan afektifnya. Dengan demikian, penilaian tidak hanya
dilakukan setelah peserta didik menyelesaikan pokok bahasan tertentu
melainkan saat mereka sedang melakukan proses pembelajaran.
e. Objektif, yakni tidak terpengaruh oleh pertimbangan subjektif penilai.
f. Sistematis, yakni penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap
untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar peserta
didik sebagai hasil kegiatan belajarnya.
g. Berkesinambungan, yakni dilakukan secara terus menerus sepanjang
berlangsungnya kegiatan pembelajaran.
h. Adil, yakni tidak ada peserta didik yang diuntungkan atau dirugikan
berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, agama, bahasa,
suku bangsa, warna kulit, dan jender.
i. Menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu
dalam menentukan kelulusan peserta didik.
4. Ragam Penilaian

11
Penilaian hasil belajar merupakan suatu kegiatan yang mengukur
kemampuan siswa baik pengetahuan, sikap maupun keterampilannya
dalam proses pembelajaran. Untuk mengetahui kemampuan siswa,
didasarkan pada pencapaian tujuan dan proses pembelajaran yang
dilakukan. Suatu proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila tujuan
instruksionalnya tercapai. Ketercapaian itu dapat diketahui melalui proses
penilaian formatif dan sumatif (Astiti, 2017).
a. Penilaian Formatif
Penilaian yang memberikan informasi diagnostik tentang tingkat
pencapaian siswa diaggap sebagai penilaian formatif. Tujuannya adalah
untuk mengidentifikasi pemahaman dan kelemahan siswa dalam konten
yang sedang dipelajari di kelas. Penilaian formatif dapat mencakup
proyek kelas, observasi guru, karya tulis tertulus, pekerjaan rumah, dan
percakapan informal dengan para siswa. Penilaian ini digunakan untuk
mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan
untuk memperoleh gambaran tentang daya serap siswa terhadap pokok
bahasan tersebut. Fungsi penilaian ini adalah untuk memberi umpan
balik kepada guru dalam rangka memperbaiki proses pembelajaran
yang belum berhasil dan melaksanakan program remedial.
Penilaian formatif dilaksanakan untuk mengetahui seberapa jauh
tujuan yang telah ditetapkan sudah tercapai. Dari hasil penilaian
tersebut, maka akan diperoleh gambaran siapa saja yang telah berhasil
dan siapa saja yang dianggap belum berhasil untuk selanjutnya diambil
tindakan-tindakan yang tepat.
b. Penilaian Sumatif
Penilaian ini ditujukan untuk mengetahui dan menentukan apakah
peserta didik telah memperoleh tingkat kompetensi yang mumpuni atau
sesuai kemampuan yang diharapkan setelah mengikuti program
pembelajaran. Penilaian sumatif biasanya dilakukan pada akhir program
yakni pada akhir semester atau akhir tahun untuk menentukan nilai
akhir peserta didik.

12
Untuk mempermudah memahami perbedaan keduanya, simak tabel
berikut ini.
Pembeda Formatif Sumatif

Tujuan Mengetahui kemajuan Mengetahui hasil


belajar siswa belajar akhir

Cakupan materi Sebagian materi Keseluruhan materi

Waktu pelaksanaan Selama pelajaran Akhir semester atau


berlangsung atau akhir akhir pendidikan
pelajaran

PENILAIAN ACUAN NORMA DAN PENILAIAN ACUAN PATOKAN


Menurut Asrul, dkk. (2014) pengolahan hasil pengukuran dalam
evaluasi pembelajaran dilakukan sesuai dengan tujuan pengukuran yang
dilaksanakan. Jika penilaian bertujuan untuk membandingkan keberhasilan
seorang peserta didik secara relatif dengan peserta didik lainnya, maka
dilakukan penilaian acuan norma (PAN). Apabila penilaian bertujuan untuk
mengetahui keberhasilan seorang peserta didik berdasarkan satu acuan tertentu
maka dilakukan penilaian acuan patokan (PAP).
Tujuan penilaian acuan norma (PAN) adalah untuk membedakan
peserta didik atas kelompok-kelompok tingkat kemampuan, mulai dari yang
terendah sampai dengan tertinggi. Secara ideal, pendistribusian tingkat
kemampuan dalam satu kelompok menggambarkan suatu kurva normal.
Sedangkan penilaian acuan patokan (PAP) meneliti apa yang dapat
dikerjakan oleh peserta didik, dan bukan membandingkan seorang peserta
didik dengan teman sekelasnya, melainkan dengan suatu kriteria atau patokan
yang spesifik. Tujuan penilaian acuan patokan adalah untuk mengukur secara
pasti tujuan atau kompetensi yang ditetapkan sebagai kriteria keberhasilannya.
Pendekatan penilaian acuan patokan (PAP) pada umumnya digunakan
untuk menafsirkan hasil tes formatif, sedangkan penilaian acuan norma (PAN)
digunakan untuk menafsirkan hasil tes sumatif. Namun, dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi dengan model penilaian berbasis kelas (classroom-based

13
assessment), juga dalam kurikulum 2013 pendekatan yang digunakan adalah
penilaian acuan patokan (PAP).

a. PENILAIAN ACUAN PATOKAN (PAP)


Penilaian acuan patokan (PAP) atau dikenal dengan istilah Criterion
Referenced Test adalah penilaian acuan patokan adalah penilaian yang
mengacu kepada kriteria pencapaian tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan sebelumnya (Slameto, dalam Asrul, dkk. 2014: 161). Nilai-
nilai yang diperoleh peserta didik dikaitkan dengan tingkat pencapaian
penguasaan (mastery) peserta didik tentang materi pengajaran sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Tujuan PAP adalah
untuk mengukur secara pasti tujuan atau kompetensi yang ditetapkan
sebagai kriteria keberhasilannya.
Noeng Muhadjir (dalam Asrul, dkk. 2014: 161) menjelaskan bahwa
PAP ini lebih tepat digunakan untuk mata pelajaran yang bersifat
teknologik atau keterampilan tertentu yang di dalamnya dituntut
kemampuan peserta didik secara tepat sesuai dengan rumusan ilmu
pengetahuan, yang apabila salah bisa berakibat fatal. Misalnya, mata
pelajaran statistik yang apabila keliru dalam penghitungan mean, median,
modus, korelasi dan lain-lain akan berakibat pada kesalahan interpretasi
data dan penarikan kesimpulan. Demikian juga misalnya dalam mata
pelajaran agama, seperti fikih, tauhid dan lain-lain apabila salah bisa
berakibat fatal. Namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan
PAP pada mata pelajaran lain asalknya kriterianya dapat dibuat secara
teliti.
Lembaga pendidikan yang membuat kriteria atau patokan penilaian
berdasarkan persentase dengan skala nilai 0 – 100, maka peserta didik
yang memperoleh nilai atau skor 75 dipandang telah memiliki 75%
kemampuan atau penguasaan pengetahuan dan keterampilan mengenai
mata pelajaran yang bersangkutan. Demikian pula peserta didik yang
memperoleh nilai 50% saja dari mata pelajaran tersebut. Kemudian nilai-
nilai ini ditransformasikan ke dalam nilai huruf dengan kriteria tertentu
pula. Nilai-Nilai 80 – 100 ditransformasikan menjadi nilai A, nilai 70 – 79

14
ditransformasikan nilai B dan seterusnya. Selanjutnya ditetapkan pula
ketentuan batas lulus (passing grade) misalnya 60.
b. PENILAIAN ACUAN NORMA (PAN)
Penilaian acuan norma (PAN) atau dikenal dengan istilah Norm
Referenced Test adalah penilaian yang dilakukan dengan mengacu pada
norma kelompok. Nilai-nilai yang diperoleh peserta didik diperbandingkan
dengan nilai-nilai peserta didik lainnya yang termasuk di dalam
kelompoknya (Slameto, dalam Asrul, dkk. 2014: 170). Istilah “norma”
menunjukkan kapasitas atau prestasi kelompok, sedangkan yang
dimaksudkan dengan “kelompok” adalah semua peserta didik yang
mengikuti tes tersebut. Jadi pengertian “kelompok” yang dimaksudkan
dapat berarti sejumlah peserta didik dalam satu kelas, sekolah, rayon,
propinsi atau wilayah.
Pengolahan nilai dengan cara PAN dapat dilakukan dengan statistik.
Dalam hubungan ini, penentuan norma kelompok besarnya prestasi
kelompok yang merupakan acuan penilaian seperti terlihat dalam
perumusan tentang PAN yang menggunakan tendensi central seperti rata-
rata hitung (mean), median, modus, percentile dan lain-lain.
Dengan demikian hasil tes dari suatu kelompok menunjukkan kurva
yang mendekati normal, maka untuk menyatakan norma kelompok
sebaliknya digunakan mead dan hasil tes menunjukkan kurba yang miring
positif atau negatif, lebih memungkinkan menggunakan median sebagai
norma atau prestasi kelompok. Untuk menentukan lebar jarak skala nilai,
digunakan rentangan tertentu yang dihitung berdasarkan besarnya
simpangan baku (standar deviasi bagi penilaian yang menggunakan mean
sebagai norma kelompok atau menggunakan rentangan percentil bagi
penilaian yang menggunakan median sebagai norma kelompok.
Pendidik yang menggunakan acuan norma sebagai dasar penilaian,
berpatokan pada asumsi psikologis yaknik pandangan yang menyadari
bahwa tidak semua orang itu memiliki kesamaan kemampuan, individu itu
memiliki kemampuan yang beragam. Namun apabila keragaman ini ditarik
dari penghitungan atas sejumlah sampel akan memberikan gambaran

15
nyang membentuk distribusi frekuensi normal, yakni sebagai besar
frekuensi akan berada di sekitar daerah mean, sedangkan sebagian kecil
berada di daerah ekor kanan dan kiri dalam posisi berimbang.
Penilaian dengan acuan norma dapat digunakan apabila guru
menghadapi kurikulum yang bersifat dinamis, artiya materi ajar yang
dikembangkan selalu berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan
kekinian, sehingga pendidik mengalami kesulitan tersendiri menetapkan
kriteria “benar” dan “salah” secara kaku. Tujuan pembelajaran biasanya
tidak ditekankan untuk penguasaan materinatau keterampilan tertentu,
melainkan untuk mengembangkan kreativitas individual, kemampuan
apresiasi, serta kemampuan berkompetensi antara sesama peserta didik.
Dengan demikian pengukuran hasil belajar ini dapat memberi informasi
bagaimana kemampuan rata-rata kelompoknya.
Penggunaan PAN tergantung jenis kelompok, tempat dan waktu, pada
kelompok homogen berbeda dengan kelompok heterogen, kelompok
belajar di desa berbeda dengan kelompok belajar di kota demikian juga
kemampuan kelompok belajar 3 tahun lalu berbeda dengan kemampuan
kelompok belajar pada saat ini. Oleh karena itu penilaian dalam sistem
PAN ini adalah kemampuan rata-rata kelompok, kemudian individu diukur
seberapa jauh penyimpangannya terhadap rata-rata tersebut. hal ini berarti
bahwa tes yang digunakan harus dapat memberikan gambaran
diskriminatif antara kemampuan peserta didik yang pandai dengan peserta
didik yang kurang pandai. Dalam kaitannya dengan daya diskriminasi atau
daya pembeda sebagai titik tolak pengembangan tes hasil belajar, ada
indikasi yang menunjukkan bahwa makin tinggi daya diskriminatif suatu
butir soal, menandakan tes tersebut semakin baik. Daya diskriminatif itu
mencakup: (1) daya diskriminasi antar peserta didik, (2) daya diskriminasi
antar situasi pembelajaran, dan (3) daya diskriminasi antar kelompok.
C. Evaluasi Pembelajaran
1. Pengertian Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi merupakan komponen penting dan tahap yang harus
ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan pembelajaran. Hasil

16
yang diperoleh dapat dijadikan bagi guru dalam memperbaiki dan
menyempurnakan program dan kegiatan pembelajaran. Lincoln dan Guba
(1985: 35), mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses untuk
menggambarkan evaluand atau orang yang dievaluasi dan menimbang
makna serta nilainya. Evaluasi adalah tahap yang harus ditempuh guru
untuk mengetahui keefektifan pembelajaran. Hasil dari evaluasi dapat
dijadikan feedback bagi siswa dan bahan untuk memperbaiki proses
pembelajaran selanjutnya.
Dari beberapa rumusan tentang evaluasi ini, dapat kita peroleh
gambaran bahwa evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan
berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) daripada suatu,
berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu untuk membuat suatu
keputusan.
2. Peran dan Fungsi Evaluasi
Cronbach (dalam Shadish, et al. 1991: 332) menjelaskan,
“evaluation used to improved the course while it is still fluid
contributes more to improvement of education than evaluation usd
to appraise a product already on the market”.
Sesungguhnya, salah satu tujuan evaluasi pembelajaran adalah
menyediakan bahan untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Meskipun
demikian, tidak banyak guru yang selalu melakukan evaluasi pembelajaran
pada setiap kali setelah mengajar. Ashcroft & David (1996: 53) memilah
ada dua fungsi yaitu formatif dan sumatif.
a. Peran Evaluasi dalam Makna Formatif
Salah satu peran evaluasi dalam konteks proses pembelajaran
adalah memberi pertimbangan terhadap kualitas proses pembelajaran.
Selanjutnya, hasil evaluasi digunakan untuk perbaikan proses
pembelajaran menuju ke kualitas yang lebih baik.
Sesungguhnya, pada setiap kali melaksanakan kegiatan
pembelajaran guru perlu pula menyelenggarakan kegiatan evaluasi.
Kegiatan evaluasi tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kesiapan
belajar peserta didik, dinamika kegiatan belajar peserta didik, pola
pembelajaran yang dilakukan guru, mengetahui kemajuan peserta didik

17
dalam belajar, dan memutuskan perlu tidaknya dilakukan pembelajaran
remidi.
Fokus kegiatan evaluasi proses pembelajaran adalah mencermati
setiap aktivitas pembelajaran yang terjadi di sekolah atau kelas,
memaknai, dan membuat keputusan apa yang harus dilakukan pada
kegiatan pembelajaran berikutnya. Kegiatan ini merupakan suatu
pekerjaan guru yang cukup sulit karena pembelajaran, penilaian dan
pengambilan keputusan terjadi secara berkelanjutan dan simultan.
Selama proses pembelajaran berlangsung, evaluator perlu pula
memberikan umpan balik kepada semua warga sekolah. Hasil umpan
balik, diharapkan dapat digunakan guru untuk mencari kelemahan dan
kelebihan proses pembelajaran.
Evaluasi proses pembelajaran yang efektif diharapkan dapat
memberikan informasi yang bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan
efektivitas proses pembelajaran. Di samping itu, bagi peserta didik
evaluasi dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas kegiatan
belajarnya. Oleh karena itu, evaluasi dalam proses pembelajaran harus
direncanakan dan dilaksanakan secara memadai.
Hasil evaluasi proses pembelajaran dapat juga dimanfaatkan untuk
bahan laporan (progress report) kepada orang tua peserta didik tentang
kemajuan belajar anaknya. Berdasarkan atas laporan tersebut, orang
tua diharapkan dapat berpartisipasi ikut membantu guru untuk
mendorong anak-anaknya melakukan berbagai kegiatan belajar di
rumah.
b. Peran Evaluasi dalam Makna Sumatif
Makna evaluasi sebagai proses mengumpulkan informasi untuk
mengetahui tingkat pencapaian belajar peserta didik, maka evaluasi
diharapkan dapat mendorong peserta didik untuk belajar lebih baik
guna meningkatkan mutu pencapaian hasil belajarnya. Hasil belajar
yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
untuk meningkatkan mutu hasil belajar peserta didik.

18
Kita menyadari bahwa jika evaluasi hanya memfokuskan pada
pengungkapan hasil belajar saja, maka evaluasi merupakan fokus
kajian yang sempit. Namun, dalam konteks ini bukan cakupan evaluasi
yang dipersoalkan tetapi esensi dari hasil evaluasi yang ditekankan.
Hasil evaluasi inilah yang akan dijadikan sebagai rujukan untuk
meningkatkan mutu perolehan hasil belajar peserta didik.
Hasil evaluasi pembelajaran dapat digunakan sebagai informasi
yang sangat berguna bagi pengelola pembelajaran di sekolah. Kita
dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan terhadap aspek-aspek
belajar yang dihadapi peserta didik. Bertitik tolak dari informasi ini
kemudian kita dapat segera mengetahui perkembangan mutu hasil
belajar peserta didik dari tahun ke tahun.
Dengan merujuk salah satu tujuan evaluasi sumatif yang adalah
untuk menetapkan tingkat keberhasilan peserta didik dalam kurun
waktu tertentu, yang ditandai dengan perolehan nilai peserta didik
dengan ketetapan lulus atau belum maka evaluasi pembelajaran juga
berperan dan berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan mutu
perolehan aspek-aspek belajar peserta didik. Dengan demikian,
peranan dan fungsi evaluasi sumatif dapat juga digunakan untuk
meningkatkan mutu tugas, ulangan harian, ulangan tengah semester,
dan ulangan akhir semester peserta didik.
Hal lain yang perlu dikemukakan adalah bahwa hasil evaluasi
memiliki dampak terhadap motivasi belajar peserta didik. Dengan
demikian, evaluasi belajar juga dapat berkontribusi pada upaya
peningkatan motivasi belajar peserta didik.
3. Prinsip Evaluasi
Untuk memperoleh hasil evaluasi yang lebih baik, maka
pelaksanaan evaluasi hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip:
kontinuitas, komprehensif, objektivitas, kooperatif, dan praktis. Dengan
demikian, evaluasi pembelajaran hendaknya (1) dirancang sedemikian
rupa, sehingga jelas sbilitas yang harus dievaluasi, materi yang akan
dievaluasi, alat evaluasi dan interpretasi hasil evaluasi (2) menjadi bagian

19
integral dari proses pembelajaran (3) agar hasilnya objektif, evaluasi harus
menggunakan berbagai alat (instrumen) dan sifatnya komprehensif (4)
diikuti dengan tindak lanjut. Di samping itu, evaluasi juga harus
memperhatikan prinsip keterpaduan, prinsip berorientasi kepada
kecakapan hidup, prinsip belajar aktif, prinsip kontinuitas, prinsip
koherensi, prinsip keseluruhan, prinsip pedagogis, prinsip diskriminalitas,
dan prinsip akuntabilitas (Arifin, 2010: 5).
4. Proses Evaluasi dalam Pendidikan
Apabila sekolah diumpamakan sebagai tempat untuk proses produksi,
dan calon peserta didik diumpamakan sebagai bahan mentah, maka lulusan
dari sekolah itu hampir sama dengan produk hasil olahan yang sudah siap
digunakan disebut juga dengan ungkapan transformasi (Asrul, dkk. 2014:
5). Jika digambarkan dalam bentuk diagram akan terlihat transformasi
sebagai berikut:

a. Input: adalah bahan mentah yang dimasukkan kedalam transformasi.


Dalam dunia sekolah maka yang dimaksud dengan bahan mentah
adalah calon peserta didik yang baru akan memasuki sekolah. Sebelum
memasuki sesuatu tingkat sekolah (institusi) calon peserta didik itu
dinilai dahulu kemampuannya. Dengan penelitian itu diketahui apakah
kelak akan mampu mengikuti pelajaran dan melaksanakan tugas-tugas
yang akan diberikan kepadanya.
b. Ouput: adalah bahan jadi yang dihasilkan oleh transformasi. Yang
dimaksud dalam pembicaraan ini adalah peserta didik lulusan sekolah

20
yang bersangkutan untuk dapat menentukan apakah peserta didik
berhak lulus atau tidak, perlu diadakan kegiatan penilian.
c. Transformasi: adalah mesin yang bertugas mengubah bahan mentah
menjadi bahan jadi. Dalam dunia sekolah, sekolah itulah yang
dimaksud dengan transformasi. Sekolah itu sendiri terdiri dari
beberapa mesin yang menyebabkan berhasil atau gagalnya sebagai
tranformasi. Bahan jadi yang diharapkan dalam hal ini peserta didik
lulusan sekolah ditentukan oleh beberapa faktor sebagai akibat
pekerjaannya unsur-unsur yang ada.
Unsur-unsur transformasi sekolah tersebut antara lain:
1) Guru dan personal lainya.
2) Metode mengajar dan sistem evaluasi.
3) Sarana penunjang.
4) Sistem administrasi.
d. Umpan Balik (feed back): adalah segala informasi baik yang
menyangkut output maupun transformasi. Umpan balik ini diperlukan
sekali untuk memperbaiki input maupun transformasi. Lulusan yang
kurang bermutu atau yang tidak siap pakai yang belum memenuhi
harapan, akan menggugah semua pihak untuk mengambil tindakan
yang berhubungan dengan penyebab kurang bermutunya lulusan.
Penyebab-penyebab tersebut antara lain:
1) Input yang kurang baik kualitasnya.
2) Guru dan personal yang kurang tepat (kualitas).
3) Materi yang tidak atau kurang cocok.
4) Metode mengajar dan system evaluasi yang kurang memadai
standarnya.
5) Kurang sarana penunjang.
6) Sistem administrasi yang kurang tepat.
5. Ciri-ciri Evaluasi dalam Pendidikan
Ada lima ciri evaluasi dalam pendidikan menurut Suharsimi (dalam
Asrul, dkk. 2014: 7), yaitu:

21
Ciri pertama, penilaian dilakukan secara tidak langsung. Sebagai
contoh mengetahui tingkat inteligen seorang anak, akan mengukur
kepandaian melalui ukuran kemampuan menyelesaikan soal-soal. Dengan
acuan bahwa tanda-tanda anak yang inteligen adalah anak yang
mempunyai:
a. Kemampuan untuk bekerja dengan bilangan.
b. Kemampuan untuk menggunakan bahasa yang baik.
c. Kemampuan untuk menanggap sesuatu yang baru (cepat mengikuti
pembicaraan orang lain).
d. Kemampuan untuk mengingat-ingat.
e. Kemampuan untuk memahami hubungan (termasuk menangkap
kelucuan).
f. Kemampuan untuk berfantasi.

Ciri kedua dari penilaian pendidikan yaitu penggunaan ukuran


kuantitatif. Penilaian pendidikan bersifat kuantitatif artinya menggunakan
simbol bilangan sebagai hasil pertama pengukuran. Setelah itu lalu
diinterpretasikan ke bentuk kualitatif. Contoh : Dari hasil pengukuran,
Tika mempunyai IQ 125, sedangkan IQ Tini 105. Dengan demikian maka
Tika dapat digolongkan sebagai anak yang pandai, sedangkan Tini anak
yang normal.
Ciri ketiga dari penilaian pendidikan, yaitu bahwa penilaian
pendidikan menggunakan, unit-unit untuk satuan-satuan yang tetap karena
IQ 105 termasuk anak normal.
Ciri keempat dari penilaian pendidikan adalah bersifat relatif artinya
tidak sama atau tidak selalu tetap dari satu waktu ke waktu yang lain.
Contoh: hasil ulangan yang diperoleh Mianti hari Senin adalah 80. Hasil
hari Selasa 90. Tetapi hasil ulangan dari Sabtu hanya 50. Ketidak tetapan
hasil penilaian ini disebabkan karena banyak faktor. Mungkin pada hari
Sabtu Mianti sedang risau hatinya menghadapi malam Minggu sore
harinya.

22
Ciri kelima dalam penilaian pendidikan adalah bahwa dalam penilaian
pendidikan itu sering terjadi kesalahan-kesalahan. Adapun sumber
kesalahan dapat ditinjau dari berbagai faktor yaitu :

a. Terletak pada alat ukurnya


Alat yang digunakan untuk mengukur haruslah baik. Sebagai misal,
kita akan mengukur panjang meja tetapi menggunakan pita ukuran
yang terbuat dari bahan elastis, dan cara mengukurnya ditarik-tarik.
Tentu saja pita ukuran itu tidak dapat kita golongkan sebagai alat
ukur yang baik karena gambaran tentang panjangnya meja tidak
dapat diketahui dengan pasti. Tentang bagaimana syarat-syarat alat
ukur yang digunakan dalam pendidikan, akan dibicarakan dibagian
lain.
b. Terletak pada orang yang melakukan penilaian
Hal ini dapat berupa:
1) Kesalahan pada waktu melakukan penilaian, Karena faktor
subyektif penilai telah berpengaruh pada hasil pengukuran.
Tulisan jelek dan tidak jelas, mau tidak mau sering
mempengaruhisubyektifitas penilai, jika pada waktu
mengerjakan koreksi, penilai itu sendiri sedang risau. Itulah
sebabnya pendidik harus sejauh mungkin dari hal itu.
2) Kecenderungan dari penilai untuk memberikan nilai secara
“murah” atau “mahal”. Ada guru yang memberi nilai 2 (dua)
untuk peserta didik yang menjawab salah dengan alasan untuk
upah menulis. Tetapi ada yang memberikan (nol) untuk jawaban
yang serupa.
3) Adanya “hallo-effect”, yakni adanya kesan menilai terhadap
peserta didik. Kesan-kesan itu dapat berasal dari guru yang lain
maupun dari guru itu sendiri pada kesempatan memegang mata
pelajaran itu.
4) Adanya pengaruh hasil yang telah diperoleh terdahulu. Seorang
peserta didik pada ulangan pertama mendapat angka 10 sebanyak
12 kali. Untuk ulangan yang ketiga belas dan seterusnya, guru

23
sudah terpengaruh ingin memberi angka lebih banyak dari
sebenarnya pada waktu ulangan tersebut, ia sedang mengalami
nasib sial, yakni salah mengerjakan.
5) Kesalahan yang disebabkan oleh kekeliruan menjumlah
angkaangka hasil penilaian.
c. Terletak pada anak yang dinilai
1) Siswa adalah manusia yang berperasaan dan bersuasana hati.
Suasana hati seseorang akan berpengaruh terhadap hasil penilain.
Misalnya suasana hati yang kalut, sedih atau tertekan
memberikan hasil kurang memuaskan. Sedang suasana hati
gembira dan cerah, akan memberi hasil yang baik.
2) Keadaan fisik ketika peserta didik sedang dinilai. Kepala pusing,
perut mulas dan pipi sedang bengkak karena sakit gigi, tentu saja
akanmempengaruhi cara peserta didik memecahkan persoalan.
Pikiran sangat sukar untuk konsentrasi.
3) Nasib peserta didik kadang-kadang mempunyai peranan terhadap
hasil penilaian. Tanpa adanya sesuatu sebab fisik maupun psikis,
adakalanya seperti ada “gangguan” terhadap kelancaran
mengerjakan soal-soal.
d. Terletak pada situasi dimana penilaian berlangsung
1) Suasana yang gaduh, baik di dalam maupun di luar ruangan, akan
mengganggu konsentrasi peserta didik. Demikian pula tingkah
laku kawan-kawannya yang sedang mengerjakan soal, apakah
mereka bekerja dengan cukup serius atau nampak seperti
mainmain, akan mempengaruhi diri peserta didik dalam
mengerjakan soal.
2) Pengawasan terhadap penilaian, tidak menjadi rahasia lagi bahwa
pengawasan yang terlalu ketat tidak akan disenangi oleh peserta
didik yang suka melihat ke kanan dan ke kiri. Namun adakalanya,
ke-adaan sebaliknya, yaitu pengawasan yang longgar justru
membuat kesal bagi peserta didik yang mau disiplin dan percaya
diri sendiri.

24
6. Jenis Evaluasi Pembelajaran
Menurut Arifin (2012: 31) evaluasi pembelajaran dibagi menjadi
lima jenis, yaitu:
a. Evaluasi perencanaan dan pengembangan
Hasil evaluasi ini sangat diperlukan untuk mendisain program
pembelajaran. Sasaran utamanya adalah memberikan bantuan tahap
awal dalam penyusunan program pembelajaran. Persoalan yang
disoroti menyangkut tentang kelayakan dan kebutuhan. Hasil evaluasi
ini dapat meramalkan kemungkinan implementasi program dan
tercapainya keberhasilan program pembelajaran. Pelaksanaan evaluasi
dilakukan sebelum program sebenarnya disusun dan dikembangkan.
kemungkinan pemborosan sumber-sumber dan waktu pelaksanaan
pembelajaran, sehingga dapat dihindarkan.
b. Evaluasi Monitoring
Bertujuan untuk memeriksa apakah program pembelajaran
mencapai sasaran secara efektif dan apakah program pembelajaran
terlaksana sebagaimana mestinya. Hasil evaluasi ini sangat baik untuk
mengetahui
c. Evaluasi Dampak
Memiliki tujuan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh
suatu program pembelajaran. Dampak ini dapat diukur berdasarkan
kriteria keberhasilan sebagai indikator ketercapaian tujuan program
pembelajaran.
d. Evaluasi Efisiensi-Ekonomis
Untuk menilai tingkat efisiensi program pembelajaran. Untuk itu,
diperlukan perbandingan antara jumlah biaya, tenaga dan waktu yang
diperlukan dalam program pembelajaran dengan program lainnya
yang memiliki tujuan yang sama.
e. Evaluasi Program Komprehensif
Yaitu untuk menilai program pembelajaran secara menyeluruh,
seperti pelaksanaan program, dampak program, tingkat keefektifan
dan efisiensi.

25
7. Ruang Lingkup Evaluasi Pembelajaran dalam Perspektif Domain
Hasil Belajar
Menurut Benyamin S. Bloom, dkk. (dalam Arifin, 2012) hasil belajar
dapat dikelompokkan ke dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor. Setiap domain disusun menjadi beberapa jenjang kemampuan,
mulai dari hal yang sederhana sampai dengan hal yang kompleks, mulai
dari hal yang mudah sampai dengan hal yang sukar, dan mulai dari hal
yang konkrit sampai dengan hal yang abstrak. Adapun rincian domain
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Domain kognitif (cognitive domain). Domain ini memiliki enam
jenjang kemampuan, yaitu:
1) Pengetahuan (knowledge), yaitu jenjang kemampuan yang
menuntut peserta didik untuk dapat mengenali atau mengetahui
adanya konsep, prinsip, fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau
dapat menggunakannya. Kata kerja operasional yang dapat
digunakan diantaranya: mendefinisikan, memberikan,
mengidentifikasi, memberi nama, menyusun daftar, mencocokkan,
menyebutkan, membuat garis besar, menyatakan, dan memilih.
2) Pemahaman (comprehension), yaitu jenjang kemampuan yang
menuntut peserta didik untuk memahami atau mengerti tentang
materi pelajaran yang disampaikan guru dan dapat
memanfaatkannya tanpa harus menghubungkannya dengan hal-hal
lain. Kemampuan ini dijabarkan lagi menjadi tiga, yakni
menterjemahkan, menafsirkan, dan mengekstrapolasi. Kata kerja
operasional yang dapat digunakan diantaranya: mengubah,
mempertahankan, membedakan, memprakirakan, menjelaskan,
menyimpulkan, memberi contoh, meramalkan, dan meningkatkan.
3) Penerapan (application), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut
peserta didik untuk menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun
metode, prinsip dan teori-teori dalam situasi baru dan konkrit. Kata
kerja operasional yang dapat digunakan diantaranya: mengubah,
menghitung, mendemonstrasikan, mengungkapkan, mengerjakan

26
dengan teliti, menjalankan, memanipulasikan, menghubungkan,
menunjukkan, memecahkan, menggunakan.
4) Analisis (analysis), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut
peserta didik untuk menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu
ke dalam unsur-unsur atau komponen pembentuknya. Kemampuan
analisis dikelompokkan menjadi tiga, yaitu analisis unsur, analisis
hubungan, dan analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi. Kata
kerja operasional yang dapat digunakan diantaranya: mengurai,
membuat diagram, memisah-misahkan, menggambarkan
kesimpulan, membuat garis besar, menghubungkan, merinci.
5) Sintesis (synthesis), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut
peserta didik untuk menghasilkan sesuatu yang baru dengan cara
menggabungkan berbagai faktor. Hasil yang diperoleh dapat
berupa tulisan, rencana atau mekanisme. Kata kerja operasional
yang dapat digunakan diantaranya: menggolongkan,
menggabungkan, memodifikasi, menghimpun, menciptakan,
merencanakan, merekonstruksikan, menyusun, membangkitkan,
mengorganisir, merevisi, menyimpulkan, menceritakan.
6) Evaluasi (evaluation), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut
peserta didik untuk dapat mengevaluasi suatu situasi, keadaan,
pernyataan atau konsep berdasarkan kriteria tertentu. Hal penting
dalam evaluasi ini adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa,
sehingga peserta didik mampu mengembangkan kriteria atau
patokan untuk mengevaluasi sesuatu. Kata kerja operasional yang
dapat digunakan diantaranya: menilai, membandingkan,
mempertentangkan, mengeritik, membeda-bedakan,
mempertimbangkan kebenaran, menyokong, menafsirkan, dan
menduga.
b. Domain afektif (affective domain), yaitu internalisasi sikap yang
menunjuk ke arah pertumbuhan batiniah dan terjadi bila peserta didik
menjadi sadar tentang nilai yang diterima, kemudian mengambil sikap
sehingga menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan

27
menentukan tingkah laku. Domain afektif terdiri atas beberapa jenjang
kemampuan, yaitu:
1) Kemauan menerima (receiving), yaitu jenjang kemampuan yang
menuntut peserta didik untuk peka terhadap eksistensi fenomena
atau rangsangan tertentu. Kepekaan ini diawali dengan penyadaran
kemampuan untuk menerima dan memperhatikan. Kata kerja
operasional yang dapat digunakan diantaranya: menanyakan,
memilih, menggambarkan, mengikuti, memberikan, berpegang
teguh, menjawab, menggunakan.
2) Kemauan menanggapi/menjawab (responding), yaitu jenjang
kemampuan yang menuntut peserta didik untuk tidak hanya peka
pada suatu fenomena tetapi juga bereaksi terhadap salah satu cara.
Penekanannya pada kemauan peserta didik untuk menjawab secara
sukarela, membaca tanpa ditugaskan. Kata kerja operasional yang
dapat digunakan diantaranya: menjawab, membantu,
memperbincangkan, memberi nama, menunjukkan,
mempraktikkan, mengemukakan, membaca, melaporkan,
menuliskan, memberitahu, mendiskusikan.
3) Menilai (valuing), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut
peserta didik untuk menilai suatu objek, fenomena atau tingkah
laku tertentu secara konsisten. Kata kerja operasional yang
digunakan diantaranya: melengkapi, menerangkan, membentuk,
mengusulkan, mengambil bagian, dan memilih.
4) Organisasi (organization), yaitu jenjang kemampuan yang
menuntut peserta didik untuk menyatukan nilai-nilai yang berbeda,
memecahkan masalah, membentuk suatu sistem nilai. Kata kerja
operasional yang dapat digunakan diantaranya: mengubah,
mengatur, menggabungkan, membandingkan, mempertahankan,
menggeneralisasikan, memodifikasi.
c. Domain psikomotor (psychomotor domain), yaitu kemampuan peserta
didik yang berkaitan dengan gerakan tubuh atau bagian-bagiannya,
mulai dari gerakan yang sederhana sampai dengan gerakan yang

28
kompleks. Perubahan pola gerakan memakan waktu sekurang-
kurangnya 30 menit. Kata kerja operasional yang digunakan harus
sesuai dengan kelompok keterampilan masing-masing, yaitu:
1) Muscular or motor skill, yang meliputi: mempertontonkan gerak,
menunjukkan hasil, melompat, menggerakkan, menampilkan.
2) Manipulations of materials or objects, yang meliputi: mereparasi,
menyusun, membersihkan, menggeser, memindahkan, membentuk.
3) Neuromuscular coordination, yang meliputi: mengamati,
menerapkan, menghubungkan, menggandeng, memadukan,
memasang, memotong, menarik dan menggunakan.

Berdasarkan taksonomi Bloom di atas, maka kemampuan peserta


didik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tingkat tinggi dan tingkat
rendah. Kemampuan tingkat rendah terdiri atas pengetahuan, pemahaman,
dan aplikasi, sedangkan kemampuan tingkat tinggi meliputi analisis,
sintesis, evaluasi, dan kreatifitas. Dengan demikian, kegiatan peserta didik
dalam menghafal termasuk kemampuan tingkat rendah. Dilihat cara
berpikir, maka kemampuan berpikir tingkat tinggi dibagi menjadi dua,
yaitu berpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kreatif adalah
kemampuan melakukan generalisasi dengan menggabungkan, mengubah
atau mengulang kembali keberadaan ide-ide tersebut. Sedangkan
kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan memberikan
rasionalisasi terhadap sesuatu dan mampu memberikan penilaian terhadap
sesuatu tersebut. Rendahnya kemampuan peserta didik dalam berpikir,
bahkan hanya dapat menghafal, tidak terlepas dari kebiasaan guru dalam
melakukan evaluasi atau penilaian yang hanya mengukur tingkat
kemampuan yang rendah saja melalui paper and pencil test. Peserta didik
tidak akan mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi jika tidak
diberikan kesempatan untuk mengembangkannya dan tidak diarahkan
untuk itu.

8. Ruang Lingkup Evaluasi Pembelajaran dalam Perspektif Sistem


Pembelajaran

29
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa ruang lingkup
evaluasi pembelajaran hendaknya bertitik tolak dari tujuan evaluasi
pembelajaran itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar apa yang dievaluasi
relevan dengan apa yang diharapkan. Tujuan evaluasi pembelajaran adalah
untuk mengetahui keefektifan dan efisiensi sistem pembelajaran, baik
yang menyangkut tentang tujuan, materi, metode, media, sumber belajar,
lingkungan, guru dan peserta didik serta sistem penilaian itu sendiri.
Secara keseluruhan, ruang lingkup evaluasi pembelajaran menurut
Arifin (2012: 51-52) adalah:
a. Program Pembelajaran, meliputi:
1) Tujuan pembelajaran umum atau kompetensi dasar
Target yang harus dikuasai peserta didik pada setiap pokok
bahasan/topik. Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi tujuan
pembelajaran umum adalah keterkaitannya dengan standar
kompetensi pada setiap bidang studi/mata pelajaran dan aspek
penilaian lainnya.
2) Isi/materi pembelajaran
Berupa topik atau pokok bahasan dan sub topik beserta rinciannya
dalam setiap bidang studi. Isi kurikulum memiliki tiga unsur, yaitu:
logika(pengetahuan benar salah, etika (baik-buruk), dan estetika
(keindahan).
3) Metode Pembelajaran
Cara guru menyampaikan mater pembelajaran, seperti ceramah,
diskusi, tanya jawab, dll. Kriteria yang digunakan antara lain:
kesesuaian dengan kompetensi dasar dan hasil belajar, kesesuaian
dengan kondisi kelas/sekolah, kesesuaian dengan kondisi peserta
didik, kemampuan guru dalam menggunakan metode, waktu, dan
sebagainya.
4) Media Pembelajaran
Alat-alat yang digunakan untuk mempermudah guru dalam
menyampaikan isi/materi pembelajaran. Media pembelajaran dapat

30
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu media visual, audio, dan audio-
visual.
5) Sumber Belajar
Sumber belajar dapat dibagi menjadi dua jenias, yaitu sumber yang
dirancang dan sumber yang digunakan. Sumber bisa berupa alat,
bahan, orang, latar, dan sebagainya.
6) Lingkungan
Lingkungan yang paling utama adalah lingkungan keluarga dan
sekolah. Kriteria yang digunakan adalah hubungan antar siswa,
orang tua, guru, dan siswa lain.
7) Penilaian Proses dan Hasil Belajar
Bisa menggunakan tes maupun non-tes.Kriteria yang digunakan
adalah kesesuaian dengan kompetensi dasar,indicator, dan hasil
belajar.
b. Proses Pelaksanaan Pembelajaran
1) Kegiatan
Meliputi jenis kegiatan, prosedur pelaksanaan setiap jenis kegiatan,
sarana pendukung, efektivitas, efisiensi, dan sebagainya.
2) Guru
Terutama dalam hal penyampain materi, kesulitan-kesulitan guru,
menciptakan pembelajaran yang efektif, menyiapkan alat yang
diperlukan, membimbing peserta didik, menggunakan teknik
penilaian, dan sebagainya.
3) Peserta Didik
Terutama peran serta dalam proses pembelajaran, keaktifan, sikap,
minat, umpan balik, kesulitan, waktu belajar, dan sebagainya.
c. Hasil Pembelajaran
Hasil belajar baik untuk jangka pendek (sesuai pencapaian
indikator), jangka menengah (sesuai target tiap mata pelajaran/bidang
studi), maupun jangka panjang (Setelah peserta didik terjun ke
masyarakat).
9. Karakteristik, Model, dan Pendekatan Evaluasi Pembelajaran

31
Secara sederhana, Arifin (dalam Arifin, 2012: 64-65),
mengemukakan karakteristik instrumen evaluasi yang baik adalah sebagai
berikut:
a. Valid, suatu alat ukur dikatakan valid ketika mengukur secara tepat
b. Reliabel, sutau alat ukur dikatakan relaibel ketika memiliki hasil yang
konsisten atau taat asas.
c. Relevan, alat ukur yang digunakan sesuai dengan standar komptensi,
indicator, dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan.
d. Representatif, materi alat ukur harus mewakili seluruh alat ukur yang
disampaikan. Hal ini ketika guru menggunakan silabus dalam
penyampaian materi, guru harus memperhatikan materi yang cocok
untuk anak didik.
e. Praktis, alat ukur mudah digunakan, dalam hal ini selain akurat alat
ukur juga tidak sulit untuk digunakan.
f. Deskriminatif, alat ukur harus disusun dengan baik sehingga dapat
menunjukkan perbedaan-perbedaan sekecil apapun.
g. Spesifik, alat ukur digunakan khusus untuk objek yang diukur, jika alat
ukur tersebut menggunakan tes, maka alat ukur tersebut tidak boleh
jawannya sampai menimbulkan spekulasi, artinya harus pasti
jawabannya.
h. Proporsional, alat ukur harus memiliki tingkat kesulitan yang
proporsional, antara sulit, mudah, dan sedang.

Model evaluasi yang dikelompokkan Sudjana dan Ibrahim (dalam


Arifin, 2012: 69-73) yang membagi model evaluasi menjadi empat model
utama, yaitu “measurement, congruence, educational system, dan
illumination”. Dari beberapa model evaluasi ini, beberapa diantaranya
adalah sebagai berikut:

a. Model Tyler
Tyler banyak mengemukakan pendapatnya mengenai evaluasi.
Pertama, evaluasi ditujukan kepada tingkah laku peserta didik. Kedua,
Evaluasi dilakukan sebelum dan sesudah peserta didik melakukan
pembelajaran. Model Tyler ini memerlukan perubahan informasi

32
tingkah laku peserta didik sebelum dan sesudah proses pembelajaran
berlangsung.
b. Model yang Berorientasi Tujuan
Evaluasi diartikan sebagai proses pengukuran hinggamana tujuan
pembelajaran sudah tercapai. Dengan demikian ada hubungan yang
logis antara kegiatan, hasil, dan prosedur pengukuran hasil. Kelebihan
model ini terletak pada hubungan antara tujuan dengan kegiatan dan
menekankan pada peserta didik sebagai aspek penting dalam program
pembelajaran.
c. Model Pengukuran
Model pengukuran banyak mengemukakan pemikiran-pemikiran
dari R.Thorndike dan R. L. Ebel. Model ini menitikberatkan pada
kegiatan pengukuran. Model ini dapat digunakan untuk
mengungkapkan perbedaan-perbedaan individual maupun kelompok
dalam hal kemampuan, minat dan sikap. Instrumen yang dapat
digunakan adalah tes tertulis dalam bentuk teks objektif, yang
cenderung dibakukan.
d. Model Kesesuaian
Menurut model ini, evaluasi adalah suatu kegiatan untuk melihat
kesesuaian antara tujuan dan hasil belajar yang dicapai. Hasil evaluasi
dapat digunakan untuk menyempurnakan bimbingan bagi peserta
didik. Instrumen evaluasi tidak hanya dalam bentuk tes, tetapi juga
non-tes (observasi, wawancara, sikap, dll).
e. Educational System
Menurut model ini, evaluasi berarti membandingkan dari berbagai
dimensi (tidak hanya dimensi hasil saja) dengan sejumlah kriteria, baik
yang bersifat mutlak maupun relatif. Model ini sebenarnya merupakan
gabungan dari beberapa model, sehingga objek evaluasinya diambil
dari beberapa model, yaitu CIPP, model countenance, model Scriven,
dan model Provus. Proses evaluasi tidak hanya berakhir dengan satu
deskripsi mengenai keadaan system yang bersangkutan, tetapi harus
sampai simpulan dari yang bersangkutan.

33
f. Illuminative Model.
Model ini lebih menekankan pada kualitatif-terbuka. Tujuan
evaluasi adalah untuk memperlajari secara cermat dan hati-hati
terhadap pelaksanaan system pembelajaran., factor-faktor yang
memperngaruhi, kelebihan dan kekurangan system, dan pengaruh
system terhadap pengalaman belajar peserta didik. Cara-cara yang
digunakan bukan standar, melainkan fleksibel dan selektif. Pendekatan
yang diguakan lebih menyerupai pendekatan yang diterapkan dalam
bidang antropologi sosial, psikiatri, dan sosiologi.
g. Model Responsif.
Model ini juga menkankan pada pendekatan kualitatif-naturalistik.
Evaluasi tidak diartikan sebagai pengukuran melainkan pemberian
makna atau melukiskan sebuah relaitas dari perspektif dari orang-
orang yang terlibat, dan berkepentingan dalam proses pembelajaran.
Tujuan evaluasi ini untuk memahami semua komponen pembelajaran
melalui berbagai sudut pandang yang berbeda. Model ini kurang
percaya pada hal-hal yang bersifat kuantitatif.

Dengan demikian, pendekatan evaluasi merupakan sudut pandang


seseorang dalam menelaah atau mempelajari evaluasi. Dilihat dari
komponen pembelajaran, pendekatan evaluasi dapat dibagi dua, yaitu
pendekatan tradisional dan pendekatan sistem. Dilihat dari penafsiran hasil
evaluasi, pendekatan evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu criterion-
referenced evaluation dan norm-referenced evaluation. (Arifin, 2012: 75)

34
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. (2010). Evaluasi Pembelajaran (Teori dan Praktik). Bandung: FIP
UPI.

Arifin, Zainal. (2012). Evaluasi Pembelajaran. Jakarta Pusat: Direkotorat Jenderal


Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.

Ashcroft, Kate & David Palacio. (1996). Researching Into Assessment and
Evaluating in Colleges and Universities. London: Kogan Pagge Limited.

Asrul, dkk. (2014). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Citapustaka Media.

Astiti, Kadek Ayu. (2017). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Baranovskaya, T., & Shaforostova, V. (2017). Assessment and Evaluation


Techniques. Journal of Language and Education, 3(2), 30-38.
https://doi.org/10.17323/2411-7390-2017-3-2-30-38.

Brown, Sally and Angela Glasner. (1999). Assesment Matters in Higher


Education. USA: SRHE and Open University Press.

Djaali dan Pudji Mulyono. (2008). Pengukuran dalam Bidang Pendidikan.


Jakarta: Grasindo.

Lincoln, Yvonna S. dan Egon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. California:


Sage Publications.

Munadi, Sudji. (tanpa tahun). Penilaian Hasil Belajar. Diakses pada tanggal 21
September 2019 dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PENILAIAN%20HASIL%20BELAJ
AR.pdf

35
Nabhan, Abdullah dan Dian Tiara Wulandari. (2013). Pengembangan Lembar
Penilaian Pembelajaran (Asesmen) Berbasis Keterampilan Berpikir Kritis
pada Materi Listrik Dinamis. Lampung: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Lampung.

Kemendikbud. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Purwanto. (2010). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shadish, William, et al. (1991). Foundations of Program Evaluation. USA: Sage


Publications.

36

Anda mungkin juga menyukai