Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

CRANIOTOMY

A. DEFINISI
Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Kraniotomi adalah
operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK,
mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan. (Hinchliff Sue,
1999).
Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intrakranial. (Brunner & Suddarth, 2002).
Kraniotomi adalah insisi pada tulang tengkorak dan membersihkan tulang
dengan memperluas satu atau lebih lubang,. Pembedahan craniektomy
dilakukan untuk mengangkat tumor, hematom, luka, atau mencegah infeksi pada
daerah tualang tengkorak. Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya
operasi pembukaan tulang tengkorak untuk, untuk mengangkat tumor,
mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan

Gambar 1. Cranium
Gambar 2 Craniotomy

B. RUANG LINGKUP
Epiduran hematoma terletak di luar duramater tetapi di dalam rongga
tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
Sering terletak di daerah temporal atau temporoparietal yang disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan
darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga
kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang EDH terjadi
akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto-oksipital dan fora
posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari
seluruh penderita trauma kepala dan 9 % dari penderita yang dalam keadaan
koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik
maupun operatif yang cepat.
Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya
sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada
jaringan otak tidak berlangsung lama. Pada pasien trauma, adanya trias klinis
yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan
kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh
herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra
aksial.
C. INDIKASI OPERASI
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut :
a. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
b. Adanya tanda herniasi/lateralisasi
c. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
d. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
e. Mengurangi tekanan intrakranial.
f. Mengevakuasi bekuan darah .
g. Mengontrol bekuan darah,
h. Pembenahan organ-organ intrakranial,
i. Tumor otak,
j. Perdarahan (hemorrage),
k. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
l. Peradangan dalam otak
m. Trauma pada tengkorak.

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik
dari otak) :

a. Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia,


kebutaan, tanda-tanda papil edema.
b. Perubahan bicara, msalnya: aphasia
c. Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi
sensorik.
d. Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.
e. Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan
konstipasi.
f. Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness.
g. Perubahan dalam seksual
h. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF).
i. Sakit kepala
j. Nausea atau muntah proyektil
k. Pusing
l. Perubahan mental
m. Kejang
E. DIAGNOSIS BANDING
Hematom intracranial lainnya

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi :
a. Tomografi komputer (pemindaian CT)
Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak
sekitarnya, ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan
otak, hemoragik.
Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada
iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma

b. Pencitraan resonans magnetik (MRI)


Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di
potongan lain.

c. Electroencephalogram (EEG)
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis
d. Angiografy Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan trauma
e. Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang
f. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak
g. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
h. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid
i. Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK
j. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam meningkatkan TIK/perubahan mental
k. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran
l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
(Doenges, Marilynn.E, 1999)

G. PENATALAKSANAAN
1) PRAOPERASI
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan
medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pascaoperasi.
Sebelum pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan untuk
mengurangai edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens hiperosmotik
(manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan secara intravena segera
sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien cenderung menahan air,
yang terjadi pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial. Kateter
urinarius menetap di pasang sebelum pasien dibawa ke ruang operasi untuk
mengalirkan kandung kemih selama pemberian diuretik dan untuk
memungkinkan haluaran urinarius dipantau. Pasien dapat diberikan antibiotik bila
serebral sempat terkontaminasi atau deazepam pada praoperasi untuk
menghilangkan ansietas. Kulit kepala di cukur segera sebelum pembedahan
(biasanya di ruang operasi) sehingga adanya abrasi superfisial tidak semua
mengalami infeksi.

2. PASCAOPERASI
a. Mengurangi Edema Serebral
Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral meliputi pemberian
manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area
otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian dieksresikan melalui
diuresis osmotik. Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap 6 jam
selama 24 sampai 72 jam ; selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap.
b. Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,50C dan untuk
nyeri. Sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah kraniotomi,
biasanya sebagai akibat syaraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama
pembedahan. Kodein, diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk
menghilangkan sakit kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, deazepam)
diresepkan untuk pasien yang telah menjalani kraniotomi supratentorial, karena
resiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum
dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.
c. Memantau Tekanan Intrakranial
Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada pasien
yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter disambungkan
ke sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan melalui pulsasi
cairan dalam selang. TIK dapat di kaji dengan menyusun sistem dengan
sambungan stopkok ke selang bertekanan dan tranduser. TIK dalam dipantau
dengan memutar stopkok. Perawatan diperlukan untuk menjamin bahwa sistem
tersebut kencang pada semua sambungan dan bahwa stopkok ada pada posisi
yang tepat untuk menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat
mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter
diangkat ketika tekanan ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu
kapanpun kateter tanpak tersumbat. Pirau ventrikel kadang dilakuakan sebelum
prosedur bedah tertentu untuk mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada
pasien tumor fossa posterior

F. TEKNIK OPERASI
1. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk
memudahkan operator. Head-up kurang lebih
15o (pasang donat kecil dibawah kepala).
Letakkan kepala miring kontralateral lokasi
lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja
(pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke
kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
2. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di
bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi
3. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah
benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk
kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui
lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3
depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita).
4. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin
1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan
doek steril.

5. Prosedur Operasi
a. Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
b. Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
c. Buka flap secara tajam pada loose
connective tissue. Kompres dengan
kasa basah. Di bawahnya diganjal
dengan kasa steril supaya
pembuluh darah tidak tertekuk
(bahaya nekrosis pada kulit
kepala). Klem pada pangkal flap
dan fiksasi pada doek.
d. Buka pericranium dengan diatermi.
Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada daerah yang akan di
burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.
e. Penentuan lokasi burrhole idealnya
pada setiap tepi hematom sesuai
gambar CT scan.
f. Lakukan burrhole pertama dengan
mata bor tajam (Hudson’s Brace)
kemudian dengan mata bor yang
melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna.

g. Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.


h. Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
i. Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan
asisten memfixir kepala penderita.
j. Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara
tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan
elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan
tulang.
k. Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat
dihentikan dengan bone wax.
l. Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
m. Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle.
Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada
perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch
stitch pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah
tulang. Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal dari arteri)
tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai
berasal dari sinus.
n. Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara
simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi
perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
o. Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah
salanjutnya adalah membuka duramater.
p. Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura,
kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat
lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti
arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui
lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural, dan
sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan
trauma pada lapisan tersebut.
q. Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan
untuk pembuluh darah kulit atau subkutan.
r. Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak
dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
s. Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di
ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi.
t. Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian
otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak
bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya
dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk
memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat
bantu kauterisasi.
u. Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya
tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak
dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara
sebagai berikut:
a. Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0
menembus keluar kulit.
b. Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
c. Pasang drain subgaleal.
d. Jahit galea dengan vicryl 2.0.
e. Jahit kulit dengan silk 3.0.
f. Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
g. Operasi selesai.
v. Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada
tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang
akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada
tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi
(3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura).
Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis
demi lapis seperti diatas.

G. KOMPLIKASI PASCA OPERASI


Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pascabedah
intrakranial atau kraniotomi adalah sebagai berikut :
a) Peningkatan tekanan intrakranial
b) Perdarahan dan syok hipovolemik
c) Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit
d) Infeksi
e) Kejang (Brunner & Suddarth, 2002).
f) Edema cerebral.
g) Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
h) Hypovolemik syok.
i) Hydrocephalus.
j) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes
Insipidus).
k) Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
l) Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah
operasi.
m) Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari
dinding
n) pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan
kaki post operasi, ambulatif

H. MORTALITAS
Tergantung beratnya cedera otak

I. PERAWATAN PASCABEDAH
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.

J. FOLLOW-UP
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik
dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN POST TREPANASI


1. Pengkajian

Primary Survey

a. Airway
- Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah
dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi.
- Potency jalan nafas, à meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
- Auscultasi paru à keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.
b. Breathing
- Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedal aman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
- Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X /
menit à depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal à gangguan
cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat.
- Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan
diafragma, retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
c. Circulating:
- Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia).
- Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
d. Disability : berfokus pada status neurologi
- Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik
dan tanda-tanda vital.
- Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan,
kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah.
e. Exposure
Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan

Secondary Survey : Pemeriksaan fisik

a. Abdomen.
Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga,dan limpa
tidak membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit.
Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus
dilakukan pada gastrointestinal.
b. Ekstremitas
Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot ekstremitas atas 4-4
dan ekstremitas bawah 4-4., akral dingin dan pucat.
c. Integumen.
Kulit keriput, pucat. Turgor sedang
d. Pemeriksaan neurologis
e. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi
gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
 Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
 Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
 Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
 Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
 Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
 Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

Tersiery Survey
a. Kardiovaskuler
Klien nampak lemah, kulit dan kunjungtiva pucat dan akral hangat.
Tekanan darah 120/70 mmhg, nadi 120x/menit, kapiler refill 2 detik.
Pemeriksaan laboratorium: HB = 9,9 gr%, HCT= 32 dan PLT = 235.
b. Brain
Klien dalam keadaan sadar, GCS: 4-5-6 (total = 15), klien nampak lemah,
refleks dalam batas normal.
c. Blader
Klien terpasang doewer chateter urine meliputi jumlah dan warna

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ganggguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka insisi.


b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan higiene luka yang
buruk.
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan pendarahan.
e. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post
operasi.
f. Pola nafas inefektif berhubungan dengan efek anastesi.
g. Bersihan jalan napas inefektif berhubungan dengan penumpukan
secret.
h. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan efek anastesi.
i. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
mual muntah.
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan prosedur bedah
2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan trauma intracranial
3. Keterlambatan tumbang berhubungan dengan efek dari kecatatan fisik
4. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
5. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian
I. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional

Post Operasi
1 Nyeri berhubungan dengan NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Mengurangi stressor
prosedur bedah Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Berikan pereda nyeri memperparah nyeri
penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 2. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 3. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 4. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Berikan analgesia sesuai
ketentuan
3. Cegah adanya gerakan
yang mengejutkan
seperti membentur
tempat tidur
4. Cegah peningkatan TIK
2 Resiko tinggi cedera NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Positioning 1. Menerikan posisi yang
berhubungan dengan trauma Tujuan : Pasien mengalami a. Stress minimal pada sisi 1. Konsul dengan ahli tepat sehingga
intrakranial stress minimal pada sisi operasi bedah mengenai mengurangi risiko
operasi b. Pasien tetap pada posisi pemberian posisi, cedera
yang diinginkan termasuk derajat fleksi 2. Mengurangi
leher. peningkatan TIK
2. Posisikan pasien datar 3. Mencegah terjadinya
dan mirirng, bukan cedera
terlentang atau tinggikan 4. Mencegah peningkatan
kepala TIK
3. Balikkan pasien dengan
hati-hati
4. Hindari posisi
trendelenburg
3 Keterlambatan tumbang NOC : Physical Aging Kriteria hasil : NIC : Developmental
berhubungan dengan efek dari Status a. Rata-rata berat badan
Enhancement
kecatatan fisik Tujuan : Pasien mengalami b. Cardiat out put
1. Bina hubungan saling
pertumbuhan dan c. Elastisitas kulitpercaya dengan anak
perkembangan yang normal d. Kekuatan otot 2. Demonstrasikan aktivitas
sesuai usianya. yang meningkatkan
perkembangan anak
sesuai dengan umurnya
(contoh bermain icik-
icik)
3. Bantu anak belajar
ketrampilan
4. Bina kesempatan untuk
mendukung latihan
aktivitas motorik/verbal
pasien
5. Berikan reinforcement
positif
4 Resiko infeksi berhubungan NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 1. Mencegah terjadinya
dengan luka post operasi Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Pantau tanda / gejala infeksi
mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 2. Mencegah invasi
tidak terdapat tanda-tanda 2. Rawat luka operasi mikroorganisme
infeksi pada pasien. dengan teknik steril 3. Mencegah inos
3. Memelihara teknik 4. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
4. Ganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
5 Cemas berhubungan dengan NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : NIC : Enhancement Coping 1. Memberikan informasi
ancaman kematian Tujuan : Setelah dilakukan a. Monitor intensitas 1. Sediakan informasi yang selama perawatan yang
tindakan keperawatan kecemasan sesungguhnya meliputi didapatkan pasien
diharapkan kecemasan b. Rencanakan strategi diagnosis, treatment dan 2. Memberikan rasa
hilang atau berkurang. koping untuk prognosis nyaman
mengurangi stress 2. Tetap dampingi kien 3. Memberikan rasa
c. Gunakan teknik relaksasi untuk menjaga nyaman pada pasien
untuk mengurangi keselamatan pasien dan 4. Mengurangi ansietas
kecemasan mengurangi
d. Kondisikan lingkungan 3. Instruksikan pasien
nyaman untuk melakukan ternik
relaksasi
4. Bantu pasien
mengidentifikasi situasi
yang menimbulkan
ansietas.
DAFTAR PUSTAKA

Joane. 2004. Nursing Intervention Classification. Mosby : USA


Joane. 2004. Nursing Outcomes Classification. Mosby : USA
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Price,S.A. & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai