Anda di halaman 1dari 6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional Surabaya

Gambar 2.1 Peta Geologi Regional Surabaya

Kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, telah mengalami perkembangan yang
cukup pesat, baik dari segi fisik maupun non fisik. Dengan luas wilayah kota kurang lebih 33.048
ha, dimana 60,17% luas wilayah merupakan kawasan terbangun dan jumlah penduduk kurang
lebih 3 juta jiwa. Kota Surabaya memiliki ketinggian tanah antara 0 – 20 meter di atas
permukaan laut, sedangkan pada daerah pantai ketinggiannya berkisar antara 1–3 meter diatas
permukaan laut. Sebagian besar Kota Surabaya memiliki ketinggian tanah antara 0 – 10
meter (80,72 % atau sekitar 26.345,19 Ha) yang menyebar di bagian timur, utara, selatan dan
pusat kota.
Wilayah kota Surabaya merupakan dominan daerah dataran rendah, yang berkisar 80%
merupakan endapan alluvial dan sisanya merupakan perbukitan rendah yang dibentuk oleh tanah
hasil pelapukan batuan tersier/tua. Dataran rendah meliputi wilayah Surabaya Timur, Utara dan
Selatan memiliki kemiringan <3% dan terletak pada ketinggian <10m dari permukaan laut.
Dataran rendah terbentuk dari endapan alluvial sungai dan endapan pantai. Bagian tengah Kota
Surabaya terbentuk oleh endapan Sungai Brantas beserta cabang-cabang sungainya dan
endapan Sungai Rowo. Endapan Sungai Brantas berasal dari letusan gunung-gunung berapi
yang berada di hulu dan beberapa rombakan sebellumnya. Endapan ini biasanya berupa pasir
(0,075 mm – 0.2 mm) dan kerikil (2 mm – 75 mm). Bagian timur dan utara sampai sepanjang
Selat madura dibentuk oleh endapan pantai yang masuk ke daratan sampai ± 5 km. Endapan
pantainya terdiri dari lempung lanau dan lempung kelanauan, sisipan tipis tipis yang pada
umumnya mengandung banyak kepingan kerang di beberapa tempat.
Secara geologi kota Surabaya terbentuk oleh batuan sedimen yang berumur Miosen sampai
Plistosen. Batuan sedimennya adalah bagian dari lajur Kendeng dengan formasi Sonde, Lidah,
Pucangan, dan formasi Kabuh. Batuan dasar untuk kota Surabaya merupakan formasi Lidah
yang berumur Pliosen (pre-tertiary). Formasi ini berada pada kedalaman 250 – 300 meter. Selain
itu derah Surabaya berupa cekungan endapan aluvial muda hasil endapan laut dan sungai, tuf
dan batu pasir (Soekardi, 1992 didalam Syaeful Bahri dan Madlazim. 2012).
2.2 Metode Geolistrik Self Potential
Self Potential (SP) juga merupakan salah satu metode pengukuran geofisika yang termasuk dalam
geolistrik. Metode ini bersifat pasif karena prinsip kerja metode SP adalah mengukur tegangan
statis alam (static natural voltage) di permukaan tanah (Saracco et al., 2004). Potensial yang
terukur pada permukaan bumi dapat bernilai kurang dari 1 milivolt (mV) sampai 1 volt dengan
tanda positif atau negatif. Setiap batuan memiliki sifat potensial alami yang umumnya terjadi
akibat adanya reaksi serta proses kimia seperti potensial liquid-junction, potensial shale (nernst),
dan potensial mineralisasi (Telford et al., 1990).
Nilai self potensial berhubungan dengan debit aliran fluida serta kandungan elektrolit. Dimana
nilai self potential berbanding lurus dengan debit aliran fluida dan kandungan elektrolit. Artinya
jika debit aliran fluida dan kandungan elektrolit besar maka nilai self potential akan besar
(Reynolds, 1997).
Tabel berikut merupakan tabel yang menunjukkan sumber dan tipe anomali data self potential.

Tabel 2.1 Sumber dan Tipe Anomali SP (Reynolds,1997)


2.3 Tipe-tipe Self Potential
Berdasarkan penyebabnya self potensial terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
1. Potensial Elektrokinetik
Potensial elektrokinetik (electrofiltration atau streaming atau electromechanical potential) yang
bernilai kurang dari 10 mV dibentuk sebagai akibat adanya sebuah elektrolit yang mengalir melalui
medium yang berpori atau kapiler. Besarnya resultan beda potensial antara ujung gaya dirumuskan
dalam persamaan berikut (Reynolds, 1997).
𝐸 𝜀𝜇𝐶𝐸 𝛿𝑝
𝑘=
4𝜋𝜂

Dimana :
1. 𝜀 konstanta dielektrik
2. 𝜇 resistivitas elektrolit
3. 𝜂 viskositas dinamis elektrolit
4. 𝐶𝐸 koefisien kopling elektrofiltrasi
5. 𝛿𝑝 beda tekanan

2. Potensial Difusi
Potensial difusi merupakan nilai potensial yang disebabkan oleh adanya konsentrasi elektrolit
dalam tanah yang bervariasi secara lokal, dan sebagai akibat dari perbedaan mobilitas anion-kation
dalam konsentrasi larutan yang berbeda. potensial difusi dapat dihitung melalui persamaan berikut.
𝐸 𝑅𝑇 (𝐼𝛼 − 𝐼𝐶) 𝐶1
𝑑= ln( )
𝑛𝐹(𝐼𝛼 + 𝐼𝐶) 𝐶2

Dimana :
1. R konstanta gas (8.31 J/oC)
2. F konstanta Faraday
3. T suhu mutlak (K)
4. n valensi
5. 𝐼𝛼 𝑑𝑎𝑛 𝐼𝑐 mobilitas anion dan kation
6. 𝐶1 𝑑𝑎𝑛 𝐶2 konsentrasi larutan 1 dan 2

3. Potensial Nernst
Potensial Nernst merupakan nilai beda potensial akibat adanya perbedaan potensial antara dua
logam identik yang dicelupkan dalam larutan homogen tetapi konsentrasi larutan setiap elektroda
berbeda. Dimana besar nilai potensial berbanding lurus dengan temperatur dan konsentrasi. Hal
ini menunjukkan bahwa metode SP baik digunakan dalam eksplorasi geotermal. Persamaan untuk
mendapatkan potensial Nernst sama dengan persamaan potensial difusi namun dengan syarat
Iα=Ic, sebagaimana ditunjukkan oleh Persamaan berikut.
𝑅𝑇 𝐶1
𝐸𝑠 = ln ( )
𝑛𝐹 𝐶2
Kombinasi antara potensial difusi dan potensial Nernst adalah potensial elektrokimia.
4. Potensial Mineralisasi
Hasil penelitian Sato dan Mooney (1960) menyatakan bahwa dalam tubuh mineral terjadi reaksi
setengah sel elektrokimia dengan anoda berada dibawah air tanah. Pada anoda terjadi reaksi
oksidasi, sehingga anoda akan menjadi sumber arus sulfida yang berada di permukaan tanah.
Sulfida akan mengalami oksidasi dan reduksi yang disebabkan oleh H2O dan O2 dalam tanah.
Elektron ditransfer melalui tubuh mineral dari pereduksi yang terdapat dibawah permukaan air
tanah menuju pengoksidasian di atas muka air tanah (dekat permukaan). Tubuh mineral tidak
berperan secara langsung dalam reaksi elektrokimia namun bertindak sebagai konduktor yang
mentransfer elektron. Perpindahan elektron ini disebut sebagai streaming drift (Telford,1990).
Sehingga prinsip dasar dari potensial mineralisasi adalah nilai potensial akan muncul jika kondisi
lingkungan didukung oleh adanya proses elektrokimia di bawah permuakaan tanah.

2.4 Metode Pengukuran Self Potential


Umumnya pengukuran Self Potential menggunakan dua buah elektroda (porous pot). Namun,
berdasarkan fungsi waktu dan posisi dari elektroda metode pengukuran SP terbagi menjadi 2 jenis
yaitu Leap Frog dan Fix Base. Metode Leap Frog atau metode gradien potensial merupakan
metode dimana kedua buah elektroda yang digunakan berpindah-pindah dengan jarak yang tetap.
Pengukuran ini dilakukan dengan saling melompati posisi antar elektroda (seperti gerakan katak
melompat), dengan posisi dan spasi yang telah ditentukan dalam lintasan survey dan titik
pengamatan berada diantara kedua elektroda. Sehingga nilai potensial yang terukur pada satu titik
ukur akan saling berkaitan dengan titik ukur didekatnya. Sedangkan metode Fix Base Station atau
metode amplitudo potensial menggunakan dua elektroda, dimana satu elektroda ditempatkan
sebagai base sedangkan yang elektroda yang lain berpindah-pindah sepanjang lintasan dengan
jarak tetap.
2.3 Porous Pot
Elektroda porous pot digunakan didalam pengukuran potensial diri medium tanah dari di
permukaan. Elektroda tersebut terdiri dari kawat tembaga yang dimasukkan dalam tabung keramik
dengan dinding berpori, diisi dengan larutan Copper Sulphate ( 4 CuSO ). Penggunaan elektroda
porous spot dalam pengukuran SP adalah untuk menghindari adanya efek polarisasi. Potensial diri
dapat terjadi karena adanya proses elektrokimia dibawah permukaan tanah yang disebabkan oleh
kandungan mineral tertentu. Di dalam pengukuran potensial diri, gangguan yang terjadi secara
alami tidak dapat dihindarkan, misalnya adanya arus telluric. Oleh karena itu, untuk mengetahui
saat pengukuran potensial diri ada gangguan telluric atau tidak, maka potensial yang terjadi karena
arus telluric perlu diukur, dan kemudian digunakan untuk melakukan koreksi terhadap data
pengukuran potensial diri (SP).

Untuk mengkalibrasi elektroda porous pot yang telah diisi dengan larutan Copper Sulphate pada
konsentrasi yang sama, masukkan/celupkan satu pasang elektroda porous pot ke dalam medium
dengan jarak yang dekat (sekitar 10 cm). Pada kondisi tersebut, ukur potensial dengan DVM
(Digital Volt Meter), dimana penunjukan harus lebih kecil atau sama dengan 2 millivolt. Apabila
penunjukan ternyata lebih besar dari 2 millivolt, maka kedua elektroda porous pot tersebut harus
dibersihkan terlebih dahulu, kemudian diisi kembali dengan larutan Copper Sulphate yang
mempunyai konsentrasi yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Telford, W.M., Geldart, L.P., Sheriff, R.E., and Keys, D.A.,1990. Apllied Geophysics,
Cambridge, University Press Cambridge.
Reynolds, John., 1997. An Introductions to Applied and Enviromental Geophysics. Singapore:
John Willey and Sons.
Rupiningsih, Setyo, 2010, Aplikasi Metode Self Potential Dalam Mennetukan Aliran Air Bawah
Tanah di Wilayah Cisoka Tangerang, skripsi S1, Universitas Indonesia Depok.
Fahrina, Noviantika, 2018, Integrasi Metode Self Potensial dan Metode Very Low Frequency-
Electromagnetic Untuk Identifikasi Nilai Potensi Tanah Longsor di Sekitar Jalan Raya
Trenggalek-Ponorogo KM-23, Tugas Akhir S1, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya.
Syaeful Bahri dan Madlazim. 2012. PEMETAAN TOPOGRAFI, GEOFISIKA DAN GEOLOGI
KOTA SURABAYA. Surabaya. Jurnal Penelitian Fisika dan Aplikasinya (JPFA).

Anda mungkin juga menyukai