Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

BHINEKA TUNGGAL IKA


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Anti
Korupsi

Dosen pembimbing : M. Zaki

Disusun oleh :

Kelompok 12

1. Umi faizah (7319026)


2. Elok dewi prastyani (7319012)
3. Nur Kifayatun Nisak (7119001)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG

TAHUN AKDEMIK 2019-2020


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Bhineka Tunggal
Ika”,tepat pada waktu yang telah ditentukan.Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Anti Korupsi.

Atas terselesaikannya makalah ini maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:
Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam penulisan makalah ini,
Dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Anti Korupsi. Serta, semua pihak yang
turut membantu terselesaikannya makalah ini. Karena keterbatasan pengetahuan penulis
maka penulisan makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini. Besar harapan
penulis agar makalah ini memperoleh nilai yang memuaskan, bahakan sempurna, Amiiin…

Jombang, 11 Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
1.COVER....................................................................................................................................

2,KATA PENGANTAR.............................................................................................................

3.DAFTAR ISI............................................................................................................................

4.BAB I.......................................................................................................................................
I.1 Latar Belakang

I.2 Rumusan Masalah

I.3 Tujuan

5.BAB 11.....................................................................................................................................

II.1 Sejarah Bhineka Tunggal Ika

II.2 Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia

II.3 Penerapan Bhineka Tunggal Ika

II.4 Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia

II.5 Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai

6.BAB III....................................................................................................................................

III.1 Kesimpulan

7.DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, dll. Namun Indonesia
mampu mepersatukan bebragai keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia
“Bhineka Tunggal Ika” , Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman.
Indonesia terdiri atas beraneka ragam budaya yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara


berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan
kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu
kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana
kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan,
bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan
antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” ,
dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada
keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan. Didasari
pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh
nusantara, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman
agamanya, pakaian adat, rumah adat kesenian adat bahkan makanan yang dimakan pun
beraneka ragam.

Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat dari
penggalan kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit (abad
14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu (berbeda-beda tetapi tetap satu
jua). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural,
dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman.

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi bagian
dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan bangsa, artinya
Bhinneka Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika
sebagai pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri
bangsa yang mengerti benar bahwa Indonesia yang pluralistik memiliki kebutuhan akan
sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama.

Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan geopolitik
dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam agama, ide, ideologis,
suku bangsa dan bahasa.

Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang ada di depan mata
kita. Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu berbeda dengan orang
Minang, Papua, Dayak, Sunda dan lainnya. Elite pemimpin yang berasal dari kota-kota besar
dan metropolitan bisa jadi memandang Indonesia secara global akan tetapi elite pemimpin
nasional dari budaya lokal tertentu memandang Indonesia berdasarkan jiwa, perasaan dan
kebiasaan lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara pandang kita tentang Indonesia berbeda.
Jadi tanpa kemauan untuk menerima dan menghargai kebhinekaan maka sulit untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Apa yang dilakukan oleh pendahulu bangsa ini
dengan membangun kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan upaya untuk
menjaga loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang kami jabarkan diatas, maka dapat diambil beberapa
rumusan masalah guna menunjang isi makalah ini, antara lain :

a) Bagaimana perjalanan Sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai bentuk identitas
Bangsa Indonesia
b) Kapan pertama ditetapkannya, penerapan Bhineka Tunggal Ika, dan
Pengimplementasiaan Lambang Bhineka Tunggal Ika pada saat ini?
c) Tujuan
d) Manfaat

I.3 Tujuan
1 Mengetahui sejarah Bhineka Tunggal Ika

2 Mengetahui bagaimana penetapan lambang Bhineka Tunggal Ika

3 Mengetahui penerapan Bhineka Tunggal Ika

4 Mengetahui implementasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur Bangsa Indonesia

5 Mengetahui prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika yang
mendukung nilai
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Sejarah Bhineka Tunggal Ika

Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat panjang,
yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika
dikenal untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana.
Perumusan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab
Sutasoma.

Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha
mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan sehubungan
usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara Indonesia ini telah
memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan.
Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan
dalam hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan masyarakat
Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka
Tungggal Ika bukan hanya perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tapi
pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan
lebih luas, seperti perbedaan suku, bangsa, budaya (adat istiadat), beda pulau, dan tentunya
agama dan kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan Nusantara.

Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan Ika
berarti Itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi pada hakekatnya
satu. Dengan kata lain, seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu
atau sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia.

Berbicara mengenai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang Garuda


Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi bagian
dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 pada 17 Oktober
1951 dan di-Undang-kan pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang Negara. Usaha pada masa
Majapahit maupun pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada pandangan yang
sama, yaitu pendangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan
sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara.

Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa dipakai sebagai motto lambang
Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Makna dari semboyan itu adalah “Tidak ada
kebenaran yang bermuka dua”. Namun, Lemhanas kemudian mengubah semboyan tersebut
mejadi yang lebih praktis dan ringkas, yaitu “Bertahan karena benar”. Makna “Tidak ada
kebenaran bermuka dua” sebenarnya memiliki pengertian agar hendaknya manusia
senantiasa berpegangan dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalaha ungkapan yang
meamaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tidak hanya Siwa dan
Budha, tapi juga seajumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih duku sebagian
besar anggota masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.

Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari, yakni
pada masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (candi Jago), semboyan tersebut
dan Candi Jago disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua
simbol tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban masa Kerajaan Majapahit.

Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang
majemuk. Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri,
muncul juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha serta pemujaan
terhadap roh leluhur. Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan
pribumi memiliki peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat.

Pada saat itu, masyarakat majapahiat tebagi menjadi beberapa golongan. Pertama,
golongan orang-orang Islam yang datang dari barat dan menetap di Majapahit. Kedua,
golongan orang-orang China yang mayoritas beasal dari Canton, Chang-chou, dan Fukien
yang kemudian bermukin di daerah Majapahit.

Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan agama Islam.
Ketiga, golongan penduduk pribumi. Penduduk pribumi ini jika berjalan tidak menggunakan
alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Penduduk pribumi sepenuhnya percaya pada
roh-roh leluhur.

II.2 Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular,
pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk,
di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin
Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya
“Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian
dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk
mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada
waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.

Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika
yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan
resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan
Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika
ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia,
“Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”.
Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai
semboyan resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD
1945 yang menyebutkan :”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan
yang merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk
dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka
Tunggal Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana
cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.

Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan
yang terikat dalam suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang
mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa,
adat budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta
didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman tersebut dalam
kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan didorong menjadi faktor
pemecah bangsa, tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen
bangsa, untuk selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk
dimanfaatkan dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.

Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan terjadinya
perkembangan tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian deras dan kuatnya,
serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah
merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan
berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang
pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang
paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak
lain. Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah harus mampu
mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh
pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan,
utamanya peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang
semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh
persyaratan untuk jabatan daerah harus dari putra daerah, menggambarkan sempitnya
kesadaran nasional yang semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan
mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka
Tunggal Ika. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud
masyarakat yang damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan
terwujud.

II.3 Penerapan Bhineka Tunggal Ika

Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat multikultural/majemuk


sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan sumbang saran kepada
semua pihak, terutama para pelaksana dan penentu kebijakan diberbagai instansi tekait, agar
dapat dijadikan tambahan acuan dalam menentukan peraturan berkaitan dengan aktualisasi
pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an oleh masyarakat multikultural sebagai
pilar nasionalisme yang kokoh dan trengginas dalam menghadapi perubahan globalKalimat
yang terpampang pada pita putih yang tercengkeram oleh kaki burung garuda, lambang
negara Indonesia yaitu BHINNEKA TUNGGAL IKA memiliki makna yang
menggambarkan keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi
pada hakikatnya merupakan satu kesatuan Indonesia.

Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul
kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua ajaran
atau keyakinan yang berbeda kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu kesamaan tujuan.

Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami benar arti
dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan bentuk pernyataan
beliau dari suatu keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya dapat diterapkan dan
diterima hingga saat sekarang ini. Dan memang seperti itulah seorang yang populis, berani
menyampaikan sesuatu yang belum pernah diperdengarkan sebelumnya dan menyampaikan
dengan bahasa yang populer, yaitu bahasa yang bisa diterima saat itu, saat ini dan suatu saat
yang akan datang.

Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang
dapat dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya sesuai
tingkat pemahamannya masing-masing.

Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam
perwujudan sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali
ditemui, namun untuk memahaminya terkadang masih terasa sulit, apalagi mengakuinya.
Ada ungkapan yang menyatakan “perbedaan adalah rahmat” dan inipun terkadang menjadi
bahan perdebatan.

Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan malam itu
berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi saling mengisi
dalam kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan tentu tidak dapat
disangkal, lalu mengapa Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan itu seharusnya tidak
perlu ada, apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya Tuhan? Mengakui perbedaan
terkadang terasa sulit seperti halnya mengakui kebenaran orang lain daripada melihat sisi
salahnya. Tangan dan kaki, telinga dan mata, yang kanan dan kiri memiliki bentuk dan
fungsi yang berbeda tetapi saling menyempurnakan bentuk manusia itu secara utuh. Ketika
dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya masing-masing memiliki
perbedaan pendapat apakah itu tidak boleh? dan apabila si anak memiliki keinginan yang
bertentangan dengan orang tuanya apakah kemudian menjadikan terputusnya hubungan
darah? Kemudian apabila alam semesta yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya
hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, apakah akan menjadikan putusnya hubungan, apabila
ciptaan tidak mengakui penciptanya? Perbedaan adalah kenyataan yang tidak bisa terelakan
lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau dunia.

Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling
mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu maka
dalam pertemuan malam dengan siang terlahir fajar yang indah, begitu pula siang yang
digantikan malam tercipta senja yang penuh misteri, hal itu terwujud karena adanya
keselarasan alam yang berbeda tetapi bersatu menciptakan hari.Lalu bagaimana dengan
perbedaan diantara kita, apakah bisa berjalan selaras agar tercipta kedamaian?

Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar
dengan menjadikan kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini sebagai simbolis Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami arti dan makna yang terkandung
didalamnya serta dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri sendiri,
berharap bangsa ini berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang besar.

Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi yang berjiwa


persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-Bhinneka
Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan nasional guna
mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat dinafikan bahwa
masyarakat Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang beragam, terdiri dari berbagai
macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan, agama, kepercayaan kekayaan yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal
Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Implementasinya dalam kehidupan nasional adalah, memahami kemajemukan
sosial dan budaya atau multikulturalisme sebagai dasar untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka
Tunggal Ika-an dimaksud adalah menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka
Tunggal Ika-an dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu, kelompok masyarakat,
dan bahkan secara nasional, mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta
pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya besar (sekitar 230 juta
jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang kondusif untuk pembangunan
masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.

Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang


menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam
berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan berkebangsaan
Faktor utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah pemahaman nilai-nilai
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan bahkan pemimpin atau penguasa
mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan terjadinya
konflik antar individu, kelompok masyarakat yang berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya,
dan berbeda kepentingan, serta rendahnya moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah
dan anggota dewan yang terjerat hukum akibat korupsi.

Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat dengan
integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-nilai budaya bangsa sebagai
keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara sebagai pilar
nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah persatuan dan kesatuan bangsa itu akan lenyap
tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai-nilai global
yang menantang kesatuan negara bangsa (union state) Indonesia? Bagamanakah
mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke Bhinnekatunggal Ikaan Hal inilah yang
menjadi permasalahan dalam kajian ini agar terwujud dan terpelihara secara langgeng
integrasi sebagai pilar nasionalisme.

Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam
pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial mutual
differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada diri setiap
Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu model dimana
seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal (kesukuan atau
daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga memiliki suatu tujuan
bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.

Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian
seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama
yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai orang
Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih diutamakan yaitu sebagai
rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah nilai
dankeutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika
itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.

Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha mempersatukan


seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita Seterika”, “Jepang kita
Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan tersebut beliau menebar
propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki musuh bersama yaitu Malaysia,
Jepang, Amerika dan Inggris.

Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan
tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan setanah air.
Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat masyarakat heterogen
menjadi bersatu, membentuk suatu identitas sosial nasional yang lebih kuat daripada
kepentingan kelompok, golongan dan pribadi.

Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah kuatnya
mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu model
identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua
golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan
kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.

Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama lain,
melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap
minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita
luhur bersama.

Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa ini
adalah menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita, imperialis,
orientalis, penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri
sendiri seperti pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan
memperkeruh keadaan, menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadi aksi-aksi dengan
hasil keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-cita luhur.

II.4 Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia

Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :

1. Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan
konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur
atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka
ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak
dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya,
namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni
prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common
denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian
dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula
halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika,
yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme,
yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur yang
datang dari luar.
2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang
paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain.
Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang
berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk
kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika
bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak
memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.
3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku
semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling
hormat menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian
maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan
yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik
temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi
oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.

II.5 Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung
nilai

1. inklusif, tidak bersifat eksklusif,


2. terbuka,
3. ko-eksistensi damai dan kebersamaan,
4. kesetaraan,
5. tidak merasa yang paling benar,
6. toleransi,
7. musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda.

Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka
langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini
diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

1. Perilaku inklusif.

Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika


memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa
dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa
besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan
menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat
diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.

2. Mengakomodasi sifat pluralistik.

Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh
masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya
masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau
yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara
mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi
disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing
pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh
pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan
syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan
dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola
kehidupan bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak
melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah
tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam
kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang
berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang
mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus
arus reformasi.

3. Tidak mencari menangnya sendiri.

Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri
yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam
menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal
yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-
besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus
diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu
dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.

4. Musyawarah untuk mencapai mufakat.

Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan


“musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan
kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai
kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk
mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepa-
katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win
win solution.

5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.

Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh.
Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus
Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika
menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki
mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain,
dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa
pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan
tidak mungkin terwujud.

6. Toleran dalam perbedaan.

Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan adat-
istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan agama lain,
sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan
menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta
menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.

Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan
ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu
mengimplementasikan secara tepat dan benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu
selamanya.

Bhineka Tunggal Ika pada era Glablisasi saat ini, Indonesia pada saat ini banyak
mengalami kemunduran persatuan dan kesatuan. Penyebabnya adalah adanya ketimpangan
sosial, kesenjangan ekonomi, belum stabilnya kondisi politik pemerintahan di Indonesia
menjadikan rakyat tumbuh menjadi rakyat yang apatis terhadap pemerintah. Dampak buruk
globalisasi yang membawa kebudayaan-kebudayaan baru menjadikan komposisi kebudayaan
masyarakat Indonesia menjadi lebih kompleks atau rumit. Karena banyaknya kebudayaan
baru yang datang dan diterima begitu saja, menyebabkan terjadinya penyimpangan
kebudayaan di masyarakat. Belum lagi masalah klasik yang sepele namun berdampak serius
seperti perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan yang semakin memecah belah
kesatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Melihat kondisi seperti ini tentu kita semua tidak
boleh pesimis dan patah semangat, Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika yang berarti
berbeda-beda tetapi tetap satu jua, selamanya akan tetap relevan untuk mengiringi kehidupan
bernegara di negeri yang multikultural ini, karena komposisi kehidupan rakyat Indonesia
akan terus beragam sampai kapanpun. Ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, perbedaan
suku, agama, ras dan antar golongan di antara kita janganlah dijadikan pembeda.
Perkembangan jaman yang cepat dan masuknya budaya baru biarkanlah berlalu, karena pada
dasarnya kita semua satu, satu bangsa, Bangsa Indonesia. Satu tanah air, Tanah air Indonesia.
Satu bahasa, bahasa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua.
Jaya Indonesia !
BAB III

PENUTUP

III.1 SIMPULAN

Pemahaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia dapat


wujud secara integral dengan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik oleh pemerintah
selaku penyelenggara negara maupun setiap insan pribadi warga. Peningkatan sosialisasi
aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilakukan melalui
tindakan nyata dalam kehidupan keseharian seluruh kompenen warga dalam rangka
memperkuat integrasi nasional, karena Indonesia dengan keberagaman budaya, suku/etnik,
bahasa, agama, kondisi geografis, dan strata sosial yang berbeda. Indonesia dengan gambaran
masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah kekuasaan
sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya pemerintah yang menjalankan proses
pembangunan masyarakat harus bersinergis untuk bersama-sama dengan rakyat tanpa
membedakan keberagaman budaya, bahasa, agama, suku/etnik, dan bahkan strata sosial,
mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen bersama, berlandaskan nilai-nilai yang
terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang termaktub dalam Pancasila. Ciri
kemajemukan masyarakat Indonesia yang terintegrasi secara nasional adalah sangat penting
sebagai kekayaan dan merupakan potensi yang dapat dikembangkan sehingga dapat
dimanfaatkan dalam sistem komunikasi sebagai acuan utama bagi menunjukkan jati diri
bangsa Indonesia sebagai nasionalisme.

Peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan sosial budaya sebagai pencitraan


dari budaya bangsa Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya membangun citra diri
didasarkan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka-an yang dimiliki, dapat menjadi
investasi yang diandalkan pada pelaksanaan pembangunan nasional sebagai salah satu pilar
demokrasi. Untuk itu diharapkan tindakan nyata oleh pemerintah agar memaknai pentingnya
kondisi kemajemukan yang terintegrasi secara nasional melalui wawasan kebangsaan di era
globalisasi saat ini untuk menjaga kedaulatan NKRI. Untuk merealisasikan harapan ini,
masyarakat dan segenap komponen bangsa harus lebih dewasa dalam mengaktualisasikan
pemahaman nila-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam mewujudkan integrasi nasional di
negara yang dikenal dengan kemajemukannya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi
pencapaian tujuan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baharudin,Nursyah.2013.Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.
http://silabusrppsma.blogspot.com
2. Denni.2015.Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka. http://blogdenni.wordpress.com/tag.
3. Kaelan.1999.Pendidikan Pancasila.Jakarta:Prestasi Puataka
4. Sutrisno, Slamet. 2006, Filsafat dan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Andi Offset.

Anda mungkin juga menyukai