Dosen Pembimbing :
IMAM MUHLISIN,M.Pd
Mata Kuliah :
Di Susun Oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak autis merupakan salah satu anak luar biasa atau anak berkebutuhan
khusus yang memiliki gangguan perkembangan tertentu. Pada saat ini, anak autis
telah menjadi perhatian dan kajian ilmiah bagi para ahli di bidang psikologi,
kognitif. Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri dimana autisme
seakan-seakan hidup dalam dunianya sendiri (Hadis, 2006:43). Anak autis juga
masyarakat maupun pemerintah karena jumlah anak autis yang meningkat sangat
cepat. Perhatian serius dari pihak masyarakat dan pemerintah, terbukti dari usaha
sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus seperti anak autis diberikan guru
Tugas perkembangan ( Proses atau Fase – fase ) belajar anak normal dan
anak autis sangatlah berbeda. Hal ini dikatakan oleh Jaziroh (2008:4) bahwa
1
2
anak normal cenderung suka berkelompok, sering terjadi kontak mata dengan
orang lain, sangat tertarik untuk bermain bersama teman, dan bila diajak bermain
ia selalu senang. Sedangkan Anak autis lebih suka menyendiri, sedikit kontak
mata bahkan menghindar untuk bertatapan, dan tidak tertarik untuk bermain
dengan temannya. Bidang kognitif anak normal sering kerjasama dalam belajar
dan juga cepat dalam berfikir atau dalam menerima pelajaran. Sedangkan anak
autis jarang kerjasama dalam belajar, lambat dalam berfikir dan sedikit sulit dalam
menerima pelajaran.
perkembangan belajar antara anak normal dan anak autis memiliki beberapa
perbedaan yaitu salah satunya pada bidang kognitif. Hal ini dapat diketahui bahwa
anak autis lambat dalam berfikir dan sedikit sulit dalam menerima pelajaran. Oleh
karena itu, anak autis membutuhkan sekolah dan bimbingan dari guru, orangtua,
autis di sekolah menurut Powell dan Jordan 1999 (dalam Hadis 2006:121), yaitu
masalah persepsi, masalah kesadaran akan pengalaman, masalah daya ingat, dan
masalah emosi. Anak autis bermasalah persepsi karena tidak dapat mempersepsi
stimulus dari lingkungan seperti dilakukan anak normal. Anak autis bermasalah
sesuatu itu telah dialaminya, anak autis bermasalah dalam hal daya ingat, karena
daya ingatnya lemah sehingga anak autis sulit mengaitkan ingatan mereka dengan
pengalaman mereka sebagai pribadi, dan anak autis bermasalah emosi karena
menerima pelajaran.
B. Rumusan Masalah
akan diteliti. Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Ada tiga model pendidikan bagi anak autisme, yakni sekolah umum, inklusi
dan khusus.berikut penjelasannya :
1. Sekolah Umum
Untuk sekolah umum, anak autisme mendapat pendidikan setara dengan anak
lainnya dan tanpa bimbingan pengajar khusus autism.
Sementara itu gangguan emosi yang dimaksud ialah anak tidak egois atau
mau menang sendiri. "Misalnya ada anak yang di suruh duduk tidak mau,
maunya main puzzle. Nah, itu menunjukkan emosinya masih tinggi sehingga
bisa disebut masih bermasalah,"
Syarat lainnya adalah anak mampu tidak mendistraksi atau terdistraksi anak
lain. Ini berarti anak tidak mengganggu dan terganggu oleh anak lain. "Jangan
sampai anak justru mengganggu temannya yang sedang belajar,"
5
2. Sekolah Inklusi.
Di sekolah inklusi, anak mendapat pendidikan setara seperti anak lain, namun
dengan bimbingan pengajar khusus.
Bradley McGarry, seorang peneliti dan juga Direktur Autism and Asperger
Initiative di Universitas Mercyhurst, Pennysylvania, Amerika Serikat,
berpendapat, pendidikan inklusi sangat baik untuk mendukung kemandirian
anak penyandang autisme di masa mendatang.
"Tapi jika kamu memisahkan antara anak autisme dan anak yang tidak
(autis) disini, mereka (anak penyandang autisme) tidak akan dapat
kepercayaan diri sepenuhnya di lingkungan mereka nanti," ujar Bradley.
3. Sekolah Khusus
Menurut Anita, "Untuk sekolah, sebenarnya ada sekolah khusus untuk anak-
anak dengan gangguan autistik. Jenis sekolah untuk anak dengan gangguan
ini ada sekolah khusus yang terdiri dari sekolah vokasi dan sekolah transisi,
serta sekolah inklusi,".
Menurut Anita, sekolah khusus vokasi biasanya mengajarkan berbagai
keterampilan yang dibutuhkan anak dengan autisme untuk siap bersekolah
normal. Seperti, mengajarkan keterampilan, berbicara hingga keterampilan
sosial. Ada pula yang masih menggunakan kurikulum nasional namun
ditambahkan dengan program lainnya.
Mengutip Autism Spectrum News, sebuah penelitian menunjukkan bahwa
pelatihan kejuruan atau vokasional bisa berdampak banyak pada anak dengan
autisme untuk bisa bersekolah kelak, maupun mendapat pekerjaan di masa
depan. Program sekolah vokasi khusus autisme biasanya mengandalkan
metode Applied Behavior Analysis (ABA).
ABA sering digunakan sebagai metode mengajar anak-anak dan orang
dewasa dengan autisme. ABA bisa membantu meningkatkan keterampilan,
sehingga anak Anda bisa belajar lebih mandiri. Sekolah vokasi bisa
membantu anak dengan autisme mempelajari cara mengikuti petunjuk,
meningkatkan koordinasi motorik, meningkatkan konsistensi, keandalan, dan
konsentrasi. Namun, fokus utama dalam metode ini adalah pengajaran
keterampilan sosial dan fungsional.
Selain itu, Anita, juga menjelaskan jenis sekolah lain, yaitu sekolah transisi.
"Ada juga program transisi. Di mana di sekolah khusus ini anak dipersiapkan
untuk masuk ke sekolah inklusi atau sekolah umum yang menerima ABK.
Lantas, sekolah mana yang tepat bagi anak penderit autisme?
Penanggungjawab Akademik Sekolah Khusus Individu Autisma Mandinga,
Yulianty Sitompul, mengatakan, orangtua perlu mengenali terlebih dahulu
kemampuan sang anak sebelum memilih model pendidikan. Sebab, autisme
merupakan spektrum, sehingga masing-masing anak autisme memiliki derajat
gangguan yang berbeda-beda. “Pilihannya berbalik lagi pada anak ini sendiri.
Jadi tak bisa dipukul rata inklusi semua. Semua tergantung tingkat autisme,”
Dia menambahkan, bila anak autisme mampu di sekolah umum atau inklusi,
maka tak masalah. Sebaliknya, bila anak tak mampu, maka memaksakan
mereka bersekolah umum akan membebani anak.
7
Ada strategi khusus agar proses belajar mengajar dengan anak autis
efektif. Berikut strategi belajar yang direkomendasikan oleh Brad:
1. Modelling
Cara belajar ini dapat dilakukan dengan menirukan atau memberikan contoh yang
baik pada anak dengan autisme. Hal ini juga bertujuan untuk mengembangkan
bakat mereka. Misalnya dengan memberikan contoh cara melakukan kontak mata
yang baik.
2. Latent Learning
Semua orang dapat merasa dihargai jika mereka mendapatkan pujian setelah
melakukan sesuatu yang positif, begitupun anak dengan autisme. Berikan mereka
validasi dan pujian karena hal tersebut dapat membuat mereka ingin
melakukannya lagi.
Mengajarkan sesuatu dengan membaginya ke dalam tahap per tahap. Jika Anda
ingin mengajarkan anak dengan autisme pergi tidur, maka Anda dapat memulai
dengan mengajak mereka ganti baju, sikat gigi, kemudian masuk ke kamar.
8
5. Desensitisasi Sistematis
Cara ini dapat dilakukan agar mereka dapat terbiasa dengan stimulus yang
membuat mereka cemas atau takut. Kalau mereka takut kepada laba-laba, Anda
dapat memulai dengan menunjukkan foto laba-laba terlebih dahulu. Kemudian
lanjut dengan video, dan baru laba-laba yang asli.
Mereka juga harus diberikan waktu dan kesempatan untuk terus berlatih berulang-
ulang kali. Sehingga mereka dapat terbiasa melakukan kegiatan tersebut.
“Kami akan melatih mereka untuk interview kerja selama berulang-ulang kali.
Jadi ketika mereka benar-benar di interview dengan perusahaan, mereka sudah
terbiasa,” ucap Brad.
9
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Hadis. (2006). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung: Alfabeta.