PENDAHULUAN
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia.
Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan
dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia
sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia.
Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di
dunia.
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang
menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di negeri
Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000
diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa stroke
berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan
sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke
dan kecacatan.
Stroke atau serangan otak adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,
progresif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata di sebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatic.
Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu
atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal.
Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.EPIDEMIOLOGI
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia.
Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan
dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di
dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal
dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke
di dunia.
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang
menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di negeri
Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000
diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa stroke
berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan
sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke
dan kecacatan.
B.FAKTOR RESIKO
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke non
hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan yang dapat di
modifikasi.
C. PATOFISIOLOGI
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal
sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah
neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda.
Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh
total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah
arterial. Dalam jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak adalah 700-840
ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri karotis interna yang terdiri dari
arteri karotis (dekstra dan sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut
sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok
darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya
sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior
membentuk suatu sirkulus Willisi.
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang
membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu
di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang di
perdarahi oleh arteri tersebut dikarenakan masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai
ke daerah tersebut. Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi di
dalam pembuluh darah yang memperdarhai otak diantaranya dapat berupa :
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
thrombosis.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium.
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan terjadinya
kelainian-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak mendapat suplai darah,
yang diantaranya dapat terjani kelainan di system motorik, sensorik, fungsi luhur, yang lebih
jelasnya tergantung saraf bagian mana yang terkena.
D. DIAGNOSA
1. Gambaran Klinis
a.Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit neurologi
akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak terdapat tanda atau
gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejalah
seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada
stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,
monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia,
disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala
tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu
terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian
terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejalah atau onset
stroke seperti:
1) Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan hingga
pasien bangun (wake up stroke).
2) Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari pertolongan.
3) Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4) Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang, infeksi
sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan hiponatremia.
b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya
defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan
leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor
kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati,
emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri
karotis, radial, dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu
untuk menjaga jalan napasnya sendiri.
c. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan
menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting
dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran,
pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks
tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda
meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan
dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.
Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.
1) Arteri serebri media (MCA)
Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral,
hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA memperdarahi motorik
ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih berat daripada
tungkai bawah.
6) Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah
subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah
hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi.(4)
2. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula
menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan
leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang
diderita saat ini seperti anemia.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki
gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang
diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan
penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara
peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.
3. Gambaran Radiologi
b. CT perfussion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi daerah
awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari
region otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah
tersebut.
c. CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA).
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang menunjukkan
lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat
memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan
gambaran hipodense.
d. MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal pada
stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya
yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang.
Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar
dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan
perfussion-weighted imaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi
stroke non hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan
MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur
langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras
dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.
E. PENATALAKSANAAN
Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien dan
menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan pemeriksaan
laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba. Keputusan penting pada
manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan
menentukan resiko atau keuntungan dari pemberian terapi trombolitik.
1. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten memerlukan
intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian
induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana
kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg.
Dapat pula diberikan manitol intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus
mendapatkan bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah
menunjukkan terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada
stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis
ataupun GERD.
b. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan
pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia jantung
dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan
terjadinya stroke.
f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena
hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal
iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat
berfungsi sebagai neuroprotektor.
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan
mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian
manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.(11,12,13,14)
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset.
Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan
menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena akan
mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa
fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di
Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke,
dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus
IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati
pasien tidak mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah
perdarahan intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika
Serikat telah mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study
(ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan secara
IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan
fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang
menguntungkan. Tetapi pada penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan
dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih
sedikit pasien yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan
intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di
Eropa.
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk mengatakan
bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat
besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk terapi tersebut masih
kurang jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang
penelitian dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan
menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah
onset, ternyata meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke
iskemik akut tidak dianjurkan.(15)
b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu fakta
yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik
apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang
memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan
infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai
terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.
1) Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro
plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose),
diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan:
hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.
2) Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada mast
cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan darah.
Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase.
Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap
4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg
diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan
Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang
sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare.
Kontraindikasi: sesuai dengan antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala
sesuatunya dapat kembali normal. Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute
dengan intravenous lambat untuk menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin
diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100 unit).
c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit,
berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan
aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah.
Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki
mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan
demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah. Pentoxyfilline diberikan dalam dosis
16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.
e. Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan
sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu akibat
oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan jendela waktu yang potensial
untuk reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi
pada binatang percobaan maupun pada manusia.(15)
f. Pembedahan
Pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien semakin
buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka pemindahan dari
jaringan yang mengalami infark harus dilakukan.
1. Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang
mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau
yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang sedang hingga berat maka kombinasi
Carotid endarterectomy is a surgical procedure that cleans out plaque and opens up the
narrowed carotid arteries in the neck.endarterektomi dan aspirin lebih baik daripada
penggunaan aspirin saja untuk mencegah stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk
stroke di daerah vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur
karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen.
Identitas Pasien
Nama : Ny. J
Tanggal lahir : 22 Desember 1959
Usia : 56 tahun
Alamat : Sukomoro, Nganjuk
Status : Menikah
Tanggal MRS : 12 April 2015
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Agama : Islam
Anamnesis
Keluhan utama: kaki kanan dan tangan kanan lemas
Pasien datang ke IRD RSUD Nganjuk dengan keluhan mendadak tangan kanan dan
kaki kanan sulit digerakkan sejak bangun tidur kurang lebih 5 jam sebelum pasien ke IRD.
Pasien mengatakan kalau tangan kanan dan kaki kanannya lemas sehingga sulit untuk
digerakkan. Sebelumnya tidak pernah merasakan seperti ini. Selain itu keluarga juga
mengatakan pasien bicaranya pelo padahal sebelumnya dapat berbicara dengan jelas.
Keluahan nyeri kepala disangkal, mual dan muntah disangkal.
Abdomen : Flat, soefl, BU (+) N, liver span 10 cm, Traube’s space tympani,
Hepar dan lien tidak teraba, dan shiffting dullnes (-)
Ekstremitas : Akral hangat, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), edema (-),
motorik 5 2
5 2
2.4.3 Laboratorium
Darah lengkap:
Parameter Nilai
Tanda-tanda vital
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien seorang wanita yang berusia 56 tahun. Pasien datang dengan keluhan lemas
sebelah pada ekstremitas atas dan bawah disetai dengan bicara pelo +5 jam sebelum masuk
rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan terdapat deficit neurologis tanpa ada
tanda trauma, pasien ny.J kemungkinan besar menderita penyakit stroke non hemorrhagic.
Oleh karena itu untuk menujang diagnose diperlukan pemeriksaan tambahan berupa ct scan
kepala.