Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia.
Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan
dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia
sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia.
Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di
dunia.
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang
menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di negeri
Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000
diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa stroke
berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan
sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke
dan kecacatan.
Stroke atau serangan otak adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,
progresif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata di sebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatic.

Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang


berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada umumnya
terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian.

Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu
atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal.
Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.EPIDEMIOLOGI

Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia.
Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan
dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.

Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di
dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal
dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke
di dunia.
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang
menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di negeri
Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000
diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa stroke
berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan
sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke
dan kecacatan.

B.FAKTOR RESIKO
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke non
hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan yang dapat di
modifikasi.

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:


1. Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan meningkat dua
kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan hampir 13% berumur di bawah 45
tahun. Menurut Kiking Ritarwan (2002), dari penelitianya terhadap 45 kasus stroke
didapatkan yang mengalami stroke non hemoragik lebih banyak pada tentan umur 45-65
tahun.
2. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria lebih
banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan perbedaan angka kematianya
masih belum jelas. Penelitian yang di lakukan oleh Indah Manutsih Utami (2002) di RSUD
Kabupaten Kudus mengenai gambaran faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita
stroke menunjukan bahwa jumlah kasus terbanyak jenis kelamin laki-laki 58,4% dari
penelitianya terhadap 197 pasien stroke non hemoragik.16,18
3. Heriditer
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi, penyakit
jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan riwayat stroke dalam keluarga,
terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia kurang dari
65 tahun, meningkatkan risiko terkena stroke. Menurut penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan
pada tahun 1997-2001 riwayat stroke pada keluarga meningkatkan risiko terkena stroke
sebesar 29,3%.
4. Rasa atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih. Data sementara
di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari pada suku Jawa (khususnya
Yogyakarta).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :


1. Riwayat stroke
Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam waktu lima tahun
kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak 35% sampai 42%.
2. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat sampai enam kali
ini sering di sebut the silent killer dan merupakan risiko utama terjadinya stroke non
hemoragik dan stroke hemoragik. Berdasarkan Klasifikasi menurut JNC 7 yang dimaksud
dengan tekanan darah tinggai apabila tekanan darah lebih tinggi dari 140/90 mmHg, makin
tinggi tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena mempermudah terjadinya
kerusakan pada dinding pembuluh darah, sehingga mempermudah terjadinya penyumbatan
atau perdarahan otak.
3. Penyakit jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, paska oprasi
jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering menyebabkan stroke adalah
fibrilasi atrium, karena memudahkan terjadinya pengumpulan darah di jantung dan dapat
lepas hingga menyumbat pembuluh darah otak.
4. (DM) Diabetes melitus
Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh
darah yang berlangsung secara progresif. Menurut penelitian Siregar F (2002) di RSUD Haji
Adam Malik Medan dengan desain case control, penderita diabetes melitus mempunyai risiko
terkena stroke 3,39 kali dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus.
5. TIA
Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat akibat
iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan
berfariasi tapi biasanya 24 jam. Satu dari seratus orang dewasa di perkirakan akan mengalami
paling sedikit satu kali TIA seumur hidup mereka, jika diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari
para pasien ini akan mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar
1/3 akan terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama.
6. Hiperkolesterol
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas.
Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis penting
sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma sehingga lipid terikat
dengan protein sebagai mekanisme transpor dalam serum, ikatan ini menghasilkan empat
kelas utama lipuprotein yaitu kilomikron, lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL),
lipoprotein densitas rendah (LDL), dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Dari keempat lipo
protein LDL yang paling tinggi kadar kolesterolnya, VLDL paling tinggi kadar
trigliseridanya, kadar protein tertinggi terdapat pada HDL. Hiperlipidemia menyatakan
peningkatan kolesterol dan atau trigliserida serum di atas batas normal, kondisi ini secara
langsung atau tidak langsung meningkatkan risiko stroke, merusak dinding pembuluh darah
dan juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kadar kolesterol total >200mg/dl, LDL
>100mg/dl, HDL <40mg/dl, trigliserida >150mg/dl dan trigliserida >150mg/dl akan
membentuk plak di dalam pembuluh darah baik di jantung maupun di otak. Menurut Dedy
Kristofer (2010), dari penelitianya 43 pasien, di dapatkan hiperkolesterolemia 34,9%,
hipertrigliserida 4,7%, HDL yang rendah 53,5%, dan LDL yang tinggi 69,8%.
7. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes melitus.
Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Obesitas merupakan predisposisi
penyakit jantung koroner dan stroke. Mengukur adanya obesitas dengan cara mencari body
mass index (BMI) yaitu berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter
dikuadratkan. Normal BMI antara 18,50-24,99 kg/m2, overweight BMI antara 25-29,99
kg/m2 selebihnya adalah obesitas.
8. Merokok
Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat, dan perokok
pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan karbondioksida yang ada pada
rokok menyebabkan kelainan pada dinding pembuluh darah, di samping itu juga
mempengaruhi komposisi darah sehingga mempermudah terjadinya proses gumpalan darah.
Berdasarkan penelitian Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan kebiasaan
merokok meningkatkan risiko terkena stroke sebesar empat kali.

C. PATOFISIOLOGI
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal
sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah
neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda.
Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh
total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah
arterial. Dalam jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak adalah 700-840
ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri karotis interna yang terdiri dari
arteri karotis (dekstra dan sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut
sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok
darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya
sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior
membentuk suatu sirkulus Willisi.
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang
membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu
di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang di
perdarahi oleh arteri tersebut dikarenakan masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai
ke daerah tersebut. Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi di
dalam pembuluh darah yang memperdarhai otak diantaranya dapat berupa :
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
thrombosis.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium.

Gambar 1: Sirkulus Willisi

Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan terjadinya
kelainian-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak mendapat suplai darah,
yang diantaranya dapat terjani kelainan di system motorik, sensorik, fungsi luhur, yang lebih
jelasnya tergantung saraf bagian mana yang terkena.
D. DIAGNOSA

1. Gambaran Klinis
a.Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit neurologi
akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak terdapat tanda atau
gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejalah
seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada
stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,
monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia,
disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala
tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu
terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian
terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejalah atau onset
stroke seperti:
1) Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan hingga
pasien bangun (wake up stroke).
2) Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari pertolongan.
3) Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4) Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang, infeksi
sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan hiponatremia.

b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya
defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan
leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor
kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati,
emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri
karotis, radial, dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu
untuk menjaga jalan napasnya sendiri.
c. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan
menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting
dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran,
pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks
tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda
meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan
dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.

Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.
1) Arteri serebri media (MCA)
Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral,
hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA memperdarahi motorik
ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih berat daripada
tungkai bawah.

2) Arteri serebri anterior


Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan bicara,
timbulnya refleks primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat kesadaran,
kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat dari pada tungkai atas), defisit sensorik
kontralateral, demensia, dan inkontinensia uri.

3) Arteri serebri posterior


Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous kontralateral, kebutaan
kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral, gangguan
memori.

4) Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)


Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis, serebellar,
batang otak yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo, nistagmus, diplopia, sinkop,
ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda Babynski bilateral, tanda serebellar, disfagia,
disatria, dan rasa tebal pada wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis
yang saling berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik
kontralateral).

5) Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)


Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah bifurkasio
arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Adapun cabang-cabang dari
arteri karotis interna adalah arteri oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang
episodik biasa disebut amaurosis fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri
anterior dan media sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat
timbul.

6) Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah
subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah
hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi.(4)

2. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula
menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan
leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang
diderita saat ini seperti anemia.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki
gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang
diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan
penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara
peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.
3. Gambaran Radiologi

a. CT scan kepala non kontras


Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke non
hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian
trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan
distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang
gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-
12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya
edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka
diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya
stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA),
asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-white matter.(4,10)

b. CT perfussion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi daerah
awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari
region otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah
tersebut.

c. CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA).
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang menunjukkan
lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat
memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan
gambaran hipodense.

d. MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal pada
stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya
yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang.
Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar
dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan
perfussion-weighted imaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi
stroke non hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan
MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur
langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras
dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.

e. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray


Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau oklusi
arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial dopler
berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya
MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG
(ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai
mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi
aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada
atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG
dan foto thoraks

E. PENATALAKSANAAN
Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien dan
menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan pemeriksaan
laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba. Keputusan penting pada
manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan
menentukan resiko atau keuntungan dari pemberian terapi trombolitik.

1. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten memerlukan
intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian
induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana
kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg.
Dapat pula diberikan manitol intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus
mendapatkan bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah
menunjukkan terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada
stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis
ataupun GERD.

b. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan
pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia jantung
dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan
terjadinya stroke.

c. Pengontrolan gula darah


Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis yang
kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan normoglokemik
tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena
dapat menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan
gula darah harus dilakukan secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang
harus dicapai adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan
hingga pasien pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.

d. Posisi kepala pasien


Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika
pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke.
Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45
derajat.

e. Pengontrolan tekanan darah


Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan TIK,
pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya bergantung
pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran
darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah dapat berakibat
turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain
didapatkan bahwa pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan
darah yang ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau
pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non hemoragik
adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik,
tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120
mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa
adanya intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-140
mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak
ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai
dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus
awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam
setiap 5 menit hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan
nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian terapi ini adalah
nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.
Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185 mmHg,
dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan
pengontrolan tekanan darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak terjadi
komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah labetolol (10-20
mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan
adalah nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus diperiksa
setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan setiap
jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari
nilai awal.

f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena
hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal
iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat
berfungsi sebagai neuroprotektor.
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan
mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian
manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.(11,12,13,14)

h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset.
Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan
menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.

2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena akan
mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa
fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di
Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke,
dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus
IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati
pasien tidak mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah
perdarahan intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika
Serikat telah mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study
(ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan secara
IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan
fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang
menguntungkan. Tetapi pada penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan
dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih
sedikit pasien yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan
intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di
Eropa.
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk mengatakan
bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat
besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk terapi tersebut masih
kurang jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang
penelitian dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan
menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah
onset, ternyata meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke
iskemik akut tidak dianjurkan.(15)

b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu fakta
yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik
apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang
memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan
infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai
terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.

1) Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro
plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose),
diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan:
hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.

2) Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada mast
cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan darah.
Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase.
Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap
4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg
diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan
Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang
sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare.
Kontraindikasi: sesuai dengan antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala
sesuatunya dapat kembali normal. Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute
dengan intravenous lambat untuk menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin
diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100 unit).
c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit,
berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan
aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah.
Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki
mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan
demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah. Pentoxyfilline diberikan dalam dosis
16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.

d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)


1) Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis atau
mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti thromboxane A2. Aspirin
merupakan obat pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam,
mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan
dengan dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari
dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan hasil yang efikasius.
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum
terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah
diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi
cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma:
4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat
urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada
suasana alkalis. Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan,
hipoprotrombinemia dan diduga sindrom Reye.
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg (belakangan ada yang
memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak pembentukan agregasi platelet. Sayang
ada yang mendapatkan bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.(16)

2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)


Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat menggunakan
tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi,
dan melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan
ikatan fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Menurut
suatu studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10 persen untuk
grup tiklopidin dan 13 persen untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan
penggunaan tiklopidin.

e. Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan
sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu akibat
oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan jendela waktu yang potensial
untuk reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi
pada binatang percobaan maupun pada manusia.(15)

f. Pembedahan
Pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien semakin
buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka pemindahan dari
jaringan yang mengalami infark harus dilakukan.
1. Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang
mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau
yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang sedang hingga berat maka kombinasi
Carotid endarterectomy is a surgical procedure that cleans out plaque and opens up the
narrowed carotid arteries in the neck.endarterektomi dan aspirin lebih baik daripada
penggunaan aspirin saja untuk mencegah stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk
stroke di daerah vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur
karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen.

2) Angioplasti dan Sten Intraluminal


Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta
pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri
masih dalam penelitian. Suatu penelitian menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman
dilaksanakan dibandingkan endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk terjadi
restenosis lebih besar.
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Ny. J
Tanggal lahir : 22 Desember 1959
Usia : 56 tahun
Alamat : Sukomoro, Nganjuk
Status : Menikah
Tanggal MRS : 12 April 2015
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Agama : Islam

Anamnesis
Keluhan utama: kaki kanan dan tangan kanan lemas

Pasien datang ke IRD RSUD Nganjuk dengan keluhan mendadak tangan kanan dan
kaki kanan sulit digerakkan sejak bangun tidur kurang lebih 5 jam sebelum pasien ke IRD.
Pasien mengatakan kalau tangan kanan dan kaki kanannya lemas sehingga sulit untuk
digerakkan. Sebelumnya tidak pernah merasakan seperti ini. Selain itu keluarga juga
mengatakan pasien bicaranya pelo padahal sebelumnya dapat berbicara dengan jelas.
Keluahan nyeri kepala disangkal, mual dan muntah disangkal.

Tinjauan keluhan sistemik:

Umum Lemah + Abdomen Nafsu makan Menurun


Penurunan - Anoreksia -
BB
Demam - Mual -
Menggigil - Muntah -
Berkeringat - Perdarahan -
Kulit Rash - Melena -
Gatal - Nyeri -
Luka - Diare -
Tumor - Konstipasi -
Kepala/ Sakit + BAB Baik
Leher Nyeri - Hemoroid -
Kaku Leher - Hernia -
Trauma - Ginekologi Perdarahan -
Telinga Pendengaran Dbn Spotting -
Infeksi - Sekret -
Nyeri - Gatal -
Benjolan - Penyakit -
Kelamin
Mulut & Nyeri - Kontrasepsi -
Tenggor Kering -
okan Suara serak - Siklus Haid Reguler
Sulit menelan - Menopause -
Sakit saat - Kehamilan -
menelan
Gusi Berdara Prematur -
h tanpa
sebab +
Lipatan Asimetr Abortus -
nasolabial is
Pernafas Batuk - Pap Smear -
an Riak - Ginjal dan Disuria -
Nyeri - saluran Hematuria -
Mengi - kencing Inkontinensia -
Sesak nafas - Nokturia -
Hemoptisis - Frekuensi Normal
Pneumonia - Hematologi Anemia -
Nyeri - Perdarahan -
Pleuritik
Tuberkulosis - Endokrin Diabetes -
Payudara Sekret - Penurunan BB -
Nyeri - Goiter -
Benjolan - Toleransi -
terhadap suhu
Perdarahan - Asupan cairan Cukup
Infeksi - Muskuloske Trauma -
Jantung Angina - letal Nyeri Sendi
(+)
Sesak nafas - Kaku -
Orthopnea - Bengkak -
PND - Merah -
Edema - Nyeri -
punggung
Murmur - Kram -
Palpitasi - Sistem Sinkop -
Infark - Syaraf Kejang -
Hipertensi - Tremor -
Vaskuler Klaudikasio - Nyeri -
Flebitis - Sensorik Normal
Ulkus - Tenaga Normal
Arteritis - Daya ingat Normal
Vena - Emosi Kecemasan -
Varikose Tidur Normal
Depresi -

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak lemah


Kesadaran : Compos mentis
GCS : 456
Kesan gizi : Baik
Kesan hygiene : Baik
Tensi : 150/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, reguler, adekuat
Pernafasan : 22x/menit, reguler
Suhu aksilar : 37,1 OC
Kepala : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), edema (-) lipatan nasolabil
asimetris
Leher : JVP: R+0 cm H2O pada 30º, Pembesaran KGB Leher (-)
Thorax : Cor: Iktus invisible dan palpable di midclavicular line (MCL)
sinistra intercostal space (ICS) V, right heart margin (RHM) ~
sternal line (SL) dextra, left heart margin (LHM) ~ iktus, S1 S2
tunggal, murmur (-) gallop (-).
Paru: Simetris, SF: D=S
Perkusi Suara nafas Rhonki Wheezing
S S V V - - - -
S S V V - - - -
S S V V - - - -

Abdomen : Flat, soefl, BU (+) N, liver span 10 cm, Traube’s space tympani,
Hepar dan lien tidak teraba, dan shiffting dullnes (-)
Ekstremitas : Akral hangat, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), edema (-),
motorik 5 2
5 2

reflek patologis (-), reflek fisiologis meningkat

2.4.3 Laboratorium

Darah lengkap:

Parameter Nilai

Hemoglobin 14.1 11.4-15.1 g/dl

Eritrosit 4.01 4.0-5.0 106/uL

Leukosit 7.75 4.7-11.3 103/uL


Hematokrit 45 38-42 %

Trombosit 211 142 -424 103/uL

2.4.4 Planning Terapi


IVFD RL 20tpm
Inj. Ranitidin 1 amp
Inj. Piracetam 3g
Inj. Citicholin 250

2.4.5 Planning Monitoring


Kualitas kesadaran (GCS)

Tanda-tanda vital
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien seorang wanita yang berusia 56 tahun. Pasien datang dengan keluhan lemas
sebelah pada ekstremitas atas dan bawah disetai dengan bicara pelo +5 jam sebelum masuk
rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan terdapat deficit neurologis tanpa ada
tanda trauma, pasien ny.J kemungkinan besar menderita penyakit stroke non hemorrhagic.
Oleh karena itu untuk menujang diagnose diperlukan pemeriksaan tambahan berupa ct scan
kepala.

Anda mungkin juga menyukai