Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dragon Boat Race atau Lomba Perahu Naga adalah acara olahraga bernuansa budaya di Kota
Tanjungpinang. Awalnya jadi tradisi sembahyang untuk memohon keselematan di laut. Kini jadi
acara penting yang rutin diselenggarakan oleh Pemerintah Kepulauan Riau, sejak
1992.Lomba/olahraga dragon boat berskala internasional yang sering digelar di Kepulauan Riau,
konon diangkat dari sebuah tradisi masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang yang sudah
berlangsung sejak tahun 1950-an. Tradisi tersebut bernama, “Sembahyang Keselamatan Laut”.
Oleh masyarakat Tionghoa, tradisi ini biasanya dilaksanakan pada setiap tanggal 5 bulan 5,
menurut perhitungan kalender China.
Jika mau dirunut lebih jauh, tradisi Dragon Boat Race di Kota tanjungpinang berasal dari
tradisi/festival Peh Cun yang dijalankan oleh masyarakat Tionghoa di Nusantara, selama ratusan
tahun yang lalu. Tradisi ini setidaknya telah menyebar di kawasan Nusantara, seperti Betawi,
Jambi, Surabaya, Sumatera, Lampung, Riau, dan daerah lainnya. Kata “Peh Cun” sendiri berasal
dari dialek Hokkian (dialek dalam bahasa China) yang berarti “mendayung perahu”.
Di Kepulauan Riau, khususnya Tanjungpinang, Lomba Perahu Naga sebelum tahun 1990-an
awalnya merupakan perlombaan atau event yang bersifat lokal. Namun seiring peningkatan
pengembangan sektor pariwisata di kawasan ini, even ini dijadikan barometer olahraga berskala
nasional atau bahkan berskala internasional.
Sejak penyelenggaraannya di Pulau Bintan (1992), Dragon Boat Race sebenarnya telah
menjadi even wisata bertaraf nasional dan internasional yang dibanggakan, baik oleh masyarakat
Provinsi Riau maupun masyarakat yang saat ini tergabung dalam Provinsi Kepulauan Riau
(Kepulauan Riau waktu itu masih termasuk wilayah kabupaten dalam Propinsi Riau).
Sejak tahun tersebut, tak kurang lomba ini diikuti oleh puluhan peserta dari propinsi di luar
Riau, seperti Jambi, Kalimantan, Nanggroe Aceh Darussalam, Bangka Belitung, dan Sumatera
Barat. Bahkan, dari tahun ke tahun, jumlah dan antusiasme peserta Lomba Perahu Naga ini terus
bertambah. Negeri-negeri tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand,
dan Philipina ikut ambil dalam event berskala internasional ini.
Dengan diadakannya event ini pihak pemerintah berharap adanya datang turis mancanegara
dapat memberikan keuntungan dan meningkatkan jumlah turis untuk pariwisata di tanjungpinang.
Dragon Boat Race adalah salah satu perlombaannya yang sangat menegangkan.
Mengandalkan kekuatan dan kecepatan mendayung perahu naga, kekompakan dalam sebuah Tim
juga sangat diperlukan dalam perlombaan ini. Dalam Talkshow ini, Walikota Tanjungpinang,
Syahrul juga menjelaskan sedikit sejarah Lomba Perahu Naga ini. Dalam kesempatan itu, Syahrul
menjelaskan bahwa Lomba Perahu Naga ini memang diangkat dan dikembangkan dari tradisi
ritual masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang yaitu Sembayang Keselamatan Laut. Tradisi ritual
ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa sejak 1950-an. Dan dilakukan setiap tanggal 5,
bulan 5 pada penanggalan Cina. Lalu pada akhirnya, di tahun 1992 Kabupaten Kepri
mengagendakan event ini, lalu pada tahun 2001 Kota Tanjungpinang yang sudah berbentuk daerah
otonom mengambil alih event ini. Pengambilan event ini tentu bukan sembarangan, antusias yang
menggema dari masyarakat Tanjungpinang untuk menyaksikan Perlombaan Perahu Naga ini
menjadi salah satu alasan nya.
Tanjungpinang International Dragon Boat Race 2019 akan digelar selama 3 hari, di mulai
dari tanggal 25 s.d 27 Oktober 2019. Adapun event ini akan digelar di Sungai Carang,
Tanjungpinang. Dan tahun 2019 ini, IDBR sudah memasuki gelaran yang ke-18 kalinya. Event
IDBR ini memperebutkan piala bergilir Gubernur Kepri dan Piala Tetap Walikota Tanjungpinang.
Dengan total hadiah sebesar Rp196 juta.
"Sampai sekarang kami belum mendengar kegiatan yang menelan anggaran daerah cukup besar
itu, dievaluasi. Evaluasi penting dilakukan agar DBR memberi dampak positif bagi daerah,
masyarakat dan pelaku usaha pariwisata," kata Sapril, yang juga pelaku usaha wisata di
Tanjungpinang, Selasa.
Sapril mengaku tidak mendapat manfaat dari DBR Tanjungpinang. Begitu pula sejumlah pelaku
usaha pariwisata lainnya, belum mendapat manfaat dari kegiatan itu. "Bukankah sebaiknya
kegiatan itu juga dirasakan manfaatnya bagi pelaku usaha pariwisata?" singgungnya. Ia
mengatakan gaung dari Lomba Perahu Naga yang konon berskala internasional itu semestinya
terdengar luas sehingga berdampak positif pada sektor pariwisata dan perekonomian masyarakat
di kota tersebut.
"Namun yang terlihat tidak seperti yang dibayangkan. Karena itu, kami minta dievaluasi
sehingga kegiatan itu berdampak positif," ujarnya. Sapril mengusulkan agar DBR tidak
dilaksanakan Dinas Pariwisata Tanjungpinang, melainkan diserahkan kepada organisasi yang
setiap tahun menyelenggarakan Lomba Perahu Naga dalam rangka Sembahyang Laut di Pelantar
II Tanjungpinang.
Maka kegiatan ini bisa ramai disaksikan masyarakat maupun wisman. "Kegiatan yang
dikelola masyarakat itu sebaiknya didukung pemerintah," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Tanjungpinang Surjadi mengatakan DBR memang
dievaluasi setelah dilaksanakan.
Dari hasil evaluasi ini, Dinas Pariwisata akan meningkatkan pelaksanaan DBR sehingga
memberi dampak positif pada sektor pariwisata dan masyarakat, ujarnya. "Cukup ramai wisman
dan wisatawan nusantara yang menyaksikan kegiatan ini pada hari pertama," ujarnya.
Wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara yang menyaksikan lomba ini mencapai
8 ribu orang, katanya. Ia mengemukakan arena DBR di Sungai Carang adalah yang terbaik di
Indonesia dimana ada 39 tim yang ikut kegiatan ini. Sedangkan anggaran untuk menyelenggarakan
Lomba Perahu Naga ini sekitar Rp800 juta, ujarnya.
Dampak penyelenggaraan Dragon Boat Race terhadap lingkungan yang bersifat positif
adalah pembukaan lahan di sekitar Sungai Carang. Sebelum digunakan sebagai lokasi
penyelenggaraan Dragon Boat Race, kawasan ini dahulunya masih berupa hutan-hutan. Hal ini
dapat dikategorikan sebagai dampak positif karena lahan yang digunakan untuk event hanya
sebagian kecil sehingga aktivitas event tidak merusak dan mengganggu ekosistem yang ada di
kawasan Sungai Carang. Sungai Carang sering digunakan oleh masyarakat untuk memancing dan
dijadikan sebagai jalur lalu-lintas perahu tradisional nelayan sehingga kebersihan alam dikawasan
ini tetap terjaga. Meski aktivitas event tidak menyebabkan dampak negatif yang besar terhadap
kondisi lingkungan, namun bukan berarti dampak negatif tersebut tidak terjadi. Dampak negatif
yang dihasilkan oleh event tersebut sangat kecil dan berlangsung dalam jangka waktu yang singkat
seperti kepadatan lalu lintas dan kebisingan yang tercipta di sekitar kawasan Sungai Carang. Akan
tetapi, setelah event selesai digelar, kondisi lingkungan di Sungai Carang akan kembali normal dan
stabil.
b. Dampak terhadap Sosial Budaya
Dampak penyelenggaraan Dragon Boat Race terhadap sosial budaya terjadi setelah event
dipindahkan ke Sungai Carang yang berada di perbatasan antara Kota Tanjungpinang dan
Kabupaten Bintan. Selama ini masyarakat hanya terfokus pada destinasi yang ada di pusat kota
sehingga interaksi antara keduanya jarang terjadi. Penyelenggaraan Dragon Boat Race di Sungai
Carang telah menyebabkan terjadinya interaksi antara kedua masyarakat dan juga antara Kota
Tanjungpinang dengan beberapa Negara yang menjadi peserta event. Meski pada dasarnya event
ini adalah sebuah kompetisi olahraga, namun melalui kegiatan ini dapat terjalin persahabatan dan
persaudaraan antara Tanjungpinang sebagai penyelenggara dengan Negara yang terlibat.
Pemeliharaan hubungan internasional yang baik antara masyarakat dan wisatawan dapat
menumbuhkan rasa pengertian terhadap perbedaan dan juga menumbuhkan rasa saling
menghormati meskipun sedang berada dalam sebuah kompetisi. Dampak positif
penyelenggaraan Dragon Boat Race juga ditunjukkan dengan kehadiran event ini sebagai wadah
untuk menampung bakat para atlet dayung yang berasal dari dalam daerah dan sekaligus menjadi
peluang besar bagi Pemerintah untuk memunculkan bibit-bibit baru dalam bidang olahraga
dayung.
Sementara itu, dampak negatif terhadap sosial budaya yang muncul adalah permasalahan
kesenjangan sosial antara masyarakat lokal, Pemerintah dan pihak swasta. Kesenjangan ini terjadi
karena adanya perbedaan status sosial antara Pemerintah, pihak swasta dan pelaku usaha.
Masyarakat berada di posisi lebih rendah jika dibandingkan dengan Pemerintah dan pihak swasta
yang status sosialnya lebih tinggi. Hal ini disampaikan oleh Bapak Hamizan yang menilai bahwa
secara umum jumlah masyarakat yang turut dilibatkan dalam penyelenggaraan Dragon Boat Race
belum terlalu banyak. Rapat persiapan penyelenggaraan event juga tidak menyertakan masyarakat
sebagai salah satu stakeholder sehingga informasi penting seperti kesempatan-kesempatan besar
yang bisa dilakukan masyarakat dalam event ini tidak tersampaikan dengan menyeluruh. Pendapat
ini juga diperkuat oleh pernyataan Bapak Said Afzaldy bahwa kegiatan ini terkesan hanya
bertujuan untuk memberikan keuntungan terhadap Pemerintah Daerah dan pelaku usaha. Padahal
sebagian masyarakat lainnya bisa saja terlibat dalam tindakan yang lebih luas asal diberikan
informasi yang jelas.
Dampak positif dari penyelenggaraan Dragon Boat Race terhadap ekonomi adalah
peningkatkan pendapatan yang dirasakan oleh Ibu Ratnawati seorang penjual makanan yang
menerima orderan katering makan siang dan makan malam untuk beberapa tim yang berasal dari
Jambi selama mengikuti event. Selain Ibu Ratnawati, peningkatan pendapatan juga dirasakan oleh
Bapak Daeng Mangendrek seorang penambang perahu yang diminta oleh panitia untuk
mendampingi juri menyusuri perairan Sungai Carang selama event berlangsung. Selama Dragon
Boat Race berlangsung, pendapatan yang diterima oleh Ibu Ratnawati dan Bapak Daeng
Mangendrek lebih banyak daripada hari biasa.
Selain itu, dampak positif terhadap ekonomi juga terjadi melalui kesempatan kerja yang
dirasakan oleh Ibu Ramty Ramadita. Sehari-harinya Ibu Ramty Ramadita tidak bekerja dan
hanya menjadi ibu rumah tangga yang fokus mengurus anak. Namun saat mengetahui akan ada
penyelenggaraan Dragon Boat Race di Sungai Carang yang berada dekat dengan rumahnya, Ibu
Ramty Ramadita langsung berinisiatif untuk membuka warung kecil selama event berlangsung.
Dampak negatif ekonomi terhadap penyelenggaraan Dragon Boat Race di Kota
Tanjungpinang adalah manfaat dan keuntungan yang belum merata bagi masyarakat lokal.
Belum banyak masyarakat yang mengetahui pentingnya partisipasi mereka dalam kegiatan
seperti Dragon Boat Race yang bisa meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja. Hal ini
dapat terjadi karena kurangnya sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat terhadap manfaat
yang bisa didapatkan dari penyelenggaraan event sehingga manfaat eknomi hanya bisa dirasakan
oleh kaum tertentu.
BAB III
PENUTUP
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang selaku panitia perlu memberikan
informasi secara transparan kepada masyarakat luas tentang penyelenggaraan Dragon Boat Race
sehingga akan lebih banyak keuntungan yang bisa diperoleh masyarakat dari event ini. Sebagian
besar masyarakat banyak yang belum mengetahui manfaat dari kegiatan ini bagi kehidupannya
sehingga masyarakat terksesan seolah-olah sangat ‘cuek’. Untuk mencapai hal ini Pemerintah Kota
Tanjungpinang bisa memperbanyak pertemuan-pertemuan dan FGD yang mengikutsertakan
masyarakat lokal sehingga informasi tentang kegiatan Pemerintah akan dapat tersebar dengan
merata. Masyarakat juga diharapkan agar bisa membuka diri atau membentuk sebuah kelompok
sadar wisata yang resmi sehingga sasaran utama dari kegiatan pariwisata yakni untuk
mensejahterakan masyarakat dapat terlaksana. Melalaui organisasi yang terstruktur sekiranya akan
membuat masyarakat secara keseluruhan dapat terangkul dengan pasti oleh program-program yang
dibuat oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang.