Anda di halaman 1dari 86

PERBEDAAN SELF REGULATED LEARNING ANTARA SISWA MTs NUR IMAN MLANGI DENGAN

SISWA SMP MA’ARIF GAMPING

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

Unversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Untuk Memenuhi Sebagaian Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Strata Satu Psikologi

Oleh :

Ahmad Faozi
NIM. 12710096
Dosen pembimbing
Zidni Imawan Muslimin, S.Psi., M.A., Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2019

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ahmad Faozi

NIM : 12710096

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Humaniora

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya susun dengan judul “Perbedaan Self Regulated Learning
Antara Siswa MTs Nur Iman Mlangi dengan Siswa SMP Ma’arif Gamping” merupakan hasil karya peneliti sendiri dan
bukan plagiasi dari orang lain.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya plagiasi maka saya siap menerima sanksi yang berlaku di Prodi Psikologi
Fakultas Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga.

Demikian surat ini saya buat agar dapat diketahui oleh dewan penguji.

Yogyakarta,27 juli 2019

Yang menyatakan,

Ahmad Faozi

NIM. 12710096

NOTA DINAS PEMBIMBING

Kepada :
Yth. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan HUmaniora
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
NOTA DINAS PEMBIMBING
Hal : Skripsi
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah memeriksa, mengarahkan dan mengadakan perbaikan seperlunya maka selaku pembimbing, saya menyatakan
bahwa skripsi mahasiswa
Nama : Ahmad Faozi
NIM : 12710096
Programs Studi : Psikologi
Judul : Perdeaan Self Regulated Learning antara Siswa Mts Nur Iman Mlangi dengan Siswa SMP
Ma’arif Gamping..
Telah dapat diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga untuk memenuhi sebagai
syarat memperoleh gelar sarjana strata 1 (satu) Psikologi,
Harapan saya semoga mahasiswa tersebut segera diundang hadir guna mempertanggungjawabkan skripsinya dalam
sidang munaqosyah. Demikian atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Yogyakarta,

Zidni Imawan Muslimin, S.Psi., M.Psi.

NIP. 197508102011012001
MOTTO

‫اذالفتي حسب اعتقاده رفع وكل من لم يعتقد لم ينتفع‬

Apabila seoeang pemuda tidak mempunyai tekat yang kuat, maka ia tidak akan memperoleh
apa yang ia inginkan.

(Al Fiyah Ibnu Malik)

Setiap proses akan selalu melahirkan sikap dewasa. Maka janganlah

pernah berhenti berproses (Penulis)

Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran yang kau jalani
yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa pedihnya rasa sakit

(Ali Bin Abi Tholib)

v
Karya ini saya persembahkan untuk kedua orang tua tercinta,

Bapak dan ibu

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, rasa syukur penulis haturkan atas limpahan

rahmat dan nikmat serta ma’unah-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan

kita Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Skripsi ini dapat selesai dengan baik tentunya tidak terlepas dari adanya

bantuan, bimbingan, dukungan dan partisipasi dari banyak pihak. Oleh karena itu

izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Dr. Mochammad Sodik, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Zidni Imawan Muslimin, S.Psi., M.A. selaku dosen pembimbing yang

senantiasa meluangkan waktunya dan dengan sabar membimbing penulis

dalam menyusun skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan sekali lagi

atas segala kemudahan, motivasi, dukungan dan saran-saran baiknya.

Semoga Allah memberikan balasan kebaikan dengan keberkahan yang

berlimpah untuk Bapak dan keluarga. Aamiin.

3. Ibu Miftahun Ni’mah Suseno, MA., Psikolog. selaku Dosen Penguji I dan

Ibu Sara Palila, S.Psi., M.Psi. selaku dosen penguji II yang memberikan

masukan dan saran yang bermanfaat untuk memperbaiki skripsi ini.

4. Ibu Nur Istighfari Masri Khairani, S.Psi., M.P.Psi. selaku Dosen

Pembimbing Akademik yang sudah memberikan arahan dan bimbingan

selama proses perkuliahan dan proses skripsi.

5. Pendidik dan Tenaga Kependidikan MTs Nur Iman Mlangi dan SMP

Ma’arif Gamping Yogyakarta yang telah bersedia meluangkan waktunya

untuk mendampingi dan membantu penulis dalam proses penelitian.

6. Pengurus Yayasan Nur Iman Mlangi Yogyakarta yang telah mengizinkan


peneliti untuk melakukan penelitan skripsi.

7. Kedua orang tua dan keluarga penulis yang tercinta. Bapak M

Hananurohman dan Ibu Paryati yang telah memberikan dukungan dan

banyak berjuang demi untuk kesuksesan penulis. Terima kasih atas segala

do’a, kepercayaan, motivasi dan kasih sayang yang telah diberikan. Tak

lupa kepada kakak saya Robitotul Khoiriyyah yang terus memotivasi dan

untuk ke empat adikku, Taslimatun Ni’mah, Ahmad Zam Zami, Ahmad

Saufi, Ahmad Ariful Aziz yang telah memberikan suntikan semangat.

8. Keluarga besar Mbah H Kholifah, Keluarga besar Mbah San Rohani yang

telah memberikan dukungan dan motivasi yang tiada henti. Tak lupa pula

kepada simbah putri Lailatul Qodriyah yang tiada henti memberikan

semangat untuk terus berjuang.

9. Keluarga Mbah Nyai Hj. Rubai’ah keluarga besar Pondok Pesantren Al

Falahiyyah Mlangi; Gus Rifqi, Bu Barokah, Gus Fahmi, Ning Aida, K.

Abdurrohman, Bu Ny. Maghfiroh, Gus Misbah, Ning Ilfin Misbah yang

telah memberikan doa dan wejangan kepada penulis.

10. Pak Najib, Pak Fauzan, Pak Toni dan semua rekan-rekan santri pondok

pesantren Al Falahiyyah Mlangi yang telah memberikan suasana baru

dalam proses penelitian.

11. Staff Bagian Tata Usaha UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah

membantu segala proses birokrasi.

12. Rekan-rekan MTs Nur Iman Mlangi serta siswa-siswi MTs Nur Iman

Mlangi terimakasih telah mengajarkan banyak hal baru selama ini.

13. Teman-temanku Jurusan Psikologi Angkatan 2012 Kelas B yang telah

berbagi kebersamaan selama empat tahun, terkhusus untuk mbak Adinar

yang telah membimbing peneliti selama proses proposal skripsi. Semoga

kedepannya kita sukses bersama. Aamiin.


Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian

skripsi sini. Semoga skripsi dapat dapet bermanfaat bagi pembaca maupun

penulis lainnya yang akan melakukan penelitian.

Yogyakarta, 27 Juli 2019

Ahmad Faozi
NIM 12710096
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ...................... ii

NOTA DINAS PEMBIMBING SKRIPSI ................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .................................................... iv

HALAMAN MOTTO .................................................................................. v

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi

KATA PENGANTAR ................................................................................ vii

DAFTAR ISI ................................................................................................. x

DAFTAR TABEL...................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xv

INTISARI .................................................................................................. xvi

ABSTRACT .............................................................................................. xvii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 8

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 9

D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9

E. Keaslian Penelitian ........................................................................... 10


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 16

A. Self Regulated Learning ................................................................... 20

1. Pengertian Self Regulated Learning ........................................... 20

2. Aspek-aspek Self Regulated Learning ....................................... 22

3. Tahapan Self Regulated Learning .............................................. 23

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Regulated Learning..... 25

B. Model Sekolah ................................................................................. 29

1. Boarding School (Asrama)......................................................... 29

2. Sekolah Reguler ......................................................................... 32

3. MTS Nur Iman Mlangi .............................................................. 36

4. SMP Nur Iman Mlangi ............................................................... 45

C. Dinamika Perbedaan antara Self Regulated learning siswa SMP

Ma’arif Gamping dengan MTs Nur Iman Mlangi............................ 54

D. Hipotesis........................................................................................... 58

BAB III. METODE PENELITIAN .......................................................... 59

A. Identifikasi Variabel Penelitian ........................................................ 59

B. Definisi Operasional......................................................................... 60

1. Self Regulated Learning ............................................................. 60

2. Sekolah Reguler dan Asrama ..................................................... 60

C. Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 62

D. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 63

E. Validitas dan Reliabilitas ................................................................. 66

F. Metode Analisis Data ....................................................................... 67

BAB IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................... 69


A. Orientasi Kancah .............................................................................. 69

B. Persiapan Penelitian ......................................................................... 71

1. Persiapan Administrasi............................................................... 71

2. Persiapan Alat Ukur ................................................................... 72

C. Pelaksanaan Penelitian ..................................................................... 73

D. Hasil Penelitian ................................................................................ 73

1. Deskripsi Data ............................................................................ 73

2. Uji Normalitas ............................................................................ 77

3. Uji Homogenitas ........................................................................ 78

4. Uji Hipotesis............................................................................... 78

E. Pembahasan ...................................................................................... 78

BAB V. PENUTUP ..................................................................................... 83

A. Kesimpulan ...................................................................................... 83

B. Saran ................................................................................................. 83

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

LAMPIRAN....................................................................................................
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Self Regulated Learning ..................... 37

Tabel 2. Skoring Skala Self Regulated Learning ......................... 38

Tabel 16. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ............................. 75

Tabel 17. Hasil Uji Homogenitas Data Penelitian ......................... 76

Tabel 18. Tabel Uji Beda Self regulated Learning Siswa

regular dan siswa asrama………………………….. 77

Tabel 19. Tabel Model Summary Analisis Regresi Hubungan

antara Koping Religius Negatif dan Koping Religius

Positif dengan Stres pada Narapidana Non Residivis .... 78

Tabel 20. Tabel Coefficient Hubungan antara Koping Religius

Positif dan Koping Religius Negatif dengan Stres pada

narapidana non residivis ................................................. 79


DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Pengambilan Data

Lampiran 2 Tabulasi Data Penelitian

A. Tabulasi Data Skala Self Regulated Learning


Lampiran 7 1. Hasil Data Statistik Penelitian
A. Uji Asumsi
1. Uji Normalitas
2. Uji Linieritas
B. Uji Hipotesis

Lampiran 8 Surat-surat Penelitian


Perbedaan Self-Regulated Learning Siswa Mts Nur Iman Mlangi (Asrama) dan
Siswa SMP Ma’arif Gamping (Reguler)

Oleh : Ahmad Faozi

NIM : 12710096

ABSTRAK

Self Regulated Learning (SRL) pada siswa dapat digambarkan melalui tingkatan atau

derajat yang meliputi keaktifan berpartisipasi baik itu secara kognitif, motivasional, maupun

perilaku dalam proses belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan SRL pada

siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular. Hipotesis penelitian ini adalah tidak

adanya Perbedaan Self-Regulated Learning Siswa MTs Nur Iman Mlangi (Asrama) dan Siswa

SMP Ma’arif Gamping (Reguler). Sampel (N=67) untuk siswa SMP Ma’arif Gamping dan

Sampel (N=70) diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data

menggunakan satu skala yaitu Skala SRL yang berdasarkan teori . Alat ukur yang digunakan

oleh peneliti adalah skala Self regulated learning (Saraswati, 2018) yang dibuat berdasarkan

teori self regulated learning milik Boekarts (2003), yang dimensi skala ini diturunkan dari

definisi self regulated self regulated learning. Skala ini terdiri dari 39 item valid. Analisis

dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nilai thitung

sebesar -0.803 dan p=0 .423 ( p > 0.05). dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan Self-Regulated Learning Siswa MTs Nur Iman Mlangi (Asrama) dan Siswa SMP

Ma’arif Gamping (Reguler).

Kata Kunci: self-regulated learning, siswa reguler, siswa asrama.


Differences in Self-Regulated Learning in students who Attend MTs Nur Iman Mlangi Student
(Regular Classes) and SMP Ma’arif Gamping Student.

Ahmad Faozi

12710096

ABSTRACT

Self Regulated Learning (SRL) on students can be described through levels or degrees
which include the liveliness of the participating in the cognitive, motivational, and behavior in
the learning process. This research aims to know the difference in students who follow SRL
class acceleration and regular classes. The hypothesis of this research is the existence of
differences in students who follow SRL class acceleration and regular classes in junior high
Country 2 Semarang, where students have accelerated classes SRL is higher than regular class
students. Sample (N=67) for studet SMP Ma’arif Gamping dan Sampel (N=70)for MTs Nur
Iman Student taken using a purposive sampling technique. The measuring instrument used by
the researcher is the Self regulated learning scale (Saraswati, 2018) which is made based on
Boekarts (2003) self regulated learning theory, whose dimensions are derived from the
definition of self regulated self regulated learning. This scale consists of 39 valid items. The
analysis in this study used the t-test. Based on the results of data analysis, the tcount obtained
is -0.803 and p = .423 (p> 0.05). from these results it can be concluded that there is no
difference in Self-Regulated Learning MTs Nur Iman Mlangi (Boarding School) Students and
Middle School Ma’arif Gamping (Regular) Students.

Keywords: self-regulated learning, SRL, Boarding School, regular School.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa SMP merupakan masa yang kritis bagi pendidikan siswa. Berdasarkan tahap

perkembangannya, siswa SMP seharusnya sudah memiliki tanggung jawab dalam belajar,

siswa bisa mengatur diri dengan cara belajarnya dikarenakan pada usia SMP siswa dituntut

agar melakukan cara belajar yang berbeda, lebih baik dan lebih mandiri dibandingkan

tingkatan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang terdapat dalam UU No

20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab”. (Arjanggi & Suprihatin, 2010).

Siswa sekolah menengah pertama berada pada tahap remaja awal dengan rentang usia

antara 12-15 tahun. Pada usia ini, siswa berada dalam masa pubertas, dimana terjadi transisi

dan perkembangan pada dirinya baik secara fiik, psikis, maupun secara sosial (Sarwono,

2011). Siswa mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha tidak tergantung

pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk kondisi fiik serta

berupaya mengembangkan diri melalui pergaulan dengan membentuk teman sebayanya (peer

group).

Perubahan dan perkembangan tersebut menjadikan siswa SMP berada pada masa yang

banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khas yang dimilikinya. Perkembangan emosi siswa

pada usia remaja awal menunjukkan sifat yang sensitif dan rekreatif (kritis), emosinya sering

bersifat negatif dan temperamental. Melalui interaksi sosial timbal balik dengan lingkungan

yang kurang baik, mereka akan mudah tergoda untuk melakukan berbagai kenakalan.

Dalam Kurikulum 2013, karakter bangsa menjadi unsur utama pengembangan

kepribadian siswa. Melalui Kompetensi Inti yang harus dicapai siswa sesuai dengan
Kurikulum 2013, yakni mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah

abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan

mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan, dalam pembelajaran matematika akan

menghasilkan pribadi yang madani (Herawaty, 2017). Oleh karena itu, siswa hendaknya

memiliki kesiapan dan sadar belajar. Kesadaran yang dimaksud adalah siswa sadar bahwa

mereka dalam posisi sebagai pelajar, yang tahu bahwa mereka sedang belajar, dan yang paling

penting adalah siswa tahu pentingnya belajar dan apa yang harus dilakukan dalam belajar.

Kesadaran akan pentingnya belajar akan menumbuhkan semangat belajar sehingga siswa akan

menemukan strategi dan gaya belajarnya sendiri, fokus saat belajar, mampu mengontrol situasi

belajarnya sendiri dan mampu menetapkan skala prioritas dalam aktivitas belajarnya. Apabila

siswa telah menyadari hal tersebut, maka siswa tersebut telah memiliki kemampuan

metakognitif yaitu kemampuan mengendalikan pikiran.

Kemampuan metakognitif adalah kesadaran seorang tentang apa yang diketahui dan

apa yang akan dilakukan (Mulbar, 2008). Di dalam metakognitif terdapat self regulasi yaitu

pemantauan terhadap kemampuan diri sendiri, pemantauan terhadap hasil belajar sendiri, serta

pemilihan strategi dan tindakan yang tepat.

Penelitian ini menerapkan pembelajaran klasikal dengan pendekatan saintifik yang

memuat 5M. Proses pembelajaran dalam implementasi kurikulum 2013 mengharuskan para

guru untuk mengubah mainset yang semula teacher center menjadi student center. Hosnan

(2014) mengemukakan dalam kurikulum 2013, selain menumbuh dan mengembangkan sikap,

pengetahuan, dan keterampilan, kualitas yang dikembangkan kurikulum dan harus

terealisasikan dalam proses pembelajaran, antara lain kreativitas, kemandirian, kerja sama,

solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi, dan kecakapan hidup peserta didik guna

membentuk watak serta meningkatkan peradaban dan martabat bangsa. Sejalan dengan itu,

Sumarmo (2010) menyatakan istilah kemandirian belajar sering berhubungan dengan beberapa

istilah diantaranya Self Regulated Learning, self regulated thinking, self direct learning, Self

efficacy dan self esteem. Kelima istilah tersebut tidak sama tepat namun mempunyai beberapa

karakteristik.
Self regulated learning penting bagi individu terutama pelajar maupun mahasiswa

sebab self regulated yang buruk akan berdampak pada prokrastinasi, pengabaian pada tugas

(Boekaerts, 2000). Dengan demikian, maka akan berdampak buruk pada kondisi psikologis

individu seperti keyakinan diri yang kurang, kepercayaan diri yang kurang, tertekan dan

mudah stres.

Untuk menghindarkan salah pengertian, kemandirian belajar disini akan diterjemahkan

sebagai Self Regulated Learning (SRL). Siswa dengan SRL dalam proses pembelajarannya

dapat memberikan dampak yang kuat terhadap kesadaran dalam proses pembelajaran:

pengetahuan, kepercayaan, dan pendapat tetang pembelajaran dan beberapa hal yang

berdampak pada proses pembelajaran (Ferla, 2008). Sedangkan Vrieling (2012) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa muridakan mengalami pertambahan prestasi yang signifikan

di dalam lingkungan pembelajara ndengan adanya peningkatan kemandirian belajar. Paris

(2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa SRL sangat bermanfaat dalam pencerminan

murid dan metakognitif dalam 3 hal yaitu selama awal pembelajaran, pemecahan kesulitan,

dan selama pembelajaran yang menggunakan strategi lain. Sekolah model asrama dijelaskan

dalam Wikipedia bahwa A boarding school is a school where some or all people study and

live during the school year with their fellow students and possibly teachers and/or

administrators (http://en.wikipedia.org/wiki/Borarding_school diakseses tanggal 3 Maret

2019).

Sekolah asrama adalah sekolah di mana beberapa atau semua orang belajar dan tinggal

selama tahun ajaran dengan sesama siswa mereka dan mungkin guru dan/atau administrator.

Dengan kata lain, sekolah asrama (boarding school) merupakan sebuah sekolah dimana para

siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru dan mempunyai asrama

untuk tempat menginap siswanya.

Sekolah dengan sistem asrama (boarding school) telah lama dikenal di Indonesia.

Sistem asrama biasanya memang diterapkan oleh sekolah yang memiliki lebih dari satu fokus

pelajaran, misalnya antara pendidkan umum dan pendidikan agama. Ada sekolah yang

berkurikulum berbasis agama katolik, ada sekolah asrama yang hanya dengan dua kurikulum
yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama dan ada pula sekolah asrama yang bercorak

militer. Padatnya materi yang diberikan membuat sistem asrama dianggap paling efektif

dibandingkan jika menggunakan sistem sekolah yang regular (datang-pulang). Dengan sistem

asrama, diharapkan proses belajar mengajar jadi maksimal.

Sekolah asrama juga biasanya juga memiliki peraturan yang lebih banyak dari pada

sekolah regular. Hal ini dikarenakan peserta didik berada dalam jangkauan suster

biarawati/guru selama 24 jam sejak bangun tidur hingga tidur lagi.

Widyastono (2004) menjelaskan bahwa kelas reguler diselengarakan berdasarkan

kurikulum nasional yang berlaku dan didalam kelas reguler semua peserta didik diberikan

perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan peserta didiik. Pengembangan

kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (steakholders) untuk

menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk didalamnya kehidupan

kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Dalam pengembangan kurikulum di tingkat

SMP kompetensi dasar yang dimiliki meliputi sikap spiritual,sikap sosial, dasar pengetahuan

dan keterampilan (Peraturan Mentri Kebudayaan No 58 tentang Kurikulum SMP tahun 2014).

Menurut Omar (1991), Tinggkah laku individu tidak dapat diukurnya saja, tetapi perlu

dikaitkan dengan iklim lingkungan sosial. Bandura (1989) menyebutkan bahwa manusia

melakukan sesuatu disebabkan interaksi antara individu dengan lingkunganya.

Beberapa penelitian mengenai SLR telah dilakukan oleh Natakusuma (2003) dikatakan

bahwa mahasiswa yang kuliah sambil bekerja memiliki regulasi yang baik. Mereka benar-

benar mengatur waktu belajar mereka sendiri sesuai kemampuan dan kesibukanya. Begitu juga

dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Dhuhri dan Mujidin, (2006), tentang perbedaan

SLR antara siswa underachievers dan siswa overchaivers pada kelas 3 SMP negeri 6

Yogyakarta mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan SLR antara siswa

underchaivers dan siswa overchaivers. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Febrilia

Kusumaningtyas (2011) di UKSW, mengemukaan bahwa tidak ada perbedaan SLR pada

mahaiswa yang bekerja part time dan tidak bekerja. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa aktivitas yang padat akan dapat memunculkan kemampuan anak untuk

mengatur diri.

Aktivitas belajar yang padat menjadikan siswa mampu melakukan regulasi diri dalam

belajar (Alsa 2007). Dalam proses belajar akan sangat banyak hal yang harus dipelajari, karena

siswa akan berlomba-lomba untuk lebih bisa berprestasi secara akademik maupun non

akademik, maka mereka akan mempunyai aktivitas belajar yang padat, aktivitas inilah yang

mampu meningkatkan regulasi diri siswa dalam belajar, sehingga mereka lebih memiliki daya

juang dalam belajar (Alsa 2017).

Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi adalah perilaku. Zimmerman (1989)

mengungkapkan fungsi dari perilaku adalah membantu individu untuk menggunakan

kemampuan dan upayanya dengan optimal dalam mengatur proses belajarnya. Santri yang

berusaha merubah dan menyesuaikan langkah belajar sesuai kebutuhan lingkungannya akan

lebih mudah mengatur dirinya, hal ini dapat terlihat pada santri yang mampu mengatur diri.

Pada santri yang kurang mampu mengatur diri berlaku hal sebaliknya.

Kemudian masalah-masalah yang dihadapi santri di pondok pesantren. Masalah belajar

yang dihadapi santri yang mampu mengatur diri ialah kurang dapat menerapkan kedisiplinan

dengan persentase sebesar 15%, ini menunjukkan kebutuhan untuk disiplin tinggi. Sedangkan

pada santri yang kurang mampu mengatur diri, santri tidak memiliki hiburan untuk refreshing

dengan besar persentase 2,56% yang menandakan kebutuhan untuk bersenang-senang (having

fun) tinggi. Selain itu, menurut santri yang mampu mengatur diri, program di pondok

pesantren yang dapat mempengaruhi aktivitas santri sehari-hari adalah jadwal yang tidak pasti

yang kemudian membuat pekerjaan lainnya terbengkalai dengan persentase sebesar 31,25%.

Sedangkan menurut santri yang kurang mampu mengatur diri program yang mengganggu

aktivitasnya adalah kurangnya jadwal istirahat yang menjadikan santri cepat lelah dengan

persentase sebesar 39,29%. Masalah belajar santri yang mampu mengatur diri kurang dapat

mendisiplinkan diri merupakan suatu kegagalan santri 8 dalam meregulasi diri. Seperti yang

dijelaskan Zimmerman & Martinez Pon (1988) ada beberapa aspek pembelajaran regulasi diri

seperti pengorganisasian dan transformasi data, menentukan tujuan belajar dan perencanaan
belajar. Santri yang kurang dapat mendisiplikan diri dapat disebabkan santri tidak menetapkan

tujuan belajar sehingga kesulitan menentukan strategi apa yang mudah bagi santri untuk

menghadapi kendala-kendala yang ada.

Kemudian masuk kepada regulasi diri santri. Regulasi diri yang pertama adalah cara

santri baik yang mampu mengatur diri menyesuaikan diri dengan menjalani kegiatan-kegiatan

yang ada dengan sabar, senang dan ikhlas dengan persentase 37,5%. Sementara pada santri

yang kurang mampu mengatur diri mendisiplinkan diri sendiri agar dapat menyesuaikan diri

dengan lingkungan pesantren dengan besar persentase 17,5%. Dari hasil wawancara pun

menunjukkan bahwa santri menyesuaikan diri dengan melakukan banyak hal yang membuat

terbiasa di pondok pesantren, menaati peraturan yang berlaku di pondok pesantren dan

mengikuti atau menjalani jadwal dan peraturan yang sudah ada dengan mandiri.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Rochester Institute of Technology (Haryu

dalam Shidiq & Mujidin, 2006) langkah penyesuaian santri yang mampu dan kurang mampu

mengatur menunjukan bahwa santri memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan diri

terhadap kesulitan yang dihadapi pada saat pengerjaan tugas dan mengubahnya menjadi

tantangan yang menarik. Sedangkan santri yang mampu mengatur diri cenderung telah

memiliki kemampuan yang memudahkan santri menyesuaikan diri sehingga santri cenderung

menjalaninya dengan sabar, senang dan ikhlas.

Menurut Zimmerman (1990) dalam teori sosial kognitif terdapat tiga hal yang

mempengaruhi seseorang sehingga melakukan pembelajaran regulasi diri, yakni individu,

perilaku dan lingkungan. Faktor individu meliputi pengetahuan, tujuan yang ingin dicapai,

kemampuan metakognisi serta efikasi diri. Faktor perilaku meliputi behavior selfreaction,

personal self reaction serta environment self reaction. Sedangkan faktor lingkungan dapat

berupa lingkungan fisik maupun lingkungan.

Keberadaan sekolah berbasis pesantren menjadi menarik untuk dikaji mengingat model

pembelajaran, pendekatan belajar dan kurikulum yang berbeda dengan sekolah umum. dengan

memadukan sekolah umum dan pesantren, aspek spiritual menjadi keunggulan tersendiri bagi

sekolah berbasis pesantren. Di sekolah berbasis pesantren, materi keagamaan lebih banyak
diberikan disamping materi umum. Sehingga, asumsinya adalah bahwa disekolah berbasis

pesantren mendapatkan pemahaman dan pengalaman spiritual yang lebih, jika dibandingkan

dengan siswa sekolah non pesantren. Hal ini akan berdampak pada perkembangan yang

semakin meningkat, dalam hal terciptanya kepuasan hubungan individu dengan sang pencipta,

serta pemahaman akan makana dan tujuan hidup individu yang diperoleh melalui nilai-nilai

yang diajarkan dalam pendidikan agama. kedua hal tersebut menjadi penting dalam proses

perkembangan peserta didik. siswa yang telah mengetahui makna dan tujuan hidupnya, tentu

akan lebih mampu mengarahkan tujuan-tujuan belajarnya. Selaian itu, pengetahuan tersebut

dapat mencegah mereka untuk terjerumus kedlam prilaku yang merugikan didri sendiri

maupun orang laian (Lisnawati, 2013).

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh tim Boarding School Review tahun 2017

(Rasyid, 2012), boarding school dapat membuat siswa belajar untuk membuat keputusan

sendiri dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, belajar untuk beradaptasi dengan

lingkungan barunya.

Ningtias dan Sholeh (2003) dalam penelitianya menyebutkan bahwa siswa yang

menggunakan sistem boarding school memiliki presentase terhadap motivasi sebayak 81, 2 %

dibandingkan siswa yang menggunakan sistem belajar reguler sebanyak 76,3%. Hasil ini dapat

disimpulkan bahwa skor motivasi belajar pada siswa dengan sistem asrama lebih tinggi

daripada skor motivasi belajar pada siswa yang tidak menggunakan sisten asrama.

Octyavera (2010) mengatakan bahwa siswa yang masuk di lingkungan boarding school

harus cepat dalam menyesuaikan diri. Hal ini disebabkan oleh lingkungan asrama yang sangat

berbeda dan jauh dari keluarga, di rumah siswa mempunyai keluarga yang dapat mendorong

mereka untuk belajar, namun di asrama siswa harus memiliki motivasi sendiri, berkomitmen

untuk melaksanakanya secara disiplin. Kegiatan belajar mandiri oleh siswa tanpa diperintah

oleh orang lain ini disebut dengan istilah Self Regulated Learning (regulasi diri dalam belajar).

Menurut Santrock (2007) regulasi diri dalam belajar adalah kemampuan siswa untuk

membuat sendiri rencana strategi belajar serta target yang ingin dicapai dalam belajar.
Regulasi diri dalam belajar menekankan pentingnya tanggung jawab personal dan mengontrol

pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang diperoleh.

Self Regulated Learning yang dimiliki oleh siswa dipengaruhi oleh situasi yang ada

pada lingkungan siswa dan juga tidak terlepas dari dukungan sosial yang diberikan kepada

mereka (Rachmah, 2015).

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada siswa dan waka Kurikulum yang

dilakukan pada hari senin, 3 Desember 2018 di SMP Ma’arif Gamping didapatkan hasil bahwa

ada siswa yang mengalami kesulitan belajar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sikap

terlambat dalam mengumpulkan tugas, ribut sendiri di dalam kelas ketika mengikuti pelajaran,

tidak konsentrasi dalam belajar di kelas, lamban dalam mengerjakan tugas, malas-malasan

dalam mengikuti pelajaran dan bolos sekolah.

Berdasrakan hasil wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum MTs

Nur Iman Mlangi yang seluruh siswa adalah santri yang tinggal di pesantren Mlangi, pada

tanggal 04 Januari 2019 didapatkan informasi bahwa hasil UAS banyak yang masih di bawah

KKM yang disebabkan kurang adanya kontrol diri dalam belajar, yakni siswa-siswa tidak ada

inisiatif belajar lebih giat di luar jam sekolah.

Wawancara yang dilakukan terhadap siswa A di MTs Nur Iman Mlangi pada tanggal

30 Januari 2019 diperoleh informasi bahwa siswa merasa malas untuk melakukan belajar di

luar jam sekolah karena sudah merasa padat dengan kegiatan yang ada di pondok pesantren.

Mereka juga sering mengerjakan PR justru di madrasah, dan tidak di asrama.

Hasil pre eliminari dari kedua sekolah tersebut menunjukan bahwa siswa tidak ada

upaya belajar di luar jam sekolah dengan strategi kreatifnya. Siswa cenderung mengandalkan

materi yang disampaiakan oleh guru di saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Siswa

cenderung pasrah dengan kemampuanya tanpa ada upaya yang serius untuk mendapatkan

prestasi akademik yang lebih memuaskan. Siswa mengatakan bahwa ia tak punya waktu untuk

belajar, sedangkan waktu luang yang ada digunakan untuk kegiatan yang lain selaian belajar.

Kesulitan belajar tersebut sejalan dengan pendapat Sugihartono, dkk (2007) yang

menyebutkan bahwa kesulitan belajar yang muncul ditandai dengan beberapa hal di antaranya
yaitu prestasi belajar yang rendah, usaha belajar yang dilakukan tidak sebanding dengan hasil

belajar yang dicapai, lamban dalam mengerjakan tugas, sikap acuh dalam mengikuti pelajaran,

menunjukan perilaku menyimpang seperti bolos sekolah, enggan mengerjakan tugas, tidak

konsentrasi dan emosional yang ditunjukan dengan mudah marah, mudah tersinggung serta

merasa rendah diri.

Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa self-regulated learning sangat berkaitan

dengan model sekolah ataupun aktivitas yang dilakukan oleh siswa termasuk lingkungan

sekolah yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi anak dalam melakukan

pengaturan diri. Namun bagi siswa yang tinggal di pondok pesantren seperti siswa MTs Nur

Iman Mlangi tidak selalu tinggal dengan orang tua dan hidup dengan lingkungan baru (Kenny,

1987) bersama teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (Santrock, 2003), sehingga

penulis tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan self-regulated learning pada siswa SMP

Ma’arif yang tinggal dengan orang tua dan siswa MTs Nur Iman yang tinggal di pesantren

yakni tidak tinggal dengan orang tua.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan self-regulated learning

pada siswa SMP Reguler yang tinggal dengan orang tua dan siswa MTs yang tinggal di

asrama.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara teoritis maupun manfaat

praktis.

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan psikologi

pendidikan mengenai perbedaan self-regulated learning pada siswa SMP reguler dan

siswa MTs yang tinggal di asrama.

2. Manfaat praktis
Secara praktis jika penelitian membuktikan bahwa ada perberbedaan Self

Regulated Learning antara siswa yang tinggal tinggal di rumah dengan siswa yang tinggal

di pondok pesantren diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat praktis kepada

beberapa pihak. Pertama, bagi peneliti mendapatkan informasi mengenai perberbedaan

Self Regulated Learning antara siswa SMP Maarif Gamping dengan siswa MTs Nur Iman

Mlangi yang tinggal di pondok pesantren Mlangi. Kedua, bagi sekolah dapat menjadi

bahan evaluasi dengan melihat perbedaan Self Regulated Learning siswa. Ketiga,

diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan keilmuan bagi peneliti yang ingin

mengkaji bidang yang sama.

D. Keaslian penelitian

Penelitian-penelitian yang salah satu variabel penelitianya mengambil salah satu

variabel Self Regulated Learning adalah sebagai berikut:

Pertama, Penelitian Farikah Insani (2017) Jurusan Psikologi, Universitas

Muhammadiyah Surakarta tahun yang berjudul Hubungan Antara Regulasi Diri Dengan

Penyesuaian Diri Santri Pondok Pesantren Di Surakarta. Dalam penelitian tersebut

menunjukan hasil bahwa regulasi diri pada santri Pondok Pesantren menunjukkan tingkat

regulasi diri santri tergolong sedang, yang dapat dilihat dari rerata empirik (RE) sebesar

159,96 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 145. Hasil perhitungan frekuensi dan prosentase,

diketahui dari 141 subjek, terdapat 0%(0 subjek) yang memiliki regulasi diri yang sangat

rendah, terdapat 0% (0subjek) yang memiliki regulasi diri yang rendah, terdapat 61% (86

subjek) yang memiliki regulasi diri yang sedang, terdapat 37% (52 subjek) yangmemiliki

regulasi diri yang tinggi, dan terdapat 2% (3 subjek) yang memiliki regulasi diri yang sangat

tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa santri cenderung mampu merencanakan strategi dan

menetapkan tujuan yang akan dicapai, mampu menilai kemampuan dalam diri, yakin pada

hasil yang akan dicapai, memiliki minat dan orientasi pada tujuan, memiliki kontrol diri dalam

mencapai tujuan, mampu melihat kondisi sekitar, mampu menilai diri terhadap hasil yang akan
dicapai, memberikan hadiah dan hukuman atas kesesuaian tujuan dengan hasil kinerja

(Zimmerman dalam Khayati, 2015).

Kedua, Penelitian R. Dhanahiswara (2015) Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Satya Wacana Salatiga yang berjudul Perbedaan Self-regulated learning Antara Mahasiswi

Yang Sudah Menikah Dengan Mahasiswi Yang Belum Menikah Di Universitas Kristen Satya

Wacana Salatiga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan self-

regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dengan mahasiswi yang belum

menikah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Sampel dalam penelitian ini sebanyak

93 mahasiswi yaitu 40 mahasiswi yang sudah menikah dan 53 mahasiswi yang belum

menikah, yang berada di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Teknik pengambilan

sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik snowball sampling, yaitu jumlah

sampel yang mula-mula kecil kemudian membesar. Pengumpulan data dalam bentuk angket

(kuesioner) dengan menggunakan metode skala. Untuk analisis data yang digunakan adalah

analisis data komparasi, yang disebut dengan uji t (T-test). Hasil menunjukkan dari

Independent Sample T untuk self-regulated learning adalah 0,510 (p > 0,05). Hasil tersebut

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan self-regulated learning antara mahasiswi yang sudah

menikah dengan mahasiswi yang belum menikah.

Ketiga, Ragil Picasia Dewi Estuning Tyas (2013) Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Satya Wacana yang berjudul Perbedaan Self-regulated learning Pada Siswa yang

Mengikuti Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Di SMP N 2 Semarang. Self Regulated

Learning (SLR) pada siswa dapat digambarkan melalui tingkatan atau derajat yang meliputi

keaktifan berpartisipasi baik itu secara kognitif, motivasional, maupun perilaku dalam proses

belajar. Peneliotian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan SLR pada siswa yang

mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler di SMP Negeri 2 Semarang, dimana siswa kelas

akselerasi mempunyai SLr lebih tinggi daripada kelas reguler. Sampel (N=47) diambil dengan

menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan satu skala yaitu

Skala SLR yang berdasarkan pada karakteristik siswa yang mempunyai SLR oleh Zemmerman

2001, 2002). Skala ini terdiri dari 32 item valid. analisis dalam penelitian ini menggunakan
uji-t. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nilai thitung sebesar -0,778 dan p=0,095

(p>0.05). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan SLR

pada siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler di SMP 2 Semarang.

Keempat, Penelitian yang dilakukan oleh Tis’a Muharrani tahun 2011 yang

menunjukan bahwa ada hubungan antara Self-Efficacy dengan Self Regulated Learning pada

Mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Subyek pada penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas

Psikologi USU berjumlah 90 orang. Teori yang digunakan adalah teori Self Regulated

Learning milik Zimmerman dan Martinez-Pons (2000). Implikasi dari penelitian ini adalah

tingginya Self-Efficacy meningkatkan self regulated learning.

Kelima, Penelitian Mudhar jurusan Bimbingan dan Konseling – FKIP Universitas

PGRI Adibuana Surabayayang berjudul Perbedaan Minat Karir Antara Siswa Sekolah

Menengah Pertama (SMP) Dengan Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs). Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan minat karir antara siswa SMP dengan siswa MTs.

Penelitian ini dilakukan pada siswa SMP Unggulan Bina Insani Surabaya dan MTs Negeri III

Surabaya. Alat ukur minat yang digunakan adalah Rothwell Miller Interest Blank (RMIB),

yang dapat mengungkap 12 aspek minat karir, yaitu : outdoor, mechanical, compulational,

scientific, personal contact, aesthetic, literary, musical, social service, clerical, practical dan

medical. Hasil penelitian ada 3 aspek minat karir yang menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan antara minat karir siswa SMP dengan minat karir siswa MTs, yaitu aspek scientific,

personal contact dan practical. Sedangkan 9 aspek lainnya menunjukkan tidak ada perbedaan

minat karir antara siswa SMP dengan siswa MTs. Aspek-aspek minat karir yang tidak berbeda

adalah outdoor, mechanical, compulational, aesthetic, literary, musical, social service,

clerical dan medical.

Keenam, Penelitian Zariah (2013) yang berjudul Pembelajaran Regulasi Diri Pada

Santri Di Pondok Pesantren Modern, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah

Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan pembelajaran

regulasi diri pada santri di Pondok Pesantren Modern. Informan utama dalam penelitian ini

adalah remaja berusia 13-15 tahun, santri yang sedang menempuh pendidikan dan tinggal di
Pondok Pesantren Modern minimal selama enam bulan. Metode pengambilan data yang

dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner terbuka dan wawancara. Hasil

menunjukkan bahwa cara santri menyesuaikan diri dengan lingkungan pondok pesantren

cenderung menyesuaikan terhadap kesulitan yang dihadapi dan mengubahnya menjadi

tantangan. Dalam mengatasi masalah belajar santri mengoptimalkan kemampuan dan

menggunakan strategi untuk membantu belajarnya. Kemudian masing-masing santri memiliki

srategi belajar yang berbeda-beda untuk membantu belajarnya. Selain itu, untuk mengatasi

pengaruh teman dan lingkungan, santri cenderung menjaga dan mengontrol diri dalam

berteman. Ketika melakukan kesalahan, santri cenderung mengevaluasi diri dan memperbaiki

diri atas kesalahan yang telah diperbuat. Santri juga mendapat keuntungan ketika mampu

meregulasi diri dengan baik yakni merasa senang, tenang dan nyaman serta dapat

menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, menjadi disiplin, memiliki waktu luang yang

bermanfaat. Sedangkan kerugian yang didapatkan santri ketika kurang mampu meregulasi diri

dengan baik ialah merasa menyesal dan kecewa, selain itu santri memiliki pekerjaan yang

tertunda, waktu luang yang sia-sia dan prestasi santri menjadi turun.

Ketujuh, Penelitian Muttaqien (2011) mahasiswa Pascasarjana UI yang berjudul

Hubungan Antara Raja' dan religiusitas dengan Self Regulated Learning. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hipotesa yang ditengahkan dapat diterima yaitu ada hubungan yang

signifikan antara raja (harapan) dan religiusitas dengan self-regulated learning. Oleh karena

itu pentingnya digalakkan pemahaman raja dan penerapan religiusitas yang

berkesinambungan. Diharapkan dengan raja dan religiusitas akan membantu peningkatan self-

regulated learning anak.

Kedelapan, Penelitian Yoenanto (2010) Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Surabaya yang meneliti hubungan antara Self efficacy dan Self Regulated Learning, subjek

pada penelitian ini adalah siswa akselerasi Sekolah Menengah Pertama di Jawa Timur. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara self-regulated learning dengan selfefficacy

pada siswa akselerasi di SMP di Jawa Timur. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa

SMP yang ada di wilayah Jawa Timur. Sampel dalam penelitian ini adalah empat sekolah
yang berada di Jawa Timur yaitu: SMPN 1 di Bondowoso, SMPN 1 Tuban, SMPN 2 Jember

dan SMPN 1 Surabaya. Untuk mengukur self-regulated learning menggunakan kuesioner

yang dikembangkan oleh Vallerand dan kuesioner Self-Efficacy menggunakan kuesioner

yang diciptakan oleh Matthias Jerusalem dan Ralf Schawarzer. Teknik analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini, yaitu korelasi product moment dari Spearman. Dari hasil

penelitian, maka disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara Self Regulated

Learning dengan Self-Efficacy pada siswa-siswa akselerasi di SMP Negeri di Jawa Timur.

Berdasarkan pemaparan di atas perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya terletak pada:

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa SMP Ma’arif

Gamping dan siswa-siswi MTs Nur Iman Mlangi yang tinggal di pesantren Mlangi.

Sedangkan penelitian-penelitian diatas pendidikan yang di tempuh oleh subjek bukan

setingkat SMP/MTs yang tinggal di pesantren dan bukan lembaga pendidikan yang

dibawah LP Ma’arif.

2. Topik

Pada Penelitian ini berjudul perbedaan Self Regulated Learning antara siswa SMP

Maarif Gamping dengan siswa MTs Nur Iman Mlangi yang tinggal di pondok pesantren

Mlangi. Pada penelitian sebelumnya belum pernah ada yang meneliti tentang perbedaan

Self Regulated Learning antara siswa SMP reguler dengan siswa MTs yang tinggal di

pondok pesantren.

3. Alat ukur
Alat ukur yang digunakan oleh peneliti adalah alat ukur milik Saraswati (2018)

yang dibuat berdasarkan teori self regulated learning milik Boekarts (2003), yang

dimensi skala ini diturunkan dari definisi self regulated self regulated learning.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self Regulated Learning

1. Pengertian Self-Regulated Learning

Pengelolaan diri dalam bahasa Inggris adalah self regulation. Self artinya diri dan

regulation adalah terkelola. Pengelolaan diri merupakan salah satu komponen penting

dalam teori kognitif sosial (social cognitive theory). Menurut Gufron (2011) Albert

Bandura adalah orang yang pertama kali memublikasikan teori belajar sosial pada awal

1960-an. Pada perkembangannya kemudian diganti namanya menjadi teori kognitif sosial

pada 1986 dalam bukunya berjudul Social Foundation of Thought and Action: A Social

Cognitive Theory.

Bandura (Filho, 2001) mendefinisikan self-regulated learning sebagai suatu

keadaan dimana individu yang belajar sebagai pengendali aktivitas belajarnya sendiri,

memonitor motivasi dan tujuan akademik, mengelola sumber daya manusia dan benda,

serta menjadi pelaku dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksana dalam proses

belajar.

Menurut Bandura (Boekaerts, 2000) bahwa self regulation (regulasi diri) adalah

interaksi antara personal (diri), perilaku dan lingkungan. Regulasi diri dalam belajar (self

regulated learning) merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja, terencana yang

bersifat siklus dimana pikiran, perasaan, dan tindakan dikelola untuk mencapai tujuan

khususnya dalam belajar/akademik. Dengan demikian, maka individu akan menyakini,

memikirkan dan merencanakan tindakan dan emosinya untuk menyelesaikan tugas

tertentu yakni dalam belajar.

Self-regulated learning adalah proses aktif dan konstruktif dengan jalan siswa

menetapkan tujuan untuk proses belajarnya dan berusaha untuk memonitor, meregulasi,

dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilaku, yang kemudian semuanya diarahkan dan

didorong oleh tujuan dan disesuaikan dengan konteks lingkungan (Boekaerts, dkk, 2000).
Menurut Santrock (2008) Self-regulated learning atau pembelajaran regulasi diri

adalah memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk

mencapai tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa tujuan akademik (meningkatkan pemahaman

dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar perkalian, mengajukan pertanyaan

yang relevan), atau tujuan sosioemosional (mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan

teman sebaya). Selanjutnya Ormrod (2009) menambahkan Self Regulated Learning adalah

pengaturan terhadap proses-proses kognitif sendiri agar belajar sukses. Jadi dapat

dikatakan bahwa self-regulated learning adalah proses yang membantu siswa dalam

mengelola fikiran, perilaku, dan emosi untuk sukses mencapai tujuan belajar mereka.

Menurut Schunk dan Ertmer (Ghufron, 2011) pengelolaan diri atau self regulation

merupakan proses yang berputar. Gambaran proses berputar ini dilukiskan oleh

Zimmerman dengan tiga tahap model pengelolaan. Pertama, forethought phase (pemikiran

sebelumnya), yaitu performasi aktual yang mendahului dan berkenaan dengan proses

pengumpulan langka untuk suatu tindakan. Kedua, performance (volitional) control

phase, yaitu mencakup proses yang terjadi sebelum belajar yang memengaruhi perhatian

dan perilaku. Ketiga, selama self-reflection phase terjadi setelah performansi individu

merespons pada usahanya. Zimmerman (2001) berpendapat bahwa pengelola diri

berkaitan dengan pembangkitan diri baik pikiran, perasaan serta tindakan yang

direncanakan dan adanya timbal balik yang disesuaikan pada pencapaian tujuan personal.

Dengan kata lain, pengelolaan diri berhubungan dengan metakognitif, motivasi, dan

perilaku yang berpartisipasi aktif untuk mencapai tujuan personal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, self-regulated learning (SRL)

merupakan proses dimana individu yang belajar secara aktif sebagai pengatur proses

belajarnya sendiri, mulai dari merencanakan, memantau, mengontrol dan mengevaluasi

dirinya secara sistematis untuk mencapai tujuan dalam belajar, dengan menggunakan

berbagai strategi baik kognitif, motivasional maupun behavioral.

2. Aspek Aspek Self Regulated Learning


Menurut Schunk dan Zimmerman (2008) Self Regulated Learning mencakup tiga

aspek :

a. Metakognisi

Metakognisi adalah kemampuan individu dalam merencanakan,

mengorganisasikan atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan

evaluasi dalam aktivitas belajar.

b. Motivasi

Motivasi dalam Self Regulated Learning ini merupakan pendorong (drive)

yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi

otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari

kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang

dimiliki setiap individu.

c. Perilaku

Perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan

memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung

aktivitas belajar Para ahli kognitif sosial (Ormrod, 2008) dan juga psikologi kognitif

mulai menyadari bahwa untuk menjadi pembelajar yang benar-benar efektif, siswa

harus terlibat dalam beberapa aktifitas mengatur diri. Dalam kenyataannya tidak

hanya siswa harus mengatur perilakunya sendiri, melainkan dia juga harus mengatur

proses-proses mental mereka sendiri.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa aspek-aspek Self

Regulated Learning meliputi metakognisi, motivasi dan perilaku.

3. Tahapan Self Regulated Learning

Menurut Bandura (Boekaerts, 2000) Self regulated learning terdiri dari tiga

tahapan yang berbentuk siklus, tahapan tersebut melibatkan aspek kognitif, perasaan

dan perilaku. Tahapan self regulated learning, sebagai berikut:

1) Tahap Kognitif/Pikiran
a. Task analysis (analisa tugas) yakni membuat tujuan yang spesifik (goal

setting) dan membuat strategi perencanaan untuk menguasai atau

mengoptimalkan tindakan/performa.

b. Self motivational belief terdiri dari self efficacy (keyakinan akan

kemampuan diri), outcome expectation (harapan akan hasil yang

diperoleh), intrinsic interest/value strategy (ketertarikan dari dalam diri),

goal orientation (orientasi tujuan).

2) Tahap Tindakan

a. Self control (kontrol diri) terdiri dari self intruction (baik tampak maupun tidak

guna menggambarkan proses penyelesaian tugas), imagery/membayangkan,

attention focusing (guna meningkatkan konsentrasi), dan task strategy (guna

mereduksi tugas menjadi bagian- bagian penting dan menata menjadi bagian-

bagian yang berarti).

b. Self observation, digunakan untuk mentracking atau menelurus aspek khusus dari

performa, kondisi lingkungan dan efek dari prosedur yang digunakan seseorang.

Self observation dilakukan dengan 2 cara yakni self recording dengan

menggunakan catatan personal dan self experimentation.

3) Tahap Self Reflection

a. Self judgement yakni mengevaluasi performa yang telah dilakukan dan atribut

yang signifikan untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Self evaluation

biasanya dilakukan dengan membandingkan informasi diri dengan standar atau

tujuan. Terdapat 4 cara yang biasa digunakan untuk mngevalusi diri: pertama,

membandingkan dengan penugasan yang diberikan; kedua, membandingkan

performa saat ini dengan performa sebelumnya; ketiga, membandingkan

performa atau hasil dengan orang lain; keempat, colaboratif yakni dengan orang

lain/kelompok yang memiliki performa terbaik.


b. Self reaction yakni reaksi kognitif dan emosi dari hasil evaluasi performance

dan atribusi keberhasilan meraih tujuan. Reaksi ini akan berpengaruh pada

tahap kognitif dan performa selanjutnya pada siklus self regulated learning.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-regulated learning

Menurut Alwisol (2009) Terdapat faktor eksternal dan faktor internal yang

mempengaruhi self-regulated learning, sebagai berikut:

a. Faktor Eksternal

Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, diantaranya:

1) Faktor lingkungan.

Menurut Zimmerman dan Pons (Ghufron, 2011) teori sosial kognitif

mencurahkan perhatian khusus pada pengaruh sosial dan pengalaman pada fungsi

manusia. Hal ini bergantung pada bagaimana lingkungan itu mendukung atau

tidak mendukung. Alwisol (2009) menambahkan bahwa faktor lingkungan

berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri

seseorang. Melalui orang tua dan guru anak-anak belajar baik-buruk, tingkah

laku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi

dengan yang lebih luas anak kemudian mengembangkan standar yang bisa

dipakai untuk menilai prestasi diri.

2) Faktor penguatan (reinforcement).

Zimmerman dan Pons (Ghufron, 2011) menyatakan bahwa hadiah

intrinsik tidak selalu memberikan kepuasan, orang membutuhkan insentif yang

berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya

bekerja sama; ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu

penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.

b. Faktor Internal

Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal dalam pengaturan diri,

faktor internal diantarnya sebagai berikut:


1) Individu (diri), yang dimaksud ialah faktor yang berasal dari diri individu sendiri.

Menurut Zimmerman dan Pons (Ghufron, 2011) faktor individu ini meliputi hal-

hal di bawah ini:

a) Pengetahuan individu, semakin banyak dan beragam pengetahuan yang

dimiliki individu akan semakin membantu individu dalam melakukan

pengelolaan.

b) Tingkat kemampuan metakognisi yang dimiliki individu yang semakin tinggi

akan membantu pelaksanaan pengelolaan diri dalam diri individu.

c) Tujuan yang ingin dicapai, semakin banyak dan kompleks tujuan yang ingin

diraih, semakin besar kemungkinan individu melakukan pengelolaan diri.

2) Perilaku.

a) Perilaku menurut Zimmerman dan Pons (Ghufron, 2011) mengacu kepada

upaya individu menggunakan kemampuan yang dimiliki. Semakin besar dan

optimal upaya yang dikerahkan individu dalam mengatur dan

mengorganisasi suatu aktivitas akan meningkatkan pengelolaan atau

regulation pada diri individu. Bandura menyatakan dalam perilaku ini, ada

tiga tahap yang berkaitan dengan pengelolaan diri atau self regulation,

diantaranya: Self observation Self observation berkaitan dengan respons

individu, yaitu tahap individu melihat ke dalam dirinya dan perilaku

(performansinya) (Ghufron, 2011). Dilakukan berdasarkan faktor kualitas

penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkahlaku diri, dan

seterusnya. Orang harus mampu memonitoring performansinya, walaupun

tidak sempurna karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari

tingkah lakunya dan mengabaikan tingkah laku lainnya. Apa yang

diobservasi seseorang tergantung kepada minat dan konsep dirinya (Alwisol,

2009).

b) Self judgment Self judgment merupakan tahap individu membandingkan

performansi dan standar yang telah dilakukannya dengan standar atau tujuan
yang sudah dibuat dan ditetapkan individu. Melalui upaya membandingkan

performansi dengan standar atau tujuan yang telah dibuat dan ditetapkan,

individu dapat melakukan evaluasi atas performasi yang telah dilakukan

dengan mengetahui letak kelemahan atau kekurangan performasinya

(Ghufron, 2011). Standar pribadi bersumber dari pengalaman mengamati

model misalnya orang tua atau guru, dan menginterpretasi balikan/penguatan

dari performasi diri. Berdasarkan sumber model dan performasi yang

mendapat penguatan, proses kognitif menyusun ukuran-ukuran atau norma

yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran itu tidak selalu sinkron dengan

kenyataan. Standar pribadi ini jumlahnya terbatas. Sebagian besar aktivitas

harus dinilai dengan membandingkannya dengan ukuran eksternal, bisa

berupa norma standar perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain,

atau perbandingan kolektif. Orang juga menilai suatu aktivitas berdasarkan

arti penting dari aktivitas itu bagi dirinya (Alwisol 2009).

c) Self reaction Self reaction

Self reaction Self reaction merupakan tahap yang mencakup proses individu

dalam menyesuaikan diri dan rencana untuk mencapai tujuan atau standar

yang telah dibuat dan ditetapkan (Ghufron, 2011). Hal ini dilakukan

berdasarkan pengamatan dan judgement, orang mengevaluasi diri sendiri

positiv atau negatif, dan kemudian menghadiahi atau menghukum diri

sendiri. Bisa terjadi tidak muncul reaksi afektif, karena fungsi kognitif

membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif

menjadi kurang bermakna secara individual (Alwisol 2009).

Berdasarkan pendapat Alwisol terdapat faktor eksternal dan faktor

internal yang mempengaruhi self-regulated learning yaitu Faktor Eksternal

yang meliputi faktor lingkungan dan faktor pengua(reinforcement)

sedangkan faktor Faktor Internal meliputi Individu (diri) dan Perilaku.


Dari kesimpulan di atas lingkungan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi Self Regulated Learning. Lingkungan yang di maksud dalam

penelitian ini adalah lingkungan pendidikan yaitu siswa MTs tinggal di

lingkungan pondok pesantren yakni sekolah dengan model boarding dan

siswa SMP yang tinggal di rumah yakni solah dengan model reguler.

B. Model Sekolah

1. Boarding School (Asrama)

A boarding school is a school where some or all people study and live during the

school year with their fellow students and possibly teachers and/or administrators

(http://en.wikipedia.org/wiki/Borarding_school diaskes tanggal 3 Maret 2019). Sekolah

asrama adalah sekolah di mana beberapa atau semua orang belajar dan tinggal selama

tahun ajaran dengan sesame siswa mereka dan mungkin guru dan/atau administrator.

Dengan kata lain, sekolah asrama (boarding school) merupakan sebuah sekolah dimana

para siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru dan

mempunyai asrama untuk tempat menginap siswanya.

Sekolah dengan sistem asrama (boarding school) telah lama dikenal di Indonesia.

Sistem asrama biasanya memang diterapkan oleh sekolah yang memiliki lebih dari satu

fokus pelajaran, misalnya antara pendidkan umum dan pendidikan agama. Ada sekolah

yang berkurikulum berbasis agama katolik, ada sekolah asrama yang hanya dengan dua

kurikulum yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama dan ada pula sekolah asrama

yang bercorak militer. Padatnya materi yang diberikan membuat sistem asrama dianggap

paling efektif dibandingkan jika menggunakan sistem sekolah yang regular (datang-

pulang). Dengan sistem asrama, diharapkan proses belajar mengajar jadi maksimal.

Sekolah asrama juga biasanya juga memiliki peraturan yang lebih banyak dari

pada sekolah regular. Hal ini dikarenakan peserta didik berada dalam jangkauan suster

biarawati/guru selama 24 jam sejak bangun tidur hingga tidur lagi.


Dalam sekolah asrama terdapat banyak kelebihan, tetapi juga terdapat beberapa

kekurangan. Beberapa kelebihan sekolah asrama (Dian, 2010), antara lain :

a. Belajar mandiri. Tinggal jauh dari orangtua mau tidak mau memaksa kita untuk

belajar hidup mandiri. Hidup mandiri bukan berarti segala sesuatu dilakukakan secara

individu karena tinggal di lingkungan asrama juga mengharuskan kita untuk bisa

beradaptasi dengan komunikasi baru, seperti teman satu kamar, satu asrama, hingga

para staf, guru dan pembimbing yang akan menjadi keluarga baru kita selama tinggal

di asrama.

b. Harus toleran. Kita harus belajar tolen kepada orang lain terutama teman sekamar dan

asrama.

c. Hidup lebih teratur. Pihak sekolah sudah memiliki jadwal kegiatan sehari-hari untuk

siswa, mulai dari waktu bangun tidur, makan, belajar, mengerjakan tugas, hingga

waktu senggang.

d. Ada pendamping. Disekolah berasrama, biasanya ada dua pemimpin. Seorang kepala

sekolah dan kepala asrama. Kepala asrama akan dibantu dengan para pendamping. Di

sekolah-sekolah asrama Katolik misalnya, akan didampingi oleh suster-suster untuk

asrama putri dan bruder-bruder untuk asrama putra.

e. Resiko terlambat sekolah sangat minim. Malah bisa dibilang hampir tidak mungkin

untuk terlambat ke sekolah, karena biasanya sekolah dan asrama berada dalam satu

kompleks dengan jarak yang tidak terlalu jauh.

f. Makanan terjamin. Dalam hal ini sama dengan dirumah. Makanan yang disantap

sehari-hari dapat lebih terjamin dibandingkan jika siswa kost dan membeli makan

diluar.

g. Lebih aman. Berada dilingkungan asrama memang lebih aman dibandingkan jika

berada diluar, seperti kost. Di asrama, tidak sembarangan orang bisa masuk-keluar

seenaknya ke dalam lingkungan asrama.


h. Fasilitas lebih lengkap. Fasilitas sekolah asrama biasanya lebih lengkap, karena

fasilitas tersebut yang akan mengkomodir kegiatan siswa sehari-hari tanpa harus

meninggalkan lingkungan asrama.

Selain kelebihan di atas, kekurangan juga bisa ditemui dalam sekolah asrama,

seperti :

a. Perasaan jenuh. Kondisi ini lebih dirasakan karena lingkungan sekolah dan asrama

berada dalam satu lokasi sehingga timbul perasaan berada dilingkungan yang ‘itu-itu

saja’. Perasaan ini juga bisa muncul karena rutinitasyang sudah berjadwal setiap

harinya.

b. Makanan asrama belum tentu sesuai selera. Di asrama, siswa hanya makan makanan

yang disediakan asrama, meskipun makanan tersebut tidak sesuai selera, siswa harus

belajar beradaptasi.

c. Tidak privasi. Hal ini dikarenakan siswa tinggal bersama-sama dan menggunakan

fasilitas bersama.

d. Kurang mengenal lingkungan di luar sana.

2. Sekolah Reguler

Widyastono (2004) menjelaskan bahwa kelas reguler diselengarakan berdasarkan

kurikulum nasional yang berlaku dan didalam kelas reguler semua peserta didik diberikan

perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan peserta didiik”.

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan

(steakholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan,

termasuk didalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Dalam

pengembangan kurikulum di tingkat SMP kompetensi dasar yang dimiliki meliputi sikap

spiritual, sikap sosial, dasar pengetahuan dan keterampilan (Peraturan Mentri Kebudayaan

No 58 tentang Kurikulum SMP tahun 2014).

Sri Supriyantini (2010) mengemukakan bahwa program pendidikan reguler

berorientasi pada kuantitas untuk dapat melayani sebanyakbanyaknya siswa. Namun


program reguler ini tidak dapat memenuhi semua kebutuhan siswa dan mempunyai

kelemahan yakni kebutuhan individual siswa tidak dapat terpenuhi. Siswa yang

penalarannya tergolong cepat daripada siswa yang lain tidak terlayani dengan baik

sehingga potensi yang dimilikinya tidak dapat berkembang secara optimal. Berkenaan

dengan hal tersebut, pemerintah telah mengeluarkan UU No 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 5 ayat 4 yang menyebutkan Warga Negara

yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan

khusus. Selanjutnya, Bab V pasal 12 ayat 1 huruf (b) yang menyebutkan bahwa setiap

peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan layanan pendidikan

sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya; dan huruf (f) yang menegaskan bahwa

setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menyelesaikan program

pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari

ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

Selain itu Hurlock (1980) menjelaskan bahwa semakin banyak partisipasi sosial,

semakin besar kompetensi sosial remaja. Partisipasi sosial menjadikan wawasan sosial

menjadi semakin membaik pada remaja, wawasan sosial ini membuat remaja dapat

menilai teman-teman dan lingkungannya dengan baik. Sehingga penyesuaian diri dalam

situasi sosial bertambah baik. Sekolah umum reguler dan boarding school merupakan dua

sistem sekolah yang memiliki sistem yang berbeda. Jika pada sekolah umum regular

pendidikan terfokus pada pendidikan akademis saja, boarding school memuat pendidikan

pada semua aspek, mulai dari aspek akademik, agama, keterampilan, hingga pembinaan

karakter. Pada sekolah umum reguler pendidikan disajikan secara terpisah, yaitu sekolah

hanya memiliki prioritas pada aspek akademik. Setelah jam pelajaran selesai anak

dikembalikan kepada orang tua. Hal ini tentu akan membentuk perilaku sosia yang

berbeda. Jika pada boarding school siswa terdikotomi oleh segala corak pendidikan dan

nilai-nilai yang diterapkan sekolah, maka sekolah umum regular perilaku mereka

tergantung pada nilai lingkungan yang berinteraksi secara kuat dengan mereka.
Siswa yang bersekolah di sekolah umum reguler, secara bebas dapat berinteraksi

dengan lingkungan yang ia inginkan. Bebas bergaul tanpa adanya peraturan baku yang

mengikat. Mereka juga memiliki lingkungan yang heterogen karena terlepas dari jam

sekolah mereka dapat berinteraksi di lingkungan sosial yang berbeda. Sementara itu pada

siswa boarding school, mereka memiliki lingkungan yang homogen, bergaul dengan

situasi sosial yang tidak bervariasi seperti lingkungan siswa sekolah umum reguler. Hal

ini akan mempengaruhi kompetensi sosial siswa, karena partisipasi sosial dan wawasan

sosial mempengaruhi kompetensi sosial. Selain dari perbedaan perilaku yang ditunjukkan

siswa sekolah umum reguler dengan siswa boarding school, hal lain yang memberikan

ketertarikan bagi peneliti adalah pentingnya pendidikan sekolah untuk dapat membentuk

kemampuan sosial siswa yang dikemukakan dalam ketentuan umum, sistem pendidikan

nasional (dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional) yaitu:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.

Hal ini berarti bahwa sejogyanya sistem pendidikan dirancang tidak hanya untuk

pengembangan kemampuan akademik siswa saja, namun juga pengembangan kepribadian

lainnya seperti tujuan pendidikan di atas dan salah satu aspek yang penting dikembangkan

adalah kompetensi sosial siswa. Perbedaan yang terdapat pada kemampuan sosial siswa

sekolah umum reguler dan boarding school yang diperoleh dari data artikel dan observasi

langsung pada beberapa siswa pada kelompok berbeda inilah, serta tujuan pendidikan

nasional yang menekankan pentingnya kompetensi sosial bagi remaja. Memberikan

ketertarikan pada peneliti untuk memfokuskan penelitian kompetensi sosial ini pada

sistem sekolah umum reguler dan boarding school.


C. MTs Nur Iman Mlangi

1. Sejarah Singkat

Pesantren telah berabad-abad berkiprah dalam pengembangan ilmu dan menjawab

persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan berbasis. Kebudayaan nusantara kemudian

berakar pada nilai dan tradisi pesantren. Bersamaan terjadinya dinamika perubahan zaman

yang semakin dinamis, kompleks, serta keterbukaan komunikasi global, pesantren dituntut

meningkatkan perannya di kancah lokal, nasional, dan internasional. Hal ini menuntut

kepeloporan dalam perubahan-perubahan yang cerdas dan inovatif, yang tetap berpijak

pada nilai dan tradisi kebudayaan nusantara.

Salah satu langkah strategis tersebut adalah urgensi mendirikan madrasah formal

dengan standar mutu tinggi, untuk menjawab tantangan-tantangan masa depan.

Pendidikan bermutu merupakan langkah strategi dalam menjawab tantangan masa depan

karena hanya dengan pendidikan akan tercipta kualitas generasi muda yang memahami

persoalan zaman dan merumuskan jawabannya.

Itulah latar belakang didirikannya Madrasah Tsanawiyah Nur Iman Mlangi

Gamping Sleman. Sebuah lembaga pendidikan yang berkomitmen memiliki kualitas

tinggi secara akademik di satu sisi, namun di sisi lain berpijak secara mendalam dan kuat

pada akar nilai dan tradisi pesantren, serta diorientasikan untuk menjawab tantangan

kekinian dan masa depan.

Madrasah Tsanawiyah Nur Iman Mlangi Gamping Sleman didirikan oleh Yayasan

Nur Iman Mlangi yang beranggotakan pesantren-pesantren di Mlangi, diantaranya Al

Huda, Al Falahiyyah, Mlangi Timur

2. Misi Madrasah Tsanawiyah Nur Iman Mlangi Gamping Sleman

a. Mengembangkan kurikulum berstandar nasional dan internasional berbasis pesantren.

b. Menyelenggarakan proses pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan berorientasi

pengembangan akademik, karakter, minat, dan potensi siswa yang multidimensional.

c. Menumbuhkan atmosfir nilai-nilai kepesantrenan dalam lingkungan madrasah,

pergaulan, asrama, dan sosial, yang sehat dan suportif.


d. Mengembangkan capacity-building kelembagaan secara istiqomah, sistematik, dan

terukur, menujut tata kelola yang baik, bersih, dan berkelanjutan

3. Tujuan Madrasah Tsanawiyah Nur Iman Mlangi Gamping Sleman

a. Mencetak siswa beriman, bertaqwa, dan berakhlakul karimah.

b. Mencetak siswa yang memiliki prestasi akademik unggul.

c. Mencetak siswa yang memiliki kemampuan fahmul kutub dan menguasai dua bahasa

internasional (Arab dan Inggris).

d. Mengembangkan kapasitas leadership, manajerial, kecakapan hidup, dan pemahaman

sejarah yang memadai.

e. Mengembangkan basis kelembagaan pendidikan yang mampu memberikan pelayanan

pendidikan baik, bermutu, dan terjangkau masyarakat.

4. Struktur Kurikulum

Struktur dan muatan kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang

tertuang dalam Standar Isi meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut ini:

a. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;

b. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;

c. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;

d. Kelompok mata pelajaran estetika;

e. Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.

Struktur kurikulum MTs Nur Iman Mlangi Gamping Sleman meliputi substansi

pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai kelas

VII sampai dengan kelas IX. struktur kurikulum disusun berdasarkan standar kompetensi

lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Kurikulum MTs Nur Iman Mlangi Gamping Sleman memuat 14 mata pelajaran,

muatan lokal, dan pengembangan diri seperti tertera pada Tabel 2.

b. Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di MTs Nur Iman Mlangi Gamping

Sleman terdiri atas Qur’an Hadist, Aqidah Ahlaq, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam

(SKI), dan mata pelajaran Bahasa arab.


c. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang

disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah.

d. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan

minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi madrasah yang difasilitasi atau

dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam

bentuk kegiatan ekstrakurikuler maupun dalam bentuk pelayanan konseling.

e. Substansi mata pelajaran IPA terdiri dari biologi, fisika, dan kimia dan IPS terdiri dari

geografi, ekonomi, dan sejarah

f. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 40 menit.

g. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34 - 38 minggu.

Adapun struktur kurikulum MTs Nur Iman Mlangi Gamping Sleman disajikan

pada Tabel 3 berikut ini:

Tabel 1. Struktur Kurikulum MTs. Nur Iman Sleman

Alokasi
Komponen Waktu/Kelas
VII VIII IX
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama Islam
a. Al-Qur’an Hadits 2 2 2
b. Aqidah Akhlaq 2 2 2
c. Fiqih 2 2 2
d. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 2 2
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 6 6 6
4. Bahasa Arab 2 2 2
5. Bahasa Inggris 4 4 4
6. Matematika 6 6 6
7. Ilmu Pengetahuan Alam 4 4 4
8. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4
9. Seni Budaya 2 2 2
10. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 2 2 2
11. Ketrampilan/Tinkom 2 2 2
B. Muatan Lokal
1. Bahasa Jawa 2 2 2
2. Ke-Nu-an 1 1 1
C. Pengembangan Diri 2*) 2*)
2*)
1. Kegiatan Bimbingan Konseling (BK)
2. Kegiatan Intrakurikuler dan Ekstrakurikuler
a. Kepramukaan
b. PMR
c. Hadrah
d. Jurnalistik
Jumlah 44 44 44

Keterangan:

*) : diluar jam pelajaran regular dan ekuivalen dengan 2 jam pelajaran

5. Pengembangan Muatan Lokal

a. Rasional Muatan Lokal

Penerapan muatan lokal diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan,

keterampilan, dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang

luas tentang keadaan lingkungan daerah dan kebutuhan masyarakatnya sesuai dengan

nilai-nilai/aturan yang berlaku serta ikut mengambil bagian dalam mendukung

kelangsungan pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Melalui

implementasi muatan lokal yang dikembangkan di satuan pendidikan, diharapkan

peserta didik dapat:

1) mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya

daerah;

2) memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai

lingkungan daerah yang berguna bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya;

3) memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di

daerah, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya daerah

dalam rangka menunjang pembangunan nasional;

4) berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat dan pemerintah daerah.

6. Kegiatan Pengembangan Diri

a. Pengertian Pengembangan Diri


Pengembangan diri adalah kegiatan bertujuan mengembangkan potensi

peserta didik secara optimal, yaitu menjadi manusia yang mampu menata diri dan

menjawab berbagai tantangan baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya

secara adaptif dan konstruktif baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat.

Pengembangan diri di madrasah bersifat pilihan, dalam arti setiap siswa wajib

mengikuti kegiatan pengembangan diri, tidak termasuk dalam pelayanan Bimbingan

dan Konseling yang merupakan program pengembangan diri wajib.

b. Tujuan Kegiatan Pengembangan Diri

1) Tujuan Umum

Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik

untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan,

potensi, bakat, minat, kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan

memperhatikan kondisi sekolah/madrasah.

2) Tujuan Khusus

Pengembangan diri bertujuan menunjang pendidikan peserta didik dalam

mengembangkan: bakat, minat, kreativitas, kompetensi dan kebiasaan dalam

kehidupan, kemampuan kehidupan keagamaan, kemampuan sosial, kemampuan

belajar, wawasan dan perencanaan karir, kemampuan pemecahan masalah, dan

kemandirian

c. Ruang Lingkup Pengembangan Diri

Pengembangan diri meliputi kegiatan terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan

terprogram direncanakan secara khusus dan diikuti oleh peserta didik sesuai dengan

kebutuhan dan kondisi pribadinya. Kegitan tidak terprogram dilaksanakan secara

lansung oleh pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah/madrasah yang diikuti oleh

semua peserta didik.

d. Bentuk Kegiatan Pengembangan diri

1) Kegiatan pengembangan diri secara terprogram(seperti dalam tabel 4)

dilaksanakan dengan perencanaankhusus dalam kurun waktu tertentu untuk


memenuhi kebutuhan peserta didik secara individual, kelompok, dan atau

klasikal melalui penyelenggaraan:

Tabel 2 : Kegiatan pengembangan diri terprogram

Kegiatan Pelaksanaan

layanan dan kegiatan  Individual


pendukung konseling  Kelompok : tatap muka guru BK
dalam kelas

kegiatan intrakurikuler  Kepramukaan

Kegiatan ekstrakurikuler  PMR (Palang Merah Remaja)


 Hadroh
 Jurnalistik

2) Pengembangan diri di luar madrasah

99 % siswa MTs Nur Iman menetap di asrama dari delapan Pondok Pesantrn

yang tergabung dalam payung yayasan Nur Iman Mlangi. Pengembangan diri di

luar madrasah bersifat wajib bagi seluruh siswa yang tinggal di pesantren.

Adapaun bentuk pengembangan diri tersebut berupa :

Tabel 3. Pengembangan siswa MTs Nur Iman diri di luar madrasah

No Nama Kegiatan Waktu Keterangan


Shyalat Tahajud Bersama Semua
1 03.00-04.00
dan Mujahadah malam Santri
Jama’ah Subuh Semua
2 04.30-05.30
Waqi’ah-Tabarok Santri
Semua
3 Sorogan Al Al Qur’an 05.30-06.30
Santri
Siswa
Pembelajaran KBM Di
07.00- 14 00 Madrasah
Madrasah
Formal
Semua
4 Sorogan Kitab 16.00-17.00
Santri
Jama’ah Maghrib -
5 18.00-19.00 Semua santri
Tadarus Bersama
6 Jamaah Isya 19.00-19.30 Semua santri
7 Diniyah dua mata kitab 19.45 – 22.00 Semua santri
8 Jam Wajib Belajar 22.30-23.00 Semua santri
9 Istirahat (Tidur) 23.00-03.00 Semua santri

e. Mekanisme Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Diri


1) Kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin dilaksanakan pada waktu

pembelajaran efektif dengan mengalokasikan waktu khusus dalam jadwal

pelajaran, dibina oleh guru dan konselor.

2) Kegiatan pengembangan diri yang bersifat spontan dilaksanakan secara insidental

baik diwaktu pembelajaran efektif maupun di luar jam pembelajaran efektif yang

dubina oleh semua guru, wali kelas maupun konselor.

3) Kegiatan pengembangan diri terpogram dilaksanakan di luar jam pembelajaran

(Kegiatan Intrakurikuler dan Ekstrakurikuler) dibina oleh guru, praktisi, atau

alumni yang memiliki kualifikasi baik berdasarkan keputusan kepala madrasah.

D. SMP Ma’arif Gamping

1. Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan

Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan menengah dirumuskan mengacu kepada

tujuan umum pendidikan berikut yaitu :

Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,

keperibadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti

pendidikan lebih lanjut.

2. Struktur Kurikulum SMP Ma’arif

Sturktur kurikulum disusun berdasarkan standar kom[petensi lulusan dan standar

kompetensi lulusan mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Kurikulum SMP Ma’arif Gamping memuat 11 mata pelajaran umum dengan

spesifikasi husus untuk mata pelajaran Agama dan budi pekerti, satu mata pelajaran

pilihan, satu muatan lokal wajib dan pengembangan diri (bimbingan dan konseling).

muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi

disesuaikan dengan ciri khas potensi daerah (Daerah Istimewa Yogyakarta), termasuk

keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokan kedalaman

matapelajaranyang ada. Subtansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.

Muatan wajib untuk kurikulum SMP Ma’arif Gamping adalah Bahasa Jawa. Mata
pelajaran pilihan adalah mata pelajaran yang disesuaikan dengan daya dukung

sekolah seperti ketersediaan pendidik, ketersediaan sarana dan prasarana serta

kebutuhan masyarakat dalam hal ini adalah peserta didik yang dituntut untuk

menguasai suatu materi untuk penunjang dan mendukung pendidikan. Melihat

keadaan yang ada di SMP Ma’arif Gamping yang menerapkan 2 macam kurikulum,

yaitu kurikulum 2013 dan kurikulum 2006 mata pelajaran pilihan Teknologi

Informasi dan komunikasi sebagai mata pelajaran hanya hanya disampaikan

b. pada kelas 9 sesuai dengan struktur kurikulum yang ada.

c. Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SMP/MTs merupakan “IPA Terpadu” dan

“IPS Terpadu” yang mengacu pada pemetaan struktur kurikulum Majlis Pendidikan

Dasar dan Menengah Pimpinan Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

maupun MGMP mata pelajaran Kabupaten Sleman dan pemetaan mata pelajaran dari

MGMP Dinas Pendidikan Kab. Sleman.

d. Jam pelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam

struktur kurikulum. Satuan pendidik dimungkinkan menambah, maksimum empat

jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan untuk mata pelajaran Ujian

Nasional.

e. Alokasi waktu satu jam pelajaran 40 menit.

f. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 Minggu.

3. Ekuivalen tambahan jam pembelajaran kelas IX Kurikulum 2006

Catatan : Adanya penambahan jam untuk Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan Bahasa

Inggris, karena ke empat mata pelajaran tersebut diujikan secara nasional sehingga peserta

didik dapat menyeiesaikan dan mencapai kompetensi secara optimal berdasarkan SK

Kepala Dinas Nomor 310 a/Th 2010.

Sedangkan muatan kurikulum setiap mata pelajaran adalah sebagai berikut:

a. Pendidikan Agama

Meliputi Agama Islam, Kristen, Katholik, Hindhu dan Budha, mengingat kondisi

sosial budaya masyarakat dilingkungan di sekitar sekolah.


Tujuan

Memberikan wawasan keberagaman agama di Indonesia

b. Kewarganegaraan dan Kepribadian

Tujuan

Memberkan pemahaman kepada siswa tentang kesadaran hidup berbangsa dan

bernegara dan pentingnya penanaman rasa persatuan dan kesatuan

c. Bahasa Indonesia

Tujuan

Membina keterampilan secara lisan dan tertulis serta dapat menggunakan bahasa

Indonesia sebagai alat komunikasi dan sarana pemahaman terhadap IPTEK

d. Bahasa Inggris

Tujuan

Membina keterampilan berbahasa dan berkomunikasi secara lisan dan tertulis untuk

menghadapi perkembangan IPTEK dalam menyongsong era globalisasi

e. Matematika

Tujuan

Memberikan pemahaman logika dan kemampuan dasar matematika dalam rangka

penguasaan IPTEK

f. Ilmu Pengetahuan Alam

Meliputi : Fisika, Biologi

Tujuan

Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa untuk menguasai dasar-

dasar sains dalam rangka penguasaan IPTEK

g. Ilmu Pengetahuan Sosial

Meliputi : Sejarah, Ekonomi, Geografi

Tujuan

Memberikan pengetahuan sosial cultural masyarakat yang majemuk mengembangkan

kesadaran hidup bermasyarakat serta memiliki keterampilan hidup secara mandiri


h. Seni Budaya

Meliputi : Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari

Tujuan

Mengembangkan apresiasi seni, daya kreasi dan kecintaan pada seni budaya nasional

i. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan

Tujuan

Menanamkan kebiasaan hidup sehat, meningkatkan kebugaran dan keterampilan

dalam bidang olahraga, menanamkan rasa sportifitas, tanggung jawab disiplin dan

percaya diri pada peserta didik

j. Ketrampilan

Tujuan

Kemampuan mngekspresikan ketrampilan dalam kerajinan dan memasak.

k. Teknologi Informasi dan Komunikasi

Tujuan

Merupakan mata pelajaran pilihan yang akan memberikan ketrampilan kepada peserta

didik di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi yang berkembang di

masyarakat.

l. Ke NU-an

Tujuan

Memberikan pemahaman mengenai Organisasi Nandlatul Ulama dan menanamkan

prinsip amar makruf n mungkar kepada peserta didik.

m. Bahasa Jawa

Tujuan

Pembelajaran bahasa jawa sebagai wahana pembentukan watak pekerti bangsa

(penerapan unggah-ungguh bahasa)

4. Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi

yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah yang

materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata peljaran lain dan/atau terlalu banyak

sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri , sehingga SMP Ma’arif Gamping harus

mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar untuk setiap jenis muatan

lokal yang diselenggarakan minimal satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester.

Program Muatan Lokal wajib Bahasa Jawa diatur dalam Surat edaran Gubernur Provinsi

DIY Nomor 423.5/0912 tahun 2005 tentang penerapan Kurikulum Muatan Lokal Bahas

Jawa dan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DIY Nomor 434/437 tahun

2004 tentang penerapan Mata Pelajaran Bahasa Jawa. Sedangkan pelaksanaan Bahasa

Jawa dalam Kurikulum 2013 dilaksanakan pada Peraturan Gubernur Daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor 64/kep/2013 tentang mata pelajaran bahasa jawa sebagai muatan lokal

wajib di sekolah/madrasah.

SMP Ma’arif Gamping menetapkan Bahasa Jawa sebagai muatan lokal yang

diajarkan di kelas VII, VIII dan IX. Jadi muatan lokal wajib yang dipilih adalah Bahasa

Jawa. Tujuan: mengembangkan kompetensi berbahasa jawa sebagai wahana pembentukan

watak pekerti bangsa (penerapan unggah-ungguh berbahasa0. Standar kompetensi dasar

mulok (bahasa jawa).

Perkembangan muatan lokal dalam jangka panjang, agar para siswa dapat melatih

keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan harapan nantinya.Dapat membantu dirinya

sendiri, keluarga, masyarakat yang akhirnya dapat membantu pembangunan nusa dan

bangsanya.Oleh karenanya, perkembangan muatan lokal dalam jangka waktu panjang

harus direncanakan secara sistematik oleh sekolah, keluarga dan masyarakat setempat

dengan perantara pakar-pakar pada instansi terkait, baik negeri maupun swasta. Indonesia

yang terdiri dan berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman multikultur

(adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah, dll) merupakan

ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu

keanekaragaman tersebut harus selalu dilestarikan dan dikembangkan dengan tetap


mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui upaya pendidikan Pengenalan

keadaan lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka

untuk lebih mengakrabkan dengan lingkungannya Pengenalan dan pengembangan

lingkungan melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas sumber

daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta

didik,

Bahasa Jawa yang diamanatkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai

muatan lokal wajib untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan

pada satuan pendidikan SMP Ma'arif Gamping dalam kegiatan intrakurikuler maupun

ekstrakurikuler,

5. Kegiatan Pengembangan Diri

Pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan

kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan

kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Dalam hal

tertentu pengembangan din dapat dilakukan penambahan dan pengurangan dengan

memperhatikan kebutuhan dan.peraturan yang berlaku, Kegiatan pengembangan diri di

SMP Ma'arif Gamping dilakukan pada siang hari maka perlakuan terhadap pengembangan

diri setara dengan perlakuan terhadap komponen mata pelajaran dan muatan lokal,Adapun

SK dan KD untuk pengembangan diri ada pada lampiran:

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh

pendidik Landasan Pengembangan diri adalah:

1. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas:

2. Pasal 1 butir 6 tentang pendidik, pasal 3 tentang tujuan pendidikan, pasal 4 ayat (4)

tentang penyelenggaraan pembelajaran, pasal 12 ayat (1b) tentang pelayanan

pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuan

3. PP Nomor 19 Tahun 2006 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 5-18 tentang

Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah


4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi

yang memuat pengembangan diri dalam struktur kurikulum, dibimbing oleh konselor,

dan pendidik / tenaga kependidikan yang disebut pembina.

5. Dasar standarisasi profesi konseling oleh Ditjen Dikti Tahun 2004 tentang arah

profesi konseling di sekolah dan luar sekolah.

Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

mengembangkan diri dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat,

minat, kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan memperhatikan kondisi

sekolah/madrasah. Pengembangan diri bertujuan menunjang pendidikan peserta didik

dalam mengembangkan:

1. Bakat

2. Minat

3. Kreatifitas

4. Kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan

5. Kemampuan dan kehidupan keagamaan

6. Kemampuan sosial

7. kemampuan belajar

8. wawasan dan perencanaan karir

9. kemampuan pemecahan masalah

10. kemandirian
E. Perbedaan Self Regulated Learning Antara Siswa MTs Nur Iman dengan Siswa

SMP Ma’arif

Self Regulated Learning merupakan kemampuan seseorang mengatur cara belajarnya

sendiri secara aktif baik dari motakognisi, motivasi dan perilakunya. Siswa tersebut mengatur,

merencanakan, mengevaluasi dan menginstruksi diri sendiri dalam aktifitas belajarnya

sehingga siswa tersebut mampu memahami bagaimana dia belajar dan strategi apa yang dia

gunakan dalam belajar. Self Regulated Learning sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya adalah individu perilaku dan lingkungan.

Setiap orang akan berusaha untuk meregulasi fungsi dirinya dengan berbagai cara

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Winne, 1997 dalam Boekaerts, 2000). Kognisi

dan metakognisi menawarkan informasi penting tentang self-regulated learning (Winne,

2010). Pembeda dari self-regulated learning setiap orang hanyalah efektivitas dari self

regulation itu sendiri. Pada waktu seseorang mampu mengembangkan kemampuan self-

regulation secara optimal, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara

optimal. Sebaliknya pada saat seseorang kurang mampu mengembangkan kemampuan

selfregulation dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkannya tidak dapat

dicapai secara optimal. Ketidak efektifan dalam kemampuan self-regulation ini bisa

disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu fase dalam proses self-regulation terutama

pada fase forethought dan performance control yang tidak efektif (Zimmerman, dalam

Boekaerts, 2000).

Siswa SMP merupakan remaja awal yang berada pada fase negatif. Secara garis besar

sifat-sifat negatif tersebut yaitu, negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi

mental, dan negatif dalam sikap soial, baik dalam bentuk menarik diri dalam lingkungan

maupun dalam bentuk agresif terhadap lingkungan (Yusuf, 2006).

Pada masa transisi dari fase anak-anak menuju remaja awal, memungkinan siswa

mengalami masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya masalah-masalah

dan kenakalan remaja. Kondisi ini membutuhkan perhatian lebih dari berbagai pihak yaitu

pihak keluarga, lingkungan sosial, dan juga pihak sekolah.


Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan

tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi

pendidikan islam, dakwah dan pengembangan kemasyarakatan dan pendidikan lainnya yang

sejenis. Para peserta didik pada pesantren disebut sebagai santri yang umumnya menetap di

Pesantren. Tempat dimana para santri menetap di lingkungan pesantren, disebut dengan istilah

Pondok (Dhofier, 2011).

Kedisiplinan dan suasana di Pondok Pesantren sangat berbeda dengan di rumah, seperti

halnya jauh dari orangtua, tidak menggunakan alat komunikasi seperti handphone, hidup

mandiri dengan berbagai peraturan yang harus dipatuhi. Selain itu santri baru yang tinggal di

Pesantren dituntut mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya yaitu di Pondok

Pesantren dan mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan di Pondok Pesantren.

Dalam realitasnya, santri memiliki sejumlah karakteristik psikologis yang sama

sebagaimana halnya non-santri, bahkan dalam beberapa hal lebih baik daripada non-santri.

Penelitian yang dilakukan Nashori (2005) menunjukkan bahwa kelapangdadaan mahasiswa-

santri dan mahasiswa-reguler secara statistik tidak berbeda. Kelapangdadaan sendiri dapat

diartikan seabagai kondisi psiko-spiritual yang ditandai oleh kemampuan menerima berbagai

kenyataan yang tidak menyenangkan dengan tenang dan terkendali. Artinya, santri dan non-

santri tidak berbeda dalam kemampuannya menerima kenyataan yang tidak menyenangkan.

Dalam beberapa hal santri menunjukkan karakteristik psikologis yang lebih menonjol

dibanding dengan non-santri. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dari penelitian Soleh (2001)

yang menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup mahasiswa santri lebih tinggi dibanding

mahasiswa reguler. Mahasiswa santri menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan optimis,

hidupnya terarah dan bertujuan, mampu beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap

menjaga identitas diri. Bila dihadapkan pada permasalahan, orang yang memiliki

kebermaknaan hidup -dalam hal ini siswa MTs—lebih tabah dan menyadari adanya hikmah di

balik penderitaan.

Berbagai penelitian psikologi menunjukkan bahwa santri memiliki karakteristik yang

positif, seperti sikap yang positif terhadap perilaku pro-lingkungan hidup (Fattah, 2005)
kepuasaan hidupnya sedang (Ahmad Muhammad Diponegoro, 2005) dan kontrol dirinya

sedang (Rahmat Aziz & Yuliati Hotifah, 2005). Berkaitan dengan sikap terhadap lingkungan

hidup, para santri memiliki nilai-nilai Islami yang pro- lingkungan hidup seperti tidak memetik

bunga atau buah yang belum saatnya dipetik. Budaya pesantren yang kolektivistik dan

menekankan pentingnya konformitas menjadikan santri bersikap positif terhadap lingkungan

hidup (Fattah Hanurawan, 2004)

Self Regulated Learning yang dimiliki oleh siswa dipengaruhi oleh situasi yang ada

pada lingkungan siswa dan juga tidak terlepas dari dukungan sosial yang diberikan kepada

mereka (Rachmah, 2015).

Penelitian Septiani (2013) menunjukan ada perpedaan motivasi antara siswa kelas

akselerasi dan siswa kelas reguler. Motivasi ini merupakan salah satu aspek dari regulasi diri

dalam belajar.

Faktor yang mempengaruhi Self Regulated Learning adalah faktor lingkungan. Faktor

lain yang juga dapat mempengaruhi adalah perilaku. Zimmerman (1989) mengungkapkan

fungsi dari perilaku adalah membantu individu untuk menggunakan kemampuan dan

upayanya dengan optimal dalam mengatur proses belajarnya. Santri yang berusaha merubah

dan menyesuaikan langkah belajar sesuai kebutuhan lingkungannya akan lebih mudah

mengatur dirinya, hal ini dapat terlihat pada santri yang mampu mengatur diri. Pada santri

yang kurang mampu mengatur diri berlaku hal sebaliknya.

Selain itu, mereka juga akan memasuki lingkungan baru (Kenny, 1987) bersama

teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (Santrock, 2003) dan mereka akan dituntut

lebih mandiri (Deasyanti & Anna, 2007) dan memikul tanggung jawab pribadi dalam

menyelesaikan tugas-tugasnya (Natakusuma, 2003).

Berdasarkan uraian diatas, nampak pada penulis bahwa self-regulated learning sangat

berkaitan dengan model sekolah ataupun aktivitas yang dilakukan oleh siswa termasuk

lingkungan sekolah yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi anak dalam

melakukan pengaturan diri. Namun bagi siswa yang tinggal di pondok pesantren seperti siswa

MTs Nur Iman Mlangi tidak selalu tinggal dengan orang tua dan hidup dengan lingkungan
baru (Kenny, 1987) bersama teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (Santrock,

2003),

Bagan 1. Perbedaan Self Regulated Learning siswa SMP dan MTs Nur Iman

SLR

Siswa MTs Nur Siswa SMP


Iman Ma’arif
Asrama Reguler

SLR tinggi SLR tinggi

F. Hipotesis

Pada penelitian ini penulis merumuskan hipotesis bahwa ada perbedaan antara Self

Regulated Learning siswa MTs Nur Iman Mlangi dan siswa SMP Ma’arif Gamping. Self

Regulated Learning siswa SMP yang tinggal di rumah lebih rendah daripada siswa MTs yang

tinggal di pondok pesantren.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitaian

Suryabrata (Idrus, 2002) mendefiniskan variabel sebagai segala sesuatu yang akan

menjadi objek pengamatan penelitian atau sering disebut pula gejala yang akan diteliti.

Variabel juga dapat dimaknai sebagai konsep yang memiliki variasi nilai. Secara sederhana

istilah variabel ini dimaknai sebagai sebuah konsep atau objek yang sedang diteliti, yang

memiliki variasi (varyable) ukuran, kualitas yang ditetapkan oleh peneliti berdasarkan pada

ciri-ciri yang dimiliki konsep (variabel) itu sendiri. (Idrus, 2002).

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yakni variabel bebas dan variabel tergantung.

1. Variabel bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang menjadi sebab hadirnya perilaku lain atau

timbulnya variabel lain. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah Jenis sekolah yaitu

sekolah SMP regular dan sekolah MTs asrama.

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat

adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel tergantungnya adalah Self Regulated

Learning.

B. Definisi Operasional

1. Self Regulated Learning

Self-regulated learning (SRL) merupakan proses dimana individu yang belajar

secara aktif sebagai pengatur proses belajarnya sendiri, mulai dari merencanakan,

memantau, mengontrol dan mengevaluasi dirinya secara sistematis untuk mencapai tujuan

dalam belajar, dengan menggunakan berbagai strategi baik kognitif, motivasional maupun
behavioral. Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yaitu dari Saraswati

(2018) mengenai pengukuran self- regulated learning dengan koefisien validitas 0,320-

0,634 dan koefisien reliabilitas 0,929, yang mengukur aspek; 1) Regulasi kognisi, yakni

dengan cara mengingat, terus mempelajari, mencatat atau membuat tabel belajar sendiri

kemudian membuat perencanaan dan monitoring supaya ada peningkatan dalam

melaksanakan tugasnya. 2) Regulasi motivasi, adalah cara siswa untuk mendapatkan atau

meningkatkan minatnya pada bidang akademis melalui usaha untuk mencapai tujuan

dengan cara meyakinkan diri sendiri, mempunyai performa khusus, meningkatkan

pengetahuan serta tetap fokus dan konsisten dalam meraih tujuan di bidang akademis. 3)

Regulasi perilaku, merupakan upaya meningkatkan strategi, menjadwalkan sesuai

kebutuhan dan mendapatkan bantuan dari orang dewasa, guru ataupun teman sebaya.

Self- regulated learning merupakan strategi pembelajaran yang tersusun dan

terstruktur melalui pikiran, perilaku sehingga siswa memiliki motivasi untuk lebih optimal

dalam melaksanakan proses belajar dan mencapai tujuan yang diinginkan dengan lebih

mudah.

2. Model Sekolah

Sekolah asrama adalah sekolah di mana beberapa atau semua orang belajar dan

tinggal selama tahun ajaran dengan sesame siswa mereka dan mungkin guru dan/atau

administrator. Dengan kata lain, sekolah asrama (boarding school) merupakan sebuah

sekolah dimana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan

guru dan mempunyai asrama untuk tempat menginap siswanya.

Widyastono (2004) menjelaskan bahwa kelas reguler diselengarakan berdasarkan

kurikulum nasional yang berlaku dan didalam kelas reguler semua peserta didik diberikan

perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan peserta didiik”.

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan

(steakholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan,

termasuk didalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Dalam
pengembangan kurikulum di tingkat SMP kompetensi dasar yang dimiliki meliputi sikap

spiritual, sikap sosial, dasar pengetahuan dan keterampilan (Peraturan Mentri Kebudayaan

No 58 tentang Kurikulum SMP tahun 2014).

Dalam perkembanganya sekolah menengah semakin kompleks dalam segi model

dan jenisnya, namun masih tetap mengikuti kurikulum berstandar nasional. Model sekolah

menengah tersebut seperti SMP maupun MTs yang berada di bawah naungan pondok

pesantren dan memiliki corak has pembelajaran yang berbasis pesantren. Termasuk

sekolah menengah tersebut seperti MTs Nur Iman Mlangi yang berada di bawah naungan

Yayasan Nur Iman Mlangi yang berada di lingkungan pondok pesantren dan siswa yang

belajar di sekolah tersebut tinggal dan menetap di pesantren. Selain skolah model tersebut

juga ada sekolah yang berada di bawah lembaga pendidikan Ma’arif NU seperti SMP

Ma’arif Gamping. Siswa yang belajar di SMP Ma’arif tidak tinggal dan menetap di

pesantren meskipun sebagian kecil ada yang tinggal di pesantren terdekat dari sekolah

tersebut.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Sugiyono (2013) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas

objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Penelitian ini

dilakukan terhadap siswa siswi siswa siswi SMP Ma’arif Gamping dan MTs Nur Iman

Mlangi yang berjumlah 104 siswa dengan rincian kelas VII A berjumlah 35 kelas VII B

berjumlah 11, kelas VIII berjumlah 35 dan kelas IX berjumlah 21. Siswa SMP Ma’arif

berjumlah 147 dengan rincian kelas VII berjumlah 61 (VII A : 31, VII B : 30), kelas VIII

berjumlah 53 (VIII A : 28, VII B: 25) dan kelas IX berjumlah 34 (IX: 20, IX B: 14).

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah karakterisik yang dimiliki oleh populasi

tersebut. Sampel yang diambil dari populasi harus benar benar representatif atau
mewakili. (Sugiyono, 2013). Ada beberapa teknik pengambilan sampel atau teknik

sampling. Di antaranya random sampling, stratified sampling, quota sampling, purposive

sampling, area sampling, cluster sampling, dan sampel incidental. Teknik sampling yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Sampel Random Berkelompok (Cluster Random

Sampling) Pengambilan sampel dilakukan terhadap sampling unit, dimana sampling

unitnya terdiri dari satu kelompok (cluster). Tiap item (individu) di dalam kelompok yang

terpilih akan diambil sebagai sampel. Cara ini dipakai apabila populasi dapat dibagi dalam

kelompok-kelompok dan setiap karakteristik yang dipelajari ada dalam setiap kelompok.

Dalam hal ini sampel adalah semua siswa SMP Ma’arif kelas 7 dan kelas 8 yang

berjumlah 67 dan siswa Kelas 7 dan 8 MTs Nur Iman Mlangi yang berjumlah 70.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode skala.

Penelitian ini menggunakan skala Skala Self Regulated Learning .

1. Skala Self Regulated Learning

Skala Skala Self Regulated Learning merupakan skala yang disusun untuk

mengukur tinggi rendahnya Self Regulated Learning. Alat ukur yang digunakan oleh

peneliti adalah alat ukur yang di buat oleh Saraswati (2018) yang dibuat berdasarkan teori

self regulated learning milik Boekarts (2003), yang dimensi skala ini diturunkan dari

definisi self regulated tersebut.

Alat ukur dalam penelitian ini memiliki validitas 0,320-0,634 dan reabilitas 0,929,

yang mengukur aspek; 1) Regulasi kognisi, yakni dengan cara mengingat, terus

mempelajari, mencatat atau membuat tabel belajar sendiri kemudian membuat

perencanaan dan monitoring supaya ada peningkatan dalam melaksanakan tugasnya. 2)

Regulasi motivasi, adalah cara siswa untuk mendapatkan atau meningkatkan minatnya

pada bidang akademis melalui usaha untuk mencapai tujuan dengan cara meyakinkan diri

sendiri, mempunyai performa khusus, meningkatkan pengetahuan serta tetap fokus dan
konsisten dalam meraih tujuan di bidang akademis. 3) Regulasi perilaku, merupakan

upaya meningkatkan strategi, menjadwalkan sesuai kebutuhan dan mendapatkan bantuan

dari orang dewasa, guru ataupun teman sebaya. 4) Self- regulated learning merupakan

strategi pembelajaran yang tersusun dan terstruktur melalui pikiran, perilaku sehingga

siswa memiliki motivasi untuk lebih optimal dalam melaksanakan proses belajar dan

mencapai tujuan yang di inginkan dengan lebih mudah.

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah metode

skala psikologi. Alasan penggunaan skala sebagai alat ukur adalah lebih efisiensi waktu,

biaya, serta tenaga.

Skala ini dibuat dengan seluruh item berbentuk favourable sehingga skor untuk

masing-masing jawaban benar pada pilihan jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai) adalah 1,

TS (Tidak Sesuai) adalah 2, S (Sesuai) adalah 3, SS (Sangat Sesuai) adalah 4.

Tabel 4. Blue Print Self Regulated Learning

Dimensi Indikator Nomor Pernyataan Jumlah


Analisa tugas 2, 3, 7, 8, 24 5
Self motivational belief 32, 35 2
Kognitif Harapan akan hasil 27, 34, 36 3
Ketertarikan internal 30 1
Orientasi tujuan 39 1
Imajinary 14, 15 2
Self control 37 1
Attention focusing 20, 22 2
Task strategy 1, 5, 6, 9 4
Performance
Self observation 16, 23, 31 3
Self recording 17, 21, 29
dan self 3
eksperimentati
on
Self judgement 12, 18, 19, 26, 28, 33, 7
Self Reflection 38
Self reaction 4, 10, 11, 13, 25 5
TOTAL ITEM SKALA SELF REGULATED LEARNING 24
Nilai total tertinggi dari skala self regulated ini adalah 156, sedangkan nilai

terrendah adalah 39. Untuk kategori kemampuan self regulasi learning, dapat dibagi

menjadi 3 kategori yakni Baik dengan rentang nilai 119-156, Kurang dengan rentang nilai

79-118, Buruk dengan rentang nilai 39-78. Sementara itu, kemampuan self regulasi

learning pada setiap dimensi yakni kognitif, performance dan self reflection juga dapat

dikategorikan menjadi baik, kurang dan buruk, dengan rentang nilai sebagai berikut:

Tabel 5. Kategorisasi Nilai Self Regulated Learning

Dimensi Self-
Kognitif Performance
Kategori reflection

Baik 39 – 48 47 – 60 39 - 48
25 – 38 31 - 46 25 - 38
Kurang 12 - 24 15 – 30 12 - 24
Buruk

E. Validitas dan Reliabilitas

Validitas adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi

ukurnya. Artinya, sejauh mana skala tersebut mampu mengukur atribut yang akan diukur.

Validitas yang digunakan peneliti adalah validitas permukaan (face validity) yang

dinyatakan berdasarkan format penampilan tes, apabila penampilan tes telah menyakinkan

dan memberikan kesan mampu mengungkap atribut yang hendak diukur, maka dapat

dikatakan bahwa validitas muka telah terpenuhi. Kedua, validitas yang bersifat logis

(logical validity). Dalam validitas ini, setiap aspek yang akan diungkapkan, ditetapkan

lebih dahulu definisinya sebagai pengukur apakah materi tiap item benar-benar tercakup di

dalamnya, maka jika item dipandang telah menampung materi didalam definisi tertentu,

berarti alat pengumpul data cukup valid (Hadari, 1985).

Validitas permukaan dan validitas logis dari skala ini diselidiki dengan bantuan

dosen pembimbing sebagai professional judgement dengan cara melihat penampilan tes
telah meyakinkan, memberikan kesan mampu mengungkap atribut yang hendak diukur dan

apakah item dipandang telah menampung materi dalam definisi tertentu.

Berdasarkan koefisien korelasi item-toato bergerak dari nilai 0-1,00 dengan tanda

positif dan negatif. Batasan kriteria seleksi item dengan menggunakan koefisien korelasi

item-total adalah rix ≥ 0,30. Oleh sebab itu, item yang memiliki koefisien korelasi item-

total lebih atau sama dengan 0,30 dianggap memiliki daya diskriminasi yang baik.

Sebaliknya item yang memiliki koefisien korelasi item-total kurang dari 0,30 dianggap daya

diskriminasinya rendah (Azwar, 2000).

Apabila item yang memiliki indeks diskriminasi ≥ 0,30 jumlahnya melebihi jumlah

item yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka kita dapat memilih item-item yang

memiliki indeks daya diskriminasi tertinggi. Sebaliknya apabila jumlah item yang lolos

ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang di inginkan, kita dapat mempertimbangkan

untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi 0,25 misalnya sehingga jumlah item

yang di inginkan dapat tercapai. Apabila hal ini tidak juga menolong, maka sangat mungkin

kita harus merevisi seluruh item-item baru sama sekali dan kemudian melakukan field

testing kembali karena menurunkan batas kriteria rix dibawah 0,20 sangat tidak di sarankan

(Azwar, 2000).

Skala Self Regulated Learning milik saraswati ini memiliki 39 item pernyataan,

dengan empat pilihan jawaban yakni STS (Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak Sesuai), S

(Sesuai), dan SS (Sangat Sesuai). Koefisien validitas skala ini bergerak dari 0.320 hingga

0.634, dengan reliabilitas sebesar 0.929. Alat ukur ini diujikan kepada 387 siswa SMA dari

2 SMA Negeri dan 4 SMA Swasta di kota Malang. Subjek berada di kelas 1, 2 dan 3 dengan

kelamin laki-laki dan perempuan, beragama islam, serta berasal dari suku jawa, madura,

banjar, sunda, betawi dan arab.


F. Metode Analisis Data

Hasil dari penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan

teknik statistik Uji beda Independent sampel t-test dengan bantuan

program SPSS 16 for windows.

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dihitung untuk mengetahui apakah data

penelitian berdistribusi secara normal atau tidak. Hasil yang

menunjukkan nilai p > 0,05 maka data dinyatakan berdistribusi

normal sedangkan hasil p < 0,05 data dinyatakan tidak berdistribusi

secara normal. Jika data sudah memenuhi uji normalitas maka

dapat dilakukan pengolahan data dengan teknik statistik uji

perbedaan dengan pendekatan parametik (Suseno, 2012).

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah sampel yang diambil secara acak

tersebut homogen atau tidak. Artinya bahwa sampel yang diambil memiliki

kemampuan yang sama. Penelitian ini menggunakan uji homogenitas varian dengan

menggunakan bantuan program SPSS 16.0.


66

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji -t sampel independen

(independent Sample - test). Dalam uji hipotesis ini, jika nilai p < 0,05

berarti hipotesis bahwa terdapat perbedaan diterima, tetapi ji ka ni lai p >

0,05 maka hipotesis terdapat perbedaan ditolak.


67

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah

Penelitian ini dilaksanakan di MTs Nur Iman Mlangi dan SMP Ma’arif

Gamping Sleman. MTs Nur Iman Mlangi merupakan MTs berbasis pondok

pesantren di bawah Yayasan Nur Iman Mlangi. MTs Nur Iman berada dalam

lingkungan sosial budaya yang sangat mendukung proses pendidikan karena

Mlangi merupakan daerah di mana tradisi pendidikan telah dibangun dan

dijalankan dalam hitungan abad. Lokasi MTs Nur Iman Mlangi beralamat di Jl.

Masjid Pathok Negoro No. 09, Mlangi, Nogotirto, Kelurahan Nogotirto,

Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman Provinsi D.I. Yogyakarta.

Lokasi MTs Nur Iman Mlangi terletak jauh dari jalan raya, pasar, arena

hiburan, atau keramaian umum lainnya, sehingga tidak mengalami polusi udara

atau kebisingan yang mengganggu proses pembelajaran. Di sekitar madrasah juga

tidak terdapat tempat pembuangan akhir sampah sehingga aman dari polusi udara

akibat sampah. Sarana air bersih dan sanitasi mencukupi warga madrasah karena

bersumber dari sumur. MTs Nur Iman Mlangi berada di lingkungan biotik

perairan (dekat dengan sungai yaitu sungai Bedog) persawahan, dan pepohonan

yang rindang (Yayasan Nur Iman Mlangi, 2015).

Pelopor berdirinya MTs Nur Iman Mlangi adalah dari Yayasan Nur Iman

Mlangi yang diketuai oleh Dr. KH Tamyis Mukharom, M.A yang menunjuk salah

satu santri bernama Ahmad Faozi sebagai penanggungjawab teknis pendirian dan

operasional. Yayasan Nur Iman merupakan pendiri delapan pondok pesantren di


68

Mlangi, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Jadi awal mula kehadiran MTs Nur Iman

Mlangi berasal dari pondok pesantren salaf di dusun Mlangi yang berada di bawah

Yayasan Nur Iman. Terdapat 8 pesantren yang ada di Mlangi yaitu Pondok

Pesantren Al-Miftah, Pondok Pesantren Al-Falahiyah, Pondok Pesantren Al-

Huda, Pondok Pesantren Al-Salimiyah, Pondok Pesantren An-Nasyath, Pondok

Pesantren Mlangi Timur, Pondok Pesantren Al-Mahbubiyah, dan Pondok

Pesantren Aswaja Nusantara.

Pengasuh dari masing-masing 8 pondok pesantren di Mlangi melakukan

musyawarah yang menghasilkan keputusan untuk mendirikan lembaga pendidikan

formal yaitu MTs Nur Iman. Nama Nur Iman diambil dari nama Kyai Nur Iman

atau RM Sandiyo (diperkirakan lahir pada sekitar abad ke-18 67 atau tahun 1700-

an) yang merupakan pendiri dusun Mlangi dan kyai pertama yang menyebarkan

agama Islam di dusun Mlangi. RM Sandiyo adalah putra pertama dari RM

Suryaputra yang bergelar Raja Amangkurat IV dengan RA. Retno Susilowati

(putri dari pahlawan nasional Untung Suropati yang saat itu bergelar Adipati

Wiranegoro). RM Sandiyo merupakan saudara tertua para tokoh Kerajaan

Mataram yaitu antar lain Pangeran Mangkunegara I, Raja Pakubuwana II, dan

Raja Hamengkubuwana I. Kyai Nur Iman/RM Sandiyo mengamalkan ilmu yang

diperoleh di pesantren, kemudian dia mendirikan pondok pesantren di Mlangi.

(Yusti, 2018).

SMP Ma’arif Gamping Sleman adalah sekolah yang berdiri di bawah LP

Ma’arif NU. SMP Ma’arif merupakan sekolah sebagaimana sekolah-sekolah

setingkat SMP-SMP yang laian yang berada dibawah naungan dinas pendidikan.
69

Termasuk kurikulum yang digunakan. Namun SMP Ma’arif mempunyai corak

husus yang berkaitan dengan organisasi Nahdlotul Ulama. Salah satunya adalah

pelajaran ke-NU-an yang menjadi mata pelajaran muatan lokal disana. Nuansa

dan kegiatan yang ada juga mencerminkan ke-NU-an seperti kegiatan rutin

membaca Asmaul husna sebelum KBM, ekstra hadroh, tahlil bersama, istighosah

dan lain sebagainya.

SMP Ma’arif berada di jalan pundung desa Nogotirto kecamatan Gamping

Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta berdekatan dengan Universitas

‘Aisyah Yogyakarta. SMP Ma’arif berdekatan dengan Pondok Pesantren

Assalimiyyah dan beberapa pondok yang lain yang jaraknya lebih jauh lagi seperti

Al Mahbubiyyah Assalimiyyah dan Pondok-pondok pesantren yang ada di

Mlangi.

Peneliti memilih sekolah ini sebagai tempat pelaksanaan penelitian karena

berdasarkan observasi dan wawancara diketahui bahwa Self Regulated Learning

siswa di sana memang rendah.

B. Persiapan Penelitian

1. Persiapan Administrasi

Persiapan pertama dalam penelitian ini adalah melalui proses

perijinan. Proses perijinan dimulai dengan meminta izin secara lisan kepada

kepala sekolah MTs Nur Iman Mlangi Bapak Aminullah, M.H dan SMP

Ma’arif Gamping Ibu Retno, S.Pd. kemudian disusul dengan surat ijin yang

ditulis secara pribadi yang menyatakan bahwa penulis meminta ijin keada

pihak sekolah untuk melakukan penelitian.


70

Setelah mendapat ijin peneliti melakukan wawancara guna

mendapatkan data preliminary yang tujuannya adalah untuk menggali

masalah yang ada di sekolah tersebut. Preliminary dilakukan dengan

melakukan wawancara kepada beberapa guru dan beberapa siswa.

2. Persiapan Alat Ukur


Persiapan alat ukur dalam penelitian ini adalah persiapan skala yang

akan digunakan untuk mengukur Self Regulated Learning . Alat ukur yang

digunakan oleh peneliti adalah skala self regulated learning yang dibuat oleh

Saraswati (2018) yang dibuat berdasarkan teori self regulated learning milik

Boekarts (2003), yang dimensi skala ini diturunkan dari definisi self

regulated self regulated learning. Alat ukur ini sudah teruji keabsahanya dan

sudah digunakan oleh beberapa penelitian yang berkaitan dengan self

regulated learning baik dengan subjek siswa setingkat SMP maupun

setingkat SMA.

a. Uji Reliabilitas

Uji realibilitas dalam skala ini telah dilakukan oleh Saraswati.

Reliabilitas suatu alat ukur dinyatakan dalam koefisian reliabilitas

dengan angka 0,00 sampai 1,00. Pengujian reliabilitas dalam penelitian

ini menggunakan teknik korelasi Alpha Cronbach. Semakin tinggi

koefisien mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi nilai

reliabilitasnya. Uji reliabilitas pada skala Self Regulated Learning hanya

dikenakan pada aitem-aitem yang telah memenuhi syarat sebagai aitem

yang baik dan dari hasil uji reliabilitas pada skala Self Regulated
71

Learning dengan 39 aitem menghasilkan Alpha sebesar 0,930. Dengan

demikian skala tersebut dapat dikatakan reliabel sehingga memenuhi

syarat untuk digunakan sebagai alat ukur untuk pengambilan data.

C. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai tanggal 7 Januari 2019 di MTs Nur Iman

Mlangi dengan jumlah dan mulai tanggal 9 Februari di SMP Ma’arif Gamping.

Setelah melakukan penelitian berupa observasi dan wawancara kemudian subjek

diminta untuk mengisi skala Self Regulated Learning. Setelah skala terkumpul

kembali maka kemudian dilakukan skoring dan kemudian dilakukan analisis pada

program SPSS.

D. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data

Pada skala Self Regulated Learning untuk mengetahui rentang skor pada

skala Self Regulated Learning yang diperoleh subjek maka dilakukan

kategorisasi ke dalam 5 kelompok yang berbeda yakni sangat tinggi, tinggi,

sedang, rendah dan sangat rendah.

Tabel 6. Diskripsi Data Statistik Self Regulated Learning

Variabel Jumlah Statistik Hipotetik Empirik


aitem
Self 39 Skor maksimum 156 137
Regulated Skor minimum 0 59
Learning Mean 78 99,24
SD 26 17,199
72

Pengkategorisasian dalam penelitian ini berdasarkan pada mean hipotetik.

Adapun rumus untuk mengetahui kriteria masing-masing kategori adalah

a. Kategori sangat rendah, jika X ≤ M - 1,8 SD

b. Kategori rendah, jika M – 1,8 SD < X ≤ M – 0,6 SD

c. Kategori sedang, jika M – 0,6 SD < X ≤ M + 0,6 SD

d. Kategori tinggi, jika M + 0,6 SD < X ≤ M +1,8 SD

e. Kategori sangat tinggi, jika M + 1,8 SD < X

Skala Self Regulated Learning terdiri dari 39 aitem dengan skor mulai

dari 0,1,2,3 dan 4. Perhitungan hipotetik untuk skor minimal adalah

mengalikan skor minimal dengan jumlah aitem sehingga diperoleh 0 X 39 =0.

Sedangkan untuk skor maksimum diperoleh dengan mengalikan skor

maksimal dengan jumlah aitem sehingga diperoleh 4 x 39 = 156. Rata rata

(mean) hipotetik adalah 78 yang diperoleh dengan menjumlahkan skor

minimal dan skor maksimal kemudian dibagi 2. Sedangka standar deviasinya

adalah sebesar 26 yang diperoleh dari hasil pengurangan skor maksimal dan

skor minimal kemudian dibagi 6.

Tabel 7. Kategorisasi Self Regulated Learning MTs Nur Iman Mlangi

Kategorisasi Perhitungan Jenjeng Juml Prosen-


Skor subj tase
ek
Sangat X ≤ M - 1,8 SD X ≤ 68 0 0%
Rendah
Rendah M–1,8 SD < X≤ M– 0,6 68 < X ≤ 88 0 0%
SD
Sedang M–0,6 SD < X ≤ M 88 < X ≤ 109 5 7,14 %
+0,6 SD
Tinggi M+0,6 SD < X ≤ 109 < X ≤130 48 68,57 %
73

M+1,8 SD
Sangat M + 1,8 SD < X 130 < X 17 24,29 %
Tinggi

Berdasarkan table di atas terlihat bahwa siswa yang memiliki Self

Regulated Learning yang sangat rendah adalah sebanyak 0 siswa atau jika

dihitung dalam prosentase adalah sebesar 0 %. Siswa yang masuk dalam

kategori rendah adalah sebanyak 0 siswa atau sebesar 0 %. Rata-rata subjek

berada dalam kateogri yang sedang dimana dalam kategori ini terdapat 35

siswa atau sebesar 50%. Sebanyak 18 siswa memiliki Self Regulated

Learning yang tinggi yakni dengan prosentase sebesar 25,714 %. Sedangkan

2 lainnya berada pada katogori sedang.

Tabel 8. Kategorisasi Self Regulated Learning SMP Ma’arif Gamping

Kategori Perhitungan Jenjeng Juml Prosen-


sasi Skor subj tase
ek
Sangat X ≤ M - 1,8 SD X ≤ 68 0 0%
Rendah
Rendah M–1,8 SD < X≤ M– 0,6 68 < X ≤ 88 0 0%
SD
Sedang M–0,6 SD < X ≤ M 88 < X ≤ 109 11 16, 42
+0,6 SD %
Tinggi M+0,6 SD < X ≤ 109 < X ≤130 39 58, 21 %
M+1,8 SD
Sangat M + 1,8 SD < X 130 < X 117 25, 37 %
Tinggi

Berdasarkan table di atas terlihat bahwa siswa yang memiliki Self

Regulated Learning yang sangat rendah adalah sebanyak 0 siswa atau jika

dihitung dalam prosentase adalah sebesar 0 %. Siswa yang masuk dalam


74

kategori rendah adalah sebanyak 0 siswa atau sebesar 0 %. Rata-rata subjek

berada dalam kateogri yang sedang dimana dalam kategori ini terdapat 11

siswa atau sebesar 16, 42 %. Sebanyak 39 siswa memiliki Self Regulated

Learning yang tinggi yakni dengan prosentase sebesar 58, 21 %. Sedangkan

17 siswa lainnya berada pada katogori sangat tinggi dengan jumlah 25, 37 %.

2. Uji normalitas

Uji normalitas dihitung untuk mengetahui apakah data penelitian

berdistribusi secara normal atau tidak. Hasil yang menunjukkan nilai p>0,05

menunjukan bahwa data dinyatakan normal sedangkan hassil p<0,05 data

dinyatakan tidak berdistribusi normal. Penghitungan berdasarkan teknik

Shapiro-Wilk Test untuk variabel Self Regulated Learning Siswa regular

menghasilkan skor Sig sebesar 0,886 dan p = 0,886 dan siswa asrama

menghasilkan skor Sig sebesar 0, 530 sehingga sebaran data pada variabel

Self Regulated Learning dikatakan normal karena p > 0,05.

Tabel 9. Hasil Uji Normalitas Skala Self Regulated Learning

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.

REGULE
.068 67 .200* .990 67 .886
R

ASRAM
.086 67 .200* .984 67 .530
A
75

Dari hasil diatas maka dapat dikatakan bahwa data berdistribusi secara normal.

3. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dihitung untuk mengetahui apakah data penelitian

homogeny atau tidak. Hasil yang menunjukan nilai p>0,05 menunjukan

bahwa data dinyatakan normal sedangkan hassil p<0,05 data dinyatakan

tidak homogen. Penghitungan berdasarkan teknik Kolmogorov Smirnov

menghasilkan skor Sig sebesar 0, 114 sehingga sebaran data pada variabel

Self Regulated Learning dikatakan homogen karena p > 0,05.

4. Uji Hipotesis

Setelah uji asumsi selesai dilakukan maka selanjutnya adalah

dilakukan uji hipotesis. Hasil uji asumsi menyatakan bahwa data yang ada

berdiribusi normal dan homogen maka data tersebut dinyatakan lolos uji

asumsi. Kemudian uji hipotesis di sini akan dilakukan dengan menggunakan

independent sample t-test. Kemudian dari hasil pengolahan tersebut

mendapatkan skor signifikansi (p) sebesar p = 0,423 (p>0.05), artinya

hipotesis ditolak.

E. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan Independent Sample t-Test,

diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar p = 0,002 (p<0.05), artinya Ho terima dan

H1 di tolak, sehingga hipotesis dalam penelitian ini di tolak sehingga dinyatakan


76

tidak ada perbedaan self-regulation learning yang signifikan antara siswa SMP

Ma’arif gamping dengan siswa MTs Nur Iman Mlangi.

Selanjutnya hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mean self-

regulation learning pada siswa SMP Ma’arif Gamping (regular) sebesar

121.0597 dan mean self-regulation learning pada siswa MTs Nur Iman Mlangi

(asrama) sebesar 122.7000, artinya siswa SMP Ma’arif Gamping (regular)

memiliki self-regulation learning yang lebih rendah dari siswa MTs Nur Iman

Mlangi yang tinggal di asrama.

Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa self-

regulation learning pada anak meningkat karena adanya keterlibatan orang tua

(Martinez-Pons, 2009) dan orang tua yang membantu anak menjadi pelajar

dengan pengaturan diri (Boekarts, Schunk, dan Zimmerman dalam Santrock,

2009). Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan pada pelajar yang berusia remaja yang tidak tinggal dengan orang tua,

yaitu tinggal di pesantren. Pelajar memiliki tingkat pengaturan diri yang rendah

akibat intensitas pertemuan dengan orang tua yang tidak insentif, sehingga

intensitas komunikasi orang tua-anak menjadi kurang (Asizah dan Hendrati,

2013). Selain itu, hasil penelitian lain yang tidak sesuai dengan hasil penelitian ini

adalah penelitian yang dilakukan oleh Adicondro dan Purnamasari (2011) yang

menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial orang tua yang diberikan

kepada anak, semakin tinggi juga pengaturan diri anak sebagai pelajar, hal ini

dilihat dari banyaknya kontak sosial orang tua dengan anak, sehingga hasil

penelitian ini tidak mendukung beberapa penelitian dan teori sebelumnya bahwa
77

lingkungan rumah bersama orang tua sangat mendukung anak dalam

melaksanakan pengaturan diri.

Peneliti mencoba menjelaskan dengan teori-teori lain adanya penyebab

lain mengapa siswa yang tidak tinggal dengan orang tua (asrama) memiliki

kemampuan self-regulation learning lebih tinggi daripada siswa yang tinggal

dengan orang tua.

Handy (2006) mengatakan perkembangan self-regulation dalam belajar

sebenarnya sudah mulai berlangsung pada saat anak mulai memasuki lingkungan

sekolah, namun diperlukan perhatian dari orang tua masing-masing untuk mulai

menerapkan disiplin sejak dini untuk mendukung perkembangan pengaturan diri

anak. Jadi, sejak awal orang tua sudah mempunyai peran untuk mengembangkan

self-regulation anak sejak dini, sehingga kemampuan ini tetap dimiliki anak,

meskipun anak sudah tidak bersama orang tuanya lagi. Jadi, ada juga faktor pola

asuh orang tua yang menyebabkan anak tetap bisa mengatur perilakunya

meskipun berada jauh dari orang tuanya.

Salah satu aspek dari self-regulation learning adalah motivasi. Anak

membutuhkan motivasi untuk mencapai prestasi dalam lingkungan

pendidikannya. Eka (2013) mengatakan dengan adanya motivasi berprestasi, anak

akan terdorong untuk dapat mengatur perilaku. Faktor yang mempengaruhi

motivasi berprestasi dibagi menjadi dua macam yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal meliputi harapan yang diinginkan, cita-cita yang

mendasari, harga diri, sikap terhadap kehidupan dan lingkungan. Faktor eksternal

itu sendiri meliputi, dukungan dan harapan orang tua. Jadi, selain dukungan dan
78

harapan orang tua, siswa juga mempunyai harapan, serta cita-cita yang

mendasarinya untuk mengatur perilaku belajarnya, seperti ingin berprestasi dalam

lingkungan pendidikannya. Selain itu adanya faktor harga diri, siswa yang rela

berpisah dengan orang tuanya untuk belajar di pesantren, tidak ingin kembali

dengan sebuah kegagalan, mereka akan merasa malu apabila mereka tidak

berhasil dalam mencapai tujuannya, sehingga mereka sangat mementingkan harga

diri mereka. Cara siswa menyikapi kehidupan dan lingkungannya juga penting.

Siswa yang menyikapinya dengan positif akan memperoleh hasil belajar yang

positif, dan juga sebaliknya, karena saat berpisah dengan orang tua, siswa akan

memasuki dunia baru.

Masa transisi dari dunia sekolah dasar dan tinggal dengan orang tua

menuju sekolah menengah pertama dan dunia pesantren menuntutnya untuk

melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang baru, seperti teman yang lebih

beragam latar belakang geografis dan etnisnya, struktur sekolah yang lebih besar,

kegiatan belajar-mengajar yang berbeda, serta bertambahnya tekanan mencapai

prestasi, dan nilai-nilai ujian yang baik (Santrock, 2003). Apabila siswa

menyikapi kesulitan-kesulitan baru yang belum ia alami dengan positif, maka ia

akan berhasil, seperti melakukan strategi-strategi belajar, berusaha menemukan

kondisi lingkungan yang bisa membuatnya tenang dalam belajar, bersosialisasi

dengan mereka yang bisa mendukung dan membantunya belajar.

Meskipun ada perbedaan self-regulated learning antara siswa SMP

Ma’arif Gamping yang tinggal dengan orang tua dan MTs Nur Iman Mlangi yang

tinggal di asrama, namun kedua kelompok sama-sama memiliki tingkat self-


79

regulated learning yang tergolong pada kategori tinggi. Berdasarkan pengamatan

peneliti, tingkat self-regulation learning MTs Nur Iman Mlangi yang tinggi

disebabkan oleh beberapa kegiatan dan program yang ada di pesantren yang

mempersiapkan siswa-siswi yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual

yang tinggi, tetapi juga mampu mandiri dan memikul tanggung jawab pribadi

dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai santria (Wawancara dengan

Cahyono). Kegiatan dan program pesantren antara lain Orientasi siswa Baru dan

pengenalan kepesantrenan, Program diniyah dan tafaquh Fiddin mempelajari

kitab-kitap kuning fiqih, hadits dan nahwu shorof, muhadhoroh, shorogan, ,

Makesta, dan ekstrakulikuler. Selain itu, masih ada kegiatan pengembangan dan

penalaran lain yang bertujuan memberikan kompetensi keilmuan pada santri

untuk mendukungnya dalam proses belajar, seperti nusyawaroh atau bahsul masail

dan diskusi. Berdasarkan pengamatan peneliti, kegiatan dan program yang ada di

MTs Nur Iman yang dibawah Yayasan nur Iman Mlangi telah mendukung siswa

menjadi pelajar dengan pengaturan diri yang baik.


80

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan Self Regulation

Learning antara siswa SMP Ma’arif Gamping ( regular) dan siswa MTS Nur Iman

Mlangi diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

Tidak Ada perbedaan Self Regulation Learning antara siswa SMP Ma’arif

Gamping dengan siswa MTs Nutr Iman Mlangi.

B. Saran

Bagi peneliti selanjutnya hendaknya mengkaji lebih dalam lagi mengenai

variabel lain yang dapat mempengaruhi Self Regulated Learning. Begitu juga

ketika melakukan penelitian dengan menggunakan tes intelegensi agar

mempersiapkan segala sesuatu dengan baik agar hasil yang didapatkan lebih

optimal.
81

DAFTAR PUSTAKA

Adicondro, N., & Purnamasari, A. (2011). Efikasi diri, Dukungan keluarga dan
Self Regulated Learning pada siswa Kelas III. Jurnal Humanita. Vol.VIII,
No. 1, 17-27.
Adicondro, Nobelina., dan Purnamasari, Alfi. (2011). Efikasi Diri, Dukungan
Sosial Keluarga dan Self Regulated Learning pada Siswa Kelas VIII.
Humanitas. Vol. VIII. No. 1: 17-27. Yogyakarta. Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan.
Ahmad Muhammad Diponegoro. (2005). Afek dan Kepuasan Hidup Santri,.
Jurnal Psikologi Islami 1 (2). hal. 107-118.
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. edisi revisi. Malang : UMM Press.
Ancok, Djamaludin dan Suroso, Fuat Nashori. (2005). Psikologi Islam : Solusi
Islam Atas problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arifin, M. (1993). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arjanggi, R dan Suprihatin, T. (2010). Metode Pembelajaran Tutor Sebaya
Meningkatkan Hasil Belajar Berdasar Regulasi Diri. Makara Sosial
Humaniora.
Asizah., & H, Fabiola. (2013). Intensitas Komunikasi Antara Anak Dengan Orang
Tua Dan Self Regulation Pada Remaja Pesantren. Jurnal Psikologi
Indonesia, 2, (2), 90-98.
Azwar, S. (1999). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Azwar, S. (2015). Penyusunan Skala Psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Azwar, S. (2015). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan penelitian dan perkemangan Pusat Kurikulum. (2010). Bahan Pelatihan
Penguatan Metodelogi Pembelajaran berdasarkan Nilai-nilai Budaya
untuk membentuk daya Saing dan Karakter Bangsa: Pengembangan
Pendidikan Kewirausahaan. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.
Bandura, A., (1989). Human Agency In Social Cognitif Theory. American
Psuchologist 44 (9): 1175.
Bandura.(2001) Social Cognitive Theory : An Agentic Perspective. Annual
Revieww Of Psychology 52 (1):1-26.
82

Deasyanti., & Armeinni, A. (2007). Self Regulation Learning Pada Mahasiswa


Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Jakarta. Jurnal Perspektif Ilmu
Pendidikan, 16.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas.
Dhofier, Zamakhsyari, (2011). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai. Jakarta: LP3ES.
Fattah Hanurawan. (2005). Sikap Santri Pondok Pesantren Laki-laki dan
Perempuan terhadap Perilaku Pro-Lingkungan Hidup. Jurnal Psikologi
Islami, 1 (2) 127.
Federation Internationale De L’automobille. (2012). Appendix O To The
International Sporting Code. Paris: FIA. 14.
Ferla, J. (2008). The Effect of Student Cognitions about Learning on Self-
Regulated Learning: A Study with Freshmen in Higher Education.
Proefschrift ingediend tot het behalen van de academische graad van
Doctor in de Pedagogische Wetenschappen. University Gent. Tesis.
Filho, J.M.B., Vasconcelos, T.H.C., Alencor, A.A., Batista, L.M., Oliveria,
R.A.G., Gudes, D.N., et.,al, (2005). Plants and their Constituens from
South, Central, and North America with Hypoglycemic Activity. Brazilia
journal of Pharmacognosy, 15(4) : 392-413.
Filho, M.K.C. (2001). A review on theories of self-regulation of learning. Bull.
Grad. Shool Educ. Hiroshima Univ, 50 (3), hlm. 437-445.
Fuad Nashori. (2005). Kelapangdadaan Mahasiswa-Santri dan Mahasiswa-
Reguler. Jurnal Psikologi Islami. 1 (2), hal. 137
Ghufron, M. N. & Risnawita, R. (2014). Teori-teori psikologi. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Ghufron, N & Risnawita R. (2011). Teori-teori Psikologi. Jogjakarta: Arruz media
Gunarsa, S. B. (1991). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta:
Gunung Mulia.
Hanurawan, Fattah. (2005). Sikap Santri Pondok Pesantren Laki-laki dan
Perempuan terhadap Perilaku Pro-Lingkungan Hidup . Jurnal Psikologi
Islami. Yogyakarta: PP Asosiasi Psikologi Islami.
Herawati, I., & Wahyuni. (2017). Pemeriksaan Fisioterapi. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Herawati, I., & Wahyuni. (2017). Pemeriksaan Fisioterapi. Surakarta.
Muhammadiyah University Press.
83

Hosnan. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran


Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hurlock. (1980). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan (Dra. Istiwidayanti dan Drs. Soedjarwo, M.Sc. Terjemahan).
New York Mc Graw Hill.
Idrus, M. (2002). Kecerdasan Spiritual Mahasiswa Yogyakarta, Psikologi
Phronesis. Jurnal Ilmiah dan Terapan, Vol. 4, No. 8, h. 72-91 Desember
2002.
Kenny, M. E. (1987). The Extent And Function Of Parental Attachment Among
First-Year College Students. Journal Of Youth And Adolescence, 16, 17-
29.
Khayati MN, Haryanti S, Laksnawati. (2015). The impact of training on the
management of children with cough of the health workers’ knowledge,
attitude and skills in the management of children with cough and
breathing difficulties. International Journal of Research in Medical
Sciences.Khayati FN et al. Int J Res Med Sci. 2015 Dec;3(Suppl 1):S47-
S52
Lisnawati (2013) Studi Perbedaan Tingkat Self Regulated Learning Ditinjau Dari
Spiritual Well Being Pada Siswa Di Sekolah Berbasis Pesantren Dan Non
Pesantren. Jurnal Psikologi Integratif, Prodi Psikologi Vol. 1, No. 1,
Desember 2013, Halaman 124 - 134
M. Hosnan. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran
Abad 21 Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Gahlia
Indonesia .
Mohammad Soleh. (2001). Kebermaknaan Hidup Mahasiswa Reguler dan
Mahasiswa Unggulan (Santri) Universitas Islam Indonesia. Jurnal
Psikologika 6.
Mulbar, Usman. (2008). Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika Realistik di
Sekolah Menengah Pertama (Perangkat PMR yang Secara Eksplisit
Melibatkan Metakognisi Siswa). Makassar: Universitas Negeri Makassar.
Nashori, H. Fuad. (2005). Agenda Psikologi Islami. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Ningtias, M.K & Sholeh, M (2013) Perbedaan Motivasi Belajar dan Prestasi
Belajar pada Siswa yang menggunakan Sistem Boarding School dan Siswa
yang tidak Menggunakan Sistem Boarding School di SMA Muhammadiyah
1 Gersik. E Jurnal Unesa. Surabaya: Universitas negeri Surabaya, 1; 2-17.
Di akses pada tanggal 02 Februari 2019 dari
http.//ejurnal.unesa.ac.id/index.phpinpirasimanajemenpendidikan/article/vi
ew/6221/baca-artikel
84

Octyavera, R. M. (2010). Hubungan Kualitas kehidupan Sekolah dengan


Penyesuaian Sosial pada Siwa SMA International Islamic Boarding
School Republic of Indonesia. Jurnal Psikologi. Semarang: Universitas
Diponegoro. Diakses 02 Februari 2019 dari
http://eprints.undip.ac.id/8543/1/HUBUNGAN
KUALITAS_KEHIDUPAN_SEKOLAH.pdf
Ormrod, J.E. (2009). Psikologi Pendidikan : Membantu Siswa Tumbuh Dan
Berkembang . Jakarta : Erlangga.
Ormrod, JE. (2009). Psikologi Pendidikan: membantu siswa Tumbuh dan
Berkembang. Jakarta: Erlangga.
Ormrod, Jeanne Ellis. (2008). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh
Dan Berkembang . Edisi Keenam. Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Pintrich, P. R., & De Groot, E. V. (1990). Motivational And Self-regulated
learning Components Of Classroom Academic Performance. Journal of
Educational Psychology, 82, (1), 33-40.
Pons., & Martinez (2009). Test Of A Model Of Parental Inducement Of Academic
Self Regulation. The Journal Of Experimental Education, 64, (3), 213‐227.
Rahmat Aziz & Yuliati Hotifah, (2005) Dzikir dan Kontrol Diri Santri Manula”.
Jurnal Psikologi Islami 1 (2), hal. 153-162.
Rasyid, M. (2012). Hubungan antara Peer Attachment dengan regulasi Emosi
Remaja yang Menjadi Siswa di Boarding School SMA Negeri 10
Samarinda. Jurnal Psikologi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga, 1 (3). Diakses pada tanggal 02 Februari 2019 dari
http:journal.unair.ac.id/filterPDF/110911006_ringkasan.pdf
Santrock, J. W. (2003). Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Psikologi Pendidikan Ed.2. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Santrock, John W. (2009). Perkembangan Anak. Edisi 11. Jakarta. Erlangga.
Santrok, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Perdana Media Group.
Sarwono. S.W. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Savira Fitria, & Suharsono Yudi. (2013). Self-regulated learning (SLR) dengan
Prokrastinasi Akademik pada Siswa Akselerasi. Vol. 01, No.01.
Schunk, D.H. (2009). Metacognition, Self-regulation, and Self-regulated
learning: research recommendation. Educ Psychol Rev. 20: 463-467.
85

Shidiq, A. D. N., Mujidin. (2006). Perbedaan Self Regulated Learning Antara


Siswa Underachievers Dan Siswa Overachievers Pada Kelas 3 SMP
Negeri 6 Yogyakarta. Jurnal Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
Sri Supriyantini. (2010). Perbedaan Kecemasan dalam Menghadapi Ujian antara
Siswa Program Reguler dengan Siswa Program Akselerasi. Makalah
(tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sumarmo, Utari. 2010. Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Artikel pada FPMIPA
UPI Bandung.
Suseno, M.N. (2012). Modul Praktikum Statiska Revisi I. Laboratorium Psikologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Vrieling, Emmy. (2012). Consequences of increased self-regulated learning
opportunities on student teachers’ motivation and use of metacognitive
skills. Australian Journal of Teacher Education. 37 (6), 102-117.
Widiastono, H. (2004). Sistem Percepatan Kelas (Akselerasi) Bagi Siswa yang
Memiliki Kemampuan dan Kecerdasan Luar Biasa. Diakses dari.
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26.sistem_percepatan_herry.html. Pada
Tanggal 06 Juli 2014 jam 01.00 Wib.
Yusuf, Syamsu. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Zemmermen, B.J. (1990). Self Regulated Learning And Academic Acievement An
Overvie. Journal Of Education Psychology.
Zimmerman, B.J. (1989). A social co gnitive view of self-regulated
academic learning. Journal of Educational Psychology, 81,329-339.
Zimmerman, B. J & Schunk, D. H. (2001). Self Regulation Learning and
Academis Achievment. Theory, research. No .1-25 New York : Spinger-
Verlag.
Zimmerman, B. J. (2001). Theories of self-regulated learning and academic
achievement: an overview and analysis. In B. J. Zimmerman, & D. H.
Schunk (Eds.), Self-regulated learning and academic achievement:
theoretical perspectives (2nd ed.) (pp. 1–38). Mahwah, NJ: Erlbaum.
86

Zimmerman, B. J. (2002). Be coming a Self -Regulated Learner : An Overview


Theory into Practice . Journal of Educational Psychology. 41 (2), hlm
64 – 70.
Zimmerman, B. J., & Martinez-Pons, M. (1988). Construct validation of a
strategy model of student self-regulated learning. Journal of Educational
Psychology, 80, 284-290.
Zimmerman, B. J., & Schunk, D. H. (Eds.). (2001). Self-regulated learning and
academic achievement: theoretical perspectives (2nd ed.). Mahwah, NJ:
Erlbaum.
Zimmerman, B.J. (1989). A Social cognitive view of self-regulated academic
learning. Journal of Education Psychology, 81, 329-339.
Zimmerman, B.J. (2002) Becoming a Self Regulated Learner: An Overvie. heory
into Practice, 41,64-70.
Zimmerman, B.J. (2008). Interesting Self Regulation And Motivation: Historical
Background, Methodological Developments, And Future Prospects.
American Educational Research Journal, 45 (1), 166-1.
Zimmerman, B.J., & Pons, M.M., (1990). Student Differences in Self-Regulated
Learning: Relating Grade, Sex, andGiftedness to Self-Efficacy and
Strategy Use. Journal of Educational Psychology, 82(1), 51-59.
Zimmerman, B.J., & Schunk, D. H. (2004). Self-Regulating Intelctual Proceses
and outcomes: A social Cognitif Prespective. Uper Saddle River, NJ.
Erlbaum.
Boekaerts, Monique; Pintrich, Paul R & Zeidner, Moshe. (2000). Handbook of
Self regulation. New York: Academic Press.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Borarding_school diakseses tanggal 3 Maret 2019).
(Peraturan Mentri Kebudayaan No 58 tentang Kurikulum SMP tahun 2014).

Anda mungkin juga menyukai