SKRIPSI
Oleh :
Ahmad Faozi
NIM. 12710096
Dosen pembimbing
Zidni Imawan Muslimin, S.Psi., M.A., Psikolog
2019
NIM : 12710096
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya susun dengan judul “Perbedaan Self Regulated Learning
Antara Siswa MTs Nur Iman Mlangi dengan Siswa SMP Ma’arif Gamping” merupakan hasil karya peneliti sendiri dan
bukan plagiasi dari orang lain.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya plagiasi maka saya siap menerima sanksi yang berlaku di Prodi Psikologi
Fakultas Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga.
Demikian surat ini saya buat agar dapat diketahui oleh dewan penguji.
Yang menyatakan,
Ahmad Faozi
NIM. 12710096
Kepada :
Yth. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan HUmaniora
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
NOTA DINAS PEMBIMBING
Hal : Skripsi
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah memeriksa, mengarahkan dan mengadakan perbaikan seperlunya maka selaku pembimbing, saya menyatakan
bahwa skripsi mahasiswa
Nama : Ahmad Faozi
NIM : 12710096
Programs Studi : Psikologi
Judul : Perdeaan Self Regulated Learning antara Siswa Mts Nur Iman Mlangi dengan Siswa SMP
Ma’arif Gamping..
Telah dapat diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga untuk memenuhi sebagai
syarat memperoleh gelar sarjana strata 1 (satu) Psikologi,
Harapan saya semoga mahasiswa tersebut segera diundang hadir guna mempertanggungjawabkan skripsinya dalam
sidang munaqosyah. Demikian atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Yogyakarta,
NIP. 197508102011012001
MOTTO
Apabila seoeang pemuda tidak mempunyai tekat yang kuat, maka ia tidak akan memperoleh
apa yang ia inginkan.
Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran yang kau jalani
yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa pedihnya rasa sakit
v
Karya ini saya persembahkan untuk kedua orang tua tercinta,
vi
KATA PENGANTAR
rahmat dan nikmat serta ma’unah-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan
Skripsi ini dapat selesai dengan baik tentunya tidak terlepas dari adanya
bantuan, bimbingan, dukungan dan partisipasi dari banyak pihak. Oleh karena itu
1. Dr. Mochammad Sodik, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
dalam menyusun skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan sekali lagi
3. Ibu Miftahun Ni’mah Suseno, MA., Psikolog. selaku Dosen Penguji I dan
Ibu Sara Palila, S.Psi., M.Psi. selaku dosen penguji II yang memberikan
5. Pendidik dan Tenaga Kependidikan MTs Nur Iman Mlangi dan SMP
banyak berjuang demi untuk kesuksesan penulis. Terima kasih atas segala
do’a, kepercayaan, motivasi dan kasih sayang yang telah diberikan. Tak
lupa kepada kakak saya Robitotul Khoiriyyah yang terus memotivasi dan
8. Keluarga besar Mbah H Kholifah, Keluarga besar Mbah San Rohani yang
telah memberikan dukungan dan motivasi yang tiada henti. Tak lupa pula
10. Pak Najib, Pak Fauzan, Pak Toni dan semua rekan-rekan santri pondok
11. Staff Bagian Tata Usaha UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah
12. Rekan-rekan MTs Nur Iman Mlangi serta siswa-siswi MTs Nur Iman
skripsi sini. Semoga skripsi dapat dapet bermanfaat bagi pembaca maupun
Ahmad Faozi
NIM 12710096
DAFTAR ISI
D. Hipotesis........................................................................................... 58
B. Definisi Operasional......................................................................... 60
1. Persiapan Administrasi............................................................... 71
4. Uji Hipotesis............................................................................... 78
E. Pembahasan ...................................................................................... 78
A. Kesimpulan ...................................................................................... 83
B. Saran ................................................................................................. 83
LAMPIRAN....................................................................................................
DAFTAR TABEL
NIM : 12710096
ABSTRAK
Self Regulated Learning (SRL) pada siswa dapat digambarkan melalui tingkatan atau
derajat yang meliputi keaktifan berpartisipasi baik itu secara kognitif, motivasional, maupun
perilaku dalam proses belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan SRL pada
siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas regular. Hipotesis penelitian ini adalah tidak
adanya Perbedaan Self-Regulated Learning Siswa MTs Nur Iman Mlangi (Asrama) dan Siswa
SMP Ma’arif Gamping (Reguler). Sampel (N=67) untuk siswa SMP Ma’arif Gamping dan
Sampel (N=70) diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data
menggunakan satu skala yaitu Skala SRL yang berdasarkan teori . Alat ukur yang digunakan
oleh peneliti adalah skala Self regulated learning (Saraswati, 2018) yang dibuat berdasarkan
teori self regulated learning milik Boekarts (2003), yang dimensi skala ini diturunkan dari
definisi self regulated self regulated learning. Skala ini terdiri dari 39 item valid. Analisis
dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nilai thitung
sebesar -0.803 dan p=0 .423 ( p > 0.05). dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan Self-Regulated Learning Siswa MTs Nur Iman Mlangi (Asrama) dan Siswa SMP
Ahmad Faozi
12710096
ABSTRACT
Self Regulated Learning (SRL) on students can be described through levels or degrees
which include the liveliness of the participating in the cognitive, motivational, and behavior in
the learning process. This research aims to know the difference in students who follow SRL
class acceleration and regular classes. The hypothesis of this research is the existence of
differences in students who follow SRL class acceleration and regular classes in junior high
Country 2 Semarang, where students have accelerated classes SRL is higher than regular class
students. Sample (N=67) for studet SMP Ma’arif Gamping dan Sampel (N=70)for MTs Nur
Iman Student taken using a purposive sampling technique. The measuring instrument used by
the researcher is the Self regulated learning scale (Saraswati, 2018) which is made based on
Boekarts (2003) self regulated learning theory, whose dimensions are derived from the
definition of self regulated self regulated learning. This scale consists of 39 valid items. The
analysis in this study used the t-test. Based on the results of data analysis, the tcount obtained
is -0.803 and p = .423 (p> 0.05). from these results it can be concluded that there is no
difference in Self-Regulated Learning MTs Nur Iman Mlangi (Boarding School) Students and
Middle School Ma’arif Gamping (Regular) Students.
PENDAHULUAN
Masa SMP merupakan masa yang kritis bagi pendidikan siswa. Berdasarkan tahap
perkembangannya, siswa SMP seharusnya sudah memiliki tanggung jawab dalam belajar,
siswa bisa mengatur diri dengan cara belajarnya dikarenakan pada usia SMP siswa dituntut
agar melakukan cara belajar yang berbeda, lebih baik dan lebih mandiri dibandingkan
tingkatan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang terdapat dalam UU No
20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
Siswa sekolah menengah pertama berada pada tahap remaja awal dengan rentang usia
antara 12-15 tahun. Pada usia ini, siswa berada dalam masa pubertas, dimana terjadi transisi
dan perkembangan pada dirinya baik secara fiik, psikis, maupun secara sosial (Sarwono,
2011). Siswa mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha tidak tergantung
pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk kondisi fiik serta
berupaya mengembangkan diri melalui pergaulan dengan membentuk teman sebayanya (peer
group).
Perubahan dan perkembangan tersebut menjadikan siswa SMP berada pada masa yang
banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khas yang dimilikinya. Perkembangan emosi siswa
pada usia remaja awal menunjukkan sifat yang sensitif dan rekreatif (kritis), emosinya sering
bersifat negatif dan temperamental. Melalui interaksi sosial timbal balik dengan lingkungan
yang kurang baik, mereka akan mudah tergoda untuk melakukan berbagai kenakalan.
kepribadian siswa. Melalui Kompetensi Inti yang harus dicapai siswa sesuai dengan
Kurikulum 2013, yakni mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah
abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan
mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan, dalam pembelajaran matematika akan
menghasilkan pribadi yang madani (Herawaty, 2017). Oleh karena itu, siswa hendaknya
memiliki kesiapan dan sadar belajar. Kesadaran yang dimaksud adalah siswa sadar bahwa
mereka dalam posisi sebagai pelajar, yang tahu bahwa mereka sedang belajar, dan yang paling
penting adalah siswa tahu pentingnya belajar dan apa yang harus dilakukan dalam belajar.
Kesadaran akan pentingnya belajar akan menumbuhkan semangat belajar sehingga siswa akan
menemukan strategi dan gaya belajarnya sendiri, fokus saat belajar, mampu mengontrol situasi
belajarnya sendiri dan mampu menetapkan skala prioritas dalam aktivitas belajarnya. Apabila
siswa telah menyadari hal tersebut, maka siswa tersebut telah memiliki kemampuan
Kemampuan metakognitif adalah kesadaran seorang tentang apa yang diketahui dan
apa yang akan dilakukan (Mulbar, 2008). Di dalam metakognitif terdapat self regulasi yaitu
pemantauan terhadap kemampuan diri sendiri, pemantauan terhadap hasil belajar sendiri, serta
memuat 5M. Proses pembelajaran dalam implementasi kurikulum 2013 mengharuskan para
guru untuk mengubah mainset yang semula teacher center menjadi student center. Hosnan
(2014) mengemukakan dalam kurikulum 2013, selain menumbuh dan mengembangkan sikap,
terealisasikan dalam proses pembelajaran, antara lain kreativitas, kemandirian, kerja sama,
solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi, dan kecakapan hidup peserta didik guna
membentuk watak serta meningkatkan peradaban dan martabat bangsa. Sejalan dengan itu,
Sumarmo (2010) menyatakan istilah kemandirian belajar sering berhubungan dengan beberapa
istilah diantaranya Self Regulated Learning, self regulated thinking, self direct learning, Self
efficacy dan self esteem. Kelima istilah tersebut tidak sama tepat namun mempunyai beberapa
karakteristik.
Self regulated learning penting bagi individu terutama pelajar maupun mahasiswa
sebab self regulated yang buruk akan berdampak pada prokrastinasi, pengabaian pada tugas
(Boekaerts, 2000). Dengan demikian, maka akan berdampak buruk pada kondisi psikologis
individu seperti keyakinan diri yang kurang, kepercayaan diri yang kurang, tertekan dan
mudah stres.
sebagai Self Regulated Learning (SRL). Siswa dengan SRL dalam proses pembelajarannya
dapat memberikan dampak yang kuat terhadap kesadaran dalam proses pembelajaran:
pengetahuan, kepercayaan, dan pendapat tetang pembelajaran dan beberapa hal yang
berdampak pada proses pembelajaran (Ferla, 2008). Sedangkan Vrieling (2012) dalam
(2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa SRL sangat bermanfaat dalam pencerminan
murid dan metakognitif dalam 3 hal yaitu selama awal pembelajaran, pemecahan kesulitan,
dan selama pembelajaran yang menggunakan strategi lain. Sekolah model asrama dijelaskan
dalam Wikipedia bahwa A boarding school is a school where some or all people study and
live during the school year with their fellow students and possibly teachers and/or
2019).
Sekolah asrama adalah sekolah di mana beberapa atau semua orang belajar dan tinggal
selama tahun ajaran dengan sesama siswa mereka dan mungkin guru dan/atau administrator.
Dengan kata lain, sekolah asrama (boarding school) merupakan sebuah sekolah dimana para
siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru dan mempunyai asrama
Sekolah dengan sistem asrama (boarding school) telah lama dikenal di Indonesia.
Sistem asrama biasanya memang diterapkan oleh sekolah yang memiliki lebih dari satu fokus
pelajaran, misalnya antara pendidkan umum dan pendidikan agama. Ada sekolah yang
berkurikulum berbasis agama katolik, ada sekolah asrama yang hanya dengan dua kurikulum
yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama dan ada pula sekolah asrama yang bercorak
militer. Padatnya materi yang diberikan membuat sistem asrama dianggap paling efektif
dibandingkan jika menggunakan sistem sekolah yang regular (datang-pulang). Dengan sistem
Sekolah asrama juga biasanya juga memiliki peraturan yang lebih banyak dari pada
sekolah regular. Hal ini dikarenakan peserta didik berada dalam jangkauan suster
kurikulum nasional yang berlaku dan didalam kelas reguler semua peserta didik diberikan
perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan peserta didiik. Pengembangan
kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Dalam pengembangan kurikulum di tingkat
SMP kompetensi dasar yang dimiliki meliputi sikap spiritual,sikap sosial, dasar pengetahuan
dan keterampilan (Peraturan Mentri Kebudayaan No 58 tentang Kurikulum SMP tahun 2014).
Menurut Omar (1991), Tinggkah laku individu tidak dapat diukurnya saja, tetapi perlu
dikaitkan dengan iklim lingkungan sosial. Bandura (1989) menyebutkan bahwa manusia
Beberapa penelitian mengenai SLR telah dilakukan oleh Natakusuma (2003) dikatakan
bahwa mahasiswa yang kuliah sambil bekerja memiliki regulasi yang baik. Mereka benar-
benar mengatur waktu belajar mereka sendiri sesuai kemampuan dan kesibukanya. Begitu juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Dhuhri dan Mujidin, (2006), tentang perbedaan
SLR antara siswa underachievers dan siswa overchaivers pada kelas 3 SMP negeri 6
Yogyakarta mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan SLR antara siswa
underchaivers dan siswa overchaivers. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Febrilia
Kusumaningtyas (2011) di UKSW, mengemukaan bahwa tidak ada perbedaan SLR pada
mahaiswa yang bekerja part time dan tidak bekerja. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa aktivitas yang padat akan dapat memunculkan kemampuan anak untuk
mengatur diri.
Aktivitas belajar yang padat menjadikan siswa mampu melakukan regulasi diri dalam
belajar (Alsa 2007). Dalam proses belajar akan sangat banyak hal yang harus dipelajari, karena
siswa akan berlomba-lomba untuk lebih bisa berprestasi secara akademik maupun non
akademik, maka mereka akan mempunyai aktivitas belajar yang padat, aktivitas inilah yang
mampu meningkatkan regulasi diri siswa dalam belajar, sehingga mereka lebih memiliki daya
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi adalah perilaku. Zimmerman (1989)
kemampuan dan upayanya dengan optimal dalam mengatur proses belajarnya. Santri yang
berusaha merubah dan menyesuaikan langkah belajar sesuai kebutuhan lingkungannya akan
lebih mudah mengatur dirinya, hal ini dapat terlihat pada santri yang mampu mengatur diri.
Pada santri yang kurang mampu mengatur diri berlaku hal sebaliknya.
yang dihadapi santri yang mampu mengatur diri ialah kurang dapat menerapkan kedisiplinan
dengan persentase sebesar 15%, ini menunjukkan kebutuhan untuk disiplin tinggi. Sedangkan
pada santri yang kurang mampu mengatur diri, santri tidak memiliki hiburan untuk refreshing
dengan besar persentase 2,56% yang menandakan kebutuhan untuk bersenang-senang (having
fun) tinggi. Selain itu, menurut santri yang mampu mengatur diri, program di pondok
pesantren yang dapat mempengaruhi aktivitas santri sehari-hari adalah jadwal yang tidak pasti
yang kemudian membuat pekerjaan lainnya terbengkalai dengan persentase sebesar 31,25%.
Sedangkan menurut santri yang kurang mampu mengatur diri program yang mengganggu
aktivitasnya adalah kurangnya jadwal istirahat yang menjadikan santri cepat lelah dengan
persentase sebesar 39,29%. Masalah belajar santri yang mampu mengatur diri kurang dapat
mendisiplinkan diri merupakan suatu kegagalan santri 8 dalam meregulasi diri. Seperti yang
dijelaskan Zimmerman & Martinez Pon (1988) ada beberapa aspek pembelajaran regulasi diri
seperti pengorganisasian dan transformasi data, menentukan tujuan belajar dan perencanaan
belajar. Santri yang kurang dapat mendisiplikan diri dapat disebabkan santri tidak menetapkan
tujuan belajar sehingga kesulitan menentukan strategi apa yang mudah bagi santri untuk
Kemudian masuk kepada regulasi diri santri. Regulasi diri yang pertama adalah cara
santri baik yang mampu mengatur diri menyesuaikan diri dengan menjalani kegiatan-kegiatan
yang ada dengan sabar, senang dan ikhlas dengan persentase 37,5%. Sementara pada santri
yang kurang mampu mengatur diri mendisiplinkan diri sendiri agar dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan pesantren dengan besar persentase 17,5%. Dari hasil wawancara pun
menunjukkan bahwa santri menyesuaikan diri dengan melakukan banyak hal yang membuat
terbiasa di pondok pesantren, menaati peraturan yang berlaku di pondok pesantren dan
mengikuti atau menjalani jadwal dan peraturan yang sudah ada dengan mandiri.
dalam Shidiq & Mujidin, 2006) langkah penyesuaian santri yang mampu dan kurang mampu
terhadap kesulitan yang dihadapi pada saat pengerjaan tugas dan mengubahnya menjadi
tantangan yang menarik. Sedangkan santri yang mampu mengatur diri cenderung telah
memiliki kemampuan yang memudahkan santri menyesuaikan diri sehingga santri cenderung
Menurut Zimmerman (1990) dalam teori sosial kognitif terdapat tiga hal yang
perilaku dan lingkungan. Faktor individu meliputi pengetahuan, tujuan yang ingin dicapai,
kemampuan metakognisi serta efikasi diri. Faktor perilaku meliputi behavior selfreaction,
personal self reaction serta environment self reaction. Sedangkan faktor lingkungan dapat
Keberadaan sekolah berbasis pesantren menjadi menarik untuk dikaji mengingat model
pembelajaran, pendekatan belajar dan kurikulum yang berbeda dengan sekolah umum. dengan
memadukan sekolah umum dan pesantren, aspek spiritual menjadi keunggulan tersendiri bagi
sekolah berbasis pesantren. Di sekolah berbasis pesantren, materi keagamaan lebih banyak
diberikan disamping materi umum. Sehingga, asumsinya adalah bahwa disekolah berbasis
pesantren mendapatkan pemahaman dan pengalaman spiritual yang lebih, jika dibandingkan
dengan siswa sekolah non pesantren. Hal ini akan berdampak pada perkembangan yang
semakin meningkat, dalam hal terciptanya kepuasan hubungan individu dengan sang pencipta,
serta pemahaman akan makana dan tujuan hidup individu yang diperoleh melalui nilai-nilai
yang diajarkan dalam pendidikan agama. kedua hal tersebut menjadi penting dalam proses
perkembangan peserta didik. siswa yang telah mengetahui makna dan tujuan hidupnya, tentu
akan lebih mampu mengarahkan tujuan-tujuan belajarnya. Selaian itu, pengetahuan tersebut
dapat mencegah mereka untuk terjerumus kedlam prilaku yang merugikan didri sendiri
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh tim Boarding School Review tahun 2017
(Rasyid, 2012), boarding school dapat membuat siswa belajar untuk membuat keputusan
sendiri dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, belajar untuk beradaptasi dengan
lingkungan barunya.
Ningtias dan Sholeh (2003) dalam penelitianya menyebutkan bahwa siswa yang
menggunakan sistem boarding school memiliki presentase terhadap motivasi sebayak 81, 2 %
dibandingkan siswa yang menggunakan sistem belajar reguler sebanyak 76,3%. Hasil ini dapat
disimpulkan bahwa skor motivasi belajar pada siswa dengan sistem asrama lebih tinggi
daripada skor motivasi belajar pada siswa yang tidak menggunakan sisten asrama.
Octyavera (2010) mengatakan bahwa siswa yang masuk di lingkungan boarding school
harus cepat dalam menyesuaikan diri. Hal ini disebabkan oleh lingkungan asrama yang sangat
berbeda dan jauh dari keluarga, di rumah siswa mempunyai keluarga yang dapat mendorong
mereka untuk belajar, namun di asrama siswa harus memiliki motivasi sendiri, berkomitmen
untuk melaksanakanya secara disiplin. Kegiatan belajar mandiri oleh siswa tanpa diperintah
oleh orang lain ini disebut dengan istilah Self Regulated Learning (regulasi diri dalam belajar).
Menurut Santrock (2007) regulasi diri dalam belajar adalah kemampuan siswa untuk
membuat sendiri rencana strategi belajar serta target yang ingin dicapai dalam belajar.
Regulasi diri dalam belajar menekankan pentingnya tanggung jawab personal dan mengontrol
Self Regulated Learning yang dimiliki oleh siswa dipengaruhi oleh situasi yang ada
pada lingkungan siswa dan juga tidak terlepas dari dukungan sosial yang diberikan kepada
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada siswa dan waka Kurikulum yang
dilakukan pada hari senin, 3 Desember 2018 di SMP Ma’arif Gamping didapatkan hasil bahwa
ada siswa yang mengalami kesulitan belajar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sikap
terlambat dalam mengumpulkan tugas, ribut sendiri di dalam kelas ketika mengikuti pelajaran,
tidak konsentrasi dalam belajar di kelas, lamban dalam mengerjakan tugas, malas-malasan
Berdasrakan hasil wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum MTs
Nur Iman Mlangi yang seluruh siswa adalah santri yang tinggal di pesantren Mlangi, pada
tanggal 04 Januari 2019 didapatkan informasi bahwa hasil UAS banyak yang masih di bawah
KKM yang disebabkan kurang adanya kontrol diri dalam belajar, yakni siswa-siswa tidak ada
Wawancara yang dilakukan terhadap siswa A di MTs Nur Iman Mlangi pada tanggal
30 Januari 2019 diperoleh informasi bahwa siswa merasa malas untuk melakukan belajar di
luar jam sekolah karena sudah merasa padat dengan kegiatan yang ada di pondok pesantren.
Hasil pre eliminari dari kedua sekolah tersebut menunjukan bahwa siswa tidak ada
upaya belajar di luar jam sekolah dengan strategi kreatifnya. Siswa cenderung mengandalkan
materi yang disampaiakan oleh guru di saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Siswa
cenderung pasrah dengan kemampuanya tanpa ada upaya yang serius untuk mendapatkan
prestasi akademik yang lebih memuaskan. Siswa mengatakan bahwa ia tak punya waktu untuk
belajar, sedangkan waktu luang yang ada digunakan untuk kegiatan yang lain selaian belajar.
Kesulitan belajar tersebut sejalan dengan pendapat Sugihartono, dkk (2007) yang
menyebutkan bahwa kesulitan belajar yang muncul ditandai dengan beberapa hal di antaranya
yaitu prestasi belajar yang rendah, usaha belajar yang dilakukan tidak sebanding dengan hasil
belajar yang dicapai, lamban dalam mengerjakan tugas, sikap acuh dalam mengikuti pelajaran,
menunjukan perilaku menyimpang seperti bolos sekolah, enggan mengerjakan tugas, tidak
konsentrasi dan emosional yang ditunjukan dengan mudah marah, mudah tersinggung serta
dengan model sekolah ataupun aktivitas yang dilakukan oleh siswa termasuk lingkungan
sekolah yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi anak dalam melakukan
pengaturan diri. Namun bagi siswa yang tinggal di pondok pesantren seperti siswa MTs Nur
Iman Mlangi tidak selalu tinggal dengan orang tua dan hidup dengan lingkungan baru (Kenny,
1987) bersama teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (Santrock, 2003), sehingga
penulis tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan self-regulated learning pada siswa SMP
Ma’arif yang tinggal dengan orang tua dan siswa MTs Nur Iman yang tinggal di pesantren
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan self-regulated learning
pada siswa SMP Reguler yang tinggal dengan orang tua dan siswa MTs yang tinggal di
asrama.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara teoritis maupun manfaat
praktis.
1. Manfaat teoritis
pendidikan mengenai perbedaan self-regulated learning pada siswa SMP reguler dan
2. Manfaat praktis
Secara praktis jika penelitian membuktikan bahwa ada perberbedaan Self
Regulated Learning antara siswa yang tinggal tinggal di rumah dengan siswa yang tinggal
di pondok pesantren diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat praktis kepada
Self Regulated Learning antara siswa SMP Maarif Gamping dengan siswa MTs Nur Iman
Mlangi yang tinggal di pondok pesantren Mlangi. Kedua, bagi sekolah dapat menjadi
bahan evaluasi dengan melihat perbedaan Self Regulated Learning siswa. Ketiga,
diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan keilmuan bagi peneliti yang ingin
D. Keaslian penelitian
Muhammadiyah Surakarta tahun yang berjudul Hubungan Antara Regulasi Diri Dengan
menunjukan hasil bahwa regulasi diri pada santri Pondok Pesantren menunjukkan tingkat
regulasi diri santri tergolong sedang, yang dapat dilihat dari rerata empirik (RE) sebesar
159,96 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 145. Hasil perhitungan frekuensi dan prosentase,
diketahui dari 141 subjek, terdapat 0%(0 subjek) yang memiliki regulasi diri yang sangat
rendah, terdapat 0% (0subjek) yang memiliki regulasi diri yang rendah, terdapat 61% (86
subjek) yang memiliki regulasi diri yang sedang, terdapat 37% (52 subjek) yangmemiliki
regulasi diri yang tinggi, dan terdapat 2% (3 subjek) yang memiliki regulasi diri yang sangat
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa santri cenderung mampu merencanakan strategi dan
menetapkan tujuan yang akan dicapai, mampu menilai kemampuan dalam diri, yakin pada
hasil yang akan dicapai, memiliki minat dan orientasi pada tujuan, memiliki kontrol diri dalam
mencapai tujuan, mampu melihat kondisi sekitar, mampu menilai diri terhadap hasil yang akan
dicapai, memberikan hadiah dan hukuman atas kesesuaian tujuan dengan hasil kinerja
Satya Wacana Salatiga yang berjudul Perbedaan Self-regulated learning Antara Mahasiswi
Yang Sudah Menikah Dengan Mahasiswi Yang Belum Menikah Di Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan self-
regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dengan mahasiswi yang belum
menikah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Sampel dalam penelitian ini sebanyak
93 mahasiswi yaitu 40 mahasiswi yang sudah menikah dan 53 mahasiswi yang belum
menikah, yang berada di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik snowball sampling, yaitu jumlah
sampel yang mula-mula kecil kemudian membesar. Pengumpulan data dalam bentuk angket
(kuesioner) dengan menggunakan metode skala. Untuk analisis data yang digunakan adalah
analisis data komparasi, yang disebut dengan uji t (T-test). Hasil menunjukkan dari
Independent Sample T untuk self-regulated learning adalah 0,510 (p > 0,05). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan self-regulated learning antara mahasiswi yang sudah
Ketiga, Ragil Picasia Dewi Estuning Tyas (2013) Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Satya Wacana yang berjudul Perbedaan Self-regulated learning Pada Siswa yang
Mengikuti Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Di SMP N 2 Semarang. Self Regulated
Learning (SLR) pada siswa dapat digambarkan melalui tingkatan atau derajat yang meliputi
keaktifan berpartisipasi baik itu secara kognitif, motivasional, maupun perilaku dalam proses
belajar. Peneliotian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan SLR pada siswa yang
mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler di SMP Negeri 2 Semarang, dimana siswa kelas
akselerasi mempunyai SLr lebih tinggi daripada kelas reguler. Sampel (N=47) diambil dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan satu skala yaitu
Skala SLR yang berdasarkan pada karakteristik siswa yang mempunyai SLR oleh Zemmerman
2001, 2002). Skala ini terdiri dari 32 item valid. analisis dalam penelitian ini menggunakan
uji-t. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nilai thitung sebesar -0,778 dan p=0,095
(p>0.05). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan SLR
pada siswa yang mengikuti kelas akselerasi dan kelas reguler di SMP 2 Semarang.
Keempat, Penelitian yang dilakukan oleh Tis’a Muharrani tahun 2011 yang
menunjukan bahwa ada hubungan antara Self-Efficacy dengan Self Regulated Learning pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Subyek pada penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas
Psikologi USU berjumlah 90 orang. Teori yang digunakan adalah teori Self Regulated
Learning milik Zimmerman dan Martinez-Pons (2000). Implikasi dari penelitian ini adalah
PGRI Adibuana Surabayayang berjudul Perbedaan Minat Karir Antara Siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Dengan Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbedaan minat karir antara siswa SMP dengan siswa MTs.
Penelitian ini dilakukan pada siswa SMP Unggulan Bina Insani Surabaya dan MTs Negeri III
Surabaya. Alat ukur minat yang digunakan adalah Rothwell Miller Interest Blank (RMIB),
yang dapat mengungkap 12 aspek minat karir, yaitu : outdoor, mechanical, compulational,
scientific, personal contact, aesthetic, literary, musical, social service, clerical, practical dan
medical. Hasil penelitian ada 3 aspek minat karir yang menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antara minat karir siswa SMP dengan minat karir siswa MTs, yaitu aspek scientific,
personal contact dan practical. Sedangkan 9 aspek lainnya menunjukkan tidak ada perbedaan
minat karir antara siswa SMP dengan siswa MTs. Aspek-aspek minat karir yang tidak berbeda
Keenam, Penelitian Zariah (2013) yang berjudul Pembelajaran Regulasi Diri Pada
regulasi diri pada santri di Pondok Pesantren Modern. Informan utama dalam penelitian ini
adalah remaja berusia 13-15 tahun, santri yang sedang menempuh pendidikan dan tinggal di
Pondok Pesantren Modern minimal selama enam bulan. Metode pengambilan data yang
dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner terbuka dan wawancara. Hasil
menunjukkan bahwa cara santri menyesuaikan diri dengan lingkungan pondok pesantren
srategi belajar yang berbeda-beda untuk membantu belajarnya. Selain itu, untuk mengatasi
pengaruh teman dan lingkungan, santri cenderung menjaga dan mengontrol diri dalam
berteman. Ketika melakukan kesalahan, santri cenderung mengevaluasi diri dan memperbaiki
diri atas kesalahan yang telah diperbuat. Santri juga mendapat keuntungan ketika mampu
meregulasi diri dengan baik yakni merasa senang, tenang dan nyaman serta dapat
menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, menjadi disiplin, memiliki waktu luang yang
bermanfaat. Sedangkan kerugian yang didapatkan santri ketika kurang mampu meregulasi diri
dengan baik ialah merasa menyesal dan kecewa, selain itu santri memiliki pekerjaan yang
tertunda, waktu luang yang sia-sia dan prestasi santri menjadi turun.
Hubungan Antara Raja' dan religiusitas dengan Self Regulated Learning. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hipotesa yang ditengahkan dapat diterima yaitu ada hubungan yang
signifikan antara raja (harapan) dan religiusitas dengan self-regulated learning. Oleh karena
berkesinambungan. Diharapkan dengan raja dan religiusitas akan membantu peningkatan self-
Surabaya yang meneliti hubungan antara Self efficacy dan Self Regulated Learning, subjek
pada penelitian ini adalah siswa akselerasi Sekolah Menengah Pertama di Jawa Timur. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara self-regulated learning dengan selfefficacy
pada siswa akselerasi di SMP di Jawa Timur. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa
SMP yang ada di wilayah Jawa Timur. Sampel dalam penelitian ini adalah empat sekolah
yang berada di Jawa Timur yaitu: SMPN 1 di Bondowoso, SMPN 1 Tuban, SMPN 2 Jember
yang diciptakan oleh Matthias Jerusalem dan Ralf Schawarzer. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu korelasi product moment dari Spearman. Dari hasil
penelitian, maka disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara Self Regulated
Learning dengan Self-Efficacy pada siswa-siswa akselerasi di SMP Negeri di Jawa Timur.
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa SMP Ma’arif
Gamping dan siswa-siswi MTs Nur Iman Mlangi yang tinggal di pesantren Mlangi.
setingkat SMP/MTs yang tinggal di pesantren dan bukan lembaga pendidikan yang
dibawah LP Ma’arif.
2. Topik
Pada Penelitian ini berjudul perbedaan Self Regulated Learning antara siswa SMP
Maarif Gamping dengan siswa MTs Nur Iman Mlangi yang tinggal di pondok pesantren
Mlangi. Pada penelitian sebelumnya belum pernah ada yang meneliti tentang perbedaan
Self Regulated Learning antara siswa SMP reguler dengan siswa MTs yang tinggal di
pondok pesantren.
3. Alat ukur
Alat ukur yang digunakan oleh peneliti adalah alat ukur milik Saraswati (2018)
yang dibuat berdasarkan teori self regulated learning milik Boekarts (2003), yang
dimensi skala ini diturunkan dari definisi self regulated self regulated learning.
BAB II
LANDASAN TEORI
Pengelolaan diri dalam bahasa Inggris adalah self regulation. Self artinya diri dan
regulation adalah terkelola. Pengelolaan diri merupakan salah satu komponen penting
dalam teori kognitif sosial (social cognitive theory). Menurut Gufron (2011) Albert
Bandura adalah orang yang pertama kali memublikasikan teori belajar sosial pada awal
1960-an. Pada perkembangannya kemudian diganti namanya menjadi teori kognitif sosial
pada 1986 dalam bukunya berjudul Social Foundation of Thought and Action: A Social
Cognitive Theory.
keadaan dimana individu yang belajar sebagai pengendali aktivitas belajarnya sendiri,
memonitor motivasi dan tujuan akademik, mengelola sumber daya manusia dan benda,
serta menjadi pelaku dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksana dalam proses
belajar.
Menurut Bandura (Boekaerts, 2000) bahwa self regulation (regulasi diri) adalah
interaksi antara personal (diri), perilaku dan lingkungan. Regulasi diri dalam belajar (self
regulated learning) merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja, terencana yang
bersifat siklus dimana pikiran, perasaan, dan tindakan dikelola untuk mencapai tujuan
Self-regulated learning adalah proses aktif dan konstruktif dengan jalan siswa
menetapkan tujuan untuk proses belajarnya dan berusaha untuk memonitor, meregulasi,
dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilaku, yang kemudian semuanya diarahkan dan
didorong oleh tujuan dan disesuaikan dengan konteks lingkungan (Boekaerts, dkk, 2000).
Menurut Santrock (2008) Self-regulated learning atau pembelajaran regulasi diri
adalah memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk
mencapai tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa tujuan akademik (meningkatkan pemahaman
dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar perkalian, mengajukan pertanyaan
yang relevan), atau tujuan sosioemosional (mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan
teman sebaya). Selanjutnya Ormrod (2009) menambahkan Self Regulated Learning adalah
pengaturan terhadap proses-proses kognitif sendiri agar belajar sukses. Jadi dapat
dikatakan bahwa self-regulated learning adalah proses yang membantu siswa dalam
mengelola fikiran, perilaku, dan emosi untuk sukses mencapai tujuan belajar mereka.
Menurut Schunk dan Ertmer (Ghufron, 2011) pengelolaan diri atau self regulation
merupakan proses yang berputar. Gambaran proses berputar ini dilukiskan oleh
Zimmerman dengan tiga tahap model pengelolaan. Pertama, forethought phase (pemikiran
sebelumnya), yaitu performasi aktual yang mendahului dan berkenaan dengan proses
phase, yaitu mencakup proses yang terjadi sebelum belajar yang memengaruhi perhatian
dan perilaku. Ketiga, selama self-reflection phase terjadi setelah performansi individu
berkaitan dengan pembangkitan diri baik pikiran, perasaan serta tindakan yang
direncanakan dan adanya timbal balik yang disesuaikan pada pencapaian tujuan personal.
Dengan kata lain, pengelolaan diri berhubungan dengan metakognitif, motivasi, dan
merupakan proses dimana individu yang belajar secara aktif sebagai pengatur proses
dirinya secara sistematis untuk mencapai tujuan dalam belajar, dengan menggunakan
aspek :
a. Metakognisi
b. Motivasi
yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi
otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari
kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang
c. Perilaku
aktivitas belajar Para ahli kognitif sosial (Ormrod, 2008) dan juga psikologi kognitif
mulai menyadari bahwa untuk menjadi pembelajar yang benar-benar efektif, siswa
harus terlibat dalam beberapa aktifitas mengatur diri. Dalam kenyataannya tidak
hanya siswa harus mengatur perilakunya sendiri, melainkan dia juga harus mengatur
Menurut Bandura (Boekaerts, 2000) Self regulated learning terdiri dari tiga
tahapan yang berbentuk siklus, tahapan tersebut melibatkan aspek kognitif, perasaan
1) Tahap Kognitif/Pikiran
a. Task analysis (analisa tugas) yakni membuat tujuan yang spesifik (goal
mengoptimalkan tindakan/performa.
2) Tahap Tindakan
a. Self control (kontrol diri) terdiri dari self intruction (baik tampak maupun tidak
mereduksi tugas menjadi bagian- bagian penting dan menata menjadi bagian-
b. Self observation, digunakan untuk mentracking atau menelurus aspek khusus dari
performa, kondisi lingkungan dan efek dari prosedur yang digunakan seseorang.
a. Self judgement yakni mengevaluasi performa yang telah dilakukan dan atribut
tujuan. Terdapat 4 cara yang biasa digunakan untuk mngevalusi diri: pertama,
performa atau hasil dengan orang lain; keempat, colaboratif yakni dengan orang
dan atribusi keberhasilan meraih tujuan. Reaksi ini akan berpengaruh pada
tahap kognitif dan performa selanjutnya pada siklus self regulated learning.
Menurut Alwisol (2009) Terdapat faktor eksternal dan faktor internal yang
a. Faktor Eksternal
1) Faktor lingkungan.
mencurahkan perhatian khusus pada pengaruh sosial dan pengalaman pada fungsi
manusia. Hal ini bergantung pada bagaimana lingkungan itu mendukung atau
seseorang. Melalui orang tua dan guru anak-anak belajar baik-buruk, tingkah
dengan yang lebih luas anak kemudian mengembangkan standar yang bisa
berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya
bekerja sama; ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu
penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.
b. Faktor Internal
Menurut Zimmerman dan Pons (Ghufron, 2011) faktor individu ini meliputi hal-
pengelolaan.
c) Tujuan yang ingin dicapai, semakin banyak dan kompleks tujuan yang ingin
2) Perilaku.
regulation pada diri individu. Bandura menyatakan dalam perilaku ini, ada
tiga tahap yang berkaitan dengan pengelolaan diri atau self regulation,
2009).
performansi dan standar yang telah dilakukannya dengan standar atau tujuan
yang sudah dibuat dan ditetapkan individu. Melalui upaya membandingkan
performansi dengan standar atau tujuan yang telah dibuat dan ditetapkan,
yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran itu tidak selalu sinkron dengan
Self reaction Self reaction merupakan tahap yang mencakup proses individu
dalam menyesuaikan diri dan rencana untuk mencapai tujuan atau standar
yang telah dibuat dan ditetapkan (Ghufron, 2011). Hal ini dilakukan
sendiri. Bisa terjadi tidak muncul reaksi afektif, karena fungsi kognitif
siswa SMP yang tinggal di rumah yakni solah dengan model reguler.
B. Model Sekolah
A boarding school is a school where some or all people study and live during the
school year with their fellow students and possibly teachers and/or administrators
asrama adalah sekolah di mana beberapa atau semua orang belajar dan tinggal selama
tahun ajaran dengan sesame siswa mereka dan mungkin guru dan/atau administrator.
Dengan kata lain, sekolah asrama (boarding school) merupakan sebuah sekolah dimana
para siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru dan
Sekolah dengan sistem asrama (boarding school) telah lama dikenal di Indonesia.
Sistem asrama biasanya memang diterapkan oleh sekolah yang memiliki lebih dari satu
fokus pelajaran, misalnya antara pendidkan umum dan pendidikan agama. Ada sekolah
yang berkurikulum berbasis agama katolik, ada sekolah asrama yang hanya dengan dua
kurikulum yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama dan ada pula sekolah asrama
yang bercorak militer. Padatnya materi yang diberikan membuat sistem asrama dianggap
paling efektif dibandingkan jika menggunakan sistem sekolah yang regular (datang-
pulang). Dengan sistem asrama, diharapkan proses belajar mengajar jadi maksimal.
Sekolah asrama juga biasanya juga memiliki peraturan yang lebih banyak dari
pada sekolah regular. Hal ini dikarenakan peserta didik berada dalam jangkauan suster
a. Belajar mandiri. Tinggal jauh dari orangtua mau tidak mau memaksa kita untuk
belajar hidup mandiri. Hidup mandiri bukan berarti segala sesuatu dilakukakan secara
individu karena tinggal di lingkungan asrama juga mengharuskan kita untuk bisa
beradaptasi dengan komunikasi baru, seperti teman satu kamar, satu asrama, hingga
para staf, guru dan pembimbing yang akan menjadi keluarga baru kita selama tinggal
di asrama.
b. Harus toleran. Kita harus belajar tolen kepada orang lain terutama teman sekamar dan
asrama.
c. Hidup lebih teratur. Pihak sekolah sudah memiliki jadwal kegiatan sehari-hari untuk
siswa, mulai dari waktu bangun tidur, makan, belajar, mengerjakan tugas, hingga
waktu senggang.
d. Ada pendamping. Disekolah berasrama, biasanya ada dua pemimpin. Seorang kepala
sekolah dan kepala asrama. Kepala asrama akan dibantu dengan para pendamping. Di
e. Resiko terlambat sekolah sangat minim. Malah bisa dibilang hampir tidak mungkin
untuk terlambat ke sekolah, karena biasanya sekolah dan asrama berada dalam satu
f. Makanan terjamin. Dalam hal ini sama dengan dirumah. Makanan yang disantap
sehari-hari dapat lebih terjamin dibandingkan jika siswa kost dan membeli makan
diluar.
g. Lebih aman. Berada dilingkungan asrama memang lebih aman dibandingkan jika
berada diluar, seperti kost. Di asrama, tidak sembarangan orang bisa masuk-keluar
fasilitas tersebut yang akan mengkomodir kegiatan siswa sehari-hari tanpa harus
Selain kelebihan di atas, kekurangan juga bisa ditemui dalam sekolah asrama,
seperti :
a. Perasaan jenuh. Kondisi ini lebih dirasakan karena lingkungan sekolah dan asrama
berada dalam satu lokasi sehingga timbul perasaan berada dilingkungan yang ‘itu-itu
saja’. Perasaan ini juga bisa muncul karena rutinitasyang sudah berjadwal setiap
harinya.
b. Makanan asrama belum tentu sesuai selera. Di asrama, siswa hanya makan makanan
yang disediakan asrama, meskipun makanan tersebut tidak sesuai selera, siswa harus
belajar beradaptasi.
c. Tidak privasi. Hal ini dikarenakan siswa tinggal bersama-sama dan menggunakan
fasilitas bersama.
2. Sekolah Reguler
kurikulum nasional yang berlaku dan didalam kelas reguler semua peserta didik diberikan
termasuk didalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Dalam
pengembangan kurikulum di tingkat SMP kompetensi dasar yang dimiliki meliputi sikap
spiritual, sikap sosial, dasar pengetahuan dan keterampilan (Peraturan Mentri Kebudayaan
kelemahan yakni kebutuhan individual siswa tidak dapat terpenuhi. Siswa yang
penalarannya tergolong cepat daripada siswa yang lain tidak terlayani dengan baik
sehingga potensi yang dimilikinya tidak dapat berkembang secara optimal. Berkenaan
Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 5 ayat 4 yang menyebutkan Warga Negara
yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus. Selanjutnya, Bab V pasal 12 ayat 1 huruf (b) yang menyebutkan bahwa setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan layanan pendidikan
sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya; dan huruf (f) yang menegaskan bahwa
setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menyelesaikan program
pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari
Selain itu Hurlock (1980) menjelaskan bahwa semakin banyak partisipasi sosial,
semakin besar kompetensi sosial remaja. Partisipasi sosial menjadikan wawasan sosial
menjadi semakin membaik pada remaja, wawasan sosial ini membuat remaja dapat
menilai teman-teman dan lingkungannya dengan baik. Sehingga penyesuaian diri dalam
situasi sosial bertambah baik. Sekolah umum reguler dan boarding school merupakan dua
sistem sekolah yang memiliki sistem yang berbeda. Jika pada sekolah umum regular
pendidikan terfokus pada pendidikan akademis saja, boarding school memuat pendidikan
pada semua aspek, mulai dari aspek akademik, agama, keterampilan, hingga pembinaan
karakter. Pada sekolah umum reguler pendidikan disajikan secara terpisah, yaitu sekolah
hanya memiliki prioritas pada aspek akademik. Setelah jam pelajaran selesai anak
dikembalikan kepada orang tua. Hal ini tentu akan membentuk perilaku sosia yang
berbeda. Jika pada boarding school siswa terdikotomi oleh segala corak pendidikan dan
nilai-nilai yang diterapkan sekolah, maka sekolah umum regular perilaku mereka
tergantung pada nilai lingkungan yang berinteraksi secara kuat dengan mereka.
Siswa yang bersekolah di sekolah umum reguler, secara bebas dapat berinteraksi
dengan lingkungan yang ia inginkan. Bebas bergaul tanpa adanya peraturan baku yang
mengikat. Mereka juga memiliki lingkungan yang heterogen karena terlepas dari jam
sekolah mereka dapat berinteraksi di lingkungan sosial yang berbeda. Sementara itu pada
siswa boarding school, mereka memiliki lingkungan yang homogen, bergaul dengan
situasi sosial yang tidak bervariasi seperti lingkungan siswa sekolah umum reguler. Hal
ini akan mempengaruhi kompetensi sosial siswa, karena partisipasi sosial dan wawasan
sosial mempengaruhi kompetensi sosial. Selain dari perbedaan perilaku yang ditunjukkan
siswa sekolah umum reguler dengan siswa boarding school, hal lain yang memberikan
ketertarikan bagi peneliti adalah pentingnya pendidikan sekolah untuk dapat membentuk
kemampuan sosial siswa yang dikemukakan dalam ketentuan umum, sistem pendidikan
Hal ini berarti bahwa sejogyanya sistem pendidikan dirancang tidak hanya untuk
lainnya seperti tujuan pendidikan di atas dan salah satu aspek yang penting dikembangkan
adalah kompetensi sosial siswa. Perbedaan yang terdapat pada kemampuan sosial siswa
sekolah umum reguler dan boarding school yang diperoleh dari data artikel dan observasi
langsung pada beberapa siswa pada kelompok berbeda inilah, serta tujuan pendidikan
ketertarikan pada peneliti untuk memfokuskan penelitian kompetensi sosial ini pada
1. Sejarah Singkat
berakar pada nilai dan tradisi pesantren. Bersamaan terjadinya dinamika perubahan zaman
yang semakin dinamis, kompleks, serta keterbukaan komunikasi global, pesantren dituntut
meningkatkan perannya di kancah lokal, nasional, dan internasional. Hal ini menuntut
kepeloporan dalam perubahan-perubahan yang cerdas dan inovatif, yang tetap berpijak
Salah satu langkah strategis tersebut adalah urgensi mendirikan madrasah formal
Pendidikan bermutu merupakan langkah strategi dalam menjawab tantangan masa depan
karena hanya dengan pendidikan akan tercipta kualitas generasi muda yang memahami
tinggi secara akademik di satu sisi, namun di sisi lain berpijak secara mendalam dan kuat
pada akar nilai dan tradisi pesantren, serta diorientasikan untuk menjawab tantangan
Madrasah Tsanawiyah Nur Iman Mlangi Gamping Sleman didirikan oleh Yayasan
c. Mencetak siswa yang memiliki kemampuan fahmul kutub dan menguasai dua bahasa
4. Struktur Kurikulum
Struktur dan muatan kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang
tertuang dalam Standar Isi meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut ini:
Struktur kurikulum MTs Nur Iman Mlangi Gamping Sleman meliputi substansi
pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai kelas
VII sampai dengan kelas IX. struktur kurikulum disusun berdasarkan standar kompetensi
lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kurikulum MTs Nur Iman Mlangi Gamping Sleman memuat 14 mata pelajaran,
b. Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di MTs Nur Iman Mlangi Gamping
Sleman terdiri atas Qur’an Hadist, Aqidah Ahlaq, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam
disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah.
minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi madrasah yang difasilitasi atau
dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam
e. Substansi mata pelajaran IPA terdiri dari biologi, fisika, dan kimia dan IPS terdiri dari
g. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34 - 38 minggu.
Adapun struktur kurikulum MTs Nur Iman Mlangi Gamping Sleman disajikan
Alokasi
Komponen Waktu/Kelas
VII VIII IX
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama Islam
a. Al-Qur’an Hadits 2 2 2
b. Aqidah Akhlaq 2 2 2
c. Fiqih 2 2 2
d. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 2 2
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 6 6 6
4. Bahasa Arab 2 2 2
5. Bahasa Inggris 4 4 4
6. Matematika 6 6 6
7. Ilmu Pengetahuan Alam 4 4 4
8. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4
9. Seni Budaya 2 2 2
10. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 2 2 2
11. Ketrampilan/Tinkom 2 2 2
B. Muatan Lokal
1. Bahasa Jawa 2 2 2
2. Ke-Nu-an 1 1 1
C. Pengembangan Diri 2*) 2*)
2*)
1. Kegiatan Bimbingan Konseling (BK)
2. Kegiatan Intrakurikuler dan Ekstrakurikuler
a. Kepramukaan
b. PMR
c. Hadrah
d. Jurnalistik
Jumlah 44 44 44
Keterangan:
keterampilan, dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang
luas tentang keadaan lingkungan daerah dan kebutuhan masyarakatnya sesuai dengan
1) mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya
daerah;
lingkungan daerah yang berguna bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya;
3) memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di
peserta didik secara optimal, yaitu menjadi manusia yang mampu menata diri dan
menjawab berbagai tantangan baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya
Pengembangan diri di madrasah bersifat pilihan, dalam arti setiap siswa wajib
1) Tujuan Umum
2) Tujuan Khusus
kemandirian
terprogram direncanakan secara khusus dan diikuti oleh peserta didik sesuai dengan
lansung oleh pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah/madrasah yang diikuti oleh
Kegiatan Pelaksanaan
99 % siswa MTs Nur Iman menetap di asrama dari delapan Pondok Pesantrn
yang tergabung dalam payung yayasan Nur Iman Mlangi. Pengembangan diri di
luar madrasah bersifat wajib bagi seluruh siswa yang tinggal di pesantren.
baik diwaktu pembelajaran efektif maupun di luar jam pembelajaran efektif yang
keperibadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
spesifikasi husus untuk mata pelajaran Agama dan budi pekerti, satu mata pelajaran
pilihan, satu muatan lokal wajib dan pengembangan diri (bimbingan dan konseling).
disesuaikan dengan ciri khas potensi daerah (Daerah Istimewa Yogyakarta), termasuk
Muatan wajib untuk kurikulum SMP Ma’arif Gamping adalah Bahasa Jawa. Mata
pelajaran pilihan adalah mata pelajaran yang disesuaikan dengan daya dukung
kebutuhan masyarakat dalam hal ini adalah peserta didik yang dituntut untuk
keadaan yang ada di SMP Ma’arif Gamping yang menerapkan 2 macam kurikulum,
yaitu kurikulum 2013 dan kurikulum 2006 mata pelajaran pilihan Teknologi
c. Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SMP/MTs merupakan “IPA Terpadu” dan
“IPS Terpadu” yang mengacu pada pemetaan struktur kurikulum Majlis Pendidikan
maupun MGMP mata pelajaran Kabupaten Sleman dan pemetaan mata pelajaran dari
d. Jam pelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam
jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan untuk mata pelajaran Ujian
Nasional.
f. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 Minggu.
Catatan : Adanya penambahan jam untuk Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan Bahasa
Inggris, karena ke empat mata pelajaran tersebut diujikan secara nasional sehingga peserta
a. Pendidikan Agama
Meliputi Agama Islam, Kristen, Katholik, Hindhu dan Budha, mengingat kondisi
Tujuan
c. Bahasa Indonesia
Tujuan
Membina keterampilan secara lisan dan tertulis serta dapat menggunakan bahasa
d. Bahasa Inggris
Tujuan
Membina keterampilan berbahasa dan berkomunikasi secara lisan dan tertulis untuk
e. Matematika
Tujuan
penguasaan IPTEK
Tujuan
Tujuan
Tujuan
Mengembangkan apresiasi seni, daya kreasi dan kecintaan pada seni budaya nasional
Tujuan
dalam bidang olahraga, menanamkan rasa sportifitas, tanggung jawab disiplin dan
j. Ketrampilan
Tujuan
Tujuan
Merupakan mata pelajaran pilihan yang akan memberikan ketrampilan kepada peserta
masyarakat.
l. Ke NU-an
Tujuan
m. Bahasa Jawa
Tujuan
4. Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi
yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah yang
materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata peljaran lain dan/atau terlalu banyak
sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri , sehingga SMP Ma’arif Gamping harus
mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar untuk setiap jenis muatan
lokal yang diselenggarakan minimal satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester.
Program Muatan Lokal wajib Bahasa Jawa diatur dalam Surat edaran Gubernur Provinsi
DIY Nomor 423.5/0912 tahun 2005 tentang penerapan Kurikulum Muatan Lokal Bahas
Jawa dan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DIY Nomor 434/437 tahun
2004 tentang penerapan Mata Pelajaran Bahasa Jawa. Sedangkan pelaksanaan Bahasa
Jawa dalam Kurikulum 2013 dilaksanakan pada Peraturan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 64/kep/2013 tentang mata pelajaran bahasa jawa sebagai muatan lokal
wajib di sekolah/madrasah.
SMP Ma’arif Gamping menetapkan Bahasa Jawa sebagai muatan lokal yang
diajarkan di kelas VII, VIII dan IX. Jadi muatan lokal wajib yang dipilih adalah Bahasa
Perkembangan muatan lokal dalam jangka panjang, agar para siswa dapat melatih
keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan harapan nantinya.Dapat membantu dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat yang akhirnya dapat membantu pembangunan nusa dan
harus direncanakan secara sistematik oleh sekolah, keluarga dan masyarakat setempat
dengan perantara pakar-pakar pada instansi terkait, baik negeri maupun swasta. Indonesia
yang terdiri dan berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman multikultur
(adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah, dll) merupakan
ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu
keadaan lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka
daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta
didik,
muatan lokal wajib untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan
pada satuan pendidikan SMP Ma'arif Gamping dalam kegiatan intrakurikuler maupun
ekstrakurikuler,
kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Dalam hal
SMP Ma'arif Gamping dilakukan pada siang hari maka perlakuan terhadap pengembangan
diri setara dengan perlakuan terhadap komponen mata pelajaran dan muatan lokal,Adapun
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh
2. Pasal 1 butir 6 tentang pendidik, pasal 3 tentang tujuan pendidikan, pasal 4 ayat (4)
3. PP Nomor 19 Tahun 2006 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 5-18 tentang
yang memuat pengembangan diri dalam struktur kurikulum, dibimbing oleh konselor,
5. Dasar standarisasi profesi konseling oleh Ditjen Dikti Tahun 2004 tentang arah
mengembangkan diri dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat,
dalam mengembangkan:
1. Bakat
2. Minat
3. Kreatifitas
6. Kemampuan sosial
7. kemampuan belajar
10. kemandirian
E. Perbedaan Self Regulated Learning Antara Siswa MTs Nur Iman dengan Siswa
SMP Ma’arif
sendiri secara aktif baik dari motakognisi, motivasi dan perilakunya. Siswa tersebut mengatur,
sehingga siswa tersebut mampu memahami bagaimana dia belajar dan strategi apa yang dia
gunakan dalam belajar. Self Regulated Learning sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor
Setiap orang akan berusaha untuk meregulasi fungsi dirinya dengan berbagai cara
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Winne, 1997 dalam Boekaerts, 2000). Kognisi
2010). Pembeda dari self-regulated learning setiap orang hanyalah efektivitas dari self
regulation itu sendiri. Pada waktu seseorang mampu mengembangkan kemampuan self-
regulation secara optimal, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara
selfregulation dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkannya tidak dapat
dicapai secara optimal. Ketidak efektifan dalam kemampuan self-regulation ini bisa
disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu fase dalam proses self-regulation terutama
pada fase forethought dan performance control yang tidak efektif (Zimmerman, dalam
Boekaerts, 2000).
Siswa SMP merupakan remaja awal yang berada pada fase negatif. Secara garis besar
sifat-sifat negatif tersebut yaitu, negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi
mental, dan negatif dalam sikap soial, baik dalam bentuk menarik diri dalam lingkungan
Pada masa transisi dari fase anak-anak menuju remaja awal, memungkinan siswa
dan kenakalan remaja. Kondisi ini membutuhkan perhatian lebih dari berbagai pihak yaitu
tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi
pendidikan islam, dakwah dan pengembangan kemasyarakatan dan pendidikan lainnya yang
sejenis. Para peserta didik pada pesantren disebut sebagai santri yang umumnya menetap di
Pesantren. Tempat dimana para santri menetap di lingkungan pesantren, disebut dengan istilah
Kedisiplinan dan suasana di Pondok Pesantren sangat berbeda dengan di rumah, seperti
halnya jauh dari orangtua, tidak menggunakan alat komunikasi seperti handphone, hidup
mandiri dengan berbagai peraturan yang harus dipatuhi. Selain itu santri baru yang tinggal di
Pesantren dituntut mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya yaitu di Pondok
Pesantren dan mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan di Pondok Pesantren.
sebagaimana halnya non-santri, bahkan dalam beberapa hal lebih baik daripada non-santri.
santri dan mahasiswa-reguler secara statistik tidak berbeda. Kelapangdadaan sendiri dapat
diartikan seabagai kondisi psiko-spiritual yang ditandai oleh kemampuan menerima berbagai
kenyataan yang tidak menyenangkan dengan tenang dan terkendali. Artinya, santri dan non-
santri tidak berbeda dalam kemampuannya menerima kenyataan yang tidak menyenangkan.
Dalam beberapa hal santri menunjukkan karakteristik psikologis yang lebih menonjol
dibanding dengan non-santri. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dari penelitian Soleh (2001)
yang menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup mahasiswa santri lebih tinggi dibanding
mahasiswa reguler. Mahasiswa santri menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan optimis,
hidupnya terarah dan bertujuan, mampu beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap
menjaga identitas diri. Bila dihadapkan pada permasalahan, orang yang memiliki
kebermaknaan hidup -dalam hal ini siswa MTs—lebih tabah dan menyadari adanya hikmah di
balik penderitaan.
positif, seperti sikap yang positif terhadap perilaku pro-lingkungan hidup (Fattah, 2005)
kepuasaan hidupnya sedang (Ahmad Muhammad Diponegoro, 2005) dan kontrol dirinya
sedang (Rahmat Aziz & Yuliati Hotifah, 2005). Berkaitan dengan sikap terhadap lingkungan
hidup, para santri memiliki nilai-nilai Islami yang pro- lingkungan hidup seperti tidak memetik
bunga atau buah yang belum saatnya dipetik. Budaya pesantren yang kolektivistik dan
Self Regulated Learning yang dimiliki oleh siswa dipengaruhi oleh situasi yang ada
pada lingkungan siswa dan juga tidak terlepas dari dukungan sosial yang diberikan kepada
Penelitian Septiani (2013) menunjukan ada perpedaan motivasi antara siswa kelas
akselerasi dan siswa kelas reguler. Motivasi ini merupakan salah satu aspek dari regulasi diri
dalam belajar.
Faktor yang mempengaruhi Self Regulated Learning adalah faktor lingkungan. Faktor
lain yang juga dapat mempengaruhi adalah perilaku. Zimmerman (1989) mengungkapkan
fungsi dari perilaku adalah membantu individu untuk menggunakan kemampuan dan
upayanya dengan optimal dalam mengatur proses belajarnya. Santri yang berusaha merubah
dan menyesuaikan langkah belajar sesuai kebutuhan lingkungannya akan lebih mudah
mengatur dirinya, hal ini dapat terlihat pada santri yang mampu mengatur diri. Pada santri
Selain itu, mereka juga akan memasuki lingkungan baru (Kenny, 1987) bersama
teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (Santrock, 2003) dan mereka akan dituntut
lebih mandiri (Deasyanti & Anna, 2007) dan memikul tanggung jawab pribadi dalam
Berdasarkan uraian diatas, nampak pada penulis bahwa self-regulated learning sangat
berkaitan dengan model sekolah ataupun aktivitas yang dilakukan oleh siswa termasuk
lingkungan sekolah yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi anak dalam
melakukan pengaturan diri. Namun bagi siswa yang tinggal di pondok pesantren seperti siswa
MTs Nur Iman Mlangi tidak selalu tinggal dengan orang tua dan hidup dengan lingkungan
baru (Kenny, 1987) bersama teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (Santrock,
2003),
Bagan 1. Perbedaan Self Regulated Learning siswa SMP dan MTs Nur Iman
SLR
F. Hipotesis
Pada penelitian ini penulis merumuskan hipotesis bahwa ada perbedaan antara Self
Regulated Learning siswa MTs Nur Iman Mlangi dan siswa SMP Ma’arif Gamping. Self
Regulated Learning siswa SMP yang tinggal di rumah lebih rendah daripada siswa MTs yang
METODE PENELITIAN
Suryabrata (Idrus, 2002) mendefiniskan variabel sebagai segala sesuatu yang akan
menjadi objek pengamatan penelitian atau sering disebut pula gejala yang akan diteliti.
Variabel juga dapat dimaknai sebagai konsep yang memiliki variasi nilai. Secara sederhana
istilah variabel ini dimaknai sebagai sebuah konsep atau objek yang sedang diteliti, yang
memiliki variasi (varyable) ukuran, kualitas yang ditetapkan oleh peneliti berdasarkan pada
Pada penelitian ini terdapat dua variabel yakni variabel bebas dan variabel tergantung.
1. Variabel bebas
Variabel bebas merupakan variabel yang menjadi sebab hadirnya perilaku lain atau
timbulnya variabel lain. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah Jenis sekolah yaitu
2. Variabel tergantung
Variabel tergantung merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat
adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel tergantungnya adalah Self Regulated
Learning.
B. Definisi Operasional
secara aktif sebagai pengatur proses belajarnya sendiri, mulai dari merencanakan,
memantau, mengontrol dan mengevaluasi dirinya secara sistematis untuk mencapai tujuan
dalam belajar, dengan menggunakan berbagai strategi baik kognitif, motivasional maupun
behavioral. Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yaitu dari Saraswati
(2018) mengenai pengukuran self- regulated learning dengan koefisien validitas 0,320-
0,634 dan koefisien reliabilitas 0,929, yang mengukur aspek; 1) Regulasi kognisi, yakni
dengan cara mengingat, terus mempelajari, mencatat atau membuat tabel belajar sendiri
melaksanakan tugasnya. 2) Regulasi motivasi, adalah cara siswa untuk mendapatkan atau
meningkatkan minatnya pada bidang akademis melalui usaha untuk mencapai tujuan
pengetahuan serta tetap fokus dan konsisten dalam meraih tujuan di bidang akademis. 3)
kebutuhan dan mendapatkan bantuan dari orang dewasa, guru ataupun teman sebaya.
terstruktur melalui pikiran, perilaku sehingga siswa memiliki motivasi untuk lebih optimal
dalam melaksanakan proses belajar dan mencapai tujuan yang diinginkan dengan lebih
mudah.
2. Model Sekolah
Sekolah asrama adalah sekolah di mana beberapa atau semua orang belajar dan
tinggal selama tahun ajaran dengan sesame siswa mereka dan mungkin guru dan/atau
administrator. Dengan kata lain, sekolah asrama (boarding school) merupakan sebuah
sekolah dimana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan
kurikulum nasional yang berlaku dan didalam kelas reguler semua peserta didik diberikan
termasuk didalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Dalam
pengembangan kurikulum di tingkat SMP kompetensi dasar yang dimiliki meliputi sikap
spiritual, sikap sosial, dasar pengetahuan dan keterampilan (Peraturan Mentri Kebudayaan
dan jenisnya, namun masih tetap mengikuti kurikulum berstandar nasional. Model sekolah
menengah tersebut seperti SMP maupun MTs yang berada di bawah naungan pondok
pesantren dan memiliki corak has pembelajaran yang berbasis pesantren. Termasuk
sekolah menengah tersebut seperti MTs Nur Iman Mlangi yang berada di bawah naungan
Yayasan Nur Iman Mlangi yang berada di lingkungan pondok pesantren dan siswa yang
belajar di sekolah tersebut tinggal dan menetap di pesantren. Selain skolah model tersebut
juga ada sekolah yang berada di bawah lembaga pendidikan Ma’arif NU seperti SMP
Ma’arif Gamping. Siswa yang belajar di SMP Ma’arif tidak tinggal dan menetap di
pesantren meskipun sebagian kecil ada yang tinggal di pesantren terdekat dari sekolah
tersebut.
1. Populasi
Menurut Sugiyono (2013) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Penelitian ini
dilakukan terhadap siswa siswi siswa siswi SMP Ma’arif Gamping dan MTs Nur Iman
Mlangi yang berjumlah 104 siswa dengan rincian kelas VII A berjumlah 35 kelas VII B
berjumlah 11, kelas VIII berjumlah 35 dan kelas IX berjumlah 21. Siswa SMP Ma’arif
berjumlah 147 dengan rincian kelas VII berjumlah 61 (VII A : 31, VII B : 30), kelas VIII
berjumlah 53 (VIII A : 28, VII B: 25) dan kelas IX berjumlah 34 (IX: 20, IX B: 14).
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah karakterisik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Sampel yang diambil dari populasi harus benar benar representatif atau
mewakili. (Sugiyono, 2013). Ada beberapa teknik pengambilan sampel atau teknik
sampling, area sampling, cluster sampling, dan sampel incidental. Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Sampel Random Berkelompok (Cluster Random
unitnya terdiri dari satu kelompok (cluster). Tiap item (individu) di dalam kelompok yang
terpilih akan diambil sebagai sampel. Cara ini dipakai apabila populasi dapat dibagi dalam
kelompok-kelompok dan setiap karakteristik yang dipelajari ada dalam setiap kelompok.
Dalam hal ini sampel adalah semua siswa SMP Ma’arif kelas 7 dan kelas 8 yang
berjumlah 67 dan siswa Kelas 7 dan 8 MTs Nur Iman Mlangi yang berjumlah 70.
Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode skala.
Skala Skala Self Regulated Learning merupakan skala yang disusun untuk
mengukur tinggi rendahnya Self Regulated Learning. Alat ukur yang digunakan oleh
peneliti adalah alat ukur yang di buat oleh Saraswati (2018) yang dibuat berdasarkan teori
self regulated learning milik Boekarts (2003), yang dimensi skala ini diturunkan dari
Alat ukur dalam penelitian ini memiliki validitas 0,320-0,634 dan reabilitas 0,929,
yang mengukur aspek; 1) Regulasi kognisi, yakni dengan cara mengingat, terus
Regulasi motivasi, adalah cara siswa untuk mendapatkan atau meningkatkan minatnya
pada bidang akademis melalui usaha untuk mencapai tujuan dengan cara meyakinkan diri
sendiri, mempunyai performa khusus, meningkatkan pengetahuan serta tetap fokus dan
konsisten dalam meraih tujuan di bidang akademis. 3) Regulasi perilaku, merupakan
dari orang dewasa, guru ataupun teman sebaya. 4) Self- regulated learning merupakan
strategi pembelajaran yang tersusun dan terstruktur melalui pikiran, perilaku sehingga
siswa memiliki motivasi untuk lebih optimal dalam melaksanakan proses belajar dan
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah metode
skala psikologi. Alasan penggunaan skala sebagai alat ukur adalah lebih efisiensi waktu,
Skala ini dibuat dengan seluruh item berbentuk favourable sehingga skor untuk
masing-masing jawaban benar pada pilihan jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai) adalah 1,
terrendah adalah 39. Untuk kategori kemampuan self regulasi learning, dapat dibagi
menjadi 3 kategori yakni Baik dengan rentang nilai 119-156, Kurang dengan rentang nilai
79-118, Buruk dengan rentang nilai 39-78. Sementara itu, kemampuan self regulasi
learning pada setiap dimensi yakni kognitif, performance dan self reflection juga dapat
dikategorikan menjadi baik, kurang dan buruk, dengan rentang nilai sebagai berikut:
Dimensi Self-
Kognitif Performance
Kategori reflection
Baik 39 – 48 47 – 60 39 - 48
25 – 38 31 - 46 25 - 38
Kurang 12 - 24 15 – 30 12 - 24
Buruk
ukurnya. Artinya, sejauh mana skala tersebut mampu mengukur atribut yang akan diukur.
Validitas yang digunakan peneliti adalah validitas permukaan (face validity) yang
dinyatakan berdasarkan format penampilan tes, apabila penampilan tes telah menyakinkan
dan memberikan kesan mampu mengungkap atribut yang hendak diukur, maka dapat
dikatakan bahwa validitas muka telah terpenuhi. Kedua, validitas yang bersifat logis
(logical validity). Dalam validitas ini, setiap aspek yang akan diungkapkan, ditetapkan
lebih dahulu definisinya sebagai pengukur apakah materi tiap item benar-benar tercakup di
dalamnya, maka jika item dipandang telah menampung materi didalam definisi tertentu,
Validitas permukaan dan validitas logis dari skala ini diselidiki dengan bantuan
dosen pembimbing sebagai professional judgement dengan cara melihat penampilan tes
telah meyakinkan, memberikan kesan mampu mengungkap atribut yang hendak diukur dan
Berdasarkan koefisien korelasi item-toato bergerak dari nilai 0-1,00 dengan tanda
positif dan negatif. Batasan kriteria seleksi item dengan menggunakan koefisien korelasi
item-total adalah rix ≥ 0,30. Oleh sebab itu, item yang memiliki koefisien korelasi item-
total lebih atau sama dengan 0,30 dianggap memiliki daya diskriminasi yang baik.
Sebaliknya item yang memiliki koefisien korelasi item-total kurang dari 0,30 dianggap daya
Apabila item yang memiliki indeks diskriminasi ≥ 0,30 jumlahnya melebihi jumlah
item yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka kita dapat memilih item-item yang
memiliki indeks daya diskriminasi tertinggi. Sebaliknya apabila jumlah item yang lolos
ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang di inginkan, kita dapat mempertimbangkan
untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi 0,25 misalnya sehingga jumlah item
yang di inginkan dapat tercapai. Apabila hal ini tidak juga menolong, maka sangat mungkin
kita harus merevisi seluruh item-item baru sama sekali dan kemudian melakukan field
testing kembali karena menurunkan batas kriteria rix dibawah 0,20 sangat tidak di sarankan
(Azwar, 2000).
Skala Self Regulated Learning milik saraswati ini memiliki 39 item pernyataan,
dengan empat pilihan jawaban yakni STS (Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak Sesuai), S
(Sesuai), dan SS (Sangat Sesuai). Koefisien validitas skala ini bergerak dari 0.320 hingga
0.634, dengan reliabilitas sebesar 0.929. Alat ukur ini diujikan kepada 387 siswa SMA dari
2 SMA Negeri dan 4 SMA Swasta di kota Malang. Subjek berada di kelas 1, 2 dan 3 dengan
kelamin laki-laki dan perempuan, beragama islam, serta berasal dari suku jawa, madura,
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah sampel yang diambil secara acak
tersebut homogen atau tidak. Artinya bahwa sampel yang diambil memiliki
kemampuan yang sama. Penelitian ini menggunakan uji homogenitas varian dengan
2. Uji Hipotesis
(independent Sample - test). Dalam uji hipotesis ini, jika nilai p < 0,05
BAB IV
A. Orientasi Kancah
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Nur Iman Mlangi dan SMP Ma’arif
Gamping Sleman. MTs Nur Iman Mlangi merupakan MTs berbasis pondok
pesantren di bawah Yayasan Nur Iman Mlangi. MTs Nur Iman berada dalam
dijalankan dalam hitungan abad. Lokasi MTs Nur Iman Mlangi beralamat di Jl.
Lokasi MTs Nur Iman Mlangi terletak jauh dari jalan raya, pasar, arena
hiburan, atau keramaian umum lainnya, sehingga tidak mengalami polusi udara
tidak terdapat tempat pembuangan akhir sampah sehingga aman dari polusi udara
akibat sampah. Sarana air bersih dan sanitasi mencukupi warga madrasah karena
bersumber dari sumur. MTs Nur Iman Mlangi berada di lingkungan biotik
perairan (dekat dengan sungai yaitu sungai Bedog) persawahan, dan pepohonan
Pelopor berdirinya MTs Nur Iman Mlangi adalah dari Yayasan Nur Iman
Mlangi yang diketuai oleh Dr. KH Tamyis Mukharom, M.A yang menunjuk salah
satu santri bernama Ahmad Faozi sebagai penanggungjawab teknis pendirian dan
Mlangi, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Jadi awal mula kehadiran MTs Nur Iman
Mlangi berasal dari pondok pesantren salaf di dusun Mlangi yang berada di bawah
Yayasan Nur Iman. Terdapat 8 pesantren yang ada di Mlangi yaitu Pondok
formal yaitu MTs Nur Iman. Nama Nur Iman diambil dari nama Kyai Nur Iman
atau RM Sandiyo (diperkirakan lahir pada sekitar abad ke-18 67 atau tahun 1700-
an) yang merupakan pendiri dusun Mlangi dan kyai pertama yang menyebarkan
(putri dari pahlawan nasional Untung Suropati yang saat itu bergelar Adipati
Mataram yaitu antar lain Pangeran Mangkunegara I, Raja Pakubuwana II, dan
(Yusti, 2018).
setingkat SMP-SMP yang laian yang berada dibawah naungan dinas pendidikan.
69
husus yang berkaitan dengan organisasi Nahdlotul Ulama. Salah satunya adalah
pelajaran ke-NU-an yang menjadi mata pelajaran muatan lokal disana. Nuansa
dan kegiatan yang ada juga mencerminkan ke-NU-an seperti kegiatan rutin
membaca Asmaul husna sebelum KBM, ekstra hadroh, tahlil bersama, istighosah
Assalimiyyah dan beberapa pondok yang lain yang jaraknya lebih jauh lagi seperti
Mlangi.
B. Persiapan Penelitian
1. Persiapan Administrasi
perijinan. Proses perijinan dimulai dengan meminta izin secara lisan kepada
kepala sekolah MTs Nur Iman Mlangi Bapak Aminullah, M.H dan SMP
Ma’arif Gamping Ibu Retno, S.Pd. kemudian disusul dengan surat ijin yang
ditulis secara pribadi yang menyatakan bahwa penulis meminta ijin keada
akan digunakan untuk mengukur Self Regulated Learning . Alat ukur yang
digunakan oleh peneliti adalah skala self regulated learning yang dibuat oleh
Saraswati (2018) yang dibuat berdasarkan teori self regulated learning milik
Boekarts (2003), yang dimensi skala ini diturunkan dari definisi self
regulated self regulated learning. Alat ukur ini sudah teruji keabsahanya dan
setingkat SMA.
a. Uji Reliabilitas
yang baik dan dari hasil uji reliabilitas pada skala Self Regulated
71
C. Pelaksanaan Penelitian
Mlangi dengan jumlah dan mulai tanggal 9 Februari di SMP Ma’arif Gamping.
diminta untuk mengisi skala Self Regulated Learning. Setelah skala terkumpul
kembali maka kemudian dilakukan skoring dan kemudian dilakukan analisis pada
program SPSS.
D. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data
Pada skala Self Regulated Learning untuk mengetahui rentang skor pada
Skala Self Regulated Learning terdiri dari 39 aitem dengan skor mulai
adalah sebesar 26 yang diperoleh dari hasil pengurangan skor maksimal dan
M+1,8 SD
Sangat M + 1,8 SD < X 130 < X 17 24,29 %
Tinggi
Regulated Learning yang sangat rendah adalah sebanyak 0 siswa atau jika
berada dalam kateogri yang sedang dimana dalam kategori ini terdapat 35
Regulated Learning yang sangat rendah adalah sebanyak 0 siswa atau jika
berada dalam kateogri yang sedang dimana dalam kategori ini terdapat 11
17 siswa lainnya berada pada katogori sangat tinggi dengan jumlah 25, 37 %.
2. Uji normalitas
berdistribusi secara normal atau tidak. Hasil yang menunjukkan nilai p>0,05
menghasilkan skor Sig sebesar 0,886 dan p = 0,886 dan siswa asrama
menghasilkan skor Sig sebesar 0, 530 sehingga sebaran data pada variabel
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
REGULE
.068 67 .200* .990 67 .886
R
ASRAM
.086 67 .200* .984 67 .530
A
75
Dari hasil diatas maka dapat dikatakan bahwa data berdistribusi secara normal.
3. Uji Homogenitas
menghasilkan skor Sig sebesar 0, 114 sehingga sebaran data pada variabel
4. Uji Hipotesis
dilakukan uji hipotesis. Hasil uji asumsi menyatakan bahwa data yang ada
berdiribusi normal dan homogen maka data tersebut dinyatakan lolos uji
hipotesis ditolak.
E. Pembahasan
diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar p = 0,002 (p<0.05), artinya Ho terima dan
tidak ada perbedaan self-regulation learning yang signifikan antara siswa SMP
121.0597 dan mean self-regulation learning pada siswa MTs Nur Iman Mlangi
memiliki self-regulation learning yang lebih rendah dari siswa MTs Nur Iman
Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa self-
regulation learning pada anak meningkat karena adanya keterlibatan orang tua
(Martinez-Pons, 2009) dan orang tua yang membantu anak menjadi pelajar
2009). Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan pada pelajar yang berusia remaja yang tidak tinggal dengan orang tua,
yaitu tinggal di pesantren. Pelajar memiliki tingkat pengaturan diri yang rendah
akibat intensitas pertemuan dengan orang tua yang tidak insentif, sehingga
2013). Selain itu, hasil penelitian lain yang tidak sesuai dengan hasil penelitian ini
adalah penelitian yang dilakukan oleh Adicondro dan Purnamasari (2011) yang
menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial orang tua yang diberikan
kepada anak, semakin tinggi juga pengaturan diri anak sebagai pelajar, hal ini
dilihat dari banyaknya kontak sosial orang tua dengan anak, sehingga hasil
penelitian ini tidak mendukung beberapa penelitian dan teori sebelumnya bahwa
77
lain mengapa siswa yang tidak tinggal dengan orang tua (asrama) memiliki
sebenarnya sudah mulai berlangsung pada saat anak mulai memasuki lingkungan
sekolah, namun diperlukan perhatian dari orang tua masing-masing untuk mulai
anak. Jadi, sejak awal orang tua sudah mempunyai peran untuk mengembangkan
self-regulation anak sejak dini, sehingga kemampuan ini tetap dimiliki anak,
meskipun anak sudah tidak bersama orang tuanya lagi. Jadi, ada juga faktor pola
asuh orang tua yang menyebabkan anak tetap bisa mengatur perilakunya
motivasi berprestasi dibagi menjadi dua macam yaitu faktor internal dan faktor
mendasari, harga diri, sikap terhadap kehidupan dan lingkungan. Faktor eksternal
itu sendiri meliputi, dukungan dan harapan orang tua. Jadi, selain dukungan dan
78
harapan orang tua, siswa juga mempunyai harapan, serta cita-cita yang
lingkungan pendidikannya. Selain itu adanya faktor harga diri, siswa yang rela
berpisah dengan orang tuanya untuk belajar di pesantren, tidak ingin kembali
dengan sebuah kegagalan, mereka akan merasa malu apabila mereka tidak
diri mereka. Cara siswa menyikapi kehidupan dan lingkungannya juga penting.
Siswa yang menyikapinya dengan positif akan memperoleh hasil belajar yang
positif, dan juga sebaliknya, karena saat berpisah dengan orang tua, siswa akan
Masa transisi dari dunia sekolah dasar dan tinggal dengan orang tua
melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang baru, seperti teman yang lebih
beragam latar belakang geografis dan etnisnya, struktur sekolah yang lebih besar,
prestasi, dan nilai-nilai ujian yang baik (Santrock, 2003). Apabila siswa
Ma’arif Gamping yang tinggal dengan orang tua dan MTs Nur Iman Mlangi yang
peneliti, tingkat self-regulation learning MTs Nur Iman Mlangi yang tinggi
disebabkan oleh beberapa kegiatan dan program yang ada di pesantren yang
yang tinggi, tetapi juga mampu mandiri dan memikul tanggung jawab pribadi
Cahyono). Kegiatan dan program pesantren antara lain Orientasi siswa Baru dan
Makesta, dan ekstrakulikuler. Selain itu, masih ada kegiatan pengembangan dan
untuk mendukungnya dalam proses belajar, seperti nusyawaroh atau bahsul masail
dan diskusi. Berdasarkan pengamatan peneliti, kegiatan dan program yang ada di
MTs Nur Iman yang dibawah Yayasan nur Iman Mlangi telah mendukung siswa
BAB V
A. Kesimpulan
Learning antara siswa SMP Ma’arif Gamping ( regular) dan siswa MTS Nur Iman
Tidak Ada perbedaan Self Regulation Learning antara siswa SMP Ma’arif
B. Saran
variabel lain yang dapat mempengaruhi Self Regulated Learning. Begitu juga
mempersiapkan segala sesuatu dengan baik agar hasil yang didapatkan lebih
optimal.
81
DAFTAR PUSTAKA
Adicondro, N., & Purnamasari, A. (2011). Efikasi diri, Dukungan keluarga dan
Self Regulated Learning pada siswa Kelas III. Jurnal Humanita. Vol.VIII,
No. 1, 17-27.
Adicondro, Nobelina., dan Purnamasari, Alfi. (2011). Efikasi Diri, Dukungan
Sosial Keluarga dan Self Regulated Learning pada Siswa Kelas VIII.
Humanitas. Vol. VIII. No. 1: 17-27. Yogyakarta. Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan.
Ahmad Muhammad Diponegoro. (2005). Afek dan Kepuasan Hidup Santri,.
Jurnal Psikologi Islami 1 (2). hal. 107-118.
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. edisi revisi. Malang : UMM Press.
Ancok, Djamaludin dan Suroso, Fuat Nashori. (2005). Psikologi Islam : Solusi
Islam Atas problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arifin, M. (1993). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arjanggi, R dan Suprihatin, T. (2010). Metode Pembelajaran Tutor Sebaya
Meningkatkan Hasil Belajar Berdasar Regulasi Diri. Makara Sosial
Humaniora.
Asizah., & H, Fabiola. (2013). Intensitas Komunikasi Antara Anak Dengan Orang
Tua Dan Self Regulation Pada Remaja Pesantren. Jurnal Psikologi
Indonesia, 2, (2), 90-98.
Azwar, S. (1999). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Azwar, S. (2015). Penyusunan Skala Psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Azwar, S. (2015). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan penelitian dan perkemangan Pusat Kurikulum. (2010). Bahan Pelatihan
Penguatan Metodelogi Pembelajaran berdasarkan Nilai-nilai Budaya
untuk membentuk daya Saing dan Karakter Bangsa: Pengembangan
Pendidikan Kewirausahaan. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.
Bandura, A., (1989). Human Agency In Social Cognitif Theory. American
Psuchologist 44 (9): 1175.
Bandura.(2001) Social Cognitive Theory : An Agentic Perspective. Annual
Revieww Of Psychology 52 (1):1-26.
82