Anda di halaman 1dari 25

SMF/Bagian Radiologi REFERAT

RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Oktober 2019


Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

SINUSITIS

Disusun Oleh:
Yolanda Yasinta Ina Tuto, S.Ked
(1508010035)
Pembimbing:
dr. Elsye Thene, Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi dari sinus paranasal. Penyebab utama
sinusitis adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis sendiri merupakan penyakit
yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai
salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Sinusitis sendiri juga
telah menjadi masalah penting hampir di semua negara dan angka prevalensinya
semakin meningkat dari tahun ke tahun.1
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga
penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan
yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rhinosinusitis
ini. Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara
epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris.1
Apabila tidak segera ditemukan dan diberikan penanganan, sinusitis dapat
menjadi berbahaya. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intracranial, komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap
sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas.1

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan sumber tambahan wawasan mengenai sinusitis baik secara klinis
maupun radiologis
2. Menjadi salah satu syarat dalam kepaniteraan klinik SMF/Bagian Radiologi
RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang

1.3 Isi
Dalam referat ini akan dibahas tentang anatomi sinus paranasal, definisi
sinusitis, etiologi sinusitis, klasifikasi sinusitis, manifestasi klinis sinusitis, langkah
penegakkan diagnosis sinusitis, pemeriksaan penunjang yang digunakan, modalitas
radiologi yang penting dalam mendiagnosis sinusitis, dan bagaimana tatalaknsana
sinusitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Paranasal 1 , 2

Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga


terbentuk di dalam tulang. Sinus paranasal terdiri dari empat pasang sinus, yaitu sinus
frontal, sinus etmoid, sinus maksila, dan sinus sfenoid. Sinus frontal (kanan kiri),
sinus eithmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri
(antrum highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara, dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-
masing. Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris
sebagai muara dari sinus maksila, sinus frontalis, dan ethmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV
dan tetap berkembang selama masa anak-anak. Pembentukannya dimulai sejak di
dalam kandungan, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus
maksila dan etmoid. Sehingga tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum
terdapat sinus frontalis karena belum terbentuk. Sinus frontal dan sinus etmoid
anterior mulai berkembang pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara
klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25 tahun. Sinus
sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus
berkembang hingga akhir usia belasan atau dua puluhan.
Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan dinding inferior
orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai batas medial, prosesus
alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa canine sebagai batas anterior.
Bentuknya pyramid; dasar piramid berada pada dinding lateral hidung, sedangkan
apeksnya berada pada pars zygomaticus maxillae. Sinus maksilaris merupakan sinus
terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa. Sinus maksilaris
berhubungan dengan cavum orbita (dibatasi oleh dinding tipis yang berisi n. infra
orbitalis sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata), gigi (dibatasi
dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Molar) dan ductus nasolakrimalis (terdapat
di dinding cavum nasi).
Sinus ethmoidalis berbentuk berupa rongga tulang yang menyerupai sarang
tawon, yang terletak antara hidung dan mata. Sinus ethmoidalis berhubungan dengan
fossa cranii anterior (dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa, sehingga jika
terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah kranial), orbita (dilapisi
dinding tipis yakni lamina papiracea, sehingga jika melakukan operasi pada sinus ini
kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill
Hematoma), nervus optikus dan nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan
posterior.
Sinus frontalis dapat terbentuk atau tidak. Sinus frontalis terletak di os
frontalis yang tidak simetri antara kanan dan kiri. Volume pada orang dewasa ± 7cc.
Sinus frontalis bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).Sinus frontalis
berhubungan dengan fossa cranii anterior (dibatasi oleh tulang compacta), orbita
(dibatasi oleh tulang compacta) dan dibatasi oleh periosteum, kulit dan tulang diploic.
Sinus sfenoidalis terletak pada corpus, alas dan processus os sfenoidalis.
Volume pada orang dewasa ± 7 cc. Sinus sfenoidalis berhubungan dengan sinus
cavernosus pada dasar cavum cranii. glandula pituitari, chiasma n.opticum, ranctus
olfactorius dan arteri basillaris brain stem (batang otak).
Adapun fungsi dari sinus paranasal adalah membentuk pertumbuhan wajah,.
sebagai pengatur udara (air conditioning), sebagai penahan suhu (thermal insulators),
membantu keseimbangan cranium, membantu resonansi udara, peredam perubahan
tekanan udara, dan membantu produksi mucus.

2.2 Definisi1
Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus paranasal.
Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris,
etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Apabila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.

2.3 Epidemiologi1,3,4
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama
di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi
pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sinusitis
maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar. Hal ini disebabkan karena
sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi
dari dasar, sehingga aliran sekret hanya tergantung dari gerakan silia, dasarnya adalah
akar gigi, ostium sinus maksilaris terletak di meatus medius, disekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Data dari PERHATI-KL tahun 2007 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis
sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi
yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.

2.4 Klasifikasi1,4,5
Sinusitis dapat dibagi berdasarkan letak anatominya menjadi sinusitis
maksilaris, sinusitis frontalis, sinusitis etmoid, dan sinusitis sfenoidalis.
Secara klinis berdasarkan onset terjadinya, sinusitis dapat dikatagorikan
sebagai sinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu,
sinusitis subakut berlangsung lebih dari 4 minggu tapi kurang dari 3 bulan, dan
sinusitis kronik bila lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan beratnya penyakit, sinusitis dapat dibagi menjadi ringan, sedang
dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS):
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang = VAS >3-7
- Berat= VAS >7-10
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien
Sedangkan berdasarkan penyebabnya, sinusitis dibagi atas :
1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung).
Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan
sinusitis. Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi.
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
influenza, Steptococcusviridans, Staphylococcus aureus, Branchamella
catarhatis
2.5 Etiologi6
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam
terjadinya obstruksi akut ostium sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia,
yang akhirnya menyebabkan sinusitis.
Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus. Partikel virus
sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menggangu sistem mukosiliar
rongga hidung dan virus melakukan penetrasi kemudian masuk ke sel tubuh dan
menginfeksi secara cepat. Virus penyebab sinusitis antara lain rinovirus, para
influenza tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus.
Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti
oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus dapat terjadi edema dan
hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk
perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu
bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut yang sering ditemukan ialah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella
kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.
Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang
menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis biasanya berkaitan
dengan drainase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka
agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri
anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain Staphylococcus aureus,
Streptococcus viridans, Haemophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus
epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi
campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.
Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau
iritan kimia. Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan kavitas sinus yang menghasilkan
edema dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan
blokade dalam pembukaan kavitas sinus dan membuat daerah yang ideal untuk
perkembangan jamur, bakteri, atau virus. Alergi dapat juga merupakan salah satu
faktor predisposisi infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus
yang oedem yang dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drainase sehingga
menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan
siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis. Pada keadaan kronis
terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada rinitis alergi, memenuhi
rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. Selain faktor alergi, faktor predisposisi
lain dapat juga berupa lingkungan. Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan
aktivitas silia mukosa hidung dan sinus berkurang, sedangkan udara yang kering
dapat menyebabkan terjadinya perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis.
Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan
juga penyakit granulomatus (Wegener’s granulomatosis atau rhinoskleroma) juga
dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan
perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis
dengan mengganggu pengeluaran mukus.

2.6 Diagnosis
Anamnesis4,5
 Gejala Utama : Ingus mukopurulen, ingus belakang hidung, hidung
tersumbat, nyeri wajah, hiposmia dan anosmia
 Gejala Tambahan : nyeri kepala, halitosis/bau mulut, nyeri daerah gusi atau
gigi rahang atas, batuk, nyeri telinga, kelelahan
 Gejala factor resiko, jika ada :
- Curiga rhinitis alergi : gejala ingus encer, bersin, hidung gatal jika
terpajan allergen
- Curiga refluks laringofariengeal : gejala suara serak, ingus belakang
hidung, rasa mengganjal di tenggorok, rasa panas di dada
 Dapat disertai keluhan gangguan kualitas tidur
 Jika terdapat keluhan bengkak di mata, penglihatan ganda, penurunan
penglihatan, nyeri dan bengkak di dahi yang berat, nyeri kepala berat dengan
kaku kuduk dipikirkan kemungkinan komplikasi sinusitis ke orbita atau
intracranial.

Pemeriksaan fisik4,5
 Pemeriksaan rinoskopi anterior dan atau nasoendoskopi dapat ditemukan:
- Secret mukopurulen dari meatus medius
- Edema dan/atau hiperemis dan/atau polip di meatus medius
- Ingus di belakang hidung
- Septum deviasi/konka paradox/defleksi prosesus unsinatus ke lateral
 Dapat ditemukan bengkak dan nyeri tekan di pipi dan kelopak mata bawah
(pada sinus maksila)
 Dapat ditemukan bengkak dan nyeri di dahi dan kelopak mata atas (pada
sinusitisi frontal)
 Dapat ditemukan tanda komplikasi sinusitis, berupa:
- Edema/hiperemis periorbita
- Diplopia
- Oftamoplegia
- Penurunan visus
- Tanda-tanda meningitis

Pus pada meatus medius


Pemeriksaan penunjang1,7
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak
lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.
Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri
yang merupakan flora normal atau kuman patogen, seperti Pneumokokus,
Streptokokus, Stafilokokus dan Haemofilus influenza. Selain itu mungkin ditemukan
juga virus atau jamur.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada
sinus yang sakit.

Gambaran suatu sinus yang opak


Selain foto waters, dapat dilakukan pemeriksaan CT scan sebagai salah satu
modalitas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi anatomi
dan patologi sinus. Staging sinusitis dapat dilakukan dengan menggunakan CT scan.
Stagging ini membantu dalam perencanaan operasi dan hasil terapi. Stagging
didasarkan pada perluasan penyakit setelah terapi medis. Stagging tersebut terbagi
atas:
- stage I : satu fokus penyakit
- stage II : penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid
- stage III : difuse yang responsif terhadap pengobatan
- stage IV : difuse yang tidak responsif dengan pengobatan.

CT Scan memperlihatkan penebalan mukosa sinus.

2.7 Pemeriksaan Radiologi8


Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi
sinus paranasal adalah:
1. Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas
2. Pemeriksaan CT-Scan
Dengan pemeriksaan radiologis, para ahli radiologi dapat memberikan
gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus
paranasal dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang
lebih dini.
1. Pemeriksaan Foto Kepala
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas
berbagai macam posisi, antara lain:
a. Foto kepala posisi anterior-posterior (AP atau posisi Caldwell)
b. Foto kepala lateral
c. Foto kepala posisi Waters
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
e. Foto Rhese
Keuntungan dari pemeriksaan foto polos ini dari sudut biaya cukup ekonomis
dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal. Sedangkan kerugian dari
pemeriksaan ini adalah banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang
tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan jaringan lunak dan erosi tulang
akan sulit untuk dievaluasi.
Posisi yang paling baik untuk melihat sinus paranasal adalah posisi waters dan
lateral. Posisi yang lainnya hanya merupakan posisi tambahan dan dilakukan hanya
pada saat diperlukan untuk menilai sinus-sinus tertentu.
a. Foto kepala posisi anterior-posterior (posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang
midsagital kepala tegak lurus pada film. Posisi ini didapat dengan meletakkan
hidung dan dahi diatas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal
(yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis
auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15
derajat kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion. Proyeksi ini memberikan
pandangan terbaik untuk sinus frontal dan pandangan cukup baik untuk sel-sel
etmoid, sedangkan sinus sfenoid sebagian tumpang tindih.


b. Foto kepala lateral
Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset dan film diletakkan pararel
terhadap bidang sagital utama tenggorokan. Posisi lateral kurang berarti
karena sinus paranasal kanan dan kiri saling tumpang tindih, baik yang
terpisah agak jauh seperti sinus maksila maupun yang hanya dipisahkan oleh
septum tulang seperti sinus frontal, etmoid, dan sfenoid. Perkembangan yang
asimetri kedua sisi, proses patologik pada satu sisi, atau perubahan pada
kedua sisi yang terjadi bersamaan, dapat memberikan kesan yang salah.

c. Foto kepala posisi Waters


Posisi ini adalah posisi yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi
ini adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah
antrum maksila sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya.
Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa
sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial
mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 35 derajat dengan film.
Proyeksi waters dengan mulut terbuka dapat memberikan pandangan terhadap
semua sinus paranasal, termasuk sinus sfenoid. Proyeksi ini juga memberikan
gambaran terbaik untuk antrum maksila, bahkan dapat memberikan evaluasi
yang tepat meskipun pada kelainan ringan kavum sinus. Foto rontgen ini
digunakan untuk melihat sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis,
rongga orbita, sutura zigomatiko frontalis, dan rongga nasal.
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
Posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada vertex,
kepala pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan
film. Banyak variasi-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks, agar
supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis kranii,
khususnya sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris. Posisi ini
memberikan gambaran yang baik untuk melihat dasar tengkorak. Dinding
tulang sinus maksila dan sfenoid tampak dengan baik. Dinding tulang etmoid
juga tampak, tetapi tumpang tindih dengan struktur hidung yaitu konka dan
palatum durum. Sedangkan sinus frontal ditutupi oleh bayangan mandibular.
1. Posisi Rhese (posisi kanalis optikus)
Posisi rhese atau oblik dilakukan dengan kepala diputar 45 derajat ke
arah sisi yang berlawanan untuk melihat kanalis optikum dna region
sfenoetmoid. Posisi ini baik untuk mengevaluasi kanalis optikus dan bagian
posterior sinus etmoid karena bebas dari tumpang tindih dengan sisi satunya.
2. Pemeriksaan CT-Scan9

Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat


unggull untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis
dengan baik tulang- tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak.
Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi-geligi,
sinus-sinus dan palatum, termasuk ekstensi, intrakranial dari sinus frontalis.
Hasil pemeriksaan CT-Scan lebih akurat dibandingkan dengan
radiografi konvensional, karena CT-Scan dapat memberikan gambaran lesi
tulang dan jaringan lunak sekitarnya secara lebih jelas. CT-Scan dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis dan menggambarkan invasi lokal
kedalam jaringan lunak yang berdekatan. CT-Scan menggambarkan
kandungan air yang tinggi pada lesi melalui atenuasi yang rendah (hipodens).
Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah memiliki resolusi kontras
yang baik dan memberikan detail anatomis yang tepat. Sedangkan kerugian
dari pemeriksaan ini adalah biaya yang tinggi untuk peralatan dan
pemindaian dan menimbulkan radiasi ionisasi dosis tinggi pada setiap
pemeriksaan.
Irisan melalui bidang IOM dapat menyajikan anatomi paranasalis
dengan baik dan gampang dibandingkan dengan atlas standar cross section.
Dapat juga mempelajari nervus optikus dan mengevaluasi orbita, sehingga
baik pula untuk melihat komplikasi sinusitis. Pada pemeriksaan ini, gampang
sekali membandingkan sisi kanan dan sisi kiri, serta dapat memperlihatkan
volume, penyakit/kelainan jaringan lunak diantara tulang-tulang atau erosi
yang kecil.
Pada pemeriksaan sinusitis akut dapat dilihat tingkat air fluid,
penebalan mukosa, dan completeopacification sinus. Apabila terdapat darah
di sinus misalnya karena trauma, mungkin dapat meniru air fluid level dalam
sinus, namun mudah dibedakan dengan pengukuran kepadatan. Dalam
sinusitis kronis, dapat ditemukan penebalan mukosa, completeopacification,
maupun remodeling tulang.

2.6 Penatalaksanaan3,4
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi).
Penatalakanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis akut, yaitu:
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/kgbb/hari) yang merupakan
first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat diberikan
amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-14 hari.
Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum
diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90
mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi
diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson dengan klindamisin
dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.

Terapi tambahan: Terapi tambahan meliputi pemberian antihistamin,


dekongestan, dan steroid.
Antihistamin: antihistamin merupakan kontra indikasi pada sinusitis, kecuali
jelas adanya etiologi alergi. Pemberian antihistamin dapat mengentalkan sekret
sehingga menimbulkan penumpukan sekret di sinus,dan memperberat sinusitis.
Dekongestan: dekongestan topikal seperti oksimetazolin, penileprin akan
menguntungkan jika diberikan pada awal tata laksana sinusitis. Aktifitasnya akan
mengurangi edem atau inflamasi yang mengakibatkan obstruksi ostium,
meningkatkan drainase sekret dan memperbaiki ventilasi sinus. Pemberian
dekongestan dibatasi sampai 3-5 hari untuk mencegah ketergantungan dan rebound
nasal decongestan. Pemberian dekongestan sistemik, seperti penilpropanolamin,
pseudoefedrin dapat menormalkan ventilasi sinus dan mengembalikan fungsi
pembersih mukosilia. Dekongestan sistemik dapat diberikan sampai 10-14 hari.
Steroid : steroid topikal dianjurkan pada sinusitis kronis. Steroid akan
mengurangi edem dan inflamasi hidung sehingga dapat memperbaiki drainase sinus.
Untuk steroid oral, dianjurkan pemberiannya dalam jangka pendek mengingat efek
samping yang mungkin timbul.
Diatermi: Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu
penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.
Pembedahan: Untuk pasien yang tidak responsif dengan terapi medikamentosa
yang maksimal, tindakan bedah perlu dilakukan. Indikasi bedah apabila ditemukan
perluasan infeksi intrakranial seperti meningitis, nekrosis dinding sinus disertai
pembentukan fistel, pembentukan mukokel, selulitis orbita dengan abses dan
keluarnya sekret terus menerus yang tidak membaik dengan terapi konservatif.

2.6 Komplikasi
Komplikasi Orbita
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita
yang tersering, kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan
terjadinya komplikasi orbita ini.
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis
d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur
dengan isi orbita
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran
bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya
terbentuk suatu tromboflebitis septic.
Gambar 6. Komplikasi penyakit sinus pada orbita

Komplikasi Intrakranial
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses
otak.
Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial

Kelainan Paru
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis.
Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial.

2.7 Prognosis5
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari
keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).
Keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri atau
tekanan pada wajah dan sekret purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan (post
nasal drip).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pasien akan mengeluhkan keluhan sesuai
dengan manifestasi klinis sinusitis. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan
pemeriksaaan rinoskopi anterior dan pemeriksaan fisik pada daerah wajah.
Pemeriksaan radiologi yang penting untuk dilakukan adalah pemeriksaan foto polos
konvensional dimana dapat dilakukan proyeksi waters tunggal atau dengan tambahan
proyeksi lateral merupakan proyeksi yang paling baik dalam menilai keadaan sinus
paranasal, sedangkan untuk gold standard dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan.
Pemeriksaan CT-Scan memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan foto polos
konvensional karena dapat memberikan gambaran anatomis yang lebih jelas, dan
dapat digunakan untuk mengevaluasi komplikasi yang dapat ditimbulkan dari
sinusitis.
Prinsip penatalaksanaan sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik, baik secara medikamentosa
maupun pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta:
FKUI, 2010.
2. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
3. Anonim. 2005. Sinusitis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, ed. 3. Media
Ausculapius FK UI. Jakarta : 102-106
4. Soetjipto D., Wardhani RS. Guideline Penyakit THT diIndonesia, PP.
PERHATI-‐KL, 2007, hal 63
5. Trimartani. Dalam: Panduan Praktik Klinis di Bidang Telinga Hidung
Tenggorok – Kepala Leher. PERHATI-KL, 2015.
6. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger.
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders
Company,2011: p.49 – 270
7. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi
Sinusitis. Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional Juni 2000.p 8-9
8. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. 2-9
9. Kusuma, I. T. Jenis Gigi sebagai Faktor Penyebab Sinusitis Maksila ditinjau
secara CT-Scan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.
Makassar, 2014.

Anda mungkin juga menyukai