Anda di halaman 1dari 36

SMF/Bagian Ilmu Radiologi LAPORAN KASUS

RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Oktober 2019


Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

TUMOR COLON

Disusun Oleh:
Yolanda Yasinta Ina Tuto, S.Ked
(1508010035)
Pembimbing:
dr. Herman P. L. Wungouw, Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

Secara epidemiologis, angka kejadian kanker kolorektal mencapai urutan ke-4


di dunia dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan
dengan perbandingan 19.4 dan 15.3 per 100.000 penduduk (Abdullah, 2006).
Kanker kolorektal adalah penyebab kematian kedua terbanyak dari seluruh
pasien kanker di Amerika Serikat. Kanker usus besar dan rektum adalah penyebab
paling umum ketiga kematian kanker pada wanita (setelah kanker paru-paru dan
payudara) dan penyebab yang paling umum ketiga kematian kanker pada laki-laki
(setelah kanker paru-paru dan prostat). Lebih dari 150.000 kasus baru terdiagnosis
setiap tahunnya di Amerika Serikat dengan angka kematian per tahun mendekati
angka 60.000 (www. Medicineworld, 2010)
Penyakit tersebut paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia,
Selandia Baru dan sebagian Eropa. Kejadiannya beragam di antara berbagai populasi
etnik, ras atau populasi multietnik/multi rasial. Secara umum didapatkan kejadian
kanker kolorektal meningkat tajam setelah usia 50 tahun, fenomena ini dikaitkan
dengan pajanan terhadap berbagai karsinogen dan gaya hidup. Di Amerika Serikat
rata-rata pasien kolorektal adalah berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian
terjadi pada mereka yang berumur di atas 55 tahun (Abdullah, 2006).
Di Indonesia, menurut laporan registrasi kanker nasional, didapatkan angka
yang berbeda. Didapatkan kecenderungan untuk umur yang lebih muda dibandingkan
dengan laporan dari negara barat. Untuk usia di bawah 40 tahun data dari Bagian
Patologi Anatomi FKUI didapatkan angka 35,36% (Abdullah, 2006).
Distribusi kanker kolorektal menurut lokasinya dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
6.8%

8.7% 11.7%

Sekum Sigmoid
1.9% 9.7%

51.5%

(sumber : Abdullah, 2006).


Penegakan diagnosis kanker kolon dilakukan berdasarkan hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik selain itu diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti,
pemeriksaan radiologi, patologi anatomi dan laboratorium. Pemeriksaan radiologi
pada penyakit kanker kolon adalah barium enema, kolonoskopi, Ultrasonografi, dan
CT-Scan.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. TN
Tanggal lahir : 20 Mei 1944
Umur : 75 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
No. MR : 516425

2.2 RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Keluhan Utama
BAB darah sejak 3 hari lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan mengeluhkan BAB disertai dengan darah segar sejak 3
hari yang lalu. Awalnya pasien mengaku sudah sulit BAB sejak 1 tahun lalu, BAB
masih normal tetapi jarang (±1 minggu sekali). Pasien selanjutnya mengeluhkan BAB
kecil-kecil seperti kotoran hewan sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan
nyeri perut dan perut semakin membesar. Mual dan muntah (-). Berat badan pasien
dirasakan sangat berkurang sejak 1 tahun lalu (±10kg). Pasien pertama kali
memeriksakan diri ke poli bedah RSUD WZ Johannes pada bulan Juli 2019.
Riwayat penyakit Dahulu :
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan serupa. Pasien juga tidak
memiliki riwayat penyakit kronis sebelumnya.
Riwayat Keluarga :
Keluarga kandung pasien tidak ada yang memiliki penyakit serupa dengan
pasien.
2.3 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : tampak sakit sedang.
 Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
 Tanda Vital :
 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Nadi : 74x/menit, reguler
 Pernapasan : 23x/menit
 SpO2 : 96%
 Suhu : 37ºC
 Kulit : pucat (-), sianosis (-), ikterik (-)
 Kepala :
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil 3mm/3mm
isokor, RCL +/+, RCTL +/+
 Telinga : dalam batas normal
 Hidung : dalam batas normal
 Mulut : dalam batas normal
 Leher : Pembesaran KGB (-)
 Toraks : normothorax
 Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicula sinistra
Perkusi :
 Batas atas ICS 2 linea parasternal sinistra
 Batas bawah ICS 5 linea midclavicularis sinistra
 Batas kanan ICS 2-4 linea parasternal dextra
 Batas kiri ICS 3-5 linea midklavikula sinistra
Auskultasi : BJ1-2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), taktil fremitus D=S
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen
Inspeksi : distensi (+)
Auskultasi : bising usus (+) terkesan menurun di lower left quadran.
Palpasi : supel, hepatomegaly (+) nyeri tekan (+)
Perkusi : redup (+)
 Ekstremitas : Edema (-), akral hangat, CRT <2 detik

2.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hematologi Rutin (10 September 2019)
Leukosit 12,50 103/µL 4,0 - 10,0
Limfosit # 1,75 103/µL 1,0 - 3,70
Monosit # 1,71 103/µL 0,0 – 0,70
Neutrofil # 8,25 103/µL 1,50 – 7,0
Eosinofil# 0,73 103/µL 1,0 – 5,0
Basofil# 5,0 103/µL 0-1
Hemoglobin 13,2 g/dL 13,0-18,0
Eritrosit 6,29 103/µL 4,50-6,20
Hematokrit 41,2 % 40,0-54,0
MCV 65,5 fL 81,0-96,0
MHC 21,0 pg 27,0-36,0
MCHC 32,0 g/dL 37-54
Trombosit 416 103/µL 150-400
Kimia Darah ( 10 September 2019 )
BUN 8,0 mg/dL < 48
Kreatinin 0,71 mg/dL 0,7 – 1,3
SGOT 83 U/L < 35
SGPT 43 U/L < 41

2.5 PEMERIKSAAN RADIOLOGI


 Ultrasonography
Tanggal pemeriksaan : 17 Juli 2019
Jenis pemeriksaan : USG Abdomen
Hasil Foto :
Hasil Pembacaan Foto :
1) Hepar : agak membesar, bentuk normal, struktur parenkim normal dengan
ekogenitas sedikit meningkat, tampak multiple lesi nodular iso –
hiperekoik dengan diameter bervariasi 1,5 – 5,3 cm tersebar merata di
kedua lobus. Vascular tampak agak menyempit, tidak tampak thrombus
pada vena hepatica dan vena porta. Ductus bilier tidak melebar.
2) Ren dextra et sinistra: ukuran dan bentuk normal, permukaan rata, ratio
parenkim – sinus normal, tampak multiple kalsifikasi halus di sinus renal
bilateral, system pelvikokalises tidak melebar.
3) Tampak penebalan cenderung simetris dinding kolon sepanjang ± 11-12
cm di kuadran bawah abdomen disertai penyempitan lumen dan tanpa
peristaltic.
4) Gall bladder, pancreas, lien, vesica urinaria, dan prostat : dalam batas
normal.
5) Tidak tampak cairan bebas intraabdomen.
Kesan :
Massa intramural pada colon sigmoid yang menyebabkan penyempitan
lumen kolon tersebut dan telah bermetastasis ke hepar.
Kalsifikasi multiple halus di sinus renal bilateral dd/ nephrolithiasis
bilateral dengan batu-batu halus menyerupai pasir, tanpa bendungan.

 CT-Scan
Tanggal pemeriksaan : September 2019
Jenis pemeriksaan : MSCT Abdomen tanpa dan dengan kontras.
Klinis : susp. tumor colon sigmoid, metastasis hepar, sulit
BAB – keluar seperti kotoran kambing.
Hasil Foto :
Hasil Pembacaan Foto:
1) Tampak massa solid, irregular, sirkuler, di colon sigmoid sepanjang
±7,9cm yang menyebabkan penyempitan lumen colon sigmoid di sekitar
massa
2) Tampak dilatasi colon proksimal dari massa
3) Hepar : ukuran membesar, tampak multiple lesi hypodense irregular
dengan ukuran terkecil 1,5cm dan terbesar 6cm di lobus kanan-kiri hepar,
IHBD/EHBD normal, VP/VH normal
4) Tampak densitas cairan bebas ekstralumen intraabdomen minimal di
perihepatic dan paracolic sekitar massa colon sigmoid
5) Gallbladder : ukuran normal, tak tampak penebalan dinding GB, tak
tampak sludge/batu/massa
6) Pankreas : ukuran normal, densitas parenchym normal, tak tampak
massa/kista/kalsifikasi, tak tampak dilatasi ductus
7) Lien : ukuran normal, densitas parenchym normal, tak tampak
nodul/kista/massa
8) Ginjal kanan : ukuran normal, densitas parenchym normal, tak tampak
ektasis pelvicocalyceal, tak tampak batu/kista/massa
9) Ginjal kiri : ukuran normal, densitas parenchym normal, tak tampak
ektasis pelvicocalyceal, tak tampak batu/kista/massa
10) Buli : terisi urine, tak tampak penebalan dinding buli, tak tampak
batu/massa
11) Prostat : ukuran normal, densitas parenchym normal, tak tampak
massa/kalsifikasi
12) Tak tampak densitas cairan bebas di cavum pleura kanan-kiri.
Kesan:
- Massa solid, irregular, sirkuler, di colon sigmoid sepanjang ±7,9cm
yang menyebabkan penyempitan lumen colon sigmoid di sekitar
massa: susp. Ca colon sigmoid yang menyebabkan dilatasi colon
proksimal dari massa (ileus obstruktif letak rendah)
- Hepatomegaly e.c multiple lesi hypodense irregular dengan ukuran
terkecil 1,5cm dan terbesar 6cm di lobus kanan-kiri hepar (metastase
proses di hepar)
- Ascites intraabdomen minimal di perihepatic dan paracolic sekitar
massa colon sigmoid.

2.6 ASSESSMENT
- Susp. Ca colon sigmoid
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kanker Usus Besar (Colon)


Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca Colon atau Kanker Usus Besar
adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus
buntu).

2.2 Patofisiologi
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik
dan faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah melewati
rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan
berbagai perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker
kolorektal (herediter dan sporadik) tidak muncul secara mendadak melainkan melalui
proses yang diidentifikasikan pada mukosa kolon (seperti pada displasia adenoma)
(Abdullah, 2006).
Faktor lingkungan yang berperan pada karsinogenesis kanker kololrektal dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
Faktor Lingkungan Yang Berperan Pada Karsinogenesis Kanker Kololrektal
1. Probably related
a. Konsumsi diet lemak tinggi
b. Konsumsi diet lemak rendah
2. Possibly related
a. Karsinogen dan mutagen
b. Heterocyclic amines
c. Hasil metabolisme bakteri
d. Bir dan konsumsi alkohol
e. Diet rendah selenium
3. Probably protektif
a. Konsumsi serat tinggi
b. Diet kalsium
c. Aspirin dan OAINS
d. Aktivitas fisik (BMI rendah)
4. Possibly protekstif
a. Sayuran hijau dan kuning
b. Makanan dengan karoten tinggi
c. Vitamin C dan E
d. Selenium
e. Asam folat
5. Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor
6. Hormone Replacement Theraphy (estrogen)
(Sumber : Abdullah, 2006).
Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang
mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan
adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah mutasi yang
mempercepat pertumbuhan sel. Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan instabilitas
genom dan berujung pada kanker kolorektal yaitu : instabilitas kromosom
(Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas mikrosatelit (Microsatellite
Instability atau MIN). Umumnya asl kenker kolon melalui mekanisme CIN yang
melibatkan penyebaran materi genetik yang tak berimbang kepada sel anak sehingga
timbulnya aneuploidi. Instabilitas mikrosatelit (MIN) disebabkan oleh hilangnya
perbaikan ketidakcocokan atau missmatch repair (MMR) dan merupakan
terbentuknya kanker pada sindrom Lynch (Abdullah, 2006).
Gambar di bawah ini menunjukkan mutasi genetik yang terjadi pada perubahan
dari adenoma kolon menjadi kanker kolon.

Awal dari proses terjadinya kanker kolon yang melibatkan mutasi somatik
terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC mengatur kematian
sel dan mutasi pada gen ini menyebabkan pengobatan proliferasi yeng selanjutnya
berkembang menjadi adenoma. Mutasi pada onkogen K-RAS yang biasnya terjadi
pada adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan sel yang tidak normal (Abdullah, 2006).
(Sumber : http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/C/Cancer.html)

Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen
supresor tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat
proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel
dengan kerusakan DNA tetap dapat melakukan replikasi yang menghasilken sel-sel
dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan
sejumlah segmen pada kromosom yang berisi beberapa alele (misal loss of
heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supresor tumor yang lain
seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan transformasi akhir menuju
keganasan (Abdullah, 2006).
Perubahan genetik yang terjadi selama evolusi kanker kolorektal dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
(sumber : Abdullah, 2006).

2.4 Stadium dan Faktor prognostis


Stadium dan faktor prognostis kanker kolorektal dapat dilihat pada tabel dan
gambar di bawah ini:
Stadium Deskripsi histopatologi Bertahan 5
Dukes TNM Derajat tahun (%)
A T1N0M0 I Kanker terbatas pada >90
mukosa/submukosa
B1 T2N0M0 II Kanker mencapai muskularis 85
B2 T3N0M0 III Kanker cenderung 70-80
masuk/melewati mukosa
C TxN1M0 IV Tumor melibatkan KGB 35-65
regional
D TxN2M1 V Metastasis 5
(sumber : Abdullah, 2006).

Harapan hidup pasien dengan kanker kolon bergantung pada derajat penyebaran
saat pasien datang. Prognosis pasien berhubungan dengan dalamnya penetrasi tumor
ke dinding kolon, keterlibatan KGB regional atau metastasis jauh, penyebaran lokal
yang dapat menyebabkan perlekatan dengan struktur yang tak dapat diangkat, dan
derajat histologi yang tinggi. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan
sistem staging yang dimodifikasi dari skala Dukes-Turnbull. Untuk semua pasien
hasil kelangsungan hidup adalah sekitar 25% tetapi pada pasien yang bisa diobati
dengan reseksi meningkat menjadi 50% dan jika tidak menembus seluruh ketebalan
dinding kolon maka harapan hidupnya hampir normal. Kriteria terpenting adalah
keterlibatan KGB regional saat dilakukan reseksi primer, pasien dengan tumor yang
belum menembus dinding kolon dan belum terdapat keterlibatan KGB regional
mempunyai harapan hidup 90%, tapi bila KGB regional sudah terlibat angka harapan
hidup menurun tinggal 40%. Jumlah KGB regional yang terlibat juga penting, karena
apabila lebih dari 3 KGB regional terlibat angka harapan hidup menjadi lebih rendah
yaitu 15-26%. Pada intinya kanker yang sudah menunjukkan gejala biasanya pada
stadium yang sudah parah dan angka harapan hidup secara keseluruhan ahanya
berkisar 50%. Prognosis yang buruk juga terjadi pada pasien dengan usia muda,
menderita kanker koloid, dan menunjukkan gejala obstruksi atau perforasi
(Roediger, 1994).
Klasifikasi kanker kolorektal menurut Dukes-turnbull dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :

(sumber : Abdullah, 2006)


2.5 Gejala
Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan
umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan
yang paling sering dirasakan pasien adalah perubahan pola buang air besar,
perdarahan per anus (hematosezia dan konstipasi). Kanker ini umumnya berjalan
lamban, keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagaia bagian dari komplikasi seperti
obstruksi. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum, kolon desendens
dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih sempit daripada kolon yang
proksimal. Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila
obstruksi total terjadi akan menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi.
Kanker kolon dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami
ulserasi. Meskipun perdarahan umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada
sebagian kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai hematoseczhia
atau darah tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering disertai dengan
anemia defisiensi besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria,
infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat terjadi
bilamana tumor tersebut menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula antara kolon
dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor ke
lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan
nyeri perut, ikhterus dan hipertensi portal (Abdullah, 2006).
Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi kanker di
dalam usus besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-kira enam kali
lebih besar daripada daerah sigmoid dan mengandung aliran fekal yang cair. Tumor
yang terletak di usus bagian kanan walaupun besar cenderung menggantung
(fungating) dan lunak, yang tidak tumbuh mengelilingi usus. Sebagai salah satu
akibatnya gejala dari tumor yang timbul di kolon kanan tidak disebabkan oleh
obstruksi walaupun pasien dapat mengalami rasa yang tidak enak atau kolik di
abdomen yang samar-samar. Lebih sering, penyakit disertai dengan kehilangan darah
kronis yang dideteksi dengan tes darah samar. Sebaliknya tumor di daerah kiri
cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan fungsi normal dalam daerah ini
adalah sebagai penyimpan massa feses yang keras. Gejala obstruksi akut atau kronis
adalah gambaran klinis yang penting. Di samping itu pasien dapat mengalami
perubahan dalam pola defekasi (bowel habits), memerlukan laksatif, atau penurunan
kaliber feses. Perdarahan adalah lebih jelas, dengan darah gelap atau darah merah
yang melapisi permukaan feses (Schein, 1997).
Gambaran klinis kanker kolorektal tergantung pada tempat tumor. Sekitar
seperempat tumor usus besar terletak pada kolon kanan. Kolon transversal dan kolon
desenden relatif jarang terkena, sehingga kebanyakan tumor terletak pada kolon
sigmoid dan rektum. Gejala berdasarkan lokasi kanker dibagi menjadi (Jones &
Schofield, 1996):
Kolon kanan
a. Pasien dengan obstruksi : sekitar seperempat pasien datang dengan tanda
obstruksi usus kecil di bagian bawah yaitu kolik, muntah, konstipasi dan distensi.
Foto polos abdomen memperlihatkan dilatasi usus kecil.
b. Tanpa obstruksi : banyak pasien yang datang tanpa obstruksi tiadak
mempunyai gejala yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Mereka
memberikan riwayat anemia dan penurunan berat badan akibat perdarahan
gastrointestinal samar. Gejala yang kompleks ini memberikan kemungkinan
karsinoma lambung, tetapi karsinoma kolon kanan (yang seharusnya lebih
membutuhkan terapi) seringkali terlewatkan. Diagnosis ditegakkan dengan
ditemukannya massa yang dapat dipalpasi dalam fossa iliaka kanan. Apakah ini ada
atau tidak, seluruh kolon harus diperiksa dengan kolonoskopi atau pada pemeriksaan
barium enema.
Kolon kiri
a. Pasien dengan obstruksi : pada semua 25-30% pasiendatang dengan lesi pada
kolon kiri datang sebagai pasien gawat darurat. Pasien dapat menderita perforasi
dengan abses perikolik atau bahkan peritonitis umum tetapi lebih sering obstruksi
usus besar. Sejauh ini penyebab paling umum dari obstruksi usus besar adalah
karsinoma, penting untuk menyingkirkan penyebab lain yang mungkin dapat
ditangani dengan terapi konservatif. Pemeriksaan barium enema darurat diindikasikan
pada semua kasus obstruksi usus besar untuk mengkonfirmasi derajat obstruksi dan
untuk mendiagnosis pseudo-obstruksi yang tidak membutuhkan pembedahan.
Kolonoskopi darurat telah dianjurkan sebagai alternatif dari pemeriksaan barium
enema.
b. Pasien tanpa obstruksi : gangguan kebiasaan defekasi merupakan keluhan
pasien yang datang tanp obstruksi. Hal ini bisa berupa konstipasi yang meninkat,
diare atau berubah-ubah antara kedua hal tersebut, pasien biasanya menemukan darah
bersama feses dan mengeluh nyeri atau rasa tidak enak pada abdomen bawah.
Penurunan berat badan umum ditemukan dan pada umumnya merupakan tanda yang
buruk. Karsinoma kadang-kadang bisa diraba dengan palpasi abdomen.
Karsinoma rektum
Pasien dengan karsinoma rektum hampir tidak pernah datang sebgai pasien
gawat darurat. Pasien mengalami perdarahan yang jelas melalui rektum. Mungkin
terdapat perubahan kebiasaan defekasi dan sering tenesmus, perasaan defekasi yang
belum selesai dengan keinginan defekasi yang berulang-ulang, tetapi yang keluar
hanya lendir dan darah. Tumor sampai 10 cm dari anal biasanya dapat dilihat dengan
sigmoidoskopi.
2.6 Pendekatan diagnosis
Pada pasien dengan gejala keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari
beberapa tanda seperti : anemia mikrositik, hematozesia, nyeri perut, berat badan
turun atau perubahan defekasi oleh sebab itu perlu segera dilakukan pemeriksaan
endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di feses memperkuat dugaan
neoplasma namun bila tidak ada darah samar tidak dapat menyingkirkan lesi
neoplasma.
Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon memberikan
hasil normal. Perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat dideteksi melalui
darah samar feses atau anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip
kolon dengan spesifitas 85%. Bagian rektosigmoid sering untuk divisualisasi oleh
karena itu pemeriksaan rektosigmoideskopi masih diperlukan. Bilamana ada lesi yang
mnecurigakan pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaaan
lumen barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi
namun pemeriksaan ini sering tak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema
barium cukup efektif untuk memeriksa memeriksa bagian kolon di balik striktur yang
tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.
Gambaran radiologi kanker kolon dengan menggunakan pemeriksaan barium
enema dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

(sumber : Abdullah, 2006).

Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang sangat akurat
dan dapat sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan
kolon yang lengkap dapat mencapai >95% pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul
dapat dikurangi dengan pemberian obat penenang intravena meskipun ada risiko
perforasi dan perdarahan. Kolonoskopi dengan enema barium terutama untuk
mendeteksi lesi kecil seperti adenoma. Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik pada
pasien yang diperkirakan menderita polip kolon. Kolonskopi mempunyai sensitivitas
95% dan spesitivitas 99% paling tinggi untuk mendeteksi polip adenomatous, di
samping itu dapat melakukan biopsi untuk menegakkan diagnosis secara histologis
dan tindakan polipektomi penting untuk mengangkat polip.
Evaluasi histologis
Adenoma diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histologi yang dominan,
yang paling sering adalah adenoma tubular 85%, adenoma tubulovisum 10% dan
adenoma serrata 1%. Temuan sel atipik pada adenoma dikelompokkan menjadi
ringan, sedang dan berat. Gambaran atipik berat menunjukkan adanya fokus
karsinomatosus namun belum menyentuh membran basalis. Bilamana sel ganas
menembus membran basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut
karsinoma intramukosa. Secara umum displasi bearat atau adenokarsinoma
berhubungan dengan dengan ukuran polip dan dominasi jenis vilosum.
Gambaran histologis kanker kolon bisa dilihat pada gambar di bawah ini :

(sumber : Abdullah, 2006)

Diagnosis kanker kolon melalui sigmoidoskopi, barium enema atau


kolonoskopi dengan biopsi harus diikuti dengan prosedur penentuan stadium untuk
menentukan luasnya tumor. Pemeriksaan CT scan abdomen dan radiografi dada harus
dilakukan, adanya tumor yang terloksalisir biasanya mengharuskan pembedahan
radikal untuk mengeksisi tumor secara total dengan tepi minimal 6 cm dan dengan
reseksi en bloc pada semua kelenjar getah bening di akar mesenterium (Schein, 1997)
Deteksi dini pada pasien tanpa gejala
Deteksi dini pada masyarakat luas dilakukan dengan beberapa cara, seperti : tes
darah samar dari feses, dan sigmoidoskopi. Pilihan lain berdasarkan waktu antara
lain: FOBT (Fecal Occult Blood test) setahun sekali, sigmoidokopi fleksibel setiap 5
tahun, enema barium kontras ganda setiap 5 tahun dan kolonoskopi setiap 10 tahun
(Abdullah, 2006).
Klasifikasi yang dipakai untuk kanker kolorektal dini dapat dilihat pada gambar
di bawah ini :

(Sumber : Abdullah, 2006).


Diagnosis
Diagnosis pada pasien dapat dilakukan sesuai bagan di bawah ini:
(Diadaptasi dari Winawer SJ, Fletcher RH, Miller L, Godlee F, Stolar MH, Mulrow CD, et al.
Colorectal cancer screening: clinical guidelines and rationale. Gastroenterology
1997;112:594-642 [Published errata in Gastroenterology 1997;112:1060 and 1998;114:635].)

2.7 Penatalaksanaan
Meskipun adenoma kolon merupakan lesi pre maligna, namun perjalanan
menjadi adenokarsinoma belum diketahui. Pengamatan jangka panjang menunjukkan
bahwa perkembangan menjadi adenokarsinoma dari polip 1 cm 3% setelah 5 tahun,
8% setelah 10 tahun dan 24% setelah 20 tahun diagnosis ditegakkan. Pertumbuhan
dan potensi ganas bervariasi secara substansial. Rata-rata waktu yang dibutuhkan
untuk perubahan adenoma menjadi adebikarsinoma adalah 7 tahun, laporan lain
menunjukkan polip adenomatous dengan atipia berat menjadi kanker membutuhkan
waktu rata-rata 4 tahun dan bila atipia sedang 11 tahun (Abdullah, 2006).
Kemoprevensi
Obat Anti Inflamatori Steroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan
dengan penurunan motalitas kanker kolon. Bebrapa OAIN seperti sulindac dan
celecoxib telah terbukti sewcara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma
pada pasien dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Data epidemiologi
menunjukkan adanaya penurunan risiko kanker di kalangan pemakai OAIN namun
bukti yang mendukung manfaat pembrian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah
kanker kolon sporadik masih lemah. (FKUI)
Endoskopi dan operasi
Umumnya polip adenomentasi dapat diangkat dengan tingkat polipektomi. Bila
ukuran <5mm maka pengangkatan cukup dengan biopsi atau elektrokoagulasi
bipolar. Di samping polipektomi dapat diatasi dengan operasi, indikasi untuk
hemikolektomi adalah tumor di caecum, kolon ascenden, kolon transversum tetapi
lesi di fleksura lienalis dan kolon desenden di atasi dengan hemikolektomi kiri.
Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan tindakan Low
Anterior Resection (LAR). Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila
operasi dikerjakan secara emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi.
Reseksi terhadap metastasis di hepar dapat memberikan hasil 23-35% rata-rata bebas
tumor.
Beberapa contoh tindakan polipektomi dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

(sumber : Abdullah, 2006)


Terapi utama untuk kanker usus besar adalah pembedahan dengan eksisi luas,
mencakup daerah drainase limfe yang tepat. Untuk kebanyakan pasien, eksisi yang
tepat adalah hemikolektomi kiri atau kanan, tetapi pada beberapa pasien dengan
beberapa adenoma dan pasien muda dengan kanker, beberapa ahli bedah
menyarankan kolektomi total dan anastomosis ileorektal (Jones dan Schofield, 1996).

a. Kanker kolon kanan


kanker kolon kanan dengan atau tanpa obstruksi diterapi dengan hemikolektomi
kanan dan anstomosis promer. Reseksi diindikasikan meskipun ada metastasis
hepatik, karena reseksi merupakan paliasi terbaik. Pada pasien dengan obstruksi yang
nyata, operasi harus dilakukan sebagai tindakan darurat. Kadang-kadang reseksi tidak
mungkin dilakukan, dan ahli bedah harus memintas tumor dengan menganastomosis
ileum ke kolon transversal.
Pengangkatan usus kanan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)


b. Kanker kolon kiri
Jika tidak ada obstruksi usus, maka terpai pilihan untuk kanker kolon kiri
adalah eksisi luas dengan hemikolektomi kiri atau kolektomi sigmoid dengan
anstomosis primer. Reseksi dilakukan meskipun ada tumor sekunder dari hepar,
karena reseksi memberikan paliasi terbaik. Kolostomi saja tidak pernah
dipertimbangkan bila tidak ada obstruksi, karena mempunyai nilai paliatif yang kecil.
Hemikolektomi kiri dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)
Pada kasus dengan obstruksi kolon kiri, metode tradisional yang digunakan
adalah prosedur 3 tahap:
1. Kolostomi saja
2. Reseksi dengan anastomosis
3. Penutupan kolostomi
Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya kecenderungan ke arah reseksi
sebagai prosedur primer. Seringkali tidak dilakukan anastomosis pada operasi darurat.
Kolon atas yang tersisa dikeluarkan seperti pada kolostomi, dan kolon bawah
dikeluarkan (dengan menghasilkan fistula mukus) atau ditutup (dengan prosedur
Hartmann). Operasi kedua dapat dilakukan jika pasien sudah benar-benar pulih dan
kesinambungan usus dapat dipertahankan.
Tindakan lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara tidak hanya mereseksi tumor
tetapi juga melakukan anastomosis primer. Hal ini dibantu dengan pembilasan kolon
di atas meja operasi, yang membersihkan kolon dari feses dan mengurangi
disproporsi ukuran antara usus yang di atas dan di bawah karsinoma yang direseksi.
Pilihan lebih lanjut adalah melakukan kolektomi subtotal dan anastomosis usus kecil
ke sisa kolon distal atau rektum.
Karsinoma rektum
Karsinoma setengah bagian atas rektum yang dioperasi dapat dieksisi secara
adekuat dan dianastomosis dengan baik. Prosedur ini disebut reseksi anterior dan
rektum. Anastomosis dapat dilakukan dengan penjahitan manual, tetapi dengan
adanya alat stapler sirkuler secara teknik mempermudah untuk dilakukannya
beberapa reseksi anterior. Prosedur reseksi pada kaarsinoma rektum dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :

(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)


Pilihan terapi untuk kanker rektum bagian bawah lebih bervariasi, terapi standar
untuk tumor <6cm dari tepi anal masih dengan eksisi abdominoperineal rektum
dengan kolostomi ujung. Terapi pilihan lain dapat dipertimbangkan. Beberapa tumor
yang berdiameter 5-6 cm dapat ditangani dengan eksisi rektal dan anstomosis
koloanal. Pada tumor kecil yang berdiameter kurang dari 3-4 cm tanpa terlihat
penyebaran ekstra rektal, terapi lokal mungkin efektif; dengan pemilihan cermat,
hasil akhir dapat sangata baik. Metode yang memuaskan adalah eksisi lokal,
dekstruksi dengan diatermi dan radioterapi lokal.
Terapi ajuvan
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi.
Kemoterapi ajuvan dimaksudakan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolon
setelah operasi. Pasien dengan kriteria Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU
secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor.
Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada pasien dengan kriteria Dukes B.
Irinotecan (CPT11) inhibitor topoisomer dapat memperpanjang masa harapan hidup.
Oxaliplatin analog platinum juga memperbaiki respon setelah diberikan 5FU dan
leucoverin. Manajemen kanker kolon yang tidak reseksibel meliputi : Nd-YAG foto
koagulasi laser dan self expanding metal endoluminal stent.
Pemilihan terapi pada pasien disesuaikan dengan stadium penyakitnya, seperti
gambar dibawah ini:

Pertimbangan untuk melakukan terapi bedah dilakukan berdasarkan stadium


kanker pasien, seperti bagan bawah ini:

Penentuan stadium

A B C

Tumor metastasis
Tumor Dukes A dan B1 Tumor Dukes B2 dan C

Pembedahan
Pembedahan radikal Pembedahan radikal
paliatif

(sumber : Schein, 1997)


Keterangan :
A. Tumor dengan klasifikasi Dukes A atau B1, dimana tumor belum mempenetrasi
keseluruhan tebal dinding usus, bentuk kemoterapi ajuvan tidak diperlukan,
tetapi rencana pengawasan ketat untuk dteksi dini adanya rekurensi harus
dilakukan. Tindakan tersebut harus termasuk adanya pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan carciniembryogenik antigen (CEA) tiap 3 bulan dan foto dada
dengan interval 6 bulan. Kolonoskopi harus diulangi dalam waktu 1 tahun untuk
mendeteksi secara dini adanya pembentukan polip dan, jika negatif selanjutnya
harus diulangi dengan interval 3 tahun. Follow-up yang lebih ketat diperlukan
pada pasien dengan tumor yang timbul pada keadaan peradangan usus
(inflammatory bowel disease) atau sindroma poliposis herediter. Pada kasus
tersebut, harus diambil pertimbangan untuk melakukan kolektomi profilaksis.
B. Bagi pasien dengan lesi dukes B2 dan C, dengan penetrasi melalui lapisan
muskularis dan/metastasis kelenjar getah bening regional, harus diambil
pertimbangan untuk memasukkan pasien ke dalam percobaan terapi klinis terapi
ajuvan. Pada saat ini, data dari percobaan terkontrol tidak mengharuskan
pemakaian rutin kemoterapi ajuvan dengan 5-flourouracil (5-FU) atau dengan
kombinasi 5-FU dengan semustine (methyl-CCNU [methyl-cyclohexyl
chloroethylni-trosoureal]).
C. Pada keadaan metastasis, pertimbangan pertama harus diberikan terhadap reseksi
paliatif tumor primer. Komplikasi berupa obstruksi, perdarahan, dan perforasi
mungkin ditemukan. Metastasis simptomati harus dihilangkan dengan
kemoterapi. Walaupun pemberian 5-FU secara intravena dengan jadwal setiap
minggu atau tiap 5 hari merupakan seni dalammemberikan pengobatan,
penelitian sekarang masih dalam perkembangan untuk mencari bentuk
pengobatan yang lebih efektif baik dengan kombinasi 5-FU dengan leucovorin
dan/methotrexate, atau dengan memberikan infus intravena setiap 2 minggu
dengan cis-platinum. Bagi pasien dengan metastasis ke hepar, pasien tertentu
dengan nodul tumor tunggal mungkin merupakan calon untuk reseksi hepar
parsial yang dalam beberapa penelitian telah menyebabkan kemungkinan hidup
yang lama dan bebas dari penyakit pada 25% kasus. Selain itu, penggunaan infs
5-FU atau 5-FUDR (5=fluorodeoxyuridine) ke dalam sirkulasi arteri hepatik
telah dilaporkan meningkatkan paliasi dalam beberapa serial, walaupun belum
dibuktikan dapat memperbaiki kemungkinan bertahan hidup dalam kontrol
lengkap.

2.8 Komplikasi
Komplikasi primer dihubungkan dengan kanker kolorektal, antara lain :
a. Obstruksi usus diikuti dengan penyempitan lumen akibat lesi
b. Perforasi dari dinding usus oleh tumor, diikuti kontaminasi organ peritoneal
c. Perluasan langsung ke organ-organ yang berdekatan
Komplikasi yang timbul setelah pembedahan (reseksi usus besar) dibagi
menjadi 2 berdasarkan perkiraan waktu munculnya komplikasi, yaitu komplikasi
segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera meliputi :
a. Kardiorespirasi
b. Kebocoran anastomosis
c. Infeksi luka
d.Retensi urine
e. Impoten
Komplikasi lambat meliputi :
a. Kekambuhan
b. Sistemik
c. Lokal

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378
2. Aninomous,http://medicineworld.org/cancer/colon/epidemiology-of-colon-
cancer. html diupload tanggal 7 Oktober 2011 15:58 WIB.
3. Anonimous,http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/C/Cancer.htm
l diupload tanggal 7 Oktober 2011 16:39 WIB.
4. Jones & Schofield. 1996. Neoplasia Kolorektal dalam Petunjuk Penting
Penyakit Kolorektal. EGC : Jakarta hal :58-65
5. Roediger, WEW. 1994. Cancer of the Colon, rectum and Anus in Manual of
Clinical Oncology Sixth edition. UICC : Germany p:336-347
6. Rudy, David R & Zdon, Michael J. 2000. American family physician Update on
Colorectal Cance r < http://www.aafp.org/afp/20000315/1759.html>
7. Schein, Philips. 1997. Onkologi Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan.
Binarupa Aksara : Jakarta.
8. Winawer SJ, Fletcher RH, Miller L, Godlee F, Stolar MH, Mulrow CD, et al.
Colorectal cancer screening: clinical guidelines and rationale.
Gastroenterology 1997;112:594-642 [Published errata in Gastroenterology
1997;112:1060 and 1998;114:635].)

Anda mungkin juga menyukai