Anda di halaman 1dari 26

KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL TUGAS HARIAN

RS BHAYANGKARA NOVEMBER 2019


PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KEPANITERAAN KLINIK FK UHO

VISUM ET REPERTUM/VeR, SURAT KETERANGAN MEDIS, SERTIFIKAT

KEMATIAN.

Oleh:

Fahreza Fajar Muharam

K1A1 13 017

Pembimbing:

Dr. dr. Mauluddin M., S.Sos., SH., MH., M.Kes., Sp.F

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

RS BHAYANGKARA KENDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019
VISUM ET REPERTUM

1. Pengertian Visum et Repertum


Dalam undang-undang terdapat satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung
tentang Visum et Repertum, yaitu pada Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1937 No.350
pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan:
Pasal 1:
Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan
pada waktu menyelesaikan pelajaran di negeri belanda ataupun di Indonesia, merupakan
alat bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan
keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang
diperiksa. 1
Pasal 2:
(1) Pada dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di negeri Belanda
ataupun di Indonesia, sebagai tersebut dalam pasal 1 diatas, dapat mengucapkan
sumpah sebagai berikut:
“saya bersumpah (berjanji), bahwa saya sebagai dokter akan membuat pernyataan-
pernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang diperlukan untuk kepentingan
peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya.
Semoga tuhan yang maha pengasih dan penyayang melimpahkan kekuatan lahir dan
batin” 1
Bila dirinci isi Staatsblad ini mengandung makna:
- Setiap dokter yang telah disumpah waktu menyelesaikan pendidikannya di negeri
belanda ataupun di Indonesia, ataupun dokter-dokter lain berdasarkan sumpah khusus
dapat membuat VeR
- VeR mempunyai daya bukti yang syah/alat bukti yang syah dalam perkara pidana
- VeR berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat, ditemukan pada benda-
benda/korban yang diperiksa.

Ketentuan dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi


masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah
tiap kali sebelum membuat visum. Seperti dikteahui setiap keerangan yang akan
disampaikan untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya
ktetantuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan
pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat VeR
biarpun lafal dan maksudnya berbeda. Oleh karena itu sampai sekarang pada bagian akhir
cisum, masih dicantumkan ketetntuan hukum ini untuk mengingatkan yang membuat
maupun yang menggunakan visum, bahwa dokter waktu membuat visum akan bertindak
jujur dan menyampaikan tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan
korban menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya. 1
Pada seminar lokakarnya VeR di Medan ahun 1981 pengertian visum dirumuskan
lebih jelas, yaitu:
“laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah/janji yang
diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal
(fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia (hidup atau
mati) atau benda yang berasal dari tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan
keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang
pemeriksaan tersebut”. 1

2. Dasar Hukum Visum et Repertum


Dasar hukum Visum et Repertum dalam Kitab Undang-undah Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. 2
Dalam KUHAP kedudukan atau nilai VeR adalah satu alat bukti yang sah
KUHAP pasal 184
Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keteragan terdakwa. 1
Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan
Pasal 187 (c)
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarka keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. 2

3. Fungsi dan Peran Visum et Repertum


Visum et Repertum dapat berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana
terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 184
KUHAP, Visum et Repertum merupakan alat bukti yang sah dalam proses peradilan,
yang berupa keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Dalam penjelasan Pasal 133
KUHAP, dikatakan bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis forensik
merupakan keterangan ahli, sedangkan yang dibuat oleh dokter selain spesialis forensik
disebut keterangan. Hal ini diperjelas pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam
Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang menjelaskan
bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter bukan ahli merupakan alat bukti petunjuk.
Dengan demikian, semua hasil Visum et Repertumyang dikeluarkan oleh dokter spesialis
forensik maupun dokter bukan spesialis forensik merupakan alat bukti yang sah sesuai
dengan Pasal 184 KUHAP. 3
Di dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah tersebut berturut-turut adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Beban
pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut berbedansesuai dengan urutannya.
Sebagai contoh, keterangan saksi harus lebih dipercaya oleh hakim bila dibandingkan
dengan keterangan terdakwa. Demikian halnya dengan keterangan ahli yang
diberikan oleh seorang dokter spesialis forensik tentunya akan mempunyai beban
pembuktian yang lebih besar bila dibandingkan dengan keterangan yang diberikan oleh
dokter bukan spesialis forensik. Sehingga, kedudukan Visum et Repertum yang dibuat
oleh dokter spesialis forensik masih lebih tinggi dibandingkan dengan Visum et
Repertum yang dibuat oleh dokter bukan spesialis forensik. 4
Visum et Repertum juga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti karena segala
sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis telah diuraikan di dalam bagian Pemberitaan.
Karena barang bukti yang diperiksa tentu saja akan mengalami perubahan alamiah,
seperti misalnya luka yang telah sembuh, jenazah yang mengalami pembusukan atau
jenazah yang telah dikuburkan yang tidak mungkin dibawa ke persidangan, maka
Visum et Repertummerupakan pengganti barang bukti tersebut yang telah diperiksa
secara ilmiah oleh dokter ahli. 4
Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan suatu duduk persoalan di
sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan
baru. Sesuai dengan Pasal 180 KUHAP, hakim tersebut dapat meminta kemungkinan
untuk dilakukan pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti jika memang timbul
keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap suatu hasil
pemeriksaan. 4

4. Jenis-jenis Visum et Repertum


Berdasarkan waktu pemberiannya visum untuk orang hidup dapat dibedakan atas:
(1) Visum seketika (definitive). Visum yang langsung diberikan setelah korban selesai
diperiksa. Visum inilah yang paling banyak dibuat oleh dokter.
(2) Visum sementara. Visum yang diberikan pada korban yang masih dalam perawatan.
Biasanya visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan jenis kekerasan,
sehingga dapat menahan tersangka atau sebagai petunjuk dalam menginterogasi
tersangka. Dalam visum semsentara ini belum ditulis kesimpulan.
(3) Visum lanjutan. Visum ini diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan
merupakan lanjutan dari visum semsentara yang telah diberikan sebelumnya. Dalam
visum ini harus dicantumkan nomr dan tanggal dari visum sementara yang telah
diberikan. Dalam visum ini dokter telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak
perlu dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang
terakhir merawat penderita.1

Berdasarkan objek yang diperiksa, Visum et Repertum dibagi menjadi dua yaitu:
(1) Objek psikis
Visum et Repertum berupa objek psikis ialah Visum et Repertum psikiatrikum.
Visum et Repertum ini perlu dibuat karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu
karena penyakit tidak dipidana” 2
Jadi yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita penyakit
jiwa (psikosis), tetapi juga orang dengan retardasi mental. Apabila penyakit jiwa
(psikosis) yang ditemukan, maka harus dibuktikan apakah penyakit itu telah ada
sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja, jika semakin panjang jarak
antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan, maka akan semakin sulit bagi dokter
untuk menentukannya sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan. Demikian pula
jenis penyakit jiwa yang bersifat hilang timbul juga akan mempersulit pembuatan
kesimpulan dokter. 3
Visum et Repertum psikiatrikum dibuat untuk tersangka atau terdakwa pelaku
tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana Visum et Repertum lainnya.
Selain itu, Visum et Repertumpsikiatrikum menguraikan tentang segi kejiwaan
manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh karena Visum et Repertum
psikiatrikum menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas
tindak pidana yang dilakukannya, maka lebih baik pembuat Visum et Repertum
psikiatrikum ini adalah dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa
atau rumah sakit umum. 3
(2) Objek fisik, yang dapat dibagi menjadi dua yaitu
A. Visum et Repertum orang hidup
a. Visum et Repertum perlukaan atau keracunan
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah
untuk mengetahui penyebab luka atau sakit dan derajat parahnya luka atau
sakitnya tersebut. Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan
medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya.
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah
melapor ke penyidik atau pejabat kepolisian, sehingga mereka datang
dengan membawa serta surat permintaan Visum et Repertum. Sedangkan
para korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau
rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan
Visum et Repertum-nya akan datang terlambat. Keterlambatan surat
permintaan Visum et Repertumini dapat diperkecil dengan diadakannya
kerja sama yang baik antara dokter atau institusi kesehatan dengan
penyidik atau instansi kepolisian. 3
Dalam membuat kesimpulan dalam kasus perlukaan dokter sebaiknya
menentukan juga derajat keparahan luka yang dialami korban atau disebut
juga derajat kualifikasi luka. Ini sebagai usaha untuk membantu yudex
facti dalam menegakkan keadilan. 1
Kualifikasi luka yang dapat dibuat dokter adalah menyatakan pasien
mengalami luka ringan, sedang, atau berat. 1
Yang dimaksud dengan luka ringan adalah luka yang tidak
menimbulkan halangan dalam menjalankan mata pencaharian, tidak
mengganggu kegiatan sehari-hari. Sedangkan luka berat harus disesuaikan
dengan ketentuan dalam undang-undang yaitu yang diatur dalam KUHP
pasal 90. Luka sedang adalah keadaan luka diantara luka ringan dan luka
berat. 1
KUHP pasal 90
Luka berat berarti:
(1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
(2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian.
(3) Kehilangan salah satu panca indra
(4) Mendapat cacat berat
(5) Menderita sakit lumpuh
(6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
(7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. 1,2
Penganiayaan ringan diatur dalam KUHP pasal 352 dan penganiayaan
sedang diatur dalam KUHP pasal 351 ayat 1.
KUHP pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam sebagai penganiayaan
ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
empat ribu lima ratus rupiah. 1
KUHP pasal 351
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat dyang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 1
b. Visum et Repertum korban kejahatan susila
Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan Visum et
Repertum-nya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan
yang diancam hukuman oleh KUHP. Persetubuhan yang diancam pidana
oleh KUHP meliputi perzinahan, pemerkosaan, persetubuhan pada
wanita yang tidak berdaya, dan persetubuhan dengan wanita yang belum
cukup umur. 2
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk
membuktikan adanya persetubuhan, adanya kekerasan, serta usia
korban. Selain itu, dokter juga diharapkan memeriksa adanya penyakit
hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatri atau kejiwaan
sebagai akibat dari tindak pidana tersebut. Dokter tidak dibebani
pembuktian adanya pemerkosaan karena istilah pemerkosaan adalah istilah
hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. 2

B. Visum et Repertum orang mati (jenazah)


Visum et Repertum jenazah dibuat terhadap korban yang meninggal. Tujuan
pembuatan Visum et Repertumini adalah untuk menentukan sebab, cara, dan
mekanisme kematian. Jenazah yang akan dimintakan Visum et Repertum-nya
harus diberi label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap
jabatan, yang dikaitkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat
permintaan Visum et Repertum-nya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang
diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenazah atau pemeriksaan bedah jenazah
(autopsi) (Pasal 133 KUHAP). 1,2
a. Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar
Pemeriksaan luar jenazah adalah pemeriksaan berupa tindakan
tanpa merusak keutuhan jaringan jenazah. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari
bungkus atau tutup jenazah, pakaian, benda-benda di sekitar jenazah,
perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologi, gigi geligi, dan
luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar.
Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka
kesimpulan Visum et Repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan
yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab
matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan
bedah jenazah. Bila dapat diperkirakan, lama mati sebelum pemeriksaan
(perkiraan waktu kematian) dapat dicantumkan dalam bagian
kesimpulan.
b. Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar dan dalam
Bila juga disertakan pemeriksaan autopsi, maka penyidik wajib
memberi tahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan
tujuan pemeriksaan. Autopsi dilakukan jika keluarga korban tidak
keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga korban (Pasal 134 KUHAP). Jenazah yang diperiksa dapat juga
berupa jenazah yang didapat dari penggalian kuburan (Pasal 135
KUHAP).3
Pemeriksaan autopsi dilakukan menyeluruh dengan membuka
rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan
histopatologi, toksikologi, serologi, dan lain sebagainya. Dari
pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, jenis luka atau
kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan perkiraan waktu kematian. 3
5. Struktur Visum et Repertum
Visum et Repertum terdiri dari 5 kerangka dasar yang terdiri dari:
1. Pro justitia
Menyadari bahwa semua surat baru sah dipengadilan bila dibuat diatas kertas
materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuatnya
harus memakai kertas bermaterai. Berpedoman kepada peraturan pos, maka bila
dokter menulis pro-justitia dibagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama
dengan kertas materai.
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang
diperiksa, saat pemeriksaan (tanggal, hari, dan jam), dimana diperiksa, mengapa
diperiksa, dan atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai
degnan yang tercantum dalam permintaan visum.
3. Pemeriksaan
Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa
yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari Visum et Repertum itu
terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya
secara objektif. Biasanya pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera, dan
kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya. Misalnya didapati suatu luka dokter
menuliskan dalam visum suatu luka mulai dari panjang, lebar, dalam, tepi luka, dan
jarak luka.
4. Kesimpulan
Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang terpenting, karena diharpkan
dokter dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya.
Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab-akibat
dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan
bagaimana harapan kesembuhan.
Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang
tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu
umur korban.
5. Penutup
Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat
dengan sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. 1
Selain dari 5 bagian diatas, Visum et Repertum dapat juga disertakan lampiran foto.
Lampiran foto terutama perlu untuk memudahkan pemakai visum memahami laporan
yang disampaikan dalam visum. Pada luka yang sulit disampaikan dengan kata-kata,
dengan lampiran foto akan memudahkan pemakai visum memahami apa yang ingin
disampaikan dokter. 1
6. Tata Cara Permohonan dan Pencabutan Visum et Repertum
Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter
untuk membuat Visum et Repertum. Syarat Visum et Repertum korban hidup yaitu:
(1) Harus tertulis, tidak boleh secara lisan
(2) Surat permohonan visum harus diserahkan langsung kepada dokter dari penyidik,
tidak boleh dititip melalui korban atau keluarga korban. Juga tidak diperbolehkan
melalui jasa pos
(3) Bukan kejadian yang sudah lewat
(4) Ada alasan mengapa korban dibawa kedokter
(5) Ada identitas korban
(6) Ada identitas peminta
(7) Mencantumkan tanggal permintaannya
(8) Korban diantar oleh polisi atau jaksa
Jika korban sudah meninggal dunia, sesuai dengan KUHP pasal 133 maka permintaan
dilakukan secaraq tertulis dan disebutkan secara jelas apakah untuk pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat, serta pada saat mayat dikirim kerumah sakit harus
diberi label mayat yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.
Pada kenyataanya dilapangan sering terjadi ketidak pahaman dari pihak penegak
hukum tentang tata cara permohonan visum kepada dokter, sehingga dapat menyebabkan
kerugian pada pihak korban. Maka dari itu diterbitkan instruksi polisi
No.Pol.INS/E/20/IX/75 tentang tata cara permohonan/pencabutan Visum et Repertum.
Pada dasarnya penarikan/pencabutan Visum et Repertum tidak dapat dibenarkan. Bila
terpaksa Visum et Repertum yang sudah diminta harus diadakan pencabutan/penarikan
kembali, maka hal tersebut hanya diberikan oleh komandan kesatuan paling rendah
tingkat Komres dan untuk kota hanya oleh DANTES.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir, Prof. Dr. Amri. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua.
Percetakan Ramadhan: Medan.
2. Idries, Dr. Abdul Mun’im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama.
Binapura Aksara: Jakarta Barat.
3. Budiyanto A, Widiatmaka W, sudiono S, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian
Kedokteran Forensik Universitas Indonesia: Jakarta.
4. Afandi. 2010. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal: FK UNRI
SURAT KETERANGAN MEDIS

Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang dokter kadang kalanya harus menerbitkan
surat--surat keterangan dokter. Pedomannya antara lain:
 Bab I Pasal 7 KODEKI,” Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”.
 Bab II Pasal 12 KODEKI “ Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”
 Paragraph 4, pasal 48 UU No.29/2004 tentang
praktik Kedokteran.

Jenis Surat Keterangan Dokter:


1) Surat Keterangan lahir
2) Surat Keterangan Meninggal
3) Surat Keterangan Sehat
4) Surat Keterangan Sakit
5) Surat Keterangan Cacat
6) Surat Keterangan Pelayanan Medis untuk penggantian biaya dari asuransi kesehatan
7) Surat Keterangan Cuti Hamil
8) Surat Keterangan Ibu hamil, bepergian dengan pesawat udara
9) Visum et Repertum
10) Laporan Penyakit Menular
11) Kuitansi

1. Surat Keterangan Lahir


SK kelahiran berisikan tentang waktu (tanggal dan jam) lahirnya bayi, kelamin, BB dan
nama orang tua. Diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya olehkarena sering adanya
permintaan khusus dari pasien.
Hal yang sering menjadi masalah :
 Anak yang lahir dari inseminasi buatan dari semen donor ( Arteficial Insemination by
Donor = AID )
 Anak yang lahir hasil bayi tabung yang sel telur dan/atau sel maninya berasal dari
donor ( In vitro Fertilization by Donor )
 Anak yang lahir hasil konsepsi dari saudara kandung suami
Ketiga hal diatas bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia

2. Surat Keterangan Meninggal


 Surat keterangan untuk keperluan penguburan, perlu dicantumkan identitas
jenazah, tempat, dan waktu meninggalnya.
 Surat Keterangan ( Laporan ) kematian, Mengenai hal ini perlu diisi sebab kematian
sesuai dengan pengetahuan dokter. Karena bedah mayat klinik belum dapat
dilakukan hingga waktu ini, sebab kematian secara klinik saja dilaporkan. Lamanya
menderita sakit hingga meninggal dunia juga harus dicantumkan. Jika jenazah
dibawa ke luar daerah atau luar negeri maka adanya kematian karena penyakit
menular harus diperhatikan.

3. Surat Keterangan Sehat


A. Untuk Asuransi Jiwa
Dalam menulis laporan pengujian kesehatan untuk asuransi jiwa, perlu diperhatikan
agar :
 Laporan dokter harus objektif, jangan dipengaruhi oleh keinginan calon nasabah
atau agen perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
 Sebaliknya jangan menguji kesehatan seorang calon yang masih atau pernah
menjadi pasien sendiri untuk menghindari timbulnya kesukaran dalam
mempertahankan wajib menyimpan rahasia jabatan
 Jangan memberitahukan kesimpulan hasil pemeriksaan medik kepada pasien,
langsung kepada perusahaan asuransi itu sendiri.
 Dokter selaku ahli, bukan orang kepercayaan perusahaan asuransi kesehatan.
 Pemeriksaan oleh dokter yang dipilih pasien pada dasarnya untuk kepentingan
pihak asuransi olehkarena sebagai dokter penguji kesehatan tersebut, dokter
wajib memberitahukan kepada perusahaan tentang segala sesuatu yang ia
ketahui dari orang yang kesehatannya diuji. Dapat terjebak melanggar wajib
simpan rahasia jabatan. Seharusnya dokter keluarga menolak untuk menguji
kesehatan pasiennya.
B. Untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM).
Perlu diperhatikan olehkarena pengendara atau faktor manusia merupakan faktor
utama penyebab kecelakaan lalu lintas.
C. Untuk Nikah
Selain pemeriksaan medis, dokter juga harus memberikan edukasi reproduksi dan
pendidikan seks kepada pasangan calon suami-istri. Yang sering menjadi dilema
adalah apakah dokter harus memberitahukan kepada salah satu calon suami-istri
tersebut apabila menemukan kelainan-kelainan atau penyakit-penyakit yang diderita
salah satu calon pasangannya?
D. Untuk keperluan lainnya

4. Surat Keterangan Sakit


Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan simulasi atau agravasi pada waktu
memberikan keterangan mengenai cuti sakit seorang karyawan. Adakalanya cuti sakit
disalahgunakan untuk tujuan lain. Surat keterangan cuti sakit palsu dapat menyebabkan
seorang dokter dituntut menurut pasal 263 dan 267 KUHP.

5. Surat Keterangan Cacat


Sangat erat hubungannya dengan besarnya tunjangan atau pensiun yang akan diterima
oleh pekerja, yang tergantung kepada keterangan dokter tentang sifat cacatnya
.
6. Surat Keterangan Pelayanan Medis untuk penggantian biaya dari asuransi
kesehatan

7. Surat Keterangan Cuti Hamil


Hak cuti hamil seorang ibu adalah 3 bulan, yaitu sekitar 1 bulan sebelum dan 2 bulan
setelah persalinan. Tujuan : agar si ibu cukup istirahat dan mempersiapkan dirinya dalam
menghadapi proses persalinan, dan mulai kerja kembali setelah masa nifas.
8. Surat Keterangan Ibu hamil, bepergian dengan pesawat udara
Sesuai dengan ketentuan internasional Aviation, Ibu hamil tidak dibenarkan bepergian
dengan pesawat udara, jika mengalami :
 hiperemesis atau emesis gravidarum
 hamil dengan komplikasi ( perdarahan, preeklamsi dsb )
 hamil >36 minggu
 hamil dengan penyakit-penyakit lain yang beresiko.

9. Visum et Repertum
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik,
biasanya dikenal dengan nama Visum. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk
tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata visum atau
visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti
tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertum
berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap
korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan (R.
Atang Ranoemihardja, 1983: 10).
Abdul Mun’im Idris dalam R. Atang Ranoemihardja, 1983: 18), memberikan
pengertian visum et repertum sebagai berikut: Suatu laporan tertulis dari dokter yang
telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang
diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan
peradilan.

10. Laporan Penyakit Menular


 Diatur dalam UU No. 6 tahun 1962 tentang wabah.
 Kepentingan umum yang diutamakan.
 Pasal 50 KUHP : “ Tiada boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan untuk
menjalankan aturan undang-undang”.

11. Kuitansi
Sering diminta sebagai bukti pembayaran, tidak menimbulkan masalah apabila sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya. Berhubungan dengan penggantian biaya berobat dari
perusahaan tepat pasien atau pasangannya bekerja.
Contoh :
 perusahaan hanya mengganti 50% biaya pengobatan, pasien minta dibuatkan kuitansi
sebesar 2 kali imbalan jasa yang diterima dokter,
 pasien meminta agar imbalan jasa dokter dinaikkan dengan sisa imbalan dibagi 50-
50% antara dokter dan pasien,
 Pasien meminta agar biaya pengangkutan pulang pergi dari luar kota ke tempat
berobat dimasukkan dalam kuitansi berobat (built in), sedangkan dokter tidak
menerima bagian dari biaya pengangkutan tersebut.
Ketiga contoh di atas jelas malpraktik etik dan malpraktik kriminal.
REFERENSI
Divisi Bioetika Dan Medikolegal FK USU
SERTIFIKAT KEMATIAN
1. Sertifikat Kematian
Sertifikat kematian adalah surat yang menerangkan bahwa seseorang telah meninggal
dunia. Sertifikat kematian ini berisi identitas, saat kematian, dan sebab kematian.
Kewenangan penerbitan sertifikat kematian ini adalah dokter yang telah diambil sumpahnya
dan memenuhi syarat administratif untuk menjalankan praktik kedokteran.1,2

Sertifikat kematian merupakan suatu keterangan tentang kematian yang dibuat oleh
dokter. Hal ini penting sehingga dokter harus bertanggungjawab sepenuhnya terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan Sertifikat kematian.2

Sertifikat kematian biasa/ alamiah ini penting dibuat untuk kepentingan berbagai
kalangan seperti pihak ahli waris (asuransi), statistic/ sensus penduduk dan instansi tempat
korban bekerja serta untuk penguburan.2

Pada waktu menuliskan sertifikat kematian, maka keadaan orang tersebut sebelum
meninggal dapat diperoleh dari keluarga yang meninggal sebelum jenazahnya dikuburkan
atau dikremasi.2
Peran dokter dalam hal ini adalah:1
 Menentukan seseorang telah meninggal dunia (berhenti secara permanen: sirkulasi,
respirasi dan neurologi)
 Melengkapi sertifikat kematian bagian medis (menuliskan sebab kematian, jika
diperlukan otopsi)
 Jika jenazah tidak dikenal, membantu identifikasi.

2. Kegunaan Sertifikat Kematian


Manusia hidup di dunia ini selalu tercatat. Manusia lahir tercatat dalam bentuk akta
kelahiran atau surat keterangan kelahiran. Jika suatu saat meninggal, manusia juga
seharusnya tercatat dalam Sertifikat kematian. Banyak kegunaan mengapa sertifikat kematian
ini perlu untuk diterbitkan/dibuat yaitu diantaranya adalah :1
 Untuk kepentingan pemakaman jenazah
 Kepentingan pengurusan asuransi
 Kepentingan pengurusan warisan
 Pengurusan pensiunan janda/duda
 Persyaratan menikah lagi
 Pengurusan hutang piutang
 Untuk tujuan hukum, pengembangan kasus kematian tidak wajar
 Kepentingan statistik
Dalam dunia kesehatan, pencatatan atau pembuatan surat kematian penting dilakukan
sebagai salah satu cara pengumpulan data statistik penentuan tren penyakit dan tren penyebab
kematian pada masyarakat. Hal ini perlu sebagai bagian dari system surveillance guna
menentukan tindakan dan intervensi apa yang bisa dilakukan. Selain itu, data bisa juga
dipakai sebagai upaya monitoring jalannya suatu program sekaligus sebagai bahan evaluasi
program yang telah berjalan. Dalam hal penelitian, data ini dapat menjadi sumber data untuk
penelitian biomedis maupun sosiomedis.1

3. Landasan Hukum Sertifikat Kematian


Peraturan bersama Mendagri dan Menkes No.15 tahun 2010, nomor
162/MENKES/PB/I/2010, tentang Pelaporan Kematian dan Penyebab Kematian.3
Dasar hukum Sertifikat Kematian :
 Bab I pasal 7 KODEKI, ‘‘Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya’’
 Bab II pasal 12 KODEKI, ‘’Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia’’
 Pasal 267 KUHP : Ancaman pidana untuk surat keterangan palsu
 Pasal 179 KUHAP: Wajib memberikan keterangan ahli demi pengadilan, keterangan
yang akan diberikan didahului dengan sumpah jabatan atau janji.

4. Macam-macam Sertifikat kematian


Sertifikat kematian ada 2 macam, yaitu:2
a. Sertifikat kematian Biasa (Ordinary Death Certificate)
Surat ini mencatat kematian individu yang mati secara alamiah, yang tidak
berhubungan dengan suatu kekerasan, tetapi dibawah pengawasan dokter.
Dimana dokter harus mengawasi selama waktu tertentu sebelum mati dan
telah mengadakan kunjungan professional dalam waktu 24 jam di saat kritis
penyakit penderita.
b. Sertifikat kematian yang dikeluarkan oleh dokter forensic (Medical
Examiner’s Death Certificate)

Jika dokter tidak dapat menentukan kematian ini disebabkan karena alamiah atau
tidak alamiah maka dapat disarankan sebelum memberi Sertifikat kematian dibuat
dapat menanyakan pada penyidik yang akan memberikan petunjuk yang terbaik untuk
diikuti.2

5. Syarat Sertifikat Kematian


Kematian sebaiknya dilaporkan kepada penyidik dengan benar. Dokter dinasehatkan
untuk memberikan keterangan kepada penyidik secepat mungkin pada kasus kematian
mendadak, kematian dengan abortus, kematian yang disebabkan oleh penyebab tidak
alamiah, kecelakaan yang fatal, alkoholisme, kematian yang disebabkan oleh anastesi atau
operasi atau obat-obatan. Keracunan yang fatal termasuk keracunan makan juga harus
dilaporkan dan kematian akibat pekerjaan. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter maka
dapat dibuatkan sertifikat kematian.2
Sertifikat kematian alamiah harus dihadiri oleh dokter sebelum surat tersebut
dikeluarkan. Pada Sertifikat kematian ini juga harus dicantumkan penyebab kematian. Dokter
yang membuat Sertifikat kematian tersebut harus yakin bahwa orang tersebut benar-benar
meninggal dan atautidak dalam mati suri serta yakin penyebab kematian satu-satunya
alamiah.2

6. Instruksi Pengisian Sertifikat Kematian

Dalam melengkapi sertifikat kematian, perlu dilakukan sesuai guideline :1


 Menggunakan formulir ter-update yang diterbitkan pemerintah
 Isi semua item, ikuti petunjuk pengisian setiap item
 Buat surat dengan jelas dengan tinta hitam
 Jangan gunakan singkatan kecuali ada instruksi khusus pada pengisian item
 Konfirmasikan ejaan penulisan nama terutama nama yang homofon (beda ejaan
penulisan tapi sama pengucapannya) seperti : Edi, Edy, Eddie dsb
 Dapatkan semua tanda tangan yang diperlukan. Tidak boleh menggunakan tanda
tangan cap atau print
 Jangan mengubah formulir
 Jangan menduplikasi/membuat 2 sertifikat kematian yang sama. Jika diperlukan, bisa
dicopy yang selanjutnya di sahkan bahwa hasil copy tersebut sesuai dengan aslinya

7. Isi Sertifikat Kematian


Keterangan yang diberikan pada sertifikat kematian adalah:2
 Yang berhubungan dengan kematian dan adanya keterangan dokter secara
terperinci, yaitu nama, umur, tempat, dan tanggal kematian.
 Bagian ini melaporkan tentang penyebab kematian, yaitu:
̵ Sebab primer
̵ Immediate cause of death (Sebab kematian segera)
̵ Countributery cause of Death (sebab kematian tambahan)

Surat kematian primer adalah sebab yang utama yang menyebabkan kematian.
Sebab kematian segera adalah komplikasi fatal yang dapat membunuh
penderita yang berasal dari sebab utama. Sedangkan Countributery cause of
Death adalah proses yang tidak ada hubungannya dengan sebab utama dan
sebab segera dari kematian tetapi mempunyai tambahan resiko menyebabkan
kematian
 Bagian terakhir dari Sertifikat kematian berisi tentang:
̵ Kehadiran dokter saat melihat kritis penyakit penderita
̵ Penyebab kematian tersebut ditulis dengan benar berdasarkan
keyakinan dan keilmuannya.

8. Format Sertifikat Kematian


 Contoh Sertifikat kematian dari rumah sakit (terlampir)
 Contoh Sertifikat kematian dari kelurahan (terlampir)
DAFTAR PUSTAKA

1. Suciningtyas, Martiana. 2008. Death Certification.


2. Gani, M. Husni. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik
3. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Kementrian Kesehatan Nomor 15 Tahun
2010 Nomor 162/MENKES/PB/I/2010
Lampiran1
Lampiran2

Anda mungkin juga menyukai