Anda di halaman 1dari 19

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 1963


TENTANG
PEMBERANTASAN KEGIATAN SUBVERSI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa kegiatan subversi merupakan bahaya bagi keselamatan dan kehidupan Bangsa dan Negara
yang sedang berevolusi membentuk masyarakat Sosialis Indonesia;
b. bahwa guna pengamanan usaha-usaha mencapai tujuan revolusi perlu adanya peraturan tentang
pemberantasan kegiatan subversi tersebut;
c. bahwa pengaturan ini adalah dalam rangka pengamanan usaha mencapai tujuan revolusi,
sehingga dilakukan dengan Penetapan Presiden; ,

Mengingat :
Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. I/MPRS/1960 berhubungan dengan
pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/ MPRS/1960;

Memutuskan:

Menetapkan :
PENETAPAN PRESIDEN TENTANG PEMBERANTASAN KEGIATAN SUBVERSI.

BAB I.
Kegiatan Subversi.

Pasal 1 .

(1) Dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi :


1. barang-siapa melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan
maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat:
a. memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila
atau haluan negara, atau
b. menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan
Pemerintah yang sah atau Aparatur Negara, atau
c. menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan,
pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan
penduduk atau masyarakat yang bersifat luas atau diantara Negara Republik
Indonesia dengan sesuatu Negara sahabat, atau menganggu, menghambat atau
mengacaukan bagi industri, produksi, distribtisi, perdagangan, koperasi atau
pengangkutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, atau berdasarkan
keputusan Pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup
rakyat;
2. barang siapa melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang menyatakan simpati bagi
musuh Negara Republik Indonesia atau Negara yang sedang tidak bersahabat dengan
Negara Republik Indonesia.
3. barangsiapa melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang mempunyai
fungsi untuk kepentingan umum atau milik perseorangan atau badan yang dilakukan
secara luas;
4. barangsiapa melakukan kegiatan mata-mata:
5. barangsiapa melakukan sabotase.
(2) Dipersalahkan juga melakukan tindak pidana subversi barangsiapa memikat perbuat tersebut pada
ayat (1) tersebut diatas.

Pasal 2.

Yang dimaksud dengan kegiatan mata-mata ialah perbuatan melawan hukum untuk :
a. memiliki, menguasai atau memperoleh dengan maksud untuk meneruskannya langsung maupun
tidak langsung kepada Negara atau organisasi asing ataupun kepada organisasi atau kaum kontra
revolusioner, sesuatu peta, rancangan, gambar atau tulisan tentang bangunan-bangunan militer
atau rahasia militer ataupun keterangan tentang rahasia Pemerintah dalam bidang politik, diplomasi
atau ekonomi;
b. melakukan penyelidikan untuk musuh atau Negara lain tentang hal tersebut pada huruf a atau
menerima dalam pemondokan, menyembunyikan atau menolong seorang penyelidik musuh;
c. mengadakan, memudahkan atau menyebarkan propaganda untuk musuh atau negara lain yang
sedang dalam keadaan tidak bersahabat dengan Negara Republik Indonesia;
d. melakukan suatu usaha bertentangan.kepentingan Negara sehingga, terhadap seseorang dapat
melakukan penyelidikan penuntutan, perampasan atau pembatasan kemerdekaan, penjatuhan
pidana atau tindakan lainnya oleh atau atas kekuasaan musuh;
e. memberikan kepada/atau menerima dari musuh atau Negara lain yang sedang dalam tidak
bersahabat dengan Negara Republik Indonesia atau pembantu-pembantu musuh atau Negara itu,
sesuatu barang atau uang, atau melakukan sesuatu perbuatan yang menguntungkan musuh atau
Negara itu atau pembantu-pembantunya, atau menyukarkan, merintangi atau menggagalkan
sesuatu tindakan terhadap musuh atau Negara itu atau pembantu-pembantunya.

Pasal 3.

Yang dimaksudkan dengan sabotase ialah perbuatan seseorang yang dengan maksud atau nyata-
nyata dengan maksud, atau yang mengetahuinya atau patut diketahuinya merusak, merintangi,
menghambat, merugikan atau mengadakan sesuatu yang sangat penting bagi usaha Pemerintah,
mengenai :
a. bahan-bahan pokok keperluan hidup rakyat yang diimpor atau diusahakan oleh Pemerintah;
b. produksi, distribusi dan koperasi yang diawasi Pemerintah;
c. obyek-obyek dan proyek-proyek militer, industri, produksi dan perdagangan Negara:
d. proyek-proyek pembangunan semesta mengenai industri, produksi, distribusi dan perhubungan lalu
lintas;
e. instalasi-instalasi Negara;
f. perhubungan lalu lintas (darat, laut, udara, dan telekomunikasi).

BAB II
Penyidikan dan penuntutan Kegiatan Subversi

Pasal 4.

Untuk keperluan penyidikan dan penuntutan kegiatan subversi, alat-alat kekuasaan Negara wajib
memberikan bantuan secukupnya.

Pasal 5.

Penyidikan dan penuntutan kegiatan subversi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang


berlaku dengan pimpinan dan petunjuk-petunjuk Jaksa Agung/Oditur Jendral, sekedar tidak ditentukan lain
dalam peraturan ini.

Pasal 6.

(1) Guna keperluan penyidikan, tiap pegawai yang diserahi tugas-penyidikan dalam lingkungan
wewenangnya di mana saja dan pada setiap waktu, bila perlu dengan bantuan alat-alat kekuasaan
lain serta dengan menghindahkan ketentuan-ketentuan dalam ayat-ayat berikut, dapat memasuki
sesuatu tempat serta melakukan penggeledahan dan penyitaan barang-barang, termasuk surat-
surat yang mempunyai atau dapat disangka mempunyai sangkut-paut dengan kegiatan subversi.
(2) Terkecuali dalam keadaan tertangkap tangan, jika tindakan dilakukan dalam sebuah bangunan,
maka pegawai yang dimaksud pada ayat (1) dengan disertai dua orang saksi harus terlebih dahulu
menunjukkan surat perintah penggeledahan atau penyitaan yang dikeluarkan oleh pejabat penyidik
yang berwenang.
(3) Dari tindakan tersebut pada ayat (2) dalam waktu dua kali dua puluh empat jam dibuat berita-acara
yang memuat nama dan jabatan pegawai yang melakukan tindakan itu, nama saksi- saksi yang
menyertainya, cara melakukan penggeledahan serta
Pasal 10.

(1) Pemeriksaan perkara pidana subversi dalam tingkat pertama dimulai selambat-lambatnya dalam
waktu satu bulan setelah berkas perkara diterima dikepaniteraan.
Pemeriksaan dilakukan dan putusan dijatuhkan dalam waktu. sesingkat-singkatnya.
(2) Dalam hal ada permohonan banding, maka berkas perkara disampaikan kepada pengadilan yang
memeriksa dalam tingkat banding dalam waktu dua puluh satu hari. Pengadilan dalam tingkat
banding menjatuhkan putusan selambat-lambatnya dalam satu bulan sesudah berkas diterima,
atau jika diadakan pemeriksaan tambahan yang tidak dilakukan oleh Pengadilan itu sendiri, satu
bulan mulai hari diterimanya kembali berkas perkara tersebut.
(3) Terhadap putusan yang memuat pembebasan seluruhnya atau sebagian dapat diajukan
permohonan banding.

Pasal 11

(1) Apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut dipanggil secara sah tidak hadir disidang, maka
pengadilan berwenang mengadilinya diluar kehadirannya (in absensia). Dalam hal ini pemanggilan
hanya sah jika dilakukan dengan cara penempatan dua kali berturut-turut, tiap kali dalam sekurang-
kurangnya dua surat kabar-harian yang ditunjuk oleh Hakim.
(2) Putusan pengadilan termaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada terdakwa dengan cara yang
memuat nama pengadilan yang menjatuhkan putusan, tanggal dan nomor putusan serta amar
putusan dua kali berturut-turut, tiap kali dalam sekurang-kurangnya dua surat kabar hahan yang
ditunjuk oleh penuntut umum Oditur yang bersangkutan. Sehelai dari surat kabar yang memuat
pemberitahuan tersebut dimasukkan dalam berkas perkara.
(3) Terhadap putusan yang dijatuhkan diluar kehadiran terdakwa dapat diajukan permohonan banding.
Bagi terdakwa yang memohon banding tenggang waktu mengajukan permohonan dihitung mulai
hari tanggal terakhir dari surat-surat kabar yang memuat pemberitaan tersebut.

Pasal 12

(1) Tiap orang yang diperiksa sebagai saksi atau ahli wajib memberikan keterangan tentang
pengetahuannya yang berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai rahasia bank, maka
kewajiban termaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi mereka yang biasanya pengetahuannya
tentang sesuatu harus dirahasiakan karena jabatan atau kedudukannya yang bersangkutan, kecuali
bagi para petugas agama dan dokter dalam lingkungan tugas masing-masing.
(3) Dengan kata "Jaksa" yang tercantum didalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 23 Prp tahun
1960 tentang Rahasia Bank (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 71), khusus dalam rangka
pemberantasan kegiatan subversi ini, diartikan juga setiap pegawai penyidik, sedangkan kata
"Jaksa Agung" diartikan juga Menteri/Panglima Angkatan yang bersangkutan.

BAB IV.
Ancaman Pidana.

Pasal 13.

(1) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 1,
2, 3, 4 dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.
(2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 5
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya
20 (dua puluh) tahun dan/atau denda setinggi- tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah.

Pasal 14.

Benda baik milik maupun bukan milik terpidana yang diperoleh dari atau digunakan sebagai alat
melakukan tindak pidana subversi dapat dirampas.
Pasal 15.

Barangsiapa dejgan sengaja tidak memenuhi kewajiban tersebut dalam pasal 12 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda setinggi-tingginya 5 (lima) ratus ribu rupiah.

Pasal 16.

Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pasal-pasal 13 dan 15 adalah kejahatan.

Pasal 17.

(1) Jika suatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan,
perserikatan orang, yayasan atau organisasi lainnya, maka tindakan peradilan dilakukan, baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi lainnya itu, baik
terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu, maupun terhadap kedua-duanya.
(2) Suatu tindak pidana subversi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan,
perserikatan orang, yayasan atau organisasi lainnya, jika tindakan itu dilakukan oleh orang-orang
yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi lainnya itu, tanpa mengingat
apakah orang-orang tersebut masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana itu atau pada
mereka bersama ada unsur-unsur tindak pidana tersebut.
(3) Jika tindakan peradilan dilakukan terhadap suatu badan hukum, perseroan, perserikatan orang,
yayasan atau organisasi lainnya, maka badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau
organisasi lainnya itu pada waktu penuntutan diwakili oleh seorang, pengurus atau, jika ada lebih
dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu.
Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus
menghadap sendiri dipengadilan, dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa
kemuka hakim.
(4) Jika tindakan peradilan dilakukan terhadap suatu badan hukum, perseroan. perserikatan orang,
yayasan atau organisasi lainnya, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan
surat-surat panggilan itu ditujukan kepada kepala pengurus atau ditempat tinggal kepala pengurus
itu atau ditempat pengurus. bersidang atau berkantor.

BAB V.
Pelaksanaan Putusan.

Pasal 18.

(1) Putusan pengadilan yang dijatuhkan dalam tindak pidana subversi dilaksanakan menurut
ketentuan-ketentuan yang berlaku, kecuali jika dalam peraturan ini ditentukan lain.
(2) Putusan pengadilan yang tidak memuat pidana mati tidak tertunda karena permohonan grasi.

BAB VI.
PENUTUP.

Pasal 19.

Ketentuan pasal 63 ayat (2) K.U.H.P. (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak berlaku
terhadap, tindak pidana yang disebut dalam peraturan ini.

Pasal 20.

Penetapan Presiden ini mulai berlaku pada hari diundangkan.


Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden ini
dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta.
pada tanggal 16 Oktober 1963.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUKARNO.
Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 16 Oktober 1963.
Sekretaris Negara,

MOHD. ICHSAN.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1963 NOMOR 101


PENJELASAN
ATAS
PENETAPAN PRESIDEN No. 11 TAHUN 1963
tentang
PEMBERANTASAN KEGIATAN SUBVERSI

UMUM

Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga
dewasa ini terasa sekali adanya kegiatan-kegiatan subversi disegala bidang, baik dibidang politik, militer,
sosial, ekonomi/keuangan maupun dibidang kebudayaan/ideologi, yang bertujuan merongrong dan
mematahkan kekuatan dan potensi yang dikerahkan oleh Negara dan bangsa Indonesia untuk mencapai
tujuan revolusi.
Dengan telah berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 dan ditetapkannya Manifesto Politik
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai garis-garis besar haluan Negara, maka bangsa
Indonesia telah mempunyai pedoman resmi dalam penyelesaian revolusinya.
Tujuan revolusi Indonesia telah jelas, ialah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah
yang berisikan masyarakat adil dan makmur materiil dan spiritual ("tata tentrem kerta raharja") atau Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berisikan Masyarakat sosial berdasarkan ajaran PANCASILA yaitu
masyarakat yang menganut sistim sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang khas terdapat
di Indonesia serta persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua Negara didunia atas dasar
saling hormat-menghormati dan atas dasar kerja sama membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari
imperialisme dan kolonialisme menuju kepada Perdamaian Dunia yang sempurna.

Guna pengamanan usaha-usaha mencapai tujuan revolusi itu dirasakan perlu sekali adanya suatu
peraturan tentang pemberantasan kegiatan-kegiatan subversi tersebut.
Hakekat subversi adalah suatu manifestasi pertentangan-pertentangan kepentingan-kepentingan
yang tidak dapat dipertemukan ("bijgelegd"), suatu kelanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan
lawan dengan cara-cara yang tertutup (covert), sering juga dibarengi atau disusul dengan tindakan
kekerasan yang terbuka (perang, pemberontakan).

Subversi selalu berhubungan dengan politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan -tujuan
politik yang dikehendaki oleh fihak/golongan yang berkepentingan.

Subversi digerakkan/dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing dari dalam Negeri dengan sering
mempergunakan golongan-golongan atau orang-orang sebagai alat yang sadar atau tidak sadar.

Subversi bertujuan untuk menguasai keadaan menciptakan/ menimbulkan keadaan yang


menguntungkan bagi yang melakukannya, menarik negara sasaran kedalam sesuatu blok, pakta atau
lingkungan pengaruh, dengan tujuan-intermedier antara lain:
a. meruntuhkan Negara dari dalam,
b. menjatuhkan Pemerintah yang sah,

dengan cara menimbulkan disintegrasi dan destruksi disegala bidang, penyelewengan usaha-usaha yang
mampu untuk mencapai dan memelihara tujuan dan kepentingan nasional, perusahaan dan pengacauan
keamanan Negara serta menimbulkan kekacauan ekonomi, keadaan politik yang tidak stabil dan
kelemahan psykhologis, dengan sasaran yang meliputi bidang Pemerintahan, wilayah, rakyat dan
Weltanschauungnya, merongrong dan melemahkan potensi Negara dengan maksud supaya Negara yang
bersangkutan menjadi lemah, mudah atau supaya Pemerintah yang bersangkutan menjalankan suatu
kebijaksanaan tertentu (yang dikehendaki oleh yang melancarkan subversi), dengan menggunakan saluran
dibidang ideologi politik. militer, sosial, ekonomi/keuangan, kebudayaan dan sebagainya.

Mengingat bahwa politik keluar dan kedalam Republik Indonesia pada pokoknya adalah :
a. bebas aktif
b. mewujudkan tujuan-tujuan revolusi dengan sistim-politik Demokrasi Terpimpin, maka usaha-usaha
subversi dapat datang dari dua fihak, yaitu dari :
a. kekuasaan-kekuasaan asing dengan mempergunakan anasir- anasir didalam Negeri yang
tidak puas dengan kebijaksanaan Pemerintah atau dengan konsepsi politiknya untuk
menggagalkan/menyelewengkan tujuan-tujuan jangka panjang atau pendek Pemerintah
Republik Indonesia baik keluar maupun kedalam,
b. anasir-anasir didalam negeri yang menginginkan susunan kemasyarakatan lain dari pada
yang telah digariskan didalam Pancasila dan Manipol, baik dengan dibantu oleh
kekuasaan-kekuasaan asing maupun tidak.

Strategi, taktik dan teknik subversi adalah banyak dan beraneka ragam serta berubah dengan tiap
perkembangan.
a. Operasi psykhologis:
- desas-desus,
- pamplet-pamplet,
- pemberitaan disurat-surat kabar,
- pameran-pameran industri dan lain-lain pameran,
- lain-lain kegiatan,
b. Pengacauan ekonomi, dengan cara antara lain.
- manipulasi bursa,
- pengedaran uang palsu,
- sabotase pada produksi (mesin, bahan bakunya, cara bekerja, pemogokan yang berturut-
turut dan lain-lain),
- sabotase pada bidang pengangkutan dan perhubungan,
- meluaskan operasi-operasi pasar gelap, yaitu dengan sengaja menghilangkan bahan-
bahan penting dari pasar bebas dan sebagainya.
c. Pengacauan politik :
- agitasi massa terhadap Pemerintah secara langsung atau tidak langsung.
- memecah belah partai-partai politik,
- menyelewengkan Haluan Negara,
- menggagalkan kebijaksanaan politik Pemerintah.
d. Kebudayaan, yaitu memasukkan pengaruh-pengaruh kebudayaan asing untuk merusakkan
kepribadian Bangsa, dengan melalui:
- pendidikan,
- kepanduan,
- perkumpulan-perkumpulan,
- kesenian
- cara-cara hidup,
- keolah-ragaan.

Senjata utama dalam subversi adalah operasi-operasi psykhologis (psywar) yang pengaruh-
pengaruhnya yang merusak sukar sekali diketahui dengan segera. Kalau golongan yang melakukan
subversi menggunakan kekerasan senjata, maka tindakannya itu sudah tidak merupakan subver si lagi,
akan tetapi merupakan pemberontakan/perang.
Peraturan-peraturan yang ada sekarang dirasa kurang cukup memberikan ruang gerak bagi
pelaksanaan usaha-usaha pemberantasan kegiatan subversi itu secara efektif. Berhubung dengan itu perlu
diadakan peraturan baru sebagai pelengkap bagi peraturan-peraturan yang telah ada, sehingga terwujudlah
ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan usaha-usaha tersebut yang disesuaikan dengan irama
revolusi tanpa mengurangi asas-asas keadilan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Apa yang dimaksudkan dengan tindak pidana subversi sudah jelas dirumuskan dalam pasal ini.
Arti memikat dalam pasal 1 ayat (2) ialah bersifat lebih luas dari pada arti istilah "uitlokking" dalam
pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan meliputi semua perbuatan yang dapat menimbulkan
dilakukannya tindak pidana subversi oleh orang lain.
Alat-alat Negara dalam melakukan tugas masing-masing dalam rangka usaha pemberantasan
kegiatan subversi ini haruslah menunjukkan ketelitian dan kewaspadaan yang maksimal, agar supaya tiada
terjadi penyalah gunaan wewenang atau ekses-ekses yang tidak perlu.

Pasal 2

Kata-kata rahasia militer didalam peraturan ini diperluas pengertiannya, yaitu termasuk didalamnya
rahasia gerakan-gerakan operasionil yang bersifat militer yang dilakukan oleh Angkatan Kepolisian.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5

Dalam rangka penyelenggaraan pimpinan dan petunjuk-petunjuk yang dimaksudkan didalam pasal
ini, tentu saja, bila perlu, Jaksa Agung/Oditur Jendral dapat secara langsung melakukan sendiri tindakan-
tindakan penyidikan atau dapat memerintahkan organ-organ dibawahnya untuk melakukannya. Apabila
penyidikan suatu tindak pidana subversi telah dilakukan oleh seorang Jaksa Agung/Oditur, maka Jaksa
Agung/Oditur, maka Jaksa Agung/Oditor Jendral dapat memerintahkan kepadanya untuk meneruskan
penyidikan itu hingga selesai atau bila perlu, mengambil alih penyidikan tersebut.
"Ketentuan-ketentuan yang berlaku" yang tercantum didalam pasal ini mencakup selain dari pada
ketentuan-ketentuan acara pidana juga antara lain Undang-undang Pokok Kejaksaan dan Undang-undang
Pokok Kepolisian. Maka oleh karena itu pimpinan Jaksa Agung/Oditur Jendral tersebut dilaksanakan
dengan mengindahkan saluran yang telah digariskan didalam Undang-undang itu. Kata "Oditur Jenderal"
digunakan bagi perwira yang dilingkungan Angkatan Darat, Laut dan Udara diserahi tugas memegang
kebijaksanaan penuntutan tertinggi, sedangkan kata "Oditur" digunakan bagi perwira yang dilingkungan
Angkatan-angkatan tersebut diserahi tugas penuntutan. Dewasa ini Angkatan yang telah mempunyai
seorang Oditur Jendral baru Angkatan Darat, sedangkan kata "Oditur" telah digunakan di-dalam peraturan
Penguasa Perang Tertinggi No.2 tahun 1960 tentang Mahkamah Angkatan Darat, Laut dan Udara dalam
Keadaan Perang.
Selanjutnya apabila dalam pasal-pasal yang berikut dalam Penetapan Presiden ini terdapat kata-
kata Oditur Jendral dari Oditur, maka yang dimaksudkan adalah seperti yang dijelaskan dalam pasal 5 ini.

Pasal 6 dan 7
Cukup jelas.

Pasal 8

Pada Jaksa Agung/Oditur Jendral diletakkan tanggung jawab, menurut wewenang masing-masing,
untuk mengawasi supaya tidak terjadi penahanan sementara yang berlarut-larut.

Pasal 9
Ayat (1) dan (2) :
Cukup jelas.

Ayat (3) : susunan sidang pengadilan didalam lingkungan peradilan militer tidak disebut oleh karena
peraturan yang telah ada sudah menjamin susunan sidang yang demikian itu bagi badan-badan pengadilan
militer.

Pasal 10
Ayat (1) dan (2) :
Cukup jelas.

Ayat (3) : ketentuan ini perlu, untuk mengusahakan secara maksimal tepatnya suatu putusan
pengadilan.

Pasal 11

Supaya pengadilan dapat melakukan tugasnya sesuai dengan irama revolusi, diperlukan
ketentuan tersebut dalam pasal ini yang menampilkan kedepan salah satu segi dalam penyederhanaan
acara tanpa mengurangi asas keadilan.

Pasal 12 s/d 16
Cukup jelas.
Pasal 17

Pasal ini menetapkan, bahwa tindakan peradilan dapat dilakukan juga terhadap badan-badan
hukum, perseroan-perseroan, perserikatan-perserikatan, yayasan-yayasan dan organisasi- organisasi
lain. Aturan ini sangat dibutuhkan, oleh karena tidak mustahil bahwa tindak pidana subversi dilakukan
oleh badan-badan itu.
Ilmu hukum pidana modern telah mengakui ajaran, bahwa hukuman dapat dijatuhkan terhadap
suatu badan hukum.
Ayat (1) : pasal ini menentukan, bahwa suatu tindak pidana subversi dapat dilakukan oleh suatu
badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan, suatu yayasan, atau suatu organisasi lainnya.
Ayat (2) : menentukan, dalam hal-hal apa suatu tindak pidana dianggap dilakukan oleh badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organiasasi lain, apabila tindak pidana itu dilakukan oleh
seorang yang mempunyai suatu hubungan dengan badan itu, baik berdasar hubungan kerja maupun
berdasar hubungan lain.
Selanjutnya ditentukan, bahwa orang tersebut harus bertindak "dalam lingkungan badan hukum
itu". Unsur-unsur tindak pidana subversi itu tidak usah ada pada satu orang, akan tetapi dapat dibagi
pada lebih dari satu orang yang bertindak. Misalnya seorang direktur berniat melakukan suatu tindak
pidana subversi, akan tetapi tindak pidana itu secara materiil dilakukan oleh seorang bawahannya
(bandingkanlah pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana : suruh melakukan).
Tuntutan pidana dilakukan pula terhadap pengurus yang mewakili badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi itu. Jika pengurus itu tidak ditentukan dengan tegas, maka
Jaksa/Oditur berhak untuk menunjuk seorang dari mereka sebagai wakil. Wakil itu dapat diwakili oleh
orang lain, akan tetapi hakim berhak memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri.
Dengan "tindakan peradilan" dimaksudkan segala tindakan dimulai dari penyidikan sampai
dengan pelaksanaan putusan Pengadilan.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19

Agar supaya tidak timbul keragu-raguan bagi penegak dan penyelenggara hukum, seakan-akan
untuk sesuatu tindak pidana berlaku ketentuan lain sebagai lex specialis terhadap ketentuan dalam
peraturan ini (misalnya pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana terhadap pasal 3 peraturan ini),
maka ketentuan ini dirasa perlu ditegaskan. Buat segala macam tindak pidana subversi hanya ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam peraturan ini sajalah yang berlaku.

Pasal 20

Cukup jelas.
Termasuk dalam Lembaran-Negara tahun 1963 No. 101.

Mengetahui :
Pejabat Sekretaris Negara,

A. W. SURJOADININGRAT (S.H.)

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2595


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1974
TENTANG
POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata dan berkeseimbangan material dan spirituil, diperlukan adanya Pegawai Negeri
sebagai Warga Negara, unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang penuh
kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah
serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar
akan tanggung-jawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan;

b. bahwa untuk mewujudkan Pegawai Negeri yang demikian itu diperlukan adanya suatu Undang-
undang yang mengatur kedudukan, kewajiban, hak, dan pembinaan Pegawai Negeri yang
dilaksanakan berdasarkan sistim karier dan sistim prestasi kerja;

c. bahwa Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian


(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 263) dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya
yang berhubungan dengan itu, dianggap tidak sesuai lagi, maka oleh sebab itu perlu diganti.

Mengingat :

1. Pasal-pasal 5 ayat (1), 20 ayat (1), 27, dan 28 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973 tentang Garis-
garis Besar Haluan Negara.

Dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN.


BAB I
PENGERTIAN

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

a. Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi
tugas dalam sesuatu jabatan Negeri atau diserahi tugas Negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan
sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku;

b. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat dan atau
memberhentikan Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. Jabatan Negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutip yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan termasuk di dalamnya jabatan dalam kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara dan kepaniteraan Pengadilan;

d. Atasan yang berwenang adalah pejabat yang karena kedudukan atau jabatannya membawahi
seorang atau lebih Pegawai Negeri;

e. Pejabat yang berwajib adalah pejabat yang karena jabatan atau tugasnya berwenang melakukan
tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 2

(1) Pegawai Negeri terdiri dari :

a. Pegawai Negeri Sipil, dan

b. Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia..

(2) Pegawai Negeri Sipil terdiri dari :

a. Pegawai Negeri Sipil Pusat;

b. Pegawai Negeri Sipil Daerah; dan

c. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB II

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama

Kedudukan

Pasal 3

Pegawai Negeri adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang dengan
penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan
Pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.
Bagian Kedua

Kewajiban

Pasal 4

Setiap Pegawai Negeri wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila Undang-Undang Dasar
1945, Negara dan Pemerintah.

Pasal 5

Setiap Pegawai Negeri wajib mentaati segala peraturan perundang- undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran,
dan tanggungjawab.

Pasal 6

(1) Setiap Pegawai Negeri wajib menyimpan rahasia jabatan.

(2) Pegawai Negeri hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan atas perintah pajabat
yang berwajib atas kuasa Undang-undang.

Bagian Ketiga

Hak

Pasal 7

Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan
tanggungjawabnya.

Pasal 8

Setiap Pegawai Negeri berhak atas cuti.

Pasal 9

(1) Setiap Pegawai Negeri yang ditimpa oleh sesuatu kecelakaan dalam dan karena menjalankan
tugas kewajibannya, berhak memperoleh perawatan.

(2) Setiap Pegawai Negeri yang menderita cacat jasmani atau cacat rohani dalam dan karena
menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkannya tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan
apapun juga, berhak memperoleh tunjangan.

(3) Setiap Pegawai Negeri yang tewas, keluarganya berhak memperoleh uang duka.

Pasal 10

Setiap Pegawai Negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, berhak atas pensiun.

Bagian Keempat

Pejabat Negara

Pasal 11
Seorang Pegawai Negara yang diangkat menjadi Pejabat Negara, di bebaskan untuk sementara waktu
dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai
Negeri.

BAB III

PEMBINAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

Bagian Pertama

Tujuan Pembinaan

Pasal 12

(1). Pembinaan Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna.

(2). Pembinaan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilaksanakan berdasarkan sistim karier dan
sistim prestasi kerja.

Bagian Kedua

Kebijaksanaan Pembinaan

Pasal 13

Kebijaksanaan pembinaan Pegawai Negeri Sipil secara menyeluruh berada di tangan Presiden.

Pasal 14

Untuk lebih meningkatkan pembinaan, keutuhan, dan kekompakan serta dalam rangka usaha
menjamin kesetiaan dan ketaatan penuh seluruh Pegawai Negeri Sipil terhadap Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah, perlu dipupuk dan dikembangkan jiwa korps yang bulat
di dan Pemerintah, perlu dipupuk dan dikembangkan jiwa korps yang bulat dan kalangan Pegawai
Negeri Sipil.

Bagian Ketiga

Formasi dan Pengadaan

Pasal 15

Jumlah dan susunan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang diperlukan ditetapkan dalam formasi untuk
jangka waktu tertentu berdasarkan jenis, sifat, dan beban kerja yang harus dilaksanakan.

Pasal 16

(1) Pengadaan Pegawai Negeri Sipil adalah untuk mengisi formasi.

(2) Setiap Warga Negara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, mempunyai kesempatan
yang sama untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil.

(3) Apabila pelamar yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini diterima, maka ia harus melalui masa
percobaan dan selama masa percobaan itu berstatus sebagai calon Pegawai Negeri Sipil.

(4) Calon Pegawai Negeri Sipil diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah memulai masa
percobaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan selama-lamanya 2 (dua) tahun.

Bagian Keempat

Kepangkatan, Jabatan, Pengangkatan, Pemindahan,

dan Pemberhentian

Pasal 17

(1) Pegawai Negeri Sipil diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu.

(2) Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam sesuatu jabatan dilaksanakan dengan memperhatikan
jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu.

Pasal 18

(1) Pemberian kenaikan pangkat dilaksanakan berdasarkan sistim kenaikan pangkat reguler dan
kenaikan pangkat pilihan.

(2) Setiap Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, berhak atas kenaikan
pangkat reguler.

(3) Pemberian kenaikan pangkat pilihan adalah pengharapan atas prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan.

(4) Syarit-syarat kenaikan pangkat reguler adalah prestasi kerja, disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian,
pengalaman, dan syarat-syarat obyektip lainnya.

(5) Kenaikan pangkat pilihan, disamping harus memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam ayat (4)
pasal ini, harus pula didasarkan atas jabatan yang dipangkunya dengan memperhatikan daftar urut
kepangkatan.

(6) Pegawai Negeri Sipil yang tewas diberikan kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara
anumerta.

Pasal 19

Pengangkatan dalam jabatan didasarkan atas prestasi kerja, disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian,
pengalaman, dapat dipercaya, serta syarat-syarat obyektip lainnya.

Pasal 20

Untuk lebih menjamin obyektipitas dalam mempertimbangkan dan menetapkan kenaikan pangkat dan
pengangkatan dalam jabatan diadakan daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan dan daftar urut
kepangkatan.

Pasal 21

Untuk kepentingan pelaksanaan tugas bagi Pegawai Negeri Sipil tertentu ditetapkan tanda pengenal.

Pasal 22

Untuk kepentingan pelaksanaan tugas kedinasan dan dalam rangka pembinaan Pegawai Negeri Sipil
dapat diadakan perpindahan jabatan dan atau perpindahan wilayah kerja.
Pasal 23

(1) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena :

a. Permintaan sendiri ;

b. telah mencapai usia pensiun ;

c. adanya penyederhanaan organisasi Pemerintah ;

d. tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
PegawatNegeri Sipil.

(2) Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan
hormat.

(3) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat, karena :

a. melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Sumpah/Janji Jabatan Negeri atau Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil;

b. dihukum penjara, berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap karena dengan sengaja melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara setingg-tingginya 4 (empat) tahun atau diancam dengan hukuman yang lebih berat.

(4) Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat, karena :

a. dihukum penjara atau kurungan, berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap karena melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan ;

b. ternyata melakukan penyelewengan terhadap Ideologi Negara Pancasila, Undang-Undang Dasar


1945, atau terlibat dalam kegiatan yang menentang Negara dan atau Pemerintah.

Pasal 24

Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan tahanan sementara oleh pejabat yang berwajib karena disangka
telah melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan, dikenakan pemberhentian sementara.

Pasal 25

Untuk memperlancarkan pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai


Negeri Sipil, Presiden dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Menteri atau pejabat
lain.

Bagian Kelima

Sumpah, Kode Etik dan Peraturan Disiplin

Pasal 26

(1) Setiap calon Pegawai Negeri Sipil pada saat pengangkatannya menjadi Pegawai Negeri Sipil wajib
mengangkat Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil menurut agama atau kepercayaannya kepada Tuhan
Yang Mahaesa.

(2) Susunan kata-kata Sumpah/Janji yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah sebagai berikut :
Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan
setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;

Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan
tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan
tanggungjawab;

Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah dan martabat
Pegawai Negeri, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan
saya sendiri, seseorang atau golongan;

Bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus
saya rahasiakan; Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk
kepentingan Negara.

Pasal 27

Setiap Pegawai Negeri Sipil yang diangkat untuk memangku sesuatu jabatan tertentu wajib
mengangkat Sumpah/Janji Jabatan Negeri.

Pasal 28

Pegawai Negeri Sipil mempunyai Kode Etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan di
dalam dan di luar kedinasan.

Pasal 29

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang- undangan pidana, maka untuk
menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, diadakan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.

Pasal 30

(1) Pembinaan Jiwa Korps, Kode Etik, dan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil tidak boleh
bertentangan dengan Pasal-pasal 27 dan 28 Undang-Undang Dasar 1945.

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, akan diatur
tersendiri.

Bagian Keenam

Pendidikan dan Latihan

Pasal 31

Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, diadakan pengaturan pendidikan
serta pengaturan dan penyelenggaraan latihan jabatan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk
meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan, dan ketrampilan.

Bagian Ketujuh

Kesejahteraan

Pasal 32

(1) Untuk meningkatkan kegairahan bekerja, diselenggarakan usaha kesejahteraan Pegawai Negeri
Sipil.
(2) Pegawai Negeri Sipil dan keluarganya pada waktu sakit atau melahirkan, berhak memperoleh
bantuan perawatan kesehatan.

(3) Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia, keluarganya berhak memperoleh bantuan.

(4) Penyelenggaraan kesejahteraan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1), (2) dan (3) pasal ini diatur dan
dibina oleh Pemerintah.

Bagian Kedelapan

Penghargaan

Pasal 33

(1) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang telah menunjukkan kesetiaan atau berjasa terhadap Negara
atau yang telah menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa baiknya, dapat diberikan penghargaan.

(2) Penghargaan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat berupa tanda jasa atau bentuk
penghargaan lainnya.

Bagian Kesembilan

Penyelenggaraan Pembinaan Kepegawaian

Pasal 34

Untuk menjamin kelancaran pembinaan Pegawai Negeri Sipil, dibentuk badan yang membantu
Presiden dalam mengatur dan menyelenggarakan pembinaan Pegawai Negeri Sipil.

Bagian Kesepuluh

Peradilan Kepegawaian

Pasal 35

Penyelesaian sengketa di bidang kepegawaian dilakukan melalui peradilan untuk itu, sebagai bagian
dari Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Bagian Kesebelas

Lain-lain

Pasal 36

Perincian tentang hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 35 Undang-undang ini
diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

BAB IV

PEMBINAAN ANGGOTA ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

Pasal 37

Pembinaan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diatur dengan peraturan perundang-
undangan tersendiri.
BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 38

Pada saat berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan perundang-undangan yang ada di bidang
kepegawaian yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39

Pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi :

a. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian


(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 263);

b. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1952 tentang Menetapkan Undang- undang Darurat tentang Hak
Pengangkatan dan Pemberhentian Pegawai-pegawai Republik Indonesia Serikat (Undang-undang
Darurat Nomor 25 dan 34 Tahun 1950) sebagai Undang-undang Republik Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1952 Nomor 78);

c. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1957 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 13


Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 58) tentang Menambah Undang-undang Nomor 21
Tahun 1952 (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 78) tentang "Menetapkan Undang-undang Darurat
tentang Hak Pengangkatan dan Pemberhentian Pegawai-pegawai Republik Indonesia Serikat
(Undang-undang Darurat Nomor 25 dan 34 Tahun 1950) sebagai Undang-undang Republik Indonesia",
sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 100);

d. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1961 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1952
tentang Hak Mengangkat dan Memberhentikan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1961
Nomor 259).

Pasal 40

Hal-hal yang belum atau belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 41

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya,memerintahkan pengundangan Undang-undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Disahkan di Jakarta,

pada tanggal 6 Nopember 1974

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


SOEHARTO

JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 6 Nopember 1974

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, S H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 55


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3041

Anda mungkin juga menyukai