Anda di halaman 1dari 4

Evaluasi Sistem Perkaderan Ikatan

“Layakkah SPI dikatakan sebagai sebuah sistem ?”

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Kader menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai perwira atau bintara
dalam ketentaraan, dengan kata lain, kader adalah orang yang diharapkan akan memegang peran yang
penting dalam suatu pemerintahan. Dan perkaderan didefinisikan sebagai segala proses yang terjadi
dalam pembentukkan kader (kaderisasi).
Setiap organisasi tentunya pasti melakukan proses kaderisasi, baik secara langsung atau tidak
langsung, secara sadar atau bahkan tak-sadar, termasuk salah satunya adalah organisasi Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Dalam proses kaderisasi-nya, IMM memiliki acuan atau landasan
yang berisikan tentang sistem yang memuat seluruh proses kaderisasi, yang disebut dengan Sistem
Perkaderan Ikatan (SPI).
Perkaderan ikatan merupakan proses pembalajaran yang dilakukan oleh kader dalam kehidupan
baik bersama ikatan ataupun ketika sudah berada diluar sturuktural ikatan. Sistem perkaderan ikatan
secara filosofis merupakan pengejawantahan dari perkaderan yang dilakukan oleh Rasulullah. Dalam
hal ini bisa dilihat dari nama perkaderan ikatan dan perkaderan rasulullah yaitu “Darul Arqam”.
Adapun filosofis perkaderan yang dilakukan oleh rasul tersebut yakni menanamkan nilai-nilai
islam secara kaffah dan mengubah kesadaran magis sehingga timbul kesadaran al syaksiyah faal fadli
(hablum minallah dan hablum minannas).
Di dalam buku Sistem Informasi Manajemen yang ditulis oleh Lukman Ahmad dijelaskan pada
halaman 3 – 4, bahwa sistem merupakan suatu susunan yang teratur dari kegiatan-kegiatan yang saling
berkaitan dan susunan prosedur-prosedur yang saling berhubungan, sinergi dari semua unsur-unsur dan
elemen-elemen yang ada didalamnya, yang menunjang pelaksanaan dan mempermudah kegiatan-
kegiatan utama tercapai dari suatu organisasi ataupun kesatuan kerja.
Dari definisi tersebut, penulis memahami bahwa suatu sistem harus bersifat menyeluruh, yang
mana tidak bisa dikatakan sistem jika hanya mencakup sebagian komponen saja. Sistem merupakan
satu produk yang kompleks dan sangat mendetail membahas segala komponen yang ada didalamnya
serta terdapat korelasi di antara seluruh bagian komponen tersebut.
Sistem pun seringkali dipahami sebagai suatu landasan, haluan atau bahkan acuan dalam proses
berorganisasi, digunakan di setiap perusahaan, di perguruan tinggi dalam ranah pendidikan, bahkan
digunakan dalam proses bernegara. Penulis mencoba mencermati dan beranggapan bahwa “sistem” ini
menjadi sebuah keharusan yang benar-benar tidak bisa diabaikan dan tak terpisahkan dari segala sesuatu
atau kegiatan yang melibatkan banyak orang dan memiliki tujuan tertentu baik dalam ranah
kemasyarakatan, perdagangan, pendidikan, atau bahkan dalam kegiatan bernegara. Dengan adanya
“sistem” ini menunjukkan bahwa proses yang melibatkan suatu sistem dalam pelaksanaannya itu benar-
benar merupakan suatu hal yang penting, merupakan sesuatu yang sangat besar, menunjukkan bahwa
sesuatu itu benar-benar harus diwujudkan, dan dalam perwujudan tujuannya itu tidak bisa dituntaskan
dengan cara yang mudah, sehingga membutuhkan “sistem” tersebut untuk membuat proses
perwujudannya itu menjadi lebih sistematis, dan tersusun. Bahkan tak sedikit orang, menggunakan
sistem untuk mencoba mewujudkan hal yang simple, itu karena mereka menganggap bahwa tujuan
tersebut akan lebih mudah lagi diwujudkan jika dalam pelaksanaannya melibatkan sistem tersebut.
Di ranah organisasi, dalam hal ini IMM-pun memiliki dan melibatkan sistem dalam
mewujudkan tujuannya, termasuk dalam agenda perkaderan, yaitu Sistem Perkaderan Ikatan atau lebih
sering disingkat dengan kata SPI.
Setelah penulis mencoba mencermati substansi yang dipaparkan dalam Sistem Perkaderan
Ikatan tersebut dan mencoba mengkomparasikannya dengan keadaan zaman saat ini, penulis merasa
bahwa SPI tersebut masih jauh atau bahkan belum layak untuk bisa dikatakan atau disebut sebagai suatu
sistem. Mengapa demikian, karena informasi yang dimuat dalam SPI tersebut masih belum mencakup
seluruh komponen yang berkaitan dengan perkaderan itu sendiri, masih banyak hal yang seharusnya
dimuat tetapi bahkan tidak disinggung sama sekali dalam SPI. Masih banyak upaya yang harus
dilakukan demi menyempurnakan SPI tersebut, sehingga SPI benar-benar layak dikatakan sebagai suatu
sistem.
Penulis akan mencoba memaparkan beberapa pandangan penulis terkait Sistem Perkaderan
Ikatan dalam tulisan ini, dan juga menambahkan beberapa argumen penulis terkait hal tersebut yang
tentunya disertai dengan alasan konkret.
Dalam SPI ada berbagai aturan untuk mengelola, menata dan mengevaluasi perkaderan.
Sebagai sebuah sistem perkaderan, kekurangan dari SPI adalah belum mampu menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman serta kebutuhan dari perkaderan dalam hal ini adalah proses internalisasi
nilai-nilai IMM. Tidak bisa dipungkiri bahwa SPI membutuhkan pembaharuan agar proses kaderisasi
dalam IMM pun tidak mengalami stagnasi apalagi epigon.
Hal-hal yang perlu di evaluasi dari SPI adalah hal-hal yang bersifat substansial. Penulis melihat
ada hal-hal yang terlewatkan bahkan tidak ada sama sekali dalam SPI karena tidak adanya pembaharuan
sama sekali dalam SPI. Sebagai contoh, kelahiran IMM selain untuk menjadi pelopor, pelangsung dan
penyempurna cita-cita Muhammadiyah juga sebagai pemantau berjalannya amal usaha Muhammadiyah
dalam hal ini adalah Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), tapi hal ini tidak tergambarkan dalam
SPI. Dalam SPI bahkan tidak mencantumkan muatan materi yang menjelaskan peran dan fungsi IMM
di PTM, hal itu diperlukan sebagai rangsangan untuk memberikan pemahaman awal kepada kader
bahwa PTM adalah rumahnya IMM sudah seharusnya dijaga dan dijadikan sebagai lahan dakwah IMM
dalam menyebarluaskan misi amar ma’ruf nahi munkarnya Muhammadiyah.
Sistem Perkaderan Ikatan (SPI) secara filosofis merupakan penerjemahan perkaderan yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Hal ini dapat dilihat dari nama perkaderan di IMM itu sendiri yaitu
“Darul Arqom” yang mengadopsi nama dari perkaderan yang dilakukan Rasulullah Sallallaahu ‘Alaihi
Wasallam.
Penulis menilai, dalam penamaan perkaderan tersebut dengan kata “Darul Arqom” tentunya
tidak hanya sekedar nama namun hampa makna, jelas sekali bahwa perkaderan ini merupakan bentuk
terjemahan dari perkaderan Rasulullah Sallallaahu ‘Alaihi Wasallam, namun sayangnya di dalam SPI
tidak digambarkan atau dipaparkan secara rinci penjelasan mengenai seperti apa perkaderan yang
dilakukan oleh Rasulullah tersebut, seperti apa Rasulullah mendidik kadernya, bahkan seperti apa
Rasulullah mengatasi keadaan kadernya. Dan bukan hanya itu, seharusnya diutarakan pula bentuk
korelasi perkaderan pada zaman Rasulullah saat itu dengan perkembangan zaman saat ini. Hal itu
diperlukan agar seluruh elemen IMM dalam hal ini seluruh kader, memiliki gambaran perkaderan yang
mencontoh kepada perkaderan rasulullah yang kemudian bisa mereka implementasikan atau
aktualisasikan dalam perkaderan saat ini yang tentunya tetap sesuai dengan apa yang rasulullah
contohkan yang tergambarkan dalam Al-Quran dan Sunnah rasulullah.
Kemudian jika kita menyinggung sedikit mengenai perkaderan utama, baik itu Darul Arqom
Dasar (DAD, Darul Arqom Madya (DAM), atau bahkan sekelas Darul Arqom Paripurna (DAP), di SPI
sama sekali tidak dicantumkan terkait standar kompetensi instruktur yang bisa dikatakan layak untuk
bertugas. Di dalam SPI hanya dicantumkan bahwa instruktur yang bertugas di perkaderan hanya perlu
memenuhi persyaratan, sedangkan persyaratan itu sendiri tidak dipaparkan secara konkret harus seperti
apa. Hal seperti bisa membahayakan terhadap prosesi perkaderan dikarenakan tidak ada landasan yang
baku terkait standar kompetensi instruktur dan akan mempengaruhi kader yang dibentuk dari
perkaderan tersebut.
Kelemahan selanjutnya, silabus materi yang disusun dalam SPI itu bisa dikatakan sudah tidak
relevan lagi dengan keadaan zaman saat ini. Ada beberapa materi yang dicantumkan, namun saat ini
sudah tidak menjadi persoalan lagi. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pembaharuan yang terjadi
atau yang dilakukan dalam persoalan yang bersifat substansi di SPI, sehingga keakuratan dan tingkat
relevansi nya dipertanyakan.
Dilanjutkan dengan pembagian tim instruktur yang terdiri dari Master of Training (MOT), dan
Vice MOT (jika diperlukan), Imam Training, Observer, dan anggota tim instruktur. Dari semua
pembagian tim instruktur tersebut, ketika penulis mencermati terkhusus terkait batasan tugas pokok dan
fungsi Imam Training di SPI tidak diutarakan secara eksplisit, di SPI tersebut hanya dipaparkan tugas
pokok dan fungsi yang secara umum saja, bahwa “Imam Training yaitu seseorang yang mendapat tugas
memandu keinstrukturan dalam aspek pelaksanaan syariat Islam dan akhlaq karimah”, padahal terkait
pelaksanaan syariat Islam dan akhlaq karimah tersebut sifatnya luas, sehingga diperlukan-lah penjelasan
secara lebih terperinci terkait tugas pokok dan fungsi Imam Training.
Selanjutnya, masih pada cakupan bahasan pada bagian perkaderan utama. Dalam SPI, waktu
atau durasi berlangsungnya perkaderan ditentukkan dalam bentuk “kurun waktu” sesuai dengan jumlah
muatan materi keseluruhan dikali durasi dari setiap muatan materi tersebut. Penulis menilai bahwa, hal
tersebut bersifat kaku, tidak bisa disamaratakan di setiap pimpinan sehingga sulit untuk di
aktualisasikan.
Menurut hemat penulis, waktu atau durasi berlangsungnya perkaderan seharusnya ditentukkan
atas dasar urgensitas substansi internalisasi ideologi yang ingin ditanamkan dalam diri kader sesuai
dengan keadaan di tiap pimpinan. Hal ini didasari oleh perbedaan yang terdapat di setiap pimpinan
terkait kondisi kader di lingkungan tersebut, yang menyebabkan urgensitasnya pun bisa berbeda-beda.
Contoh lainnya adalah tidak dijelaskan secara eksplisit terkait dengan metodologi perkaderan
pendukung. Perkaderan pendukung memegang porsi untuk penguatan ideologi yang sebelumnya sudah
di internalisasikan dalam perkaderan utama, tapi kekurangannya adalah SPI tidak menjelaskan dengan
detail metodologi perkaderan pendukung yang efektif untuk penguatan ideologi. Kadangkala perangkat
perkaderan dalam memformulasikan perkaderan hanya mengikuti pengalaman yang sudah-sudah tidak
dipaduakan dengan kebutuhan, hal itu terjadi karena minimnya pembaharuan dalam SPI.
Itulah beberapa hal terkait evaluasi yang penulis coba lakukan terhadap SPI, penulis menilai
bahwa SPI masih belum layak dikatakan sebagai suatu sistem. Masih banyak upaya yang harus
dilakukan dalam menyempurnakan SPI tersebut.
SPI harus tetap menjadi perhatian lebih untuk segera disempurnakan, karena dari SPI seluruh
arah gerak perkaderan itu ditentukan dan diwujudkan. SPI yang merupakan salah satu landasan gerak
dan langkah kader IMM demi mengupayakan terwujudnya akademisi Islam yang berakhlak mulia
dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah-itu menjadi tonggak atau haluan IMM dalam beramal,
dalam hal ini gerak, langkah, serta semua kegiatan perkaderan. Kehadiran SPI yang tepat dalam susunan
yang bersifat substansial ataupun yang lain, diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan terkait
perkaderan yang terjadi pada zaman ini, dan di zaman yang akan datang. Sehingga nantinya, kader yang
berhasil dibentuk di IMM ini menjadi kader yang ideal, ideal dalam arti sesuai dengan nilai-nilai yang
ada, kemudian kader-kader ini mampu melawan dan menghadapi tantangan zaman yang ada, dan
mumpuni dalam berbagai bidang.

Anda mungkin juga menyukai