Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH KO-KRISTALISASI

PADA KRISTAL ETIL PARA METOKSISINAMAT


DENGAN KOFORMER ASAM TARTRAT
TERHADAP BIOAVAILABILITAS

USULAN PENELITIAN

ATI SETIASIH A161041


ELDO RADO FERNANDO A161053
SYISTANTI LEILYTA A161062
INTAN ALIF ALAWIYAH A161063
NOVA HERDIANA A161067

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


YAYASAN HAZANAH
BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Etil para metoksisinamat (EPMS) adalah metabolit sekunder dari Kencur
(Kaemferia galanga L.) yang memiliki aktivitas sebagai antitumor, antikanker,
antibakteri, antihipertensi, dan antiinflamasi (Firmansyah, dkk., 2018). EPMS
termasuk ke dalam turunan asam sinamat, dimana asam sinamat sendiri merupakan
turunan senyawa fenil propanoat. EPMS merupakan golongan senyawa ester yang
mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar serta
mengandung gugus karbonil yang mengikat etil dengan sifat sedikit polar (Barus,
2009). EPMS berbentuk kristal putih kekuningan dan memiliki aroma yang khas
(Mufidah, 2014). Kelarutan dari EPMS sendiri yaitu larut dalam air (128.1 mg/L @
25°C) dan alkohol, dengan demikian dapat dikatakan bahwa EPMS memiliki
kelarutan yang rendah terutama dalam air. Meskipun EPMS dapat larut dalam
alkohol, namun kelarutan zat aktif dalam air sangat penting dalam proses absorpsi
(Agoes, 2012).
Kelarutan obat dalam air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kecepatan absorbsi dan jumlah obat yang tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam
bentuk molekul utuh atau molekul aktif setelah pemberian obat (ketersediaan
hayati). Ketersediaan hayati obat yang diberikan secara oral sangat bergantung
terutama pada kelarutan dalam saluran cerna dan permeabilitas obat melewati
membran sel saluran cerna. Molekul obat harus berada dalam bentuk terlarut supaya
dapat ditransportasikan melewati membran biologis. Oleh karena itu kelarutan
dalam air yang rendah dapat menunda atau membatasi absorbsi obat (Agoes, 2012).
Untuk obat-obatan dengan kelarutan yang rendah dalam air namun dikehendaki

Setelah membaca dan menelaah isi naskah proposal usulan penelitian


tugas akhir, kami memberikan persetujuan:

Pembimbing utama : Revika Rachmaniar, M.Farm., Apt / ............................

Pembimbing serta : Seno Aulia Ardiansyah, M.Si., Apt / ............................

1
2

untuk memberikan efek yang cepat, perlu dilakukan pengembangan formulasi


untuk meningkatkan kelarutannya.
Dari sifat kelarutan EPMS yang rendah dalam air tersebut, para peneliti
sekarang sudah mulai melakukan modifikasi senyawa tersebut dengan berbagai
metode. Salah satu upaya untuk meningkatkan kelarutan dari EPMS tersebut yaitu
seperti penelitian yang dilakukan oleh Aswin (2018) mengenai karakterisasi
kokristal etil para metoksisinamat yang dibuat melalui metode solvent drop
grinding dengan asam tartrat sebagai koformer. Berdasarkan penelitiannya
didapatkan hasil bahwa metode kokristalisasi dapat meningkatkan kelarutan etil
para metoksisinamat di dalam air. Peningkatan kelarutan kokristal EPMS:asam
tartrat dengan perbandingan 1:1, 1:2, dan 1:3 secara berturut-turut meningkat 1,39;
1,50; 1,44 kali nya. Selain itu dari penelitiannya juga didapatkan data mengenai
pola Powder X-Ray Diffraction (PXRD) yang merupakan salah satu uji
karakterisasi kristalinitas (sifat kristal), dimana pola difraktogramnya menunjukkan
bahwa adanya puncak baru yang mengidentifikasikan terbentuknya formasi kristal
baru. Hal itu berarti penggabungan dengan senyawa lain dalam kisi kristal yang
sama (kokristal) telah terbukti mampu mengubah suatu sifat fisikokimia suatu
senyawa termasuk kelarutannya (Aitipamula et al., 2012; Karki, dkk., 2009).
Berdasarakan penelitian yang telah dilakukan tersebut dapat disimpulkan
bahwa metode kokristalisasi dengan koformer asam tartrat dapat meningkatkan
kelarutan dari EMPS. Pada umumnya suatu obat diharapkan dapat memberikan
efek terapi yang cepat, maka dari itu pada penelitian ini akan dilakukan pengujian
perbandingan bioavailabilitas kristal etil para metoksisinamat (EPMS) dengan
kokristal EPMS-asam tartrat, dimana bioavailabilitas sendiri dapat berpengaruh
pada kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik untuk
memberikan efek terapi.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah yang dapat
dirumuskan yaitu apakah kokristal EPMS-asam tartrat memiliki kemampuan
bioavailabilitas lebih tinggi atau rendah jika dibandingkan dengan bioavailabilitas
kristal EPMS.
3

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini yaitu untuk menetapkan bioavailabilitas dari kristal
EPMS dan kokristal EPMS-asam tartrat, serta membuktikan bahwa kokristal
EPMS-asam tartrat yang memiliki kelarutan lebih baik dibanding kristal EPMS
akan menghasilkan bioavaibilitas yang baik.

1.4 Kegunaan Penelitian


Kegunaan penelitian ini yaitu mengevaluasi suatu metode perbaikan
kelarutan kristal EPMS, sehingga didapatkan zat aktif yang memiliki
bioavailabilitas yang baik.

1.5 Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2020 sampai Mei 2020 di
laboratorium farmakologi dan laboratorium tugas akhir Sekolah Tinggi Farmasi
Indonesia Bandung Jl. Soekarno Hatta No. 354 Bandung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kristal Etil Para Metoksisinamat

Gambar 2.1 Struktur Kristal Etil Para Metoksisinamat (Barus, 2009)

Kristal etil para metoksisinamat (EPMS) adalah metabolit sekunder yang


diisolasi dari rimpang kencur (Kaemferia galanga L.) yang memiliki aktivitas
sebagai antitumor, antikanker, antibakteri, antihipertensi, dan antiinflamasi
(Firmansyah, dkk., 2018). EPMS atau C12H14O3 termasuk turunan asam sinamat,
dimana asam sinamat adalah turunan senyawa fenil propanoat. EPMS merupakan
golongan senyawa ester yang mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang
bersifat nonpolar serta mengandung gugus karbonil yang mengikat etil dengan sifat
sedikit polar (Barus, 2009). EPMS berbentuk kristal putih kekuningan dan memiliki
aroma yang khas (Mufidah, 2014). EPMS memiliki berat molekul 206,24 g/mol,
titik lebur 55-56˚C, larut dalam air (128.1 mg/L @ 25˚C) dan alkohol (Bangun,
2011).

2.2 Koristal Etil Para Metoksisinamat-Asam Tartrat

Gambar 2.2 Sistem Kokristal (Thakuria, 2018)

4
5

Kokristalisasi merupakan suatu proses pembentukan suatu kristal padat yang


disebut kokristal. Teknologi kokristal muncul sebagai metode potensial untuk
meningkatkan bioavailabilitas obat-obatan yang mempunyai kelarutan yang rendah
dalam air (Qiao, et al., 2011). Kokristal adalah kristal komponen ganda antara API
(Active Pharmaceutical Ingredient) dan koformer (Shan, et al., 2008).
Penggabungan dengan senyawa lain dalam kisi kristal yang sama (kokristal) telah
terbukti mampu mengubah suatu sifat fisikokimia suatu senyawa termasuk
kelarutannya (Aitipamula, et al., 2012; Karki, dkk., 2009).
Koformer adalah molekul yang merupakan agen kokristalisasi dan harus
bersifat tidak toksik serta inert secara farmakologi, mudah larut dalam air, mampu
berikatan secara non kovalen dengan obat contohnya ikatan hidrogen, mampu
meningkatkan kelarutan obat dalam air, kompatibel secara kimia dengan obat, dan
tidak membentuk ikatan yang kompleks dengan obat (Mustapa, 2012). Salah satu
jenis koformer yang sering digunakan yaitu asam tartrat. Asam tartrat merupakan
suatu zat yang dapat digunakan sebagai koformer dimana gugus fungsi asam
karboksilat yang terdapat dalam koformer tersebut dapat berikatan dengan gugus
fungsi ester (Almarsson, et al., 2011). Kelarutan dari asam tartrat yaitu praktis tidak
larut dalam kloroform pada suhu 20°C, larut dalam 1:0,75 bagian air, larut dalam
1:2,5 bagian etanol 95%, 1:250 bagian eter, 1:1,7 bagian metanol, larut dalam
gliserin, dan larut dalam 1:0,5 bagian air dengan suhu 100°C (Rowe, et al., 2006).
Karakterisasi struktur dan ukuran kristal dari kokristal dianalisa dengan
menggunakan Powder X-Ray Diffraction (PXRD) yang akan memunculkan
puncak-puncak yang spesifik (Dewi, dkk., 2014).

Gambar 2.3 Pola Powder X-Ray Diffraction (PXRD) (a) EPMS, (b) Asam Tartrat,
(c) Kokristal 1:1, (d) Kokristal 1:2, (e) Kokristal 1:3
6

Dari difraktogram yang dapat dilihat pada gambar 2.3 menunjukkan bahwa
kokristal 1:1 (c) menunjukkan adanya puncak baru pada 2θ = 18,63°; 23,38°, dan
35,37°, kokristal 1:2 (d) pada 2θ = 18,64°; 18,8°; 23,36°, dan 35,37°, lalu kokristal
1:3 (e) pada 2θ = 18,8°; 23,37°, dan 35,32°. Adanya puncak baru tersebut
mengidentifikasikan terbentuknya formasi kristal baru (Ramdani, 2018).
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting
dalam meramalkan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna (Gozali, dkk., 2012).
Menurut penelitian Aswin (2018) peningkatan kelarutan kokristal EPMS:asam
tartrat dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Hasil Uji Kelarutan
Kadar EPMS Terlarut
Sampel Peningkatan Kelarutan
(mg/10mL)
EPMS 0,301±0,0008
Kokristal 1:1 0,420±0,0024 1,39x
Kokristal 1:2 0,452±0,0020 1,50x
Kokristal 1:3 0,434±0,0004 1,44x

2.3 Bioavailabilitas
Bioavailabilitas (BA) merupakan suatu pengukuran laju dan jumlah bahan
aktif atau bagian aktif yang diabsorpsi dari suatu produk obat dan tersedia pada site
aksi. Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh
Food and Drug Administration (FDA) untuk dipasarkan. Bioavailabilitas dapat
dipertimbangkan sebagai satu aspek kualitas produk obat yang mengkaitkan
tampilan in vivo produk obat yang digunakan dalam percobaan klinis pada studi
yang menunjukkan bukti keamanan dan kemanjuran (Shargel, dkk., 2012).
2.3.1 Klasifikasi Bioavailabilitas
Studi bioavailabilitas berguna dalam menetapkan pengaruh perubahan
sifat fisikokimia bahan obat dan pengaruh produk obat (bentuk sediaan) pada
farmakokinetik obat. Terdapat dua jenis bioavailabilitas yaitu (Shargel, dkk.,
2012):
A. Bioavailabilitas relatif
Bioavailabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu
produk obat dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui.
7

Bioavailabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis
dan rute pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan 2.1
berikut:
[AUC]A
Bioavailabilitas relatif =
[AUC]B

dimana produk obat B sebagai standar pembanding yang telah


diketahui. Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk
dosis dibuat seperti dalam persamaan 2.2 berikut:
[AUC]A/dosis A
Bioavailabilitas relatif =
[AUC]B/dosis B

B. Bioavailabilitas absolut
Bioavailabilitas absolut adalah bioavailabilitas sistemik suatu obat
setelah pemakaian ekstravaskuler (misal oral, rektal, transderma,
subkutan) dibandingkan terhadap dosis i.v. Bioavailabilitas absolut
setelah pemakaian oral dengan menggunakan data plasma dapat
ditentukan dengan persamaan 2.3 berikut:
[AUC]PO/dosis PO
Bioavailabilitas absolut = F =
[AUC]IV/dosis IV

2.3.2 Parameter Bioavailabilitas


Parameter bioavailabilitas meliputi tmaks, Cmaks, dan area under curve
(AUC) yang ditentukan menggunakan metode trapezoid (Patel, et al., 2010).
Berikut penguraian parameter bioavailabilitas (Shargel, dkk., 2012):
A. Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak (tmaks)
Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak menunjukkan waktu
yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah
pemberian obat. Waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi
maksimum tidak tergantung pada dosis tetapi tergantung pada tetapan
laju absorpsi (Ka) dan laju eliminasi (Ke). Harga tmaks dapat dihitung
dengan persamaan 2.4 berikut:
𝑘𝑎
ln 𝑘𝑎−ln 𝑘 ln( )
𝑘
tmaks = +
𝑘𝑎−𝑘 𝑘𝑎−𝑘
𝑘𝑎
2,3 log( )
𝑘
tmaks =
𝑘𝑎−𝑘
8

B. Konsentrasi plasma puncak (Cmaks)


Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat
maksimum dalam plasma setelah pemakaian obat secara oral. Pada
konsentrasi maksimum, laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi
sehingga dapat dihitung dengan persamaan 2.5 berikut:
Cmaks = C˚(e-Ke.tmaks - e-Ka.tmaks)
C. Area under curve (AUC) atau area di bawah kurva
AUC adalah suatu ukuran dari jumlah bioavailabilitas suatu obat.
AUC mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasi
sitemik. AUC merupakan area di bawah kurva kadar obat dalam
plasma-waktu dari t = 0 sampai t = ∞. Harga AUC dapat diperoleh
dengan persamaan 2.6 berikut:
1. AUC dari 0 – n jam, dapat dihitung dengan rumus luas segitiga
yaitu ½ x alas x tinggi
2. AUC dari waktu n1 – nx dihitung dengan rumus
Cn-1 + Cn
(tn - tn-1) 2
3. AUC dari waktu nx - ∞ dihitung dengan rumus Cnx Ke
BAB III
TATA KERJA

3.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mortir dan stamper,
desikator, sonde oral, rat mouse restrainer, disposable syringe 5 cc, tabung heparin,
sentrifugasi, high performance liquid chromatography (HPLC), dan alat-alat gelas
yang biasa digunakan dalam laboratorium.

3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur
wistar, kristal EPMS, asam tartrat, metanol, akuabides, dan akuades.

3.3 Metode Penelitian


3.3.1 Pembuatan Kokristal EPMS-Asam Tartrat
Pembuatan kokristal EPMS-asam tartrat dilakukan dengan metode
kokristalisasi solvent drop grinding dengan menggunkan rasio perbandingan
stoikiometri menurut penelitian yang telah dilakukan menghasilkan
peningkatan kelarutan paling baik yaitu 1:2 (kristal EPMS 0,800 g (1mmol)
dan asam tartrat 1,164 g (2mmol)). Kristal EPMS dan asam tartrat digerus
terpisah kemudian dicampurkan dalam mortir dan digerus kembali selama 4
menit, kemudian ditambahkan pelarut metanol sebanyak 491 μl dan diuapkan
pada suhu ruangan. Sebagai pembanding kristal EPMS dilakukan
penggerusan secara fisik menggunakan mortir selama 4 menit.
3.3.2 Uji Bioavailabilitas Penetapan Waktu Sampling
Uji bioavailabilitas ini menggunakan 3 ekor tikus yang memiliki berat
badan minimal 240 g dan telah dipuasakan selama 24 jam. Pertama dilakukan
penetapan t½ menggunakan 1 ekor tikus yang diberi kristal EPMS dengan
dosis 100 mg/kg BB, kemudian dilakukan pengambilan darah sebanyak 0,2
ml melalui ekor (vena lateralis) sebanyak 12 waktu setiap 1 jam. Darah tikus
dimasukkan ke dalam tabung heparin dan disentrifugasi selama 10 menit
dengan kecepatan 10000 rpm, kemudian bagian plasma diambil dan

9
10

ditambahkan metanol sebanyak 0,3 ml lalu disentrifugasi kembali selama 2


menit dengan kecepatan 10000 rpm. Bagian metanol diambil dan diinjeksikan
sebanyak 10 μl pada HPLC untuk dilakukan pengukuran. Pengukuran
dilakukan pada panjang gelombang EPMS (308 nm) dengan laju alir 10 menit
dan fase gerak metanol:air (70: 30). Dari hasil pengukuran tersebut dilakukan
perhitungan menggunakan rumus Ke (laju eliminasi) untuk menetapkan nilai
t½. Setelah nilai t½ ditetapkan, selanjutnya dilakukan penetapan waktu
sampling berdasarkan 2-3 kali t½ menggunakan 3 ekor tikus dan ditentukan
tmax, Cmax, dan AUC, kemudian ditetapkan berapa waktu sampling yang akan
digunakan.
3.3.3 Uji Bioavailabilitas Kristal EPMS dan Kokristal EPMS-Asam Tartrat
Uji bioavailabilitas ini menggunakan 32 ekor tikus yang memiliki
berat badan minimal 240 g dan telah dipuasakan selama 24 jam. 32 ekor tikus
tersebut di bagi menjadi 2 kelompok pengujian yang masing-masing 16 ekor
yaitu kelompok uji bioavailabilitas kristal EPMS dan kelompok uji
bioavailabilitas kokristal EPMS-asam tartrat. Pemberian sampel pada tikus
dilakukan melalui oral dengan dosis sebesar 100 mg/kg BB, kemudian
dilakukan pengambilan darah sebanyak 0,2 ml melalui ekor (vena lateralis)
dengan waktu yang telah ditetapkan. Darah tikus dimasukkan ke dalam
tabung heparin dan disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 10000
rpm, kemudian bagian plasma diambil dan ditambahkan metanol sebanyak
0,3 ml lalu disentrifugasi kembali selama 2 menit dengan kecepatan 10000
rpm. Bagian metanol diambil dan diinjeksikan sebanyak 10 μl pada HPLC
untuk dilakukan pengukuran. Pengukuran dilakukan pada panjang
gelombang EPMS (308 nm) dengan laju alir 10 menit dan fase gerak
metanol:air (70: 30). Dari hasil pengukuran tersebut dilakukan analisis untuk
mencari tmax, Cmax, dan AUC lalu dibandingkan antara kedua kelompok
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. 2012. Sediaan Farmasi Padat. Bandung: Institut Teknologi Bandung.


Hal. 10-12; 64.

Aitipamula, S., Banerjee, R., Bansal, A.K., Biradha. K., Cheney, M.L., Choudhury,
A.R., Desiraju, G.R., Dikundwar, A.G., Dubey, R., Duggirala, N., Ghogale,
P.P., Ghosh, S, Goswami, P.P., Goud, N.R., Jetti, R.R.K.R., Karpinski, P.,
Kaushik, P., Kumar, D., Kumar, V., Moulton, B., Mukherjee, A., Mukherjee,
G., Myerson, A.S., Puri, V.,Ramanan, A., Rajamannar, T., Reddy, C.M.,
Hornedo, N.R., Rogers, R.D., Row, T.N.G., Sanphui, P., Shan, N., Shete, G.,
Singh, A., Sun, C.C., Swift, J.A., Thaimattam, R., Thakur, T.S., Thaper, R.K.,
Thomas, S.P., Tothadi, S., Vangala, R., Variankaval, N., Vishweshwar, P.,
Weyna, D.R., and Zaworotko, M.J. 2011. “Polymorphs, Salts, and Cocrystals:
What’s in a Name?.” Crystal Growth & Design 12 (5): 2147−2152.

Almarsson, O., Hickey, M.B., Peterson, M.L., Zaworotko, M.J., Moulton, B.,
Hornedo, N.R. 2011. Pharmaceutical Co-crystal Compositions. Nomor Paten
US7927613.

Bangun, R. 2011. “Semi Sintesis N,N-Bis(2-Hidroksietil)-3-(4-Metoksifenil)


Akrilamida dari Etil P-metoksisinamat Hasil Isolasi Rimpang Kencur
(Kaempferia galanga, L) Melalui Amidasi dengan Dietanolamin” Skripsi.
Jurusan kimia FMIPA. Medan: Universitas Sumatera Utara. Hal. 8.

Barus, R. 2009. “Amidasi Etil P-Metoksisinamat yang Diisolasi dari Kencur


(Kaempferia galanga, Linn).” Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Hal. 23.

Firmansyah, A., Riasari, H., Rachmaniar, R., dan Kenti. 2018. “Kristal Etil
Parametoksisinamat (EPMS) dari Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga
L).” Usul Uber HKI Bantuan Pendaftaran Paten. Bandung: Sekolah Tinggi
Farmasi Indonesia. Hal. 1.

Gozali, D., Bahti, H.H., Soewandhi, S.N., dan Abdassah, M. 2013. “Pembentukan
Kokristal Antara Kalsium Atorvastatin dengan Isonikotinamid dan
Karakterisasinya.” Jurnal Sains Materi Indonesia 15 (2): 103-110.

Karki, S., T. Friscic, L. Fabian, P. R. Laity, G. M. Day, and W. Jones,


2009.”Improving Mechanical Properties of Crystalline Solids by Cocrystal
Formation: New Compressible Forms of Paracetamol.” Advanced Material
21(38-39): 3905–3909.

Mufidah, S. 2014. “Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-Metoksisinamat yang


Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Melalui Transformasi
Gugus Fungsi Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi.” Skripsi. Program
Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah. Hal. 7.

11
12

Mustapa, D.R. 2012. Pengaruh Suhu Pembentukan Kristal Terhadap Karakteristik


Kokristal Asam Mefenamat dengan Asam Tartrat. Depok: Universitas
Indonesia. Hal. 4.

Patel, J., Aneja, K., and Tiwari, R. 2010. “Bioavailability and Bioequivalence Trials
and Its Necessity.” International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences 2 (3): 1-8.

Qiao, N., Li, M., Schlindwein, W., Malek, N., and Davies, A., Trappitt, G. 2011.
“Pharmaceutical cocrystals: An overview.” International Journal of
Pharmaceutics 419 (1-2): 1–11.

Ramdani, A.G. 2018. “Karakterisasi Kokristal Etil P-Metoksisinamat yang Dibuat


Melalui Metode Solvent Drop Grinding dengan Asam Tartrat Sebagai
Koformer.” Skripsi. Program Studi Farmasi. Bandung: Sekolah Tinggi
Farmasi Indonesia. Hal. 25.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M.E. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients, 6th ed. London: The Pharmaceutical Press. P. 732.

Shan, N., and Zaworotko, M.J. 2008. “The role of cocrystals in pharmaceutical
science.” Drug Discovery Today 13 (9–10): 440-446.

Shargel, L., Pong, S.W., dan Andrew, B.C. 2012. Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan. Edisi Kelima. Surabaya: Airlangga University
Press. Hal. 452; 453; 456-461.

Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-
Dasar Praktis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Thakuria, R., and Sarma, B. 2018. “Drug-Drug and Drug-Nutraceutical


Cocrystal/Salt as Alternative Medicine for Combination Therapy: A Crystal
Engineering Approach.” Crystals 8 (101): 2.

Anda mungkin juga menyukai