da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
bel
ik
an
DENGUE DALAM
MULTI PERSPEKTIF
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
an
lik
be
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
al
Undang-undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
ju
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
er
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
ip
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
D
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
nt
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h
untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
k
da
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
DENGUE DALAM
MULTI PERSPEKTIF
an
Endang Puji Astuti - Asep Jajang Kusnandar
lik
Andri Ruliansyah - Tri Wahono
be
Nurul Hidayati Kusumastuti - Firda Yanuar Pradani
al
Heni Prasetyowati - Rohmansyah Wahyu Nurindra
ju
er
EDITOR
nt
00161
Copyright © 2018 Penerbit
Lingkarantarnusa
ISBN : 978-602-6688-65-1
Penyunting : Prof. Upik Kesumawati Hadi
Penyelaras aksara : Willy Satya Putranta
Perancang sampul : M. Abdul Hakim
an
Penata letak : Neno Pratikasari
lik
be
Penerbit Lingkarantarnusa (Anggota IKAPI)
al
Jl. Nangka I/154 D, Karangnongko RT 09/RW 14 Sanggrahan,
ju
E-mail : pen_antarnusa@yahoo.co.id
ip
D
lingkarantarnusa@gmail.com
uk
Website : http://www.lingkarantarnusa.com
nt
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa
Ti
an
lik
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
be
karena atas limpahan dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan
al
buku “bunga rampai” ini. Buku ini merupakan kumpulan tentang
ju
er
penelitian yang telah ada. Di dalam buku ini berisi tentang informasi
U
dengue yang dilihat dari berbagai perspektif, mulai dari kasus, vektor,
k
da
v
Penulis menyadari bahwa buku “bunga rampai” ini masih jauh dari
sempurna. Masih banyak kekurangan dan kelemahan sehingga kami
memohon maaf atas kesalahan ini. Kami menerima segala bentuk kritik,
pesan-pesan, dan saran yang membangun agar ke depan kami selaku
penulis dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas penulisan karya
ilmiah serta mampu menerbitkan kembali buku edisi selanjutnya yang
lebih baik.
Salam,
an
lik
be
Prof. Upik Kesumawati Hadi, Ph.D
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
vi
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.................................................................................... v
BAB 1
ETIOLOGI DAN DINAMIKA DENGUE
Endang Puji Astuti................................................................................... 1
BAB 2
an
BIOEKOLOGI VEKTOR DENGUE
lik
Asep Jajang Kusnandar dan Andri Ruliansyah.......................... 19
be
al
BAB 3
ju
TRANSMISI TRANSOVARIAL:
er
DI ALAM
uk
Tri Wahono................................................................................................. 43
nt
U
BAB 4
k
da
BAB 5
DAYA UNGKIT PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM
PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE
Heni Prasetyowati, Rohmansyah W. Nurindra......................... 79
vii
BAB 6
“SILENT INFECTION” DENGUE
Muhammad Umar Riandi................................................................... 97
BAB 7
PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN VAKSIN
DENGUE DI INDONESIA
Joni Hendri................................................................................................. 117
BAB 8
EPIDEMIOLOGI DAN BEBAN PENYAKIT DENGUE
DI INDONESIA
an
Mara Ipa........................................................................................................ 149
lik
EPILOG: DENGUE DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
be
al
Upik Kesumawati Hadi......................................................................... 159
ju
er
Indeks..................................................................................................................... 166
uk
viii
PROLOG :
an
SEPUTAR DEMAM BERDARAH DENGUE
lik
be
Upik Kesumawati Hadi
al
ju
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic
er
disebabkan oleh virus dengue yang hingga saat ini menjadi perhatian
uk
ix
Sejak itu, penyakit ini semakin menyebar luas ke berbagai wilayah di
Indonesia. Penularan DBD hanya dapat terjadi melalui gigitan nyamuk
yang di dalam tubuhnya mengandung virus dengue. Bancroft (1906)
telah berhasil membuktikan bahwa nyamuk Aedes aegypti adalah
vektor penyakit DBD. Di Indonesia, Ae. aegypti dikenal sebagai vektor
utama dan Ae. albopictus sebagai vektor sekunder DBD. Keduanya
adalah nyamuk domestik yang senang berkembang biak di wadah-
wadah air yang berada di dalam dan di luar rumah atau di sekitar
permukiman.
Nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor primer DBD mempunyai
an
kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dengan sangat baik. Kajian
lik
mendalam terhadap bioekologi Ae. aegypti sangat diperlukan agar
be
strategi dan operasional pengendalian vektor berjalan dengan efektif,
al
efisien, rasional, dan diterima oleh masyarakat di berbagai wilayah
ju
yang mempunyai kekhasan tersendiri. Berbagai penelitian terkait DBD
er
Buku ini ditulis dalam 8 bab oleh penulis yang berlainan, yang
semuanya adalah Tim Peneliti dari Loka Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Pangandaran Kementerian Kesehatan RI. Bab 1 diawali
dengan penjelasan perkembangan terkini tentang Etiologi dan
Dinamika Dengue. Bab 2 menguraikan Bioekologi Vektor Dengue,
bab 3 tentang Transmisi Transovarial: Mekanisme Virus Dengue dalam
Mempertahankan Eksistensi Diri di Alam, dan bab 4 tentang Insektisida
dalam Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue. Daya Ungkit
x
Peran Serta Masyarakat dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue
dijelaskan dalam bab 5. Selanjutnya, bab 6 menjelaskan tentang “Silent
Infection” Dengue, dan bab 7 tentang Perkembangan dan Tantangan
Vaksin Dengue Di Indonesia. Adapun bab terakhir atau bab 8 berisi
penjelasan tentang Epidemiologi dan Beban Penyakit Dengue di
Indonesia.
Penulis mengajak pembaca untuk mengikuti alur tulisan tersebut,
tetapi juga pembaca dapat memanfaatkan tulisan tersebut sesuai
dengan kepentingan dan minat masing-masing, tanpa harus mengikuti
keseluruhan uraian secara berurutan. Tulisan ini masih terdapat
an
kekurangan, dan tetap harus update untuk mengikuti perkembangan
lik
hasil-hasil penelitian dan perkembangan terkini. Bagaimanapun,
be
kehadiran buku ini turut memperkaya khazanah pengetahuan Demam
al
Berdarah Dengue di tanah air. Selamat membaca.
ju
er
Sumber Acuan
ip
xi
Ti
da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
be
lik
an
BAB 1
an
ETIOLOGI DAN DINAMIKA DENGUE
lik
be
Endang Puji Astuti
al
ju
Pendahuluan
er
ip
1
dengue, karena adanya gejala myalgia (nyeri otot) dan atralgia (nyeri
pada satu atau lebih sendi) (WHO, 2015b).
Dengue merupakan virus dari RNA untai tunggal, termasuk
genus Flavivirus, Famili Flaviviridae. Sejak isolasi pertama virus dengue
(DENV) di dunia tahun 1943, telah teridentifikasi empat serotipe, yaitu
Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Asal muasal virus ini diperkirakan
telah terjadi 1.000 tahun yang lalu, yang melibatkan primata dan
nyamuk, beberapa ratus tahun berikutnya, dengue mulai menyebar
dan menginfeksi ke manusia (Holmes & Twiddy, 2003; Messina et
al., 2014). Serotipe virus dengue pertama kali telah dikonfirmasi di
an
beberapa wilayah, yaitu Den-1, yang pertama kali dilaporkan tahun
lik
1943 di Jepang dan Polinesia; Den-2 terlaporkan di Papua Nugini dan
be
Indonesia pada tahun 1944; Den-3 dan Den-4 terlaporkan di Filipina
al
dan Thailand pada tahun 1953 (Messina et al., 2014). Di Asia, serotipe
ju
Den-2 dan Den-3 mempunyai kontribusi penting dalam tingkat
er
2
2005). Hal ini berbeda dengan hasil di Semarang (tahun 2013), yakni
serotipe Den-1 yang mendominasi (Fahri et al., 2013). Hasil penelitian
di Surabaya terlihat perbedaan dominansi serotipe, pada tahun 2005
dan 2010 dominan ditemukan pada Den-2 dan Den-3, sedangkan
tahun 2012 yang mendominasi Den-1 (Yohan et al., 2012).
Virus dengue menyebabkan infeksi dengan gejala (symptomatic)
atau tanpa gejala (asymptomatic). Penderita dengan gejala klinis
(symptomatic) setelah masa inkubasi akan mengalami gejala tingkat
sedang sampai berat, yang diikuti tiga fase, yaitu fase febris (demam)
– fase kritis – fase pemulihan (recovery). Fase febris (hari ke-1 sampai
an
hari ke-4-5), pada umumnya penderita akan mengalami demam
lik
tinggi yang sering disertai dengan eritema kulit, nyeri pada tubuh,
be
myalgia, athralgia, sakit kepala (Guo et al., 2017) dan beberapa kasus
al
juga disertai dengan sakit tenggorokan, mual, dan muntah. Fase kritis
ju
(setelah hari ke-4-5); jika penderita pada masa transisi demam ke
er
kapiler, maka penderita akan membaik tanpa melalui fase kritis. Fase
nt
U
tentang gejala klinis dengue pada tahun 992 Masehi, namun pertama
kalinya telah tercatat pada masa Dinasti Jin (265-420 M). Catatan
tersebut menjelaskan tentang penyebab dengue, yaitu “racun air” yang
berhubungan dengan serangga terbang (Anne et al., 2013). “Serangga
terbang” yang dimaksud adalah vektor penular dengue, yaitu nyamuk
Aedes aegypti sebagai vektor primer dan Ae. albopictus sebagai vektor
sekunder (WHO, 2018b). Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk
yang habitatnya banyak ditemukan di dalam rumah, pada tempat-
3
tempat penampungan air seperti bak mandi, ember, penampung sisa
air pada dispenser, kulkas, air conditioner (AC), dan kontainer bekas,
sedangkan habitat nyamuk Ae. albopictus banyak ditemukan di luar
rumah.
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk vektor ke manusia pada
saat nyamuk Aedes sp betina infektif mengisap darah manusia (proses
pematangan telur) yang dikenai. Virus dengue akan bersirkulasi
dalam darah manusia yang terinfeksi selama 2-7 hari (WHO, 2018b).
Selain itu, penularan lainnya ialah dengan cara vertikal, yaitu nyamuk
betina infektif menularkan virus dengue ke telurnya melalui proses
an
transovarial. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ditemukan virus
lik
dengue pada larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus pada keturunan
be
selanjutnya. Beberapa penelitian tentang transovarial yaitu di wilayah
al
perkotaan Malaysia bahwa Minimum Infection Rate (MIR) Ae.
ju
albopictus dan Ae. aegypti di wilayah tersebut masing-masing berkisar
er
17,1% (Sorisi et al., 2011). Hal ini membuktikan telah terjadi proses
Ti
4
menyebabkan pertumbuhan kota-kota pelabuhan dan meningkatkan
urbanisasi. Hal ini menciptakan habitat yang kondusif untuk nyamuk
vektor dengue (Gubler, 2006).
Persebaran dengue awalnya berjalan sangat lambat dan jarang
ditemukan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun, setelah Perang
Dunia (PD) II terjadi ekspansi meluas, mobilitas penduduk yang
tinggi, serta pembangunan permukiman menyebabkan ditemukan
tempat perkembangbiakan potensial vektor Dengue (Gubler, 2006).
Sebelum tahun 1970, hanya sembilan negara yang telah mengalami
epidemi dengue parah. Namun, penyakit ini semakin mewabah dan
an
meluas sebarannya lebih dari 100 negara di wilayah Afrika, Amerika,
lik
Mediterania Timur, Asia Tenggara, Pasifik Barat. Wilayah yang
be
berdampak paling serius adalah Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik
al
Barat (WHO, 2018a).
ju
(1979); China (1978-1980) serta Asia dan Afrika Selatan telah terjadi
U
serta jumlah kasus (White & Fenner, 1994). Epidemi besar pertama
da
5
an
lik
be
al
ju
er
Dengue di Indonesia
nt
U
6
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Jumlah kabupaten/kota terjangkit
dengue juga terjadi pertambahan, berturut-turut dari tahun 2011-2016
yaitu 374; 417; 412; 433; 446; 463 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2015
jumlah kabupaten/kota terjangkit mencapai 86,77% dan meningkat
menjadi 90,07% (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Peningkatan kasus
dengue dari tahun ke tahun juga semakin signifikan selama 45 tahun
sejak dilaporkan adanya kasus dengue. Insiden dengue pada tahun 1968
sebesar 0,05/100.000 menjadi 35-40/100.000 di tahun 2013 dengan
puncak kasus pada tahun 2010, yaitu 86/100.000(Karyanti et al., 2014).
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
wilayah dikategorikan menjadi tiga, yaitu (1) risiko tinggi bila IR > 55
per 100.000 penduduk; (2) risiko sedang bila IR 20-55 per 100.000
penduduk; dan (3) risiko rendah bila IR < 20 per 100.000 penduduk
(Departemen Kesehatan, 2010). Distribusi sebaran kasus dengue
secara nasional pada Gambar 2. terlihat bahwa IR dengue berfluktuasi
dari tahun 2010-2016, kasus semakin meningkat dari kategori risiko
sedang pada tahun 2015 (50,75 per 100.000 penduduk) menjadi
kategori risiko tinggi pada tahun 2016 (78,85 per 100.000 penduduk)
7
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Angka kesakitan tersebut masih di
atas IR nasional, yaitu 49 per 100.000 penduduk.
Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian akibat dengue di
Indonesia pada tahun 1968 masih tinggi, yaitu 41% dan mulai menurun
drastis pada tahun 1970 (Departemen Kesehatan, 2010). Pada tahun
2009, angka kematian nasional telah berhasil mencapai target di bawah
1%. Angka kematian dengue selama 45 tahun mengalami penurunan
signifikan dengan p-value < 0,01, pada tahun 1968 sebesar 41%, dan
tahun 2013 sebesar 0,73% (Karyanti et al., 2014). Sebaran angka
kematian dengue terbesar dengan angka di atas 1% adalah wilayah di
an
luar Pulau Jawa dan Bali. Pada tahun 2009 teridentifikasi lima wilayah
lik
dengan angka kematian tertinggi, yaitu Kep. Belitung, Bengkulu,
be
Gorontalo, Jambi, dan Maluku Utara (Departemen Kesehatan,
al
2010). Terjadi pergeseran angka kematian dengue pada tahun 2016,
ju
angka kematian di atas 1% terlaporkan di 11 provinsi, sedangkan
er
8
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
Gambar 3. Case Fatality Rate Demam Berdarah Dengue Per Provinsi Tahun
2016 (Kementerian Kesehatan RI, 2017)
9
World Health Organization (WHO) melaporkan Kejadian Luar
Biasa (KLB) dengue di Indonesia pada Januari-April 2004 sebanyak
58.301 kasus dengan 658 kematian di 293 kota/kabupaten di 17
Provinsi (WHO, 2015a). Data Ditjen PP dan PL Depkes RI tahun
2009 mencatat bahwa tahun 1998 kasus KLB menyumbang 58%
(41.843/72.133) dari total laporan kasus dengue, sedangkan tahun
2004 mulai menurun, yaitu 9,5% (7.588/79.462) dari kasus dengue
(Departemen Kesehatan, 2010). Tahun 2014 telah terlaporkan KLB
dengue di 5 provinsi, terdiri dari 7 kabupaten/kota, sedangkan awal
tahun 2015 telah terjadi KLB di 14 provinsi dengan 52 kabupaten/kota
(Kementerian Kesehatan RI, 2015). Kasus KLB kembali terlaporkan
an
pada awal tahun 2016, Direktorat Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis
lik
menyebutkan akhir Januari telah terjadi KLB di 12 kabupaten dan 3 kota
be
dari 11 provinsi, di antaranya adalah Provinsi Banten, Sumatra Selatan,
al
Bengkulu, Bali, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Papua Barat, Papua, NTT,
ju
er
10
mengaitkan urbanisasi dengan penularan dengue di Kota Semarang,
selama tahun 2006-2013 terdapat kenaikan rata-rata laju pertumbuhan
penduduk dan selama itu pula terjadi kenaikan kasus dengue. Meskipun
tidak terdapat hubungan signifikan, namun secara bersama-sama
urbanisasi memengaruhi 28% kejadian DBD (Pratama & Rahayu,
2015). Walaupun begitu, hasil penelitian di Kota Semarang ini belum
dapat digeneralisasi untuk semua wilayah dan masih harus dilakukan
penelitian lebih lanjut.
Globalisasi berkontribusi dalam perkembangan segala aspek, baik
ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Bentuk globalisasi yang terlihat
an
adalah terjadinya peningkatan mobilitas penduduk dan pertukaran
lik
komoditas yang semakin mudah. Gubler melaporkan bahwa tahun
be
2011, data penumpang perjalanan udara terjadi peningkatan sebesar
al
40 kali lipat hingga pertengahan abad ke-20 dengan rute perjalanan
ju
ke beberapa wilayah endemis dengue atau sebaliknya (Gubler, 2011;
er
11
terinfeksi virus dengue dapat menularkan penyakit ini ke wilayah
yang dikunjunginya atau sebaliknya. Hal ini didukung hasil penelitian
pada wisatawan mancanegara dengan menggunakan data kunjungan
wisatawan pada GeoSentinel Surveillance Network selama Oktober
1997-Februari 2006. Hasil penelitian menyebutkan terjadinya kasus
dengue pada 522 wisatawan dari 24.920 orang (2,1%). Kasus dengue
yang terjadi pada 522 wisatawan tersebut di antaranya 12 orang
terdiagnosis positif Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue
Shock Syndrome (DSS). Jumlah kasus terbanyak adalah wisatawan
yang pulang dari negara Thailand (154); India (66); Indonesia (38); dan
Brasil (22)(Schwartz et al., 2008). Penelitian lain yang menyebutkan
an
risiko dengue pada wisatawan adalah penelitian yang menggunakan
lik
data The European Network on Surveillance of Imported Infectious
be
Diseases selama rentang tahun 2003-2005. Hasilnya menunjukkan
al
bahwa tercatat 219 wisatawan telah terinfeksi dengue, 17% di
ju
er
Penutup
nt
awalnya tercatat pada masa Dinasti Jin (265-420 Masehi). Saat ini,
penularan dengue berjalan cepat dan persebarannya makin meluas ke
Ti
12
Daftar Pustaka
Alirol E, Getaz L, Stoll B, Chappuis F & Loutan L, 2011. Urbanisation
and infectious diseases in a globalised world. The Lancet Infectious
Diseases, 11(2), pp.131–141.
Anne NE, Murray, Quam MB & Wilder-Smith A, 2013. Epidemiology
of dengue: past, present and future prospects. Clinical Epidemiology,
5, pp.299–309.
CDC, 2014. Epidemiology of Dengue. Centers for Disease Control and
Prevention, 9 June 2014., Available at: www.cdc.gov. [disitasi 12
Maret 2015].
an
lik
Departemen Kesehatan, 2010. Topik Utama. Demam Berdarah Dengue
be
di Indonesia tahun 1968 – 2009., Jakarta. Available at: www.
al
depkes.go.id.
ju
er
Tropical Medicine.
Gubler D, 2006. Dengue/dengue haemorrhagic fever: history and
current status. Novartis Found Symp., 277, p.3–16; discussion
16–22, 71–3, 251–3. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/.
Gubler DJ, 2011. Dengue, Urbanization and Globalization: The
Unholy Trinity of the 21st Century. Tropical Medicine and Health,
39(4SUPPLEMENT), pp.S3–S11. Available at: http://joi.jlc.jst.
go.jp/JST.JSTAGE/tmh/2011-S05?from=CrossRef.
13
Guo C, Zhou Z, Wen Z, Liu Y, Zeng C, Xiao D, et al., 2017. Global
epidemiology of dengue outbreaks in 1990–2015: A systematic
review and meta-analysis. Frontiers in Cellular and Infection
Microbiology, 7(JUL). Available at: https://www.scopus.com/
inward/record.uri?eid=2-s2.0-85027570647&doi=10.3389%2Ff
cimb.2017.00317&partnerID=40&md5=0ad16582281d5040be
2283335fc07651.
Halstead S, 1965. Dengue and hemorrhagic fevers of Southeast Asia.
Yale J Biol Med, 37(6), pp.434–454. Available at: http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/ [sitasi : 12 Juli 2016].
an
Holmes EC & Twiddy SS, 2003. The origin, emergence and evolutionary
lik
genetics of dengue virus. Infection, Genetics and Evolution, 3(1),
pp.19–28.
be
al
ju
Karyanti M, Uiterwaal C, Kusriartuti R & Hadinegoro S, 2014. The
er
depkes.go.id/.
Kementerian Kesehatan RI, 2017. Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2015. Program Pengendalian DBD dan
Resistensi Insektisida. [Presentasi di MOT Penelitian Resistensi].
[disampaikan : Kasubdit Pengendalian Vektor P2B2]., Jakarta.
Lee HL & Rohani A, 2005. Transovarial transmission of dengue virus in
Aedes aegypti and Aedes albopictus in relation to dengue outbreak
14
in an urban area in Malaysia. Dengue Bulletin, 29, pp.106–111.
Messer WB, Gubler DJ, Harris E, Sivananthan K & De Silva AM, 2003.
Emergence and global spread of a dengue serotype 3, subtype III
virus. Emerging Infectious Diseases, 9(7), pp.800–809.
Messina J, Brady O & Scott T, 2014. Global Spread of Dengue Virus
Types : Mapping The 70 Year History. Trends in Microbiology,,
22(3), pp.138–146.
Murray NEA, Quam MB & Wilder-Smith A, 2013. Epidemiology of
dengue: Past, present and future prospects. Clinical Epidemiology,
5(1), pp.299–309.
an
lik
Porter KR, Becket CG, Kosasih H, Tan RI, Alisjabana B, Rudiman,
be
et al., 2005. Epdemiology of Dengue and Dengue Haemorrhagic
al
Fever in a Cohort of Adults Living in Bandung, West Java,
ju
Indonesia. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene,
er
72(1), pp.60–66.
ip
D
ac.id/62235/.
k
da
15
Saroso J, 1978. Dengue Haemorragic Fever in Indonesia. Asian J Infect
Dis., 2, pp.7–18.
Schwartz E, Weld LH, Wilder-Smith A, Von Sonnenburg F, Keystone
JS, Kain KC, et al., 2008. Seasonality, annual trends, and
characteristics of dengue among Ill returned travelers, 1997-2006.
Emerging Infectious Diseases, 14(7), pp.1081–1088.
Sorisi AMH, Umniyati SR & Satoto TBT, 2011. Transovarial
Transmission Index of Dengue Virus on Aedes aegypti and Aedes
albopictus Mosquitoes in Malalayang District in Manado, North
Sulawesi, Indonesia. Tropical Medicine Journal, 1(2).
an
White D & Fenner F, 1994. Flaviviridae. Medical Virology., California:
lik
Academic Press.
be
al
WHO, 2015a. Dengue Out Breaks, Geneva, Switzerland. Available at:
ju
www.who.int. [disitasi 12 Maret 2015].
er
ip
at: www.who.int.
Ti
16
Wichmann O, Gascon J, Schunk M, Puente S, Siikamaki H, Gjørup
I, et al., 2007. Severe Dengue Virus Infection in Travelers: Risk
Factors and Laboratory Indicators. The Journal of Infectious
Diseases, 195(8), pp.1089–1096. Available at: https://academic.
oup.com/jid/article-lookup/doi/10.1086/512680.
Yohan B, Aryani, Setianingsih TY, Puspitasari D, Vitanata M & Soeharto
RTS, 2012. Dengue Virus Distribution and Clinical Manifestation
in Surabaya-Indonesia during 2012. [Sitasi : 31 Oktober 2018],
Available at: www.researchgate.net/publication/237764637.
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
17
Ti
da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
be
lik
an
BAB 2
an
BIOEKOLOGI VEKTOR DENGUE
lik
be
Asep Jajang Kusnandar dan Andri Ruliansyah
al
ju
Pendahuluan
er
ip
Satu di antara masalah kesehatan yang sampai saat ini belum dapat
D
19
yang menyebabkan adanya perbedaan kemampuan pada setiap jenis
nyamuk untuk berperan sebagai vektor penyakit (Mellink, 1981).
Penyakit ini menjadi masalah klasik yang kejadiannya hampir
dipastikan muncul setiap tahun, terutama pada awal musim hujan.
Vektor DBD adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan
Ae. albopictus sebagai vektor potensial. Sebagai vektor primer DBD,
Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu
bentuk siklus hidup berupa telur, jentik-jentik (tahapan instar), pupa, dan
dewasa (Herms et al., 1969). Beberapa faktor yang dapat memengaruhi
siklus hidup nyamuk Aedes yaitu temperatur, kelembaban nisbi, pH,
an
intensitas cahaya, kepadatan populasi, dan makanan (Christophers,
lik
1960).
be
Meningkatnya kasus DBD dari tahun ke tahun diperlukan
al
penanganan yang tepat, serius, dan terpadu. Upaya penanganan kasus
ju
Siklus Hidup
Telur. Jumlah telur yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh
kualitas dan kuantitas makanan serta frekuensi gigitan nyamuk betina.
Telur Aedes memiliki morfologi yang khas bila dibandingkan dengan
nyamuk lain, yaitu berbentuk bulat lonjong yang letaknya tidak teratur
20
dan berserakan. Telur tersebut diletakkan secara terpisah di permukaan
air. Media air yang dipilih untuk tempat bertelur itu adalah air yang
bersih yang tidak mengalir dan tidak berisi spesies lain sebelumnya
(Supartha, 2008). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa Ae.
aegypti juga mampu hidup dan tumbuh normal pada air terpolusi dan
dapat menjadi tempat perindukan dan berkembangbiaknya nyamuk A.
aegypti. Kandungan media air terpolusi tanah berpengaruh terhadap
peletakan telur A. aegypti dan perkembangan jentik nyamuk Aedes
aegypti (Agustina, 2013). Pada jenis air selokan dengan karakter fisik
berwarna hitam, keruh, dan berbau menyengat, perkembangan dari
telur hingga dewasa relatif lebih lambat dibanding perkembangan pada
an
jenis air lainnya (Yahya & Warni, 2017). Daya tetas telur dipengaruhi
lik
oleh suhu, kelembaban, nutrisi (pakan darah), umur nyamuk betina,
be
dan lama penyimpanan telur (Subagyo et al., 1998). Sebuah penelitian
al
di Kota Bogor menyebutkan bahwa semakin lama telur disimpan, daya
ju
er
tetas telur semakin menurun. Daya tetas telur tertinggi terjadi pada saat
ip
umur telur berusia 0 hari, sedangkan daya tetas terendah terjadi pada
D
21
an
lik
be
al
ju
Gambar 1. Siklus Hidup Aedes sp (Hopp & A. Foley, 2001)
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
22
Larva/Jentik-jentik. Tubuh jentik-jentik Aedes terdiri atas
tiga bagian, yaitu kepala, thorax, dan abdomen. Bagian kepala jentik-
jentik terdapat sepasang mata, sepasang antena, dan mulut; bagian
thorax terdiri dari prothorax, mesothorax, dan metathorax pada sisi
lateralnya terdapat bulu; bagian abdomen terdiri dari delapan segmen.
Ujung abdomen terdapat sifon yang berfungsi sebagai alat pernapasan,
berbentuk seperti kerucut, gemuk, dan pendek. Sifon berfungsi
menyerap oksigen melalui permukaan air, sehingga posisi jentik-jentik
akan mengikuti bentuk dan arah sifon (Nelson et al., 1976). Posisi tubuh
jentik-jentik Aedes pada waktu istirahat, sifonnya menempel pada
permukaan air secara tegak lurus. Pertumbuhan dan perkembangan
an
jentik-jentik di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh suhu, tempat
lik
keadaan air, dan kandungan zat makanan yang ada di tempat
be
perkembangbiakan (Horsfall, 1972). Stadium jentik-jentik merupakan
al
stadium penting karena gambaran jumlah jentik akan menunjukkan
ju
er
populasi dewasa. Selain itu, stadium jentik juga mudah untuk diamati
ip
23
Pupa. Fase pupa tidak memerlukan makanan, tetapi pada
stadium ini masih membutuhkan oksigen untuk metabolismenya serta
mengalami perkembangan organ-organ dan sistem tubuh nyamuk dari
fungsi kehidupan akuatik menjadi kehidupan dewasa (Horsfall, 1972).
Adapun perbedaan antara Ae. aegypti dan Ae. albopictus ada pada
bagian dayung, yaitu pada Ae. aegypti mempunyai dayung yang seperti
tunggul, sedangkan pada Ae. albopictus pada bagian dayung memiliki
bulu.
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
24
Selain itu, pada bagian kaki Ae. aegypti memiliki basal putih, sedangkan
pada Ae. albopictus memiliki pita basal putih dengan tarsi segmen 5
sepenuhnya putih.
an
lik
be
Gambar 5. Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus (Photograph by Asep
Jajang K(a & Rohmansyah WN-Loka Litbangkes Pangandaran(b)
al
ju
Tempat Perkembangbiakan
er
ip
ember, tempat alas pot bunga, lubang di celah-celah kolam, akuarium tak
k
da
terpakai, dan masih banyak yang lainnya. Kontainer yang paling disukai
Ti
25
an
lik
be
al
ju
Gambar 6. Macam-macam Tempat Perkembangbiakan Aedes sp (Photograph
er
yaitu semen, kemudian logam, tanah, keramik, dan plastik. Hal ini
Ti
26
Letak Kontainer. Letak kontainer merupakan keadaan ketika
kontainer diletakkan, baik di dalam maupun di luar rumah. Hasil
penelitian di New Delhi melaporkan bahwa kontainer yang terletak
di dalam rumah berpeluang lebih besar ditemukan jentik-jentik
dibandingkan dengan kontainer yang terletak di luar rumah (Singh
et al., 2011). Kondisi ini sesuai dengan kesukaan nyamuk untuk
beristirahat di tempat-tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di
dalam rumah atau bangunan yang terlindung dari sinar matahari secara
langsung.
Volume Kontainer. Nyamuk Aedes sp meletakkan telurnya
an
pada batas air atau sedikit di atas batas air pada dinding kontainer,
lik
jarang sekali di bawah permukaan air, serta tidak akan meletakkan
be
telurnya bila di dalam kontainer tidak terdapat air. Knox et al (2007)
al
melaporkan bahwa terdapat hubungan antara volume kontainer dengan
ju
jumlah jentik-jentik yang dihasilkan. Kontainer dengan volume besar
er
kondusif karena air tersebut akan berada cukup lama di kontainer dan
D
perlu rentang waktu yang lama dalam proses pengeringan. Kondisi ini
uk
hujan.
da
an
dengan air yang jernih lebih banyak terdapat jentik-jentik Ae. aegypti
lik
(Setyobudi, 2011).
be
al
Perilaku dan Kepadatan Vektor
ju
er
setiap dua-tiga hari sekali pada pagi sampai sore hari, yakni pada pukul
k
da
28
Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan (2016) (Ridha et al.,
2018), begitu pula Malaysia bagian utara, baik Ae. aegypti maupun Ae.
albopictus ditemukan juga mengisap darah pada malam hari (Dieng et
al., 2010). Aktivitas mengisap darah nyamuk ini dapat berubah oleh
pengaruh angin, suhu, dan kelembaban udara.
Perilaku Istirahat. Nyamuk Aedes sp memerlukan istirahat setelah
proses mengisap darah inang sekitar 2-3 hari untuk mematangkan
telurnya di tempat-tempat yang kondusif (Soegijanto, 2012). Tempat
istirahat yang paling disukai adalah tempat yang lembab, gelap seperti
kelambu, di bawah tempat tidur, tirai, baju yang menggantung, serta
an
kamar mandi. Tempat istirahat nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus
lik
yaitu di semak-semak dan tanaman rendah seperti rerumputan yang
be
terdapat di halaman, kebun, dan pekarangan rumah. Hasil penelitian di
al
Bogor, jumlah nyamuk Ae. aegypti istirahat lebih dominan ditemukan
ju
di dalam rumah (54,05%), berbeda dengan Ae. albopictus lebih banyak
er
al., 2000) dan India (Tandon & Ray, 2000) yang menunjukan bahwa
uk
dinding, lemari, bagian bawah meja, kursi, dan peralatan rumah tangga.
da
29
positif di rumah, dan dianggap sebagai parameter entomologi yang
paling informatif, tetapi sekali lagi tidak ada refleksi produktivitas dari
kontainer. Namun demikian, dalam proses pengumpulan informasi
dasar untuk menghitung BI, bisa digunakan untuk mendapatkan
data tentang kondisi dan karakteristik dari habitat larva dengan
mendapatkan status kelimpahan relatif dari berbagai jenis kontainer,
baik sebagai kondisi potensial maupun kepadatan larva yang sebenarnya
(misalnya jumlah drum positif per 100 rumah, jumlah ban positif per
100 rumah, dll). Data ini sangat relevan dalam upaya fokus untuk
manajemen pengendalian habitat larva berbasis masyarakat (WHO,
2011). Parameter entomologi Aedes sp tersebut mempunyai relevansi
an
langsung dengan dinamika penularan penyakit DBD (Kinansi et
lik
al., 2017). Tingkat ambang batas investasi vektor yang merupakan
be
pemicu terjadinya transmisi dengue dipengaruhi oleh banyak faktor,
al
di antaranya kepadatan vektor termasuk umur nyamuk dan status
ju
er
30
juga berpengaruh terhadap siklus hidup Aedes sp. Faktor abiotik juga
tidak kalah penting dalam memengaruhi populasi nyamuk Aedes sp di
alam seperti curah hujan, temperatur, tutupan lahan, ketinggian, serta
evaporasi.
Curah Hujan. Di Indonesia perkembangan nyamuk dipengaruhi
oleh karakteristik dan distribusi curah hujan di suatu wilayah.
Semakin banyak hari hujan dengan intensitas normal, mengakibatkan
perkembangan nyamuk cenderung meningkat, namun sebaliknya
pada intensitas curah hujan normal akan tetapi hari hujannya relatif
sedikit, perkembangan nyamuk cenderung berkurang (Suryana, 2006).
an
Banyaknya lahan kosong, baik di perkotaan maupun pedesaan yang
lik
biasa digunakan sebagai tempat pembuangan sampah, seperti kaleng
be
bekas, botol bekas air mineral, ban bekas, dan lain-lain akan menjadi
al
tempat berisiko untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes sp jika datang
ju
musim hujan. Curah hujan dapat meningkatkan transmisi penyakit
er
antara curah hujan dan peningkatan jumlah kasus DBD yang dirawat.
k
Korelasi mulai terjadi satu bulan sebelum puncak curah hujan, meningkat
da
saat puncak curah hujan, dan menurun satu bulan sesudahnya. Bulan
Ti
31
Suhu dan Kelembaban. Suhu dan kelembaban udara merupakan
faktor lingkungan yang memengaruhi perkembangan jentik-jentik
nyamuk Ae. aegypti. Pada umumnya, nyamuk akan meletakkan telurnya
pada temperatur sekitar 20-30°C. Toleransi terhadap suhu tergantung
pada spesies nyamuk. Telur nyamuk tampak telah mengalami embriosasi
lengkap dalam waktu 72 jam dalam temperatur udara 25-30°C. Rata-
rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27°C dan
pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang
dari 10°C atau lebih dari 40°C. Kelembaban udara juga merupakan
salah satu kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi perkembangan
jentik-jentik nyamuk Ae. aegypti. Kelembaban udara yang berkisar 81,5-
an
89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi
lik
dan ketahanan hidup embrio nyamuk (Yudhastuti & Vidiyani, 2005).
be
Temperatur dan kelembaban nisbi udara selama musim hujan sangat
al
kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk dewasa, yang juga
ju
er
32
setelah konversi baru terlihat dampak yang terjadi. Suatu penelitian di
Provinsi Lampung menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata
antara tutupan lahan dengan insiden DBD pada tahun 2003, 2010,
dan 2014 (Mustika et al., 2004). Selain itu, terdapat hubungan antara
perubahan luasan hutan, luasan kebun campuran, luasan pertanian
lahan kering, dan luasan semak belukar terhadap prevalensi penyakit
DBD di Kabupaten Tanggamus (Zulhaidir, 2014).
Ketinggian. Ketinggian merupakan faktor penting yang membatasi
penyebaran Ae. Aegypti. Di India nyamuk ini tersebar mulai dari
ketinggian 0 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Di dataran
an
rendah (kurang dari 500 meter) tingkat populasi nyamuk dari sedang
lik
hingga tinggi, sementara di daerah pegunungan (lebih dari 500 meter)
be
populasi rendah. Wilayah Asia Tenggara, ketinggian 1000-1500 meter
al
menjadi batas untuk distribusi Ae. Aegypti. Namun, pemanasan global
ju
menyebabkan terjadinya peningkatan suhu pada daerah pegunungan
er
sampai hampir 1°C lebih tinggi. Hal ini menyebabkan populasi Ae.
ip
Saat ini penyebaran dengue yang terkait dengan vektornya tidak hanya
k
33
merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada
perkembangan nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor DBD (Boekoesoe,
2013).
pH Air. Kelangsungan hidup jentik-jentik dipengaruhi oleh pH
air, di samping fertilitas telur itu sendiri, sehingga telur nyamuk yang
sudah berada dalam tempat penampungan air menjadi tempat yang
optimal untuk berkembang biak sehingga hal ini dapat meningkatkan
kepadatan jentik-jentik nyamuk (Budiman, 2016). pH air yang
terlalu asam atau terlalu basa akan mudah mengakibatkan kematian
jentik. pH yang terlalu asam diduga akan menghambat pertumbuhan
an
plankton sedangkan diketahui bahwa plankton merupakan salah satu
lik
sumber makanan terbesar bagi jentik-jentik. Dengan berkurangnya
be
sumber makanan bagi jentik-jentik, maka peluang jentik-jentik
al
untuk mempertahankan hidupnya sangatlah kecil (Hadi et al.,
ju
2009). Hal lain yang diduga erat hubungannya antara keadaan pH
er
tinggi rendahnya kadar oksigen yang terlarut dalam air. Suasana yang
nt
U
34
10. Nyamuk Ae. aegypti betina gravid I dapat melakukan oviposisi pada
pH 3 – pH 10. Oviposisi nyamuk betina gravid I dengan persentase
tertinggi yaitu pH 9 (22,75%) dan terendah yaitu pH 4 (5,93%). Larva
Instar II dapat berkembang pada pH 4 – pH 10. Perkembangan larva
tertinggi terjadi pada pH 9 (83,33%) dan persentase perkembangan
larva terendah pada pH 4 (40,83%) (Anggraini & Cahyati, 2017).
Penutup
Nyamuk Ae. aegypti dikenal sebagai vektor utama DBD
karena inang utamanya adalah manusia, sedangkan Ae. albopictus
mempunyai banyak inang alternatif selain manusia. Kedua spesies itu
an
menyukai air jernih untuk media peletakan telur dan kelangsungan
lik
hidup pradewasanya. Imago Ae. aegypti lebih memilih habitat di
be
dalam rumah sementara Ae. albopictus di luar rumah. Sampai saat ini,
al
populasi vektor DBD masih sangat tinggi dan penyebarannya semakin
ju
er
Daftar Pustaka
Ti
35
Anggraini TS & Cahyati WH, 2017. Perkembangan Aedes aegypti
Pada Berbagai PH Air dan Salinitas Air. HIGEIA Journal, 1(3),
pp.1–10.
Ayuningtyas ED, 2013. Perbedaan Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Berdasarkan Karakteristik Kontainer di Daerah Endemis Demam
Berdarah Dengue (Studi Kasus di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota
Semarang Tahun 2013). [Thesis] Universitas Negeri Semarang.
Badrah S & Hidayah N, 2011. Hubungan Antara Tempat Perindukan
Nyamuk Aedes Aegypti dengan Kasus Demam Berdarah Dengue
di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam
an
Paser Utara. J. Trop. Pharm. Chem., 1(2), pp.150–157.
lik
Boekoesoe L, 2013. Kajian Faktor Lingkungan Terhadap Kasus Demam
be
Berdarah Dengue (DBD) Studi Kasus di Kota Gorontalo Provinsi
al
ju
Gorontalo. [Disertasi] Universitas Negeri Gorontalo.
er
University Press.
Ti
Clark TM, Flis BJ & Remold SK, 2004. pH tolerances and regulatory
abilities of freshwater and euryhaline Aedine mosquito larvae. The
Journal of experimental biology, 207(Pt 13), pp.2297–2304.
Depkes RI, 2005. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam
Berdarah Dengue, Jakarta: Ditjen P2M&PLP Depkes RI.
Dieng H, Saifur RGM, Hassan AA, Che Salmah MR, Boots M, Satho
T, et al., 2010. Indoor-breeding of Aedes albopictus in northern
36
peninsular Malaysia and its potential epidemiological implications.
PLoS ONE, 5(7), pp.1–9.
Djati RAP, Santoso B & Satoto TBT, 2012. Hubungan Faktor Iklim
Dengan Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Gunung Kidul
Tahun 2010. Jurnal Ekologi Kesehatan, 11(3), pp.230–239.
Epstein PR, 2001. Climate change and emerging infectious diseases.
Microbes and infection, 3(9), pp.747–754.
Fadilla Z, Hadi U & Setiyaningsih S, 2015. Bioekologi vektor demam
berdarah dengue (DBD) serta deteksi virus dengue pada Aedes
aegypti (Linnaeus) dan Ae. albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae)
an
di kelurahan endemik DBD Bantarjati, Kota Bogor. Jurnal
lik
Entomologi Indonesia, 12(1), pp.31–38.
be
al
Gharbi M, Quenel P, Gustave J, Cassadou S, Ruche G La, Girdary L, et
ju
al., 2011. Time series analysis of dengue incidence in Guadeloupe,
er
Hadi UK, Sigit SH & Agustina E, 2009. Habitat jentik Aedes aegypti
k
da
37
Tempat Dengan Kejadian DBD Kota Padang. Jurnal Kesehatan
Medika Saintika, 8(1), pp.25–34.
Hasyimi M, Harmany N & Pangestu, 2009. Tempat-Tempat Terkini
yang Disenangi Untuk Perkembangbiakan Vektor Demam
Berdarah Aedes sp. Media Litbang Kesehatan, 19(2), pp.71–76.
Herms WB, James MT & Harwood RF, 1969. Herms’s Medical
entomology, [New York: Macmillan.
Hidayat, Santoso L & Suwasono H, 1997. Pengaruh pH Air Perindukan
Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Aedes aegypti Pra
Dewasa. Cermin Dunia Kedokteran, 119, pp.47–49.
an
lik
Hoedojo, 1993. Vektor demam berdarah dengue dan upaya
be
penanggulangannya. Majalah parasitologi Indonesia, 6(1), pp.31–
al
44.
ju
er
and the dengue fever vector, Aedes aegypti. Climatic Change, 48,
D
pp.441–463.
uk
13(6), pp.378–383.
Kinansi RR, Widjajanti W & Ayuningrum FD, 2017. Kepadatan jentik
vektor demam berdarah dengue di daerah endemis di Indonesia
(Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Papua).
Jurnal Ekologi Kesehatan, 16(1), pp.1–9.
Kursianto, 2017. Kajian Kepadatan Dan Karakteristik Habitat Larva
Aedes Aegypti Di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. [Tesis] Institut
Pertanian Bogor.
38
Mellink J, 1981. Selection for bloodfeeding efficiency in colonized
Aedes aegypti. Mosq.News, 41(1), pp.119–125.
Mursid S, 2016. Daya Tetas Telur Aedes aegypti Berdasarkan Lama
Penyimpanan Di Kota Bogor. [Thesis] Institut Pertanian Bogor.
Mustika AA, Bakri S & Wardani DWSR, 2004. Perubahan Penggunaan
Lahan Di Provinsi Lampung Dan Pengaruhnya Terhadap Insidensi
Demam Berdarah Dengue (DBD). Jurnal Sylva Lestari, 4(3),
pp.35–46.
Nelson MJ, Pant CP, Self LS & Usman S, 1976. Observations on the
breeding habitats of Aedes aegypti (L.) in Jakarta, Indonesia. The
an
Southeast Asian journal of tropical medicine and public health, 7(3),
lik
pp.424–429.
be
al
Perich MJ, Davila G, Turner A, Garcia A & Nelson M, 2000. Behavior
ju
of resting Aedes aegypti (Culicidae: Diptera) and its relation to
er
39
Culicidae ) di berbagai daerah di Kalimantan Nocturnal activity of
Aedes ( Stegomyia ) aegypti and Ae . ( Stg ) albopictus ( Diptera :
culicidae ) in several area in K. Journal of Health Epidemiology and
Communicable Diseases (JHECDs), 3(2), pp.50–55.
Ruliansyah A, Gunawan T & Juwono S, 2011. Pemanfaatan Citra
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk
Pemetaan Daerah Rawan Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus
di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa
Barat). Aspirator, 3(2), pp.72–81.
Santoso B, Hakim L, Prasetyowati H & K AJ, 2010. Bionomik Ae.
an
aegypti di Kota Cimahi, Pangandaran.
lik
Sembel DT, 2009. Entomologi Kedokteran, Yogyakarta: Penerbit Andi.
be
al
Setyobudi A, 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
ju
Keberadaan Jentik Nyamuk di Daerah Endemik DBD di
er
Singh RK, Mittal PK, Yadav NK, Gehlot OP & Dhiman RC, 2011.
Aedes aegypti indices and KAP study in Sangam Vihar, south
Delhi, during the XIX Commonwealth Games, New Delhi, 2010.
Dengue Bulletin, 35, pp.131–140.
Soegijanto S, 2012. Demam Berdarah Dengue, Surabaya: Airlangga
University Press.
Subagyo Y, S S, Rosmanida & Sulaiman, 1998. Dinamika Populasi
Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang
40
Tinggi di Kotamadya Surabaya. Kedokteran Tropis Indonesia, 9,
pp.1–2.
Supartha IW, 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam
Berdarah Dengue , Aedes aegypti ( Linn .) dan Aedes albopictus
( Skuse )( Diptera : Culicidae ). Pertemuan Ilmiah Universitas
Udayana, (September), pp.3–6.
Suryana N, 2006. Interpretasi citra dan factorfaktor yang mempengaruhi
penyebaran Demam Berdarah (DBD) studi kasus kota bandung.
[thesis] Institut Teknologi Bandung.
Tandon N & Ray S, 2000. Host feeding pattern of Aedes aegypti and
an
Aedes albopictus in Kolkata, India. Dengue Bulletin, 24, pp.117–
lik
120.
be
al
WHO, 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of
ju
dengue and dengue haemorrhagic fever World Health Organization,
er
14(1), pp.40–53.
U
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
42
BAB 3
an
TRANSMISI TRANSOVARIAL:
lik
be
MEKANISME VIRUS DENGUE al
DALAM MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI DIRI
ju
DI ALAM
er
ip
D
Tri Wahono
uk
Pendahuluan
nt
U
43
yang berbeda dan sering kali berulang di wilayah yang sama. Secara
nasional, kejadian DBD berulang setiap lima tahun (Suroso, 2004).
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang tergolong
Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae.
Berdasarkan sifat antigenisitasnya virus terdiri dari 4 serotipe, yaitu DEN-
1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 (Henchal & Putnak, 1990). Virus dengue
ditularkan oleh nyamuk vektor, yaitu Ae. aegypti sebagai vektor utama
DBD, karena nyamuk ini bisa menjadi reservoir maupun amplifier
host bagi virus dengue (Borucki et al., 2002). Selain Ae. aegypti, di
beberapa wilayah di Indonesia Ae. albopictus dan Ae. scutellaris juga
an
berperan sebagai vektor. Ketiga jenis nyamuk Aedes ini memang tersebar
lik
luas di wilayah tropis dan subtropis, bahkan jenis nyamuk Ae. aegypti
be
dan Ae. albopictus ini hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia
al
(Sigit et al., 2006). Dalam tubuh nyamuk Ae. aegypti, virus dengue
ju
dapat tumbuh dan berkembang biak tanpa menimbulkan kematian
er
dalam jaringan ovarium dan embrio tanpa ada efek yang merusak
uk
faktor utama, yaitu agen, host atau inang, dan lingkungan. Pada kasus
da
peranan, yaitu virus dengue sebagai agen, manusia sebagai inang, dan
vektor perantara yaitu nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor utama dan
Ae. albopictus sebagai co-vektor (Mardihusodo et al., 2007). Kondisi
lingkungan yang sesuai juga turut mendukung terjadinya transmisi
infeksi dengue.
44
Mekanisme Transmisi Virus Dengue
Transmisi atau penularan virus dengue dapat secara horizontal
dengan melalui vertebra infektif dan nyamuk, maupun secara vertikal
atau transovarial pada nyamuk (Halstead, 2008). Transmisi virus dengue
secara horizontal berlangsung dari nyamuk vektor ke dalam tubuh
vertebrata (manusia dan kelompok kera tertentu) dan sebaliknya dari
vertebrata ke dalam tubuh vektor. Transmisi horizontal pada nyamuk
Ae. aegypti dapat berlangsung di hutan (sylvan cycle) dengan monyet
sebagai inangnya dan di perkotaan (urban cycle) dengan manusia
sebagai inangnya.
an
Nyamuk mendapatkan virus pada saat melakukan gigitan pada
lik
manusia (vertebrata) yang pada saat itu sedang mengandung virus
be
dengue di dalam darahnya (viremia). Virus yang sampai ke dalam
al
lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau
ju
berkembang biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai
er
di kelenjar ludah. Virus yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk
ip
Gambar 1. Dua macam transmisi horizontal virus dengue, silvan cycle dengan
primata sebagai inangnya dan urban cycle dengan manusia sebagai inangnya
(Whitehead et al., 2007)
45
Transmisi vertikal atau transovarial terjadi tanpa adanya perantara
inang vertebrata. Mekanisme transmisi vertikal hanya terjadi dalam
tubuh nyamuk. Virus dengue dapat ditularkan oleh nyamuk betina ke
telurnya (transovarial), yang nantinya akan menjadi nyamuk dengan
tingkat infeksi yang bisa melebihi 80% (Beaty & Marquardt, 2004).
Transmisi vertikal terjadi sesuai dengan siklus hidup nyamuk, yaitu
nyamuk betina yang telah terinfeksi bertelur di microniches, kemudian
telur berkembang menjadi larva dan pupa yang terinfeksi virus dengue
dan akhirnya muncul sebagai nyamuk dewasa infektif yang masuk
dalam siklus transmisi manusia-nyamuk-manusia.
an
Nyamuk betina yang telah infektif akan menurunkan virus kepada
lik
semua tahap perkembangan siklus hidup nyamuk, baik telur, larva,
be
pupa, dan dewasa. Dalam keadaan habitat hidupnya kering, semua
al
pradewasa Ae. aegypti akan mati, kecuali telur masih dapat bertahan
ju
hidup antara tiga bulan sampai satu tahun. Telur Ae. aegypti akan
er
menetas bila cukup air terutama pada saat musim hujan (Supartha,
ip
selama lima bulan pada suhu ruang dengan persentase tetas telur yang
uk
terinfeksi ke kapsula dan sel telurnya. Virus tersebut juga dapat diisolasi
da
46
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
47
Transmisi Transovarial di Indonesia
Transmisi transovarial virus dengue di Indonesia di alam
dibuktikan oleh Umniyati di Kelurahan Klitren, Yogyakarta dengan
metode Imunositokimia-imunoperoksidase streptavidin biotin complex
(IISBC) pada sediaan pencet kepala (head squash) (Umniyati, 2004).
Penelitian selanjutnya dengan metode yang sama oleh Widiarti di Kota
Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Sukoharjo ditemukan
adanya transmisi DBD secara transovarial dengan persentase angka
infeksi (infection rate) berkisar 0,66 - 8,77%, juga oleh Mardihusodo
di beberapa kelurahan Kota Yogyakarta juga ditemukan telah terjadi
an
transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, dengan angka infeksi 38,5 –
lik
70,2% (Widiarti; Boewono, DT; Widyastuti, 2009; Mardihusodo et
be
al., 2007). Setelah terbukti adanya transmisi transovarial di beberapa
al
daerah tersebut mulai banyak penelitian di berbagai tempat untuk
ju
membuktikan adanya transmisi transovarial di daerah lain.
er
48
Kabupaten Banjarnegara, yaitu di enam kecamatan dengan kasus DBD
baru, yaitu Kecamatan Kutabanjarnegara, Parakancanggah, Klampok,
Wanadadi, Tapen, dan Singamerta (Pramestuti et al., 2013). Dari enam
kecamatan tersebut didapatkan hasil positif transmisi transovarial pada
Kecamatan Kutabanjarnegara, Parakancanggah, dan Wanadadi.
Transmisi transovarial juga dilaporkan di beberapa daerah di
Sulawesi seperti yang dilaporkan oleh Sorisi di Kecamatan Malalayang,
Kota Manado (Sorisi et al., 2010). Lidiasani et al. (2016) melaporkan
di Kelurahan Kombos Barat, Kecamatan Singkil, Kota Manado dengan
indeks transmisi transovarial berkisar antara 39,1-70%. Dua daerah
an
tersebut merupakan daerah endemis DBD di Kota Manado. Trovancia
lik
et al. (2016) membuktikan adanya transmisi transovarial virus dengue
be
di Kota Manado dengan Teknik imunohistokimia SBPC. Deteksi
al
dilakukan pada nyamuk liar Ae. aegypti dan ditemukan sebanyak
ju
12,2 % positif virus dengue. Berbeda halnya dengan penelitian Rini
er
49
infeksi minimum 71,43 untuk DEN-4 dan 35,71 untuk DENV-3.
Kampung Inggris sendiri merupakan daerah endemis dengan jumlah
kasus DBD paling banyak pada tahun 2016 di Kecamatan Pare, Kota
Kediri. Berikut adalah tabel rekapitulasi deteksi transmisi transovarial
yang sudah dilakukan di Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1. Deteksi Transmisi Transovarial di Indonesia
Peneliti Tahun Lokasi
Umniyati 2004 Kelurahan Klitren, Kota Yogyakarta
Widiarti 2006 Kabupaten Semarang, Kendal,
Sukoharjo
Mardihusodo 2007 Kota Yogyakarta
an
Gustiansyah 2008 Kecamatan Sampit,
lik
Kabupaten Kotawaringin Timur
be
Umniyati 2009 Kota Bantul, Kabupaten Sleman,
al
Kota Yogyakarta
ju
Sucipto 2009 Kota Pontianak
er
Kabupaten Banjarnegara
Rini 2015 Kecamatan Mijen, Kota Semarang
Ti
50
Dari berbagai penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa transmisi
transovarial telah terdeteksi pada hampir seluruh wilayah Indonesia.
Mulai dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi sudah terdeteksi adanya
transmisi transovarial di berbagai daerah yang merupakan daerah
endemis dengue. Wilayah lain kemungkinan besar juga terjadi
transmisi transovarial hanya saja belum ada yang melakukan penelitian
di wilayah tersebut. Selain mendeteksi transmisi transovarial di alam,
beberapa penelitian di Indonesia telah membuktikan adanya transmisi
transovarial secara laboratoris dengan cara menginfeksi virus dengue
pada nyamuk Ae. aegypti. Umniyati telah membuktikan adanya
transmisi transovarial dan transstadial pada telur, larva, pupa, dan
an
nyamuk dewasa Ae. aegypti yang telah diinfeksi dengan virus dengue
lik
secara per-oral menggunakan teknik imunositokimia (Umniyati, 2009).
be
al
Seran dan Prasetyowati membuktikan transmisi transovarial dengan
ju
mendeteksi keberadaan antigen virus dengue dari telur nyamuk yang
er
virus dengue dilakukan pada telur Ae. aegypti betina dewasa generasi F2
D
hasil kolonisasi sampel telur dari nyamuk Ae. aegypti (F1) betina yang
uk
51
Peranan Transmisi Transovarial
dalam Endemisitas Dengue
Transmisi transovarial virus dengue pada awalnya dianggap
tidak berperan bagi epidemiologi dengue tetapi hasil penelitian
menunjukkan hal yang lain. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
adanya transmisi transovarial virus dengue pada nyamuk Ae. aegypti
di Malaysia berperan dalam meningkatkan dan mempertahankan
epidemik dengue. Transmisi transovarial virus dengue pada nyamuk
Ae. albopictus terdeteksi 7-41 hari sebelum kasus dengue pertama kali
dilaporkan (Lee & Rohani, 2005). Hal tersebut senada dengan yang
an
disampaikan oleh Thavara bahwa transmisi transovarial virus dengue
berpotensi meningkatkan kemungkinan wabah dengue atau setidaknya
lik
memberikan kontribusi untuk terpeliharanya virus dengue di suatu
be
daerah endemis (Thavara et al., 2006). Nyamuk betina yang telah
al
ju
terinfeksi bertelur di microniches, tempat sebagian besar telur bertahan
er
52
generasi ke-5 pada nyamuk Ae. aegypti yang diinfeksi dengan virus
dengue serotipe 2 secara per-oral. Hasil penelitian ini memberikan
indikasi bahwa transmisi transovarial berpotensi sebagai pendukung
pemeliharaan endemisitas DBD, dengan nyamuk Ae. aegypti berlaku
sebagai reservoir virus dengue sepanjang waktu.
Saat ini, transmisi transovarial virus dengue merupakan fenomena
penting yang menjadi penyebab bertahannya virus dengue selama
periode inter-epidemic di alam (Angel & Joshi, 2008). Transmisi
transovarial tampaknya berpotensi sebagai pendukung untuk inisiasi
KLB, atau minimal berperan sebagai faktor persistensi endemisitas
an
DBD di suatu wilayah (Joshi et al., 2002). Transmisi transovarial
lik
pada daerah endemis dan nonendemis menunjukkan perbedaan yang
be
signifikan. Transmisi transovarial pada daerah endemis lebih tinggi
al
daripada transmisi transovarial di daerah nonendemis (Gustiansyah,
ju
2008; Putri, 2017).
er
ip
pada akhir musim hujan sebelumnya akan menetas pada awal musim
uk
hujan berikutnya. Jika telur tersebut berasal dari induk infeksius, maka
nt
53
transmisi transovarial cenderung memainkan peran utama dalam
pemeliharaan keberadaan virus dengue di suatu wilayah (Satoto et al.,
2014).
Penutup
Transmisi transovarial merupakan suatu mekanisme virus dengue
dalam mempertahankan keberadaannya di alam. Transmisi transovarial
terbukti berperan penting dalam meningkatkan dan mempertahankan
epidemik dengue di suatu wilayah. Transmisi transovarial virus dengue
dianggap sebagai penyebab bertahannya virus dengue selama periode
inter-epidemic di alam. Transmisi transovarial tampaknya berpotensi
an
besar sebagai pendukung untuk inisiasi kejadian luar biasa atau minimal
lik
berperan sebagai faktor persistensi endemisitas DBD di suatu wilayah.
be
al
Daftar Pustaka
ju
45(1), pp.56–9.
nt
Beaty BJ & Marquardt W, 2004. The Biology of Disease Vectors 2nd ed.,
U
Academic Press.
k
da
Borucki MK, Kempf BJ, Blitvich BJ, Blair CD & Beaty BJ, 2002. La
Ti
54
Gustiansyah M, 2008. Bukti Adanya Transmisi Transovarial Virus
Dengue pada nyamuk Aedes aegypti (Diptera; Culicidae) di Sampit,
Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah. Program Studi
Ilmu Kedokteran Tropis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Halstead SB, 2008. Dengue Virus–Mosquito Interactions. Annual
Review of Entomology.
Henchal EA & Putnak JR, 1990. The Dengue Viruses. Clinical
Microbiology Reviews, 3(4), pp.376–96.
Joshi V, Mourya DT & Sharma RC, 2002. Persistence of dengue-3
virus through transovarial transmission passage in successive
an
generations of Aedes aegypti mosquitoes. American Journal of
lik
Tropical Medicine and Hygiene.
be
al
Kemenkes RI, 2015. Profil Kesehatan Indonesia, Available at: http://www.
ju
depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
er
indonesia/profil-kesehatan-Indonesia-2015.pdf.
ip
D
55
di Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Ekologi Kesehatan, 12(3),
pp.187–194.
Putri N, 2017. Detection Of Transovarial Dengue Virus Transmission In
Aedes Aegypti Mosquitoes From Kampung Inggris, Pare, Kediri, East
Java. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rosen, L.;Gubler D, 1974. The use of mosquitoes to detect and
propagate dengue viruses. The American journal of tropical medicine
and hygiene, 23(6), pp.1153–1160.
Satoto TBT, Umniyati SR, Astuti FD, Wijayanti N, Gavotte L, Devaux
C, et al., 2014. Assessment of vertical dengue virus transmission in
an
Aedes aegypti and serotype prevalence in Bantul, Indonesia. Asian
lik
Pacific Journal of Tropical Disease, 4(S2), pp.S563–S568.
be
al
Setiyaniingsih R & Alfiah S, 2014. Pengaruh Suhu Penyimpanan
ju
Terhadap Presentase Tetas Telur Aedes Aegypti Di Laboratorium.
er
Sigit SH, Hadi UK, Koesharto FX, Soviana S, Gunandini DJ, Yusuf S,
k
da
56
(Skuse)(Diptera: Culicidae). Makalah disampaikan dalam Seminar
DiesUnud 2008.
Suroso T, 2004. Situasi Epidemiologi dan Program Pemberantasan DBD
di Indonesia. In Seminar Kedokteran Tropis, Kajian KLB Demam
Berdarah Dengue dari Biologi Molekuler hingga Pemberantasannya.
Pusat Kedokteran Tropis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Thavara U, Siriyasatien P, Tawatsin A, Asavadachanukorn P,
Anantapreecha S, Wongwanich R, et al., 2006. Double infection
of heteroserotypes of dengue viruses in field populations of Aedes
aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) and serological
an
features of dengue viruses found in patients in southern Thailand.
lik
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health.
be
Umniyati S, 2004. Preliminary Investigation on The Transovarial
al
ju
Transmission of Dengue Virus in The Population Ae. sp aegypti
er
Gadjah Mada.
k
da
57
Yotopranoto S, Subekti R, Rosmanida & Salamun, 1998. Analisis
Dinamika Populasi Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam
Berdarah Dengue yang Tinggi di Kotamadya Surabaya. Majalah
Kedokteran Tropis Indonesia, 9, pp.23–31.
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
58
BAB 4
an
INSEKTISIDA DALAM PENGENDALIAN VEKTOR
lik
be
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) al
ju
Nurul Hidayati Kusumastuti, Firda Yanuar Pradani
er
ip
Pendahuluan
D
59
Pendekatan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) perlu diterapkan
yang salah satu prinsipnya adalah penggunaan insektisida merupakan
pilihan terakhir dan dilakukan secara rasional serta bijaksana.
Insektisida yang digunakan harus mendapat izin dari Menteri Pertanian
atas saran atau pertimbangan Komisi Pestisida (KOMPES) dan
memerhatikan petunjuk teknis WHO. Pengendalian vektor dengan
menggunakan insektisida harus memerhatikan beberapa aspek, yaitu
efektif terhadap serangga sasaran, teknologi aplikasinya, keamanan bagi
kesehatan masyarakat, petugas dan lingkungan. Insektisida, selain dapat
memutus rantai penularan penyakit juga memberikan dampak negatif
jika penggunaannya kurang bijak, antara lain menimbulkan kematian
an
organisme bukan sasaran, masalah lingkungan, dan timbulnya resistensi
lik
vektor (Dirjen P2PL, 2012). Pada bab ini selanjutnya akan dibahas lebih
be
terperinci tentang penggolongan cara kerja dan penggunaan insektisida
al
di rumah tangga.
ju
er
definisi insektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta
U
60
serangga tanpa harus memerhatikan bentuk mulutnya, insektisida
ini berbentuk gas. Penggunaan fumigants harus hati-hati, terutama
penggunaan di ruang tertutup. Insektisida sebagai racun kontak,
yang terpenting adalah kontak antara serangga yang ingin dibunuh
dengan insektisida yang digunakan. Insektisida sebagai racun perut
berarti insektisida harus masuk melalui sistem pencernaan. Cara kerja
insektisida dalam tubuh serangga terbagi menjadi lima kelompok, yaitu
mengganggu sistem syaraf, menghambat produksi energi, memengaruhi
sistem endokrin, menghambat produksi kutikula, dan menghambat
keseimbangan air. Mengetahui cara kerja insektisida akan bermanfaat
dalam memilih dan merotasi insektisida yang ada untuk mendapatkan
an
hasil yang optimal dalam rangka pengelolaan resistensi (Sigit et al.,
lik
2006).
be
al
Insektisida berdasarkan bahan kimia merupakan kelompok
ju
pestisida yang terbesar dan terdiri atas beberapa subkelompok kimia
er
dan kurang reaktif, ditandai dengan dampak residunya yang lama terurai
k
61
ini mempunyai waktu paruh yang panjang sehingga meskipun telah
dihentikan pemakaiannya, insektisida ini masih terdapat di lingkungan
sampai beberapa tahun kemudian. Di Indonesia sejak tahun 1996,
insektisida golongan ini telah dilarang untuk digunakan sebagai
insektisida rumah tangga (Lu, 1995).
Organofosfat merupakan ester asam fosfat atau asam tiofosfat.
Insektisida ini mempunyai waktu paruh yang bervariasi tergantung pada
derajat keasaman (pH). Waktu paruh pada pH netral berkisar beberapa
jam untuk diklorvos hingga beberapa minggu untuk parathion,
sedangkan pada pH sedikit asam waktu paruh ini akan meningkat
an
beberapa kali (Chemical Safety Information from Intergovernmental
lik
Organizations, 2008). Organofosfat umumnya merupakan racun
be
pembasmi serangga yang paling toksik terhadap binatang bertulang
al
belakang seperti ikan, burung, cicak, dan mamalia yang bekerja
ju
memblokade penyaluran impuls syaraf dengan mengikat enzim
er
62
Piretroid. Jenis insektisida ini paling banyak digunakan dalam
insektisida rumah tangga, terutama pada insektisida bakar dan
semprot. Berdasarkan produknya, piretroid dibedakan dengan piretroid
alam yang diperoleh dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium dan
piretroid sintetis yang merupakan sintesis dari piretrin. Piretroid sintetis
sering dikombinasikan dengan bahan kimia lain sehingga mempunyai
efek yang sinergis. Piretroid sintetis lebih lambat terurai dibandingkan
dengan piretroid alam. Piretroid merupakan racun syaraf yang bekerja
menghalangi sodium channels sehingga mencegah transmisi impuls
syaraf. Piretroid sering dikombinasikan dengan piperonyl butoxide yang
merupakan penghambat enzim mikrosomal oksidase pada serangga
an
sehingga kombinasi senyawa ini dengan piretroid mengakibatkan
lik
serangga mati (Departemen Pertanian RI, 2007). Piretroid mempunyai
be
toksisitas rendah pada manusia karena piretroid tidak terabsorpsi dengan
al
baik oleh kulit. Walaupun demikian insektisida ini dapat menimbulkan
ju
er
63
Health Department, 2008). Lotion (losio) yang mengandung 100%
DEET mampu melindungi kulit selama lebih dari 12 jam, sedangkan
yang mengandung 20-34% DEET hanya mampu melindungi 3-6 jam.
Sebagai repellent, The Center for Disease (CDC) merekomendasikan
kadar DEET 30-50% untuk mencegah resistensi dari serangga (Fishel,
2008). The America Academy of Pediatrics menyatakan tidak ada
perbedaan dalam hal keamanan pada produk yang mengandung DEET
10% dan 30% dan merekomendasikan agar DEET tidak digunakan
pada bayi yang berumur kurang dari 2 bulan (Two Rivers Public Health
Department, 2008).
an
Nabati merupakan insektisida alami yang didapat dari alam.
lik
Beberapa insektisida nabati yang masih digunakan antara lain piretrum,
be
nikotin, rotenone, lionene, dan azadirachtin. Di Indonesia, sebelum
al
banyaknya penggunaan piretroid, piretrin digunakan sebagai bahan
ju
aktif antinyamuk. Harga piretrin yang relatif mahal menyebabkan
er
64
tetapi jika digunakan bersama insektisida akan meningkatkan aktivitas
insektisida tersebut. Sinergis biasanya digunakan bersama insektisida
piretrin ataupun piretroid, contoh sinergis yang banyak digunakan
adalah Piperonil butoksida (PBO) (Sigit et al., 2006).
Berdasarkan cara penggunaannya, insektisida dibedakan atas
tujuh kelompok. Pertama, insektisida semprot dalam bentuk gas
(aerosol) dan manual tanpa aerosol. Insektisida ini digunakan dengan
cara menyemprotkan insektisida pada ruangan atau tempat yang
mempunyai hama serangga. Insektisida semprot dengan aerosol
berbentuk kemasan siap pakai, biasanya mengandung propana atau
an
butana sebagai propellant. Pada umumnya mempunyai kadar insektisida
lik
lebih tinggi dibandingkan insektida nonaerosol. Residu insektisida akan
be
tinggal di permukaan yang disemprotkan, tempat serangga bersarang
al
dan berjalan yang akan membunuh serangga setelah beberapa waktu
ju
kemudian. Bahan yang digunakan ialah propoksur, silica gel, resmetrin
er
65
hama serangga seperti nyamuk. Bahan yang digunakan ialah propoksur,
piretroid ditambah bahan yang sinergis (Michigan State University
Extension, 2006).
Keempat, insektisida bakar. Insektisida ini berbentuk bulatan
seperti koil dan biasanya digunakan untuk membunuh nyamuk. Asap
yang ditimbulkan dapat melumpuhkan atau membunuh nyamuk.
Bahan yang digunakan piretroid ditambah dengan bahan yang
sinergis. Kelima, insektisida losion sebagai repellent. Insektisida ini
juga digunakan untuk menghindarkan gangguan atau gigitan nyamuk,
bahan yang digunakan ialah DEET atau dimetilftalat. Nyamuk yang
an
datang pada kulit yang diolesi insektisida ini segera pergi dan tidak
lik
menggigit (Michigan State University Extension, 2006).
be
Keenam, cairan insektisida. Tersedia dalam bentuk konsentrat
al
yang jika akan digunakan dicampur dengan air atau pelarut siap pakai.
ju
sepotong kertas yang dilapisi dengan racun pada salah satu sisinya dan
uk
lem perekat agar menempel pada sisi yang lain. Kertas ini ditempatkan
nt
pada tempat yang banyak serangga sehingga serangga akan mati setelah
U
tidak hanya dirasakan oleh organisme yang menjadi sasaran, tetapi bisa
Ti
66
mengetahui cara mencegah DBD, yaitu dengan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) dan menggunakan obat nyamuk. Masyarakat
menggunakan obat nyamuk dengan beberapa alasan yang melandasi
pertimbangan menggunakan obat nyamuk seperti murah, mudah
didapat, dan memiliki aroma khusus (Wahyono & Oktarinda, 2016).
Produk insektisida yang beredar di pasaran banyak jenis dan
mereknya, mulai dari bakar, aerosol, oles, mat, dan cair elektrik. Data
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 12,2% menggunakan
insektisida di dalam rumah tangga dalam upaya pencegahan gigitan
nyamuk (Badan Litbang Kesehatan, 2013). Perilaku penggunaan
an
insektisida di masyarakat setidaknya didorong oleh tiga alasan, yaitu
lik
kebutuhan manusia atas kenyamanan dan kesehatan, kemudahan
be
mendapatkan insektisida, dan ketersediaan informasi mengenai
al
insektisida (Wijaya et al., 2016). Penelitian di Desa Pangandaran,
ju
Kabupaten Pangandaran Tahun 2014 menunjukkan 82% responden
er
67
cenderung lebih menyukai hal-hal yang sifatnya lebih praktis, termasuk
pemilihan jenis insektisida (Badan Litbang Kesehatan, 2013). Provinsi
Jawa Barat sebagian besar memilih jenis insektisida elektrik (36%)
dan jenis aerosol menempati urutan kedua. Jenis ini lebih disukai
karena selain cara penggunaannya lebih mudah, jenis insektisida ini
relatif banyak dan mudah diperoleh. Selain itu, alasan utama rumah
tangga lebih suka menggunakan insektisida jenis ini adalah tidak
menimbulkan asap yang dapat mencemari lingkungan, mengotori
rumah, dan membuat sesak pernapasan (Dirjen Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI, 2013). Berbeda juga
dengan hasil penelitian Lembaga Gita Pertiwi di Solo Raya, diketahui
an
94% responden menggunakan insektisida antinyamuk. Bentuk
lik
penggunaannya antara lain 54% bakar, 19% semprot, 17% oles, 15%
be
mat (tablet) listrik. Beberapa responden mengaku menggunakan lebih
al
dari satu macam produk antinyamuk (Wahyuningsih, 2011). Berbeda
ju
er
68
Berdasarkan bahan aktif insektisida dari kelompok sintetik
piretroid yang digunakan di rumah tangga, ada tiga jenis yaitu praletrin,
d-aletrin, dan transflutrin. Piretroid merupakan jenis insektisida yang
paling banyak digunakan dalam industri insektisida rumah tangga,
terutama pada insektisida jenis koil/bakar dan semprot. Piretroid lebih
disukai karena relatif memiliki toksistas rendah pada manusia karena
piretroid tidak terabsorbsi dengan baik oleh kulit meskipun dapat
menimbulkan alergi pada orang yang peka (Illinois Departement of
Public Health Enviromental Health, 2007).
Berdasarkan produknya, piretroid dibedakan dengan piretroid
an
yang berasal dari alam yang diperoleh dari bunga Chrysanthemum
lik
cinerariaefolium dan piretroid sintetis yang merupakan sintesis
be
dari piretrin. Piretroid sintetis sering dikombinasikan dengan bahan
al
kimia lain sehingga mempunyai efek yang sinergis, menaikkan
ju
potensi namun lebih persisten di lingkungan. Piretroid pada serangga
er
69
terbaru yang dilakukan Irva Hertz-Picciotto dari Universitas California
tahun 2008, mendukung adanya korelasi antara piretrin dengan autism
(Fishel, 2008).
Hasil penelitian di Depok juga menyebutkan bahwa sebagian besar
masyarakat menggunakan insektisida piretroid (42,96%), Karbamat
(25,35%), dan Organofosfat (6,34%) (Wahyono & Oktarinda, 2016).
Penelitian lain di Kecamatan Tingkir, Salatiga bahan aktif yang banyak
digunakan masyarakat adalah sipermetrin, daletrin, transflutrin,
siflutrin, dan praletrin. Variasi bahan aktif ini ditemukan di berbagai
merek dan formulasi insektisida yang beredar di pasaran (Wigati &
an
Susanti, 2012).
lik
Berdasarkan frekuensi penggunaan, 85,4% masyarakat di
be
Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah menggunakan insektisida
al
rumah tangga sehari sekali dalam jangka waktu pemakaian enam
ju
sampai sepuluh tahun (Sunaryo et al., 2015). Hasil ini sama dengan
er
ip
tangga dengan dosis dan cara yang tidak tepat dan dalam jangka waktu
da
70
2. Jangan terkena luka terbuka.
3. Jangan menyemprot sewaktu ada orang di ruangan, jangan
diarahkan pada makanan, hewan peliharaan, dan gunakan ruangan
setelah 30 menit ruangan selesai disemprot.
4. Jangan mengoleskan lotion antinyamuk secara berlebihan. Bila
terjadi iritasi, hentikan pemakaian, kemudian cuci kulit dengan air
yang mengalir.
5. Obat nyamuk bakar hendaknya dibakar pada ruangan yang
berventilasi cukup, jangan menggunakan obat nyamuk bakar dekat
makanan.
an
lik
6. Bila terkena mata, cuci mata dengan air yang mengalir, kemudian
be
penderita dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan terdekat.
al
7. Insektisida semprot gas mempunyai tekanan tinggi yang dapat
ju
er
sampah.
uk
71
Dampak Penggunaan Insektisida
Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD dalam
masyarakat dapat menguntungkan sekaligus dapat merugikan.
Insektisida bila digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu,
dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan serta organisme yang bukan
sasaran (Sukowati, 2010). Penggunaan insektisida kimia di rumah
tangga memiliki risiko pemajanan, terutama pada golongan usia
anak-anak. Risiko terhirup, tertelan, atau iritasi merupakan salah satu
contoh bahaya pajanan insektisida rumah tangga (Goldman, 1995).
an
Secara fisiologis, anak-anak lebih rentan karena anak-anak cenderung
lik
menghirup udara lebih banyak dan mengonsumsi makanan lebih
be
banyak. Selain itu, rasa penasaran atau kebiasaan memasukan benda
al
ke mulut, khususnya pada anak batita meningkatkan risiko pajanan
ju
insektisida terhadap anak-anak (Ruliansyah, 2015).
er
72
tangga sehingga tidak ada lagi waktu untuk membersihkan tempat
penampungan air ataupun membersihkan lingkungan sekitar (Yuliani
et al., 2011).
Beberapa penelitian yang mendukung adanya resistensi di Indonesia
antara lain penelitian (Gionar, 2005) menunjukkan bahwa 90% Culex
quinquefasciatus di Jakarta dikategorikan resisten terhadap organofosfat
dan 25% Ae. aegypti di Bandung resisten terhadap organofosfat.
Penelitian di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman, Jepara,
Blora, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Tegal, Kota
Magelang, dan Kota Purwokerto Tahun 2010 (Widiarti, 2011). Begitu
an
pula di Kabupaten Kendal, Grobogan, dan Purbalingga telah terjadi
lik
status resistensi vektor DBD terhadap beberapa insektisida (Ikawati et
be
al., 2015). Sementara itu Kota Padang, Provinsi Sumatra Barat juga telah
al
terjadi penurunan kerentanan vektor DBD meskipun belum terjadi
ju
resistensi (Putra et al., 2017). Beberapa kota/kabupaten Sumatra Selatan
er
& Nisa, 2011). Kabupaten Sumbawa, wilayah Timur Indonesia ini pun
uk
73
status toleran dan 7 kabupaten sudah resisten terhadap malation 0,8%.
Kondisi ini berkembang cepat dengan kontribusi dari frekuensi dan
dosis insektisida yang terus ditambah ketika dirasa sudah tidak efektif
lagi (Lasbudi et al., 2015).
Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam menghadapi
kondisi resitensi insektisida dalam pengendalian vektor di antaranya
adalah dengan metode rotasi. Monitoring tingkat kerentanan (peka,
toleran, dan resisten) serangga vektor terhadap insektisida secara
rutin perlu dilakukan agar dapat menentukan insektisida yang tepat
untuk pengendalian (Dirjen P2PL, 2012). Efek toksik insektisida baik
an
akut maupun kronis pada manusia maupun pada lingkungan dapat
lik
diminimalkan dengan mematuhi petunjuk keamanan yang tertera pada
be
label kemasan insektisida. al
Penutup
ju
er
menjadi lebih mengikat dengan adanya aturan yang tegas dan sanksinya.
Daftar Pustaka
Badan Litbang Kesehatan, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta:
Kemenkes RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009. Bahaya Keracunan Pestisida
di Rumah Tangga. Available at: http://www.pom.go.id/public/
siker/desc/produk/RacunPesRT.pdf [Accessed June 26, 2012].
74
Chemical Safety Information from Intergovernmental Organizations,
2008. Organophosporus Pesticide. Available at: www.inchem.org/
documents/pims/chemical/pingOO1.htm.
Departemen Pertanian RI, 2007. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/
Permentan/OT.140/1/2007 Tentang Daftar Bahan Aktif Insektisida
yang Dilarang dan Insektisida Terbatas,
Diona M & Nisa K, 2011. Larva Aedes aegypti sudah toleran terhadap
Temefos di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Jurnal Vektora,
3, pp.93–111.
Dirjen P2PL, 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) Dalam
an
Pengendalian Vektor. In Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
lik
be
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes
al
RI, 2013. Data Kasus DBD Berdasarkan Kabupaten/Kota di
ju
Indonesia tahun 2011-2013,
er
ip
75
Joharina AS, 2014. Kepadatan Larva Nyamuk Vektor sebagai Indikator
Penularan Demam Berdarah Dengue di Daerah Endemis di Jawa
Timur. Vektora, 8(2), pp.33–40.
Kusumastuti NH, 2014. Penggunaan Insektisida Rumah Tangga
Anti Nyamuk di Desa Pangandaran Kabupaten Pangandaran.
Widyariset, 17(3), pp.417–424.
Lasbudi, Pahlepi RI, Tavip Y, Budiyanto A, Sitorus H & Febriyanto.,
2015. Tingkat Kerentanan Aedes aegypti (Linn) Terhadap Malation
di Propinsi Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Kesehatan, 43(2),
pp.97–104.
an
Lu F, 1995. Toksikologi Dasar II., Universitas Indonesia (UI) Press.
lik
be
Michigan State University Extension, 2006. Selection and Use of
al
Household Insecticides,If Needed. Available at: http://www.
ju
msue.msu.edu/objects/content_revision/download.cfm/revision_
er
id.496095/workspace_id.-4/01500539.html/.
ip
D
76
Raini M, 2009. Toksikologi Insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan
Keracunan. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
XIX(II), pp.27–33.
Ruliansyah A dkk, 2015. Pemetaan Status Kerentanan Vektor DBD Aedes
spp Terhadap Insektisida Menurut Kabupaten di Indonesia Tahun
2015 (Studi di Provinsi Jawa Barat),
Sigit SH, Hadi UK, Koesharto F, Gunandini DJ, Soviana S, Wirawan
IA, et al., 2006. Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi
dan Pengendalian 1st ed. S. H. Sigit & U. K. Hadi, eds., Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
an
Simbarawa L, Soviana SH & Kesumawaati U, 2017. Status Resistensi
lik
Aedes aegypti terhadap Malathion dan Temefos Serta Distribusi
be
Spasialnya di Daerah Endemis DBD Kabupaten Sumbawa.
al
ju
Sukowati S, 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan
er
pp.26–30.
uk
http://www.tworiverspublichealth.com/Resources/documents/
Deet. [Accessed November 20, 2008].
Wahyono TYM & Oktarinda W, 2016. Penggunaan Obat Nyamuk dan
Pencegahan Demam Berdarah di DKI Jakarta dan Depok. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia, volume 1(1), pp.35–40.
77
Wahyuningsih YS, 2011. Bahaya Obat Anti Nyamuk dan Cara
Penanggulangannya. Available at: http://www.gitapertiwi.org/
media-publikasi/artikel/168-bahaya-obat-anti-nyamuk-dan-cara-
penanggulangannya.html [Accessed October 19, 2011].
Widiarti et all, 2011. Peta Resistensi Vektor DBD Aedes aegypti terhadap
Insektisida Kelompok Organofosfat, Karbamat dan Piretroid di
Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istemewa Yogyakarta. Buletin
Penelitian Kesehatan, 39(4), pp.176–189.
Wigati RA & Susanti L, 2012. Hubungan Karakteristik,
Pengetahuan,dan Sikap dengan Perilaku Masyarakat Dalam
an
Penggunaan Anti Nyamuk di Kelurahan Kutowinangun. Buletin
lik
Penelitian Kesehatan, 40(3), pp.130–141.
be
Wijaya HO, Yulianti AB & Sakinah R kince, 2016. Hubungan Antara
al
ju
Penggunaan Insektisida Kesehatan Masyarakat dengan Karakteristik
er
78
BAB 5
an
DAYA UNGKIT PERAN SERTA MASYARAKAT DA-
lik
be
LAM PENGENDALIAN al
DEMAM BERDARAH DENGUE
ju
er
Pendahuluan
uk
nt
Sampai saat ini, penemuan vaksin dan obat yang dapat mencegah
U
79
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD dalam program
kesehatan dikenal dengan istilah “3M”. Pelaksanaannya meliputi:
(1) menguras tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya
seminggu sekali; (2) menutup rapat tempat-tempat penampungan
air; dan (3) mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas yang
dapat menampung air seperti kaleng bekas dan plastik bekas. Selain
kegiatan 3M, kegiatan PSN DBD ditambah dengan tindakan plus,
yaitu memberantas jentik-jentik dan menghindari gigitan nyamuk
Aedes aegypti pembawa virus dengue. Upaya yang dapat dilakukan
dalam pelaksanan PSN adalah sebagai berikut: abatisasi, memelihara
ikan pemakan jentik nyamuk, mengusir nyamuk menggunakan
an
antinyamuk, mencegah gigitan nyamuk menggunakan lotion
lik
antinyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi, tidak
be
menggantung pakaian di dalam kamar, serta menggunakan kelambu
al
pada waktu tidur (Kemenkes RI, 2016).
ju
er
(ABJ). Target ABJ secara nasional adalah 95%, namun sampai dengan
da
80
kebutuhan sehari-hari. Contoh kontainer yang sering dijumpai dan
banyak ditemukan larva Aedes spp. adalah bak mandi, ember, dispenser,
tampungan air pada belakang kulkas, drum, pot bunga, tutup ember,
dan barang-barang bekas yang terbengkalai di sekitar rumah. Hal ini
berisiko terhadap penularan DBD di lingkungan tersebut, terlebih
lagi jika lingkungan tersebut merupakan daerah endemis. Peran serta
masyarakat sangat diperlukan dalam meningkatkan ABJ di lingkungan
mereka. Pemberantasan penyakit DBD bukanlah tanggung jawab sektor
kesehatan semata, hal ini karena penanggulangan penyakit DBD lebih
banyak terkait dengan peran serta masyarakat. Hal ini dibuktikan pada
hasil penelitian Chadijah ( 2011) di Desa Palupi dan Desa Senggani,
an
Palu yang peran serta masyarakatnya mampu meningkatkan ABJ dari
lik
68% sampai 89% setelah tujuh minggu intervensi.
be
al
Peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan dapat diartikan
ju
sebagai suatu bentuk kegiatan yang melibatkan bantuan masyarakat
er
81
Diharapkan artikel ini dapat menjadi referensi dalam upaya peningkatan
peran serta masyarakat dalam suatu lingkungan.
an
melakukan tindakan dengan tujuan tertentu (Badan Pengembangan
lik
dan Pembinaan Bahasa, 2002). Motivasi akan menggerakkan seseorang
be
untuk melakukan sesuatu dengan dorongan dalam dirinya untuk
al
mencapai tujuan yang diinginkan. Perbuatan yang dilakukan dengan
ju
er
82
menciptakan semangat atau gairah untuk melakukan usaha sehingga
kinerja seseorang dapat meningkat. Sesuatu yang dikerjakan karena
ada motivasi yang mendorongnya akan membuat seseorang senang
mengerjakannya (Milviyati, 2017).
Motivasi individu dalam ikut serta upaya PSN dimulai dengan
pembentukan persepsi sehingga individu tersebut mempunyai dorongan
melakukan upaya PSN. Persepsi individu tentang PSN dapat dibangun
melalui pengetahuan tentang PSN. Pengetahuan diperlukan agar
seseorang lebih bisa membangun persepsi akan masalah yang dihadapi.
Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, yakni semakin tinggi
an
pendidikan semakin luas pengetahuannya. Peningkatan pengetahuan
lik
tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal, tetapi bisa juga dari
be
pendidikan nonformal (Lendrawati, 2013).
al
Dalam hal pemberantasan DBD, seseorang memerlukan
ju
83
DBD. Berbagai penelitian menunjukkan adanya korelasi antara tingkat
pendidikan dan pengetahuan dengan perilaku pengendalian vektor,
yakni semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang pentingnya
upaya pengendalian vektor maka upaya untuk mengendalikan vektor
DBD juga semakin besar (Bakta & Bakta, 2014; Ayudhya et al., 2014).
Ketidakberhasilan program pengendalian DBD yang dicanangkan
oleh pemerintah dalam menurunkan angka kejadian DBD berhubungan
erat dengan belum adanya peran serta masyarakat dalam perencanaan
dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas program. Pengetahuan masyarakat
masih kurang karena tidak memiliki akses langsung terhadap informasi
an
dan pengetahuan mengenai program, yang merupakan prakondisi
lik
bagi peran serta warga dalam suatu program. Hal ini disebabkan
be
penyuluhan, yang merupakan saluran penyampaian informasi dari para
al
pelaksana program di lapangan kepada warga masyarakat belum berjalan
ju
dengan baik; karena adanya berbagai kendala pada pelaksana program
er
masih kurang tepat (Indera, 1998; Sakti & Budi, 2014; Hatang, 2010)
nt
U
84
potensial sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk (Prasetyowati et
al., 2015).
Widyastuti & Yuniarti (2009) mengungkapkan bahwa secara
umum pengetahuan masyarakat Dukuh Kenteng, Kelurahan
Tegalrejo, Kota Salatiga meningkat lebih tinggi sesudah penyuluhan
mengenai DBD. Penyuluhan yang dilakukan mampu membangun
motivasi masyarakat untuk belajar, meskipun di antara kesibukan
mereka berdagang. Pengetahuan dan motivasi masyarakat yang positif
terhadap upaya pemberantasan DBD akan mendorong warga untuk
melaksanakan PSN dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya motivasi
an
positif yang dimiliki masyarakat tentang pencegahan DBD, semakin
lik
tinggi pula kesadaran untuk berperan serta dalam mencegah DBD.
be
Motivasi akan muncul jika masyarakat paham terhadap persoalan yang
al
dihadapi sehingga sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat perlu
ju
dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat.
er
ip
85
informal. Beberapa kegiatan masyarakat seperti posyandu, PKK, dasa
wisma, pengajian rutin, arisan, dan kegiatan lain dapat dimanfaatkan
dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melakukan
PSN. Forum pertemuan ini dapat difasilitasi oleh tenaga-tenaga
kesehatan, kader maupun tokoh masyarakat yang tujuannya
mengajak masyarakat berkumpul dan berdiskusi dalam penanganan
pemberantasan DBD di lingkungan mereka (Trapsilowati et al., 2015;
Wijayanti, 2010).
Upaya pemicuan kesadaran masyarakat perlu adanya kegiatan
peningkatan pengetahuan mengenai DBD dan vektornya, perkembangan
an
kasus DBD wilayah tersebut, dan upaya-upaya yang telah dilakukan
lik
oleh masyarakat dan petugas kesehatan. Forum pertemuan merupakan
be
forum diskusi, maka masyarakat juga dapat secara aktif menyampaikan
al
pendapat serta pengalaman saat ada keluarga yang sakit atau mengalami
ju
sakit, termasuk kerugian yang disebabkan oleh sakit DBD. Dalam
er
yang ada di lingkungan mereka, serta upaya yang bisa dilakukan untuk
D
86
Indikator peningkatan motivasi dapat dilihat dengan meningkatnya
upaya masyarakat dalam pengendalian vektor DBD dan tingkat
keberlangsungan kegiatan pengendalian vektor di masyarakat tanpa ada
rasa diawasi atau dinilai. Masyarakat melakukan upaya pengendalian
vektor DBD murni karena kesadaran masyarakat. Peningkatan upaya ini
karena adanya motivasi dalam diri masyarakat dan karena pengetahuan
masyarakat semakin tinggi mengenai DBD. Meningkatnya upaya
pengendalian vektor DBD oleh masyarakat berdampak pada perubahan
indeks entomologis di lingkungan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Hasil penelitian di Kota Sukabumi, Demak, dan Jakarta menunjukkan
berdasarkan hasil dari survei jentik-jentik yang dilakukan sebelum
an
dan sesudah pemicuan kesadaran dan motivasi masyarakat didapatkan
lik
kondisi yang berbeda. Umumnya ABJ di lokasi penelitian pada saat
be
sesudah pemicuan mengalami kenaikan sedangkan HI, CI, BI, dan PI
al
mengalami penurunan (Prasetyowati et al., 2015; Donanti et al., 2017;
ju
er
87
menjadikan warga mengenal satu sama lain. Rasa saling kenal menjadi
dasar untuk membangun kebersamaan melaksanakan gerakan PSN
bersama-sama (Prasetyowati et al., 2015). Selain itu, jenis pekerjaan
diduga juga memengaruhi partisipasi masyarakat. Masyarakat yang
tinggal di daerah yang mayoritas adalah pegawai yang hanya memiliki
waktu senggang pada hari-hari tertentu akan menjadi faktor pembatas
dalam gerakan PSN secara bersama-sama (Dalimuthe, 2008). Jenis
pekerjaan yang banyak memiliki waktu luang menjadikan gerakan PSN
secara bersama-sama dapat lebih berjalan.
Adanya komitmen bersama masyarakat menunjukkan adanya
an
iktikad baik dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah DBD di
lik
lingkungan mereka. Komitmen ini juga memberikan motivasi dalam
be
diri masyarakat untuk meningkatkan upaya pengendalian populasi
al
Aedes spp. sebagai vektor DBD. Motivasi inilah yang menjadi dasar
ju
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan DBD. Hal ini
er
Masyarakat
k
da
88
pengetahuannya. Melalui kemampuannya tersebut, tokoh masyarakat
mengimbau dan mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam
kegiatan kemasyarakatan (Trapsilowati & Suskamdani, 2004).
Dalam hal pemberantasan DBD di lingkungan masyarakat, tokoh
masyarakat diharapkan mampu menggerakkan masyarakat di wilayahnya
untuk melakukan PSN. Peran tokoh masyarakat dapat diwujudkan
dengan menyebarluaskan informasi kegiatan PSN dalam kegiatan-
kegiatan kemasyarakatan. Dalam upaya tersebut, tokoh masyarakat
perlu memiliki pengetahuan dan sikap positif dalam pengendalian
demam berdarah (Bahtiar, 2012; Trapsilowati & Suskamdani, 2004).
an
Selain menyebarluaskan informasi, tokoh masyarakat juga dapat
lik
berperan sebagai fasilitator dan mengarahkan masyarakat agar tercapai
be
komitmen bersama dalam pelaksanaan PSN di lingkungan mereka.
al
Dukungan tokoh masyarakat juga diperlukan dalam meningkatkan
ju
program pengendalian Aedes spp. mulai dari RT, RW, kader, bahkan
da
89
Kesinambungan Peran Serta Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan
ketekunan, kesabaran, dan upaya dalam memberikan pemahaman dan
motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat
secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat
adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3M plus
atau PSN di lingkungan mereka (Sukowati, 2010). Meskipun telah ada
komitmen bersama di masyarakat, namun dalam pelaksanaannya perlu
adanya upaya untuk mempertahankan motivasi masyarakat agar tidak
menurun. Diperlukan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik
an
tempat dan penduduk agar upaya peningkatan motivasi bisa berjalan
lik
baik.
be
Tidak jarang dijumpai masyarakat yang mengalami penurunan
al
motivasi sehingga hanya mau berperan aktif ketika dilakukan pengawasan
ju
90
posyandu, sekolah, masjid, tempat arisan, pertemuan RT/RW, dan
lainnya. Penyuluhan kelompok ini akan efektif apabila dilaksanakan
secara rutin dan berkesinambungan di seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Rosidi & Adisasmito (2006) ada hubungan yang bermakna
antara penyuluhan kelompok tentang DBD dan kondisi ABJ-nya. Untuk
itu perlu diupayakan adanya kesinambungan gerakan PSN dengan
melibatkan masyarakat sedini mungkin. Keterlibatan masyarakat akan
meningkatkan motivasi dan upaya PSN di lingkungan mereka yang
akan berdampak pada meningkatnya ABJ di lingkungan masyarakat.
Penutup
an
Pelibatan masyarakat dalam PSN sebagai upaya pengendalian
lik
DBD tidak terlepas dari individu sebagai subjek. Motivasi dan
be
pengetahuan individu memberikan peran penting dalam diri seseorang
al
untuk ikut melibatkan diri dalam kegiatan PSN. Selanjutnya adalah
ju
er
dengan perilaku dan hal tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu
yang singkat. Perlu strategi untuk menyiasati dinamika dalam proses
Ti
Daftar Pustaka
Andriani F., 2006. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kelurahan Nyomplong Wilayah Kerja Puskesmas
Pabuaran Kota Sukabumi. Universitas Kristen Maranata.
91
Ayudhya P, I.Ottay R, P.J.Kaunang W, Kandou GD & Pandelaki A.,
2014. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang
Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Pencegahan Vektor
di Kelurahan Malalayang 1 Barat Kota Manado. Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik, 2(1).
Azam M, Azinar M & Fibriana AI, 2016. Analisis Kebutuhan Dan
Perancangan “Ronda Jentik” Sebagai Model Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk. Unnes Journal
of Public Health, 5(4).
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2002. Kamus Besar
an
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
lik
Bahtiar Y., 2012. Hubungan pengetahuan dan sikap tokoh masyarakat
be
dengan perannya dalam pengendalian demam berdarah diwilayah
al
ju
puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya. Aspirator, 4(2).
er
Bakta NNYK & Bakta IM, 2014. Hubungan Antara Pengetahuan dan
ip
D
view/13855/9539.
da
92
Dalimuthe, 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat dalam program pencegahan malaria di Kecamatan saibu
Kabupaten Mandailing Natal. Universitas Sumatera Utara.
Depkes RI dan WHO, 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue, Jakarta.
Donanti E, Hardjanti A & Indrawati I, 2017. Penyuluhan dan Pelatihan
Jumantik Mandiri di Kelurahan Rawasari Sebagai Salah Satu
Upaya Meningkatan Kepedulian Masyarakat Terhadap Demam
Berdarah Dengue. In Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat. UNISBA.
an
Erfandi, 2008. Peran Serta masyarakat. http://forbetterhealth.wordpess.
lik
com.
be
al
Hatang IT, 2010. Analisis perbandingan pelaksanaan pengelolaan
ju
program pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue
er
antara Puskemas ”X” dan Puskesmas ”Y”, Kota Bogor, tahun 2010.
ip
D
Universitas Indonesia.
uk
Universitas Indonesia.
k
da
at: http://www.depkes.go.id/article/view/16020900002.
Kemenkes RI, 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016, Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Lendrawati, 2013. Motivasi Masyarakat dalam Memelihara dan
Mempertahankan Gigi. Andalas Dental Journal. Available at: adj.
fkg.unand.ac.id/index.php/adj/article/download/9/9.
93
Milviyati L, 2017. Peranan Motivasi Terhadap Peningkatan Kinerja
Pegawai Pada PT Perkebunan Nusantara III (PERSERO) Medan.
Universitas Sumatera Utara.
Notoatmodjo S, 2010. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta,
pp.20–40.
Prasetyowati H, Santya RNRE & Nurindra RW, 2015. Motivasi Dan
Peran Serta Masyarakat Dalam Pengendalian Populasi Aedes spp.
Di Kota Sukabumi. Jurnal Ekologi Kesehatan, 14(2).
Purnama SG, Satoto TB & Prabandari Y, 2013. Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Terhadap Infeksi
an
Dengue di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali.
lik
Arc. Com. Health, 2(1), pp.20–27.
be
al
Putri P, 2012. Motivasi dan Partisipasi Warga dalam Mencegah Angka
ju
kejadian DBD di RW 09 Kelurahan Pondok Cina Kecamatan Beji,
er
publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3634/FAJAR
- AGUS SUDARYANTO Fix.pdf;sequence=1.
Ti
94
Kota Bambu Selatan, DKI Jakarta). Universitas Indonesia.
Available at: http://www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-06/
S55246-Tri Saputra Sakti.
Sitorus R, 2009. Perilaku Masyarakat Dalam Pencegahan Penyakit
Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Medan Johor Kota Medan.
Sobur, A., 2009. Psikologi Umum 2nd ed., Bandung: Pustaka Setia.
Sukowati S, 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan
Upaya Pengendaliannya. Buletin jendela epidemiologi, 2.
Supartha IW, 2008. Pengendalian Terpadu Vektor VirusDemam Berdarah
an
Dengue, Aedes aegypti(Linn.) dan Aedes albopictus(Skuse)
lik
(Diptera: Culicidae). In Seminar DiesUnud2008. Denpasar:
be
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
al
Trapsilowati W, Mardihusodo SJ, Prabandari YS & Mardikanto T,
ju
er
7(1).
uk
Bumi Aksara.
Wafa L, 2011. Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Desa Babakan
Kabupaten Bogor Terhadap Masalah Vektor dan Penyakit Demam
Berdarah Dengue. Institut Pertanian Bogor.
Widyastuti U & Yuniarti R, 2009. Pengendalian Jentik Aedes aegypti
menggunakan Mesocyclops aspericornis melalui partisipasi
masyarakat. Media Penelitian. dan Pengembangan. Kesehatan, 19.
95
Wijayanti Y, 2010. Peningkatan Kemandirian Dasa Wisma Kelurahan
Sekarang dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue. UNNES.
Available at: http://download.portalgaruda.org/article.
php?article=135990&val=5657.
Wulandari W, Istiningtyas A & Oktariani M, 2016. Hubungan Motivasi
Kader Pemeberantasan Sarang Nyamuk dengan Upaya Pencegahan
Demama Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas
Gemolong. Available at: http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/
files/disk1/34/01-gdl-wiwikwulan-1696-1-artikel-i.pdf.
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
BAB 6
an
“SILENT INFECTION” DENGUE
lik
be
Muhammad Umar Riandi
al
ju
Pendahuluan
er
ip
negara menjadi lebih dari 100 negara. Kenaikan kejadian dengue hingga
uk
telah meningkat dari 15.000 kasus per tahun pada 1960-an menjadi
da
390 juta kasus, lebih dari setengah populasi penduduk Eropa. Setelah
Ti
97
sirkulasi terus-menerus dari serotipe virus yang berbeda dalam lingkup
host dan vektor yang rentan dan konstan (Teo et al., 2009).
Besaran masalah infeksi dengue dengan gejala dan tanpa gejala
(apparent and inapparent) ternyata tiga kali lebih besar dibandingkan
yang diprediksi sebelumnya oleh WHO (Bhatt et al., 2013).
Diperkirakan terdapat 96 juta infeksi dengan gejala nyata secara global
pada tahun 2010. Diperkirakan juga terdapat tambahan 294 (217-392)
juta infeksi tanpa gejala yang terjadi di seluruh dunia pada 2010. Infeksi
dengan gejala ringan atau tanpa gejala ini tidak terdeteksi oleh sistem
pengawasan kesehatan publik yang ada dan tidak memiliki implikasi
an
langsung terhadap manajemen klinis. Akan tetapi, adanya potensi besar
lik
sebagai reservoir bagi infeksi baru menghasilkan pengaruh bagi: (1)
be
pengukuran pengaruh ekonomi yang benar (misalnya berapa banyak
al
vaksin yang diperlukan untuk mencegah infeksi dengan gejala) dan
ju
triangulasi dengan penilaian independen bagi disability adjusted life
er
98
atau bintik merah pada kulit. Gejala biasanya berlangsung selama 2-7
hari setelah masa inkubasi 4-10 hari semenjak gigitan nyamuk terinfeksi
(WHO, 2014).
Infeksi lanjutan yang terjadi karena serotipe virus dengue yang lain
dapat menyebabkan perdarahan diathesis dan kebocoran endothelial
yang merupakan ciri dari DBD. Sebagian kecil dari penderita DBD dapat
mengalami perdarahan hebat, kegagalan fungsi organ, serta kegagalan
pernapasan yang disebut dengan DSS sehingga dapat berakibat fatal
(Gubler, 1998). Dari semua gejala klinis yang berhubungan dengan
infeksi dengue, dilihat dari ancaman bahaya yang ditimbulkan, DSS
an
merupakan gejala klinis yang paling diwaspadai. Gejala DSS ini lebih
lik
mudah terjadi pada anak-anak dikarenakan pembuluh kapilernya
be
relatif lebih rentan dibandingkan orang dewasa dan masih dalam masa
al
pertumbuhan. Observasi dan intervensi yang hati-hati pada keadaan
ju
ini harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang baik dan mencegah
er
strategi dari DBD dan DSS. Hal ini memprakarsai petunjuk perawatan
k
serta definisi kasus dan klasifikasi penyakit yang dibuat oleh WHO
da
99
Tabel 1. Definisi Kasus Dengue World Health Organization
an
injeksi, atau lokasi lain;
o Haematemesis atau melaena.
lik
• Trombocytopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)1
be
• Bukti perembesan plasma karena meningkatnya permeabilitas
al
vaskular, dinyatakan oleh setidaknya salah satu hal berikut:
ju
hypoproteinemia.
U
k
da
Semua empat kriteria untuk DHF di atas harus ada ditambah bukti
kegagalan sirkulasi darah yang disebabkan oleh:
100
*Tes torniquet dilakukan dengan menggelembungkan sebuah manset
tekanan darah di lengan atas pada sebuah titik di antara tekanan sistolik
dan diastolik selama 5 menit. Tes tersebut dinyatakan positif ketika 20 atau
lebih petechiae (bintik merah) per 2,5 cm (1 inci) diobservasi. Tes tersebut
mungkin negatif atau sedikit positif selama fase shock. Biasanya menjadi
positif, terkadang kuat positif, jika tes tersebut dilakukan setelah pulih dari
shock.
1
Angka ini mewakili penghitungan langsung menggunakan mikroskop
fase kontras (normal 200.000-500.000 per mm3). Pada praktiknya, bagi
pasien rawat jalan, sebuah perhitungan perkiraan dari apusan darah
an
peripheral dapat diterima. Pada orang normal, 4-100 trombosit darah
lik
per lapang pandang dengan oli immersi (100x; dianjurkan rata-rata
be
penghitungan dari 10 lapang pandang dengan oli imersi) mengindikasikan
al
jumlah trombosit darah yang cukup. Rata-rata < 3 trombosit darah per
ju
lapang pandang dengan oli imersi dianggap kurang (yaitu, < 100.000 per
er
ip
mm3).
D
101
Menurut Halstead (2008), dengue pada anak-anak biasanya
merupakan infeksi asimptomatik, infeksi yang tidak menunjukkan
gejala. Rasio infeksi asimptomatik terhadap simptomatik bergantung
pada banyak faktor epidemiologi, namun diperkirakan sekitar 1:40.
Sirkulasi antibodi virus dengue pada 60% anak-anak di wilayah selatan
Vietnam terjadi pada usia 6 tahun. Hasil yang tidak jauh berbeda
dilaporkan di wilayah lain. Mayoritas yang dilaporkan dari individu
imun-dengue ini yakni mereka tidak memperlihatkan gejala sakit.
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
102
dengue, kasus asimptomatik diduga lebih sering terjadi dibandingkan
kasus simptomatik. Akan tetapi, angka relatif kejadiannya bergantung
pada wilayah geografis, konteks epidemiologi, status imunologi pasien,
dan tipe virus dengue. Hal ini diperlihatkan pada beberapa penelitian
yang telah dilakukan.
Sebuah penelitian dasar selama dua tahun (1980-1981) dilakukan
oleh Burke et al. (1988) di Bangkok, Thailand. Penelitian berbasis
sekolah ini melibatkan 1.757 anak-anak usia 4-16 tahun pada saat
outbreak DENV 1 dan DENV 2. Penelitian ini menemukan bahwa
rasio penderita symptomatic-inapparent (S:I) pada nilai 1:6,6 untuk
an
infeksi DENV 1 dan 2. Nilai ini berubah untuk infeksi DENV 1
lik
menjadi 1:5,5 dan untuk kasus DENV 2 menjadi 1:4,5. Penelitian lain
be
dilakukan oleh Balmaseda et al. (2006) selama 4 tahun (2004-2008)
al
di Managua, Nikaragua, Amerika Tengah. Penelitian ini diperkirakan
ju
melibatkan 3.800 anak usia sekolah pada rentang usia 2-9 tahun. Hasil
er
penelitian ini menunjukkan rasio S:I pada nilai 1:13 selama tahun
ip
pertama penelitian pada saat prevalensi DENV 2. Nilai ini turun menjadi
D
pada tahun kedua. Penurunan angka insiden dengue pada tahun kedua
nt
U
103
Berdasarkan hasil ini, rasio kasus symptomatic-inapparent sangat
bervariasi. Perbedaan ini mungkin dapat dijelaskan melalui kemampuan
memberikan respons dan variabilitas virulensi dari strain virus dengue.
Penjelasan alternatif juga dikemukakan oleh Halstead (2006) yang
menyatakan bahwa kemungkinan adanya perbedaan epidemiologi
dengue di Asia Tenggara dan Amerika.
Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai adanya silent infection
di antara penderita dengue masih minim. Sebuah penelitian dilakukan
oleh Porter et al. (2005) di Bandung, Jawa Barat pada tahun 2000 hingga
2002. Penelitian ini menunjukkan rasio penderita dengue S:I sebesar
an
1:3. Virus DENV 2 merupakan serotipe virus yang paling banyak
lik
ditemukan pada penderita symptomatis. Namun, penelitian ini tidak
be
dapat menentukan serotipe virus dengue yang terdapat pada penderita
al
inapparent dan hasil ini tidak dapat mewakili populasi penelitian.
ju
dan 916 orang anggota keluarga atau tetangga dari penderita diambil
k
104
Kondisi di daerah nonendemis dapat dijelaskan dengan baik
bahwa virus dengue dimasukkan oleh pelancong yang kembali dari
daerah endemis atau epidemis. Meskipun demikian, apakah hal ini
menghasilkan kejadian luar biasa atau tidak bergantung pada beberapa
syarat (Shang et al., 2010).
1. Pelancong terinfeksi tersebut harus dalam keadaan viremik yang
cukup untuk dapat menularkan virus kepada nyamuk lokal,
2. Spesies nyamuk tersebut harus memiliki kompetensi dan kelimpahan
yang tinggi untuk meyakinkan terjadinya difusi,
3. Populasi lokal harus dapat menerima virus dengue tersebut,
an
lik
4. Kondisi meteorologik yang mendukung sebagai faktor penting
be
dalam terjadinya kejadian luar biasa.
al
Pada wilayah endemis maupun nonendemis, diketahui bahwa
ju
er
ibu kepada anaknya melalui persalinan) merupakan cara lain yang tidak
nt
biasa dalam penularan virus dengue (Hirch et al., 1990; J.G. & A.V.,
U
2001; Tran & Chastel, 2008). Semua cara penularan tidak lazim ini
k
sangat ringan, atau sama sekali tanpa gejala. Cara penularan ini sangat
Ti
105
yang mengkaji viremia pada kasus infeksi dengue asimtomatik.
Penelitian pertama dilakukan di Jakarta Barat, Indonesia pada 2001-
2003, mendapatkan bahwa viremia dapat dideteksi pada penderita
asimtomatik melalui reverse transcriptase–polymerase chain
reaction (RT-PCR) atau isolasi virus: hari ke-10 infeksi virus DEN-
1 pada satu individu dan hari ke-4 infeksi DEN-2 pada individu
lainnya. Akan tetapi, RT-PCR yang dilakukan pada penelitian ini hanya
bersifat kualitatif dan karena itu tingkat viremia secara jelas tidak dapat
diketahui. (Beckett et al., 2005).
Penelitian lainnya dilakukan pada tahun 2006 dan 2007 di wilayah
an
endemis Kampong Cham, Myanmar. Menggunakan penangkap
lik
antigen NS1, real time RT-PCR, dan uji MAC-ELISA, didapatkan
be
243 pasien simtomatik dan 17 asimtomatik yang berhasil dikonfirmasi
al
dari keluarga pasien. Pada penelitian ini, ditemukan empat serotipe
ju
dengue. Pada dasarnya, penelitian ini ditujukan untuk menguji apakah
er
antigen NS1 dapat digunakan secara tepat sebagai penanda awal dari
ip
106
Perhatikan Gambar 2 berikut.
an
lik
be
al
Gambar 2. Respon imun tubuh terhadap infeksi dengue (Halstead, 2007)
ju
er
hari setelah infeksi virus melalui gigitan nyamuk atau satu hari sebelum
uk
Pada saat viremia inilah, nyamuk Aedes spp. sehat dapat terinfeksi
k
da
107
Para peneliti telah lama mencoba mengetahui seberapa besar
peranan dari kelompok infeksi tanpa gejala (asimptomatik) terhadap
penularan penyakit dengue. Terdapat asumsi, bahwa tingkat keparahan
penyakit dengue berkorelasi positif dengan tingkat titer virus dalam
darah (viremia) artinya semakin tinggi titer virus dalam darah, semakin
tinggi tingkat keparahan penyakit dengue. Berdasarkan hal tersebut,
diasumsikan bahwa penderita dengue asimptomatik tidak memiliki
tingkat viremia yang cukup agar nyamuk sehat terinfeksi virus dengue
saat mengisap darah mereka. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh
Duong et al. (2015) mengindikasikan bahwa penderita asimtomatik
bukan merupakan dead-end host bagi virus dengue, meski penderita
an
asimptomatik secara rata-rata memiliki tingkat viremia lebih rendah,
lik
nyamuk dapat terinfeksi dari kelompok ini.
be
al
Begitu juga dengan individu presimptomatik, yaitu kelompok
ju
asimptomatik saat pengambilan darah, namun selanjutnya
er
108
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
(gambar: www.istockphoto.com)
uk
109
an
lik
be
al
ju
er
tidak akan mencari bantuan petugas kesehatan sehingga tidak akan tercatat
uk
110
Penutup
Penyakit dengue merupakan masalah besar yang harus dapat
dikendalikan, karena jika tidak, akan menjadi bencana yang semakin
sulit diatasi. Terlebih dengan adanya bukti bahwa penderita asimtomatik
memberikan kontribusi besar dalam penyebaran dan infeksi dengue.
Hal ini menandakan perlunya langkah yang lebih baik, lebih serius,
terutama dalam deteksi dini kejadian luar biasa. Hal penting lainnya,
yakni cara mengukur penderita asimptomatik selain penderita dengan
gejala klinis. Hal terakhir ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi
semua pihak dan diperlukan sebuah mekanisme untuk mendeteksi
an
penderita asimptomatik.
lik
Meskipun kejelasan mengenai kontribusi dan kuantifikasi penderita
be
dengue asimtomatik secara tepat masih banyak menyisakan banyak
al
pertanyaan, penelitian lebih lanjut diharapkan akan mengungkap lebih
ju
banyak hal. Satu hal yang pasti, dalam pengendalian penyakit (seperti
er
Daftar Pustaka
nt
U
Baaten GGG, Sonder GJB, Zaaijer HL, van Gool T, Kint JAPCM &
k
pp.821–828.
Balmaseda A, Hammond SN, Tellez Y, Imhoff L, Rodriguez Y, Saborío
SI, et al., 2006. High seroprevalence of antibodies against dengue
virus in a prospective study of schoolchildren in Managua,
Nicaragua. Tropical Medicine and International Health, 11(6),
pp.935–942.
Beckett CG, Kosasih H, Faisal I, Nurhayati, Tan R, Widjaja S, et
al., 2005. Early Detection of Dengue Infections Using Cluster
111
Sampling Around Index Cases. Am. J. Trop. Med. Hyg, 72(6),
pp.777–782.
Bhatt S, Gething PW, Brady OJ, Messina JP, Farlow AW, Moyes CL,
et al., 2013. The global distribution and burden of dengue.
Nature, 496(25 April), pp.504–507. Available at: http://dx.doi.
org/10.1038/nature12060.
ten Bosch QA, Clapham HE, Lambrechts L, Duong V, Buchy P,
Althouse BM, et al., 2018. Contributions from the silent majority
dominate dengue virus transmission. PLOS Pathogens, 14(5),
p.e1006965. Available at: http://dx.plos.org/10.1371/journal.
an
ppat.1006965.
lik
Burke DS, Scott RM, Johnson DE & Nisalak A, 1988. A Prospective
be
Study of Dengue Infections in Bangkok. The American
al
ju
Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 38(1), pp.172–180.
er
112
Duong V, Ly S, Try P, Tuiskunen A, Ong S, Chroeung N, et al., 2011.
Clinical and virological factors influencing the performance of a
ns1 antigen-capture assay and potential use as a marker of dengue
disease severity. PLoS Neglected Tropical Diseases, 5(7).
Endy TP, Anderson KB, Nisalak A, Yoon I, Green S, Alan L, et al., 2011.
Determinants of Inapparent and Symptomatic Dengue Infection
in a Prospective Study of Primary School Children in Kamphaeng
Phet , Thailand. PLoS neglected tropical diseases, 5(3), pp.1–10.
Gubler DJ, 1998. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical
Microbiology Review, 11(3), pp.480–496. Available at: http://cmr.
an
asm.org/content/11/3/480.full.pdf+html.
lik
Guzman MG, Halstead SB, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Gubler DJ,
be
et al., 2010. Dengue : a continuing global threat. Nature, 8(12),
al
ju
pp.S7–S16. Available at: http://dx.doi.org/10.1038/nrmicro2460.
er
arttext&pid=S1020-49892006001100007&lng=en&nrm=iso&t
k
da
lng=en.
Ti
113
pp.67–74. Available at: http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.
JS&PAGE=reference&D=emed8&NEWS=N&AN=32550101.
Langgartner J, Audebert F, Schölmerich J & Glück T, 2002. Dengue
virus infection transmitted by needle stick injury. Journal of
Infection, 44(4), pp.269–270.
Nemes Z, Kiss G, Madarassi EP, Peterfi Z, Ferenczi E, Bakonyi
T, et al., 2004. Nosocomial transmission of dengue.
Emerging infectious diseases, 10(10), pp.1880–1. Available
at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.
fcgi?artid=3323269&tool=pmcentrez&rendertype=abstract.
an
Nguyen NM, Thi Hue Kien D, Tuan T V., Quyen NTH, Tran CNB,
lik
Vo Thi L, et al., 2013. Host and viral features of human dengue
be
cases shape the population of infected and infectious Aedes aegypti
al
ju
mosquitoes. Proceedings of the National Academy of Sciences,
er
doi/10.1073/pnas.1303395110.
D
uk
Santya RNRE & Riandi MU, 2016. Infeksi Virus Dengue Tanpa Gejala
Ti
114
Shang CS, Fang CT, Liu CM, Wen TH, Tsai KH & King CC, 2010.
The role of imported cases and favorable meteorological conditions
in the onset of dengue epidemics. PLoS Neglected Tropical Diseases,
4(8).
Teo D, Ng LC & Lam S, 2009. Is dengue a threat to the blood supply?
Transfusion Medicine, 19(2), pp.66–77.
Tran A & Chastel C, 2008. Mosquito-borne arboviruses and pregnancy:
pathological consequences for the mother and infant. A general
review. Bulletin de la Societe de pathologie exotique (1990), 101(5),
pp.418–424.
an
Wagner D, De With K, Huzly D, Hufert F, Weidmann M, Breisinger S,
lik
et al., 2004. Nosocomial acquisition of dengue. Emerging Infectious
Diseases, 10(10), pp.1872–1873. be
al
ju
de Wazières B, Gil H, Vuitton DA & Dupond JL, 1998. Nosocomial
er
351(9101), p.498.
uk
WHO, 2014. Dengue and severe dengue. Fact sheet N°117. Available
k
da
November 9, 2016].
Wilder-Smith A, Chen LH, Massad E & Wilson ME, 2009. Threat
of dengue to blood safety in dengue-endemic countries. Emerging
Infectious Diseases, 15(1), pp.8–11.
115
Ti
da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
be
lik
an
BAB 7
an
PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN VAKSIN
lik
be
DENGUE DI INDONESIA al
ju
Joni Hendri
er
ip
Pendahuluan
D
yang ditransmisikan oleh nyamuk Aedes. Saat ini virus dengue terdiri
U
117
tahun 2013 kasus cenderung mengalami peningkatan, walaupun
kematian penderita mengalami penurunan jumlah (Karyanti et al.,
2014). Demam berdarah tetap menjadi masalah kesehatan serius, hal
ini dibuktikan dengan adanya incidence rate (IR) sebesar 22,55 per
100.000 penduduk dengan case fatality rate (CFR) sebesar 0,75 %
menurut data pada tahun 2017 (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Pemutusan rantai penularan melalui pengendalian vektor dianggap
sebagai pilihan utama yang saat ini tetap dilakukan mengingat belum
ditemukannya antiviral efektif maupun vaksin yang mampu melindungi
manusia dari infeksi semua serotipe dengue (WHO, 2011). Namun
an
demikian, pengembangan dan peningkatan kemampuan antiviral
lik
maupun vaksin dengue terus dilakukan dan dievaluasi. WHO sendiri
be
telah berencana mengintegrasikan vaksin dengue dalam strategi
al
pengendalian infeksi dengue 2012-2020 (WHO, 2012). Dalam artikel
ju
ini akan dikemukakan mengenai pengobatan dan pencegahan virus
er
di Indonesia.
D
uk
118
Genom virus dengue mengkode ORF yang ditranslasi tanpa
terputus sebanyak kurang lebih 11 ribu nukleotida sehingga dapat
mengkode prekursor poliprotein sebanyak 3386-3396 asam amino yang
berbeda-beda untuk masing-masing serotipe (Osatomi & Sumiyoshi,
1990;, Fu et al., 1992). Poliprotein tersebut diproses menjadi protein
yang memiliki fungsi biologis dengan urutan sebagai berikut: C-PrM-
E-NS1-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4B-NS5 (Clyde et al., 2006).
Nukleotida di kedua UTR diperkirakan melipat dan membentuk
struktur stem-loop (SL) (Gambar 1.), hal inilah yang menyebabkan
adanya interaksi sekuen tersebut dengan protein viral maupun sel inang
(Brinton & Dispoto, 1988; Day et al., 1992). Kedua UTR ini juga
an
diduga berperan penting dalam proses transkripsi, replikasi RNA, dan
lik
pengemasan virion (Henchal & Putnak, 1990; Chambers et al., 1990).
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
119
Adapun protein nonstruktural virus dengue terdiri dari 7 macam
yang dikode oleh gen terpisah. Protein NS1 berperan dalam morfogenesis
virus, karena terpapar di membran plasma, protein juga berperan dalam
proses imunopatologi infeksi (Henchal & Putnak, 1990). Mutasi pada
NS1 berpengaruh pada virulensi virus sehingga diduga NS1 tersebut
terlibat dalam tahap replikasi (Burke & Monath, 2001). Protein NS2
terdiri dari 2 domain, yaitu NS2A dan NS2B. Protein NS2A berperan
dalam prosesing C-terminal NS1 di samping sebagai penyokong
pembentukan protein lainnya. Sedangkan NS2B dapat membentuk
kompleks dengan NS3 dan dibutuhkan sebagai kofaktor bagi fungsi
protease dari NS3.
an
lik
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa mutasi pada domain
be
ini mengakibatkan ketidakstabilan kompleks NS3-NS2B sehingga akan
al
mengakibatkan aktivitas katalitik protease terganggu (Lindenbach et
ju
al., 2007; Murray et al., 1995). Protein NS3 dikode oleh gen NS3 yang
er
& Barrett, 2008). Selain sebagai protease dan helikase, protein NS3
nt
U
120
dalam pembentukan tudung (capping) atau metilasi pada ujung 5’
RNA (Burke & Monath, 2001; Lindenbach et al., 2007)
Secara umum replikasi virus dengue dimulai dengan penempelan
virus dengan permukaan sel inang, kemudian virus akan masuk ke
dalam sel melalui proses endositosis yang merupakan proses alami dari
sel dalam merespons adanya benda asing. Virus pada akhirnya akan
berada di sitoplasma sel inang dan genom virus akan segera dilepaskan.
Selanjutnya, terjadi replikasi virus ketika berbagai protein baik
struktural maupun nonstruktural ditranslasi. Virus kemudian dirakit di
permukaan retikulum endoplasma, dimatangkan di badan golgi yang
an
pada akhirnya dikeluarkan melalui proses eksositosis (Mukhopadhyay
lik
et al., 2005). Perlu pemahaman dalam mengidentifikasi proses
be
replikasi serta peranan masing-masing protein virus dengue sehingga
al
dapat mengidentifikasi strategi dalam pengembangan antiviral efektif
ju
maupun dalam mendesain vaksin dengue yang mampu memberikan
er
nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor. Secara umum terdapat lima elemen
U
121
a. Antiviral Dengue
Menurut Perry & Buck (2011), vaksin dengue jelas dibutuhkan
sebagai pencegahan jangka panjang, namun antiviral juga sangat
diperlukan sebagai strategi untuk melawan masalah dengue saat
ini. Antiviral dengue diperlukan untuk mengurangi lamanya durasi
infeksi atau mengurangi risiko yang lebih parah akibat infeksi
dengue (Whitehorn et al., 2014). Sampai saat ini belum banyak
kandidat antiviral dengue yang siap dikembangkan menuju fase uji
terhadap manusia (Perry & Buck, 2011). Dalam situs ClinicalTrial.
gov yang bisa diakses di: https://clinicaltrials.gov, terlaporkan
an
setidaknya 2 kandidat antiviral dengue yang sedang dalam tahap uji
lik
klinis. Pertama adalah uji klinis kombinasi ribavirin dan pengobatan
be
tradisional China yang dikembangkan oleh Guangzhou 8th People’s
Hospital. Saat ini pengujian telah memasuki fase II, namun demikian
al
ju
tidak ditemukan laporan dari hasil fase sebelumnya.
er
122
tersebut berasal dari konsentrat tanaman Malaleuca alternifolia,
merupakan tanaman obat yang berasal dari Australia. Pada uji klinis
terhadap orang sehat, diketahui bahwa kandidat obat ini tidak
berpengaruh pada tanda vital, gambaran hematologi, fungsi organ
hepar dan ginjal, serta tidak menyebabkan kristaluria pada orang sehat
(Sujono, 2014). Selanjutnya pada uji klinis tahap III/terhadap orang
sakit, diketahui bahwa kandidat antiviral ini mampu menghambat
perkembangan virus, memiliki efek immunomodulator, mencegah
terjadinya kebocoran plasma dan tidak memiliki efek hepatotoksik
maupun nefrotoksik (Nasronudin et al., 2014).
an
Penemuan dan pengembangan antiviral dengue didasarkan pada
lik
keberhasilan penemuan penghambatan protease dan polimerase
be
terhadap virus hepatitis C (HCV). Dengan genome dan strategi
al
replikasi yang hampir mirip, maka penelitian dan pengembangan
ju
antiviral dengue diawali melalui pendekatan seperti yang dilakukan
er
123
keduanya diharapkan virus gagal bereplikasi. Salah satunya adalah
turunan dari antibiotik doxorubicin yang diduga mampu merubah
konformasi dari protein E (Kaptein et al., 2010). Penelitian lainnya
juga menunjukkan beberapa strategi dan kandidat antiviral dengue
yang memiliki efek serupa (Alhoot et al., 2011; de Burghgraeve et
al., 2012; Alhoot et al., 2012; Ichiyama et al., 2013; Hidari et al.,
2013; Jadav et al., 2015)
Proses replikasi, aktivitas beberapa protein virus berupa
enzim sangat diperlukan dan keberadaannya menjadi sangat
vital. Berdasarkan pendekatan tersebut, efek penghambatan
an
beberapa kandidat antiviral dengue diuji coba terhadap aktivitas
lik
protease, helikase, RNA polimerase, maupun transferase dari virus
be
(Noble et al., 2010). Saat ini protein tersebut banyak diteliti dan
al
dikembangkan oleh berbagai peneliti (Latour et al., 2010; Lai et
ju
al., 2013; Barral et al., 2013; Basavannacharya & Vasudevan, 2014;
er
penelitian juga menjadikan protein dari sel inang yang ikut berperan
D
124
adanya sokongan berbagai pihak termasuk WHO dan bukti adanya
dukungan finansial yang terus meningkat dari penyandang dana
pada penelitian antiviral dengue akan mengarah pada kemajuan
signifikan dalam waktu yang tidak lama lagi. Selain itu, dengan
kemajuan iptek saat ini, setiap struktur protein dapat diprediksi
molekul penghambatnya melalui pemahaman mekanisme kerja
maupun prediksi in silico molecular dynamics, homology modeling,
dan molecular docking menggunakan kecanggihan bioinformatik
(Tambunan & Parikesit, 2014).
b. Vaksin Dengue
an
Selain adanya bahaya resistensi insektisida, pengendalian vektor
lik
juga memiliki keterbatasan lainnya seperti kemampuan adaptasi dari
be
nyamuk serta adanya transmisi vertikal dari virus pada fase ekstrinsik
al
sehingga nyamuk dewasa yang baru muncul telah terinfeksi tanpa
ju
efektif dan aman. Satu satunya vaksin yang sudah diproduksi massal
uk
dengvaxia. Vaksin telah melalui uji klinis tahap III (Capeding et al.,
U
2014; Villar et al., 2015) dan saat ini setidaknya telah diproduksi
k
125
Live Attenuated Vaccines (LAV)
Live Attenuated Vaccines (LAV) merupakan tipe vaksin yang cukup
banyak dikembangkan. Strategi pengembangan vaksin ini berdasarkan
pelemahan virus sehingga virulensinya rendah namun tetap memiliki
sifat imunogenik yang tinggi melalui proses konvensional, rekayasa
genetik maupun kombinasi keduanya. Menurut Murrell et al., (2011),
tipe vaksin ini sangat baik dalam merangsang respons imun, baik selular
maupun humoral, dengan tingkat proteksi yang cukup lama karena
sangat mirip dengan infeksi alami oleh virus dengue. Tingkat virulensi
virus yang berbeda antarserotipe dan kemungkinan kembalinya virulensi
an
virus ke bentuk awal (wild type) merupakan salah satu kelemahan dari
lik
tipe vaksin ini.
be
Walter Reed Army Institute of Research (WRAIR) sedang
al
mengembangkan vaksin tetravalent dari virus dengue yang dilemahkan
ju
126
pengulangan penanaman sebanyak 53 kali pada sel PDK (Huang et
al., 2003).
Dengvaxia merupakan contoh vaksin chimera dengan pendekatan
pelemahan virus. Vaksin ini diproduksi oleh Sanofi Pasteur melalui
rekombinasi strain vaksin Yellow Fever 17D (YF17D) sehingga dapat
mengekspresikan gen PrM maupun E dari masing-masing serotipe
dengue. YF17D merupakan strain virus yang diketahui memiliki
tingkat virulensi yang sangat rendah sehingga aman digunakan sebagai
vaksin (Lang, 2012).
Inactivated Vaccine
an
lik
Vaksin dengue juga dikembangkan berdasarkan tipe inaktivasi virus
be
dengue. Virus ditumbuhkan dalam sel kultur dan diaktivasi melalui
al
pemanasan, radiasi, atau bahan kimia tertentu. Sebagai contoh, Putnak
ju
dan koleganya (1996) mendesain kandidat vaksin monovalen DEN-2
er
Salah satu kelemahan vaksin ini adalah biaya produksinya yang cukup
U
127
Subunit Vaccine
Tipe vaksin lainnya yang sedang dikembangkan sebagai kandidat
vaksin dengue adalah vaksin subunit. Vaksin tersebut didesain dengan
mengekspresikan gen yang mengkode protein tertentu dalam organisme
lain sehingga diperoleh antigen yang telah dibuktikan dapat memicu
respons imun. Antigen yang dihasilkan inilah yang digunakan sebagai
vaksin. Secara umum, baik kelemahan maupun keuntungan dari tipe
vaksin ini, menyerupai vaksin dari virus yang dilemahkan (McArthur
et al., 2013). Merck telah lama mengembangkan kandidat vaksin
tetravalen “DEN-80E” yang diperoleh melalui ekspresi protein E pada
an
sel Drosophila S2 (Coller et al., 2011).
lik
Tabel 1. Kandidat vaksin dengue dalam tahap uji klinis yang sudah
be
diregistrasi di ClinicalTrial.Gov
al
(dapat dilihat di https://clinicaltrials.gov/)
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
128
DNA Vaccine
Vaksin DNA merupakan tipe lainnya dari vaksin dengue yang
sedang dikembangkan. Secara prinsip vaksin tersebut mirip dengan tipe
vaksin subunit, perbedaannya terletak pada tempat ekspresi gen yang
dikloning. Vaksin DNA didesain melalui kloning gen ke dalam plasmid
sehingga dapat mengekspresikan gen tersebut secara in vivo dalam tubuh
manusia secara langsung (Danko et al., 2011). Tipe vaksin lainnya yang
hampir serupa adalah vaksin viral vektor, perbedaannya terletak pada
jenis vektornya sebagai media kloning. Sesuai namanya, virus tertentu
seperti Alphavirus VRP, Adenovirus, maupun Measles virus telah
an
dikembangkan sebagai vektor dalam mendesain vaksin dengue dan
lik
telah memasuki tahap praklinis (Guzman & Harris, 2015). Rancangan
be
vaksin tersebut tentunya berbeda dengan vaksin DNA yang didesain
menggunakan vektor dari plasmid bakteri (Danko et al., 2011)
al
ju
er
produksi massal tidak lepas dari peranan Indonesia sebagai negara yang
uk
aman dan bekerja cukup baik jika diberikan 3 kali injeksi dengan selang
Ti
waktu bulan ke-0, 3, dan 12 pada anak umur 2-14 tahun di wilayah
Asia (Capeding et al., 2014). Namun demikian, hasil efikasi (klinis fase
III) di Asia juga menunjukkan bahwa vaksin tersebut belum memiliki
daya proteksi yang berimbang terhadap semua infeksi serotipe virus
dengue, khususnya DENV-2, seperti halnya pada efikasi selanjutnya
yang dilakukan terhadap anak-anak di wilayah Amerika Latin (Villar
et al., 2015). Hal ini diduga karena vaksin tersebut kurang mampu
mengaktifkan sel T secara optimal karena protein nonstruktural yang
digunakan berasal dari virus yellow fever (Halstead & Zompi, 2015).
129
Selain itu, kekurangan vaksin dengvaxia muncul justru saat
beberapa negara mulai menggunakannya. Vaksinasi pada individu
dengan status seronegatif (belum pernah terinfeksi dengue) akan
meningkatkan derajat keparahan dari infeksi dengue selanjutnya (The
Lancet Infectious Diseases, 2018). Untuk itu, pada bulan April 2018
WHO membuat aturan bahwa selain vaksin hanya dapat digunakan
pada usia 9-45 tahun dan di wilayah dengan seroprevalensi di atas
70%, vaksin juga hanya dapat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan
pravaksinasi berupa identifikasi serostatus penerima vaksin (WHO,
2018) sehingga vaksin hanya bisa diberikan pada individu yang pernah
terinfeksi sebelumnya.
an
lik
Terlepas dari masih adanya kelemahan tersebut, dengvaxia dan
be
vaksin sejenis merupakan vaksin yang diharapkan dapat digunakan
al
oleh masyarakat dunia. WHO menaruh harapan besar terhadap
ju
keberhasilan vaksin sehingga menargetkan integrasi vaksin dalam
er
1995.
Universitas Airlangga merupakan institusi yang paling banyak
memublikasikan pengembangan vaksin dengue di Indonesia.
Umumnya, penelitian masih mencari kandidat vaksin dengan desain
dan pendekatan vaksin yang bermacam-macam. Beberapa kandidat
vaksin sudah memasuki tahap uji respons imun terhadap hewan coba
dan di antaranya memperoleh hasil yang cukup baik dan berpotensi
untuk dikembangkan ke tahap selanjutnya (Tabel. 2). Peneliti lainnya
berupaya mengembangkan vaksin dengan tujuan yang sedikit berbeda.
130
Vaksin didesain dengan pendekatan untuk memutus transmisi virus
dengue oleh nyamuk ke individu sehat lainnya atau yang dikenal dengan
Transmition Blocking Vaccine (TBV). Penelitian model inovatif ini
masih dalam tahap pencarian kandidat yang berasal dari kelenjar ludah
nyamuk Aedes (Oktariani & Laila, 2013).
Tabel 2. Perkembangan penelitian vaksin dengue di Indonesia
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
131
Para peneliti di Indonesia meyakini bahwa vaksin dengue untuk
penggunaan lokal Indonesia harus didesain menggunakan strain
Indonesia untuk memperoleh proteksi optimal. Keragaman genetik
virus dengue di Indonesia merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan kegagalan atau ketidaksempurnaan vaksin dengue yang
saat ini dikembangkan peneliti luar, termasuk yang sedang dalam tahap
uji coba pada manusia (Sasmono et al., 2012).
Seperti kita ketahui bahwa vaksin dengvaxia yang dikembangkan
Sanofi Pasteur merupakan vaksin hasil pelemahan virus dengan desain
chimera, yakni gen yang mengkode pRME yang direkombinasi dalam
an
virus yellow fever merupakan gen yang berasal dari virus dengue strain
lik
Thailand (Guirakhoo et al., 2000). Para peneliti menduga virus dengue
be
strain Indonesia menunjukkan perbedaan genotipe dengan strain
al
Thailand tersebut sehingga respons imun yang dihasilkan akan kurang
ju
spesifik (Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN), 2011). Hal ini terbukti
er
dengan adanya hasil uji vaksin yang kurang protektif terhadap infeksi
ip
132
pengembangan prototipe vaksin pada tahun 2019. Harapannya, seed
vaksin sudah dapat diproduksi pada tahun 2020 sebagai bahan evaluasi
oleh pihak Biofarma.
Kita semua tentu berharap vaksin tersebut sukses diproduksi
sebagai solusi dalam pencegahan infeksi virus dengue, khususnya
di Indonesia. Namun demikian, jika mencermati publikasi yang
tersedia dan roadmap yang telah disepakati bersama, maka dapat
disimpulkan bahwa perkembangan vaksin di Indonesia berjalan cukup
lambat. Seyogianya tahun 2018 ini sudah pada tahap pengembangan
prototipe vaksin, namun publikasi akan hal itu tidak ditemukan. Perlu
an
diklarifikasi lebih lanjut apakah memang belum dipublikasi atau karena
lik
keterbatasan penulis dalam mencari referensinya.
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
133
Tabel 3. Roadmap Pengembangan Vaksin Dengue Di Indonesi
(Forum Riset Vaksin Nasional (PRVN), 2011).
Jenis Penelitian Tujuan Institusi Pelaksana Tahun
Mapping Mengenali penyebaran Eijkman, Badan 2012-
Geografis serotipe dan Litbangkes, UI, 2013
genotipe virus dengue UNAIR, UGM
Karakterisasi genetik Eijkman
Karakterisasi biologis in Eijkman, UNAIR, UI,
vitro UGM
Penentuan isolat virus UNAIR, UI
melalui perbanyakan virus
Pentuan strain Analisis immunogenicity dan Eijkman, UNAIR 2013
virus untuk antigenicity
kandidat vaksin
Penentuan strain virus Eijkman, UI
kandidat vaksin berdasarkan
an
konservasi genetik
Teknologi Live attenunted vaccine UNAIR, Eijkman 2013-
lik
Pengembangan 2015
be
Vaksin
Inactivated vaccine UNAIR
al
Chimera UNAIR
DNA vaccine UI
ju
Subunit protein vaccine UI, UNAIR, Badan
er
pemberian vaksin
D
Litbangkes,
Eijkman
U
Litbangkes
da
134
Tantangan Pembuatan Vaksin di Indonesia
Secara umum vaksin dengue harus memiliki kemampuan dalam
memproteksi ke-empat serotipe virus dengue dengan tingkat proteksi
yang cukup tinggi, lama, serta berimbang terhadap seluruh serotipe.
Keamanan dan stabilitas vaksin juga merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Pemilihan tipe vaksin, metode, maupun teknik pengembangan
vaksin harus mempertimbangkan hal tersebut. Tantangan inilah yang
harus mampu dijawab oleh para peneliti, termasuk peneliti Indonesia,
dalam mengembangkan vaksin dengue. Tantangan semakin meningkat
mengingat belum adanya model hewan coba yang memiliki respons
an
imun yang mirip dengan respons yang dimiliki manusia. Hal inilah
lik
yang mempersulit identifikasi patogenesis dan respons imun terhadap
be
penyakit atau vaksin yang sedang dikembangkan (Wallace et al., 2013).
al
Tantangan lainnya adalah bagaimana para peneliti indonesia dapat
ju
135
Teori Antibody Dependent Enhancement (ADE) sangat erat
kaitannya dengan empat serotipe dalam virus dengue tersebut. Selama
ini, desain vaksin didasarkan pada bagaimana vaksin tersebut dapat
memunculkan respons imun tanpa adanya komplikasi antarserotipe.
Dengan adanya serotipe baru tersebut, maka pengembangan vaksin
dengue akan semakin kompleks dan bukan tidak mungkin penelitian
dan pengembangan vaksin dengue yang selama ini telah berjalan akan
kembali ke tahap awal (Hendri, 2014; Mustafa dkk., 2015). Tantangan
ini tentunya merupakan masalah bagi seluruh peneliti di dunia,
namun Indonesia memiliki tantangan lebih nyata jika vaksin akan
dikembangkan berdasarkan strain lokal Indonesia. Hal ini dikarenakan
an
serotipe baru tersebut secara geografis dan historis sangat dekat dengan
lik
negara kita karena ditemukan di Serawak, Malaysia (Normile, 2013).
be
al
Kemampuan para peneliti Indonesia dalam mengembangkan
ju
vaksin dengue mungkin tidak perlu diragukan. Namun demikian,
er
dapat menjawab tantangan ini, dengan kerja sama yang terarah dan
nt
U
tentunya dapat memaksimalkan dana yang ada serta adanya kerja sama
da
Penutup
Pencegahan dan pengendalian infeksi dengue di Indonesia tentunya
mengacu pada strategi global yang telah dicanangkan dan disusun oleh
WHO tahun 2012. Untuk mendukung hal tersebut, para peneliti di
Indonesia telah mengembangkan vaksin dari strain lokal Indonesia
yang dilakukan secara terpadu, terarah, dan terencana dalam satu wadah
kerja bersama yang disebut dengan “Konsorsium Dengue”. Banyaknya
tantangan yang akan dihadapi hendaknya dijadikan peluang pagi para
136
peneliti yang terlibat dalam konsorsium tersebut sehingga memperoleh
vaksin yang benar-benar aman dan efektif untuk masyarakat Indonesia.
Kita berharap kesepakatan yang dituangkan dalam konsorsium dapat
dilaksanakan secara runut berdasarkan target waktunya sehingga vaksin
buatan anak bangsa bisa segera tersedia. Semoga saja tidak adanya
informasi tentang perkembangan vaksin di Indonesia saat ini karena
memang belum terpublikasi atau keterbatasan penulis semata.
Daftar Pustaka
Alen MMF & Schols D, 2012. Dengue virus entry as target for antiviral
therapy. Journal of Tropical Medicine, 2012, pp.1–13.
an
lik
Alhoot MA, Wang SM & Sekaran SD, 2011. Inhibition of dengue virus
be
entry and multiplication into monocytes using RNA interference.
PLoS Neglected Tropical Diseases, 5(11).
al
ju
Alhoot MA, Wang SM & Sekaran SD, 2012. RNA interference mediated
er
PLoS ONE, 7.
uk
137
Barral K, Sallamand C, Petzold C, Coutard B, Collet a., Thillier Y,
et al., 2013. Development of specific dengue virus 2-O- and N7-
methyltransferase assays for antiviral drug screening. Antiviral
Research, 99(3), pp.292–300.
Basavannacharya C & Vasudevan SG, 2014. Suramin inhibits helicase
activity of NS3 protein of dengue virus in a fluorescence-based high
throughput assay format. Biochemical and Biophysical Research
Communications, 453(3), pp.539–544.
Beasley DWC & Barrett ADT, 2008. The Infectious Agent. In S. B.
Halstead, ed. Dengue. London: Imperial College Press, pp. 29–74.
an
Brinton MA & Dispoto JH, 1988. Sequence and secondary structure
lik
analysis of the 5 ’ -terminal region of flavivirus genome RNA synthetic
be
deoxyribonucleotide primer. , 299, pp.290–299.
al
ju
de Burghgraeve T, Kaptein SJF, Ayala-Nunez N V., Mondotte JA,
er
7(5), p.e37244.
nt
Wilkins Publishers.
Ti
138
Chambers TJ, Hahn CS, Galler R & Rice CM, 1990. Flavivirus
genome organization, expression, and replication. Annual Review of
Microbiology, 44(1), pp.649–688.
Chang GJ, 1997. Molecular biology of dengue viruses. In D. J. Gubler &
G. Kuno, eds. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Solorado:
CAB INTERNATIONAL, pp. 175–191.
Cheung YY, Chen KC, Chen H, Seng EK & Chu JJH, 2014. Antiviral
activity of lanatoside C against dengue virus infection. Antiviral
Research, 111, pp.93–99.
Clyde K, Kyle JL & Harris E, 2006. Recent advances in deciphering viral
an
and host determinants of dengue virus replication and pathogenesis.
lik
Journal of virology, 80(23), pp.11418–31.
be
al
Coller B-AG, Clement DE, Bett AJ, Sagar SL & ter Meulen JH, 2011.
ju
The development of recombinant subunit envelope-based vaccines
er
pp.7267–7275.
uk
139
Desprès P, Frenkiel M & Deubel V, 1993. Differences between cell
membrane fusion activities of two dengue type-1 isolates reflect
modifications of viral structure. Virology, 196, pp.209–219.
Durbin SP, Karron RA., Sun W, Vaughn DW, Reynolds MJ, Perreault
JR, et al., 2001. Attenuation and immunogenicity in humans of
a live dengue virus type-4 vaccine candidate with a 30 nucleotide
deletion in its 3′-untranslated region. American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene, 65(5), pp.405–413.
Egloff M-P, Benarroch D, Selisko B, Romette J-L & Canard B, 2002. An
RNA cap (nucleoside-2’-O-)-methyltransferase in the flavivirus RNA
an
polymerase NS5: crystal structure and functional characterization.
lik
The EMBO journal, 21(11), pp.2757–68.
be
Fahrodi DU, Susilowati H, Karsari D, Hendrianto E, Soedjarwo SA,
al
ju
Mufasirin, dkk., 2014. Analisis imunogenitas virus dengue inaktif
er
140
pp.953–958.
Guirakhoo F, Weltzin R, Chambers TJ, Zhang ZX, Soike K, Ratterree
M, et al., 2000. Recombinant chimeric yellow fever-dengue type 2
virus is immunogenic and protective in nonhuman primates. Journal
of virology, 74(12), pp.5477–5485.
Guzman MG, Halstead SB, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Gubler DJ,
et al., 2010. Dengue: a continuing global threat. Nature reviews.
Microbiology, 8(12 Suppl), pp.S7-16.
Guzman MG & Harris E, 2015. Dengue. The Lancet, 385, pp.453–465.
an
Hadisoemarto PF & Castro MC, 2013. Public acceptance and willingness-
lik
to-pay for a future dengue vaccine: a community-based survey in
be
Bandung, Indonesia. PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(9).
al
Halstead SB & Zompi S, 2015. Protective immune responses to dengue
ju
er
virus infection and vaccines: perspectives from the field to the bench.
ip
Henchal E a & Putnak JR, 1990. The dengue viruses. Clinical microbiology
uk
141
Hidari KIPJ, Abe T & Suzuki T, 2013. Carbohydrate-related inhibitors of
dengue virus entry. Viruses, 5, pp.605–18.
Huang CY, Butrapet S, Tsuchiya KR, Bhamarapravati N, Gubler DJ,
Richard M, et al., 2003. Dengue 2 PDK-53 virus as a chimeric
carrier for tetravalent dengue vaccine development. Journal of
virology, 77(21), pp.11436–11447.
Ichiyama K, Gopala Reddy SB, Zhang LF, Chin WX, Muschin T, Heinig
L, et al., 2013. Sulfated polysaccharide, curdlan sulfate, efficiently
prevents fntry/Fusion and restricts antibody-dependent enhancement
of dengue virus infection in vitro: a possible candidate for clinical
an
application. PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(4), p.e2188.
lik
Jadav SS, Kaptein S, Ajaykumar T, De Burghgraeve T, Nayak V, Ganesan
be
R, et al., 2015. Design, synthesis, optimization and antiviral activity
al
ju
of a class of hybrid dengue virus E protein inhibitors. Bioorganic &
er
5280.
da
142
of 8-hydroxyquinoline derivatives containing aminobenzothiazole as
inhibitors of dengue virus type 2 protease in vitro. Antiviral Research,
97, pp.74–80.
Lang J, 2012. Development of Sanopi Pasteur tetravalent dengue vaccine.
Rev. Inst. Med. Trop. Sao Paulo, 54(18), pp.S15–S17.
Latour DR, Jekle A, Javanbakht H, Henningsen R, Gee P, Lee I, et al.,
2010. Biochemical characterization of the inhibition of the dengue
virus RNA polymerase by beta-d-2’-ethynyl-7-deaza-adenosine
triphosphate. Antiviral Research, 87(2), pp.213–222.
Lestari W, 2014. Produksi dan Karakterisasi Imunogenisitas Protein
an
Rekombinan Nonstruktural 1 Virus Dengue Serotipe1 Strain
lik
Indonesia Bagi Pengembangan Kandidat Vaksin Dengue (Tahap
be
I dan II). Laporan Penelitian, Tersedia di: http://elib.pdii.lipi.go.id
al
ju
[Diakses tanggal 17 Juli, 2018]
er
Lindenbach BD, Theil H-J & Rice CM, 2007. Flaviviridae: the viruses
ip
D
143
215, pp.S96–S102.
Luo D, Xu T, Hunke C, Grüber G, Vasudevan SG & Lescar J, 2008.
Crystal structure of the NS3 protease-helicase from dengue virus.
Journal of virology, 82(1), pp.173–83.
Lyons AG, 2014. The human dengue challenge experience at the walter reed
army institute of research. Journal of Infectious Diseases, 209(Suppl
2), pp.49–55.
McArthur MA, Sztein MB & Edelman R, 2013. Dengue vaccines: recent
development, ongoing challenges and current candidates. Expert Rev
Vaccines, 12(8), pp.933–953.
an
lik
Mukhopadhyay S, Kuhn RJ & Rossmann MG, 2005. A structural
be
perspective of the flavivirus life cycle. Nature reviews. Microbiology,
al
3, pp.13–22.
ju
er
Murray RK, Granner DK, Mayes, Peter A & Rodwel VW, 1995.
ip
247.
U
k
144
Normile D, 2013. Surprising new dengue virus throws a spanner in disease
control efforts. Science, 342, p.415.
Oktariani R & Laila R, 2013. Pengembangan Transmission Blocking
Vaccine (TBV) Melawan Demam Berdarah Dengue (DBD) :
Identifikasi Faktor Imunomodulator Putatif dari Salivary
Gland Aedes aegypti Berbasis Reaksi Antigen-Antibodi Vektor
dan Inang Manusia, Tersedia di: http://repository.unej.ac.id/
handle/123456789/ 61211,[Diakses tanggal 17 juli, 2018]
Osatomi K & Sumiyoshi H, 1990. Complete nucleotide sequence of
dengue type 3 virus genome RNA. Virology, 176, pp.643–647.
an
Osorio JE, Huang CYH, Kinney RM & Stinchcomb DT, 2011.
lik
Development of DENVax: A chimeric dengue-2 PDK-53-based
be
tetravalent vaccine for protection against dengue fever. Vaccine,
al
29(42), pp.7251–7260.
ju
er
Perry ST & Buck MD, 2011. Better late than never : antivirals for dengue.
ip
pp.1176–1184.
Ti
145
Balculovirus sebagai Bahan Vaksin Klon Subunit. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonenesia. Tersedia dit: http://elib.pdii. lipi.go.id
[Diakses tanggal 17 Juli, 2018].
Ristek, 2014. Simposium nasional implementasi hasil riset vaksin.
Tersedia di: http://www.ristek.go.id/index.php/module/
News+News/id/1485 [Diakses tanggal 2 April, 2015].
Said NS, Susilowati H, Karsari D, Hendrianto E, Mufasirin & Rantam
FA, 2014. Kloning fragmen gen non-struktural 1 (NS1) virus
dengue subtipe (DENV-1) sebagai Kandidat bahan vaksin
chimera. Veterinari Medika, 7(2), pp.184–193.
an
Sasmono RT, Yohan B, Setianingsih TY, Aryati, Wardhani P & Rantam
lik
FA, 2012. Identifikasi genotip dan karakterisasi genome virus
be
dengue di Indonesia untuk penentuan prototipe virus bahan
al
ju
pembuatan vaksin dengue berbasis strain Indonesia. Dalam
er
Prosisding InSINas.
ip
D
146
Indonenesia. Tersedia di: http://elib.pdii.lipi.go.id [Diakses tanggal
17 Juli, 2018].
Sudiro TM & Dewi BE, 2012. Pengembangan diagnostik molekular
dan vaksin demam berdarah dengue dengan menggunakan strain
virus Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonenesia. Tersedia
di: http://elib.pdii.lipi.go.id [Diakses tanggal 17 Juli, 2018].
Sujono T., 2014. Pengaruh pemberian kapsul melaleuca alternifolia
concentrate (MAC) terhadap tanda vital, gambaran hematologi,
kimia darah dan urin rutin pada subjek sehat. Gadjah Mada.
Sumarmo, 1987. Dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Southeast
an
Asian J Trop Med Public Health, 18(3), pp.269–274.
lik
be
Syahrurakhman A, Mardiastuti, Sunarti, Subandrio A, Lismanawaty E,
al
Ernawati B, dkk., 1995. Usaha mencari calon vaksin dengue untuk
ju
lima tahun pertama : antigenisitas dan imunogenisitas dengue 2
er
Tambunan US. & Parikesit A., 2014. Biokimia dan Teknologi Farmasi:
nt
147
Deseda C, et al., 2015. Efficacy of a tetravalent vengue Vaccine in
children in Latin America. N Engl J Med, 372(2), pp.113–123.
Wallace D, Canouet V, Garbes P & Wartel TA, 2013. Challenges in
the clinical development of a dengue vaccine. Current Opinion in
Virology, 3(3), pp.352–356.
Wan S-W, Lin C-F, Wang S, Chen Y-H, Yeh T-M, Liu H-S, et al., 2013.
Current progress in dengue vaccines. Journal of biomedical science,
20(1), p.37.
Whitehorn J, Van VCN & Simmons CP, 2014. Dengue human infection
models supporting drug development. , 209(Suppl 2), pp.s66–s70.
an
lik
WHO, 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control
be
of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever, New Delhi, India:
al
WHAO SEARO.
ju
er
WHO, 2012. Global strategy for dengue prevention and control 2012-
ip
WHO, 2014. Questions and answers on vengue Vaccines : Phase IIb study
k
148
BAB 8
an
EPIDEMIOLOGI DAN BEBAN PENYAKIT DENGUE
lik
be
DI INDONESIA al
ju
Mara Ipa
er
ip
Pendahuluan
D
500.000 penderita dan 20.000 kematian. Hal ini dipertajam oleh hasil
studi pemodelan terbaru yang menunjukkan lebih kurang empat miliar
orang di lebih 120 negara berisiko dengue dan sebagian besar terjadi
di wilayah Asia Pasifik dengan kasus simptomatik sebesar 50-100 juta
(Bhatt S, 2013; Stanaway JD, 2013).
Negara-negara anggota di tiga wilayah WHO secara teratur
melaporkan jumlah kasus tahunan. Jumlah kasus dilaporkan meningkat
dari 2,2 juta pada tahun 2010 menjadi 3,2 juta pada tahun 2015.
149
Meskipun beban global dari penyakit ini tidak pasti, inisiasi kegiatan
untuk mencatat semua kasus demam berdarah sebagian menjelaskan
peningkatan tajam dalam jumlah kasus yang dilaporkan dalam
beberapa tahun terakhir. Ciri-ciri lain dari penyakit ini termasuk
pola-pola epidemiologisnya, termasuk dalam kategori hiperendemik.
Beberapa serotipe virus dengue di banyak negara dan dampak yang
mengkhawatirkan pada kesehatan manusia dan ekonomi global dan
nasional (Brady OJ, Gething PW, Bhatt S, Messina JP, Brownstein JS,
2012; Bhatt S, 2013).
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak pertama kali
an
dilaporkan terjadi di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968, penyakit
lik
ini telah berkembang, baik dalam jumlah kasus dan luasan wilayah
be
endemisnya. Perkembangan situasi DBD di Indonesia memberikan
al
gambaran Incidence Rate (IR) Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan
ju
Barat, dan Aceh berturut-turut menduduki ranking teratas, yaitu di
er
an
konsep beban penyakit demam berdarah di Indonesia.
lik
Beban Penyakit
be
al
Setiap kejadian penyakit (menular maupun tidak menular) selalu
ju
er
151
(life-years), atau jumlah tahun-sehat (healthy-years) yang hilang pada
satu kondisi penyakit tertentu; kualitas kehidupan (quality of life);
QALY (Quality-Adjusted Year Life), DALY (Disability-Adjusted Life
Year), atau HeaLY (Healthy Life Year); biaya perawatan per pasien/
individu pada kondisi tertentu atau cost of illness; dan kontribusi
kondisi penyakit terhadap produktivitas yang hilang (Kelsi, Jennifer L.,
Diana B. Petiti, 1998).
Konsep beban penyakit atau lebih dikenal dengan Burden of
Disease mulai dipublikasikan oleh World Health Organization
(WHO) tahun 1996 dengan konsep Global Burden Disease (GBD)
an
atau beban penyakit secara global. Konsep ini merupakan konsep yang
lik
paling komprehensif dan konsisten dalam mengestimasi mortalitas dan
be
morbiditas penyakit. Konsep ini dibuat untuk mengkuantifikasi beban
al
akibat kematian dini (prematur mortality) dan disabilitas (disability)
ju
bagi penyakit-penyakit utama atau kelompok penyakit. Konsep GBD
er
Years Life Lost (YLL) dan YLD (Years Live with Disability) (Mathers
uk
et al., 2004).
nt
U
152
itu masih dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat kecil oleh
para pembuat kebijakan (Gubler, 2012).
an
lik
be
al
ju
er
Gambar 2. Perkiraan jumlah tahunan kasus demam berdarah dan rawat inap
ip
dewasa antara Juli 2008 dan Maret 2010 baik rawat jalan dan rawat
da
153
Hasil studi di negara-negara Asia Tenggara tahun 2010 dalam
mengestimasi beban ekonomi demam berdarah (biaya dalam US$)
dihitung berdasarkan rata-rata kasus dari tahun 2001-2005. Studi
ini menunjukkan bahwa biaya tahunan untuk demam berdarah di
Kamboja sebesar $US 3,1 juta; Malaysia $US 42,4 juta; dan Thailand
$US 53,1 juta (JA, Suaya; DS, 2009). Penelitian serupa tentang
beban ekonomi dan penyakit demam berdarah di Asia tenggara tahun
2001-2010 (perhitungan di luar biaya pencegahan dan pengendalian
vektor dan kasus sequale dengue jangka panjang), diperoleh rata-rata
tahunan 2,9 juta satu periode menderita dengue dan 5.906 kematian.
Beban ekonomi tahunan (CI=95%) adalah US $ 950 juta (US $ 610
an
– US $ 1.384 juta) atau sekitar US $ 1,65 (US $ 1,06 – US $ 2,41)
lik
per kapita. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengue menimbulkan
be
beban ekonomi dan penyakit yang substansial di kawasan Asia tenggara
al
dengan beban DALY 372 (210–520) per juta penduduk di wilayah
ju
er
183.297 adalah rawat inap. Perkiraan ini lebih rendah daripada yang
Ti
154
hari sehingga biaya yang harus dikeluarkan lebih besar dibandingkan
dengan penderita yang lama sakitnya ≤ 7 hari. Seperti hasil penelitian
Campenhausen, yang menyatakan biaya meningkat sejalan dengan
tingkat keparahan penyakit (von Campenhausen S et.al., 2011).
Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang peningkatan
IR tertinggi antara tahun 1990-2003, kondisi ini melawan tren
global dalam mengurangi penyakit menular. Stanaway et al., (2013)
menyatakan bahwa salah satu hasil yang paling komprehensif untuk
mengukur beban penyakit DBD di beberapa negara salah satunya di
Indonesia. Limitasi dalam penelitiannya disebutkan salah satunya
an
adalah Data gaps, yaitu adanya data yang under reported di Indonesia
lik
bahwa data kematian faktanya lebih besar daripada yang terlaporkan.
be
Keterbatasan tersebut tidak menghalangi untuk dilakukan penelitian
al
selanjutnya terkait beban penyakit DBD dengan memperbarui dan
ju
meningkatkan keakuratan data. Situasi beban penyakit DBD sangat
er
sendiri.
nt
U
Penutup
k
da
155
Daftar Pustaka
(WHO)., W. H. O. (2012) Global Strategy for Dengue Prevention and
Control 2012-2020. Geneva, Switzerland.
Agyemang, A. A. de-G. C. (2016) “Introduction: Addressing the Chronic
Non-communicable Disease Burden in Low-and-Middle-income
Countries. UK.
Bhatt S, et al. (2013) ‘The global distribution and burden of dengue.’,
Nature 2013; 496: 504–507., 496, p. 504–507.
Brady OJ, Gething PW, Bhatt S, Messina JP, Brownstein JS, H. A.
an
et al. (2012) ‘Refining the global spatial limits of dengue virus
lik
transmission by evidence-based consensus.’, PLoS Negl Trop Dis.,
be
6:e1760. doi: doi:10.1371/journal.pntd.0001760.
al
Brownson, R. C. (1998) “Epidemiology: the Foundation of Public
ju
er
conferences/2010/Flavirus-vaccination/%0APresentation-Gubler.
pdf.
Gubler, D. J. (2012) ‘The economic burden of dengue’, American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene. doi: 10.4269/
ajtmh.2012.12-0157.
Halasa Y; Shepard D; Zeng W. (2017) ‘Indonesian dengue burden
estimates: Review of evidence by an expert panel’, Epidemiology
and Infection. doi: 10.1017/S0950268817001030.
156
JA, Suaya; DS, S. J. S. et al. (2009) ‘Cost of dengue cases in eight
countries in the Americas and Asia: A prospective study.’, Am J
Trop Med Hyg, 80, p. 846–855.
Kelsi, Jennifer L., Diana B. Petiti, dan A. C. K. (1998) “Key Methodologic
Concepts and Issues” Applied Epidemiology: Theory and Practice,.
New York: Oxford University Press,.
Kementerian Kesehatan RI (2018) Evaluasi Pelaksanaan Program
P2PTVZ. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Mathers, C. et al. (2004) ‘The global burden of disease 2004’, Update,
p. 1–160. doi: 10.1038/npp.2011.85.
an
lik
Shepard, D. S. and Eduardo A. Undurraga; Yara A. Halasa (2013)
be
‘Economic and Disease Burden of Dengue in Southeast Asia’,
al
PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(2). doi: 10.1371/journal.
ju
pntd.0002055.
er
ip
157
Ti
da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
be
lik
an
EPILOG:
an
DENGUE DALAM MULTI PERSPEKTIF
lik
be
Upik Kesumawati Hadi
al
ju
Buku bunga rampai dengan tema “Dengue dalam Multi
er
159
DBD dan bahkan khusus mengangkat peran “silent infection” dengue
dalam satu topik bahasan tersendiri. Siklus normal infeksi DBD secara
epidemiologi, terjadi antara manusia-nyamuk Aedes-manusia. Selain
dapat menimbulkan kematian, infeksi DBD dapat menular dengan
cepat melalui gigitan vektor, oleh karenanya menimbulkan keresahan
masyarakat khususnya, dan secara umum menjadi beban negara yang
cukup mengganggu kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sejatinya, DBD disebabkan oleh satu dari empat bahan antigenik
(virus) yang dikenal serotipe 1-4 (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-
4) dari genus Flavivirus, famili Flaviridae. Sejauh ini, nyamuk Aedes
an
aegypti dan Ae. albopictus dikenal sebagai vektor utama dan sekunder
lik
infeksi DBD di Indonesia. Sekali nyamuk tertular virus, seumur
be
hidupnya akan menjadi nyamuk yang infektif dan mampu menyebarkan
al
virus ke inang/orang lain ketika mengisap darah berikutnya. Nyamuk
ju
infektif ini juga dapat menularkan virus ke generasi berikutnya secara
er
dapat secara horizontal melalui gigitan, juga terjadi secara vertikal atau
D
160
nyamuk menjadi penting sebagai landasan dalam menyusun strategi
pengendalian vektor yang tepat. Upaya pengendalian nyamuk demam
berdarah seharusnya sudah menjadi bagian kita semua, masyarakat
dapat melakukannya dengan mudah melalui pola hidup bersih dan
sehat. Misalnya, upaya menghilangkan habitat pradewasa nyamuk
seminggu sekali dengan 3M plus, atau 4M plus yaitu Menguras (kalau
mungkin), Menutup (jangan lupa), Mengubur/Memusnahkan/
Mendaur ulang, dan Memantau semua wadah air yang ada di sekitar
rumah. Plus menggunakan antinyamuk secara bijak.
Akhir kata, tidaklah berlebihan buku bunga rampai ini mengajak
an
pembaca untuk lebih jauh menyelam ke dalam berbagai pertanyaan
lik
terkait dengan “Dengue dalam Berbagai Perspektif?”. Konsep One
be
Health diharapkan juga dapat berperan mengatasi permasalahan DBD.
al
Konsep tersebut mengharuskan adanya peran lintas sektor dan lintas
ju
program antara pemerintah, asosiasi/perhimpunan profesi, dunia
er
Sumber Acuan
k
da
161
DAFTAR SINGKATAN
an
lik
C : Celsius
C : Core
be
al
CDC : Center for Disease Control
ju
er
CI : Container Index
uk
DEN : Dengue
DENV : Dengue Virus
Depkes : Departemen Kesehatan
DF : Dengue Fever
DHF : Dengue Haemorraghic Fever
dll : dan lain-lain
162
DNA : Deoxyribonucleic Acid
DSS : Dengue Shock Syndrome
E : Envelope
ELISA : Enzyme Linked Imunosorbent Assay
F : Filial
GBD : Global Burden Disease
HCV : Hepatitis C Virus
HeaLY : Healthy Life Year
an
HI : House Index
lik
IDR : Indonesian Rupiah
IgM : Immunoglobulin M be
al
ju
IISBC : Imunositokimia - imunoperoksidase Streptavidin
er
Biotin Complex
ip
D
IR : Incidence Rate
nt
Chemistry
k
da
163
M : Membrane
M : meter
MAC-ELISA : Membrane Attack Complex - Enzyme Linked
Imunosorbent Assay
MIR : Minimum Infection Rate
Mm : milimeter
NIAID : National Institute of Allergy and Infectious Diseases
NS : Non Structural
ORF : Open Reading Frame
an
lik
P2B2 : Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
P2PL
be
: Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
al
PBO : Piperonil Butoksida
ju
er
PD : Perang Dunia
ip
D
PI : Pupae Index
U
k
164
RI : Republik Indonesia
RNA : Ribonucleic Acid
RS : Rumah Sakit
RT : Rukun Tetangga
RT-PCR : Reverse Transcriptase Polimerase Chain Reaction
RW : Rukun Warga
S:I : Sympthomatic Inapparent
SBPC : Streptavidin Biotin Peroxidase Complex
an
sp : Spesies
lik
TBV : Transmition Blocking Vaccine
TPA : Tempat Penampungan Airbe
al
ju
UGM : Universitas Gadjah Mada
er
ip
UI : Universitas Indonesia
D
165
Indeks
Symbols
3M 163
A
ABJ 163
Ae. aegypti x, 3, 4, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 32, 33, 34, 35, 40, 44,
45, 46, 49, 51, 52, 53, 72, 73
Ae. albopictus x, xi, 3, 4, 20, 23, 24, 25, 29, 35, 37, 44, 52, 160
an
Aedes aegypti x, 3, 14, 15, 16, 20, 21, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 47, 54, 55,
lik
56, 57, 75, 76, 77, 78, 80, 95, 114, 121, 145, 160
be
Aedes albopictus 14, 16, 37, 41, 55, 56, 57, 95
Antibodi 57, 145
al
asymptomatic 3, 112
ju
er
B
ip
D
C
U
curah hujan 31
Ti
D
DALYs 98, 152, 162
DEET 63, 64, 66, 77, 162
Demam Berdarah Dengue ix, x, xi, 7, 9, 12, 13, 14, 15, 19, 36, 37, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 56, 57, 58, 76, 77, 79, 91, 92, 93, 94, 95, 145, 149, 150,
155, 159, 162
Dengue iv, v, ix, x, xi, 1, 2, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 36, 37,
38, 39, 40, 41, 42, 43, 45, 52, 54, 55, 56, 57, 58, 76, 77, 79, 91, 92, 93,
94, 95, 96, 98, 100, 101, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118, 121, 122,
125, 132, 134, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 147,
166
148, 149, 150, 152, 155, 156, 157, 159, 161, 162, 163
Dengue Haemorrhagic Fever 15, 139, 142, 148
dengue virus 14, 15, 55, 56, 57, 111, 112, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143,
144, 146, 156
E
endemis 4, 11, 20, 30, 38, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 60, 77, 81, 97, 102, 105, 106,
155, 160
epidemiologi 11, 19, 44, 52, 95, 102, 103, 104, 151, 160
F
Flaviviridae 2, 16, 19, 44, 117, 143
an
Flavivirus 2, 19, 44, 118, 138, 160
fogger 65
lik
fogging 59, 79
I be
al
ju
inang 29, 35, 44, 46, 47, 53, 119, 160
er
infeksi ix, 2, 3, 11, 12, 19, 44, 46, 47, 48, 50, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 106,
uk
107, 108, 110, 111, 117, 118, 120, 121, 122, 126, 129, 130, 132, 133,
nt
J
da
Ti
jentik-jentik 20, 23, 25, 26, 27, 28, 30, 32, 34, 35, 64, 80, 84, 87
K
Karbamat 62, 70, 78
Kasus 10, 12, 36, 38, 39, 40, 41, 58, 75, 78, 100, 109
kejadian luar biasa x, 1, 54, 105, 111, 160
kelembapan 51
kesadaran 33, 85, 86, 87, 88, 89, 91
ketinggian 31, 33, 34
Kontainer 25, 26, 27, 28, 36, 42
167
L
larva 4, 30, 35, 46, 47, 51, 53, 64, 81
larvasida 59
O
Organofosfat 62, 70, 75, 78
Organoklorin 61
P
PCR 49, 56, 106, 165
Pemicuan 82, 85, 86
pengendalian vektor x, 20, 35, 59, 60, 72, 74, 83, 84, 86, 87, 98, 118, 121,
an
125, 152, 154, 159, 161
lik
Pengendalian Vektor Terpadu 60, 164
be
Peran Serta Masyarakat xi, 40, 88, 90, 92, 94
piretroid 59, 63, 64, 65, 66, 69, 70
al
PSN 27, 67, 79, 80, 81, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 164
ju
Pupa 24
er
ip
R
D
uk
S
da
serotipe 2, 3, 19, 44, 53, 97, 98, 99, 103, 104, 106, 117, 118, 119, 121, 126,
Ti
127, 129, 135, 136, 139, 141, 147, 150, 152, 160
siklus hidup 20, 31, 46, 160
Silent Infection xi, 106
suhu 3, 21, 23, 26, 29, 32, 33, 46, 51, 71, 98
symptomatic 3, 103, 104
T
telur 4, 20, 21, 26, 28, 34, 35, 46, 51, 52, 53, 54, 61, 160
transmisi 4, 11, 20, 30, 31, 33, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 63,
69, 110, 125, 131, 159, 160
168
transovarial 4, 15, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 159, 160
V
vaksin 79, 98, 118, 121, 122, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133,
135, 136, 137, 139, 140, 141, 145, 146, 147, 159, 160
vektor v, x, 3, 4, 5, 11, 19, 20, 24, 25, 28, 30, 31, 34, 35, 37, 38, 44, 45, 49, 57,
59, 60, 70, 72, 73, 74, 80, 83, 84, 86, 87, 88, 97, 98, 118, 121, 125, 127,
129, 151, 152, 154, 159, 160, 161
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
169
BIODATA PENULIS
an
dari IPB. Beberapa publikasi ilmiah telah banyak diterbitkan dalam
lik
berbagai jurnal internasional dan nasional di bidang Entomologi
be
Kesehatan. Beliau telah menulis beberapa buku, antara lain penulis
al
dan editor buku referensi Hama Permukiman Indonesia, Ektoparasit
ju
er
uk
an
di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah
lik
dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti
be
malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam
al
buku Seputar Dengue & Malaria dan buku Surveilans & Pengendalian
ju
Asep Jajang
nt
171
Tri Wahono
Peneliti Ahli Muda di Loka
Litbangkes Pangandaran Badan
Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan
pendidikan Sarjana Kedokteran
Hewan dan Pendidikan Profesi Dokter
Hewan di Institut Pertanian Bogor;
Master of Science Program Studi Ilmu
Kedokteran Tropis di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah dilakukan pada
an
bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria, filariasis, dan
lik
demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Filariasis
be
di Jawa Barat (Penyakit Tropis yang Terabaikan), editor dalam buku
al
Surveilans dan Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue.
ju
er
ip
172
Firda Yanuar Pradani
Peneliti Ahli Muda di Loka
Litbangkes Pangandaran Badan
Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan
pendidikan Sarjana dan Magister
Biologi di Universitas Jendral Soedirman
Purwokerto; aktif dalam berbagai
kegiatan penelitian yang diselenggarakan
oleh Badan Litbang Kesehatan maupun
Lokalitbangkes Pangandaran. Kontributor penulis dalam buku Fauna
an
Anopheles dan Pestisida Nabati.
lik
be
Heni Prasetyowati
al
ju
Peneliti Ahli Muda di Loka
er
173
Rohmansyah Wahyu Nurindra
Peneliti Ahli Pertama di Lokalitbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes
RI. Pernah berkuliah di Jurusan Antropologi
Universitas Padjadjaran. Bekerja mulai
tahun 2005 sampai dengan saat ini dan
telah mengikuti berbagai pendidikan dan
pelatihan berkait bidang pekerjaan. Selama
bekerja juga telah melakukan berbagai
penelitian dan menjadi kontributor
an
penulis beberapa buku yang berkaitan dengan pengendalian penyakit
lik
bersumber binatang, humaniora kesehatan, dan kesehatan masyarakat,
be
baik berskala regional maupun nasional. al
ju
er
174
Joni Hendri
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran, Badan Litbangkes
Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan
Sarjana Kesehatan Masyarakat di
Universitas Siliwangi Tasikmalaya Tahun
2009; dan Master of Biotechnology dari
Universitas Gadjah Mada Tahun 2014.
Beberapa penelitian telah dilakukan pada
bidang tular vektor termasuk Demam Berdarah Dengue. Kontributor
penulis dalam buku Fauna Anopheles, Insektisida Nabati dalam
an
Pengendalian Demam Berdarah Dengue; Seputar Dengue dan Malaria;
lik
dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah. Beberapa tulisan ilmiah
be
semipopuler juga pernah di muat di Koran Pikiran Rakyat dan Majalah
al
Inside.
ju
er
ip
Mara Ipa
D
uk