Anda di halaman 1dari 189

Ti

da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
bel
ik
an
DENGUE DALAM
MULTI PERSPEKTIF

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
an
lik
be
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
al
Undang-undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
ju
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
er

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
ip

Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
D

pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).


uk

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
nt

Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana


U

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h
untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
k
da

lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00


(lima ratus juta rupiah).
Ti

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
DENGUE DALAM
MULTI PERSPEKTIF

an
Endang Puji Astuti - Asep Jajang Kusnandar

lik
Andri Ruliansyah - Tri Wahono
be
Nurul Hidayati Kusumastuti - Firda Yanuar Pradani
al
Heni Prasetyowati - Rohmansyah Wahyu Nurindra
ju
er

Muhammad Umar Riandi - Joni Hendri - Mara Ipa


ip
D
uk

EDITOR
nt

Prof. Upik Kesumawati Hadi


U
k
da
Ti
Dengue dalam Multi Perspektif
Endang Puji Astuti, dkk.

00161
Copyright © 2018 Penerbit
Lingkarantarnusa

ISBN : 978-602-6688-65-1
Penyunting : Prof. Upik Kesumawati Hadi
Penyelaras aksara : Willy Satya Putranta
Perancang sampul : M. Abdul Hakim

an
Penata letak : Neno Pratikasari

lik
be
Penerbit Lingkarantarnusa (Anggota IKAPI)
al
Jl. Nangka I/154 D, Karangnongko RT 09/RW 14 Sanggrahan,
ju

Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta


er

E-mail : pen_antarnusa@yahoo.co.id
ip
D

lingkarantarnusa@gmail.com
uk

Website : http://www.lingkarantarnusa.com
nt

Cetakan Pertama, Juli 2018


U
k

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau


da

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa
Ti

pun secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi,


merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya tanpa izin tertulis
dari Penerbit.
Dicetak oleh:
Percetakan Lingkar Graphic
(Mencetak satu buku pun kami layani)
Email : linkprint11@gmail.com
Facebook : Lingkar Graphic
Telepon : 0818 26 3939
KATA PENGANTAR

an
lik
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
be
karena atas limpahan dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan
al
buku “bunga rampai” ini. Buku ini merupakan kumpulan tentang
ju
er

permasalahan dengue sebagai penyakit tular vektor yang masih menjadi


ip

masalah kesehatan masyarakat di dunia. Peneliti Loka Penelitian dan


D

Pengembangan Kesehatan Pangandaran Kementerian Kesehatan


uk

RI berupaya mengupas dengue yang ditelusur dari beberapa hasil


nt

penelitian yang telah ada. Di dalam buku ini berisi tentang informasi
U

dengue yang dilihat dari berbagai perspektif, mulai dari kasus, vektor,
k
da

agen (penyebab), serta upaya pengendalian dan pencegahan dengue.


Ti

Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan


dan dukungan selama proses perencanaan sampai penerbitan buku,
karena tanpa bantuan semua pihak, mungkin kami tidak akan mampu
menyelesaikan buku “bunga rampai” ini. Harapan kami, buku tentang
“Dengue dalam Multi Perspektif ” ini bermanfaat bagi masyarakat dan
mampu menjadi referensi bagi masyarakat ilmiah yang membutuhkan
tentang permasalahan penyakit dengue.

v
Penulis menyadari bahwa buku “bunga rampai” ini masih jauh dari
sempurna. Masih banyak kekurangan dan kelemahan sehingga kami
memohon maaf atas kesalahan ini. Kami menerima segala bentuk kritik,
pesan-pesan, dan saran yang membangun agar ke depan kami selaku
penulis dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas penulisan karya
ilmiah serta mampu menerbitkan kembali buku edisi selanjutnya yang
lebih baik.

Salam,

an
lik
be
Prof. Upik Kesumawati Hadi, Ph.D
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

vi
Daftar Isi

KATA PENGANTAR.................................................................................... v

PROLOG: SEPUTAR DEMAM BERDARAH DENGUE


Upik Kesumawati Hadi......................................................................... ix

BAB 1
ETIOLOGI DAN DINAMIKA DENGUE
Endang Puji Astuti................................................................................... 1

BAB 2

an
BIOEKOLOGI VEKTOR DENGUE

lik
Asep Jajang Kusnandar dan Andri Ruliansyah.......................... 19
be
al
BAB 3
ju
TRANSMISI TRANSOVARIAL:
er

MEKANISME VIRUS DENGUE


ip

DALAM MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI DIRI


D

DI ALAM
uk

Tri Wahono................................................................................................. 43
nt
U

BAB 4
k
da

INSEKTISIDA DALAM PENGENDALIAN VEKTOR


Ti

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


Nurul Hidayati Kusumastuti, Firda Yanuar Pradani.............. 59

BAB 5
DAYA UNGKIT PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM
PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE
Heni Prasetyowati, Rohmansyah W. Nurindra......................... 79

vii
BAB 6
“SILENT INFECTION” DENGUE
Muhammad Umar Riandi................................................................... 97

BAB 7
PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN VAKSIN
DENGUE DI INDONESIA
Joni Hendri................................................................................................. 117

BAB 8
EPIDEMIOLOGI DAN BEBAN PENYAKIT DENGUE
DI INDONESIA

an
Mara Ipa........................................................................................................ 149

lik
EPILOG: DENGUE DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
be
al
Upik Kesumawati Hadi......................................................................... 159
ju
er

DAFTAR SINGKATAN.............................................................................. 162


ip
D

Indeks..................................................................................................................... 166
uk

BIODATA PENULIS.................................................................................... 170


nt
U
k
da
Ti

viii
PROLOG :

an
SEPUTAR DEMAM BERDARAH DENGUE

lik
be
Upik Kesumawati Hadi
al
ju
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic
er

fever tergolong penyakit tular nyamuk (mosquito borne disease) yang


ip
D

disebabkan oleh virus dengue yang hingga saat ini menjadi perhatian
uk

utama masyarakat di Indonesia maupun di luar negeri. Dengue


ditemukan di daerah tropik dan subtropik, terutama wilayah urban
nt
U

dan peri-urban. Dengue pertama kali diketahui di Asia Tenggara tahun


k

1950-an, tetapi mulai tahun 1975 hingga sekarang merupakan penyebab


da

kematian utama pada anak-anak di negara-negara Asia. Penyebarannya


Ti

secara global sebanding dengan malaria, dan diperkirakan kini setiap


tahun terdapat sebanyak 2.500 juta orang, atau dua per tiga dari
penduduk dunia berisiko terkena DBD. Setiap tahun terdapat 10 juta
kasus infeksi dengue di seluruh dunia dengan angka kematian sekitar
5% terutama pada anak-anak.
Di Indonesia penyakit ini dilaporkan pertama kali pada tahun
1968, di Kota Jakarta dan Surabaya. Epidemi penyakit DBD di luar Jawa
pertama kali dilaporkan di Sumatra Barat dan Lampung tahun 1972.

ix
Sejak itu, penyakit ini semakin menyebar luas ke berbagai wilayah di
Indonesia. Penularan DBD hanya dapat terjadi melalui gigitan nyamuk
yang di dalam tubuhnya mengandung virus dengue. Bancroft (1906)
telah berhasil membuktikan bahwa nyamuk Aedes aegypti adalah
vektor penyakit DBD. Di Indonesia, Ae. aegypti dikenal sebagai vektor
utama dan Ae. albopictus sebagai vektor sekunder DBD. Keduanya
adalah nyamuk domestik yang senang berkembang biak di wadah-
wadah air yang berada di dalam dan di luar rumah atau di sekitar
permukiman.
Nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor primer DBD mempunyai

an
kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dengan sangat baik. Kajian

lik
mendalam terhadap bioekologi Ae. aegypti sangat diperlukan agar

be
strategi dan operasional pengendalian vektor berjalan dengan efektif,
al
efisien, rasional, dan diterima oleh masyarakat di berbagai wilayah
ju
yang mempunyai kekhasan tersendiri. Berbagai penelitian terkait DBD
er

pada manusia dan vektor penularnya telah banyak dilakukan, baik di


ip

Indonesia khususnya dan juga di luar negeri. Namun demikian, berbagai


D

permasalahan terkait DBD masih belum terurai dengan sempurna.


uk

Sepanjang tahun di berbagai daerah, kejadian luar biasa DBD masih


nt
U

ditemukan, terutama saat peralihan musim. Untuk lebih mengenal dan


k

memahami permasalahan tersebut, disusunlah buku “bunga rampai”


da

dengan judul “Dengue dalam Multi perspektif ”.


Ti

Buku ini ditulis dalam 8 bab oleh penulis yang berlainan, yang
semuanya adalah Tim Peneliti dari Loka Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Pangandaran Kementerian Kesehatan RI. Bab 1 diawali
dengan penjelasan perkembangan terkini tentang Etiologi dan
Dinamika Dengue. Bab 2 menguraikan Bioekologi Vektor Dengue,
bab 3 tentang Transmisi Transovarial: Mekanisme Virus Dengue dalam
Mempertahankan Eksistensi Diri di Alam, dan bab 4 tentang Insektisida
dalam Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue. Daya Ungkit

x
Peran Serta Masyarakat dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue
dijelaskan dalam bab 5. Selanjutnya, bab 6 menjelaskan tentang “Silent
Infection” Dengue, dan bab 7 tentang Perkembangan dan Tantangan
Vaksin Dengue Di Indonesia. Adapun bab terakhir atau bab 8 berisi
penjelasan tentang Epidemiologi dan Beban Penyakit Dengue di
Indonesia.
Penulis mengajak pembaca untuk mengikuti alur tulisan tersebut,
tetapi juga pembaca dapat memanfaatkan tulisan tersebut sesuai
dengan kepentingan dan minat masing-masing, tanpa harus mengikuti
keseluruhan uraian secara berurutan. Tulisan ini masih terdapat

an
kekurangan, dan tetap harus update untuk mengikuti perkembangan

lik
hasil-hasil penelitian dan perkembangan terkini. Bagaimanapun,

be
kehadiran buku ini turut memperkaya khazanah pengetahuan Demam
al
Berdarah Dengue di tanah air. Selamat membaca.
ju
er

Sumber Acuan
ip

Hadi, UK. 2016. Pentingnya Pemahaman Bioekologi Vektor Demam


D

Berdarah Dengue dan Tantangan Upaya Pengendaliannya. Orasi


uk

Ilmiah Guru Besar IPB. PT Penerbit IPB Press. 99 hal.


nt
U

[Kemenkes RI]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014.


k

Profil PP dan PL 2013. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta


da
Ti

[WHO]. World Health Organization. 2009. Dengue Guidelines


for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control Treatment,
Prevention and Control. Geneva.
[WHO]. World Health Organization 2014. About Vector-borne
Diseases. http://www.who.int/campaigns/world-health-day/2014/
vector-borne-diseases/en/

xi
Ti
da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
be
lik
an
BAB 1

an
ETIOLOGI DAN DINAMIKA DENGUE

lik
be
Endang Puji Astuti
al
ju

Pendahuluan
er
ip

“Demam berdarah” adalah istilah awam yang sering kita dengar


D

ketika seseorang mengalami gejala terserang virus Dengue. Gejala klinis


uk

yang mudah dikenal masyarakat adalah panas/demam tinggi dan timbul


nt

bintik-bintik merah di bagian atau seluruh tubuhnya. Istilah dengue


U

sendiri jika dilihat dari sejarahnya, tidak ditemukan ada kejelasan


k
da

asal penyebutan kata “dengue”. Beberapa pendapat menyatakan


Ti

istilah dengue berasal dari Ka-dinga pepo Swahili yang menceritakan


bahwa penyebab penyakit ini adalah arwah jahat. Frase Swahili dinga
yang artinya adalah “berhati-hati” diperkirakan dari bahasa Spanyol,
yang digunakan untuk menggambarkan penyakit nyeri tulang akibat
demam. Nyeri sendi atau tulang menyebabkan penderita tidak bisa
melakukan aktivitas sehari-hari sehingga produktivitasnya menurun
(WHO, 2015b). Pada tahun 1789, Benyamin Rush menggunakan
istilah “breakbone fever” ketika melaporkan kejadian luar biasa (KLB)

1
dengue, karena adanya gejala myalgia (nyeri otot) dan atralgia (nyeri
pada satu atau lebih sendi) (WHO, 2015b).
Dengue merupakan virus dari RNA untai tunggal, termasuk
genus Flavivirus, Famili Flaviviridae. Sejak isolasi pertama virus dengue
(DENV) di dunia tahun 1943, telah teridentifikasi empat serotipe, yaitu
Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Asal muasal virus ini diperkirakan
telah terjadi 1.000 tahun yang lalu, yang melibatkan primata dan
nyamuk, beberapa ratus tahun berikutnya, dengue mulai menyebar
dan menginfeksi ke manusia (Holmes & Twiddy, 2003; Messina et
al., 2014). Serotipe virus dengue pertama kali telah dikonfirmasi di

an
beberapa wilayah, yaitu Den-1, yang pertama kali dilaporkan tahun

lik
1943 di Jepang dan Polinesia; Den-2 terlaporkan di Papua Nugini dan

be
Indonesia pada tahun 1944; Den-3 dan Den-4 terlaporkan di Filipina
al
dan Thailand pada tahun 1953 (Messina et al., 2014). Di Asia, serotipe
ju
Den-2 dan Den-3 mempunyai kontribusi penting dalam tingkat
er

keparahan dengue seperti infeksi sekunder yang dapat menyebabkan


ip

shock (Messer et al., 2003).


D
uk

Sampai saat ini, keempat virus dengue tersebut telah bersirkulasi


nt

sehingga beberapa wilayah telah menjadi wilayah hiperendemisitas


U

dengue. Wilayah hiperendemisitas adalah ditemukannya lebih dari satu


k

serotipe dengue yang bersirkulasi di wilayah tersebut (Rosen, 1977).


da

Indonesia, sejak tahun 1972-1992 telah terlaporkan sebaran empat


Ti

serotipe dengue (Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4). Semua serotipe


tersebut ditemukan pada penderita dengue dengan kasus ringan sampai
berat. Sirkulasi keempat serotipe tersebut berlangsung dari tahun ke
tahun, hingga 17 tahun pengamatan, serotipe Den-2 dan Den-3
mendominasi dibandingkan serotipe Den-1 dan Den-4 (Karyanti &
Hadinegoro, 2009). Penelitian di Indonesia lainnya yang mendukung
yaitu di Bandung (tahun 2005) yang melaporkan bahwa Den-2
merupakan serotipe predominan yang telah diidentifikasi (Porter et al.,

2
2005). Hal ini berbeda dengan hasil di Semarang (tahun 2013), yakni
serotipe Den-1 yang mendominasi (Fahri et al., 2013). Hasil penelitian
di Surabaya terlihat perbedaan dominansi serotipe, pada tahun 2005
dan 2010 dominan ditemukan pada Den-2 dan Den-3, sedangkan
tahun 2012 yang mendominasi Den-1 (Yohan et al., 2012).
Virus dengue menyebabkan infeksi dengan gejala (symptomatic)
atau tanpa gejala (asymptomatic). Penderita dengan gejala klinis
(symptomatic) setelah masa inkubasi akan mengalami gejala tingkat
sedang sampai berat, yang diikuti tiga fase, yaitu fase febris (demam)
– fase kritis – fase pemulihan (recovery). Fase febris (hari ke-1 sampai

an
hari ke-4-5), pada umumnya penderita akan mengalami demam

lik
tinggi yang sering disertai dengan eritema kulit, nyeri pada tubuh,

be
myalgia, athralgia, sakit kepala (Guo et al., 2017) dan beberapa kasus
al
juga disertai dengan sakit tenggorokan, mual, dan muntah. Fase kritis
ju
(setelah hari ke-4-5); jika penderita pada masa transisi demam ke
er

penurunan suhu mengalami peningkatan permiabilitas kapiler, maka


ip

dapat terjadi kebocoran plasma sehingga akan menimbulkan shock.


D

Sebaliknya, jika penderita tidak mengalami peningkatan permiabilitas


uk

kapiler, maka penderita akan membaik tanpa melalui fase kritis. Fase
nt
U

pemulihan (recovery) adalah ketika penderita mampu bertahan di fase


k

kritis (24-48 jam)(WHO, 2012).


da

Penelusuran sejarah dalam ensiklopedia medis Cina mencatat


Ti

tentang gejala klinis dengue pada tahun 992 Masehi, namun pertama
kalinya telah tercatat pada masa Dinasti Jin (265-420 M). Catatan
tersebut menjelaskan tentang penyebab dengue, yaitu “racun air” yang
berhubungan dengan serangga terbang (Anne et al., 2013). “Serangga
terbang” yang dimaksud adalah vektor penular dengue, yaitu nyamuk
Aedes aegypti sebagai vektor primer dan Ae. albopictus sebagai vektor
sekunder (WHO, 2018b). Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk
yang habitatnya banyak ditemukan di dalam rumah, pada tempat-

3
tempat penampungan air seperti bak mandi, ember, penampung sisa
air pada dispenser, kulkas, air conditioner (AC), dan kontainer bekas,
sedangkan habitat nyamuk Ae. albopictus banyak ditemukan di luar
rumah.
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk vektor ke manusia pada
saat nyamuk Aedes sp betina infektif mengisap darah manusia (proses
pematangan telur) yang dikenai. Virus dengue akan bersirkulasi
dalam darah manusia yang terinfeksi selama 2-7 hari (WHO, 2018b).
Selain itu, penularan lainnya ialah dengan cara vertikal, yaitu nyamuk
betina infektif menularkan virus dengue ke telurnya melalui proses

an
transovarial. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ditemukan virus

lik
dengue pada larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus pada keturunan

be
selanjutnya. Beberapa penelitian tentang transovarial yaitu di wilayah
al
perkotaan Malaysia bahwa Minimum Infection Rate (MIR) Ae.
ju
albopictus dan Ae. aegypti di wilayah tersebut masing-masing berkisar
er

2,35-14,3 dan 5,77-40,0 (Lee & Rohani, 2005). Hasil penelitian


ip

transovarial di laboratorium membuktikan bahwa nyamuk betina Ae.


D

aegypti dapat menularkan virus Den-2 sampai keturunan generasi


uk

ke-5 (F5) (Rohani et al., 2008). Di Indonesia, transmisi transovarial


nt
U

juga terjadi di Kabupaten Malalayang, Manado dengan angka transmisi


transovarial pada nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus sebesar 6,1-
k
da

17,1% (Sorisi et al., 2011). Hal ini membuktikan telah terjadi proses
Ti

penularan transovarial di beberapa wilayah endemis dengue.

Sebaran Dengue di Dunia


Pertama kali epidemi dengue terlaporkan pada tahun 1779-
1780 di Asia, Afrika, dan Amerika Utara, kejadian serentak pada tiga
benua ini diindikasikan bahwa virus yang dibawa oleh nyamuk vektor
telah tersebar di wilayah tropis tersebut lebih dari 200 tahun (Gubler,
1995). Bagi para pengunjung di wilayah tropis, dengue masih dianggap
bukan penyakit yang berbahaya. Pelayaran global pada abad ke-18-19

4
menyebabkan pertumbuhan kota-kota pelabuhan dan meningkatkan
urbanisasi. Hal ini menciptakan habitat yang kondusif untuk nyamuk
vektor dengue (Gubler, 2006).
Persebaran dengue awalnya berjalan sangat lambat dan jarang
ditemukan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun, setelah Perang
Dunia (PD) II terjadi ekspansi meluas, mobilitas penduduk yang
tinggi, serta pembangunan permukiman menyebabkan ditemukan
tempat perkembangbiakan potensial vektor Dengue (Gubler, 2006).
Sebelum tahun 1970, hanya sembilan negara yang telah mengalami
epidemi dengue parah. Namun, penyakit ini semakin mewabah dan

an
meluas sebarannya lebih dari 100 negara di wilayah Afrika, Amerika,

lik
Mediterania Timur, Asia Tenggara, Pasifik Barat. Wilayah yang

be
berdampak paling serius adalah Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik
al
Barat (WHO, 2018a).
ju

Beberapa wilayah lainnya juga melaporkan epidemi dengue


er
ip

pertama kali di wilayahnya seperti Filipina dan Thailand (1950)(CDC,


D

2014; Halstead, 1965); Vietnam (1958-1960)(Halstead, 1965); Karibia


uk

(1977-1981); Amerika Selatan (sejak awal tahun 1980-an); Pasifik


nt

(1979); China (1978-1980) serta Asia dan Afrika Selatan telah terjadi
U

peningkatan kasus dengue, baik dari segi frekuensi, perluasan geografi,


k

serta jumlah kasus (White & Fenner, 1994). Epidemi besar pertama
da

juga terlaporkan terjadi di Asia Tenggara (Gubler, 2006). Perkiraan


Ti

persentase jumlah penduduk yang tinggal di wilayah yang berisiko


dengue sebanyak 40% dari 2,5 miliar penduduk dunia (CDC, 2014).

5
an
lik
be
al
ju
er

Gambar 1. Sebaran Negara yang Berisiko Terinfeksi Dengue Tahun


ip

2010-2016 (WHO, 2018a)


D
uk

Dengue di Indonesia
nt
U

Asia menempati urutan tertinggi dalam jumlah penderita dengue


k

setiap tahunnya, sementara sejak tahun 1968 sampai dengan 2009,


da

WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus dengue


Ti

terbesar di Asia Selatan (Departemen Kesehatan, 2010). Di Indonesia,


kasus dengue pertama kali ditemukan sebanyak 58 kasus di Surabaya dan
DKI Jakarta tahun 1968 (Saroso, 1978). Persebaran virus dengue mulai
terlihat pada tahun-tahun berikutnya, yang awalnya hanya 2 provinsi
yang melaporkan adanya kasus dengue pada tahun 1968. Pada tahun
2009 telah terlaporkan di 32 provinsi dari 33 provinsi (Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010), sedangkan
tahun 2015 terdistribusi di seluruh provinsi (34 provinsi) Indonesia

6
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Jumlah kabupaten/kota terjangkit
dengue juga terjadi pertambahan, berturut-turut dari tahun 2011-2016
yaitu 374; 417; 412; 433; 446; 463 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2015
jumlah kabupaten/kota terjangkit mencapai 86,77% dan meningkat
menjadi 90,07% (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Peningkatan kasus
dengue dari tahun ke tahun juga semakin signifikan selama 45 tahun
sejak dilaporkan adanya kasus dengue. Insiden dengue pada tahun 1968
sebesar 0,05/100.000 menjadi 35-40/100.000 di tahun 2013 dengan
puncak kasus pada tahun 2010, yaitu 86/100.000(Karyanti et al., 2014).

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U

Gambar 2. Angka Kesakitan Demam Berdarah Dengue Indonesia Tahun


k

2010-2016 (Kementerian Kesehatan RI, 2017)


da

Data Incidence Rate (IR) atau angka insiden dengue suatu


Ti

wilayah dikategorikan menjadi tiga, yaitu (1) risiko tinggi bila IR > 55
per 100.000 penduduk; (2) risiko sedang bila IR 20-55 per 100.000
penduduk; dan (3) risiko rendah bila IR < 20 per 100.000 penduduk
(Departemen Kesehatan, 2010). Distribusi sebaran kasus dengue
secara nasional pada Gambar 2. terlihat bahwa IR dengue berfluktuasi
dari tahun 2010-2016, kasus semakin meningkat dari kategori risiko
sedang pada tahun 2015 (50,75 per 100.000 penduduk) menjadi
kategori risiko tinggi pada tahun 2016 (78,85 per 100.000 penduduk)

7
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Angka kesakitan tersebut masih di
atas IR nasional, yaitu 49 per 100.000 penduduk.
Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian akibat dengue di
Indonesia pada tahun 1968 masih tinggi, yaitu 41% dan mulai menurun
drastis pada tahun 1970 (Departemen Kesehatan, 2010). Pada tahun
2009, angka kematian nasional telah berhasil mencapai target di bawah
1%. Angka kematian dengue selama 45 tahun mengalami penurunan
signifikan dengan p-value < 0,01, pada tahun 1968 sebesar 41%, dan
tahun 2013 sebesar 0,73% (Karyanti et al., 2014). Sebaran angka
kematian dengue terbesar dengan angka di atas 1% adalah wilayah di

an
luar Pulau Jawa dan Bali. Pada tahun 2009 teridentifikasi lima wilayah

lik
dengan angka kematian tertinggi, yaitu Kep. Belitung, Bengkulu,

be
Gorontalo, Jambi, dan Maluku Utara (Departemen Kesehatan,
al
2010). Terjadi pergeseran angka kematian dengue pada tahun 2016,
ju
angka kematian di atas 1% terlaporkan di 11 provinsi, sedangkan
er

secara nasional angka kematian dengue sebesar 0,78% (Kementerian


ip

Kesehatan RI, 2017) (Gambar 3). Provinsi Gorontalo dan Maluku


D

Utara masih menjadi wilayah dengan angka kematian dengue tertinggi,


uk

yaitu di atas 2%, dan Provinsi Maluku yang berkontribusi dengan


nt
U

kematian tertinggi sebesar 5,79% (Kementerian Kesehatan RI, 2017).


k
da
Ti

8
an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

Gambar 3. Case Fatality Rate Demam Berdarah Dengue Per Provinsi Tahun
2016 (Kementerian Kesehatan RI, 2017)

9
World Health Organization (WHO) melaporkan Kejadian Luar
Biasa (KLB) dengue di Indonesia pada Januari-April 2004 sebanyak
58.301 kasus dengan 658 kematian di 293 kota/kabupaten di 17
Provinsi (WHO, 2015a). Data Ditjen PP dan PL Depkes RI tahun
2009 mencatat bahwa tahun 1998 kasus KLB menyumbang 58%
(41.843/72.133) dari total laporan kasus dengue, sedangkan tahun
2004 mulai menurun, yaitu 9,5% (7.588/79.462) dari kasus dengue
(Departemen Kesehatan, 2010). Tahun 2014 telah terlaporkan KLB
dengue di 5 provinsi, terdiri dari 7 kabupaten/kota, sedangkan awal
tahun 2015 telah terjadi KLB di 14 provinsi dengan 52 kabupaten/kota
(Kementerian Kesehatan RI, 2015). Kasus KLB kembali terlaporkan

an
pada awal tahun 2016, Direktorat Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis

lik
menyebutkan akhir Januari telah terjadi KLB di 12 kabupaten dan 3 kota
be
dari 11 provinsi, di antaranya adalah Provinsi Banten, Sumatra Selatan,
al
Bengkulu, Bali, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Papua Barat, Papua, NTT,
ju
er

Jawa Tengah, dan Sulawesi Barat (Kementerian Kesehatan, 2016).


ip
D

Dinamika Sebaran Dengue


uk

Populasi penduduk dunia semakin meningkat, hal ini seiring


nt

dengan adanya peningkatan pertumbuhan wilayah perkotaan.


U

Organisasi dunia, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),


k
da

memprediksi bahwa pertumbuhan ini akan meningkat dari 3,3 miliar


pada tahun 2007 menjadi 6,3 miliar pada tahun 2050. Peningkatan
Ti

pertumbuhan perkotaan terjadi terutama di negara-negara berkembang


yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan global. Urbanisasi
menjadi faktor penting dalam penularan suatu penyakit (Alirol et
al., 2011), terutama urbanisasi yang tidak terencana di negara-negara
berkembang; mobilitas penduduk (nasional dan internasional) yang
didukung oleh transportasi modern; serta globalisasi merupakan
fenomena yang menjadi faktor penting dalam penyebaran dengue
(Gubler, 2006; Messina et al., 2014). Hasil penelitian di Indonesia,

10
mengaitkan urbanisasi dengan penularan dengue di Kota Semarang,
selama tahun 2006-2013 terdapat kenaikan rata-rata laju pertumbuhan
penduduk dan selama itu pula terjadi kenaikan kasus dengue. Meskipun
tidak terdapat hubungan signifikan, namun secara bersama-sama
urbanisasi memengaruhi 28% kejadian DBD (Pratama & Rahayu,
2015). Walaupun begitu, hasil penelitian di Kota Semarang ini belum
dapat digeneralisasi untuk semua wilayah dan masih harus dilakukan
penelitian lebih lanjut.
Globalisasi berkontribusi dalam perkembangan segala aspek, baik
ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Bentuk globalisasi yang terlihat

an
adalah terjadinya peningkatan mobilitas penduduk dan pertukaran

lik
komoditas yang semakin mudah. Gubler melaporkan bahwa tahun

be
2011, data penumpang perjalanan udara terjadi peningkatan sebesar
al
40 kali lipat hingga pertengahan abad ke-20 dengan rute perjalanan
ju
ke beberapa wilayah endemis dengue atau sebaliknya (Gubler, 2011;
er

Murray et al., 2013). Perjalanan manusia (host) merupakan salah satu


ip

faktor terjadinya perluasan transmisi dengue, kasus impor penyakit


D

dengue terlaporkan di wilayah-wilayah nonendemis dan sebaliknya.


uk

Selain itu, faktor perdagangan melalui pelayaran (pengiriman barang)


nt
U

juga dapat menimbulkan dampak terjadinya persebaran nyamuk vektor


k

dengue (Murray et al., 2013) sehingga terjadi perluasan wilayah endemis


da

serta peningkatan jumlah kasus. Penelitian di USA dan Eropa yang


Ti

terkait dengan mobilitas penduduk menggunakan analisis model regresi


berbasis jaringan dengan mengukur beberapa variabel, yaitu volume
perjalanan penumpang, jarak, model distribusi spesies vektor, serta
data infeksi dengue. Hasilnya menunjukkan telah terjadi peningkatan
jumlah kasus dengue di kedua wilayah penelitian tersebut (Gardner et
al., 2012; Murray et al., 2013).
Wisatawan memainkan peranan penting dalam epidemiologi
penularan dengue secara global (WHO, 2011). Wisatawan yang

11
terinfeksi virus dengue dapat menularkan penyakit ini ke wilayah
yang dikunjunginya atau sebaliknya. Hal ini didukung hasil penelitian
pada wisatawan mancanegara dengan menggunakan data kunjungan
wisatawan pada GeoSentinel Surveillance Network selama Oktober
1997-Februari 2006. Hasil penelitian menyebutkan terjadinya kasus
dengue pada 522 wisatawan dari 24.920 orang (2,1%). Kasus dengue
yang terjadi pada 522 wisatawan tersebut di antaranya 12 orang
terdiagnosis positif Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue
Shock Syndrome (DSS). Jumlah kasus terbanyak adalah wisatawan
yang pulang dari negara Thailand (154); India (66); Indonesia (38); dan
Brasil (22)(Schwartz et al., 2008). Penelitian lain yang menyebutkan

an
risiko dengue pada wisatawan adalah penelitian yang menggunakan

lik
data The European Network on Surveillance of Imported Infectious
be
Diseases selama rentang tahun 2003-2005. Hasilnya menunjukkan
al
bahwa tercatat 219 wisatawan telah terinfeksi dengue, 17% di
ju
er

antaranya mengalami infeksi sekunder, dan 8% di antaranya mengalami


ip

pendarahan (Wichmann et al., 2007).


D
uk

Penutup
nt

Dengue berdasarkan sejarah merupakan penyakit lama yang


U

riwayat klinisnya dapat ditelusuri dari ensiklopedia medis di China,


k
da

awalnya tercatat pada masa Dinasti Jin (265-420 Masehi). Saat ini,
penularan dengue berjalan cepat dan persebarannya makin meluas ke
Ti

berbagai wilayah. Hal ini terkait dengan terjadinya perubahan iklim;


globalisasi; mobilitas seperti arus migrasi, urbanisasi, meningkatnya
volume perjalanan (wisatawan); perdagangan; perubahan tata guna
lahan; serta pertumbuhan wilayah perkotaan.

12
Daftar Pustaka
Alirol E, Getaz L, Stoll B, Chappuis F & Loutan L, 2011. Urbanisation
and infectious diseases in a globalised world. The Lancet Infectious
Diseases, 11(2), pp.131–141.
Anne NE, Murray, Quam MB & Wilder-Smith A, 2013. Epidemiology
of dengue: past, present and future prospects. Clinical Epidemiology,
5, pp.299–309.
CDC, 2014. Epidemiology of Dengue. Centers for Disease Control and
Prevention, 9 June 2014., Available at: www.cdc.gov. [disitasi 12
Maret 2015].

an
lik
Departemen Kesehatan, 2010. Topik Utama. Demam Berdarah Dengue

be
di Indonesia tahun 1968 – 2009., Jakarta. Available at: www.
al
depkes.go.id.
ju
er

Fahri S, Yohan B, Trimarsanto H, Sayono S, Hadisaputro S, Dharmana


ip

E, et al., 2013. Molecular Surveillance of Dengue in Semarang,


D

Indonesia Revealed the Circulation of an Old Genotype of


uk

Dengue Virus Serotype-1. PLoS Negl Trop Dis, 7(8).


nt

Gardner LM, Fajardo D, Waller ST, Wang O & Sarkar S, 2012. A


U

predictive spatial model to quantify the risk of air-travel-associated


k
da

dengue importation into the United States and Europe. Journal of


Ti

Tropical Medicine.
Gubler D, 2006. Dengue/dengue haemorrhagic fever: history and
current status. Novartis Found Symp., 277, p.3–16; discussion
16–22, 71–3, 251–3. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/.
Gubler DJ, 2011. Dengue, Urbanization and Globalization: The
Unholy Trinity of the 21st Century. Tropical Medicine and Health,
39(4SUPPLEMENT), pp.S3–S11. Available at: http://joi.jlc.jst.
go.jp/JST.JSTAGE/tmh/2011-S05?from=CrossRef.

13
Guo C, Zhou Z, Wen Z, Liu Y, Zeng C, Xiao D, et al., 2017. Global
epidemiology of dengue outbreaks in 1990–2015: A systematic
review and meta-analysis. Frontiers in Cellular and Infection
Microbiology, 7(JUL). Available at: https://www.scopus.com/
inward/record.uri?eid=2-s2.0-85027570647&doi=10.3389%2Ff
cimb.2017.00317&partnerID=40&md5=0ad16582281d5040be
2283335fc07651.
Halstead S, 1965. Dengue and hemorrhagic fevers of Southeast Asia.
Yale J Biol Med, 37(6), pp.434–454. Available at: http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/ [sitasi : 12 Juli 2016].

an
Holmes EC & Twiddy SS, 2003. The origin, emergence and evolutionary

lik
genetics of dengue virus. Infection, Genetics and Evolution, 3(1),
pp.19–28.
be
al
ju
Karyanti M, Uiterwaal C, Kusriartuti R & Hadinegoro S, 2014. The
er

Changing Incidence of Dengue Haemorragic Fever in Indonesia:


ip

a 45-year Registry-based analysis. BMC Infectious Disease, 14,


D

p.412. Available at: http://www.biomedcentral.com.


uk
nt

Karyanti MR & Hadinegoro SR, 2009. Perubahan Epidemiologi


U

Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Sari Pediatri, 10(6).


k
da

Kementerian Kesehatan, 2016. Wilayah KLB DBD ada di 11 Provinsi.


[dipublikasikan: 7 Maret 2016], Jakarta. Available at: http://www.
Ti

depkes.go.id/.
Kementerian Kesehatan RI, 2017. Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2015. Program Pengendalian DBD dan
Resistensi Insektisida. [Presentasi di MOT Penelitian Resistensi].
[disampaikan : Kasubdit Pengendalian Vektor P2B2]., Jakarta.
Lee HL & Rohani A, 2005. Transovarial transmission of dengue virus in
Aedes aegypti and Aedes albopictus in relation to dengue outbreak

14
in an urban area in Malaysia. Dengue Bulletin, 29, pp.106–111.
Messer WB, Gubler DJ, Harris E, Sivananthan K & De Silva AM, 2003.
Emergence and global spread of a dengue serotype 3, subtype III
virus. Emerging Infectious Diseases, 9(7), pp.800–809.
Messina J, Brady O & Scott T, 2014. Global Spread of Dengue Virus
Types : Mapping The 70 Year History. Trends in Microbiology,,
22(3), pp.138–146.
Murray NEA, Quam MB & Wilder-Smith A, 2013. Epidemiology of
dengue: Past, present and future prospects. Clinical Epidemiology,
5(1), pp.299–309.

an
lik
Porter KR, Becket CG, Kosasih H, Tan RI, Alisjabana B, Rudiman,

be
et al., 2005. Epdemiology of Dengue and Dengue Haemorrhagic
al
Fever in a Cohort of Adults Living in Bandung, West Java,
ju
Indonesia. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene,
er

72(1), pp.60–66.
ip
D

Pratama IP & Rahayu S, 2015. Hubungan tingkat urbanisasi dengan


uk

kejadian demam berdarah dengue(DBD) di Kota Semarang.


nt

Universitas Diponegoro. Available at: http://eprints.undip.


U

ac.id/62235/.
k
da

Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI,


Ti

2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 1968-2009.


Buletin Jendela Epidemiologi, 2, pp.1–14.
Rohani A, Zamree I, Joseph RT & Lee HL, 2008. Persistency of
transovarial dengue virus in Aedes aegypti (Linn.). Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health, 39(5), pp.813–816.
Rosen L, 1977. The Emperor’s New Clothes revisited, or reflections
on the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever. Am J Trop Med
Hyg., 26(3), p.337–43.

15
Saroso J, 1978. Dengue Haemorragic Fever in Indonesia. Asian J Infect
Dis., 2, pp.7–18.
Schwartz E, Weld LH, Wilder-Smith A, Von Sonnenburg F, Keystone
JS, Kain KC, et al., 2008. Seasonality, annual trends, and
characteristics of dengue among Ill returned travelers, 1997-2006.
Emerging Infectious Diseases, 14(7), pp.1081–1088.
Sorisi AMH, Umniyati SR & Satoto TBT, 2011. Transovarial
Transmission Index of Dengue Virus on Aedes aegypti and Aedes
albopictus Mosquitoes in Malalayang District in Manado, North
Sulawesi, Indonesia. Tropical Medicine Journal, 1(2).

an
White D & Fenner F, 1994. Flaviviridae. Medical Virology., California:

lik
Academic Press.
be
al
WHO, 2015a. Dengue Out Breaks, Geneva, Switzerland. Available at:
ju
www.who.int. [disitasi 12 Maret 2015].
er
ip

WHO, 2018a. Dengue vector. Epidemiology. [sitasi : 16/10/2018],


D

Available at: www.who.int.


uk

WHO, 2012. Handbook for clinical management of dengue. TDR. for


nt

research on diseases of poverty, Geneva, Switzerland: World Health


U

Organization Library Cataloguing-in-Publication Data. Available


k
da

at: www.who.int.
Ti

WHO, 2015b. History of Dengue. [disitasi : 10 Maret 2015], Geneva,


Switzerland. Available at: www.denguevirusnet.com.
WHO, 2011. “Monitoring Epidemiological Assesment of Mass Drug
Administration : Lymphatic Filariasis, Manual for National
Elimination Programmes”., Geneva, Switzerland.
WHO, 2018b. WHO Report on Global Surveillance of Epidemic-prone
Infectious Diseases - Dengue and dengue haemorrhagic fever. [sitasi :
15 okt 2018), Available at: www.who.int.

16
Wichmann O, Gascon J, Schunk M, Puente S, Siikamaki H, Gjørup
I, et al., 2007. Severe Dengue Virus Infection in Travelers: Risk
Factors and Laboratory Indicators. The Journal of Infectious
Diseases, 195(8), pp.1089–1096. Available at: https://academic.
oup.com/jid/article-lookup/doi/10.1086/512680.
Yohan B, Aryani, Setianingsih TY, Puspitasari D, Vitanata M & Soeharto
RTS, 2012. Dengue Virus Distribution and Clinical Manifestation
in Surabaya-Indonesia during 2012. [Sitasi : 31 Oktober 2018],
Available at: www.researchgate.net/publication/237764637.

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

17
Ti
da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
be
lik
an
BAB 2

an
BIOEKOLOGI VEKTOR DENGUE

lik
be
Asep Jajang Kusnandar dan Andri Ruliansyah
al
ju

Pendahuluan
er
ip

Satu di antara masalah kesehatan yang sampai saat ini belum dapat
D

diatasi adalah Demam Berdarah Dengue (DBD), terutama di kota-kota


uk

besar yang penduduknya padat dengan mobilitas yang tinggi. Penyakit


nt

ini disebabkan oleh virus dengue (genus Flavivirus, famili Flaviviridae),


U

ditularkan oleh nyamuk (Mosquito Borne Diseases). Demam dengue


k
da

merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh empat serotipe


Ti

virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4). Daya infeksi


keempat virus dengue ini cukup tinggi serta memiliki gejala klinis,
epidemiologi distribusi yang mirip, terutama di daerah tropis dan
subtropis di dunia (Gubler, 1998). Penularan penyakit terjadi karena
setiap kali nyamuk mengisap darah, sebelumnya akan mengeluarkan air
liur melalui saluran probosisnya agar darah yang diisap tidak membeku.
Bersama air liur inilah DENV dipindahkan dari nyamuk ke orang
lain (Gubler, 1998). Kemampuan nyamuk sebagai vektor penyakit
berhubungan langsung dengan kemampuan mengisap darah. Inilah

19
yang menyebabkan adanya perbedaan kemampuan pada setiap jenis
nyamuk untuk berperan sebagai vektor penyakit (Mellink, 1981).
Penyakit ini menjadi masalah klasik yang kejadiannya hampir
dipastikan muncul setiap tahun, terutama pada awal musim hujan.
Vektor DBD adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan
Ae. albopictus sebagai vektor potensial. Sebagai vektor primer DBD,
Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu
bentuk siklus hidup berupa telur, jentik-jentik (tahapan instar), pupa, dan
dewasa (Herms et al., 1969). Beberapa faktor yang dapat memengaruhi
siklus hidup nyamuk Aedes yaitu temperatur, kelembaban nisbi, pH,

an
intensitas cahaya, kepadatan populasi, dan makanan (Christophers,

lik
1960).

be
Meningkatnya kasus DBD dari tahun ke tahun diperlukan
al
penanganan yang tepat, serius, dan terpadu. Upaya penanganan kasus
ju

DBD di antaranya terfokus pada pengendalian vektor, yaitu memutus


er
ip

transmisi dan atau mengurangi frekuensi kontak antara nyamuk dengan


D

host. Pengendalian terhadap vektor harus sesuai sasaran sehingga efektif,


uk

efisien, dan dapat diterima di masyarakat. Oleh karena itu, informasi


nt

tentang vektor sangat dibutuhkan dalam kegiatan pengendalian. Aspek


U

bioekologi vektor seperti siklus hidup, tempat perkembangbiakan,


k

perilaku mengisap darah, perilaku istirahat, kepadatan populasi, serta


da

pengaruh faktor lingkungan (biotik dan abiotik) sangat membantu


Ti

dalam perencanaan pelaksanaan pengendalian vektor di suatu wilayah


endemis.

Siklus Hidup
Telur. Jumlah telur yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh
kualitas dan kuantitas makanan serta frekuensi gigitan nyamuk betina.
Telur Aedes memiliki morfologi yang khas bila dibandingkan dengan
nyamuk lain, yaitu berbentuk bulat lonjong yang letaknya tidak teratur

20
dan berserakan. Telur tersebut diletakkan secara terpisah di permukaan
air. Media air yang dipilih untuk tempat bertelur itu adalah air yang
bersih yang tidak mengalir dan tidak berisi spesies lain sebelumnya
(Supartha, 2008). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa Ae.
aegypti juga mampu hidup dan tumbuh normal pada air terpolusi dan
dapat menjadi tempat perindukan dan berkembangbiaknya nyamuk A.
aegypti. Kandungan media air terpolusi tanah berpengaruh terhadap
peletakan telur A. aegypti dan perkembangan jentik nyamuk Aedes
aegypti (Agustina, 2013). Pada jenis air selokan dengan karakter fisik
berwarna hitam, keruh, dan berbau menyengat, perkembangan dari
telur hingga dewasa relatif lebih lambat dibanding perkembangan pada

an
jenis air lainnya (Yahya & Warni, 2017). Daya tetas telur dipengaruhi

lik
oleh suhu, kelembaban, nutrisi (pakan darah), umur nyamuk betina,
be
dan lama penyimpanan telur (Subagyo et al., 1998). Sebuah penelitian
al
di Kota Bogor menyebutkan bahwa semakin lama telur disimpan, daya
ju
er

tetas telur semakin menurun. Daya tetas telur tertinggi terjadi pada saat
ip

umur telur berusia 0 hari, sedangkan daya tetas terendah terjadi pada
D

umur 180 hari setelah disimpan (Mursid, 2016).


uk
nt
U
k
da
Ti

21
an
lik
be
al
ju
Gambar 1. Siklus Hidup Aedes sp (Hopp & A. Foley, 2001)
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

Gambar 2. Telur Vektor DBD, Ae. aegypti (Linnaeus) (Photograph by


Rohmansyah WN-Loka Litbangkes Pangandaran)

22
Larva/Jentik-jentik. Tubuh jentik-jentik Aedes terdiri atas
tiga bagian, yaitu kepala, thorax, dan abdomen. Bagian kepala jentik-
jentik terdapat sepasang mata, sepasang antena, dan mulut; bagian
thorax terdiri dari prothorax, mesothorax, dan metathorax pada sisi
lateralnya terdapat bulu; bagian abdomen terdiri dari delapan segmen.
Ujung abdomen terdapat sifon yang berfungsi sebagai alat pernapasan,
berbentuk seperti kerucut, gemuk, dan pendek. Sifon berfungsi
menyerap oksigen melalui permukaan air, sehingga posisi jentik-jentik
akan mengikuti bentuk dan arah sifon (Nelson et al., 1976). Posisi tubuh
jentik-jentik Aedes pada waktu istirahat, sifonnya menempel pada
permukaan air secara tegak lurus. Pertumbuhan dan perkembangan

an
jentik-jentik di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh suhu, tempat

lik
keadaan air, dan kandungan zat makanan yang ada di tempat
be
perkembangbiakan (Horsfall, 1972). Stadium jentik-jentik merupakan
al
stadium penting karena gambaran jumlah jentik akan menunjukkan
ju
er

populasi dewasa. Selain itu, stadium jentik juga mudah untuk diamati
ip

dan dikendalikan karena berada di tempat perkembangbiakan.


D
uk
nt
U
k
da
Ti

Gambar 3. Jentik-jentik Ae. aegypti dan Ae. albopictus (Photograph by


Rohmansyah WN-Loka Litbangkes Pangandaran(a & Michele M. Cutwa
University of Florida—IFAS Florida Medical Entomology Laboratory(b)

23
Pupa. Fase pupa tidak memerlukan makanan, tetapi pada
stadium ini masih membutuhkan oksigen untuk metabolismenya serta
mengalami perkembangan organ-organ dan sistem tubuh nyamuk dari
fungsi kehidupan akuatik menjadi kehidupan dewasa (Horsfall, 1972).
Adapun perbedaan antara Ae. aegypti dan Ae. albopictus ada pada
bagian dayung, yaitu pada Ae. aegypti mempunyai dayung yang seperti
tunggul, sedangkan pada Ae. albopictus pada bagian dayung memiliki
bulu.

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk

Gambar 4. Pupa Aedes (Photograph by Rohmansyah WN-Loka Litbangkes


nt

Pangandaran(a & Michele M. Cutwa University of Florida—IFAS Florida


U

Medical Entomology Laboratory(b)


k
da

Nyamuk Dewasa. Setelah jadi nyamuk dewasa, Aedes banyak


Ti

mendapat perhatian dari kalangan dunia kesehatan, karena nyamuk Ae.


aegypti dan Ae. albopictus banyak menimbulkan masalah kesehatan dan
berperan sebagai vektor penyakit DBD. Perbedaan di antara Ae. aegypti
dan Ae. albopictus tidak terlalu mencolok, karena mempunyai ciri-  ciri yang
sama. Namun, apabila diamati secara seksama, pada Ae. aegypti mempunyai
sepasang garis lengkung (bentuk lyre) pada tepinya dan sepasang garis
putih submedian di tengah pada bagian punggungnya, sedangkan pada
Ae. albopictus mempunyai satu strip putih memanjang yang sempit.

24
Selain itu, pada bagian kaki Ae. aegypti memiliki basal putih, sedangkan
pada Ae. albopictus memiliki pita basal putih dengan tarsi segmen 5
sepenuhnya putih.

an
lik
be
Gambar 5. Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus (Photograph by Asep
Jajang K(a & Rohmansyah WN-Loka Litbangkes Pangandaran(b)
al
ju

Tempat Perkembangbiakan
er
ip

Kontainer adalah tempat penampungan air (TPA) atau bejana


D

yang digunakan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes


uk

sp. Keberadaan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp banyak


nt

ditemukan di lingkungan permukiman, seperti barang-barang bekas,


U

ember, tempat alas pot bunga, lubang di celah-celah kolam, akuarium tak
k
da

terpakai, dan masih banyak yang lainnya. Kontainer yang paling disukai
Ti

untuk menyimpan dan meletakkan telurnya di antaranya adalah bak


mandi, selain itu ember juga menjadi salah satu kontainer yang banyak
ditemukan positif jentik-jentik. Karakteristik kontainer seperti letak,
volume dan sumber air, jenis, bahan, dan warna juga memengaruhi
keberadaan nyamuk vektor Aedes sp. Penelitian di Kabupaten Sumedang
menyebutkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jenis, bahan,
warna, dan letak kontainer, serta kondisi penutup, pencahayaan
matahari, volume dan sumber air terhadap keberadaan jentik-jentik Ae.
aegypti (Kursianto, 2017).

25
an
lik
be
al
ju
Gambar 6. Macam-macam Tempat Perkembangbiakan Aedes sp (Photograph
er

by Andri Ruliansyah – Loka Litbang Kesehatan Pangandaran)


ip
D

Bahan Kontainer. Jenis bahan kontainer merupakan suatu keadaan


uk

dinding permukaan kontainer. Pemilihan tempat bertelur nyamuk Aedes


nt

sp dipengaruhi oleh bahan dasar kontainer, karena telur diletakkan


U

menempel pada dinding tempat penampungan air. Jenis bahan dasar


k

kontainer paling berisiko terhadap keberadaan jentik-jentik Aedes sp,


da

yaitu semen, kemudian logam, tanah, keramik, dan plastik. Hal ini
Ti

terjadi karena bahan semen mudah berlumut, permukaannya kasar, dan


berpori-pori pada dindingnya. Permukaan kasar memiliki kesan sulit
dibersihkan, mudah ditumbuhi lumut, dan refleksi cahaya yang rendah.
Refleksi cahaya yang rendah dan permukaan dinding yang berpori-pori
mengakibatkan suhu dalam air menjadi rendah sehingga jenis bahan
TPA yang demikian akan disukai oleh nyamuk Aedes Aegypti sebagai
tempat perindukkannya (Badrah & Hidayah, 2011).

26
Letak Kontainer. Letak kontainer merupakan keadaan ketika
kontainer diletakkan, baik di dalam maupun di luar rumah. Hasil
penelitian di New Delhi melaporkan bahwa kontainer yang terletak
di dalam rumah berpeluang lebih besar ditemukan jentik-jentik
dibandingkan dengan kontainer yang terletak di luar rumah (Singh
et al., 2011). Kondisi ini sesuai dengan kesukaan nyamuk untuk
beristirahat di tempat-tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di
dalam rumah atau bangunan yang terlindung dari sinar matahari secara
langsung.
Volume Kontainer. Nyamuk Aedes sp meletakkan telurnya

an
pada batas air atau sedikit di atas batas air pada dinding kontainer,

lik
jarang sekali di bawah permukaan air, serta tidak akan meletakkan

be
telurnya bila di dalam kontainer tidak terdapat air. Knox et al (2007)
al
melaporkan bahwa terdapat hubungan antara volume kontainer dengan
ju
jumlah jentik-jentik yang dihasilkan. Kontainer dengan volume besar
er

(>50 liter) akan menjadi tempat perkembangbiakan jentik-jentik yang


ip

kondusif karena air tersebut akan berada cukup lama di kontainer dan
D

perlu rentang waktu yang lama dalam proses pengeringan. Kondisi ini
uk

banyak ditemui pada wilayah-wilayah yang kekurangan air sehingga


nt
U

masyarakat membuat tandon penampungan air, terutama saat musim


k

hujan.
da

Keberadaan Penutup Kontainer. Keberadaan penutup


Ti

kontainer erat kaitannya dengan keberadaan jentik Aedes sp. Kegiatan


Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan pengelolaan lingkungan
hidup, yaitu 3M, salah satunya dilakukan dengan menutup kontainer
rapat-rapat agar nyamuk tidak dapat masuk untuk meletakkan telurnya
(Depkes RI, 2005). Nyamuk Aedes sp akan mudah untuk meletakkan
telurnya pada kontainer yang terbuka sehingga ada kecenderungan yang
signifikan kontainer yang terbuka (84%) akan menyebabkan nyamuk
bebas masuk ke dalam kontainer untuk berkembang biak (Hasyimi et
al., 2009).
27
Sumber Air Kontainer. Sumber air kontainer yang dimaksudkan
adalah asal air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari yang ditampung pada kontainer, baik berasal dari air sumur gali/
artesis dan air PDAM. Tersedianya air dalam wadah akan menyebabkan
telur nyamuk Ae. aegypti menetas dan setelah 10-12 hari berubah
menjadi nyamuk (Ayuningtyas, 2013). Nyamuk Aedes sp lebih suka
meletakkan telurnya pada air yang jernih dan tidak suka meletakkan
telurnya pada air yang kotor/keruh serta bersentuhan langsung dengan
tanah. Tempat perkembangbiakan nyamuk ini sangat dekat dengan
manusia yang menggunakan air bersih sebagai kebutuhan sehari-hari.
Kondisi kontainer berhubungan dengan keberadaan jentik Ae. aegypti

an
dengan air yang jernih lebih banyak terdapat jentik-jentik Ae. aegypti

lik
(Setyobudi, 2011).
be
al
Perilaku dan Kepadatan Vektor
ju
er

Perilaku Mencari Pakan Darah. Kemampuan nyamuk menjadi


ip

vektor sangat berkaitan dengan populasi dan aktivitas mengisap darah


D

yang diperlukan oleh nyamuk betina untuk proses pematangan telur


uk

demi melanjutkan keturunannya (Sigit & Hadi, 2006). Nyamuk Aedes


nt

sp bersifat antropofilik dan perilaku mengisap darah nyamuk terjadi


U

setiap dua-tiga hari sekali pada pagi sampai sore hari, yakni pada pukul
k
da

08:00-12:00 dan pukul 15:00-17:00 WIB. Nyamuk betina untuk


mendapatkan darah yang cukup, sering mengisap darah lebih dari satu
Ti

kali (multiple bitter) (Gubler, 1998). Hasil penelitian di Kabupaten


Bogor (Hadi et al., 2012) dan di Pangandaran (Prasetyowati et al.,
2014) menunjukkan bahwa Ae. aegypti dapat mengisap darah baik
pada siang hari maupun malam hari (nokturnal). Selain itu, penelitian
di lokasi lain juga menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti ditemukan
mencari pakan pada malam hari (nokturnal) Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan (2011), Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan
Timur (2012), Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (2015), dan

28
Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan (2016) (Ridha et al.,
2018), begitu pula Malaysia bagian utara, baik Ae. aegypti maupun Ae.
albopictus ditemukan juga mengisap darah pada malam hari (Dieng et
al., 2010). Aktivitas mengisap darah nyamuk ini dapat berubah oleh
pengaruh angin, suhu, dan kelembaban udara.
Perilaku Istirahat. Nyamuk Aedes sp memerlukan istirahat setelah
proses mengisap darah inang sekitar 2-3 hari untuk mematangkan
telurnya di tempat-tempat yang kondusif (Soegijanto, 2012). Tempat
istirahat yang paling disukai adalah tempat yang lembab, gelap seperti
kelambu, di bawah tempat tidur, tirai, baju yang menggantung, serta

an
kamar mandi. Tempat istirahat nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus

lik
yaitu di semak-semak dan tanaman rendah seperti rerumputan yang

be
terdapat di halaman, kebun, dan pekarangan rumah. Hasil penelitian di
al
Bogor, jumlah nyamuk Ae. aegypti istirahat lebih dominan ditemukan
ju
di dalam rumah (54,05%), berbeda dengan Ae. albopictus lebih banyak
er

ditemukan istirahat di luar rumah (85,71%) (Fadilla et al., 2015). Hal


ip

tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Panama (Perich et


D

al., 2000) dan India (Tandon & Ray, 2000) yang menunjukan bahwa
uk

nyamuk Ae. aegypti bersifat endofilik, nyamuk ini banyak ditemukan


nt
U

di dalam rumah seperti pada pakaian yang digantung, gorden, jendela,


k

dinding, lemari, bagian bawah meja, kursi, dan peralatan rumah tangga.
da

Kepadatan Populasi. Estimasi kepadatan nyamuk Aedes sp di suatu


Ti

wilayah dapat dihitung menggunakan indeks entomologi, di antaranya


adalah Angka Bebas Jentik (ABJ). House Indeks (HI) merupakan
parameter entomologi yang paling banyak digunakan untuk memantau
tingkat investasi, tetapi indeks ini tidak memperhitungkan jumlah
kontainer positif atau produktivitas kontainer tersebut. Demikian
pula, Container Indeks (CI) hanya memberikan informasi tentang
proporsi kontainer penampung air yang positif. Sedangkan Breateau
Indeks (BI) digunakan untuk mengetahui hubungan antara kontainer

29
positif di rumah, dan dianggap sebagai parameter entomologi yang
paling informatif, tetapi sekali lagi tidak ada refleksi produktivitas dari
kontainer. Namun demikian, dalam proses pengumpulan informasi
dasar untuk menghitung BI, bisa digunakan untuk mendapatkan
data tentang kondisi dan karakteristik dari habitat larva dengan
mendapatkan status kelimpahan relatif dari berbagai jenis kontainer,
baik sebagai kondisi potensial maupun kepadatan larva yang sebenarnya
(misalnya jumlah drum positif per 100 rumah, jumlah ban positif per
100 rumah, dll). Data ini sangat relevan dalam upaya fokus untuk
manajemen pengendalian habitat larva berbasis masyarakat (WHO,
2011). Parameter entomologi Aedes sp tersebut mempunyai relevansi

an
langsung dengan dinamika penularan penyakit DBD (Kinansi et

lik
al., 2017). Tingkat ambang batas investasi vektor yang merupakan
be
pemicu terjadinya transmisi dengue dipengaruhi oleh banyak faktor,
al
di antaranya kepadatan vektor termasuk umur nyamuk dan status
ju
er

imunologi manusia (Sigit & Hadi, 2006). Beberapa penelitian


ip

menunjukan bahwa indeks entomologi Aedes sp merupakan parameter


D

yang banyak digunakan untuk melihat kepadatan vektor DBD, seperti


uk

di Kota Cimahi (Santoso et al., 2010); Kota Tasikmalaya (Riandi et


nt

al., 2017); Kabupaten Sumedang yang wilayah endemis DBD-nya


U

mempunyai kepadatan kategori sedang (Kursianto, 2017); dan Jakarta


k
da

(Ramadhani & Astuty, 2013).


Ti

Peran Faktor Lingkungan Terhadap Kehidupan Vektor


Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor
adalah faktor abiotik dan biotik. Faktor biotik seperti predator, parasit,
kompetitor, dan makanan yang berinteraksi dalam kontainer sebagai
habitat akuatiknya pradewasa (jentik-jentik) sangat berpengaruh
terhadap keberhasilannya menjadi dewasa (nyamuk). Keberhasilan itu
juga ditentukan oleh kandungan air kontainer seperti bahan organik,
komunitas mikroba, dan serangga air yang ada dalam kontainer itu

30
juga berpengaruh terhadap siklus hidup Aedes sp. Faktor abiotik juga
tidak kalah penting dalam memengaruhi populasi nyamuk Aedes sp di
alam seperti curah hujan, temperatur, tutupan lahan, ketinggian, serta
evaporasi.
Curah Hujan. Di Indonesia perkembangan nyamuk dipengaruhi
oleh karakteristik dan distribusi curah hujan di suatu wilayah.
Semakin banyak hari hujan dengan intensitas normal, mengakibatkan
perkembangan nyamuk cenderung meningkat, namun sebaliknya
pada intensitas curah hujan normal akan tetapi hari hujannya relatif
sedikit, perkembangan nyamuk cenderung berkurang (Suryana, 2006).

an
Banyaknya lahan kosong, baik di perkotaan maupun pedesaan yang

lik
biasa digunakan sebagai tempat pembuangan sampah, seperti kaleng

be
bekas, botol bekas air mineral, ban bekas, dan lain-lain akan menjadi
al
tempat berisiko untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes sp jika datang
ju
musim hujan. Curah hujan dapat meningkatkan transmisi penyakit
er

yang ditularkan oleh vektor dengan cara memacu proliferasi tempat


ip

berkembang biak, tetapi juga dapat mengeliminasi tempat berkembang


D

biak dengan cara menghanyutkan vektor (Gharbi et al., 2011).


uk
nt

Penelitian di Kota Palembang menyebutkan bahwa terdapat korelasi


U

antara curah hujan dan peningkatan jumlah kasus DBD yang dirawat.
k

Korelasi mulai terjadi satu bulan sebelum puncak curah hujan, meningkat
da

saat puncak curah hujan, dan menurun satu bulan sesudahnya. Bulan
Ti

serta tanggal curah hujan berimpitan dengan prevalensi kasus DBD


yang dirawat. Anomali bulan puncak hujan diikuti perubahan puncak
prevalensi DBD (Iriani, 2012). Hal tersebut sejalan dengan penelitian
di Thailand bahwa transmisi dengue berkorelasi dengan curah hujan,
temperatur, serta kelembaban. Efek curah hujan terhadap prevalensi
dengue sangat penting untuk diteliti karena diperlukan sebagai alat
untuk meramalkan variasi insiden dan risiko yang berhubungan dengan
dampak perubahan iklim (Wiwanitkit, 2006).

31
Suhu dan Kelembaban. Suhu dan kelembaban udara merupakan
faktor lingkungan yang memengaruhi perkembangan jentik-jentik
nyamuk Ae. aegypti. Pada umumnya, nyamuk akan meletakkan telurnya
pada temperatur sekitar 20-30°C. Toleransi terhadap suhu tergantung
pada spesies nyamuk. Telur nyamuk tampak telah mengalami embriosasi
lengkap dalam waktu 72 jam dalam temperatur udara 25-30°C. Rata-
rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27°C dan
pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang
dari 10°C atau lebih dari 40°C. Kelembaban udara juga merupakan
salah satu kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi perkembangan
jentik-jentik nyamuk Ae. aegypti. Kelembaban udara yang berkisar 81,5-

an
89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi

lik
dan ketahanan hidup embrio nyamuk (Yudhastuti & Vidiyani, 2005).
be
Temperatur dan kelembaban nisbi udara selama musim hujan sangat
al
kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk dewasa, yang juga
ju
er

meningkatkan kemungkinan hidup nyamuk yang terinfeksi virus


ip

dengue (Ruliansyah et al., 2011). Penelitian Serang, Banten (Alizkan,


D

2017) dan Gunung Kidul (Djati et al., 2012) menyebutkan bahwa


uk

terdapat korelasi yang bermakna antara tingkat kelembaban udara


nt

dengan angka kejadian kasus DBD.


U
k

Tutupan Lahan. Perubahan penggunaan lahan yang cepat


da

dari kawasan pertanian menjadi kawasan nonpertanian serta pola


Ti

pemukiman penduduk menyebabkan semakin memudahkan


penyebaran nyamuk (Wijaya & Sukmono, 2017). Pemanfaatan lahan
untuk pemukiman memiliki keterkaitan yang sangat erat terhadap
persebaran DBD, hal tersebut menyangkut habitat nyamuk Aedes
sp berkembang biak. Permukiman yang padat, tingkat sanitasi yang
rendah, dan kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan yang
kurang akan meningkatkan risiko transmisi virus dengue oleh nyamuk
Aedes sp (Ruliansyah et al., 2011). Perubahan tutupan hutan dan lahan
tidak langsung menyebabkan peningkatan DBD, melainkan satu tahun

32
setelah konversi baru terlihat dampak yang terjadi. Suatu penelitian di
Provinsi Lampung menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata
antara tutupan lahan dengan insiden DBD pada tahun 2003, 2010,
dan 2014 (Mustika et al., 2004). Selain itu, terdapat hubungan antara
perubahan luasan hutan, luasan kebun campuran, luasan pertanian
lahan kering, dan luasan semak belukar terhadap prevalensi penyakit
DBD di Kabupaten Tanggamus (Zulhaidir, 2014).
Ketinggian. Ketinggian merupakan faktor penting yang membatasi
penyebaran Ae. Aegypti. Di India nyamuk ini tersebar mulai dari
ketinggian 0 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Di dataran

an
rendah (kurang dari 500 meter) tingkat populasi nyamuk dari sedang

lik
hingga tinggi, sementara di daerah pegunungan (lebih dari 500 meter)

be
populasi rendah. Wilayah Asia Tenggara, ketinggian 1000-1500 meter
al
menjadi batas untuk distribusi Ae. Aegypti. Namun, pemanasan global
ju
menyebabkan terjadinya peningkatan suhu pada daerah pegunungan
er

sampai hampir 1°C lebih tinggi. Hal ini menyebabkan populasi Ae.
ip

aegypti yang hidupnya dibatasi temperatur pada ketinggian 1000 meter


D

ternyata juga dapat ditemukan pada ketinggian 1100 meter di Mexico,


uk

dan 2200 meter di Pegunungan Andes Colombia (Epstein, 2001).


nt
U

Saat ini penyebaran dengue yang terkait dengan vektornya tidak hanya
k

terpusat di wilayah tropis, namun sudah meluas ke daerah-daerah


da

beriklim dingin (Sembel, 2009).


Ti

Sebuah penelitian di Kota Padang menyebutkan bahwa secara


statistik terdapat hubungan antara ketinggian dengan angka kejadian
DBD, yakni hubungannya berpola negatif yang artinya semakin rendah
ketinggian tempat maka akan semakin meningkat angka kejadian DBD
(Handayani et al., 2015). Hal ini sejalan dengan penelitian di Kota
Gorontalo bahwa terdapat hubungan signifikan antara DBD dengan
ketinggian tempat. Pada ketinggian > 100 mdpl ditemukan penyebaran
Ae. aegypti di Kota Gorontalo, tetapi tidak merata. Ketinggian tempat

33
merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada
perkembangan nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor DBD (Boekoesoe,
2013).
pH Air. Kelangsungan hidup jentik-jentik dipengaruhi oleh pH
air, di samping fertilitas telur itu sendiri, sehingga telur nyamuk yang
sudah berada dalam tempat penampungan air menjadi tempat yang
optimal untuk berkembang biak sehingga hal ini dapat meningkatkan
kepadatan jentik-jentik nyamuk (Budiman, 2016). pH air yang
terlalu asam atau terlalu basa akan mudah mengakibatkan kematian
jentik. pH yang terlalu asam diduga akan menghambat pertumbuhan

an
plankton sedangkan diketahui bahwa plankton merupakan salah satu

lik
sumber makanan terbesar bagi jentik-jentik. Dengan berkurangnya

be
sumber makanan bagi jentik-jentik, maka peluang jentik-jentik
al
untuk mempertahankan hidupnya sangatlah kecil (Hadi et al.,
ju
2009). Hal lain yang diduga erat hubungannya antara keadaan pH
er

dan keberadaan jentik-jentik yaitu pembentukan enzim sitokrom


ip

oksidase di dalam tubuh jentik-jentik yang berfungsi dalam proses


D

metabolisme. Pembentukan enzim tersebut sangatlah dipengaruhi oleh


uk

tinggi rendahnya kadar oksigen yang terlarut dalam air. Suasana yang
nt
U

terlalu asam akan menyebabkan pesatnya pertumbuhan mikroba yang


k

juga akan menyebabkan kadar oksigen dalam air berkurang. Keadaan


da

seperti itulah yang diduga menghambat pembentukan enzim sitokrom


Ti

oksidase dalam tubuh jentik-jentik (Hidayat et al., 1997).


Jentik-jentik Ae. aegypti dapat hidup dalam wadah yang mengandung
air dengan pH 5,8-8,6 dan tahan terhadap air yang mengandung kadar
garam dengan konsentrasi 0-0,7‰ (Hoedojo, 1993). Jentik-jentik
akan mati pada pH ≤3 dan ≥ 12 (Clark et al., 2004) dan pertumbuhan
jentik-jentik secara optimal terjadi pada kisaran pH 6,0-7,5 (Hidayat
et al., 1997). Dalam penelitian lain menyebutkan Ae. aegypti dapat
berkembang pada berbagai kondisi pH air dengan rentang pH 4 – pH

34
10. Nyamuk Ae. aegypti betina gravid I dapat melakukan oviposisi pada
pH 3 – pH 10. Oviposisi nyamuk betina gravid I dengan persentase
tertinggi yaitu pH 9 (22,75%) dan terendah yaitu pH 4 (5,93%). Larva
Instar II dapat berkembang pada pH 4 – pH 10. Perkembangan larva
tertinggi terjadi pada pH 9 (83,33%) dan persentase perkembangan
larva terendah pada pH 4 (40,83%) (Anggraini & Cahyati, 2017).

Penutup
Nyamuk Ae. aegypti dikenal sebagai vektor utama DBD
karena inang utamanya adalah manusia, sedangkan Ae. albopictus
mempunyai banyak inang alternatif selain manusia. Kedua spesies itu

an
menyukai air jernih untuk media peletakan telur dan kelangsungan

lik
hidup pradewasanya. Imago Ae. aegypti lebih memilih habitat di
be
dalam rumah sementara Ae. albopictus di luar rumah. Sampai saat ini,
al
populasi vektor DBD masih sangat tinggi dan penyebarannya semakin
ju
er

meluas. Saat ini, dinamika perubahan lingkungan sangat cepat sehingga


ip

dibutuhkan pemahaman terhadap bioekologi nyamuk. Pengetahuan


D

dan pemahaman tentang bioekologi vektor sangat diperlukan bagi upaya


uk

pengendalian vektor yang efektif dan efisien sehingga populasi vektor


nt

DBD di alam dapat ditekan dan pada akhirnya dapat menurunkan


U

angka kasus DBD.


k
da

Daftar Pustaka
Ti

Agustina E, 2013. Pengaruh Media Air Terpolusi Tanah Terhadap


Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Biotik, 1(2),
pp.103–107.
Alizkan U, 2017. Analisis Korelasi Kelembaban Udara Terhadap
Epidemi Demam Berdarah yang Terjadi di Kabupaten dan Kota
Serang. Gravity: Jurnal Ilmiah Penelitian dan Pembelajaran Fisika,
3(1), pp.23–29.

35
Anggraini TS & Cahyati WH, 2017. Perkembangan Aedes aegypti
Pada Berbagai PH Air dan Salinitas Air. HIGEIA Journal, 1(3),
pp.1–10.
Ayuningtyas ED, 2013. Perbedaan Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Berdasarkan Karakteristik Kontainer di Daerah Endemis Demam
Berdarah Dengue (Studi Kasus di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota
Semarang Tahun 2013). [Thesis] Universitas Negeri Semarang.
Badrah S & Hidayah N, 2011. Hubungan Antara Tempat Perindukan
Nyamuk Aedes Aegypti dengan Kasus Demam Berdarah Dengue
di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam

an
Paser Utara. J. Trop. Pharm. Chem., 1(2), pp.150–157.

lik
Boekoesoe L, 2013. Kajian Faktor Lingkungan Terhadap Kasus Demam
be
Berdarah Dengue (DBD) Studi Kasus di Kota Gorontalo Provinsi
al
ju
Gorontalo. [Disertasi] Universitas Negeri Gorontalo.
er

Budiman, 2016. Hubungan Pelaksanaan Kegiatan 3M Dengan


ip
D

Kepadatan Jentik Aedes aegypti Di Kelurahan Kawua Kabupaten


uk

Poso. Jurnal Kesehatan Tadulako, 2(2), pp.1–8.


nt

Christophers R, 1960. Aedes aegypti (L.) The Yellow Fever Mosquito


U

Its Life History, Bionomics And Structure, London: Cambridge


k
da

University Press.
Ti

Clark TM, Flis BJ & Remold SK, 2004. pH tolerances and regulatory
abilities of freshwater and euryhaline Aedine mosquito larvae. The
Journal of experimental biology, 207(Pt 13), pp.2297–2304.
Depkes RI, 2005. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam
Berdarah Dengue, Jakarta: Ditjen P2M&PLP Depkes RI.
Dieng H, Saifur RGM, Hassan AA, Che Salmah MR, Boots M, Satho
T, et al., 2010. Indoor-breeding of Aedes albopictus in northern

36
peninsular Malaysia and its potential epidemiological implications.
PLoS ONE, 5(7), pp.1–9.
Djati RAP, Santoso B & Satoto TBT, 2012. Hubungan Faktor Iklim
Dengan Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Gunung Kidul
Tahun 2010. Jurnal Ekologi Kesehatan, 11(3), pp.230–239.
Epstein PR, 2001. Climate change and emerging infectious diseases.
Microbes and infection, 3(9), pp.747–754.
Fadilla Z, Hadi U & Setiyaningsih S, 2015. Bioekologi vektor demam
berdarah dengue (DBD) serta deteksi virus dengue pada Aedes
aegypti (Linnaeus) dan Ae. albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae)

an
di kelurahan endemik DBD Bantarjati, Kota Bogor. Jurnal

lik
Entomologi Indonesia, 12(1), pp.31–38.
be
al
Gharbi M, Quenel P, Gustave J, Cassadou S, Ruche G La, Girdary L, et
ju
al., 2011. Time series analysis of dengue incidence in Guadeloupe,
er

French West Indies: Forecasting models using climate variables as


ip
D

predictors. BMC Infectious Diseases, 11, p.166.


uk

Gubler DJ, 1998. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical


nt

Microbiology Reviews, 11(3), pp.480–496.


U

Hadi UK, Sigit SH & Agustina E, 2009. Habitat jentik Aedes aegypti
k
da

(Diptera: Culicidae) pada Air Terpolusi di Laboratorium. Prosiding


Ti

Seminar Nasional Hari Nyamuk 2009, (10 Agustus 2009), pp.1–


13.
Hadi UK, Soviana S & Gunandini DD, 2012. Aktivitas nokturnal
vektor demam berdarah dengue di beberapa daerah di Indonesia
Nocturnal biting activity of dengue vectors in several areas of
Indonesia. Jurnal Entomologi Indonesia, 9(1), pp.1–6.
Handayani S, Fannya P, Roza SH & Angelia I, 2015. Analisis Spasial
Temporal Hubungan Kepadatan Penduduk Dan Ketinggian

37
Tempat Dengan Kejadian DBD Kota Padang. Jurnal Kesehatan
Medika Saintika, 8(1), pp.25–34.
Hasyimi M, Harmany N & Pangestu, 2009. Tempat-Tempat Terkini
yang Disenangi Untuk Perkembangbiakan Vektor Demam
Berdarah Aedes sp. Media Litbang Kesehatan, 19(2), pp.71–76.
Herms WB, James MT & Harwood RF, 1969. Herms’s Medical
entomology, [New York: Macmillan.
Hidayat, Santoso L & Suwasono H, 1997. Pengaruh pH Air Perindukan
Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Aedes aegypti Pra
Dewasa. Cermin Dunia Kedokteran, 119, pp.47–49.

an
lik
Hoedojo, 1993. Vektor demam berdarah dengue dan upaya

be
penanggulangannya. Majalah parasitologi Indonesia, 6(1), pp.31–
al
44.
ju
er

Hopp M & A. Foley J, 2001. Global-scale relationships between climate


ip

and the dengue fever vector, Aedes aegypti. Climatic Change, 48,
D

pp.441–463.
uk

Horsfall WR, 1972. Mosquitoes, their bionomics and relation to disease,


nt

New York: Hafner Publishing Company.


U
k

Iriani Y, 2012. Hubungan antara Curah Hujan dan Peningkatan Kasus


da

Demam Berdarah Dengue Anak di Kota Palembang. Sari Pediatri,


Ti

13(6), pp.378–383.
Kinansi RR, Widjajanti W & Ayuningrum FD, 2017. Kepadatan jentik
vektor demam berdarah dengue di daerah endemis di Indonesia
(Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Papua).
Jurnal Ekologi Kesehatan, 16(1), pp.1–9.
Kursianto, 2017. Kajian Kepadatan Dan Karakteristik Habitat Larva
Aedes Aegypti Di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. [Tesis] Institut
Pertanian Bogor.

38
Mellink J, 1981. Selection for bloodfeeding efficiency in colonized
Aedes aegypti. Mosq.News, 41(1), pp.119–125.
Mursid S, 2016. Daya Tetas Telur Aedes aegypti Berdasarkan Lama
Penyimpanan Di Kota Bogor. [Thesis] Institut Pertanian Bogor.
Mustika AA, Bakri S & Wardani DWSR, 2004. Perubahan Penggunaan
Lahan Di Provinsi Lampung Dan Pengaruhnya Terhadap Insidensi
Demam Berdarah Dengue (DBD). Jurnal Sylva Lestari, 4(3),
pp.35–46.
Nelson MJ, Pant CP, Self LS & Usman S, 1976. Observations on the
breeding habitats of Aedes aegypti (L.) in Jakarta, Indonesia. The

an
Southeast Asian journal of tropical medicine and public health, 7(3),

lik
pp.424–429.
be
al
Perich MJ, Davila G, Turner A, Garcia A & Nelson M, 2000. Behavior
ju
of resting Aedes aegypti (Culicidae: Diptera) and its relation to
er

ultra-low volume adulticide efficacy in Panama City, Panama.


ip
D

Journal of medical entomology, 37(4), pp.541–546.


uk

Prasetyowati H, Marina R, Hodijah DN, Widawati M & Wahono T,


nt

2014. Survey Jentik dan Aktivitas Noktural Aedes SPP Di Pasar


U

Wisata Pangandaran. Jurnal Ekologi Kesehatan, 13(1), pp.33–42.


k
da

Ramadhani MM & Astuty H, 2013. Kepadatan dan Penyebaran Aedes


Ti

aegypti Setelah Penyuluhan DBD di Kelurahan Paseban, Jakarta


Pusat. eJournal Kedokteran Indonesia, 1(1), pp.10–14.
Riandi MU, Hadi UK & Soviana S, 2017. Karakteristik Habitat dan
Keberadaan Larva Aedes spp . pada Wilayah Kasus Demam
Berdarah Dengue Tertinggi dan Terendah di Kota Tasikmalaya.
Aspirator, 9(1), pp.43–50.
Ridha MR, Fadilly A & Rosvita NA, 2018. Aktivitas nokturnal Aedes
( Stegomyia ) aegypti dan Ae . ( Stg ) albopictus ( Diptera :

39
Culicidae ) di berbagai daerah di Kalimantan Nocturnal activity of
Aedes ( Stegomyia ) aegypti and Ae . ( Stg ) albopictus ( Diptera :
culicidae ) in several area in K. Journal of Health Epidemiology and
Communicable Diseases (JHECDs), 3(2), pp.50–55.
Ruliansyah A, Gunawan T & Juwono S, 2011. Pemanfaatan Citra
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk
Pemetaan Daerah Rawan Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus
di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa
Barat). Aspirator, 3(2), pp.72–81.
Santoso B, Hakim L, Prasetyowati H & K AJ, 2010. Bionomik Ae.

an
aegypti di Kota Cimahi, Pangandaran.

lik
Sembel DT, 2009. Entomologi Kedokteran, Yogyakarta: Penerbit Andi.
be
al
Setyobudi A, 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
ju
Keberadaan Jentik Nyamuk di Daerah Endemik DBD di
er

Kelurahan Sananwetan Kecamatan Sananwetan Kota Blitar. In


ip
D

Peran Serta Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia.


uk

Tasikmalaya: FKM Universitas Siliwangi, pp. 273–283.


nt

Sigit SH & Hadi UK, 2006. Hama Pemukiman Indonesia : Pengenalan,


U

Biologi, Dan Pengendalian Bogor., Unit Kajian Pengendalian


k
da

Hama Permukiman (UKPHP).


Ti

Singh RK, Mittal PK, Yadav NK, Gehlot OP & Dhiman RC, 2011.
Aedes aegypti indices and KAP study in Sangam Vihar, south
Delhi, during the XIX Commonwealth Games, New Delhi, 2010.
Dengue Bulletin, 35, pp.131–140.
Soegijanto S, 2012. Demam Berdarah Dengue, Surabaya: Airlangga
University Press.
Subagyo Y, S S, Rosmanida & Sulaiman, 1998. Dinamika Populasi
Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang

40
Tinggi di Kotamadya Surabaya. Kedokteran Tropis Indonesia, 9,
pp.1–2.
Supartha IW, 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam
Berdarah Dengue , Aedes aegypti ( Linn .) dan Aedes albopictus
( Skuse )( Diptera : Culicidae ). Pertemuan Ilmiah Universitas
Udayana, (September), pp.3–6.
Suryana N, 2006. Interpretasi citra dan factorfaktor yang mempengaruhi
penyebaran Demam Berdarah (DBD) studi kasus kota bandung.
[thesis] Institut Teknologi Bandung.
Tandon N & Ray S, 2000. Host feeding pattern of Aedes aegypti and

an
Aedes albopictus in Kolkata, India. Dengue Bulletin, 24, pp.117–

lik
120.
be
al
WHO, 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of
ju
dengue and dengue haemorrhagic fever World Health Organization,
er

ed., new Delhi: SEARO Technical Publication Series.


ip
D

Wijaya AP & Sukmono A, 2017. Estimasi Tingkat Kerawanan Demam


uk

Berdarah Dengue Berbasis Informasi Geospasial. Jurnal Geografi,


nt

14(1), pp.40–53.
U

Wiwanitkit V, 2006. An observation on correlation between rainfall


k
da

and the prevalence of clinical cases of dengue in Thailand. Journal


Ti

of vector borne diseases, 43(2), pp.73–76.


Yahya & Warni SE, 2017. Daya Tetas dan Perkembangan Larva Aedes
aegypti Menjadi Nyamuk Dewasa pada Tiga Jenis Air Sumur Gali
dan Air Selokan. Jurnal Vektor Penyakit, 11(1), pp.9–18.
Yudhastuti R & Vidiyani A, 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan,
Kontainer, Dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik
Nyamuk Aedes Aegypti Di Daerah Endemis Demam Berdarah
Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 1(2), pp.170–
183.
41
Zulhaidir, 2014. Studi Perubahan Ekologis Makro: Dampak Perubahan
Penggunaan Lahan Terhadap Prevalensi Penyakit Tubercolusis Paru,
Demam Berdarah Dengue, Dan Malaria Di Kabupaten Tanggamus.
[Thesis] Universitas Lampung.

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

42
BAB 3

an
TRANSMISI TRANSOVARIAL:

lik
be
MEKANISME VIRUS DENGUE al
DALAM MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI DIRI
ju

DI ALAM
er
ip
D

Tri Wahono
uk

Pendahuluan
nt
U

Indonesia merupakan daerah endemik Demam Berdarah Dengue


k

(DBD). Sejak pertama kali ditemukan di Kota Surabaya tahun


da

1968, angka kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) memiliki


Ti

kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Persebaran


virus dengue mulai terlihat pada tahun-tahun berikutnya, yang awalnya
hanya dua provinsi yang melaporkan adanya kasus dengue pada tahun
1968, pada tahun 2009 telah terlaporkan di 32 provinsi dari 33 provinsi,
dan data terakhir menunjukkan bahwa DBD telah dinyatakan endemik
di seluruh provinsi di Indonesia (Kemenkes RI, 2015). Kejadian Luar
Biasa (KLB) atau epidemi DBD hampir terjadi setiap tahun di daerah

43
yang berbeda dan sering kali berulang di wilayah yang sama. Secara
nasional, kejadian DBD berulang setiap lima tahun (Suroso, 2004).
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang tergolong
Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae.
Berdasarkan sifat antigenisitasnya virus terdiri dari 4 serotipe, yaitu DEN-
1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 (Henchal & Putnak, 1990). Virus dengue
ditularkan oleh nyamuk vektor, yaitu Ae. aegypti sebagai vektor utama
DBD, karena nyamuk ini bisa menjadi reservoir maupun amplifier
host bagi virus dengue (Borucki et al., 2002). Selain Ae. aegypti, di
beberapa wilayah di Indonesia Ae. albopictus dan Ae. scutellaris juga

an
berperan sebagai vektor. Ketiga jenis nyamuk Aedes ini memang tersebar

lik
luas di wilayah tropis dan subtropis, bahkan jenis nyamuk Ae. aegypti

be
dan Ae. albopictus ini hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia
al
(Sigit et al., 2006). Dalam tubuh nyamuk Ae. aegypti, virus dengue
ju
dapat tumbuh dan berkembang biak tanpa menimbulkan kematian
er

pada nyamuk karena tidak terbentuk cytopathic effect (Yotopranoto


ip

et al., 1998). Virus dengue mampu bereplikasi dalam tubuh nyamuk


D

dalam jaringan ovarium dan embrio tanpa ada efek yang merusak
uk

(Borucki et al., 2002).


nt
U

Secara epidemiologi kejadian suatu penyakit dipengaruhi oleh tiga


k

faktor utama, yaitu agen, host atau inang, dan lingkungan. Pada kasus
da

transmisi infeksi virus dengue terdapat tiga faktor yang memegang


Ti

peranan, yaitu virus dengue sebagai agen, manusia sebagai inang, dan
vektor perantara yaitu nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor utama dan
Ae. albopictus sebagai co-vektor (Mardihusodo et al., 2007). Kondisi
lingkungan yang sesuai juga turut mendukung terjadinya transmisi
infeksi dengue.

44
Mekanisme Transmisi Virus Dengue
Transmisi atau penularan virus dengue dapat secara horizontal
dengan melalui vertebra infektif dan nyamuk, maupun secara vertikal
atau transovarial pada nyamuk (Halstead, 2008). Transmisi virus dengue
secara horizontal berlangsung dari nyamuk vektor ke dalam tubuh
vertebrata (manusia dan kelompok kera tertentu) dan sebaliknya dari
vertebrata ke dalam tubuh vektor. Transmisi horizontal pada nyamuk
Ae. aegypti dapat berlangsung di hutan (sylvan cycle) dengan monyet
sebagai inangnya dan di perkotaan (urban cycle) dengan manusia
sebagai inangnya.

an
Nyamuk mendapatkan virus pada saat melakukan gigitan pada

lik
manusia (vertebrata) yang pada saat itu sedang mengandung virus

be
dengue di dalam darahnya (viremia). Virus yang sampai ke dalam
al
lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau
ju
berkembang biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai
er

di kelenjar ludah. Virus yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk
ip

dimasukkan ke dalam kulit tubuh manusia melalui gigitan nyamuk .


D
uk
nt
U
k
da
Ti

Gambar 1. Dua macam transmisi horizontal virus dengue, silvan cycle dengan
primata sebagai inangnya dan urban cycle dengan manusia sebagai inangnya
(Whitehead et al., 2007)

45
Transmisi vertikal atau transovarial terjadi tanpa adanya perantara
inang vertebrata. Mekanisme transmisi vertikal hanya terjadi dalam
tubuh nyamuk. Virus dengue dapat ditularkan oleh nyamuk betina ke
telurnya (transovarial), yang nantinya akan menjadi nyamuk dengan
tingkat infeksi yang bisa melebihi 80% (Beaty & Marquardt, 2004).
Transmisi vertikal terjadi sesuai dengan siklus hidup nyamuk, yaitu
nyamuk betina yang telah terinfeksi bertelur di microniches, kemudian
telur berkembang menjadi larva dan pupa yang terinfeksi virus dengue
dan akhirnya muncul sebagai nyamuk dewasa infektif yang masuk
dalam siklus transmisi manusia-nyamuk-manusia.

an
Nyamuk betina yang telah infektif akan menurunkan virus kepada

lik
semua tahap perkembangan siklus hidup nyamuk, baik telur, larva,

be
pupa, dan dewasa. Dalam keadaan habitat hidupnya kering, semua
al
pradewasa Ae. aegypti akan mati, kecuali telur masih dapat bertahan
ju
hidup antara tiga bulan sampai satu tahun. Telur Ae. aegypti akan
er

menetas bila cukup air terutama pada saat musim hujan (Supartha,
ip

2008). Telur Ae. aegypti mampu bertahan terhadap kekeringan


D

selama lima bulan pada suhu ruang dengan persentase tetas telur yang
uk

menurun setiap bulannya (Setiyaniingsih & Alfiah, 2014). Virus dengue


nt
U

secara eksperimental pernah terbukti dapat ditransfer dari induk yang


k

terinfeksi ke kapsula dan sel telurnya. Virus tersebut juga dapat diisolasi
da

dari larva dan nyamuk generasi berikutnya (Rosen, L.;Gubler, 1974).


Ti

46
an
lik
be
al
ju
er
ip
D

Gambar 2. Siklus hidup Aedes aegypti (Sigit et al., 2006).


uk
nt

Mekanisme transmisi transovarial arbovirus pada nyamuk menurut


U

Leake (1984) ada tiga macam, yaitu:


k
da

1. Nyamuk betina yang belum terinfeksi mengisap darah inang


Ti

viremik, kemudian virus mengalami replikasi dalam nyamuk. Telur


yang terinfeksi tersebut menghasilkan larva yang infeksiosa,
2. Nyamuk betina yang belum terinfeksi kawin dengan nyamuk
jantan yang terinfeksi secara transovarial. Selama nyamuk kawin
terjadi penularan secara seksual yang berakibat ovarium nyamuk
betina terinfeksi virus,
3. Jaringan ovarium nyamuk betina mengalami infeksi virus dan
kondisi ini terpelihara sampai generasi berikutnya secara genetik.

47
Transmisi Transovarial di Indonesia
Transmisi transovarial virus dengue di Indonesia di alam
dibuktikan oleh Umniyati di Kelurahan Klitren, Yogyakarta dengan
metode Imunositokimia-imunoperoksidase streptavidin biotin complex
(IISBC) pada sediaan pencet kepala (head squash) (Umniyati, 2004).
Penelitian selanjutnya dengan metode yang sama oleh Widiarti di Kota
Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Sukoharjo ditemukan
adanya transmisi DBD secara transovarial dengan persentase angka
infeksi (infection rate) berkisar 0,66 - 8,77%, juga oleh Mardihusodo
di beberapa kelurahan Kota Yogyakarta juga ditemukan telah terjadi

an
transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, dengan angka infeksi 38,5 –

lik
70,2% (Widiarti; Boewono, DT; Widyastuti, 2009; Mardihusodo et

be
al., 2007). Setelah terbukti adanya transmisi transovarial di beberapa
al
daerah tersebut mulai banyak penelitian di berbagai tempat untuk
ju
membuktikan adanya transmisi transovarial di daerah lain.
er

Gustiansyah (2008) melaporkan transmisi transovarial virus


ip
D

dengue di dua daerah berbeda, yaitu daerah endemis dan sporadik


uk

dengan indeks transmisi transovarial 19,4 - 25,0% pada daerah


nt

endemis dan 2,8 - 8,3% pada daerah sporadik di Sampit, Kotawaringin


U

Timur (Kalimantan Tengah), dengan catatan daerah endemis


k

dengue mempunyai indeks transmisi transovarial yang lebih tinggi


da

dibandingkan pada daerah yang sporadik dengue. Penelitian Umniyati


Ti

selanjutnya juga melaporkan indeks transmisi transovarial virus dengue


di Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta pada periode
November berturut-turut sebesar 10,86%, 29,31%, dan 16,16%
(Umniyati, 2009). Sementara itu, di daerah lain Hartanti melaporkan
adanya bukti transmisi transovarial di daerah endemis dengue di
Kecamatan Tebet, Jakarta dengan indeks transmisi transovarial sebesar
20% (Monica Dwi Hartanti and Ingrid A.Tirtadjaja, 2010). Pramestuti
juga melaporkan adanya transmisi transovarial di beberapa lokasi di

48
Kabupaten Banjarnegara, yaitu di enam kecamatan dengan kasus DBD
baru, yaitu Kecamatan Kutabanjarnegara, Parakancanggah, Klampok,
Wanadadi, Tapen, dan Singamerta (Pramestuti et al., 2013). Dari enam
kecamatan tersebut didapatkan hasil positif transmisi transovarial pada
Kecamatan Kutabanjarnegara, Parakancanggah, dan Wanadadi.
Transmisi transovarial juga dilaporkan di beberapa daerah di
Sulawesi seperti yang dilaporkan oleh Sorisi di Kecamatan Malalayang,
Kota Manado (Sorisi et al., 2010). Lidiasani et al. (2016) melaporkan
di Kelurahan Kombos Barat, Kecamatan Singkil, Kota Manado dengan
indeks transmisi transovarial berkisar antara 39,1-70%. Dua daerah

an
tersebut merupakan daerah endemis DBD di Kota Manado. Trovancia

lik
et al. (2016) membuktikan adanya transmisi transovarial virus dengue

be
di Kota Manado dengan Teknik imunohistokimia SBPC. Deteksi
al
dilakukan pada nyamuk liar Ae. aegypti dan ditemukan sebanyak
ju
12,2 % positif virus dengue. Berbeda halnya dengan penelitian Rini
er

(2015) yang bertujuan melihat perbedaan ekspresi virus dengue


ip

melalui transmisi transovarial pada daerah endemis dan nonendemis


D

di Kota Semarang, hasilnya menunjukkan ada perbedaan signifikan


uk

antara ekspresi virus dengue melalui transmisi transovarial pada daerah


nt
U

endemis dan nonendemis dengue.


k

Wasilah (2015) juga melakukan penelitian untuk melihat


da

perbandingan status entomologi vektor dengue di daerah endemis


Ti

urban dan daerah endemis rural di Kabupaten Kulon Progo. Hasilnya


menunjukkan bahwa transmisi transovarial di daerah endemis urban
(Gadingan, Wates) sebesar 11,43%, lebih tinggi dibandingkan di daerah
rural (Siwalan, Sentolo) sebesar 4,89%. Putri (2017) juga melakukan
deteksi transmisi transovarial di Kampung Inggris, Kecamatan Pare,
Kota Kediri. Hasilnya menunjukkan bahwa secara imunohistokimia
terdapat nyamuk positif virus dengue sebesar 46,43% dan secara Reverse
Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) terdapat angka

49
infeksi minimum 71,43 untuk DEN-4 dan 35,71 untuk DENV-3.
Kampung Inggris sendiri merupakan daerah endemis dengan jumlah
kasus DBD paling banyak pada tahun 2016 di Kecamatan Pare, Kota
Kediri. Berikut adalah tabel rekapitulasi deteksi transmisi transovarial
yang sudah dilakukan di Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1. Deteksi Transmisi Transovarial di Indonesia
Peneliti Tahun Lokasi
Umniyati 2004 Kelurahan Klitren, Kota Yogyakarta
Widiarti 2006 Kabupaten Semarang, Kendal,
Sukoharjo
Mardihusodo 2007 Kota Yogyakarta

an
Gustiansyah 2008 Kecamatan Sampit,

lik
Kabupaten Kotawaringin Timur

be
Umniyati 2009 Kota Bantul, Kabupaten Sleman,
al
Kota Yogyakarta
ju
Sucipto 2009 Kota Pontianak
er

Hartanti 2010 Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan


ip

Riandini 2010 Kota Pekanbaru


D

Sorisi 2011 Kota Malalayang, Manado


uk

Saranani 2012 Kota Kendari


nt
U

Prametuti 2013 Kecamatan Kutabanjarnegara,


Parakancanggah, Wanadadi,
k
da

Kabupaten Banjarnegara
Rini 2015 Kecamatan Mijen, Kota Semarang
Ti

Karyadi 2015 Kecamatan Sangatta Utara, Kutai


Timur
Wasilah 2015 Kelurahan Gedangan, Kecamatan
Wates, Kelurahan Siwalan, Keca-
matan Sentolo
Lidiasani 2016 Kelurahan Kombos Barat,
Kecamatan Singkil, Kota Manado
Trovancia 2016 Kota Manado
Putri 2017 Kampung Inggris, Kecamatan Pare,
Kota Kediri

50
Dari berbagai penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa transmisi
transovarial telah terdeteksi pada hampir seluruh wilayah Indonesia.
Mulai dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi sudah terdeteksi adanya
transmisi transovarial di berbagai daerah yang merupakan daerah
endemis dengue. Wilayah lain kemungkinan besar juga terjadi
transmisi transovarial hanya saja belum ada yang melakukan penelitian
di wilayah tersebut. Selain mendeteksi transmisi transovarial di alam,
beberapa penelitian di Indonesia telah membuktikan adanya transmisi
transovarial secara laboratoris dengan cara menginfeksi virus dengue
pada nyamuk Ae. aegypti. Umniyati telah membuktikan adanya
transmisi transovarial dan transstadial pada telur, larva, pupa, dan

an
nyamuk dewasa Ae. aegypti yang telah diinfeksi dengan virus dengue

lik
secara per-oral menggunakan teknik imunositokimia (Umniyati, 2009).
be
al
Seran dan Prasetyowati membuktikan transmisi transovarial dengan
ju
mendeteksi keberadaan antigen virus dengue dari telur nyamuk yang
er

telah diinfeksi virus dengue DEN-2 secara per-oral. Deteksi antigen


ip

virus dengue dilakukan pada telur Ae. aegypti betina dewasa generasi F2
D

hasil kolonisasi sampel telur dari nyamuk Ae. aegypti (F1) betina yang
uk

terbukti terinfeksi virus DEN-2 secara per-oral. Hasil menunjukkan


nt
U

bahwa terdapat adanya transmisi transovarial pada telur dengan indeks


k

transmisi transovarial sebesar 52% (Desiree & Prasetyowati, 2012).


da

Satoto et al. (2013) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh


Ti

suhu dan kelembapan terhadap transmisi virus DEN-2 dalam tubuh


nyamuk Ae. aegypti. Infeksi dilakukan pada kelompok nyamuk Ae.
aegypti betina (F0) secara per-oral dan diamati transmisi transovarial
sampai generasi F2. Hasil penelitian menunjukkan indeks transmisi
transovarial sebesar 93,3% pada generasi F0 dan 82,2% pada generasi
F1. Transmisi transovarial juga terbukti ditemukan pada semua stadium
(telur-larva-pupa-dewasa) dari nyamuk induk Ae. aegypti betina
dewasa yang diinfeksi dengan virus DEN-3 secara per-oral (Setya,
2015; Wahono, 2017) .

51
Peranan Transmisi Transovarial
dalam Endemisitas Dengue
Transmisi transovarial virus dengue pada awalnya dianggap
tidak berperan bagi epidemiologi dengue tetapi hasil penelitian
menunjukkan hal yang lain. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
adanya transmisi transovarial virus dengue pada nyamuk Ae. aegypti
di Malaysia berperan dalam meningkatkan dan mempertahankan
epidemik dengue. Transmisi transovarial virus dengue pada nyamuk
Ae. albopictus terdeteksi 7-41 hari sebelum kasus dengue pertama kali
dilaporkan (Lee & Rohani, 2005). Hal tersebut senada dengan yang

an
disampaikan oleh Thavara bahwa transmisi transovarial virus dengue
berpotensi meningkatkan kemungkinan wabah dengue atau setidaknya

lik
memberikan kontribusi untuk terpeliharanya virus dengue di suatu
be
daerah endemis (Thavara et al., 2006). Nyamuk betina yang telah
al
ju
terinfeksi bertelur di microniches, tempat sebagian besar telur bertahan
er

hidup melalui musim inter-epidemi, muncul sebagai nyamuk dewasa


ip

yang kemungkinan masuk dalam siklus manusia-nyamuk-manusia.


D

Generasi berikutnya yang diperoleh dari induk nyamuk yang terinfeksi


uk

menunjukkan bahwa virus tersebut dapat bertahan dalam generasi


nt

nyamuk berikutnya melalui transovarian passage (Gubler, 1998).


U

Nyamuk yang terinfeksi secara transovarial mempunyai kemampuan


k
da

menularkan virus dengue secara oral melalui kelenjar ludah kepada


Ti

seorang individu sehat (Lee & Rohani, 2005).


Beberapa penelitian secara laboratoris hasilnya menunjukkan
adanya kecocokan dengan argumentasi tersebut. Joshi melaporkan hasil
eksperimennya di laboratorium bahwa virus DEN-3 secara persisten
ditularkan secara transovarial yang meningkat frekuensinya sampai
F7 kemudian tetap (persisten) infeksinya pada generasi-generasi (F)
berikutnya (Joshi et al., 2002). Rohani et al. (2008) juga membuktikan
secara laboratoris bahwa transmisi transovarial bisa bertahan sampai

52
generasi ke-5 pada nyamuk Ae. aegypti yang diinfeksi dengan virus
dengue serotipe 2 secara per-oral. Hasil penelitian ini memberikan
indikasi bahwa transmisi transovarial berpotensi sebagai pendukung
pemeliharaan endemisitas DBD, dengan nyamuk Ae. aegypti berlaku
sebagai reservoir virus dengue sepanjang waktu.
Saat ini, transmisi transovarial virus dengue merupakan fenomena
penting yang menjadi penyebab bertahannya virus dengue selama
periode inter-epidemic di alam (Angel & Joshi, 2008). Transmisi
transovarial tampaknya berpotensi sebagai pendukung untuk inisiasi
KLB, atau minimal berperan sebagai faktor persistensi endemisitas

an
DBD di suatu wilayah (Joshi et al., 2002). Transmisi transovarial

lik
pada daerah endemis dan nonendemis menunjukkan perbedaan yang

be
signifikan. Transmisi transovarial pada daerah endemis lebih tinggi
al
daripada transmisi transovarial di daerah nonendemis (Gustiansyah,
ju
2008; Putri, 2017).
er
ip

Umniyati (2009) menyatakan bahwa telur-telur yang diletakkan


D

pada akhir musim hujan sebelumnya akan menetas pada awal musim
uk

hujan berikutnya. Jika telur tersebut berasal dari induk infeksius, maka
nt

sebagian telur tersebut berpeluang untuk terinfeksi secara transovarial


U

selama stadium telur yang berlangsung selama berbulan-bulan. Telur


k

yang menetas pada musim hujan berikutnya tersebut berpeluang besar


da

menjadi larva yang infeksius dan selanjutnya menjadi nyamuk yang


Ti

infeksius virus dengue walaupun belum pernah menggigit dan mengisap


darah inang infeksius virus dengue. Mulyatno (2012) melaporkan
transmisi vertikal pada larva lapangan menunjukkan hasil yang lebih
tinggi saat musim hujan. Faktor ini kemungkinan yang berperan dalam
mempertahankan keberadaan DEN 1 dan 2 melewati musim kemarau
di Indonesia. Tidak seperti negara-negara kontinental yang mengalami
pergantian serotipe dengue, pada negara kepulauan seperti Indonesia

53
transmisi transovarial cenderung memainkan peran utama dalam
pemeliharaan keberadaan virus dengue di suatu wilayah (Satoto et al.,
2014).

Penutup
Transmisi transovarial merupakan suatu mekanisme virus dengue
dalam mempertahankan keberadaannya di alam. Transmisi transovarial
terbukti berperan penting dalam meningkatkan dan mempertahankan
epidemik dengue di suatu wilayah. Transmisi transovarial virus dengue
dianggap sebagai penyebab bertahannya virus dengue selama periode
inter-epidemic di alam. Transmisi transovarial tampaknya berpotensi

an
besar sebagai pendukung untuk inisiasi kejadian luar biasa atau minimal

lik
berperan sebagai faktor persistensi endemisitas DBD di suatu wilayah.
be
al
Daftar Pustaka
ju

Angel B & Joshi V, 2008. Distribution and seasonality of vertically


er
ip

transmitted dengue viruses in Aedes mosquitoes in arid and semi-


D

arid areas of Rajasthan, India. Journal of Vector Borne Diseases,


uk

45(1), pp.56–9.
nt

Beaty BJ & Marquardt W, 2004. The Biology of Disease Vectors 2nd ed.,
U

Academic Press.
k
da

Borucki MK, Kempf BJ, Blitvich BJ, Blair CD & Beaty BJ, 2002. La
Ti

Crosse virus: Replication in vertebrate and invertebrate hosts.


Microbes and Infection, 4(3), pp.341–50.
Desiree M & Prasetyowati H, 2012. Transmisi transovarial virus dengue
pada telur nyamuk Aedes aegypti ( L .). Aspirator, 4(2), pp.53–58.
Gubler DJ, 1998. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clinical
microbiology reviews.

54
Gustiansyah M, 2008. Bukti Adanya Transmisi Transovarial Virus
Dengue pada nyamuk Aedes aegypti (Diptera; Culicidae) di Sampit,
Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah. Program Studi
Ilmu Kedokteran Tropis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Halstead SB, 2008. Dengue Virus–Mosquito Interactions. Annual
Review of Entomology.
Henchal EA & Putnak JR, 1990. The Dengue Viruses. Clinical
Microbiology Reviews, 3(4), pp.376–96.
Joshi V, Mourya DT & Sharma RC, 2002. Persistence of dengue-3
virus through transovarial transmission passage in successive

an
generations of Aedes aegypti mosquitoes. American Journal of

lik
Tropical Medicine and Hygiene.
be
al
Kemenkes RI, 2015. Profil Kesehatan Indonesia, Available at: http://www.
ju
depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
er

indonesia/profil-kesehatan-Indonesia-2015.pdf.
ip
D

Lee HL & Rohani A, 2005. Transovarial transmission of dengue virus in


uk

Aedes aegypti and Aedes albopictus in relation to dengue outbreak


nt

in an urban area in Malaysia. Dengue Bulletin, 29, pp.106–21.


U

Mardihusodo S., Satoto T, Mulyaningsih B, Umniyati S & Ernaningsih,


k
da

2007. Bukti Adanya Penularan Virus Dengue secara Transovarial


Ti

pada Nyamuk Aedes aegypti di Kota Yogyakarta. In Simposium


Nasional Aspek Biologi Molekuler, Patogenesis, Manajemen, dan
Pencegahan KLB. Yogyakarta: Pusat Studi Bioteknologi UGM.
Monica Dwi Hartanti and Ingrid A.Tirtadjaja S, 2010. Dengue virus
transovarial transmission by Aedes aegypti. Universa Medicina,
29(2), pp.65–70.
Pramestuti N, Widiastuti D & Raharjo J, 2013. Transmisi transovari
virus Dengue pada nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus

55
di Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Ekologi Kesehatan, 12(3),
pp.187–194.
Putri N, 2017. Detection Of Transovarial Dengue Virus Transmission In
Aedes Aegypti Mosquitoes From Kampung Inggris, Pare, Kediri, East
Java. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rosen, L.;Gubler D, 1974. The use of mosquitoes to detect and
propagate dengue viruses. The American journal of tropical medicine
and hygiene, 23(6), pp.1153–1160.
Satoto TBT, Umniyati SR, Astuti FD, Wijayanti N, Gavotte L, Devaux
C, et al., 2014. Assessment of vertical dengue virus transmission in

an
Aedes aegypti and serotype prevalence in Bantul, Indonesia. Asian

lik
Pacific Journal of Tropical Disease, 4(S2), pp.S563–S568.
be
al
Setiyaniingsih R & Alfiah S, 2014. Pengaruh Suhu Penyimpanan
ju
Terhadap Presentase Tetas Telur Aedes Aegypti Di Laboratorium.
er

journal Vektora, 6, pp.9–12.


ip
D

Setya A, 2015. Deteksi Transmisi Transovarial Virus DEN 3 pada Semua


uk

Stadium Aedes aegypti secara Imunositokimia dengan Konfirmasi


nt

RT-PCR. Universitas Negeri Surakarta. Surakarta.


U

Sigit SH, Hadi UK, Koesharto FX, Soviana S, Gunandini DJ, Yusuf S,
k
da

et al., 2006. Hama pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan


Ti

Pengendalian 1st ed., Bogor: Institut Pertanian Bogor.


Sorisi AMH, Umniyati SR & Satoto TBT, 2010. Transovarial
transmission index of dengue virus on Aedes aegypti and Aedes
albopictus mosquitoes in Malalayang District in Manado, North
Sulawesi, Indonesia. Tropical Medicine Journal, 01(02), pp.87–95.
Supartha IW, 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam
Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus

56
(Skuse)(Diptera: Culicidae). Makalah disampaikan dalam Seminar
DiesUnud 2008.
Suroso T, 2004. Situasi Epidemiologi dan Program Pemberantasan DBD
di Indonesia. In Seminar Kedokteran Tropis, Kajian KLB Demam
Berdarah Dengue dari Biologi Molekuler hingga Pemberantasannya.
Pusat Kedokteran Tropis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Thavara U, Siriyasatien P, Tawatsin A, Asavadachanukorn P,
Anantapreecha S, Wongwanich R, et al., 2006. Double infection
of heteroserotypes of dengue viruses in field populations of Aedes
aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) and serological

an
features of dengue viruses found in patients in southern Thailand.

lik
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health.

be
Umniyati S, 2004. Preliminary Investigation on The Transovarial
al
ju
Transmission of Dengue Virus in The Population Ae. sp aegypti
er

in The Well. In Seminar Peringatan Hari Nyamuk IV. Surabaya.


ip
D

Umniyati SR, 2009. Teknik Imunositokimia dengan Antibodi Monoklonal


uk

DSSC7 untuk Kajian Patogenesis Infeksi dan Penularan Transovarial


nt

Virus Dengue serta Surveilans Virologis Vektor Dengue. Universitas


U

Gadjah Mada.
k
da

Wahono T, 2017. Pengaruh Lama Penyimpanan Telur Dan Umur


Nyamuk Terhadap Derajat Infeksi Transovarial Virus Dengue Pada
Ti

Nyamuk Aedes aegypti. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.


Whitehead SS, Blaney JE, Durbin AP & Murphy BR, 2007. Prospects
for a dengue virus vaccine. Nature Reviews Microbiology, 5, p.518.
Widiarti; Boewono, DT; Widyastuti U, 2009. Deteksi antigen virus
dengue pada progeni vektor demam berdarah dengan metode
imunohistokimia. Buletin Penelitian Kesehatan, 37(3), pp.126–
136.

57
Yotopranoto S, Subekti R, Rosmanida & Salamun, 1998. Analisis
Dinamika Populasi Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam
Berdarah Dengue yang Tinggi di Kotamadya Surabaya. Majalah
Kedokteran Tropis Indonesia, 9, pp.23–31.

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

58
BAB 4

an
INSEKTISIDA DALAM PENGENDALIAN VEKTOR

lik
be
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) al
ju
Nurul Hidayati Kusumastuti, Firda Yanuar Pradani
er
ip

Pendahuluan
D

Upaya pengendalian vektor mengacu pada Peraturan Menteri


uk

Kesehatan RI (Permenkes) Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tanggal


nt

17 Maret 2010 tentang pengendalian vektor yang mengatur beberapa


U

hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan, perizinan, pembiayaan dan


k
da

peran serta masyarakat, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan


Ti

pengawasan pengendalian vektor (Dirjen P2PL, 2012). Pengendalian


vektor sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan cara
kimia, fisika, biologi, dan pengelolaan lingkungan. Cara kimia yang
dilakukan untuk penanggulangan wabah DBD (kegiatan pengendalian
vektor) yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan insektisida
sintetis, baik itu kelompok sintetik piretroid maupun insektisida sintetis
lainnya. Cara kimia yang telah dilakukan program meliputi penggunaan
larvasida dan fogging, sedangkan di masyarakat menggunakan
insektisida rumah tangga.

59
Pendekatan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) perlu diterapkan
yang salah satu prinsipnya adalah penggunaan insektisida merupakan
pilihan terakhir dan dilakukan secara rasional serta bijaksana.
Insektisida yang digunakan harus mendapat izin dari Menteri Pertanian
atas saran atau pertimbangan Komisi Pestisida (KOMPES) dan
memerhatikan petunjuk teknis WHO. Pengendalian vektor dengan
menggunakan insektisida harus memerhatikan beberapa aspek, yaitu
efektif terhadap serangga sasaran, teknologi aplikasinya, keamanan bagi
kesehatan masyarakat, petugas dan lingkungan. Insektisida, selain dapat
memutus rantai penularan penyakit juga memberikan dampak negatif
jika penggunaannya kurang bijak, antara lain menimbulkan kematian

an
organisme bukan sasaran, masalah lingkungan, dan timbulnya resistensi

lik
vektor (Dirjen P2PL, 2012). Pada bab ini selanjutnya akan dibahas lebih
be
terperinci tentang penggolongan cara kerja dan penggunaan insektisida
al
di rumah tangga.
ju
er

Penggolongan dan Cara Kerja Insektisida


ip
D

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang


uk

Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Insektisida,


nt

definisi insektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta
U

jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk memberantas atau


k
da

mencegah hewan yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.


Insektisida kesehatan masyarakat adalah insektisida yang digunakan
Ti

untuk pengendalian vektor penyakit dan hama permukiman seperti


nyamuk, serangga pengganggu lain (lalat, kecoa/lipas), dan lain-lain
yang dilakukan di wilayah permukiman endemis, pelabuhan, bandara,
dan tempat-tempat umum lainnya (Dirjen P2PL, 2012).
Insektisida menurut jenis dibagi menjadi beberapa, antara lain
berdasarkan cara masuk ke dalam tubuh serangga, insektisida dapat
dibedakan atas racun pernapasan (fumigants), racun kontak, dan racun
perut. Racun pernapasan (fumigants) digunakan untuk membunuh

60
serangga tanpa harus memerhatikan bentuk mulutnya, insektisida
ini berbentuk gas. Penggunaan fumigants harus hati-hati, terutama
penggunaan di ruang tertutup. Insektisida sebagai racun kontak,
yang terpenting adalah kontak antara serangga yang ingin dibunuh
dengan insektisida yang digunakan. Insektisida sebagai racun perut
berarti insektisida harus masuk melalui sistem pencernaan. Cara kerja
insektisida dalam tubuh serangga terbagi menjadi lima kelompok, yaitu
mengganggu sistem syaraf, menghambat produksi energi, memengaruhi
sistem endokrin, menghambat produksi kutikula, dan menghambat
keseimbangan air. Mengetahui cara kerja insektisida akan bermanfaat
dalam memilih dan merotasi insektisida yang ada untuk mendapatkan

an
hasil yang optimal dalam rangka pengelolaan resistensi (Sigit et al.,

lik
2006).
be
al
Insektisida berdasarkan bahan kimia merupakan kelompok
ju
pestisida yang terbesar dan terdiri atas beberapa subkelompok kimia
er

yang berbeda. Untuk jenis insektisida nyamuk, bahan kimia yang


ip

digunakan antara lain Organoklorin, Organofosfat, Karbamat,


D

Piretroid, DEET dan nabati. Organoklorin merupakan chlorinated


uk

hydrocarbon yang secara kimiawi tergolong insektisida yang relatif stabil


nt
U

dan kurang reaktif, ditandai dengan dampak residunya yang lama terurai
k

di lingkungan. Satu di antara insektisida organoklorin yang terkenal


da

adalah DDT yang telah menimbulkan banyak perdebatan. Kelompok


Ti

organoklorin merupakan racun terhadap susunan syaraf, baik pada


serangga maupun mamalia. Keracunan dapat bersifat kronis dan akut.
Semua insektisida golongan ini telah terbukti menginduksi hepatoma
pada binatang percobaan (mencit). Pada burung predator, DDT
berdampak mengurangi ketebalan kulit telur burung predator sehingga
mengurangi populasi burung tersebut. Sebagian besar organoklorin
seperti aldrin, klordan, DDT, dieldrin, endrin, heptaklor, mirex, dan
toksafen telah dilarang penggunaannya di sebagian besar negara di
dunia karena alasan kesehatan dan kerusakan lingkungan. Insektisida

61
ini mempunyai waktu paruh yang panjang sehingga meskipun telah
dihentikan pemakaiannya, insektisida ini masih terdapat di lingkungan
sampai beberapa tahun kemudian. Di Indonesia sejak tahun 1996,
insektisida golongan ini telah dilarang untuk digunakan sebagai
insektisida rumah tangga (Lu, 1995).
Organofosfat merupakan ester asam fosfat atau asam tiofosfat.
Insektisida ini mempunyai waktu paruh yang bervariasi tergantung pada
derajat keasaman (pH). Waktu paruh pada pH netral berkisar beberapa
jam untuk diklorvos hingga beberapa minggu untuk parathion,
sedangkan pada pH sedikit asam waktu paruh ini akan meningkat

an
beberapa kali (Chemical Safety Information from Intergovernmental

lik
Organizations, 2008). Organofosfat umumnya merupakan racun

be
pembasmi serangga yang paling toksik terhadap binatang bertulang
al
belakang seperti ikan, burung, cicak, dan mamalia yang bekerja
ju
memblokade penyaluran impuls syaraf dengan mengikat enzim
er

asetilkolinesterase. Akibatnya terjadi penumpukan asetilkolin yang


ip

meningkatkan aktivitas syaraf, dengan gejala mulai dari sakit kepala


D

hingga kejang-kejang otot dan kelumpuhan. Di Indonesia, insektisida


uk

Organofosfat jenis diklorvos dan klorfirifos telah dilarang sejak tahun


nt
U

2007 (Departemen Pertanian RI, 2007).


k

Karbamat merupakan ester asam N-metilkarbamat. Bekerja


da

menghambat asetilkolinesterase seperti insektisida Organofosfat, tetapi


Ti

pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak berlangsung lama, karena


prosesnya cepat dan reversible. Kondisi ini jika timbul gejala tidak
bertahan lama dan cepat kembali normal. Insektisida kelompok ini
dapat bertahan dalam tubuh antara 1-24 jam (Lu, 1995). Insektisida
karbamat jenis propoksur masih digunakan sebagai insektisida rumah
tangga dengan waktu paruh sekitar empat jam, sehingga kandungan
propoksur cepat hilang tetapi tetap berbahaya jika terjadi akumulasi
(Raini, 2009).

62
Piretroid. Jenis insektisida ini paling banyak digunakan dalam
insektisida rumah tangga, terutama pada insektisida bakar dan
semprot. Berdasarkan produknya, piretroid dibedakan dengan piretroid
alam yang diperoleh dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium dan
piretroid sintetis yang merupakan sintesis dari piretrin. Piretroid sintetis
sering dikombinasikan dengan bahan kimia lain sehingga mempunyai
efek yang sinergis. Piretroid sintetis lebih lambat terurai dibandingkan
dengan piretroid alam. Piretroid merupakan racun syaraf yang bekerja
menghalangi sodium channels sehingga mencegah transmisi impuls
syaraf. Piretroid sering dikombinasikan dengan piperonyl butoxide yang
merupakan penghambat enzim mikrosomal oksidase pada serangga

an
sehingga kombinasi senyawa ini dengan piretroid mengakibatkan

lik
serangga mati (Departemen Pertanian RI, 2007). Piretroid mempunyai
be
toksisitas rendah pada manusia karena piretroid tidak terabsorpsi dengan
al
baik oleh kulit. Walaupun demikian insektisida ini dapat menimbulkan
ju
er

alergi pada orang yang peka. Piretroid jenis transflutrin, d-alletrin,


ip

permetrin, dan sipermetrin banyak digunakan sebagai insektisida rumah


D

tangga, baik dalam bentuk semprot nonaerosol (manual) maupun


uk

aerosol (dengan gas pendorong), elektrik maupun bakar.


nt
U

DEET mempunyai nama The International Union of Pure and


k

Applied Chemistry (IUPAC) adalah N,N-Diethyl-3-methylbenzamide


da

atau nama lain N,N-Diethylm-toluamide. Insektisida DEET digunakan


Ti

sebagai repellent, bekerja dengan memblokade receptor olfactory pada


serangga sehingga menghilangkan insting atau keinginan serangga
untuk menggigit manusia (Two Rivers Public Health Department,
2008). Potensi DEET sebagai repellent akan meningkat dengan tidak
adanya bau keringat. Sifat lain DEET adalah sukar larut dalam air
dan tidak diklasifikasikan sebagai penyebab kanker pada manusia.
Meskipun demikian, disarankan tidak digunakan pada pemakaian
berulang setelah delapan jam, karena DEET dapat berpenetrasi melalui
kulit sehingga berpotensi menimbulkan keracunan (Two Rivers Public

63
Health Department, 2008). Lotion (losio) yang mengandung 100%
DEET mampu melindungi kulit selama lebih dari 12 jam, sedangkan
yang mengandung 20-34% DEET hanya mampu melindungi 3-6 jam.
Sebagai repellent, The Center for Disease (CDC) merekomendasikan
kadar DEET 30-50% untuk mencegah resistensi dari serangga (Fishel,
2008). The America Academy of Pediatrics menyatakan tidak ada
perbedaan dalam hal keamanan pada produk yang mengandung DEET
10% dan 30% dan merekomendasikan agar DEET tidak digunakan
pada bayi yang berumur kurang dari 2 bulan (Two Rivers Public Health
Department, 2008).

an
Nabati merupakan insektisida alami yang didapat dari alam.

lik
Beberapa insektisida nabati yang masih digunakan antara lain piretrum,

be
nikotin, rotenone, lionene, dan azadirachtin. Di Indonesia, sebelum
al
banyaknya penggunaan piretroid, piretrin digunakan sebagai bahan
ju
aktif antinyamuk. Harga piretrin yang relatif mahal menyebabkan
er

pengusaha memilih piretroid. Mikroba merupakan insektisida dari


ip

mikroorganisme. Contoh mikroorganisme yang digunakan untuk


D

mengendalikan nyamuk adalah Bacillus thuringiensis dan Bacillus


uk

sphaericus. Bakteri tersebut merupakan racun perut bagi larva/jentik-


nt
U

jentik nyamuk. Setelah termakan oleh larva/jentik-jentik, kristal


k

endotoksin dari bakteri pun larut sehingga mengakibatkan sel epitel


da

rusak dan larva/jentik-jentik mati. Bakteri untuk larva nyamuk tersebut


Ti

tidak membahayakan binatang maupun tanaman. Zat Pengatur


Tumbuh Serangga (ZPT) adalah senyawa yang mampu menghambat
pertumbuhan normal serangga. Pada nyamuk, ZPT yang digunakan
antara lain metopren dan piriproksifen. Metopren dan piriproksifen
diaplikasikan pada perairan atau penampung air di sekitar rumah,
baik penampung alam ataupun buatan. Ketika nyamuk bertelur dan
menjadi larva, pertumbuhannya akan terganggu akibat metopren dan
piriproksifen. Piriproksifen telah mendapat izin dari WHO untuk
diaplikasikan pada air minum. Sinergis sebenarnya bukan insektisida,

64
tetapi jika digunakan bersama insektisida akan meningkatkan aktivitas
insektisida tersebut. Sinergis biasanya digunakan bersama insektisida
piretrin ataupun piretroid, contoh sinergis yang banyak digunakan
adalah Piperonil butoksida (PBO) (Sigit et al., 2006).
Berdasarkan cara penggunaannya, insektisida dibedakan atas
tujuh kelompok. Pertama, insektisida semprot dalam bentuk gas
(aerosol) dan manual tanpa aerosol. Insektisida ini digunakan dengan
cara menyemprotkan insektisida pada ruangan atau tempat yang
mempunyai hama serangga. Insektisida semprot dengan aerosol
berbentuk kemasan siap pakai, biasanya mengandung propana atau

an
butana sebagai propellant. Pada umumnya mempunyai kadar insektisida

lik
lebih tinggi dibandingkan insektida nonaerosol. Residu insektisida akan

be
tinggal di permukaan yang disemprotkan, tempat serangga bersarang
al
dan berjalan yang akan membunuh serangga setelah beberapa waktu
ju
kemudian. Bahan yang digunakan ialah propoksur, silica gel, resmetrin
er

atau piretrin (Michigan State University Extension, 2006).


ip
D

Kedua, fogger/pengasapan. Menggunakan kemasan tabung


uk

beraerosol, pada umumnya melepaskan kabut yang jenuh pada ruang


nt

tertutup. Paling baik digunakan pada ruang yang banyak hama.


U

Penggunaan fogger memerlukan persiapan yang baik (memindahkan


k

tanaman dalam ruangan, hewan peliharaan, makanan, menutup


da

furniture). Insektisida yang digunakan pada pengasapan tidak


Ti

menimbulkan residu, karena itu pengasapan tidak akan membunuh


hama, tetapi hanya mengusir hama serangga. Insektisida yang digunakan
adalah piretroid dan yang sinergis (Michigan State University Extension,
2006). Ketiga, insektisida elektrik, yang berbentuk padatan keping
(mat) dan cairan. Insektisida ini biasanya digunakan untuk membunuh
nyamuk dengan menggunakan aliran listrik. Aliran listrik dapat
menimbulkan panas sehingga insektisida yang terkandung dalam mat
atau cairan menguap. Uap atau gas yang ditimbulkan dapat membunuh

65
hama serangga seperti nyamuk. Bahan yang digunakan ialah propoksur,
piretroid ditambah bahan yang sinergis (Michigan State University
Extension, 2006).
Keempat, insektisida bakar. Insektisida ini berbentuk bulatan
seperti koil dan biasanya digunakan untuk membunuh nyamuk. Asap
yang ditimbulkan dapat melumpuhkan atau membunuh nyamuk.
Bahan yang digunakan piretroid ditambah dengan bahan yang
sinergis. Kelima, insektisida losion sebagai repellent. Insektisida ini
juga digunakan untuk menghindarkan gangguan atau gigitan nyamuk,
bahan yang digunakan ialah DEET atau dimetilftalat. Nyamuk yang

an
datang pada kulit yang diolesi insektisida ini segera pergi dan tidak

lik
menggigit (Michigan State University Extension, 2006).

be
Keenam, cairan insektisida. Tersedia dalam bentuk konsentrat
al
yang jika akan digunakan dicampur dengan air atau pelarut siap pakai.
ju

Bahan yang digunakan: propoksur atau piretroid ditambah bahan


er
ip

yang sinergis. Ketujuh, kepingan kertas. Insektisida ini berbentuk


D

sepotong kertas yang dilapisi dengan racun pada salah satu sisinya dan
uk

lem perekat agar menempel pada sisi yang lain. Kertas ini ditempatkan
nt

pada tempat yang banyak serangga sehingga serangga akan mati setelah
U

kontak dengan insektisida ini (propoksur) (Michigan State University


k

Extension, 2006). Racun insektisida dari berbagai zat aktif tersebut


da

tidak hanya dirasakan oleh organisme yang menjadi sasaran, tetapi bisa
Ti

menghinggapi hewan peliharaan maupun manusia (Badan Pengawas


Obat dan Makanan, 2009).

Insektisida di Rumah Tangga dan Penggunaannya


Pemerintah beserta masyarakat selalu berusaha menanggulangi
DBD yang terus menjadi masalah setiap tahunnya. Pemerintah
dengan program-program penanggulangannya dan masyarakat dengan
partisipasinya pada program pemerintah. Sebagian masyarakat telah

66
mengetahui cara mencegah DBD, yaitu dengan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) dan menggunakan obat nyamuk. Masyarakat
menggunakan obat nyamuk dengan beberapa alasan yang melandasi
pertimbangan menggunakan obat nyamuk seperti murah, mudah
didapat, dan memiliki aroma khusus (Wahyono & Oktarinda, 2016).
Produk insektisida yang beredar di pasaran banyak jenis dan
mereknya, mulai dari bakar, aerosol, oles, mat, dan cair elektrik. Data
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 12,2% menggunakan
insektisida di dalam rumah tangga dalam upaya pencegahan gigitan
nyamuk (Badan Litbang Kesehatan, 2013). Perilaku penggunaan

an
insektisida di masyarakat setidaknya didorong oleh tiga alasan, yaitu

lik
kebutuhan manusia atas kenyamanan dan kesehatan, kemudahan

be
mendapatkan insektisida, dan ketersediaan informasi mengenai
al
insektisida (Wijaya et al., 2016). Penelitian di Desa Pangandaran,
ju
Kabupaten Pangandaran Tahun 2014 menunjukkan 82% responden
er

menggunakan insektisida antinyamuk setiap harinya (Kusumastuti,


ip

2014). Begitu pula dengan hasil penelitian di kelurahan Kutowinangun,


D

Kota Salatiga didapatkan hasil bahwa 72 responden dari 100


uk

menggunakan insektisida rumah tangga dan 28 responden (28%) tidak


nt
U

menggunakan (Wigati & Susanti, 2012). Penelitian tahun 2011 yang


k

dilakukan di Jakarta menemukan bahwa responden cenderung tertarik


da

dan mendapatkan informasi mengenai insektisida dari iklan komersial


Ti

di media elektronik. Tanpa mengetahui kandungan zat aktif dari


insektisida, responden menggunakan insektisida di rumahnya untuk
jangka waktu yang lama, sampai insektisida tersebut dianggap tidak
efektif lagi (Yuliani et al., 2011).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menyatakan
bahwa berdasarkan jenisnya insektisida yang digunakan, sebagian
besar masyarakat memilih menggunakan obat nyamuk bakar. Hal ini
kemungkinan disebabkan adanya perubahan perilaku masyarakat yang

67
cenderung lebih menyukai hal-hal yang sifatnya lebih praktis, termasuk
pemilihan jenis insektisida (Badan Litbang Kesehatan, 2013). Provinsi
Jawa Barat sebagian besar memilih jenis insektisida elektrik (36%)
dan jenis aerosol menempati urutan kedua. Jenis ini lebih disukai
karena selain cara penggunaannya lebih mudah, jenis insektisida ini
relatif banyak dan mudah diperoleh. Selain itu, alasan utama rumah
tangga lebih suka menggunakan insektisida jenis ini adalah tidak
menimbulkan asap yang dapat mencemari lingkungan, mengotori
rumah, dan membuat sesak pernapasan (Dirjen Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI, 2013). Berbeda juga
dengan hasil penelitian Lembaga Gita Pertiwi di Solo Raya, diketahui

an
94% responden menggunakan insektisida antinyamuk. Bentuk

lik
penggunaannya antara lain 54% bakar, 19% semprot, 17% oles, 15%
be
mat (tablet) listrik. Beberapa responden mengaku menggunakan lebih
al
dari satu macam produk antinyamuk (Wahyuningsih, 2011). Berbeda
ju
er

dengan hasil penelitian di Pangandaran, masyarakat lebih memilih jenis


ip

insektisida oles karena kenyamanan dan kemudahan memperolehnya


D

(Kusumastuti, 2014). Terlihat bahwa penggunaan jenis insektisida


uk

rumah tangga tersebut berbeda satu dengan yang lain.


nt
U

Banyaknya variasi penggunaan jenis insektisida dipengaruhi


k

oleh berbagai faktor. Menurut Martono (2010), pola pemilihan jenis


da

insektisida yang dipakai masyarakat tergantung ketersediaan produk


Ti

di pasaran, tingkat efektifitas produk dalam membunuh hama,


pengetahuan konsumen, jenis bahan aktif, harga, dan intensitas promosi
produk insektisida tersebut. Masing-masing formulasi insektisida
mengandung bahan aktif yang berbeda-beda. Semakin banyak varian
yang digunakan oleh masyarakat, semakin banyak pula bahan aktif
sintetik yang beredar di lingkungan masyarakat pengguna insektisida
rumah tangga (Joharina, 2014).

68
Berdasarkan bahan aktif insektisida dari kelompok sintetik
piretroid yang digunakan di rumah tangga, ada tiga jenis yaitu praletrin,
d-aletrin, dan transflutrin. Piretroid merupakan jenis insektisida yang
paling banyak digunakan dalam industri insektisida rumah tangga,
terutama pada insektisida jenis koil/bakar dan semprot. Piretroid lebih
disukai karena relatif memiliki toksistas rendah pada manusia karena
piretroid tidak terabsorbsi dengan baik oleh kulit meskipun dapat
menimbulkan alergi pada orang yang peka (Illinois Departement of
Public Health Enviromental Health, 2007).
Berdasarkan produknya, piretroid dibedakan dengan piretroid

an
yang berasal dari alam yang diperoleh dari bunga Chrysanthemum

lik
cinerariaefolium dan piretroid sintetis yang merupakan sintesis

be
dari piretrin. Piretroid sintetis sering dikombinasikan dengan bahan
al
kimia lain sehingga mempunyai efek yang sinergis, menaikkan
ju
potensi namun lebih persisten di lingkungan. Piretroid pada serangga
er

merupakan racun saraf yang bekerja menghalangi sodium channels


ip

pada serabut syaraf sehingga mencegah transmisi impuls syaraf.


D

Piretroid sering dikombinasikan dengan piperonyl butoxide yang


uk

merupakan penghambat enzim mikrosomal oksidase pada serangga


nt
U

sehingga kombinasi senyawa ini dengan piretroid mengakibatkan


k

serangga mati. Piretroid mempunyai toksisitas rendah pada manusia


da

karena piretroid tidak terabsorpsi dengan baik oleh kulit. Walaupun


Ti

demikian, insektisida ini dapat menimbulkan alergi pada orang yang


peka. Piretroid jenis transfultrin, d-alletrin, permetrin, dan sipermetrin
banyak digunakan sebagai insektisida rumah tangga, baik dalam bentuk
semprot nonaerosol (manual) maupun aerosol (dengan gas pendorong),
elektrik maupun koil/bakar. Hasil evaluasi insektisida yang dilakukan
oleh The United State of Environmental Protection Agency (USEPA)
mengemukakan bahwa dampak risiko pada manusia dan lingkungan
sangat kecil jika mengikuti petunjuk yang tertera pada label (Illinois
Departement of Public Health Enviromental Health, 2007). Penelitian

69
terbaru yang dilakukan Irva Hertz-Picciotto dari Universitas California
tahun 2008, mendukung adanya korelasi antara piretrin dengan autism
(Fishel, 2008).
Hasil penelitian di Depok juga menyebutkan bahwa sebagian besar
masyarakat menggunakan insektisida piretroid (42,96%), Karbamat
(25,35%), dan Organofosfat (6,34%) (Wahyono & Oktarinda, 2016).
Penelitian lain di Kecamatan Tingkir, Salatiga bahan aktif yang banyak
digunakan masyarakat adalah sipermetrin, daletrin, transflutrin,
siflutrin, dan praletrin. Variasi bahan aktif ini ditemukan di berbagai
merek dan formulasi insektisida yang beredar di pasaran (Wigati &

an
Susanti, 2012).

lik
Berdasarkan frekuensi penggunaan, 85,4% masyarakat di

be
Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah menggunakan insektisida
al
rumah tangga sehari sekali dalam jangka waktu pemakaian enam
ju

sampai sepuluh tahun (Sunaryo et al., 2015). Hasil ini sama dengan
er
ip

penelitian di Jakarta Timur yang menunjukkan bahwa sebagian besar


D

responden menggunakan insektisida setiap hari atau tujuh kali per


uk

minggu (Prasetyowati et al., 2016). Begitu pula dengan penelitian di


nt

Pangandaran menunjukkan lebih dari 80% masyarakat menggunakan


U

satu kali sehari (Kusumastuti, 2014). Penggunaan insektisida rumah


k

tangga dengan dosis dan cara yang tidak tepat dan dalam jangka waktu
da

lama dapat menyebabkan matinya musuh alami dan terjadinya resistensi


Ti

vektor sehingga menurunkan efektivitas insektisida yang berakibat


penggunaan insektisida meningkat (Pratamawati et al., 2012).

Tata Cara Penggunaan Insektisida yang Aman


Adapun beberapa petunjuk yang aman dalam penggunaan
insektisida antara lain (Michigan State University Extension, 2006):
1. Jauhkan insektisida dari jangkauan anak-anak, dari makanan, atau
jangan disimpan bersama makanan.

70
2. Jangan terkena luka terbuka.
3. Jangan menyemprot sewaktu ada orang di ruangan, jangan
diarahkan pada makanan, hewan peliharaan, dan gunakan ruangan
setelah 30 menit ruangan selesai disemprot.
4. Jangan mengoleskan lotion antinyamuk secara berlebihan. Bila
terjadi iritasi, hentikan pemakaian, kemudian cuci kulit dengan air
yang mengalir.
5. Obat nyamuk bakar hendaknya dibakar pada ruangan yang
berventilasi cukup, jangan menggunakan obat nyamuk bakar dekat
makanan.

an
lik
6. Bila terkena mata, cuci mata dengan air yang mengalir, kemudian

be
penderita dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan terdekat.
al
7. Insektisida semprot gas mempunyai tekanan tinggi yang dapat
ju
er

meledak pada suhu 55°C, jangan ditusuk, jangan disimpan di


ip

tempat yang panas, di dekat api, atau dibuang di tempat pembakaran


D

sampah.
uk

8. Apabila terjadi gejala pusing, keluar keringat, sesak napas, dan


nt

kejang perut akibat menghirup insektisida rumah tangga, segera


U

dibawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan terdekat untuk


k
da

mendapatkan pertolongan pertama dengan membawa wadah/


Ti

kemasan insektisida. Jika tertelan, usahakan agar penderita muntah.


9. Pada keracunan akut fumigant jenis naftalen dan PDB secara
inhalasi, penderita dibawa ke ruang berudara segar. Jika terkena
mata atau kulit, mata dicuci dengan air mengalir dan kulit dicuci
dengan air dan sabun hingga bersih. Penderita segera dibawa ke
unit pelayanan kesehatan terdekat (Michigan State University
Extension, 2006).

71
Dampak Penggunaan Insektisida
Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD dalam
masyarakat dapat menguntungkan sekaligus dapat merugikan.
Insektisida bila digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu,
dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan serta organisme yang bukan
sasaran (Sukowati, 2010). Penggunaan insektisida kimia di rumah
tangga memiliki risiko pemajanan, terutama pada golongan usia
anak-anak. Risiko terhirup, tertelan, atau iritasi merupakan salah satu
contoh bahaya pajanan insektisida rumah tangga (Goldman, 1995).

an
Secara fisiologis, anak-anak lebih rentan karena anak-anak cenderung

lik
menghirup udara lebih banyak dan mengonsumsi makanan lebih

be
banyak. Selain itu, rasa penasaran atau kebiasaan memasukan benda
al
ke mulut, khususnya pada anak batita meningkatkan risiko pajanan
ju
insektisida terhadap anak-anak (Ruliansyah, 2015).
er

Efek samping yang kurang menguntungkan lainnya adalah


ip
D

terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya keracunan baik yang


uk

akut maupun kronis, pencemaran, hingga terbentuknya galur-galur


nt

vektor yang resisten terhadap insektisida kimia (Sigit et al., 2006).


U

Dampak buruk dari penggunaan insektisida kimia bagi pengendalian


k

vektor adalah terjadinya resistensi nyamuk, yaitu kemampuan serangga


da

(nyamuk) untuk bertahan hidup terhadap pengaruh insektisida yang


Ti

biasanya mematikan. Kondisi ini tidak akan menjadi masalah sampai


suatu populasi didominasi oleh individu-individu yang resisten
sehingga pengendalian vektor menjadi tidak efektif lagi (Sukowati,
2010). Penggunaan insektisida rumah tangga ikut berkontribusi
pada status kerentanan vektor. Salah satu faktor yang memengaruhi
kerentanan Ae. aegypti adalah perilaku penggunaan insektisida di
masyarakat. Kecenderungan memilih cara mudah terkait pengendalian
vektor di masyarakat sejalan dengan semakin sibuknya anggota rumah

72
tangga sehingga tidak ada lagi waktu untuk membersihkan tempat
penampungan air ataupun membersihkan lingkungan sekitar (Yuliani
et al., 2011).
Beberapa penelitian yang mendukung adanya resistensi di Indonesia
antara lain penelitian (Gionar, 2005) menunjukkan bahwa 90% Culex
quinquefasciatus di Jakarta dikategorikan resisten terhadap organofosfat
dan 25% Ae. aegypti di Bandung resisten terhadap organofosfat.
Penelitian di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman, Jepara,
Blora, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Tegal, Kota
Magelang, dan Kota Purwokerto Tahun 2010 (Widiarti, 2011). Begitu

an
pula di Kabupaten Kendal, Grobogan, dan Purbalingga telah terjadi

lik
status resistensi vektor DBD terhadap beberapa insektisida (Ikawati et

be
al., 2015). Sementara itu Kota Padang, Provinsi Sumatra Barat juga telah
al
terjadi penurunan kerentanan vektor DBD meskipun belum terjadi
ju
resistensi (Putra et al., 2017). Beberapa kota/kabupaten Sumatra Selatan
er

juga telah melaporkan terjadinya resistensi vektor DBD (Lasbudi et al.,


ip

2015), hal yang sama terjadi di Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Diona


D

& Nisa, 2011). Kabupaten Sumbawa, wilayah Timur Indonesia ini pun
uk

melaporkan terjadinya resistensi vektor DBD terhadap malation dan


nt
U

temefos (Simbarawa et al., 2017)


k

Penelitian lain melaporkan adanya resistensi nyamuk Ae. aegypti


da

terhadap insektisida golongan karbamat (bendiocarb) yang banyak


Ti

ditemukan pada formulasi insektisida rumah tangga. Tidak kurang


dari 8 wilayah di provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Jepara, Blora,
Semarang, Salatiga, Magelang, Tegal, Surakarta, dan Purwokerto)
dan 3 wilayah di DIY (Yogyakarta, Bantul, dan Sleman) menunjukan
hasil kematian kurang dari 80% ketika isolat Ae. aegypti dipaparkan
insektisida bendiocarb (Ikawati et al., 2015). Resistensi terhadap
malation juga ditemukan pada nyamuk Ae. aegypti di 11 kabupaten/
kota di Provinsi Sumatra Selatan dengan 4 kabupaten menunjukkan

73
status toleran dan 7 kabupaten sudah resisten terhadap malation 0,8%.
Kondisi ini berkembang cepat dengan kontribusi dari frekuensi dan
dosis insektisida yang terus ditambah ketika dirasa sudah tidak efektif
lagi (Lasbudi et al., 2015).
Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam menghadapi
kondisi resitensi insektisida dalam pengendalian vektor di antaranya
adalah dengan metode rotasi. Monitoring tingkat kerentanan (peka,
toleran, dan resisten) serangga vektor terhadap insektisida secara
rutin perlu dilakukan agar dapat menentukan insektisida yang tepat
untuk pengendalian (Dirjen P2PL, 2012). Efek toksik insektisida baik

an
akut maupun kronis pada manusia maupun pada lingkungan dapat

lik
diminimalkan dengan mematuhi petunjuk keamanan yang tertera pada

be
label kemasan insektisida. al
Penutup
ju
er

Insektisida sebagai salah satu upaya pengendalian vektor DBD,


ip

implementasinya masih perlu dilakukan pengawasan. Pengawasan


D

dapat berupa uji kerentanan vektor terhadap insektisida secara periodik


uk

dan adanya regulasi yang lebih komprehensif melibatkan multisektor.


nt

Optimalisasi dan formulasi gerakan pemberdayaan masyarakat dalam


U

rangka pengendalian vektor tetap dikedepankan sebagai program


k
da

unggulan. Sifatnya yang masih berupa imbauan perlu ditingkatkan


Ti

menjadi lebih mengikat dengan adanya aturan yang tegas dan sanksinya.

Daftar Pustaka
Badan Litbang Kesehatan, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta:
Kemenkes RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009. Bahaya Keracunan Pestisida
di Rumah Tangga. Available at: http://www.pom.go.id/public/
siker/desc/produk/RacunPesRT.pdf [Accessed June 26, 2012].

74
Chemical Safety Information from Intergovernmental Organizations,
2008. Organophosporus Pesticide. Available at: www.inchem.org/
documents/pims/chemical/pingOO1.htm.
Departemen Pertanian RI, 2007. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/
Permentan/OT.140/1/2007 Tentang Daftar Bahan Aktif Insektisida
yang Dilarang dan Insektisida Terbatas,
Diona M & Nisa K, 2011. Larva Aedes aegypti sudah toleran terhadap
Temefos di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Jurnal Vektora,
3, pp.93–111.
Dirjen P2PL, 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) Dalam

an
Pengendalian Vektor. In Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

lik
be
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes
al
RI, 2013. Data Kasus DBD Berdasarkan Kabupaten/Kota di
ju
Indonesia tahun 2011-2013,
er
ip

Fishel F, 2008. Pesticide Toxicity Profile Synthetic Pyrethroid.


D

Gionar et all, 2005. Penggunaan Metode Microtitre Plate Assay untuk


uk

Deteksi Gejala Kekebalan terhadap Insektisida Organofosfat Pada


nt

Tiga Spesies Nyamuk di Indonesia., Jakarta.


U
k

Goldman L., 1995. Children Unique and Vulnerable Enviromental


da

Risk Facing Children and Recomendation for Response. Health


Ti

perspective, 103, pp.13–18.


Ikawati B, Sunaryo & Widiastuti D, 2015. Peta status kerentanan Aedes
aegypti ( Linn .) terhadap insektisida cypermethrin dan malathion
di Jawa Tengah. Aspirator, 7(1), pp.23–28.
Illinois Departement of Public Health Enviromental Health, 2007.
Pyrethroid Insecticides. Available at: http://www.idph.state.il.us/
envhealth/factsheets /pyrethroid.htm [Accessed November 17,
2008].

75
Joharina AS, 2014. Kepadatan Larva Nyamuk Vektor sebagai Indikator
Penularan Demam Berdarah Dengue di Daerah Endemis di Jawa
Timur. Vektora, 8(2), pp.33–40.
Kusumastuti NH, 2014. Penggunaan Insektisida Rumah Tangga
Anti Nyamuk di Desa Pangandaran Kabupaten Pangandaran.
Widyariset, 17(3), pp.417–424.
Lasbudi, Pahlepi RI, Tavip Y, Budiyanto A, Sitorus H & Febriyanto.,
2015. Tingkat Kerentanan Aedes aegypti (Linn) Terhadap Malation
di Propinsi Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Kesehatan, 43(2),
pp.97–104.

an
Lu F, 1995. Toksikologi Dasar II., Universitas Indonesia (UI) Press.

lik
be
Michigan State University Extension, 2006. Selection and Use of
al
Household Insecticides,If Needed. Available at: http://www.
ju
msue.msu.edu/objects/content_revision/download.cfm/revision_
er

id.496095/workspace_id.-4/01500539.html/.
ip
D

Prasetyowati H, Astuti PE & Ruliansyah A, 2016. Penggunaan


uk

Insektisida Rumah Tangga dalam Pengendalian Populasi Aedes


nt

aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue ( DBD )


U

di Jakarta Timur. ASPIRATOR - Journal of Vector-borne Disease


k
da

Studies, 8(1), pp.29–36.


Ti

Pratamawati DA, Irawan AS & Widiarti, 2012. Hubungan Antara


Pengetahuan Tentang Vektor Dengan Perilaku Penggunaan
Insektisida Rumah Tangga Pada Daerah Endemis Demam
Berdarah Dengue di Provinsi Bali. Vektora, IV(2), pp.99–116.
Putra K, Hasmiwati & Amir A, 2017. Status Kerentanan Aedes aegypti
Vektor DBD di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.

76
Raini M, 2009. Toksikologi Insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan
Keracunan. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
XIX(II), pp.27–33.
Ruliansyah A dkk, 2015. Pemetaan Status Kerentanan Vektor DBD Aedes
spp Terhadap Insektisida Menurut Kabupaten di Indonesia Tahun
2015 (Studi di Provinsi Jawa Barat),
Sigit SH, Hadi UK, Koesharto F, Gunandini DJ, Soviana S, Wirawan
IA, et al., 2006. Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi
dan Pengendalian 1st ed. S. H. Sigit & U. K. Hadi, eds., Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

an
Simbarawa L, Soviana SH & Kesumawaati U, 2017. Status Resistensi

lik
Aedes aegypti terhadap Malathion dan Temefos Serta Distribusi
be
Spasialnya di Daerah Endemis DBD Kabupaten Sumbawa.
al
ju
Sukowati S, 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan
er

Pengendaliannya di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi., 2,


ip
D

pp.26–30.
uk

Sunaryo, Astuti P & Widiastuti D, 2015. Gambaran pemakaian


nt

insektisida rumah tangga di daerah endemis dbd kabupaten


U

grobogan tahun 2013. Balaba, 11(01), pp.9–14.


k
da

Two Rivers Public Health Department, 2008. DEET. Available at:


Ti

http://www.tworiverspublichealth.com/Resources/documents/
Deet. [Accessed November 20, 2008].
Wahyono TYM & Oktarinda W, 2016. Penggunaan Obat Nyamuk dan
Pencegahan Demam Berdarah di DKI Jakarta dan Depok. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia, volume 1(1), pp.35–40.

77
Wahyuningsih YS, 2011. Bahaya Obat Anti Nyamuk dan Cara
Penanggulangannya. Available at: http://www.gitapertiwi.org/
media-publikasi/artikel/168-bahaya-obat-anti-nyamuk-dan-cara-
penanggulangannya.html [Accessed October 19, 2011].
Widiarti et all, 2011. Peta Resistensi Vektor DBD Aedes aegypti terhadap
Insektisida Kelompok Organofosfat, Karbamat dan Piretroid di
Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istemewa Yogyakarta. Buletin
Penelitian Kesehatan, 39(4), pp.176–189.
Wigati RA & Susanti L, 2012. Hubungan Karakteristik,
Pengetahuan,dan Sikap dengan Perilaku Masyarakat Dalam

an
Penggunaan Anti Nyamuk di Kelurahan Kutowinangun. Buletin

lik
Penelitian Kesehatan, 40(3), pp.130–141.

be
Wijaya HO, Yulianti AB & Sakinah R kince, 2016. Hubungan Antara
al
ju
Penggunaan Insektisida Kesehatan Masyarakat dengan Karakteristik
er

Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Taman Sari Kota bandung,


ip
D

Yuliani T, Hermanu T, Kooswardhono M & Nurmala K, 2011.


uk

Perilaku Penggunaan Pestisida: Studi Kasus Pengendalian Hama


nt

Permukiman Di Permukiman Perkotaan DKI Jakarta. Forum


U

Pascasarjana, Vol. 34 No, pp.195–212.


k
da
Ti

78
BAB 5

an
DAYA UNGKIT PERAN SERTA MASYARAKAT DA-

lik
be
LAM PENGENDALIAN al
DEMAM BERDARAH DENGUE
ju
er

Heni Prasetyowati, Rohmansyah W. Nurindra


ip
D

Pendahuluan
uk
nt

Sampai saat ini, penemuan vaksin dan obat yang dapat mencegah
U

dan mengobati Demam Berdarah Dengue (DBD) masih dalam tahap


k

uji coba. Titik berat pemberantasan dan pencegahan penularan DBD


da

dilaksanakan dengan mengendalikan populasi nyamuk penularnya.


Ti

Nyamuk penular DBD, yaitu Aedes spp., hidup di sekitar tempat


tinggal manusia. Berbagai upaya pengendalian populasi Aedes spp.
telah dilakukan, di antaranya adalah pengasapan nyamuk dewasa
(fogging), larvasidasi, serta Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
(Kemenkes RI, 2017; Wafa, 2011; Supartha, 2008). Di antara ketiga
upaya pengendalian, program PSN merupakan program unggulan yang
menjadi ujung tombak dalam memutus rantai penularan DBD. Hal ini
dikarenakan program ini relatif murah, mudah, dan aman dilakukan.

79
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD dalam program
kesehatan dikenal dengan istilah “3M”. Pelaksanaannya meliputi:
(1) menguras tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya
seminggu sekali; (2) menutup rapat tempat-tempat penampungan
air; dan (3) mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas yang
dapat menampung air seperti kaleng bekas dan plastik bekas. Selain
kegiatan 3M, kegiatan PSN DBD ditambah dengan tindakan plus,
yaitu memberantas jentik-jentik dan menghindari gigitan nyamuk
Aedes aegypti pembawa virus dengue. Upaya yang dapat dilakukan
dalam pelaksanan PSN adalah sebagai berikut: abatisasi, memelihara
ikan pemakan jentik nyamuk, mengusir nyamuk menggunakan

an
antinyamuk, mencegah gigitan nyamuk menggunakan lotion

lik
antinyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi, tidak
be
menggantung pakaian di dalam kamar, serta menggunakan kelambu
al
pada waktu tidur (Kemenkes RI, 2016).
ju
er

Tujuan utama dalam PSN adalah menghilangkan tempat


ip

perkembangbiakan potensial vektor DBD. Pelaksanaan PSN diharapkan


D

mampu berjalan dengan baik sehingga dapat menekan populasi


uk

nyamuk Aedes spp. Salah satu indikator berjalannya program PSN


nt
U

dalam upaya pengendalian penyakit DBD yaitu Angka Bebas Jentik


k

(ABJ). Target ABJ secara nasional adalah 95%, namun sampai dengan
da

tahun 2016, ABJ secara nasional belum mencapai target program.


Ti

Walaupun belum memenuhi target program, ABJ tahun 2016, yaitu


sebesar 67,6% meningkat dibandingkan tahun 2015 sebesar 54,2%
(Kemenkes RI, 2017). Masih rendahnya ABJ di lingkungan masyarakat
menunjukkan masih adanya kontainer yang berpotensi menjadi tempat
perkembangbiakan Aedes spp.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa habitat tempat
perkembangbiakan Aedes spp. pada umumnya adalah tempat
penampungan air yang kerap kali digunakan oleh manusia untuk

80
kebutuhan sehari-hari. Contoh kontainer yang sering dijumpai dan
banyak ditemukan larva Aedes spp. adalah bak mandi, ember, dispenser,
tampungan air pada belakang kulkas, drum, pot bunga, tutup ember,
dan barang-barang bekas yang terbengkalai di sekitar rumah. Hal ini
berisiko terhadap penularan DBD di lingkungan tersebut, terlebih
lagi jika lingkungan tersebut merupakan daerah endemis. Peran serta
masyarakat sangat diperlukan dalam meningkatkan ABJ di lingkungan
mereka. Pemberantasan penyakit DBD bukanlah tanggung jawab sektor
kesehatan semata, hal ini karena penanggulangan penyakit DBD lebih
banyak terkait dengan peran serta masyarakat. Hal ini dibuktikan pada
hasil penelitian Chadijah ( 2011) di Desa Palupi dan Desa Senggani,

an
Palu yang peran serta masyarakatnya mampu meningkatkan ABJ dari

lik
68% sampai 89% setelah tujuh minggu intervensi.
be
al
Peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan dapat diartikan
ju
sebagai suatu bentuk kegiatan yang melibatkan bantuan masyarakat
er

dalam hal pelaksanaan upaya kesehatan. Upaya tersebut dapat berupa


ip

upaya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Bentuk bantuan


D

masyarakat dapat berupa tenaga, dana, sarana, prasarana, serta


uk

bantuan moralitas sehingga tercapai tingkat kesehatan yang optimal


nt
U

di masyarakat tersebut. Adanya keikutsertaan masyarakat diharapkan


k

dapat menumbuhkan dan meningkatkan tanggung jawab individu,


da

keluarga terhadap kesehatan dirinya, keluarganya dan masyarakat.


Ti

Peran serta masyarakat juga mengembangkan kemampuan untuk


berkontribusi dalam bidang kesehatan, sehingga individu/keluarga
tumbuh menjadi perintis pembangunan (agent of development) yang
dilandasi semangat gotong royong (Depkes RI dan WHO, 2003).
Peran serta masyarakat adalah kunci terlaksananya kegiatan
PSN dan upaya menggerakkan mereka tentunya banyak faktor yang
memengaruhinya. Pada artikel ini akan membahas tentang berbagai
faktor yang berperan dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat.

81
Diharapkan artikel ini dapat menjadi referensi dalam upaya peningkatan
peran serta masyarakat dalam suatu lingkungan.

Booster Pengetahuan dan Motivasi


Suatu lingkungan masyarakat terdiri dari kumpulan keluarga
yang di dalamnya terdapat individu. Peran serta masyarakat diawali
dengan adanya peran serta dari individu yang merupakan bagian
terkecil dalam sebuah masyarakat. Peran serta individu dalam upaya
pemberantasan DBD bergantung pada berbagai hal, salah satunya
adalah adanya motivasi. Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan
yang timbul dari diri individu, baik secara sadar atau tidak sadar untuk

an
melakukan tindakan dengan tujuan tertentu (Badan Pengembangan

lik
dan Pembinaan Bahasa, 2002). Motivasi akan menggerakkan seseorang
be
untuk melakukan sesuatu dengan dorongan dalam dirinya untuk
al
mencapai tujuan yang diinginkan. Perbuatan yang dilakukan dengan
ju
er

motivasi tertentu mengandung tema sesuai dengan motivasi yang


ip

mendasarinya. Semakin tinggi motivasi yang dimiliki seseorang, maka


D

semakin tinggi intensitas perilaku untuk mencapai tujuan (Uno, 2015;


uk

Sobur, A., 2009).


nt

Pemicuan motivasi diawali dengan kegiatan memengaruhi


U

seseorang. Kegiatan tersebut merupakan proses pembentukan


k
da

persepsi yang diterima seseorang. Persepsi merupakan proses kognitif


Ti

seseorang dalam memahami informasi dari lingkungan melalui


penglihatan, pendengaran, penghayatan, dan perasaan berupa suatu
penafsiran terhadap situasi dan kenyataan (Notoatmodjo, 2010).
Proses persepsi ini ditentukan oleh kepribadian, sikap, pengalaman,
dan harapan seseorang, selanjutnya apa yang diterima tersebut diberi
arti oleh yang bersangkutan menurut minat dan keinginan. Minat ini
mendorongnya untuk mencari informasi yang digunakan oleh yang
bersangkutan dalam mengembangkan beberapa alternatif tindakan dan
pemilihan tindakan (Uno, 2015). Manfaat motivasi yang utama adalah

82
menciptakan semangat atau gairah untuk melakukan usaha sehingga
kinerja seseorang dapat meningkat. Sesuatu yang dikerjakan karena
ada motivasi yang mendorongnya akan membuat seseorang senang
mengerjakannya (Milviyati, 2017).
Motivasi individu dalam ikut serta upaya PSN dimulai dengan
pembentukan persepsi sehingga individu tersebut mempunyai dorongan
melakukan upaya PSN. Persepsi individu tentang PSN dapat dibangun
melalui pengetahuan tentang PSN. Pengetahuan diperlukan agar
seseorang lebih bisa membangun persepsi akan masalah yang dihadapi.
Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, yakni semakin tinggi

an
pendidikan semakin luas pengetahuannya. Peningkatan pengetahuan

lik
tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal, tetapi bisa juga dari

be
pendidikan nonformal (Lendrawati, 2013).
al
Dalam hal pemberantasan DBD, seseorang memerlukan
ju

pengetahuan dasar tentang bahaya penyakit DBD, bagaimana


er
ip

cara menghindari penularannya, dan bagaimana cara melakukan


D

pengendalian vektor DBD. Seseorang akan membangun persepsi


uk

tentang DBD dan mengambil sikap dalam tindakan PSN dari


nt

pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh Trisnaniyanti


U

(2015) dalam Wulandari et al. (2016) menyebutkan adanya hubungan


k

yang bermakna antara pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan


da

persepsi kader PSN DBD dalam pencegahan DBD serta adanya


Ti

hubungan bermakna antara persepsi kader PSN DBD dengan aktivitas


pencegahan DBD.
Semakin baik tingkat pengetahuan tentang penyakit, maka semakin
tinggi pula motivasi yang dimiliki untuk mencegah penyakit tersebut
(Romadhan & Sudaryanto, 2011). Orang yang memiliki pengetahuan
baik diharapkan mampu bersikap baik dan akhirnya berperilaku yang
baik (Purnama et al., 2013). Peningkatan pengetahuan masyarakat
tentang DBD berdampak dalam peningkatan upaya pengendalian vektor

83
DBD. Berbagai penelitian menunjukkan adanya korelasi antara tingkat
pendidikan dan pengetahuan dengan perilaku pengendalian vektor,
yakni semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang pentingnya
upaya pengendalian vektor maka upaya untuk mengendalikan vektor
DBD juga semakin besar (Bakta & Bakta, 2014; Ayudhya et al., 2014).
Ketidakberhasilan program pengendalian DBD yang dicanangkan
oleh pemerintah dalam menurunkan angka kejadian DBD berhubungan
erat dengan belum adanya peran serta masyarakat dalam perencanaan
dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas program. Pengetahuan masyarakat
masih kurang karena tidak memiliki akses langsung terhadap informasi

an
dan pengetahuan mengenai program, yang merupakan prakondisi

lik
bagi peran serta warga dalam suatu program. Hal ini disebabkan

be
penyuluhan, yang merupakan saluran penyampaian informasi dari para
al
pelaksana program di lapangan kepada warga masyarakat belum berjalan
ju
dengan baik; karena adanya berbagai kendala pada pelaksana program
er

di lapangan. Bervariasi dan kurang akuratnya pengetahuan warga


ip

masyarakat setempat mengenai penyakit ini mengakibatkan upaya


D

pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD yang mereka lakukan


uk

masih kurang tepat (Indera, 1998; Sakti & Budi, 2014; Hatang, 2010)
nt
U

Pengetahuan dapat dibangun melalui upaya-upaya sosialisasi dan


k

penyuluhan. Berbagai media dapat berperan dalam meningkatkan


da

pengetahuan masyarakat tentang pengendalian DBD. Pengetahuan


Ti

dalam PSN perlu ditingkatkan, yakni pengetahuan masyarakat sebaiknya


tidak hanya terpaku pada bak mandi dan penampungan air minum,
tetapi ke penampungan air lain seperti pot bunga, vas bunga, talang air,
dan lain-lain. Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang tempat-
tempat perkembangbiakan jentik-jentik Aedes spp. menyebabkan masih
ditemukan jentik-jentik di permukiman. Masyarakat hanya fokus pada
menguras bak mandi dan tempat-tempat penampungan air minum,
padahal di sekitar mereka masih terdapat tempat penampungan air yang

84
potensial sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk (Prasetyowati et
al., 2015).
Widyastuti & Yuniarti (2009) mengungkapkan bahwa secara
umum pengetahuan masyarakat Dukuh Kenteng, Kelurahan
Tegalrejo, Kota Salatiga meningkat lebih tinggi sesudah penyuluhan
mengenai DBD. Penyuluhan yang dilakukan mampu membangun
motivasi masyarakat untuk belajar, meskipun di antara kesibukan
mereka berdagang. Pengetahuan dan motivasi masyarakat yang positif
terhadap upaya pemberantasan DBD akan mendorong warga untuk
melaksanakan PSN dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya motivasi

an
positif yang dimiliki masyarakat tentang pencegahan DBD, semakin

lik
tinggi pula kesadaran untuk berperan serta dalam mencegah DBD.

be
Motivasi akan muncul jika masyarakat paham terhadap persoalan yang
al
dihadapi sehingga sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat perlu
ju
dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat.
er
ip

Pemicuan, Strategi Membangun Kesadaran


D

Habitat dan aktivitas nyamuk Aedes spp. tidak dibatasi oleh


uk

tembok rumah, nyamuk tersebut dapat terbang dan menularkan


nt

penyakit dalam satu lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, gerakan


U

PSN tidak hanya melibatkan individu dalam keluarga, namun juga


k
da

masyarakat dalam satu lingkungan. Adanya motivasi yang cukup dalam


Ti

individu untuk melakukan kegiatan PSN, menjadi bekal mereka untuk


berperan serta dalam kegiatan PSN di lingkungan masyarakat. Individu
yang memiliki motivasi positif yang tinggi dapat berperan sebagai
motivator di lingkungan masyarakat.
Kesadaran masyarakat tentang bahaya DBD perlu dipicu dalam
rangka menumbuhkan dan meningkatkan motivasi masyarakat dalam
melalukan PSN. Pemicuan kesadaran masyarakat dapat dilaksanakan
melalui forum pertemuan masyarakat, baik pertemuan formal maupun

85
informal. Beberapa kegiatan masyarakat seperti posyandu, PKK, dasa
wisma, pengajian rutin, arisan, dan kegiatan lain dapat dimanfaatkan
dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melakukan
PSN. Forum pertemuan ini dapat difasilitasi oleh tenaga-tenaga
kesehatan, kader maupun tokoh masyarakat yang tujuannya
mengajak masyarakat berkumpul dan berdiskusi dalam penanganan
pemberantasan DBD di lingkungan mereka (Trapsilowati et al., 2015;
Wijayanti, 2010).
Upaya pemicuan kesadaran masyarakat perlu adanya kegiatan
peningkatan pengetahuan mengenai DBD dan vektornya, perkembangan

an
kasus DBD wilayah tersebut, dan upaya-upaya yang telah dilakukan

lik
oleh masyarakat dan petugas kesehatan. Forum pertemuan merupakan

be
forum diskusi, maka masyarakat juga dapat secara aktif menyampaikan
al
pendapat serta pengalaman saat ada keluarga yang sakit atau mengalami
ju
sakit, termasuk kerugian yang disebabkan oleh sakit DBD. Dalam
er

kegiatan ini masyarakat diajak menganalisis risiko penularan DBD


ip

yang ada di lingkungan mereka, serta upaya yang bisa dilakukan untuk
D

melakukan pencegahannya (Prasetyowati et al., 2015).


uk
nt

Pemicuan kesadaran bertujuan agar masyarakat merasa bahwa


U

pemberantasan DBD adalah suatu keharusan mengingat kerugian


k

yang ditimbulkan dan akan dirasakan oleh warga. Kegiatan pemicuan


da

diharapkan dapat meningkatkan kesadaran warga untuk melakukan


Ti

upaya pengendalian vektor DBD melalui gerakan PSN. Kesadaran


masyarakat ini selanjutnya diharapkan memiliki motivasi dan komitmen
bersama dan memilih bentuk upaya pengendalian vektor DBD yang
tepat dan sesuai dengan lingkungannya. Bentuk upaya pengendalian
vektor DBD hasil kesepakatan bersama dilaksanakan secara bersama
oleh seluruh warga masyarakat dengan kesadaran penuh tanpa paksaan.

86
Indikator peningkatan motivasi dapat dilihat dengan meningkatnya
upaya masyarakat dalam pengendalian vektor DBD dan tingkat
keberlangsungan kegiatan pengendalian vektor di masyarakat tanpa ada
rasa diawasi atau dinilai. Masyarakat melakukan upaya pengendalian
vektor DBD murni karena kesadaran masyarakat. Peningkatan upaya ini
karena adanya motivasi dalam diri masyarakat dan karena pengetahuan
masyarakat semakin tinggi mengenai DBD. Meningkatnya upaya
pengendalian vektor DBD oleh masyarakat berdampak pada perubahan
indeks entomologis di lingkungan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Hasil penelitian di Kota Sukabumi, Demak, dan Jakarta menunjukkan
berdasarkan hasil dari survei jentik-jentik yang dilakukan sebelum

an
dan sesudah pemicuan kesadaran dan motivasi masyarakat didapatkan

lik
kondisi yang berbeda. Umumnya ABJ di lokasi penelitian pada saat
be
sesudah pemicuan mengalami kenaikan sedangkan HI, CI, BI, dan PI
al
mengalami penurunan (Prasetyowati et al., 2015; Donanti et al., 2017;
ju
er

Azam et al., 2016).


ip

Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan pemicuan kesadaran


D

masyarakat untuk berperan serta dalam gerakan PSN. Adanya persepsi


uk

berbeda yang diterima tentang masalah kesehatan yang dihadapi serta


nt
U

adanya kondisi sosial budaya yang berbeda-beda dapat menjadi faktor


k

penghambat (Erfandi, 2008). Faktor lingkungan dan karakteristik


da

penduduk diduga berpengaruh bagi proses peningkatan motivasi.


Ti

Penduduk yang tinggal di daerah perumahan dengan tipe permukiman


dan bangunan yang teratur dan berasal dari berbagai etnis, misalnya,
sebagian dari mereka juga merupakan penyewa yang berpindah-pindah
dari tempat satu ke tempat lain. Kondisi tersebut terkadang membuat
antarsebagian masyarakat tidak mengenal satu sama lain sehingga
mengurangi rasa kebersamaan dan menurunkan motivasi masyarakat.
Kondisi berbeda akan ditunjukkan oleh masyarakat yang tinggal di
perumahan dengan tipe permukiman tidak teratur. Permukiman
padat dan dengan tipe bangunan yang berbeda-beda, terkadang justru

87
menjadikan warga mengenal satu sama lain. Rasa saling kenal menjadi
dasar untuk membangun kebersamaan melaksanakan gerakan PSN
bersama-sama (Prasetyowati et al., 2015). Selain itu, jenis pekerjaan
diduga juga memengaruhi partisipasi masyarakat. Masyarakat yang
tinggal di daerah yang mayoritas adalah pegawai yang hanya memiliki
waktu senggang pada hari-hari tertentu akan menjadi faktor pembatas
dalam gerakan PSN secara bersama-sama (Dalimuthe, 2008). Jenis
pekerjaan yang banyak memiliki waktu luang menjadikan gerakan PSN
secara bersama-sama dapat lebih berjalan.
Adanya komitmen bersama masyarakat menunjukkan adanya

an
iktikad baik dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah DBD di

lik
lingkungan mereka. Komitmen ini juga memberikan motivasi dalam

be
diri masyarakat untuk meningkatkan upaya pengendalian populasi
al
Aedes spp. sebagai vektor DBD. Motivasi inilah yang menjadi dasar
ju
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan DBD. Hal ini
er

selaras dengan hasil penelitian Putri (2012) yang menyebutkan bahwa


ip

adanya motivasi sebagai hal yang mampu meningkatkan partisipasi


D

warga RW 09 Kelurahan Pondok Cina mampu dalam mencegah DBD.


uk
nt

Agent of Change dalam Peningkatan Peran Serta


U

Masyarakat
k
da

Dalam suatu lingkungan masyarakat, umumnya terdapat tokoh-


Ti

tokoh yang disegani, dituakan, atau menjadi panutan masyarakat.


Dalam upaya peningkatan peran serta masyarakat, peran tokoh
masyarakat sangat penting karena merupakan barisan pertama yang
berhadapan langsung dengan masyarakat dalam keseharian maupun
kondisi tertentu. Seorang tokoh mempunyai pengaruh besar dalam
menggerakkan masyarakat di lingkungannya. Masyarakat pada
umumnya akan lebih mudah menerima apa yang dijelaskan oleh
seorang tokoh panutannya. Tokoh masyarakat sebaiknya berperan
aktif untuk menyebarluaskan informasi sesuai kemampuan dan

88
pengetahuannya. Melalui kemampuannya tersebut, tokoh masyarakat
mengimbau dan mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam
kegiatan kemasyarakatan (Trapsilowati & Suskamdani, 2004).
Dalam hal pemberantasan DBD di lingkungan masyarakat, tokoh
masyarakat diharapkan mampu menggerakkan masyarakat di wilayahnya
untuk melakukan PSN. Peran tokoh masyarakat dapat diwujudkan
dengan menyebarluaskan informasi kegiatan PSN dalam kegiatan-
kegiatan kemasyarakatan. Dalam upaya tersebut, tokoh masyarakat
perlu memiliki pengetahuan dan sikap positif dalam pengendalian
demam berdarah (Bahtiar, 2012; Trapsilowati & Suskamdani, 2004).

an
Selain menyebarluaskan informasi, tokoh masyarakat juga dapat

lik
berperan sebagai fasilitator dan mengarahkan masyarakat agar tercapai

be
komitmen bersama dalam pelaksanaan PSN di lingkungan mereka.
al
Dukungan tokoh masyarakat juga diperlukan dalam meningkatkan
ju

motivasi masyarakat untuk melaksanakan PSN. Dukungan tokoh


er
ip

masyarakat membuat motivasi masyarakat menjadi lebih tinggi untuk


D

berpartisipasi. Seorang tokoh mempunyai pengaruh yang besar dalam


uk

menggerakkan masyarakat luas, karena masyarakat umum lebih mudah


nt

menerima apa yang dijelaskan oleh tokoh panutannya (Bahtiar, 2012).


U

Sitorus (2009) menyebutkan bahwa peran tokoh masyarakat besar dalam


k

program pengendalian Aedes spp. mulai dari RT, RW, kader, bahkan
da

sesepuh masyarakat di daerah tersebut (Sitorus, 2009). Pemberian


Ti

contoh pelaksanaan kegiatan pencegahan DBD oleh tokoh masyarat


di lingkungan tempat tinggal guna peningkatan kesadaran masyarakat
untuk berperilaku lebih baik dalam pencegahan DBD (Andriani, 2006).
Peran aktif masyarakat dan tokoh masyarakat inilah yang menjadikan
motivasi dan gerakan PSN di suatu lingkungan terpelihara.

89
Kesinambungan Peran Serta Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan
ketekunan, kesabaran, dan upaya dalam memberikan pemahaman dan
motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat
secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat
adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3M plus
atau PSN di lingkungan mereka (Sukowati, 2010). Meskipun telah ada
komitmen bersama di masyarakat, namun dalam pelaksanaannya perlu
adanya upaya untuk mempertahankan motivasi masyarakat agar tidak
menurun. Diperlukan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik

an
tempat dan penduduk agar upaya peningkatan motivasi bisa berjalan

lik
baik.

be
Tidak jarang dijumpai masyarakat yang mengalami penurunan
al
motivasi sehingga hanya mau berperan aktif ketika dilakukan pengawasan
ju

atau pendampingan. Tanpa pengawasan, maka pengendalian populasi


er

Aedes spp. tidak berjalan secara berkesinambungan. Terjaganya


ip
D

motivasi masyarakat untuk menjalankan komitmen perlu dijaga agar


uk

komitmen tersebut bisa dilaksanakan dengan baik dan berkelanjutan.


nt

Komitmen masyarakat akan terus terpelihara apabila masyarakat


U

memelihara motivasi yang ada pada diri mereka. Dalam suatu


k

daerah, bila masyarakatnya mempunyai persepsi/pandangan bersama


da

tentang pentingnya menjaga kebersihan untuk mencegah DBD akan


Ti

memengaruhi tingkat kejadian DBD di daerah tersebut (Chahaya,


2003).
Upaya untuk mempertahankan motivasi dalam peran serta
gerakan PSN di suatu lingkungan masyarakat dapat dilakukan melalui
penyuluhan berkesinambungan. Hal ini diharapkan masyarakat selalu
ingat pentingnya PSN untuk mencegah penularan DBD. Kegiatan
penyuluhan berkesinambungan dapat dilaksanakan tokoh masyarakat
dan kader pada berbagai kesempatan di berbagai tempat, misalnya

90
posyandu, sekolah, masjid, tempat arisan, pertemuan RT/RW, dan
lainnya. Penyuluhan kelompok ini akan efektif apabila dilaksanakan
secara rutin dan berkesinambungan di seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Rosidi & Adisasmito (2006) ada hubungan yang bermakna
antara penyuluhan kelompok tentang DBD dan kondisi ABJ-nya. Untuk
itu perlu diupayakan adanya kesinambungan gerakan PSN dengan
melibatkan masyarakat sedini mungkin. Keterlibatan masyarakat akan
meningkatkan motivasi dan upaya PSN di lingkungan mereka yang
akan berdampak pada meningkatnya ABJ di lingkungan masyarakat.

Penutup

an
Pelibatan masyarakat dalam PSN sebagai upaya pengendalian

lik
DBD tidak terlepas dari individu sebagai subjek. Motivasi dan
be
pengetahuan individu memberikan peran penting dalam diri seseorang
al
untuk ikut melibatkan diri dalam kegiatan PSN. Selanjutnya adalah
ju
er

membangun kesadaran masyarakat, upaya pemicuan adalah salah satu


ip

metode yang diharapkan dapat menumbuhkan komitmen bersama


D

dalam pengendalian DBD di lingkungannya. Peran penting lainnya


uk

adalah adanya keterlibatan agent of change, dalam hal ini adalah


nt

tokoh masyarakat sebagai role model penggerak pelaksanaan kegiatan


U

PSN. Upaya untuk meningkatkan peran serta masyarakat terkait erat


k
da

dengan perilaku dan hal tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu
yang singkat. Perlu strategi untuk menyiasati dinamika dalam proses
Ti

pelaksanaan dan keberlangsungan kegiatan tersebut.

Daftar Pustaka
Andriani F., 2006. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kelurahan Nyomplong Wilayah Kerja Puskesmas
Pabuaran Kota Sukabumi. Universitas Kristen Maranata.

91
Ayudhya P, I.Ottay R, P.J.Kaunang W, Kandou GD & Pandelaki A.,
2014. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang
Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Pencegahan Vektor
di Kelurahan Malalayang 1 Barat Kota Manado. Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik, 2(1).
Azam M, Azinar M & Fibriana AI, 2016. Analisis Kebutuhan Dan
Perancangan “Ronda Jentik” Sebagai Model Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk. Unnes Journal
of Public Health, 5(4).
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2002. Kamus Besar

an
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

lik
Bahtiar Y., 2012. Hubungan pengetahuan dan sikap tokoh masyarakat
be
dengan perannya dalam pengendalian demam berdarah diwilayah
al
ju
puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya. Aspirator, 4(2).
er

Bakta NNYK & Bakta IM, 2014. Hubungan Antara Pengetahuan dan
ip
D

Sikap Terhadap Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)


uk

Sebagai Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Banjar


nt

Badung, Desa Melinggih, Wilayah Puskesmas Payangan Tahun


U

2014. Available at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/


k

view/13855/9539.
da

Chadijah S, 2011. Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam


Ti

Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN-DBD)


di Dua Kelurahan di Kota Palu Sulawesi Tengah. Media Litbang
Kesehatan, 21(4), p.183–190.
Chahaya I, 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara.

92
Dalimuthe, 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat dalam program pencegahan malaria di Kecamatan saibu
Kabupaten Mandailing Natal. Universitas Sumatera Utara.
Depkes RI dan WHO, 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue, Jakarta.
Donanti E, Hardjanti A & Indrawati I, 2017. Penyuluhan dan Pelatihan
Jumantik Mandiri di Kelurahan Rawasari Sebagai Salah Satu
Upaya Meningkatan Kepedulian Masyarakat Terhadap Demam
Berdarah Dengue. In Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat. UNISBA.

an
Erfandi, 2008. Peran Serta masyarakat. http://forbetterhealth.wordpess.

lik
com.
be
al
Hatang IT, 2010. Analisis perbandingan pelaksanaan pengelolaan
ju
program pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue
er

antara Puskemas ”X” dan Puskesmas ”Y”, Kota Bogor, tahun 2010.
ip
D

Universitas Indonesia.
uk

Indera, 1998. Peranserta masyarakat dalam upaya pencegahan dan


nt

pemberantasan penyakit demam berdarah dengue: kasus di Jakarta.


U

Universitas Indonesia.
k
da

Kemenkes RI, 2016. Kendalikan DBD Dengan PSN 3M Plus. Available


Ti

at: http://www.depkes.go.id/article/view/16020900002.
Kemenkes RI, 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016, Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Lendrawati, 2013. Motivasi Masyarakat dalam Memelihara dan
Mempertahankan Gigi. Andalas Dental Journal. Available at: adj.
fkg.unand.ac.id/index.php/adj/article/download/9/9.

93
Milviyati L, 2017. Peranan Motivasi Terhadap Peningkatan Kinerja
Pegawai Pada PT Perkebunan Nusantara III (PERSERO) Medan.
Universitas Sumatera Utara.
Notoatmodjo S, 2010. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta,
pp.20–40.
Prasetyowati H, Santya RNRE & Nurindra RW, 2015. Motivasi Dan
Peran Serta Masyarakat Dalam Pengendalian Populasi Aedes spp.
Di Kota Sukabumi. Jurnal Ekologi Kesehatan, 14(2).
Purnama SG, Satoto TB & Prabandari Y, 2013. Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Terhadap Infeksi

an
Dengue di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali.

lik
Arc. Com. Health, 2(1), pp.20–27.
be
al
Putri P, 2012. Motivasi dan Partisipasi Warga dalam Mencegah Angka
ju
kejadian DBD di RW 09 Kelurahan Pondok Cina Kecamatan Beji,
er

Depok. Universitas Indonesia.


ip
D

Romadhan FA & Sudaryanto A, 2011. Hubungan Antara Tingkat


uk

Pengetahuan dengan Motivasi Melakukan Latihan Jasmani pada


nt

Klien Diabetes Mellitus di Desa Delanggu Kabupaten Klaten.


U

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Available at: https://


k
da

publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3634/FAJAR
- AGUS SUDARYANTO Fix.pdf;sequence=1.
Ti

Rosidi AR & Adisasmito W, 2006. Hubungan Faktor Penggerakan


Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue
Dengan Angka Bebas Jentik di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat. Available at: http://journal.fk.unpad.
ac.id/index.php/mkb/article/viewFile/187/pdf_71.
Sakti TS & Budi K, 2014. Upaya Meningkatkan Parsitipasi Masyarakat
dalam Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (Studi di Kelurahan

94
Kota Bambu Selatan, DKI Jakarta). Universitas Indonesia.
Available at: http://www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-06/
S55246-Tri Saputra Sakti.
Sitorus R, 2009. Perilaku Masyarakat Dalam Pencegahan Penyakit
Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Medan Johor Kota Medan.
Sobur, A., 2009. Psikologi Umum 2nd ed., Bandung: Pustaka Setia.
Sukowati S, 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan
Upaya Pengendaliannya. Buletin jendela epidemiologi, 2.
Supartha IW, 2008. Pengendalian Terpadu Vektor VirusDemam Berdarah

an
Dengue, Aedes aegypti(Linn.) dan Aedes albopictus(Skuse)

lik
(Diptera: Culicidae). In Seminar DiesUnud2008. Denpasar:

be
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
al
Trapsilowati W, Mardihusodo SJ, Prabandari YS & Mardikanto T,
ju
er

2015. Parsitipasi Masyarakat dalam Pengendalian Vektor Demam


ip

Bedarah Dengue di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Vektora,


D

7(1).
uk

Trapsilowati W & Suskamdani, 2004. Studi Kualitatif Pengetahuan dan


nt

Peran Tokoh Masyarakat dalam Pengendalian Demam Berdarah


U

Dengue di Kota Salatiga. Media Litbang Kesehatan, 17(4).


k
da

Uno Hamzah B, 2015. Teori Motivasi dan Pengukurannya, Jakarta:


Ti

Bumi Aksara.
Wafa L, 2011. Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Desa Babakan
Kabupaten Bogor Terhadap Masalah Vektor dan Penyakit Demam
Berdarah Dengue. Institut Pertanian Bogor.
Widyastuti U & Yuniarti R, 2009. Pengendalian Jentik Aedes aegypti
menggunakan Mesocyclops aspericornis melalui partisipasi
masyarakat. Media Penelitian. dan Pengembangan. Kesehatan, 19.

95
Wijayanti Y, 2010. Peningkatan Kemandirian Dasa Wisma Kelurahan
Sekarang dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue. UNNES.
Available at: http://download.portalgaruda.org/article.
php?article=135990&val=5657.
Wulandari W, Istiningtyas A & Oktariani M, 2016. Hubungan Motivasi
Kader Pemeberantasan Sarang Nyamuk dengan Upaya Pencegahan
Demama Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas
Gemolong. Available at: http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/
files/disk1/34/01-gdl-wiwikwulan-1696-1-artikel-i.pdf.

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti
BAB 6

an
“SILENT INFECTION” DENGUE

lik
be
Muhammad Umar Riandi
al
ju
Pendahuluan
er
ip

Selama lebih dari 50 tahun, dengue telah menyebar dari sembilan


D

negara menjadi lebih dari 100 negara. Kenaikan kejadian dengue hingga
uk

30 kali lipat menjadikan dengue sebagai penyakit tular vektor dengan


nt

penyebaran paling cepat. Hari ini, hampir separuh populasi dunia


U

hidup di negara endemis dengue. Besaran masalah penyakit dengue


k

telah meningkat dari 15.000 kasus per tahun pada 1960-an menjadi
da

390 juta kasus, lebih dari setengah populasi penduduk Eropa. Setelah
Ti

dianggap sebagai penyakit wilayah perkotaan, kini dengue juga telah


meningkat menjadi masalah di wilayah pedesaan.
Dahulu, sekitar tahun 1940-an, penyakit dengue memiliki sifat
berupa epidemis yang jarang terjadi dan umumnya setiap lokasi
melibatkan hanya satu serotipe virus. Ketika jumlah vektor dan inang
yang rentan bagi serotipe tertentu dilampaui, maka terjadi peningkatan
kasus infeksi. Kini keadaannya telah jauh berbeda, pola penyebaran
global yang terjadi berupa hiperendemisitas dengue, yakni terjadi

97
sirkulasi terus-menerus dari serotipe virus yang berbeda dalam lingkup
host dan vektor yang rentan dan konstan (Teo et al., 2009).
Besaran masalah infeksi dengue dengan gejala dan tanpa gejala
(apparent and inapparent) ternyata tiga kali lebih besar dibandingkan
yang diprediksi sebelumnya oleh WHO (Bhatt et al., 2013).
Diperkirakan terdapat 96 juta infeksi dengan gejala nyata secara global
pada tahun 2010. Diperkirakan juga terdapat tambahan 294 (217-392)
juta infeksi tanpa gejala yang terjadi di seluruh dunia pada 2010. Infeksi
dengan gejala ringan atau tanpa gejala ini tidak terdeteksi oleh sistem
pengawasan kesehatan publik yang ada dan tidak memiliki implikasi

an
langsung terhadap manajemen klinis. Akan tetapi, adanya potensi besar

lik
sebagai reservoir bagi infeksi baru menghasilkan pengaruh bagi: (1)

be
pengukuran pengaruh ekonomi yang benar (misalnya berapa banyak
al
vaksin yang diperlukan untuk mencegah infeksi dengan gejala) dan
ju
triangulasi dengan penilaian independen bagi disability adjusted life
er

years (DALYs); (2) menerangkan populasi dinamis virus dengue; (3)


ip

membuat hipotesis tentang pengaruh populasi bagi keberlangsungan


D

program vaksin pada masa mendatang (volume, target efikasi,


uk

pengaruhnya, dan kombinasi dengan pengendalian vektor), yang akan


nt
U

diperlukan dan diatur untuk memaksimalkan perlindungan silang dan


k

kerentanan setelah vaksinasi.


da

Karakteristik Penyakit Dengue


Ti

Infeksi dengue dapat menghasilkan respons klinis mulai dari


demam nonspesifik, Demam Dengue (Dengue Fever/DF), DBD
(Dengue Haemorraghic Fever/DHF), dan Dengue shock syndrome
(DSS). Demam Dengue merupakan demam tinggi seperti flu yang dapat
menyerang bayi, anak-anak, dan dewasa, namun jarang menyebabkan
kematian. Kondisi ini dicurigai dengan suhu tubuh tinggi (400C) yang
diikuti oleh dua gejala berikut: sakit kepala hebat, sakit di belakang
mata, sakit otot dan persendian, mual, muntah, pembengkakan kelenjar

98
atau bintik merah pada kulit. Gejala biasanya berlangsung selama 2-7
hari setelah masa inkubasi 4-10 hari semenjak gigitan nyamuk terinfeksi
(WHO, 2014).
Infeksi lanjutan yang terjadi karena serotipe virus dengue yang lain
dapat menyebabkan perdarahan diathesis dan kebocoran endothelial
yang merupakan ciri dari DBD. Sebagian kecil dari penderita DBD dapat
mengalami perdarahan hebat, kegagalan fungsi organ, serta kegagalan
pernapasan yang disebut dengan DSS sehingga dapat berakibat fatal
(Gubler, 1998). Dari semua gejala klinis yang berhubungan dengan
infeksi dengue, dilihat dari ancaman bahaya yang ditimbulkan, DSS

an
merupakan gejala klinis yang paling diwaspadai. Gejala DSS ini lebih

lik
mudah terjadi pada anak-anak dikarenakan pembuluh kapilernya

be
relatif lebih rentan dibandingkan orang dewasa dan masih dalam masa
al
pertumbuhan. Observasi dan intervensi yang hati-hati pada keadaan
ju
ini harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang baik dan mencegah
er

komplikasi sekunder lebih lanjut. Oleh karena itu, pengenalan secara


ip

dini gejala klinis sindrom ini merupakan hal yang krusial.


D
uk

Kegiatan tentang dengue yang dikembangkan sekitar tahun 1960-


nt

an dan 1970-an menghasilkan deskripsi klinis klasik, definisi dan


U

strategi dari DBD dan DSS. Hal ini memprakarsai petunjuk perawatan
k

serta definisi kasus dan klasifikasi penyakit yang dibuat oleh WHO
da

(2009) (Tabel 1).


Ti

99
Tabel 1. Definisi Kasus Dengue World Health Organization

Definisi kasus untuk demam berdarah dengue


Hal berikut harus ada:
• Demam, atau riwayat demam akut, berlangsung 2-7 hari,
biasanya biphasic (dua fase)
• Kecenderungan haemorrhagic (perdarahan), dibuktikan
sedikitnya oleh satu hal berikut:
o Tes torniquet positif;*
o Petechia, ecchymosis, atau purpura;
o Pendarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, lokasi

an
injeksi, atau lokasi lain;
o Haematemesis atau melaena.

lik
• Trombocytopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)1
be
• Bukti perembesan plasma karena meningkatnya permeabilitas
al
vaskular, dinyatakan oleh setidaknya salah satu hal berikut:
ju

o Peningkatan haematokrit sama atau lebih besar dari 20%


er

di atas rata-rata untuk usia, jenis kelamin, dan populasi;


ip

o Penurunan haematokrit setelah perawatan penggantian


D

volume sama atau lebih besar 20% dari garis dasar;


uk

o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleural, ascites, dan


nt

hypoproteinemia.
U
k
da

Definisi kasus untuk dengue shock syndrome


Ti

Semua empat kriteria untuk DHF di atas harus ada ditambah bukti
kegagalan sirkulasi darah yang disebabkan oleh:

• Denyut nadi cepat dan lemah


• Tekanan darah rendah [<20 mmHG (2,7 kPa)] atau
disebabkan oleh:
o Hipotensi untuk usia tersebut, dan
o Kulit lembab dan dingin, serta kegelisahan.

100
*Tes torniquet dilakukan dengan menggelembungkan sebuah manset
tekanan darah di lengan atas pada sebuah titik di antara tekanan sistolik
dan diastolik selama 5 menit. Tes tersebut dinyatakan positif ketika 20 atau
lebih petechiae (bintik merah) per 2,5 cm (1 inci) diobservasi. Tes tersebut
mungkin negatif atau sedikit positif selama fase shock. Biasanya menjadi
positif, terkadang kuat positif, jika tes tersebut dilakukan setelah pulih dari
shock.
1
Angka ini mewakili penghitungan langsung menggunakan mikroskop
fase kontras (normal 200.000-500.000 per mm3). Pada praktiknya, bagi
pasien rawat jalan, sebuah perhitungan perkiraan dari apusan darah

an
peripheral dapat diterima. Pada orang normal, 4-100 trombosit darah

lik
per lapang pandang dengan oli immersi (100x; dianjurkan rata-rata

be
penghitungan dari 10 lapang pandang dengan oli imersi) mengindikasikan
al
jumlah trombosit darah yang cukup. Rata-rata < 3 trombosit darah per
ju

lapang pandang dengan oli imersi dianggap kurang (yaitu, < 100.000 per
er
ip

mm3).
D

Infeksi Dengue Asimptomatik


uk
nt

Infeksi asimptomatik merupakan keadaan jika seorang pasien yang


U

terinfeksi dengue, namun tidak menunjukkan gejala. Infeksi ini disebut


k

juga infeksi terselubung, inapparent, atau silent infection. Meskipun


da

tidak menunjukkan gejala penyakit atau sakit ringan, seperti demam


Ti

nonspesifik, namun melalui pemeriksaan antibodi menunjukkan


hasil positif infeksi dengue. Penderita umumnya tidak mengunjungi
petugas kesehatan untuk pemeriksaan dan tetap menjalankan
aktivitas kesehariannya seperti biasa. Karena sifatnya tersebut, infeksi
asipmtomatik tidak dapat dideteksi melalui pengawasan program karena
kebanyakan program menggunakan kunjungan ke fasilitas kesehatan
sebagai indikator penyakit dengue (Endy et al., 2011).

101
Menurut Halstead (2008), dengue pada anak-anak biasanya
merupakan infeksi asimptomatik, infeksi yang tidak menunjukkan
gejala. Rasio infeksi asimptomatik terhadap simptomatik bergantung
pada banyak faktor epidemiologi, namun diperkirakan sekitar 1:40.
Sirkulasi antibodi virus dengue pada 60% anak-anak di wilayah selatan
Vietnam terjadi pada usia 6 tahun. Hasil yang tidak jauh berbeda
dilaporkan di wilayah lain. Mayoritas yang dilaporkan dari individu
imun-dengue ini yakni mereka tidak memperlihatkan gejala sakit.

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

Gambar. Anak sekolah usia di bawah 14 tahun berisiko


terhadap penularan dengue (foto kredit: penulis)

Penentuan banyaknya kejadian infeksi asimptomatik memerlukan


penelitian kohort prospektif populasi yang detail pada wilayah endemis
dengue yang dapat mendeteksi infeksi dengue melalui uji serologi
pasangan antibodi dengue tanpa gejala klinis. Beberapa penelitian
pada lingkup ini telah dilakukan dan hasilnya memperlihatkan bahwa
pemahaman tentang besaran masalah infeksi dengue masih terbatas. Pada

102
dengue, kasus asimptomatik diduga lebih sering terjadi dibandingkan
kasus simptomatik. Akan tetapi, angka relatif kejadiannya bergantung
pada wilayah geografis, konteks epidemiologi, status imunologi pasien,
dan tipe virus dengue. Hal ini diperlihatkan pada beberapa penelitian
yang telah dilakukan.
Sebuah penelitian dasar selama dua tahun (1980-1981) dilakukan
oleh Burke et al. (1988) di Bangkok, Thailand. Penelitian berbasis
sekolah ini melibatkan 1.757 anak-anak usia 4-16 tahun pada saat
outbreak DENV 1 dan DENV 2. Penelitian ini menemukan bahwa
rasio penderita symptomatic-inapparent (S:I) pada nilai 1:6,6 untuk

an
infeksi DENV 1 dan 2. Nilai ini berubah untuk infeksi DENV 1

lik
menjadi 1:5,5 dan untuk kasus DENV 2 menjadi 1:4,5. Penelitian lain

be
dilakukan oleh Balmaseda et al. (2006) selama 4 tahun (2004-2008)
al
di Managua, Nikaragua, Amerika Tengah. Penelitian ini diperkirakan
ju
melibatkan 3.800 anak usia sekolah pada rentang usia 2-9 tahun. Hasil
er

penelitian ini menunjukkan rasio S:I pada nilai 1:13 selama tahun
ip

pertama penelitian pada saat prevalensi DENV 2. Nilai ini turun menjadi
D

1:6 ketika DENV 1 merupakan serotipe yang paling sering ditemukan


uk

pada tahun kedua. Penurunan angka insiden dengue pada tahun kedua
nt
U

penelitian tersebut terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya, terjadi


k

peningkatan usaha pengendalian intensif yang dilakukan Kementerian


da

Kesehatan di lokasi penelitian pada tahun kedua.


Ti

Penelitian di Singapura, petugas kesehatan pemerintah berasumsi


rasio S:I sebesar 1:2 hingga 1:10, hal ini dianggap sebagai ancaman yang
berbahaya bagi penerima transfusi darah (Wilder-Smith et al., 2009).
Terakhir, di antara para pelancong dari Belanda yang berkunjung antara
Oktober 2006 dan September 2007 ke sejumlah negara tropis yang
berbeda, didapatkan nilai S:I sebesar 1:8,1. Pada penelitian ini tidak
diketahui tipe DENV yang menginfeksi karena hanya dilakukan uji
serologis (Baaten et al., 2011).

103
Berdasarkan hasil ini, rasio kasus symptomatic-inapparent sangat
bervariasi. Perbedaan ini mungkin dapat dijelaskan melalui kemampuan
memberikan respons dan variabilitas virulensi dari strain virus dengue.
Penjelasan alternatif juga dikemukakan oleh Halstead (2006) yang
menyatakan bahwa kemungkinan adanya perbedaan epidemiologi
dengue di Asia Tenggara dan Amerika.
Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai adanya silent infection
di antara penderita dengue masih minim. Sebuah penelitian dilakukan
oleh Porter et al. (2005) di Bandung, Jawa Barat pada tahun 2000 hingga
2002. Penelitian ini menunjukkan rasio penderita dengue S:I sebesar

an
1:3. Virus DENV 2 merupakan serotipe virus yang paling banyak

lik
ditemukan pada penderita symptomatis. Namun, penelitian ini tidak

be
dapat menentukan serotipe virus dengue yang terdapat pada penderita
al
inapparent dan hasil ini tidak dapat mewakili populasi penelitian.
ju

Penelitian lain yang dilakukan oleh Loka Litbang P2B2 Ciamis


er

pada tahun 2008 memperkuat adanya silent infection dalam


ip
D

penyebaran virus dengue di Indonesia. Penelitian yang dilakukan


uk

pada 26 kabupaten/kota di Jawa Barat ini melibatkan 1.941 relawan.


nt

Sebanyak 575 orang penderita demam dengue yang telah didiagnosis


U

dan 916 orang anggota keluarga atau tetangga dari penderita diambil
k

sampel darah untuk uji respons imunologis. Hasilnya menunjukkan


da

bahwa terdapat 20% individu anggota keluarga atau tetangga pasien


Ti

positif dengue, namun tidak memeriksakan diri ke petugas kesehatan


karena tidak merasa sakit (Santya & Riandi, 2016). Akan tetapi, hal ini
terlepas dari sensitivitas dan spesifisitas Rapid Diagnostic Test (RDT)
yang digunakan. Hasil penelitian ini menunjukkan potensi nyata
sumber penularan ke berbagai kelompok masyarakat di Indonesia,
terutama Jawa Barat.

104
Kondisi di daerah nonendemis dapat dijelaskan dengan baik
bahwa virus dengue dimasukkan oleh pelancong yang kembali dari
daerah endemis atau epidemis. Meskipun demikian, apakah hal ini
menghasilkan kejadian luar biasa atau tidak bergantung pada beberapa
syarat (Shang et al., 2010).
1. Pelancong terinfeksi tersebut harus dalam keadaan viremik yang
cukup untuk dapat menularkan virus kepada nyamuk lokal,
2. Spesies nyamuk tersebut harus memiliki kompetensi dan kelimpahan
yang tinggi untuk meyakinkan terjadinya difusi,
3. Populasi lokal harus dapat menerima virus dengue tersebut,

an
lik
4. Kondisi meteorologik yang mendukung sebagai faktor penting

be
dalam terjadinya kejadian luar biasa.
al
Pada wilayah endemis maupun nonendemis, diketahui bahwa
ju
er

transfusi darah, transplantasi organ, luka tusukan jarum merupakan


ip

cara berisiko penularan virus dengue yang baru diidentifikasi (Hirch


D

et al., 1990; Wilder-Smith et al., 2009). Intrapartum (penularan dari


uk

ibu kepada anaknya melalui persalinan) merupakan cara lain yang tidak
nt

biasa dalam penularan virus dengue (Hirch et al., 1990; J.G. & A.V.,
U

2001; Tran & Chastel, 2008). Semua cara penularan tidak lazim ini
k

kemungkinan berasal dari silent infection, baik itu secara preklinis,


da

sangat ringan, atau sama sekali tanpa gejala. Cara penularan ini sangat
Ti

dapat meningkatkan kesempatan memasukkan virus dengue ke wilayah


nonendemis melalui individu asimptomatik (Chastel, 2012).
Agar dapat secara akurat mengetahui peran kasus asimptomatik
dalam memasukkan dan menyebarkan virus dengue ke wilayah
nonendemis, terlebih dahulu harus diketahui besarnya kuantitas
viremia virus dengue pada individu asimptomatik. Hal ini merupakan
dasar yang semestinya diketahui, namun merupakan masalah yang
kurang terdokumentasi dengan baik. Terdapat dua penelitian virologis

105
yang mengkaji viremia pada kasus infeksi dengue asimtomatik.
Penelitian pertama dilakukan di Jakarta Barat, Indonesia pada 2001-
2003, mendapatkan bahwa viremia dapat dideteksi pada penderita
asimtomatik melalui reverse transcriptase–polymerase chain
reaction (RT-PCR) atau isolasi virus: hari ke-10 infeksi virus DEN-
1 pada satu individu dan hari ke-4 infeksi DEN-2 pada individu
lainnya. Akan tetapi, RT-PCR yang dilakukan pada penelitian ini hanya
bersifat kualitatif dan karena itu tingkat viremia secara jelas tidak dapat
diketahui. (Beckett et al., 2005).
Penelitian lainnya dilakukan pada tahun 2006 dan 2007 di wilayah

an
endemis Kampong Cham, Myanmar. Menggunakan penangkap

lik
antigen NS1, real time RT-PCR, dan uji MAC-ELISA, didapatkan

be
243 pasien simtomatik dan 17 asimtomatik yang berhasil dikonfirmasi
al
dari keluarga pasien. Pada penelitian ini, ditemukan empat serotipe
ju
dengue. Pada dasarnya, penelitian ini ditujukan untuk menguji apakah
er

antigen NS1 dapat digunakan secara tepat sebagai penanda awal dari
ip

keparahan penyakit. Akan tetapi, sulit untuk secara pasti mengevaluasi


D

tingkat viremia pada kasus asimptomatik. Bahkan, penulis menyatakan


uk

bahwa “tingkat viremia pada kasus asimtomatik tidak lebih rendah


nt
U

secara signifikan dibandingkan kasus simtomatik pada seluruh kasus


k

dengue yang dikonfirmasi (p=0,145) (Duong et al., 2011).


da

Implikasi Silent Infection


Ti

Implikasi dari besarnya penderita dengue asimtomatik,


memberikan kontribusi terhadap populasi nyamuk terinfeksi yang
berujung terhadap penularan penyakit. Karena orang yang tidak merasa
sakit akan bepergian secara normal, maka mereka akan lebih mudah
terdedah nyamuk dan mampu menyebarkan virus dengue melebihi
kemampuan terbang nyamuk. Bagaimana hal ini dapat terjadi?

106
Perhatikan Gambar 2 berikut.

an
lik
be
al
Gambar 2. Respon imun tubuh terhadap infeksi dengue (Halstead, 2007)
ju
er

Pada kasus dengue simptomatik, viremia (kehadiran virus dalam


ip

aliran darah) kehadiran virus dalam aliran darahterdeteksi mulai tiga


D

hari setelah infeksi virus melalui gigitan nyamuk atau satu hari sebelum
uk

individu mengalami demam. Viremia akan terus terdeteksi pada darah


nt

penderita hingga lima hari setelah demam pertama kali dirasakan.


U

Pada saat viremia inilah, nyamuk Aedes spp. sehat dapat terinfeksi
k
da

dengue jika mengisap darah manusia penderita tersebut. Pada penderita


Ti

simtomatik, karena individu tersebut mengetahui dirinya sakit,


mobilitas penderita rendah dan akan mencari bantuan pengobatan
hingga akhirnya tercatat pada laporan pelayanan kesehatan sebagai
kasus dengue. Hal ini berbeda pada penderita asimtomatik, individu
tersebut tidak merasakan sakit (demam tinggi) meskipun dalam fase
viremia sehingga masih tetap melakukan kegiatan rutin dan berpergian.
Akibatnya, individu asimtomatik lebih berpotensi mendapatkan gigitan
nyamuk dan menyebarkan virus dengue lebih jauh dibandingkan jarak
terbang nyamuk.

107
Para peneliti telah lama mencoba mengetahui seberapa besar
peranan dari kelompok infeksi tanpa gejala (asimptomatik) terhadap
penularan penyakit dengue. Terdapat asumsi, bahwa tingkat keparahan
penyakit dengue berkorelasi positif dengan tingkat titer virus dalam
darah (viremia) artinya semakin tinggi titer virus dalam darah, semakin
tinggi tingkat keparahan penyakit dengue. Berdasarkan hal tersebut,
diasumsikan bahwa penderita dengue asimptomatik tidak memiliki
tingkat viremia yang cukup agar nyamuk sehat terinfeksi virus dengue
saat mengisap darah mereka. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh
Duong et al. (2015) mengindikasikan bahwa penderita asimtomatik
bukan merupakan dead-end host bagi virus dengue, meski penderita

an
asimptomatik secara rata-rata memiliki tingkat viremia lebih rendah,

lik
nyamuk dapat terinfeksi dari kelompok ini.
be
al
Begitu juga dengan individu presimptomatik, yaitu kelompok
ju
asimptomatik saat pengambilan darah, namun selanjutnya
er

memperlihatkan gejala klinis dengue. Duong et al., (2015) menyatakan


ip

bahwa pada tingkat viremia tertentu, individu asimptomatik dan


D

presimptomatik lebih dapat menginfeksi nyamuk dibandingkan individu


uk

dengan gejala. Selain itu, nyamuk-nyamuk yang terinfeksi kelompok


nt
U

asimptomatik dan presimptomatik berakhir dengan jumlah virus lebih


k

banyak dan diduga lebih infeksius terhadap manusia. Para peneliti


da

belum dapat menjelaskan fenomena ini, namun satu kemungkinan


Ti

bahwa semakin kuat respons imun terhadap infeksi, entah bagaimana


membuat individu tersebut kurang infeksius bagi nyamuk (Nguyen
et al., 2013). Bukti kuat lain menunjukkan bahwa kasus dengue pada
manusia lebih menginfeksi nyamuk sebelum penderita menunjukkan
gejala klinis (Halstead, 2007).

108
an
lik
be
al
ju
er
ip
D

(gambar: www.istockphoto.com)
uk

Gambar 3. Kasus dengue yang terdeteksi saat ini dianalogikan sebagai


fenomena gunung es.
nt
U

Bagaimanapun mekanisme penularannya, penelitian-penelitian


k

tersebut memperlihatkan bahwa kasus asimptomatik, yang merupakan


da

jumlah kasus terbanyak, memberikan kontribusi terhadap populasi


Ti

nyamuk terinfeksi yang selanjutnya berpengaruh terhadap kejadian


kasus penyakit dengue. Sebab, orang yang tidak merasa sakit dapat
terus melakukan aktivitas sehari-hari secara normal dan lebih mudah
bertemu dengan nyamuk. Hal inilah yang menjadi jawaban mengapa
virus dengue dapat tersebar luas melebihi kemampuan terbang nyamuk.

109
an
lik
be
al
ju
er

Gambar 4. Berbeda dengan penderita simptomatik, penderita asimptomatik


ip
D

tidak akan mencari bantuan petugas kesehatan sehingga tidak akan tercatat
uk

oleh sistem pelaporan yang ada. (foto kredit: penulis)


nt

Bosch et al. (2018) memperlihatkan kontribusi infeksi asimtomatik


U

terhadap transmisi virus dengue. Hasil penelitian mereka menyimpulkan


k
da

bahwa pada tingkat individu, penderita asimptomatik diperkirakan


memiliki tingkat infeksi 80% terhadap nyamuk dibandingkan penderita
Ti

simptomatik. Adapun pada tingkat populasi, diperkirakan sebesar


88% infeksi terjadi akibat dari transmisi yang berasal dari penderita
asimtomatik. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa individu
yang tidak terdeteksi oleh sistem surveilans mungkin menjadi reservoir
utama dalam penularan dengue sehingga kebijakan pencegahan dan
pengendalian dengue harus dipertimbangkan kembali.

110
Penutup
Penyakit dengue merupakan masalah besar yang harus dapat
dikendalikan, karena jika tidak, akan menjadi bencana yang semakin
sulit diatasi. Terlebih dengan adanya bukti bahwa penderita asimtomatik
memberikan kontribusi besar dalam penyebaran dan infeksi dengue.
Hal ini menandakan perlunya langkah yang lebih baik, lebih serius,
terutama dalam deteksi dini kejadian luar biasa. Hal penting lainnya,
yakni cara mengukur penderita asimptomatik selain penderita dengan
gejala klinis. Hal terakhir ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi
semua pihak dan diperlukan sebuah mekanisme untuk mendeteksi

an
penderita asimptomatik.

lik
Meskipun kejelasan mengenai kontribusi dan kuantifikasi penderita

be
dengue asimtomatik secara tepat masih banyak menyisakan banyak
al
pertanyaan, penelitian lebih lanjut diharapkan akan mengungkap lebih
ju

banyak hal. Satu hal yang pasti, dalam pengendalian penyakit (seperti
er

juga dalam politik)  mengabaikan penderita dengue asimtomatik


ip
D

yang ternyata mayoritas bukanlah pilihan bijak.


uk

Daftar Pustaka
nt
U

Baaten GGG, Sonder GJB, Zaaijer HL, van Gool T, Kint JAPCM &
k

van den Hoek A, 2011. Travel-related dengue virus infection,


da

the Netherlands, 2006-2007. Emerging Infectious Diseases, 17(5),


Ti

pp.821–828.
Balmaseda A, Hammond SN, Tellez Y, Imhoff L, Rodriguez Y, Saborío
SI, et al., 2006. High seroprevalence of antibodies against dengue
virus in a prospective study of schoolchildren in Managua,
Nicaragua. Tropical Medicine and International Health, 11(6),
pp.935–942.
Beckett CG, Kosasih H, Faisal I, Nurhayati, Tan R, Widjaja S, et
al., 2005. Early Detection of Dengue Infections Using Cluster

111
Sampling Around Index Cases. Am. J. Trop. Med. Hyg, 72(6),
pp.777–782.
Bhatt S, Gething PW, Brady OJ, Messina JP, Farlow AW, Moyes CL,
et al., 2013. The global distribution and burden of dengue.
Nature, 496(25 April), pp.504–507. Available at: http://dx.doi.
org/10.1038/nature12060.
ten Bosch QA, Clapham HE, Lambrechts L, Duong V, Buchy P,
Althouse BM, et al., 2018. Contributions from the silent majority
dominate dengue virus transmission. PLOS Pathogens, 14(5),
p.e1006965. Available at: http://dx.plos.org/10.1371/journal.

an
ppat.1006965.

lik
Burke DS, Scott RM, Johnson DE & Nisalak A, 1988. A Prospective
be
Study of Dengue Infections in Bangkok. The American
al
ju
Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 38(1), pp.172–180.
er

Available at: http://www.ajtmh.org/content/journals/10.4269/


ip

ajtmh.1988.38.172 [Accessed July 31, 2018].


D
uk

Chastel C, 2012. Eventual role of asymptomatic cases of dengue for


nt

the introduction and spread of dengue viruses in non-endemic


U

regions. Frontiers in Physiology, 3 MAR(March), pp.1–4.


k
da

Chen LH & Wilson ME, 2004. Transmission of Dengue Virus without


a Mosquito Vector: Nosocomial Mucocutaneous Transmission
Ti

and Other Routes of Transmission. Clinical Infectious Diseases,


39(6), pp.e56–e60. Available at: https://academic.oup.com/cid/
article-lookup/doi/10.1086/423807.
Duong V, Lambrechts L, Paul RE, Ly S, Lay RS, Long KC, et al., 2015.
Asymptomatic humans transmit dengue virus to mosquitoes.
Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(47), pp.14688–
14693. Available at: http://www.pnas.org/lookup/doi/10.1073/
pnas.1508114112.

112
Duong V, Ly S, Try P, Tuiskunen A, Ong S, Chroeung N, et al., 2011.
Clinical and virological factors influencing the performance of a
ns1 antigen-capture assay and potential use as a marker of dengue
disease severity. PLoS Neglected Tropical Diseases, 5(7).
Endy TP, Anderson KB, Nisalak A, Yoon I, Green S, Alan L, et al., 2011.
Determinants of Inapparent and Symptomatic Dengue Infection
in a Prospective Study of Primary School Children in Kamphaeng
Phet , Thailand. PLoS neglected tropical diseases, 5(3), pp.1–10.
Gubler DJ, 1998. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical
Microbiology Review, 11(3), pp.480–496. Available at: http://cmr.

an
asm.org/content/11/3/480.full.pdf+html.

lik
Guzman MG, Halstead SB, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Gubler DJ,
be
et al., 2010. Dengue : a continuing global threat. Nature, 8(12),
al
ju
pp.S7–S16. Available at: http://dx.doi.org/10.1038/nrmicro2460.
er

Halstead SB, 2007. Dengue. Lancet, 370(9599), pp.1644–1652.


ip
D

Halstead SB, 2006. Dengue in the Americas and Southeast Asia: do


uk

they differ? Revista Panamericana de Salud Pública, 20(6), pp.407–


nt

415. Available at: http://www.scielosp.org/scielo.php?script=sci_


U

arttext&pid=S1020-49892006001100007&lng=en&nrm=iso&t
k
da

lng=en.
Ti

Halstead SB, 2008. Dengue Virus – Mosquito Interactions. Annual


Review of Entomology, 53, pp.273–91.
Hirch JF, Descamps C & Lhuillier M, 1990. Transmission métropolitaine
d’une dengue par inoculation accidentelle hospitalière. Ann. Med.
Interne, 141, p.629.
J.G. R-P & A.V. V, 2001. The dengue and dengue hemorrhagic
fever epidemic in Puerto Rico, 1994-1995. American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 64(1–2),

113
pp.67–74. Available at: http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.
JS&PAGE=reference&D=emed8&NEWS=N&AN=32550101.
Langgartner J, Audebert F, Schölmerich J & Glück T, 2002. Dengue
virus infection transmitted by needle stick injury. Journal of
Infection, 44(4), pp.269–270.
Nemes Z, Kiss G, Madarassi EP, Peterfi Z, Ferenczi E, Bakonyi
T, et al., 2004. Nosocomial transmission of dengue.
Emerging infectious diseases, 10(10), pp.1880–1. Available
at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.
fcgi?artid=3323269&tool=pmcentrez&rendertype=abstract.

an
Nguyen NM, Thi Hue Kien D, Tuan T V., Quyen NTH, Tran CNB,

lik
Vo Thi L, et al., 2013. Host and viral features of human dengue
be
cases shape the population of infected and infectious Aedes aegypti
al
ju
mosquitoes. Proceedings of the National Academy of Sciences,
er

110(22), pp.9072–9077. Available at: http://www.pnas.org/cgi/


ip

doi/10.1073/pnas.1303395110.
D
uk

Porter KR, Beckett CG, Kosasih H, Tan RI, Alisjahbana B, Irani P, et


nt

al., 2005. Epidemiology of dengue and dengue hemorrhagic fever


U

in a cohort of adults living in Bandung , West Java , Indonesia.


k

Am. J. Trop. Med. Hyg, 72(1), pp.60–66.


da

Santya RNRE & Riandi MU, 2016. Infeksi Virus Dengue Tanpa Gejala
Ti

pada Keluarga Penderita DBD di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Biotek


Medisiana Indonesia, 1(January 2012), pp.69–74. Available at:
https://www.researchgate.net/publication/260021916_Infeksi_
Virus_Dengue_Tanpa_Gejala_pada_Keluarga_Penderita_DBD_
di_Provinsi_Jawa_Barat.

114
Shang CS, Fang CT, Liu CM, Wen TH, Tsai KH & King CC, 2010.
The role of imported cases and favorable meteorological conditions
in the onset of dengue epidemics. PLoS Neglected Tropical Diseases,
4(8).
Teo D, Ng LC & Lam S, 2009. Is dengue a threat to the blood supply?
Transfusion Medicine, 19(2), pp.66–77.
Tran A & Chastel C, 2008. Mosquito-borne arboviruses and pregnancy:
pathological consequences for the mother and infant. A general
review. Bulletin de la Societe de pathologie exotique (1990), 101(5),
pp.418–424.

an
Wagner D, De With K, Huzly D, Hufert F, Weidmann M, Breisinger S,

lik
et al., 2004. Nosocomial acquisition of dengue. Emerging Infectious
Diseases, 10(10), pp.1872–1873. be
al
ju
de Wazières B, Gil H, Vuitton DA & Dupond JL, 1998. Nosocomial
er

transmission of dengue from a needlestick injury. Lancet,


ip
D

351(9101), p.498.
uk

WHO, 2009. Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and


nt

control, Geneva: WHO Press.


U

WHO, 2014. Dengue and severe dengue. Fact sheet N°117. Available
k
da

at: www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ [Accessed


Ti

November 9, 2016].
Wilder-Smith A, Chen LH, Massad E & Wilson ME, 2009. Threat
of dengue to blood safety in dengue-endemic countries. Emerging
Infectious Diseases, 15(1), pp.8–11.

115
Ti
da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
be
lik
an
BAB 7

an
PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN VAKSIN

lik
be
DENGUE DI INDONESIA al
ju
Joni Hendri
er
ip

Pendahuluan
D

Dengue merupakan virus RNA untai tunggal dari keluarga


uk

Flaviviridae dan termasuk salah satu arthropod-borne viral disease


nt

yang ditransmisikan oleh nyamuk Aedes. Saat ini virus dengue terdiri
U

dari 4 serotipe (DENV-1-4), namun demikian dilaporkan telah


k
da

ditemukan adanya serotipe baru yang juga teridentifikasi dari sampel


Ti

manusia (Normile, 2013). Seluruh wilayah tropis di dunia telah


menjadi hiperendemik dan semua serotipe virus telah teridentifikasi
bersirkulasi di wilayah Amerika, Asia Pasifik, dan Afrika (Guzman et
al., 2010). Kejadian luar biasa (KLB) di wilayah Indonesia, Myanmar,
dan Thailand masuk kategori A yakni KLB/wabah terjadi dengan siklus
berulang dalam jangka waktu 3-5 tahun (WHO, 2004). Di Indonesia,
outbreak infeksi dengue terlaporkan terjadi pada tahun 1968 di
Jakarta dan Surabaya (Sumarmo, 1987), sejak saat itu kasus terus
muncul disertai beberapa KLB di beberapa daerah. Sampai dengan

117
tahun 2013 kasus cenderung mengalami peningkatan, walaupun
kematian penderita mengalami penurunan jumlah (Karyanti et al.,
2014). Demam berdarah tetap menjadi masalah kesehatan serius, hal
ini dibuktikan dengan adanya incidence rate (IR) sebesar 22,55 per
100.000 penduduk dengan case fatality rate (CFR) sebesar 0,75 %
menurut data pada tahun 2017 (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Pemutusan rantai penularan melalui pengendalian vektor dianggap
sebagai pilihan utama yang saat ini tetap dilakukan mengingat belum
ditemukannya antiviral efektif maupun vaksin yang mampu melindungi
manusia dari infeksi semua serotipe dengue (WHO, 2011). Namun

an
demikian, pengembangan dan peningkatan kemampuan antiviral

lik
maupun vaksin dengue terus dilakukan dan dievaluasi. WHO sendiri

be
telah berencana mengintegrasikan vaksin dengue dalam strategi
al
pengendalian infeksi dengue 2012-2020 (WHO, 2012). Dalam artikel
ju
ini akan dikemukakan mengenai pengobatan dan pencegahan virus
er

dengue secara umum serta perkembangan dan tantangan vaksin dengue


ip

di Indonesia.
D
uk

Struktur Genom dan Replikasi Virus Dengue


nt

Seperti Flavivirus pada umumnya, genom virus dengue hanya


U

memiliki satu kerangka baca/open reading frame (ORF) yang


k
da

berukuran sekitar 10 kb. ORF diapit oleh daerah 5’ dan 3’ untranslated


Ti

region (UTR) yang berukuran masing-masing 100 dan 400-700


nukleotida (Chang, 1997). Berdasarkan nomenklatur dari Rice dan
koleganya, protein virus dengue dikode berdasarkan huruf kapital,
yaitu: (1) C untuk protein core atau nukleokapsid; (2) M untuk
protein membran; (3) E untuk protein selubung (ketiganya termasuk
ke dalam protein struktural; dan (4) NS untuk protein non-struktural.
Di samping itu, pada virion intraseluler ditemukan protein prM (preM)
yang merupakan prekursor protein M (Henchal & Putnak, 1990).

118
Genom virus dengue mengkode ORF yang ditranslasi tanpa
terputus sebanyak kurang lebih 11 ribu nukleotida sehingga dapat
mengkode prekursor poliprotein sebanyak 3386-3396 asam amino yang
berbeda-beda untuk masing-masing serotipe (Osatomi & Sumiyoshi,
1990;, Fu et al., 1992). Poliprotein tersebut diproses menjadi protein
yang memiliki fungsi biologis dengan urutan sebagai berikut: C-PrM-
E-NS1-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4B-NS5 (Clyde et al., 2006).
Nukleotida di kedua UTR diperkirakan melipat dan membentuk
struktur stem-loop (SL) (Gambar 1.), hal inilah yang menyebabkan
adanya interaksi sekuen tersebut dengan protein viral maupun sel inang
(Brinton & Dispoto, 1988; Day et al., 1992). Kedua UTR ini juga

an
diduga berperan penting dalam proses transkripsi, replikasi RNA, dan

lik
pengemasan virion (Henchal & Putnak, 1990; Chambers et al., 1990).
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt

Gambar 1. Struktur genom virus dengue (Herrero et al., 2013)


U

Sesuai namanya, protein struktural merupakan protein virus yang


k
da

memberi bentuk terhadap virus dengue. Protein tersebut juga berperan


Ti

dalam proses replikasi virus dengue terutama saat penempelan terhadap


sel target. Beberapa peran penting protein E bagi flavivirus di antaranya
adalah sebagai target pengikatan reseptor, hemaglutinasi eritrosit,
induksi antibodi untuk menimbulkan respons imun maupun maturasi
dan perakitan virus (Desprès et al., 1993; Chang, 1997) Namun
demikian, peranan tersebut juga terjadi di antaranya karena adanya
bantuan protein lainnya seperti protein M (Lorenz et al., 2002).

119
Adapun protein nonstruktural virus dengue terdiri dari 7 macam
yang dikode oleh gen terpisah. Protein NS1 berperan dalam morfogenesis
virus, karena terpapar di membran plasma, protein juga berperan dalam
proses imunopatologi infeksi (Henchal & Putnak, 1990). Mutasi pada
NS1 berpengaruh pada virulensi virus sehingga diduga NS1 tersebut
terlibat dalam tahap replikasi (Burke & Monath, 2001). Protein NS2
terdiri dari 2 domain, yaitu NS2A dan NS2B. Protein NS2A berperan
dalam prosesing C-terminal NS1 di samping sebagai penyokong
pembentukan protein lainnya. Sedangkan NS2B dapat membentuk
kompleks dengan NS3 dan dibutuhkan sebagai kofaktor bagi fungsi
protease dari NS3.

an
lik
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa mutasi pada domain

be
ini mengakibatkan ketidakstabilan kompleks NS3-NS2B sehingga akan
al
mengakibatkan aktivitas katalitik protease terganggu (Lindenbach et
ju
al., 2007; Murray et al., 1995). Protein NS3 dikode oleh gen NS3 yang
er

menghasilkan protein hidrofilik dengan berat molekul 70 kDa. Protein


ip

tersebut dibagi menjadi dua domain, yaitu domain yang berfungsi


D

sebagai protease dan domain yang berperan dalam helikasi (Beasley


uk

& Barrett, 2008). Selain sebagai protease dan helikase, protein NS3
nt
U

memiliki aktivitas RNA trifosfatase yang kemungkinan terlibat dalam


k

aktivitas pembentukan tudung (capping) pada ujung 5’ genom RNA


da

(Chang, 1997; Egloff et al., 2002; Luo et al., 2008).


Ti

Protein nonstruktural lainnya seperti protein NS4 berperan


dalam hubungannya dengan membran sitoplasma yang terlibat dalam
replikasi virus. Protein ini juga diduga berfungsi sebagai interferon
antagonis yang membloking aktivasi STAT 1 (Beasley & Barrett, 2008).
Sedangkan Protein NS5 diduga berperan sebagai RNA-dependent RNA
polymerase. Sekuens dengan motif Gly-Asp-Asp (GDD) pad terminal
C umumnya dijumpai pada enzim RNA-dependent RNA polymerase
pada semua virus RNA. Selain itu, domain NS5 juga diduga terlibat

120
dalam pembentukan tudung (capping) atau metilasi pada ujung 5’
RNA (Burke & Monath, 2001; Lindenbach et al., 2007)
Secara umum replikasi virus dengue dimulai dengan penempelan
virus dengan permukaan sel inang, kemudian virus akan masuk ke
dalam sel melalui proses endositosis yang merupakan proses alami dari
sel dalam merespons adanya benda asing. Virus pada akhirnya akan
berada di sitoplasma sel inang dan genom virus akan segera dilepaskan.
Selanjutnya, terjadi replikasi virus ketika berbagai protein baik
struktural maupun nonstruktural ditranslasi. Virus kemudian dirakit di
permukaan retikulum endoplasma, dimatangkan di badan golgi yang

an
pada akhirnya dikeluarkan melalui proses eksositosis (Mukhopadhyay

lik
et al., 2005). Perlu pemahaman dalam mengidentifikasi proses

be
replikasi serta peranan masing-masing protein virus dengue sehingga
al
dapat mengidentifikasi strategi dalam pengembangan antiviral efektif
ju
maupun dalam mendesain vaksin dengue yang mampu memberikan
er

proteksi menyeluruh terhadap semua serotipe virus.


ip
D

Strategi Pengobatan dan Pencegahan Infeksi Dengue


uk

Pengendalian infeksi dengue dikhususkan pada pengendalian


nt

nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor. Secara umum terdapat lima elemen
U

utama dalam strategi pengendalian virus dengue, yaitu pengendalian


k
da

vektor berdasarkan manajemen vektor terintegrasi, surveilan


Ti

penyakit berdasarkan sistem informasi kesehatan yang komprehensif,


kesiapsiagaan kejadian darurat, peningkatan kemampuan sumber daya
manusia, serta penelitian intensif dalam pengendalian vektor (Guzman
et al., 2010; WHO, 2011). Sementara itu, pengobatan dan pencegahan
infeksi dengue dapat dilakukan melalui intervensi terhadap imunitas
inang seperti pengembangan antiviral dan vaksin dengue.

121
a. Antiviral Dengue
Menurut Perry & Buck (2011), vaksin dengue jelas dibutuhkan
sebagai pencegahan jangka panjang, namun antiviral juga sangat
diperlukan sebagai strategi untuk melawan masalah dengue saat
ini. Antiviral dengue diperlukan untuk mengurangi lamanya durasi
infeksi atau mengurangi risiko yang lebih parah akibat infeksi
dengue (Whitehorn et al., 2014). Sampai saat ini belum banyak
kandidat antiviral dengue yang siap dikembangkan menuju fase uji
terhadap manusia (Perry & Buck, 2011). Dalam situs ClinicalTrial.
gov yang bisa diakses di: https://clinicaltrials.gov, terlaporkan

an
setidaknya 2 kandidat antiviral dengue yang sedang dalam tahap uji

lik
klinis. Pertama adalah uji klinis kombinasi ribavirin dan pengobatan

be
tradisional China yang dikembangkan oleh Guangzhou 8th People’s
Hospital. Saat ini pengujian telah memasuki fase II, namun demikian
al
ju
tidak ditemukan laporan dari hasil fase sebelumnya.
er

Selanjutnya, uji klinis kandidat antiviral celgocivir yang


ip
D

dilakukan di Singapore General Hospital. Pengujian kandidat


uk

antiviral tersebut untuk sementara dihentikan karena tidak terbukti


nt

dapat mengurangi penetrasi virus dalam sel dan tidak mengurangi


U

keparahan infeksi dengue (Low et al., 2014). Sementara itu,


k

beberapa paten yang muncul hanya terbatas pada komponen


da

kandidat antiviral serta metode pendukung lainnya (Canard, 2010).


Ti

Selain celgocivir, beberapa kandidat obat jenis lainya juga telah


diujicobakan. Dalam sebuah review artikel disebutkan bahwa obat-
obatan seperti chloroquine, prednisolone, balapiravir, lovastatin,
ivermectin, dan ketotifen telah diuji klinis untuk mengatasi
penyakit dengue, namun demikian semuanya menunjukkan hasil
yang kurang memuaskan (Low et al., 2017).
Saat ini, peneliti Indonesia telah memublikasikan kandidat
antiviral dengue berbahan herbal. Kandidat antiviral dengue

122
tersebut berasal dari konsentrat tanaman Malaleuca alternifolia,
merupakan tanaman obat yang berasal dari Australia. Pada uji klinis
terhadap orang sehat, diketahui bahwa kandidat obat ini tidak
berpengaruh pada tanda vital, gambaran hematologi, fungsi organ
hepar dan ginjal, serta tidak menyebabkan kristaluria pada orang sehat
(Sujono, 2014). Selanjutnya pada uji klinis tahap III/terhadap orang
sakit, diketahui bahwa kandidat antiviral ini mampu menghambat
perkembangan virus, memiliki efek immunomodulator, mencegah
terjadinya kebocoran plasma dan tidak memiliki efek hepatotoksik
maupun nefrotoksik (Nasronudin et al., 2014).

an
Penemuan dan pengembangan antiviral dengue didasarkan pada

lik
keberhasilan penemuan penghambatan protease dan polimerase

be
terhadap virus hepatitis C (HCV). Dengan genome dan strategi
al
replikasi yang hampir mirip, maka penelitian dan pengembangan
ju
antiviral dengue diawali melalui pendekatan seperti yang dilakukan
er

terhadap virus HCV (Canard, 2010). Pada prinsipnya pengembangan


ip

obat antidengue melalui pemahaman adanya replikasi dan


D

patogenesis virus dengue dalam sel inang. Beberapa tahapan proses


uk

masuknya virus dalam sel seperti pengikatan reseptor, perubahan


nt
U

konformasi protein E, internalisasi virus serta fusi membran yang


k

melibatkan berbagai protein baik yang berasal dari virus maupun


da

protein inang yang dapat menjadi target penghambatan replikasi


Ti

virus (Canard, 2010).


Protein M dan E pada virus dengue saat ini menjadi salah
satu target antiviral yang sering dikembangkan. Hal ini didasarkan
pada fungsi keduanya yang berperan dalam pengenalan reseptor
pada proses pelekatan virus terhadap sel inang (Canard, 2010).
Beberapa reseptor yang pada virus dengue mampu mengenali
berbagai sel inang seperti monosit, sel dendritik, makrofag, maupun
sel lainnya (Alen & Schols, 2012). Dengan menghambat interaksi

123
keduanya diharapkan virus gagal bereplikasi. Salah satunya adalah
turunan dari antibiotik doxorubicin yang diduga mampu merubah
konformasi dari protein E (Kaptein et al., 2010). Penelitian lainnya
juga menunjukkan beberapa strategi dan kandidat antiviral dengue
yang memiliki efek serupa (Alhoot et al., 2011; de Burghgraeve et
al., 2012; Alhoot et al., 2012; Ichiyama et al., 2013; Hidari et al.,
2013; Jadav et al., 2015)
Proses replikasi, aktivitas beberapa protein virus berupa
enzim sangat diperlukan dan keberadaannya menjadi sangat
vital. Berdasarkan pendekatan tersebut, efek penghambatan

an
beberapa kandidat antiviral dengue diuji coba terhadap aktivitas

lik
protease, helikase, RNA polimerase, maupun transferase dari virus

be
(Noble et al., 2010). Saat ini protein tersebut banyak diteliti dan
al
dikembangkan oleh berbagai peneliti (Latour et al., 2010; Lai et
ju
al., 2013; Barral et al., 2013; Basavannacharya & Vasudevan, 2014;
er

Coutard et al., 2014; de Sousa et al., 2015). Selain itu, beberapa


ip

penelitian juga menjadikan protein dari sel inang yang ikut berperan
D

dalam proses replikasi virus seperti protease sel inang, glukosidase,


uk

kinase, maupun beberapa faktor yang berhubungan dengan


nt
U

patogenesis virus dengue sebagai target yang dihambat (Noble et al.,


k

2010). Cheung dan koleganya (2014) menduga bahwa Lanatoside C


da

merupakan kandidat antiviral dengue yang memiliki efek luas dan


Ti

lebih berpengaruh terhadap sel inang daripada viral dengue. Dalam


hal ini, Lanatoside C memiliki pengaruh terhadap replikasi virus
melalui sel inang atau mampu mengaktifkan aktivitas mekanisme
antiviral sel terhadap virus.
Belum adanya kemajuan penemuan antiviral dengue yang
efektif disebabkan terbatasnya hewan coba yang selama ini tersedia,
namun demikian optimisme akan ditemukannya antiviral tersebut
tetap ada. Perry & Buck (2011), mengemukakan bahwa mulai

124
adanya sokongan berbagai pihak termasuk WHO dan bukti adanya
dukungan finansial yang terus meningkat dari penyandang dana
pada penelitian antiviral dengue akan mengarah pada kemajuan
signifikan dalam waktu yang tidak lama lagi. Selain itu, dengan
kemajuan iptek saat ini, setiap struktur protein dapat diprediksi
molekul penghambatnya melalui pemahaman mekanisme kerja
maupun prediksi in silico molecular dynamics, homology modeling,
dan molecular docking menggunakan kecanggihan bioinformatik
(Tambunan & Parikesit, 2014).

b. Vaksin Dengue

an
Selain adanya bahaya resistensi insektisida, pengendalian vektor

lik
juga memiliki keterbatasan lainnya seperti kemampuan adaptasi dari
be
nyamuk serta adanya transmisi vertikal dari virus pada fase ekstrinsik
al
sehingga nyamuk dewasa yang baru muncul telah terinfeksi tanpa
ju

adanya kontak langsung dengan penderita dengue. Hal inilah


er
ip

yang mendasari tingginya harapan tersedianya vaksin dengue yang


D

efektif dan aman. Satu satunya vaksin yang sudah diproduksi massal
uk

adalah vaksin dengan nama CYD-TDV atau dengan nama dagang


nt

dengvaxia. Vaksin telah melalui uji klinis tahap III (Capeding et al.,
U

2014; Villar et al., 2015) dan saat ini setidaknya telah diproduksi
k

dan mendapat persetujuan edar di 19 negara (The Lancet Infectious


da

Diseases, 2018). Seperti halnya pada antiviral dengue, dasar


Ti

pengembangan vaksin terletak pada pemahaman replikasi dan


patogenesis virus dengue dalam tubuh manusia. Sampai saat ini
beberapa kandidat vaksin terus dikembangkan melalui beberapa tipe
vaksin seperti live attenuated vaccines (LAV), inactivated vaccines,
recombinan subunit vaccines, vector virus vaccine, dan DNA vaccine
(Wan et al., 2013; McArthur et al., 2013).

125
Live Attenuated Vaccines (LAV)
Live Attenuated Vaccines (LAV) merupakan tipe vaksin yang cukup
banyak dikembangkan. Strategi pengembangan vaksin ini berdasarkan
pelemahan virus sehingga virulensinya rendah namun tetap memiliki
sifat imunogenik yang tinggi melalui proses konvensional, rekayasa
genetik maupun kombinasi keduanya. Menurut Murrell et al., (2011),
tipe vaksin ini sangat baik dalam merangsang respons imun, baik selular
maupun humoral, dengan tingkat proteksi yang cukup lama karena
sangat mirip dengan infeksi alami oleh virus dengue. Tingkat virulensi
virus yang berbeda antarserotipe dan kemungkinan kembalinya virulensi

an
virus ke bentuk awal (wild type) merupakan salah satu kelemahan dari

lik
tipe vaksin ini.

be
Walter Reed Army Institute of Research (WRAIR) sedang
al
mengembangkan vaksin tetravalent dari virus dengue yang dilemahkan
ju

melalui proses penanaman berulang pada sel Primary Dog Kidney


er

(PDK) (Lyons, 2014). Strategi pelemahan lainnya yaitu melalui


ip
D

rekayasa genetik seperti yang dikembangkan oleh National Institute of


uk

Allergy and Infectious Diseases (NIAID). Kandidat vaksin monovalen


nt

yang diberi nama rDEN4delta30 ini merupakan vaksin yang dirancang


U

melalui delesi 30 nukleotida pada daerah 3’ UTR dari virus serotipe-4


k

strain Dominica (Durbin et al., 2001).


da
Ti

Selain itu vaksin juga dapat dirancang melalui kombinasi pelemahan


konvensional yang dimodifikasi dan dikembangkan melalui rekayasa
genetik. Vaksin dapat dirancang melalui teknik rekombinasi strain
vaksin yang telah lemah dengan menambahkan sekuen gen tertentu yang
memiliki sifat imunogenik atau lebih dikenal dengan vaksin chimera.
NIAID merancang vaksin chimera melalui rekombinasi strain DEN-2
PDK-53 sehingga dapat mengekspresikan PrM maupun E dari serotipe
1,3 dan 4 (Osorio et al., 2011) Strain DEN-2 PDK-53 merupakan
strain virus dengue asal Mohidol, Thailand yang dilemahkan melalui

126
pengulangan penanaman sebanyak 53 kali pada sel PDK (Huang et
al., 2003).
Dengvaxia merupakan contoh vaksin chimera dengan pendekatan
pelemahan virus. Vaksin ini diproduksi oleh Sanofi Pasteur melalui
rekombinasi strain vaksin Yellow Fever 17D (YF17D) sehingga dapat
mengekspresikan gen PrM maupun E dari masing-masing serotipe
dengue. YF17D merupakan strain virus yang diketahui memiliki
tingkat virulensi yang sangat rendah sehingga aman digunakan sebagai
vaksin (Lang, 2012).

Inactivated Vaccine

an
lik
Vaksin dengue juga dikembangkan berdasarkan tipe inaktivasi virus

be
dengue. Virus ditumbuhkan dalam sel kultur dan diaktivasi melalui
al
pemanasan, radiasi, atau bahan kimia tertentu. Sebagai contoh, Putnak
ju
dan koleganya (1996) mendesain kandidat vaksin monovalen DEN-2
er

melalui pemaparan formalin pada virus yang sebelumnya telah dikultur


ip

dalam sel vero. Kandidat vaksin bernama TDENV-PIV yang dibuat


D

oleh U.S Army Medical Research and Materiel Command didesain


uk

juga melalui pelemahan dengan formalin (Fernandez et al., 2015).


nt

Salah satu kelemahan vaksin ini adalah biaya produksinya yang cukup
U

mahal dibanding LAV. Selain itu dalam aplikasinya memerlukan dosis


k
da

ulangan serta tambahan adjuvan agar vaksin berfungsi secara maksimal


Ti

(McArthur et al., 2013). Namun demikian, vaksin jenis ini diklaim


lebih aman karena tidak menimbulkan perubahan virus ke arah yang
lebih virulen dan tidak ditransmisikan oleh nyamuk vektor (McArthur
et al., 2013; Fernandez et al., 2015).

127
Subunit Vaccine
Tipe vaksin lainnya yang sedang dikembangkan sebagai kandidat
vaksin dengue adalah vaksin subunit. Vaksin tersebut didesain dengan
mengekspresikan gen yang mengkode protein tertentu dalam organisme
lain sehingga diperoleh antigen yang telah dibuktikan dapat memicu
respons imun. Antigen yang dihasilkan inilah yang digunakan sebagai
vaksin. Secara umum, baik kelemahan maupun keuntungan dari tipe
vaksin ini, menyerupai vaksin dari virus yang dilemahkan (McArthur
et al., 2013). Merck telah lama mengembangkan kandidat vaksin
tetravalen “DEN-80E” yang diperoleh melalui ekspresi protein E pada

an
sel Drosophila S2 (Coller et al., 2011).

lik
Tabel 1. Kandidat vaksin dengue dalam tahap uji klinis yang sudah

be
diregistrasi di ClinicalTrial.Gov
al
(dapat dilihat di https://clinicaltrials.gov/)
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

128
DNA Vaccine
Vaksin DNA merupakan tipe lainnya dari vaksin dengue yang
sedang dikembangkan. Secara prinsip vaksin tersebut mirip dengan tipe
vaksin subunit, perbedaannya terletak pada tempat ekspresi gen yang
dikloning. Vaksin DNA didesain melalui kloning gen ke dalam plasmid
sehingga dapat mengekspresikan gen tersebut secara in vivo dalam tubuh
manusia secara langsung (Danko et al., 2011). Tipe vaksin lainnya yang
hampir serupa adalah vaksin viral vektor, perbedaannya terletak pada
jenis vektornya sebagai media kloning. Sesuai namanya, virus tertentu
seperti Alphavirus VRP, Adenovirus, maupun Measles virus telah

an
dikembangkan sebagai vektor dalam mendesain vaksin dengue dan

lik
telah memasuki tahap praklinis (Guzman & Harris, 2015). Rancangan

be
vaksin tersebut tentunya berbeda dengan vaksin DNA yang didesain
menggunakan vektor dari plasmid bakteri (Danko et al., 2011)
al
ju
er

Perkembangan Vaksin Di Indonesia


ip

Kemajuan vaksin dengvaxia buatan Sanofi Pasteur hingga tahap


D

produksi massal tidak lepas dari peranan Indonesia sebagai negara yang
uk

berkontribusi dalam menyukseskan pengujian tahap klinis terhadap


nt

vaksin tersebut. Anak-anak dari Indonesia termasuk yang dilibatkan


U

sehingga akhirnya diperoleh hasil bahwa secara umum vaksin tersebut


k
da

aman dan bekerja cukup baik jika diberikan 3 kali injeksi dengan selang
Ti

waktu bulan ke-0, 3, dan 12 pada anak umur 2-14 tahun di wilayah
Asia (Capeding et al., 2014). Namun demikian, hasil efikasi (klinis fase
III) di Asia juga menunjukkan bahwa vaksin tersebut belum memiliki
daya proteksi yang berimbang terhadap semua infeksi serotipe virus
dengue, khususnya DENV-2, seperti halnya pada efikasi selanjutnya
yang dilakukan terhadap anak-anak di wilayah Amerika Latin (Villar
et al., 2015). Hal ini diduga karena vaksin tersebut kurang mampu
mengaktifkan sel T secara optimal karena protein nonstruktural yang
digunakan berasal dari virus yellow fever (Halstead & Zompi, 2015).

129
Selain itu, kekurangan vaksin dengvaxia muncul justru saat
beberapa negara mulai menggunakannya. Vaksinasi pada individu
dengan status seronegatif (belum pernah terinfeksi dengue) akan
meningkatkan derajat keparahan dari infeksi dengue selanjutnya (The
Lancet Infectious Diseases, 2018). Untuk itu, pada bulan April 2018
WHO membuat aturan bahwa selain vaksin hanya dapat digunakan
pada usia 9-45 tahun dan di wilayah dengan seroprevalensi di atas
70%, vaksin juga hanya dapat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan
pravaksinasi berupa identifikasi serostatus penerima vaksin (WHO,
2018) sehingga vaksin hanya bisa diberikan pada individu yang pernah
terinfeksi sebelumnya.

an
lik
Terlepas dari masih adanya kelemahan tersebut, dengvaxia dan

be
vaksin sejenis merupakan vaksin yang diharapkan dapat digunakan
al
oleh masyarakat dunia. WHO menaruh harapan besar terhadap
ju
keberhasilan vaksin sehingga menargetkan integrasi vaksin dalam
er

strategi pengendalian dengue untuk menurunkan setidaknya 50%


ip

mortalitas sampai dengan tahun 2020 (WHO, 2012). Keberadaan


D

vaksin dengvaxia tidak menyurutkan para peneliti di Indonesia untuk


uk

mengembangkan vaksin dari strain lokal. Berdasarkan data yang terdapat


nt
U

pada laman http://elib.pdii.lipi.go.id dan sumber referensi lainnya yang


k

dapat diakses secara online, diperoleh informasi bahwa pengembangan


da

vaksin dengue di Indonesia setidaknya sudah terpublikasi sejak tahun


Ti

1995.
Universitas Airlangga merupakan institusi yang paling banyak
memublikasikan pengembangan vaksin dengue di Indonesia.
Umumnya, penelitian masih mencari kandidat vaksin dengan desain
dan pendekatan vaksin yang bermacam-macam. Beberapa kandidat
vaksin sudah memasuki tahap uji respons imun terhadap hewan coba
dan di antaranya memperoleh hasil yang cukup baik dan berpotensi
untuk dikembangkan ke tahap selanjutnya (Tabel. 2). Peneliti lainnya
berupaya mengembangkan vaksin dengan tujuan yang sedikit berbeda.
130
Vaksin didesain dengan pendekatan untuk memutus transmisi virus
dengue oleh nyamuk ke individu sehat lainnya atau yang dikenal dengan
Transmition Blocking Vaccine (TBV). Penelitian model inovatif ini
masih dalam tahap pencarian kandidat yang berasal dari kelenjar ludah
nyamuk Aedes (Oktariani & Laila, 2013).
Tabel 2. Perkembangan penelitian vaksin dengue di Indonesia

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

131
Para peneliti di Indonesia meyakini bahwa vaksin dengue untuk
penggunaan lokal Indonesia harus didesain menggunakan strain
Indonesia untuk memperoleh proteksi optimal. Keragaman genetik
virus dengue di Indonesia merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan kegagalan atau ketidaksempurnaan vaksin dengue yang
saat ini dikembangkan peneliti luar, termasuk yang sedang dalam tahap
uji coba pada manusia (Sasmono et al., 2012).
Seperti kita ketahui bahwa vaksin dengvaxia yang dikembangkan
Sanofi Pasteur merupakan vaksin hasil pelemahan virus dengan desain
chimera, yakni gen yang mengkode pRME yang direkombinasi dalam

an
virus yellow fever merupakan gen yang berasal dari virus dengue strain

lik
Thailand (Guirakhoo et al., 2000). Para peneliti menduga virus dengue

be
strain Indonesia menunjukkan perbedaan genotipe dengan strain
al
Thailand tersebut sehingga respons imun yang dihasilkan akan kurang
ju
spesifik (Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN), 2011). Hal ini terbukti
er

dengan adanya hasil uji vaksin yang kurang protektif terhadap infeksi
ip

DENV-2 yang salah satu objek penelitiannya adalah anak-anak dari


D

Indonesia (Capeding et al., 2014).


uk
nt

Dalam Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN) pada tahun 2011


U

telah disepakati untuk membentuk beberapa wadah kerja bersama


k

dalam mengembangkan vaksin termasuk vaksin dengue (Ristek, 2014).


da

Berdasarkan forum tersebut, Konsorsium Dengue yang beranggotakan


Ti

para peneliti di lingkungan Badan Litbang Kesehatan, Badan


Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Eijkman,
Biofarma, Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), dan beberapa perguruan
tinggi di Indonesia telah sepakat menyusun roadmap pengembangan
vaksin dengue strain lokal Indonesia (Tabel 3). Kesepakatan dimulai
dengan pemetaan karakteristik pada tahun 2012, kemudian tahun-
tahun berikutnya berbagai penelitian dalam mencari kandidat vaksin
dan uji terhadap hewan coba akan dilakukan sampai dengan tahap

132
pengembangan prototipe vaksin pada tahun 2019. Harapannya, seed
vaksin sudah dapat diproduksi pada tahun 2020 sebagai bahan evaluasi
oleh pihak Biofarma.
Kita semua tentu berharap vaksin tersebut sukses diproduksi
sebagai solusi dalam pencegahan infeksi virus dengue, khususnya
di Indonesia. Namun demikian, jika mencermati publikasi yang
tersedia dan roadmap yang telah disepakati bersama, maka dapat
disimpulkan bahwa perkembangan vaksin di Indonesia berjalan cukup
lambat. Seyogianya tahun 2018 ini sudah pada tahap pengembangan
prototipe vaksin, namun publikasi akan hal itu tidak ditemukan. Perlu

an
diklarifikasi lebih lanjut apakah memang belum dipublikasi atau karena

lik
keterbatasan penulis dalam mencari referensinya.

be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

133
Tabel 3. Roadmap Pengembangan Vaksin Dengue Di Indonesi
(Forum Riset Vaksin Nasional (PRVN), 2011).
Jenis Penelitian Tujuan Institusi Pelaksana Tahun
Mapping Mengenali penyebaran Eijkman, Badan 2012-
Geografis serotipe dan Litbangkes, UI, 2013
genotipe virus dengue UNAIR, UGM
Karakterisasi genetik Eijkman
Karakterisasi biologis in Eijkman, UNAIR, UI,
vitro UGM
Penentuan isolat virus UNAIR, UI
melalui perbanyakan virus
Pentuan strain Analisis immunogenicity dan Eijkman, UNAIR 2013
virus untuk antigenicity
kandidat vaksin
Penentuan strain virus Eijkman, UI
kandidat vaksin berdasarkan

an
konservasi genetik
Teknologi Live attenunted vaccine UNAIR, Eijkman 2013-

lik
Pengembangan 2015

be
Vaksin
Inactivated vaccine UNAIR
al
Chimera UNAIR
DNA vaccine UI
ju
Subunit protein vaccine UI, UNAIR, Badan
er

(preM, E, NSI and NS3) Litbangkes, BPPT


Teknologi adjuvan dan sistim LIPI, Biofarma
ip

pemberian vaksin
D

Formulasi dan Pengembangan Hewan Coba PSSP 2015-


Pengembangan 2018
uk

Pengujian Stabilitas UNAIR, UI, Badan


nt

Litbangkes,
Eijkman
U

Formulasi vaksin tetravalen UI, UINAI, Badan


k

Litbangkes
da

Pengujian pada hewan coba Badan Litbangkes,


(Mencit dan Primata) UI, UNAIR, PSSP
Ti

Pengujian antibody Badan Litbangkes,


dependent enhancement UI, UNAIR, UGM
(ADE)
Penentuan Dokumentasi Badan Litbangkes, 2018-
parent seed UI, UNAIR, UGM, 2019
LIPI, Eijkman, BPPT
Prototipe vaksin Badan Litbangkes,
UI, UNAIR, UGM,
LIPI, Eijkman, BPPT
Seed vaccine Validasi Biofarma 2020
Melakukan up-scaling dari Biofarma
hasil validasi

134
Tantangan Pembuatan Vaksin di Indonesia
Secara umum vaksin dengue harus memiliki kemampuan dalam
memproteksi ke-empat serotipe virus dengue dengan tingkat proteksi
yang cukup tinggi, lama, serta berimbang terhadap seluruh serotipe.
Keamanan dan stabilitas vaksin juga merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Pemilihan tipe vaksin, metode, maupun teknik pengembangan
vaksin harus mempertimbangkan hal tersebut. Tantangan inilah yang
harus mampu dijawab oleh para peneliti, termasuk peneliti Indonesia,
dalam mengembangkan vaksin dengue. Tantangan semakin meningkat
mengingat belum adanya model hewan coba yang memiliki respons

an
imun yang mirip dengan respons yang dimiliki manusia. Hal inilah

lik
yang mempersulit identifikasi patogenesis dan respons imun terhadap

be
penyakit atau vaksin yang sedang dikembangkan (Wallace et al., 2013).
al
Tantangan lainnya adalah bagaimana para peneliti indonesia dapat
ju

menyediakan vaksin dengan harga terjangkau mengingat Indonesia


er

merupakan negara berkembang dengan tingkat ekonomi rata-rata


ip
D

masyarakat yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian di Bandung,


uk

Jawa Barat disimpulkan bahwa selain karakteristik vaksin, harga


nt

juga berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat terhadap vaksin


U

(Hadisoemarto & Castro, 2013). Selain itu, munculnya serotipe baru


k

virus dengue (Normile, 2013), di samping empat serotipe lainnya, akan


da

semakin mempersulit pengembangan vaksin di Indonesia. Sirkulasi


Ti

serotipe merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam mendesain


vaksin dengue. Kurangnya kemampuan proteksi dengvaxia (CYD-
TDV) terhadap infeksi DENV-2 dikarenakan adanya perbedaan
sirkulasi masing-masing serotipe di wilayah uji (WHO, 2014), di
samping dugaan tidak maksimalnya respons sel T setelah vaksinasi
(Halstead & Zompi, 2015).

135
Teori Antibody Dependent Enhancement (ADE) sangat erat
kaitannya dengan empat serotipe dalam virus dengue tersebut. Selama
ini, desain vaksin didasarkan pada bagaimana vaksin tersebut dapat
memunculkan respons imun tanpa adanya komplikasi antarserotipe.
Dengan adanya serotipe baru tersebut, maka pengembangan vaksin
dengue akan semakin kompleks dan bukan tidak mungkin penelitian
dan pengembangan vaksin dengue yang selama ini telah berjalan akan
kembali ke tahap awal (Hendri, 2014; Mustafa dkk., 2015). Tantangan
ini tentunya merupakan masalah bagi seluruh peneliti di dunia,
namun Indonesia memiliki tantangan lebih nyata jika vaksin akan
dikembangkan berdasarkan strain lokal Indonesia. Hal ini dikarenakan

an
serotipe baru tersebut secara geografis dan historis sangat dekat dengan

lik
negara kita karena ditemukan di Serawak, Malaysia (Normile, 2013).
be
al
Kemampuan para peneliti Indonesia dalam mengembangkan
ju
vaksin dengue mungkin tidak perlu diragukan. Namun demikian,
er

dukungan dana dan sarana yang memadai seperti laboratorium yang


ip

terakreditasi klinis merupakan tantangan tersendiri dari para peneliti


D

yang ada di Indonesia. Konsorsium dengue yang dibentuk diharapkan


uk

dapat menjawab tantangan ini, dengan kerja sama yang terarah dan
nt
U

terencana, setidaknya dapat mengurangi duplikasi penelitian yang


k

tentunya dapat memaksimalkan dana yang ada serta adanya kerja sama
da

sarana penelitian antarinstitusi.


Ti

Penutup
Pencegahan dan pengendalian infeksi dengue di Indonesia tentunya
mengacu pada strategi global yang telah dicanangkan dan disusun oleh
WHO tahun 2012. Untuk mendukung hal tersebut, para peneliti di
Indonesia telah mengembangkan vaksin dari strain lokal Indonesia
yang dilakukan secara terpadu, terarah, dan terencana dalam satu wadah
kerja bersama yang disebut dengan “Konsorsium Dengue”. Banyaknya
tantangan yang akan dihadapi hendaknya dijadikan peluang pagi para

136
peneliti yang terlibat dalam konsorsium tersebut sehingga memperoleh
vaksin yang benar-benar aman dan efektif untuk masyarakat Indonesia.
Kita berharap kesepakatan yang dituangkan dalam konsorsium dapat
dilaksanakan secara runut berdasarkan target waktunya sehingga vaksin
buatan anak bangsa bisa segera tersedia. Semoga saja tidak adanya
informasi tentang perkembangan vaksin di Indonesia saat ini karena
memang belum terpublikasi atau keterbatasan penulis semata.

Daftar Pustaka
Alen MMF & Schols D, 2012. Dengue virus entry as target for antiviral
therapy. Journal of Tropical Medicine, 2012, pp.1–13.

an
lik
Alhoot MA, Wang SM & Sekaran SD, 2011. Inhibition of dengue virus

be
entry and multiplication into monocytes using RNA interference.
PLoS Neglected Tropical Diseases, 5(11).
al
ju

Alhoot MA, Wang SM & Sekaran SD, 2012. RNA interference mediated
er

inhibition of dengue virus multiplication and entry in HepG2 cells.


ip
D

PLoS ONE, 7.
uk

Andajani S, Judajana FM & Nuraini I, 2009. Peningkatan efektifitas


nt

vaksin demam berdarah dengue berdasar analisis interaksi


U

molekuler antigen NS-1 dengan HLA-DR pada populasi di Jawa


k
da

Timur. Indonesia One Search. Tersedia di: http://onesearch.id


Ti

[Diakses tanggal 17 Juli, 2018].


Arifanti BH, Rantam FA, Nahgoi L, Susilowati H & Erik H, 2013.
Pengaruh vaksinasi dengue multivalen terhadap ekspresi Toll-Like
Receptor dan Sel T Cd4 + Pada Kelinci ( White New Zealand ).
Media Veterinaria Medika, 6(2), p.2013.

137
Barral K, Sallamand C, Petzold C, Coutard B, Collet a., Thillier Y,
et al., 2013. Development of specific dengue virus 2-O- and N7-
methyltransferase assays for antiviral drug screening. Antiviral
Research, 99(3), pp.292–300.
Basavannacharya C & Vasudevan SG, 2014. Suramin inhibits helicase
activity of NS3 protein of dengue virus in a fluorescence-based high
throughput assay format. Biochemical and Biophysical Research
Communications, 453(3), pp.539–544.
Beasley DWC & Barrett ADT, 2008. The Infectious Agent. In S. B.
Halstead, ed. Dengue. London: Imperial College Press, pp. 29–74.

an
Brinton MA & Dispoto JH, 1988. Sequence and secondary structure

lik
analysis of the 5 ’ -terminal region of flavivirus genome RNA synthetic
be
deoxyribonucleotide primer. , 299, pp.290–299.
al
ju
de Burghgraeve T, Kaptein SJF, Ayala-Nunez N V., Mondotte JA,
er

Pastorino B, Printsevskaya SS, et al., 2012. An analogue of the


ip
D

antibiotic teicoplanin prevents flavivirus entry in vitro. PLoS ONE,


uk

7(5), p.e37244.
nt

Burke DS & Monath TP, 2001. Flaviviruses. In D. M. Knipe & P. M.


U

Howley, eds. Fields virology. Philadephia: Lippincott Williams and


k
da

Wilkins Publishers.
Ti

Canard B, 2010. WHO Report Antiviral research and development


against dengue virus. , pp.1–101. Tersedia di: http://denguedrugs.
com/docs/Full_Length_?Report.pdf.
Capeding MR, Tran NH, Hadinegoro SRS, Ismail HIHM,
Chotpitayasunondh T, Chua MN, et al., 2014. Clinical efficacy
and safety of a novel tetravalent dengue vaccine in healthy children
in Asia: a phase 3, randomised, observer-masked, placebo-controlled
trial. The Lancet, 384, pp.1358–1365.

138
Chambers TJ, Hahn CS, Galler R & Rice CM, 1990. Flavivirus
genome organization, expression, and replication. Annual Review of
Microbiology, 44(1), pp.649–688.
Chang GJ, 1997. Molecular biology of dengue viruses. In D. J. Gubler &
G. Kuno, eds. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Solorado:
CAB INTERNATIONAL, pp. 175–191.
Cheung YY, Chen KC, Chen H, Seng EK & Chu JJH, 2014. Antiviral
activity of lanatoside C against dengue virus infection. Antiviral
Research, 111, pp.93–99.
Clyde K, Kyle JL & Harris E, 2006. Recent advances in deciphering viral

an
and host determinants of dengue virus replication and pathogenesis.

lik
Journal of virology, 80(23), pp.11418–31.
be
al
Coller B-AG, Clement DE, Bett AJ, Sagar SL & ter Meulen JH, 2011.
ju
The development of recombinant subunit envelope-based vaccines
er

to protect against dengue virus induced disease. Vaccine, 29(42),


ip
D

pp.7267–7275.
uk

Coutard B, Decroly E, Li C, Sharff A, Lescar J, Bricogne G, et al., 2014.


nt

Assessment of dengue virus helicase and methyltransferase as targets for


U

fragment-based drug discovery. Antiviral research, 106, pp.61–70.


k
da

Danko JR, Beckett CG & Porter KR, 2011. Development of dengue


Ti

DNA vaccines. Vaccine, 29(42), pp.7261–6.


Darmowandowo W, 2009. Pola serotipe virus dengue di Indonesia
sebagai awal persiapan pembuatan vaksin virus dengue di Indonesia,
Surabaya. Tersedia di: http://elib.pdii.lipi.go.id.[Diakses tanggal
17 Juli, 2018].
Day SP, Murphy P, Brown E a & Lemon SM, 1992. Mutations within
the 5’ nontranslated region of hepatitis A virus RNA which enhance
replication in BS-C-1 cells. Journal of virology, 66(11), pp.6533–40.

139
Desprès P, Frenkiel M & Deubel V, 1993. Differences between cell
membrane fusion activities of two dengue type-1 isolates reflect
modifications of viral structure. Virology, 196, pp.209–219.
Durbin SP, Karron RA., Sun W, Vaughn DW, Reynolds MJ, Perreault
JR, et al., 2001. Attenuation and immunogenicity in humans of
a live dengue virus type-4 vaccine candidate with a 30 nucleotide
deletion in its 3′-untranslated region. American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene, 65(5), pp.405–413.
Egloff M-P, Benarroch D, Selisko B, Romette J-L & Canard B, 2002. An
RNA cap (nucleoside-2’-O-)-methyltransferase in the flavivirus RNA

an
polymerase NS5: crystal structure and functional characterization.

lik
The EMBO journal, 21(11), pp.2757–68.

be
Fahrodi DU, Susilowati H, Karsari D, Hendrianto E, Soedjarwo SA,
al
ju
Mufasirin, dkk., 2014. Analisis imunogenitas virus dengue inaktif
er

(DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4) pada mencit (Mus


ip

musculus) sebagai kandidat vaksin koktail Dengue. Veterinari


D

Medika, 7(2), pp.140–145.


uk
nt

Fernandez S, Thomas SJ, De La Barrera R, Im-erbsin R, Jarman RG,


U

Baras B, et al., 2015. An adjuvanted, tetravalent dengue virus-


k

purified inactivated vaccine candidate induces long-lasting and


da

protective antibody responses against dengue challenge in rhesus


Ti

Macaques. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene,


92(4), pp.698–708.
Forum Riset Vaksin Nasional (PRVN), 2011. Roadmap dengue
vaccines. Kementerian riset dan tekhnologi. Tersedia di: http://
ristek.go.id/file/upload/Referensi/ RAKORNAS/Presentasi
Komisi/Kesehatan_Dengue.pdf [Diakses tanggal 25 April, 2015].
Fu J, Tan B, Yap E, Chan Y & Tan Y, 1992. Full-length cDNA sequence
of dengue type 1 virus (Singapore strain S275/90). Virology, 958,

140
pp.953–958.
Guirakhoo F, Weltzin R, Chambers TJ, Zhang ZX, Soike K, Ratterree
M, et al., 2000. Recombinant chimeric yellow fever-dengue type 2
virus is immunogenic and protective in nonhuman primates. Journal
of virology, 74(12), pp.5477–5485.
Guzman MG, Halstead SB, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Gubler DJ,
et al., 2010. Dengue: a continuing global threat. Nature reviews.
Microbiology, 8(12 Suppl), pp.S7-16.
Guzman MG & Harris E, 2015. Dengue. The Lancet, 385, pp.453–465.

an
Hadisoemarto PF & Castro MC, 2013. Public acceptance and willingness-

lik
to-pay for a future dengue vaccine: a community-based survey in

be
Bandung, Indonesia. PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(9).
al
Halstead SB & Zompi S, 2015. Protective immune responses to dengue
ju
er

virus infection and vaccines: perspectives from the field to the bench.
ip

Frontiers in Immunology, 6, pp.1–2.


D

Henchal E a & Putnak JR, 1990. The dengue viruses. Clinical microbiology
uk

reviews, 3(4), pp.376–96.


nt
U

Hendri J, 2014. Masalah virus dengue belum terpecahkan, serotipe


k

baru diklaim telah ditemukan. INSIDE, pp.4–5.


da
Ti

Hendrianto E, 2013. Stabilitas gen pengkode protein envelope (E)


virus dengue serotipe 1 sebagai kandidat vaksin isolat Indonesia.
Universitas Airlangga. Tersedia di: http://elib.pdii.lipi.go.id
[Diakses tanggal 17 Juli, 2018]
Herrero LJ, Zakhary A, Gahan ME, Nelson M a., Herring BL, Hapel
AJ, et al., 2013. Dengue virus therapeutic intervention strategies
based on viral, vector and host factors involved in disease pathogenesis.
Pharmacology and Therapeutics, 137(2), pp.266–282.

141
Hidari KIPJ, Abe T & Suzuki T, 2013. Carbohydrate-related inhibitors of
dengue virus entry. Viruses, 5, pp.605–18.
Huang CY, Butrapet S, Tsuchiya KR, Bhamarapravati N, Gubler DJ,
Richard M, et al., 2003. Dengue 2 PDK-53 virus as a chimeric
carrier for tetravalent dengue vaccine development. Journal of
virology, 77(21), pp.11436–11447.
Ichiyama K, Gopala Reddy SB, Zhang LF, Chin WX, Muschin T, Heinig
L, et al., 2013. Sulfated polysaccharide, curdlan sulfate, efficiently
prevents fntry/Fusion and restricts antibody-dependent enhancement
of dengue virus infection in vitro: a possible candidate for clinical

an
application. PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(4), p.e2188.

lik
Jadav SS, Kaptein S, Ajaykumar T, De Burghgraeve T, Nayak V, Ganesan
be
R, et al., 2015. Design, synthesis, optimization and antiviral activity
al
ju
of a class of hybrid dengue virus E protein inhibitors. Bioorganic &
er

Medicinal Chemistry Letters, (in press, accepted manuscript).


ip
D

Kaptein SJF, De Burghgraeve T, Froeyen M, Pastorino B, Alen MMF,


uk

Mondotte J a., et al., 2010. A derivate of the antibiotic doxorubicin


nt

is a selective inhibitor of dengue and yellow fever virus replication in


U

vitro. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 54(12), pp.5269–


k

5280.
da

Karyanti MR, Uiterwaal CS, Kusriastuti R, Hadinegoro SR, Rovers


Ti

MM, Heesterbeek H, et al., 2014. The changing incidence of


Dengue Haemorrhagic Fever in Indonesia: a 45-year registry-based
analysis. BMC infectious diseases, 14, p.412.
Kementerian Kesehatan RI, 2018. Data dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia 2017; R. Kurniawan, B. Hardhana, dan Yudianto,
editor., Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Lai H, Sridhar Prasad G & Padmanabhan R, 2013. Characterization

142
of 8-hydroxyquinoline derivatives containing aminobenzothiazole as
inhibitors of dengue virus type 2 protease in vitro. Antiviral Research,
97, pp.74–80.
Lang J, 2012. Development of Sanopi Pasteur tetravalent dengue vaccine.
Rev. Inst. Med. Trop. Sao Paulo, 54(18), pp.S15–S17.
Latour DR, Jekle A, Javanbakht H, Henningsen R, Gee P, Lee I, et al.,
2010. Biochemical characterization of the inhibition of the dengue
virus RNA polymerase by beta-d-2’-ethynyl-7-deaza-adenosine
triphosphate. Antiviral Research, 87(2), pp.213–222.
Lestari W, 2014. Produksi dan Karakterisasi Imunogenisitas Protein

an
Rekombinan Nonstruktural 1 Virus Dengue Serotipe1 Strain

lik
Indonesia Bagi Pengembangan Kandidat Vaksin Dengue (Tahap
be
I dan II). Laporan Penelitian, Tersedia di: http://elib.pdii.lipi.go.id
al
ju
[Diakses tanggal 17 Juli, 2018]
er

Lindenbach BD, Theil H-J & Rice CM, 2007. Flaviviridae: the viruses
ip
D

and their replication. In D. M. Knipe & P. M. Howley, eds. Fields


uk

virology. Philadephia: Lippincott-Raven Publishers.


nt

Lorenz I, Allison S, Heinz F & Helenius A, 2002. Folding and


U

dimerization of tick-borne encephalitis virus envelope proteins prM


k
da

and E in the endoplasmic reticulum. Journal of virology, 76(11),


pp.5480–5491.
Ti

Low JG, Sung C, Wijaya L, Wei Y, Rathore APS, Watanabe S, et al.,


2014. Efficacy and safety of celgosivir in patients with dengue fever
(CELADEN): A phase 1b, randomised, double-blind, placebo-
controlled, proof-of-concept trial. The Lancet Infectious Diseases,
14(8), pp.706–715.
Low JGH, Ooi EE & Vasudevan SG, 2017. Current status of dengue
therapeutics research and development. Journal of Infectious Diseases,

143
215, pp.S96–S102.
Luo D, Xu T, Hunke C, Grüber G, Vasudevan SG & Lescar J, 2008.
Crystal structure of the NS3 protease-helicase from dengue virus.
Journal of virology, 82(1), pp.173–83.
Lyons AG, 2014. The human dengue challenge experience at the walter reed
army institute of research. Journal of Infectious Diseases, 209(Suppl
2), pp.49–55.
McArthur MA, Sztein MB & Edelman R, 2013. Dengue vaccines: recent
development, ongoing challenges and current candidates. Expert Rev
Vaccines, 12(8), pp.933–953.

an
lik
Mukhopadhyay S, Kuhn RJ & Rossmann MG, 2005. A structural

be
perspective of the flavivirus life cycle. Nature reviews. Microbiology,
al
3, pp.13–22.
ju
er

Murray RK, Granner DK, Mayes, Peter A & Rodwel VW, 1995.
ip

Biokimia Harper 22nd ed. D. H. Ronardy, ed., Jakarta: EGC.


D

Murrell S, Wu SC & Butler M, 2011. Review of dengue virus and the


uk

development of a vaccine. Biotechnology Advances, 29(2), pp.239–


nt

247.
U
k

Mustafa MS, Rasotgi V, Jain S & Gupta V, 2015. Discovery of fifth


da

serotype of dengue virus (DENV-5): A new public health dilemma in


Ti

dengue control. Medical Journal Armed Forces India, 71, pp.67–70.


Nasronudin, Lusida MI, Rachman B, Rusli M, Isfandiari M., Apryani
E, et al., 2014. Melaleuca Alternifolia Concentrate (MAC) as a
Causal Therapy of Dengue Infection. Poster Session no.0410 in. In
32nd World Congress of Internal Medicine. Seoul.
Noble CG, Chen YL, Dong H, Gu F, Lim SP, Schul W, et al., 2010.
Strategies for development of dengue virus inhibitors. Antiviral
Research, 85(3), pp.450–462.

144
Normile D, 2013. Surprising new dengue virus throws a spanner in disease
control efforts. Science, 342, p.415.
Oktariani R & Laila R, 2013. Pengembangan Transmission Blocking
Vaccine (TBV) Melawan Demam Berdarah Dengue (DBD) :
Identifikasi Faktor Imunomodulator Putatif dari Salivary
Gland Aedes aegypti Berbasis Reaksi Antigen-Antibodi Vektor
dan Inang Manusia, Tersedia di: http://repository.unej.ac.id/
handle/123456789/ 61211,[Diakses tanggal 17 juli, 2018]
Osatomi K & Sumiyoshi H, 1990. Complete nucleotide sequence of
dengue type 3 virus genome RNA. Virology, 176, pp.643–647.

an
Osorio JE, Huang CYH, Kinney RM & Stinchcomb DT, 2011.

lik
Development of DENVax: A chimeric dengue-2 PDK-53-based
be
tetravalent vaccine for protection against dengue fever. Vaccine,
al
29(42), pp.7251–7260.
ju
er

Perry ST & Buck MD, 2011. Better late than never : antivirals for dengue.
ip

Expert Rev. Anti Infect. Ther., 9(7), pp.755–757.


D
uk

Putnak R, Barvir D a, Burrous JM, Dubois DR, D’Andrea VM, Hoke


nt

CH, et al., 1996. Development of a purified, inactivated, dengue-2


U

virus vaccine prototype in Vero cells: immunogenicity and protection


k

in mice and rhesus monkeys. The Journal of infectious diseases, 174,


da

pp.1176–1184.
Ti

Rantam FA, Priyatna DY, Sucipto, Hermawan AA, Amin M &


Sulistiowati M, 2000. Model pembakuan protein E rekombinan
virus dengue dengan baculovirus sebagai kandidat vaksin klon
subunit isolat Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonenesia.
Tersedia di: http://elib.pdii.lipi.go.id [Diakses tanggal 17 Juli,
2018].
Rantam FA, Soegijanto S & Sudiana K, 2008. Rekombinan Protein
E Virus Dengue Subtipe Baru dan Konvensional dengan

145
Balculovirus sebagai Bahan Vaksin Klon Subunit. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonenesia. Tersedia dit: http://elib.pdii. lipi.go.id
[Diakses tanggal 17 Juli, 2018].
Ristek, 2014. Simposium nasional implementasi hasil riset vaksin.
Tersedia di: http://www.ristek.go.id/index.php/module/
News+News/id/1485 [Diakses tanggal 2 April, 2015].
Said NS, Susilowati H, Karsari D, Hendrianto E, Mufasirin & Rantam
FA, 2014. Kloning fragmen gen non-struktural 1 (NS1) virus
dengue subtipe (DENV-1) sebagai Kandidat bahan vaksin
chimera. Veterinari Medika, 7(2), pp.184–193.

an
Sasmono RT, Yohan B, Setianingsih TY, Aryati, Wardhani P & Rantam

lik
FA, 2012. Identifikasi genotip dan karakterisasi genome virus
be
dengue di Indonesia untuk penentuan prototipe virus bahan
al
ju
pembuatan vaksin dengue berbasis strain Indonesia. Dalam
er

Prosisding InSINas.
ip
D

Soegijanto S, Rantam FA, Soetjipto, Sudiana K & Priyatna Y, 2003. Uji


uk

coba vaksin dengue rekombinan pada hewan coba Mencit,Tikus,


nt

Kelinci dan Monyet. Sari Pediatri, 5(2), pp.64–71.


U

de Sousa LRF, Wu H, Nebo L, Fernandes JB, da Silva MFDGF, Kiefer


k
da

W, et al., 2015. Flavonoids as noncompetitive inhibitors of dengue


virus NS2B-NS3 protease: inhibition kinetics and docking studies.
Ti

Bioorganic & Medicinal Chemistry, 23(3), pp.466–470.


Sucipto, 2001. Isolasi dan karakterisasi protein imunogenik virus
dengue di Indonesia sebagai bahan vaksin subunit : laporan
penelitian. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonenesia. Tersedia di:
http://elib.pdii.lipi.go.id [Diakses tanggal 17 Juli, 2018].
Sudiro H & Rantam FA, 2012. Pengembangan vaksin chimera dan clon
subunit virus dengue isolate Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan

146
Indonenesia. Tersedia di: http://elib.pdii.lipi.go.id [Diakses tanggal
17 Juli, 2018].
Sudiro TM & Dewi BE, 2012. Pengembangan diagnostik molekular
dan vaksin demam berdarah dengue dengan menggunakan strain
virus Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonenesia. Tersedia
di: http://elib.pdii.lipi.go.id [Diakses tanggal 17 Juli, 2018].
Sujono T., 2014. Pengaruh pemberian kapsul melaleuca alternifolia
concentrate (MAC) terhadap tanda vital, gambaran hematologi,
kimia darah dan urin rutin pada subjek sehat. Gadjah Mada.
Sumarmo, 1987. Dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Southeast

an
Asian J Trop Med Public Health, 18(3), pp.269–274.

lik
be
Syahrurakhman A, Mardiastuti, Sunarti, Subandrio A, Lismanawaty E,
al
Ernawati B, dkk., 1995. Usaha mencari calon vaksin dengue untuk
ju
lima tahun pertama : antigenisitas dan imunogenisitas dengue 2
er

rekombinan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonenesia. Tersedia di:


ip
D

http://elib.pdii.lipi.go.id [Diakses tanggal 17 Juli, 2018].


uk

Tambunan US. & Parikesit A., 2014. Biokimia dan Teknologi Farmasi:
nt

Desain obat dan vaksin dengan pendekatan biomedis molekular.


U

Seminar Nasional Biokimia. Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah.


k
da

Tersedia di: http://works.bepress.com/ arli_parikesit/9/ [Diakses


tanggal 2 Februari, 2016].
Ti

The Lancet Infectious Diseases, 2018. The dengue vaccine dilemma.


The Lancet Infectious Diseases, 18(2), p.123.
Urfa EL, Dewi BE & Sudiro TM, 2014. Respon imun selular dan
humoral mencit yang diimunisasi kandidat vaksin DNA dengue
berbasis gen preM-E serotipe 4 strain Indonesia. Majalah
Kedokteran Andalas, 37(2), pp.75–85.
Villar L, Dayan GH, Arredondo-García L, Rivera DM, Cunha R,

147
Deseda C, et al., 2015. Efficacy of a tetravalent vengue Vaccine in
children in Latin America. N Engl J Med, 372(2), pp.113–123.
Wallace D, Canouet V, Garbes P & Wartel TA, 2013. Challenges in
the clinical development of a dengue vaccine. Current Opinion in
Virology, 3(3), pp.352–356.
Wan S-W, Lin C-F, Wang S, Chen Y-H, Yeh T-M, Liu H-S, et al., 2013.
Current progress in dengue vaccines. Journal of biomedical science,
20(1), p.37.
Whitehorn J, Van VCN & Simmons CP, 2014. Dengue human infection
models supporting drug development. , 209(Suppl 2), pp.s66–s70.

an
lik
WHO, 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control

be
of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever, New Delhi, India:
al
WHAO SEARO.
ju
er

WHO, 2012. Global strategy for dengue prevention and control 2012-
ip

2020, Geneva, Switzerland: WHO Press.


D

WHO, 2004. Prevention and Control of Dengue and Dengue


uk

Haemorrhagic, New Delhi: WHO SEARO no.29.


nt
U

WHO, 2014. Questions and answers on vengue Vaccines : Phase IIb study
k

of CYD-TDV. , (July), pp.1–2. Tersedia di: http://www.who.int/


da

immunization/research /development/dengue_vaccines [Diakses


Ti

tanggal 5 April, 2015].


WHO, 2018. Revised SAGE recommendation on use of dengue vaccine.
Immunization, Vaccines and Biologicals. tersedia di: http://
www.who.int/immunization/diseases /dengue/revised_SAGE_
recommendations_dengue_vaccines_apr2018/en/[Diakses
Tanggal 25 Juli, 2018].

148
BAB 8

an
EPIDEMIOLOGI DAN BEBAN PENYAKIT DENGUE

lik
be
DI INDONESIA al
ju
Mara Ipa
er
ip

Pendahuluan
D

Beberapa dekade terakhir Demam Berdarah Dengue (DBD) secara


uk

substansial menunjukkan eskalasi sebagai “ancaman” bagi kesehatan,


nt

ekonomi, dan layanan kesehatan (WHO)., 2012). Badan Kesahatan


U

Dunia (WHO) memperkirakan 50-100 juta orang berisiko terinfeksi


k
da

dengue secara global per tahun, kondisi ini termasuk di dalamnya


Ti

500.000 penderita dan 20.000 kematian. Hal ini dipertajam oleh hasil
studi pemodelan terbaru yang menunjukkan lebih kurang empat miliar
orang di lebih 120 negara berisiko dengue dan sebagian besar terjadi
di wilayah Asia Pasifik dengan kasus simptomatik sebesar 50-100 juta
(Bhatt S, 2013; Stanaway JD, 2013).
Negara-negara anggota di tiga wilayah WHO secara teratur
melaporkan jumlah kasus tahunan. Jumlah kasus dilaporkan meningkat
dari 2,2 juta pada tahun 2010 menjadi 3,2 juta pada tahun 2015.

149
Meskipun beban global dari penyakit ini tidak pasti, inisiasi kegiatan
untuk mencatat semua kasus demam berdarah sebagian menjelaskan
peningkatan tajam dalam jumlah kasus yang dilaporkan dalam
beberapa tahun terakhir. Ciri-ciri lain dari penyakit ini termasuk
pola-pola epidemiologisnya, termasuk dalam kategori hiperendemik.
Beberapa serotipe virus dengue di banyak negara dan dampak yang
mengkhawatirkan pada kesehatan manusia dan ekonomi global dan
nasional (Brady OJ, Gething PW, Bhatt S, Messina JP, Brownstein JS,
2012; Bhatt S, 2013).
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak pertama kali

an
dilaporkan terjadi di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968, penyakit

lik
ini telah berkembang, baik dalam jumlah kasus dan luasan wilayah

be
endemisnya. Perkembangan situasi DBD di Indonesia memberikan
al
gambaran Incidence Rate (IR) Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan
ju
Barat, dan Aceh berturut-turut menduduki ranking teratas, yaitu di
er

atas target IR (> 49/100.000 penduduk), dengan rata-rata IR Nasional


ip

26,10 (26/100.000 penduduk) (Kementerian Kesehatan RI, 2018).


D
uk
nt
U
k
da
Ti

Gambar 1. Incidence Rate (IR) per Provinsi Tahun 2017


Sumber: Ditjen P2P, 2018
Faktor determinan epidemiologi dengue meliputi beberapa hal
berikut: 1) perubahan demografi termasuk pertumbuhan penduduk,
tren ekonomi di negara-negara tropis, dan pola penggunaan lahan;
2) peningkatan ukuran dan kepadatan penduduk perkotaan karena
migrasi desa ke perkotaan; 3) transportasi modern dengan peningkatan
pergerakan orang, komoditas, hewan, vektor, dan patogen; dan 4)
perubahan dalam kebijakan dan infrastruktur kesehatan publik (Gubler,
2010). Namun demikian, penentuan beban kesehatan dan ekonomi
masyarakat akibat DBD merupakan elemen dari strategi Global WHO
sebagai upaya pencegahan dan pengendalian DBD. Sebagai salah satu
elemen penting, maka bahasan “ancaman” akan diterjemahkan dalam

an
konsep beban penyakit demam berdarah di Indonesia.

lik
Beban Penyakit
be
al
Setiap kejadian penyakit (menular maupun tidak menular) selalu
ju
er

menimbulkan beban (burden) bagi komunitas atau negara. Beban


ip

penyakit dapat diidentikkan dengan biaya, waktu, dan tenaga yang


D

hilang akibat kejadian yang berhubungan dengan kesehatan. Lebih


uk

lanjut beban penyakit didefinisikan sebagai konsekuensi biaya, yakni


nt

sebagai akumulasi biaya medis, ekonomis, dan psikososial pada suatu


U

kondisi penyakit. Namun demikian, beban penyakit tidak hanya


k
da

dikalkulasikan dalam bentuk biaya (Agyemang, 2016). Beberapa ahli


epidemiologi memasukkan unsur biaya dan tenaga/manusia dalam
Ti

menentukan beban penyakit. Beberapa ukuran dalam mengestimasi


beban penyakit dan disabilitas pada populasi tertentu antara lain: Insiden
(jumlah kasus baru pada periode tertentu); Prevalens (jumlah pasien
dengan kasus penyakit pada satu periode); Mortalitas (angka kematian).
Pada penyakit tidak menular (PTM), perhitungan beban penyakit yang
paling mudah adalah dengan angka mortalitas (Brownson, 1998); Case-
Fatality Rate (CFR); jumlah hari disabilitas (disability days) selama
berlangsungnya kejadian penyakit; hidup (lives), jumlah tahun-hidup

151
(life-years), atau jumlah tahun-sehat (healthy-years) yang hilang pada
satu kondisi penyakit tertentu; kualitas kehidupan (quality of life);
QALY (Quality-Adjusted Year Life), DALY (Disability-Adjusted Life
Year), atau HeaLY (Healthy Life Year); biaya perawatan per pasien/
individu pada kondisi tertentu atau cost of illness; dan kontribusi
kondisi penyakit terhadap produktivitas yang hilang (Kelsi, Jennifer L.,
Diana B. Petiti, 1998).
Konsep beban penyakit atau lebih dikenal dengan Burden of
Disease mulai dipublikasikan oleh World Health Organization
(WHO) tahun 1996 dengan konsep Global Burden Disease (GBD)

an
atau beban penyakit secara global. Konsep ini merupakan konsep yang

lik
paling komprehensif dan konsisten dalam mengestimasi mortalitas dan

be
morbiditas penyakit. Konsep ini dibuat untuk mengkuantifikasi beban
al
akibat kematian dini (prematur mortality) dan disabilitas (disability)
ju
bagi penyakit-penyakit utama atau kelompok penyakit. Konsep GBD
er

menggunakan ukuran sederhana kesehatan populasi yang disebut


ip

DALYs (Disability-Adjusted Life Years). DALY mengkombinasikan


D

Years Life Lost (YLL) dan YLD (Years Live with Disability) (Mathers
uk

et al., 2004).
nt
U

Beban Penyakit Dengue


k
da

Beban penyakit dengue berawal pada tahun 1950 dan 1960-an,


Ti

penyakit ini terbatas pada beberapa negara di Asia Tenggara. Seiring


pertumbuhan ekonomi, maka epidemi dengue tumbuh dan semakin
meluas, kondisi ini terjadi karena sedikitnya upaya pengendalian vektor
nyamuk. Epidemi dengue dalam dua dekade terakhir abad ke-20
terjadi perluasan secara regional dan global. Epidemi meningkat baik
secara jumlah dan luasannya, dan virus menjadi hiperendemik (co-
circulation dari beberapa serotipe virus) di sebagian besar kota-kota
besar di daerah tropis. Terlepas dari kemunculan yang mengkhawatirkan
ini dari bentuk epidemi dengue yang parah dan mematikan, penyakit

152
itu masih dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat kecil oleh
para pembuat kebijakan (Gubler, 2012).

an
lik
be
al
ju
er

Gambar 2. Perkiraan jumlah tahunan kasus demam berdarah dan rawat inap
ip

di Indonesia 2006–2015 (Halasa Y; Shepard D; Zeng W., 2017)


D
uk

Beban penyakit dengue telah dilakukan di negara-negara Asia


nt

dan Amerika dalam upaya mengukur dampak ekonomi di komunitas.


U

Studi dilakukan di Puerto Rico terhadap pasien dengue anak-anak dan


k

dewasa antara Juli 2008 dan Maret 2010 baik rawat jalan dan rawat
da

inap. Hasil wawancara secara komprehensif menggali bagaimana


Ti

dengue yang dideritanya memengaruhi kondisi finansial (mengukur


biaya, baik langsung maupun tidak langsung) dan diketahui hasilnya
bahwa individu rumah tangga menanggung beban terbesar (48%)
dibandingkan dengan pemerintah (24%) dan asuransi (22%). Total
biaya tahunan demam berdarah antara 2002 dan 2010 adalah $ 46,45
juta ($ 418 juta selama periode 9 tahun) (Halasa Y; Shepard D; Zeng
W., 2017).

153
Hasil studi di negara-negara Asia Tenggara tahun 2010 dalam
mengestimasi beban ekonomi demam berdarah (biaya dalam US$)
dihitung berdasarkan rata-rata kasus dari tahun 2001-2005. Studi
ini menunjukkan bahwa biaya tahunan untuk demam berdarah di
Kamboja sebesar $US 3,1 juta; Malaysia $US 42,4 juta; dan Thailand
$US 53,1 juta (JA, Suaya; DS, 2009). Penelitian serupa tentang
beban ekonomi dan penyakit demam berdarah di Asia tenggara tahun
2001-2010 (perhitungan di luar biaya pencegahan dan pengendalian
vektor dan kasus sequale dengue jangka panjang), diperoleh rata-rata
tahunan 2,9 juta satu periode menderita dengue dan 5.906 kematian.
Beban ekonomi tahunan (CI=95%) adalah US $ 950 juta (US $ 610

an
– US $ 1.384 juta) atau sekitar US $ 1,65 (US $ 1,06 – US $ 2,41)

lik
per kapita. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengue menimbulkan
be
beban ekonomi dan penyakit yang substansial di kawasan Asia tenggara
al
dengan beban DALY 372 (210–520) per juta penduduk di wilayah
ju
er

tersebut. Beban ini lebih tinggi daripada 17 kondisi lainnya, termasuk


ip

Japanese encephalitis, infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan


D

hepatitis B (Shepard and Eduardo A. Undurraga; Yara A. Halasa, 2013).


uk

Beban penyakit dengue di Indonesia berdasar literatur review,


nt

hasil estimasi melalui metode Delphi diketahui bahwa rata-rata


U
k

tahunan (2006–2015) dari 612.005 kasus demam berdarah, maka


da

183.297 adalah rawat inap. Perkiraan ini lebih rendah daripada yang
Ti

dipublikasikan di tempat lain, mungkin karena definisi kasus, lokal,


persepsi klinis, dan perilaku mencari pengobatan (Halasa Y; Shepard
D; Zeng W., 2017). Penelitian yang dilakukan Banjarnegara terhadap
57 responden penderita DBB di rumah sakit (RS) dan puskesmas,
disimpulkan biaya penyakit demam berdarah adalah 275.307.500
IDR, yakni 75.29% adalah biaya langsung dan 24.71% biaya tidak
langsung (Sihite et al., 2017). Pada umumnya besar biaya perawatan,
baik rawat jalan dan rawat inap, berbanding lurus dengan lama sakit
penderita. Lama sakit penderita DBD sebagian besar (96,49%) >7

154
hari sehingga biaya yang harus dikeluarkan lebih besar dibandingkan
dengan penderita yang lama sakitnya ≤ 7 hari. Seperti hasil penelitian
Campenhausen, yang menyatakan biaya meningkat sejalan dengan
tingkat keparahan penyakit (von Campenhausen S et.al., 2011).
Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang peningkatan
IR tertinggi antara tahun 1990-2003, kondisi ini melawan tren
global dalam mengurangi penyakit menular. Stanaway et al., (2013)
menyatakan bahwa salah satu hasil yang paling komprehensif untuk
mengukur beban penyakit DBD di beberapa negara salah satunya di
Indonesia. Limitasi dalam penelitiannya disebutkan salah satunya

an
adalah Data gaps, yaitu adanya data yang under reported di Indonesia

lik
bahwa data kematian faktanya lebih besar daripada yang terlaporkan.

be
Keterbatasan tersebut tidak menghalangi untuk dilakukan penelitian
al
selanjutnya terkait beban penyakit DBD dengan memperbarui dan
ju
meningkatkan keakuratan data. Situasi beban penyakit DBD sangat
er

urgensi dalam membantu para pembuat kebijakan dalam menilai


ip

dan mengidentifikasi strategi pengendalian dengan biaya yang efektif


D

sehingga dapat mengurangi penularan dan beban penyakit DBD itu


uk

sendiri.
nt
U

Penutup
k
da

Ketersediaan data yang komprehensif terkait Beban Penyakit


Ti

Demam Berdarah Dengue adalah sebuah kebutuhan di negara-negara


endemis, termasuk Indonesia. Studi ini diperlukan untuk membantu
para pembuat kebijakan dan pejabat kesehatan masyarakat dalam
membuat keputusan berdasarkan informasi efektivitas biaya program
pengendalian demam berdarah.

155
Daftar Pustaka
(WHO)., W. H. O. (2012) Global Strategy for Dengue Prevention and
Control 2012-2020. Geneva, Switzerland.
Agyemang, A. A. de-G. C. (2016) “Introduction: Addressing the Chronic
Non-communicable Disease Burden in Low-and-Middle-income
Countries. UK.
Bhatt S, et al. (2013) ‘The global distribution and burden of dengue.’,
Nature 2013; 496: 504–507., 496, p. 504–507.
Brady OJ, Gething PW, Bhatt S, Messina JP, Brownstein JS, H. A.

an
et al. (2012) ‘Refining the global spatial limits of dengue virus

lik
transmission by evidence-based consensus.’, PLoS Negl Trop Dis.,

be
6:e1760. doi: doi:10.1371/journal.pntd.0001760.
al
Brownson, R. C. (1998) “Epidemiology: the Foundation of Public
ju
er

Health”, Applied Epidemiology: Theory and Practice. New York:


ip

Oxford University Press.


D

von Campenhausen S et.al. (2011) ‘Costs of illness and care in


uk

Parkinson’s disease: an evaluation in six countries. European’,


nt

Neuropsychopharmacology., Feb 1;21(2, p. 180–91.


U
k

Gubler (2010) The epidemiology and disease burden of dengue fever.


da

Available at: http://www.globe-network.org/documents/


Ti

conferences/2010/Flavirus-vaccination/%0APresentation-Gubler.
pdf.
Gubler, D. J. (2012) ‘The economic burden of dengue’, American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene. doi: 10.4269/
ajtmh.2012.12-0157.
Halasa Y; Shepard D; Zeng W. (2017) ‘Indonesian dengue burden
estimates: Review of evidence by an expert panel’, Epidemiology
and Infection. doi: 10.1017/S0950268817001030.

156
JA, Suaya; DS, S. J. S. et al. (2009) ‘Cost of dengue cases in eight
countries in the Americas and Asia: A prospective study.’, Am J
Trop Med Hyg, 80, p. 846–855.
Kelsi, Jennifer L., Diana B. Petiti, dan A. C. K. (1998) “Key Methodologic
Concepts and Issues” Applied Epidemiology: Theory and Practice,.
New York: Oxford University Press,.
Kementerian Kesehatan RI (2018) Evaluasi Pelaksanaan Program
P2PTVZ. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Mathers, C. et al. (2004) ‘The global burden of disease 2004’, Update,
p. 1–160. doi: 10.1038/npp.2011.85.

an
lik
Shepard, D. S. and Eduardo A. Undurraga; Yara A. Halasa (2013)

be
‘Economic and Disease Burden of Dengue in Southeast Asia’,
al
PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(2). doi: 10.1371/journal.
ju
pntd.0002055.
er
ip

Sihite et al. (2017) ‘Beban biaya penyakit demam berdarah dengue


D

di rumah sakit dan puskesmas’, Berita Kedokteran Masyarakat,


uk

Volume 33, pp. 357–364.


nt

Stanaway JD, et al. (2013) ‘The global burden of dengue: an analysis


U

from the Global Burden of Disease Study 2013.’, Lancet Infectious


k
da

Diseases, 3099, pp. 1–12.


Ti

157
Ti
da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
be
lik
an
EPILOG:

an
DENGUE DALAM MULTI PERSPEKTIF

lik
be
Upik Kesumawati Hadi
al
ju
Buku bunga rampai dengan tema “Dengue dalam Multi
er

Perspektif ” mengupas secara komprehensif permasalahan Demam


ip
D

Berdarah Dengue (DBD) mulai dari etiologi dan dinamikanya, diikuti


uk

dengan bioekologi vektor, transmisi transovarial sebagai mekanisme


virus dengue dalam mempertahankan eksistensi diri di alam, insektisida
nt
U

dalam pengendalian vektor demam berdarah dengue, daya ungkit peran


k

serta masyarakat dalam pengendalian demam berdarah dengue, “silent


da

infection” dengue, perkembangan dan tantangan vaksin dengue, dan


Ti

beban penyakit dengue di Indonesia.


Secara ringkas, tulisan itu membawa kepada pembaca untuk
menyelami segala permasalahan DBD yang selama ini seakan-akan
tidak kunjung selesai dan tetap menjadi masalah kesehatan utama di
Indonesia, terutama di daerah perkotaan. Gejala klinis DBD pada
awalnya muncul menyerupai gejala flu dan tifus (typhoid), yang
dapat berkembang menjadi kematian apabila salah dalam penanganan.
Dalam buku ini dijelaskan juga oleh penulis tentang berbagai tipe

159
DBD dan bahkan khusus mengangkat peran “silent infection” dengue
dalam satu topik bahasan tersendiri. Siklus normal infeksi DBD secara
epidemiologi, terjadi antara manusia-nyamuk Aedes-manusia. Selain
dapat menimbulkan kematian, infeksi DBD dapat menular dengan
cepat melalui gigitan vektor, oleh karenanya menimbulkan keresahan
masyarakat khususnya, dan secara umum menjadi beban negara yang
cukup mengganggu kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sejatinya, DBD disebabkan oleh satu dari empat bahan antigenik
(virus) yang dikenal serotipe 1-4 (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-
4) dari genus Flavivirus, famili Flaviridae. Sejauh ini, nyamuk Aedes

an
aegypti dan Ae. albopictus dikenal sebagai vektor utama dan sekunder

lik
infeksi DBD di Indonesia. Sekali nyamuk tertular virus, seumur

be
hidupnya akan menjadi nyamuk yang infektif dan mampu menyebarkan
al
virus ke inang/orang lain ketika mengisap darah berikutnya. Nyamuk
ju
infektif ini juga dapat menularkan virus ke generasi berikutnya secara
er

transovarial melalui telur. Jadi, transmisi atau penularan virus dengue


ip

dapat secara horizontal melalui gigitan, juga terjadi secara vertikal atau
D

transovarial pada nyamuk ke keturunannya. Para ahli menyatakan


uk

bahwa transmisi transovarial virus dengue berpotensi meningkatkan


nt
U

kemungkinan terjadinya wabah atau kejadian luar biasa dengue, atau


k

setidaknya memberikan kontribusi untuk terpeliharanya virus dengue


da

di suatu daerah endemis.


Ti

Hingga saat ini belum ditemukan obat khusus yang dapat


membunuh virus demam berdarah. Demikian pula dengan vaksin,
meskipun saat ini sudah tersedia, namun beberapa kelemahan yang
muncul memacu para peneliti menemukan kandidat lain yang lebih baik.
Sampai saat ini kandidat tersebut masih dalam tahap pengembangan
termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, upaya pencegahan yang utama
adalah dengan cara menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dan upaya
memutus siklus hidup vektor penularnya. Pemahaman bioekologi

160
nyamuk menjadi penting sebagai landasan dalam menyusun strategi
pengendalian vektor yang tepat. Upaya pengendalian nyamuk demam
berdarah seharusnya sudah menjadi bagian kita semua, masyarakat
dapat melakukannya dengan mudah melalui pola hidup bersih dan
sehat. Misalnya, upaya menghilangkan habitat pradewasa nyamuk
seminggu sekali dengan 3M plus, atau 4M plus yaitu Menguras (kalau
mungkin), Menutup (jangan lupa), Mengubur/Memusnahkan/
Mendaur ulang, dan Memantau semua wadah air yang ada di sekitar
rumah. Plus menggunakan antinyamuk secara bijak.
Akhir kata, tidaklah berlebihan buku bunga rampai ini mengajak

an
pembaca untuk lebih jauh menyelam ke dalam berbagai pertanyaan

lik
terkait dengan “Dengue dalam Berbagai Perspektif?”. Konsep One

be
Health diharapkan juga dapat berperan mengatasi permasalahan DBD.
al
Konsep tersebut mengharuskan adanya peran lintas sektor dan lintas
ju
program antara pemerintah, asosiasi/perhimpunan profesi, dunia
er

usaha, para pemerhati lingkungan, pemerhati nyamuk, dan masyarakat


ip

untuk bersama-sama memberikan kontribusi melawan DBD. Semoga


D

terbitnya buku ini akan menggugah kita bersama untuk berpartisipasi


uk

mengendalikan demam berdarah dengue di tanah air tercinta.


nt
U

Sumber Acuan
k
da

Hadi, UK. 2016. Pentingnya pemahaman bioekologi vektor demam


Ti

berdarah dengue dan tantangan upaya pengendaliannya. Orasi


Ilmiah Guru Besar IPB. PT Penerbit IPB Press. 99 hal.
[Kemenkes RI]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014.
Profil PP dan PL 2013. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta
[WHO]. World Health Organization. 2009. Dengue Guidelines
For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control Treatment,
Prevention And Control. Geneva.

161
DAFTAR SINGKATAN

3M : Menguras, Menutup, Mengubur


ABJ : Angka Bebas Jentik
AC : Air Conditioner
ADE : Antibody Dependent Enhancement
Ae : Aedes
BI : Breateau Index
BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

an
lik
C : Celsius
C : Core
be
al
CDC : Center for Disease Control
ju
er

CFR : Case Fatality Rate


ip
D

CI : Container Index
uk

DALY : Disability-Adjusted Life Year


nt

DALYs : Disability-Adjusted Life Years


U
k

DBD : Demam Berdarah Dengue


da

DEET : Diethyl Meta Toluamide


Ti

DEN : Dengue
DENV : Dengue Virus
Depkes : Departemen Kesehatan
DF : Dengue Fever
DHF : Dengue Haemorraghic Fever
dll : dan lain-lain

162
DNA : Deoxyribonucleic Acid
DSS : Dengue Shock Syndrome
E : Envelope
ELISA : Enzyme Linked Imunosorbent Assay
F : Filial
GBD : Global Burden Disease
HCV : Hepatitis C Virus
HeaLY : Healthy Life Year

an
HI : House Index

lik
IDR : Indonesian Rupiah
IgM : Immunoglobulin M be
al
ju
IISBC : Imunositokimia - imunoperoksidase Streptavidin
er

Biotin Complex
ip
D

IPB : Institut Pertanian Bogor


uk

IR : Incidence Rate
nt

IUPAC : The International Union of Pure and Applied


U

Chemistry
k
da

kDa : Kilo Dalton


Ti

Kemenkes : Kementerian Kesehatan


KLB : Kejadian Luar Biasa
KOMPES : Komisi Pestisida
LAV : Life Attenuated Vaccines
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Litbangkes : Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

163
M : Membrane
M : meter
MAC-ELISA : Membrane Attack Complex - Enzyme Linked
Imunosorbent Assay
MIR : Minimum Infection Rate
Mm : milimeter
NIAID : National Institute of Allergy and Infectious Diseases
NS : Non Structural
ORF : Open Reading Frame

an
lik
P2B2 : Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
P2PL
be
: Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
al
PBO : Piperonil Butoksida
ju
er

PD : Perang Dunia
ip
D

PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum


uk

PDK : Primary Dog Kidney


nt

PI : Pupae Index
U
k

prM : Pre Membrane


da

PRVN : Forum Riset Vaksin Nasional


Ti

PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk


PSSP : Pusat Studi Satwa Primata
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
PVT : Pengendalian Vektor Terpadu
QALY : Quality-Adjusted Year Life
RDT : Rapid Diagnostic Test

164
RI : Republik Indonesia
RNA : Ribonucleic Acid
RS : Rumah Sakit
RT : Rukun Tetangga
RT-PCR : Reverse Transcriptase Polimerase Chain Reaction
RW : Rukun Warga
S:I : Sympthomatic Inapparent
SBPC : Streptavidin Biotin Peroxidase Complex

an
sp : Spesies

lik
TBV : Transmition Blocking Vaccine
TPA : Tempat Penampungan Airbe
al
ju
UGM : Universitas Gadjah Mada
er
ip

UI : Universitas Indonesia
D

UNAIR : Universitas Airlangga


uk

USA : United States of America


nt
U

USEPA : The United State of Environmental Protection Agency


k
da

UTR : Untranslated Region


Ti

WHO : World Health Organization


WIB : Waktu Indonesia Barat
WRAIR : Walter Reed Army Institute of Research
YF : Yellow Fever
YLD : Years Life with Disability
YLL : Years Life Lost
ZPT : Zat Pengatur Tumbuh

165
Indeks
Symbols
3M 163

A
ABJ 163
Ae. aegypti x, 3, 4, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 32, 33, 34, 35, 40, 44,
45, 46, 49, 51, 52, 53, 72, 73
Ae. albopictus x, xi, 3, 4, 20, 23, 24, 25, 29, 35, 37, 44, 52, 160

an
Aedes aegypti x, 3, 14, 15, 16, 20, 21, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 47, 54, 55,

lik
56, 57, 75, 76, 77, 78, 80, 95, 114, 121, 145, 160

be
Aedes albopictus 14, 16, 37, 41, 55, 56, 57, 95
Antibodi 57, 145
al
asymptomatic 3, 112
ju
er

B
ip
D

Beban Penyakit xi, 151, 152, 155


uk

bioekologi x, 20, 35, 159, 160, 161


nt

C
U

Case Fatality Rate 8, 9, 162


k
da

curah hujan 31
Ti

D
DALYs 98, 152, 162
DEET 63, 64, 66, 77, 162
Demam Berdarah Dengue ix, x, xi, 7, 9, 12, 13, 14, 15, 19, 36, 37, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 56, 57, 58, 76, 77, 79, 91, 92, 93, 94, 95, 145, 149, 150,
155, 159, 162
Dengue iv, v, ix, x, xi, 1, 2, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 36, 37,
38, 39, 40, 41, 42, 43, 45, 52, 54, 55, 56, 57, 58, 76, 77, 79, 91, 92, 93,
94, 95, 96, 98, 100, 101, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118, 121, 122,
125, 132, 134, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 147,

166
148, 149, 150, 152, 155, 156, 157, 159, 161, 162, 163
Dengue Haemorrhagic Fever 15, 139, 142, 148
dengue virus 14, 15, 55, 56, 57, 111, 112, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143,
144, 146, 156

E
endemis 4, 11, 20, 30, 38, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 60, 77, 81, 97, 102, 105, 106,
155, 160
epidemiologi 11, 19, 44, 52, 95, 102, 103, 104, 151, 160

F
Flaviviridae 2, 16, 19, 44, 117, 143

an
Flavivirus 2, 19, 44, 118, 138, 160
fogger 65

lik
fogging 59, 79

I be
al
ju
inang 29, 35, 44, 46, 47, 53, 119, 160
er

Inapparent 113, 165


ip

Infection Rate 4, 164


D

infeksi ix, 2, 3, 11, 12, 19, 44, 46, 47, 48, 50, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 106,
uk

107, 108, 110, 111, 117, 118, 120, 121, 122, 126, 129, 130, 132, 133,
nt

135, 136, 154, 160


Insektisida x, 14, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78
U
k

J
da
Ti

jentik-jentik 20, 23, 25, 26, 27, 28, 30, 32, 34, 35, 64, 80, 84, 87

K
Karbamat 62, 70, 78
Kasus 10, 12, 36, 38, 39, 40, 41, 58, 75, 78, 100, 109
kejadian luar biasa x, 1, 54, 105, 111, 160
kelembapan 51
kesadaran 33, 85, 86, 87, 88, 89, 91
ketinggian 31, 33, 34
Kontainer 25, 26, 27, 28, 36, 42

167
L
larva 4, 30, 35, 46, 47, 51, 53, 64, 81
larvasida 59

O
Organofosfat 62, 70, 75, 78
Organoklorin 61

P
PCR 49, 56, 106, 165
Pemicuan 82, 85, 86
pengendalian vektor x, 20, 35, 59, 60, 72, 74, 83, 84, 86, 87, 98, 118, 121,

an
125, 152, 154, 159, 161

lik
Pengendalian Vektor Terpadu 60, 164

be
Peran Serta Masyarakat xi, 40, 88, 90, 92, 94
piretroid 59, 63, 64, 65, 66, 69, 70
al
PSN 27, 67, 79, 80, 81, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 164
ju

Pupa 24
er
ip

R
D
uk

RDT 104, 164


replikasi 45, 47, 119, 120, 121, 123, 124, 125
nt

reservoir 44, 53, 98, 110


U
k

S
da

serotipe 2, 3, 19, 44, 53, 97, 98, 99, 103, 104, 106, 117, 118, 119, 121, 126,
Ti

127, 129, 135, 136, 139, 141, 147, 150, 152, 160
siklus hidup 20, 31, 46, 160
Silent Infection xi, 106
suhu 3, 21, 23, 26, 29, 32, 33, 46, 51, 71, 98
symptomatic 3, 103, 104

T
telur 4, 20, 21, 26, 28, 34, 35, 46, 51, 52, 53, 54, 61, 160
transmisi 4, 11, 20, 30, 31, 33, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 63,
69, 110, 125, 131, 159, 160

168
transovarial 4, 15, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 159, 160

V
vaksin 79, 98, 118, 121, 122, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133,
135, 136, 137, 139, 140, 141, 145, 146, 147, 159, 160
vektor v, x, 3, 4, 5, 11, 19, 20, 24, 25, 28, 30, 31, 34, 35, 37, 38, 44, 45, 49, 57,
59, 60, 70, 72, 73, 74, 80, 83, 84, 86, 87, 88, 97, 98, 118, 121, 125, 127,
129, 151, 152, 154, 159, 160, 161

an
lik
be
al
ju
er
ip
D
uk
nt
U
k
da
Ti

169
BIODATA PENULIS

Upik Kesumawati Hadi


Staf Pengajar di Divisi Parasitologi &
Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran
Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB)
sejak 1984 sampai sekarang. Ditetapkan
sebagai Guru Besar FKH IPB pada tahun
2013. Pendidikan Ph.D ditempuh di Oita
Medical University, Japan; Master of Science
Entomologi Kesehatan dan Dokter Hewan

an
dari IPB. Beberapa publikasi ilmiah telah banyak diterbitkan dalam

lik
berbagai jurnal internasional dan nasional di bidang Entomologi
be
Kesehatan. Beliau telah menulis beberapa buku, antara lain penulis
al
dan editor buku referensi Hama Permukiman Indonesia, Ektoparasit
ju
er

Pengenalan, Identifikasi dan Pengendaliannya, Kupas Tuntas dan


ip

Penangan Kutu Busuk.


D


uk

Endang Puji Astuti


nt
U

Peneliti Ahli Madya di


k

Loka Litbangkes Pangandaran


da

Badan Litbangkes Kemenkes RI.


Ti

Menyelesaikan pendidikan Sarjana


Kesehatan Masyarakat di Universitas
Airlangga Surabaya; dan Master of
Science Entomologi Kesehatan di
Institut Pertanian Bogor. Beberapa
penelitian telah dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular
vektor seperti malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Kontributor
penulis dalam buku Fauna Anopheles, Filariasis di Jawa Barat (Penyakit
Tropis yang Terabaikan), Seputar Dengue dan Malaria, Pestisida Nabati,
dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah.
170
Andri Ruliansyah
Peneliti Ahli Muda di Loka
Litbangkes Pangandaran Badan
Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan
pendidikan Diploma Kesehatan
Lingkungan di Akademi Kesehatan
Lingkungan Bandung; Sarjana Kesehatan
Masyarakat di Universitas Indonesia
Depok; dan Master of Science Program Studi Penginderaan Jauh

an
di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah

lik
dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti

be
malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam
al
buku Seputar Dengue & Malaria dan buku Surveilans & Pengendalian
ju

Vektor Demam Berdarah Dengue


er
ip
D
uk

Asep Jajang
nt

Teknisi Litkayasa Mahir di Loka


U

Litbangkes Pangandaran. Menyelesaikan


k
da

pendidikan di Sekolah Menengah


Atas Negeri Pangandaran. Beberapa
Ti

penelitian telah dilakukan pada bidang


epidemiologi penyakit tular vector seperti malaria, filariasis, demam
berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Fauna Anopheles,
Metode Bioassay Insektisida Nabati Terhadap Nyamuk: Buku Pestisida
Nabati 2016 .

171
Tri Wahono
Peneliti Ahli Muda di Loka
Litbangkes Pangandaran Badan
Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan
pendidikan Sarjana Kedokteran
Hewan dan Pendidikan Profesi Dokter
Hewan di Institut Pertanian Bogor;
Master of Science Program Studi Ilmu
Kedokteran Tropis di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah dilakukan pada

an
bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria, filariasis, dan

lik
demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Filariasis

be
di Jawa Barat (Penyakit Tropis yang Terabaikan), editor dalam buku
al
Surveilans dan Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue.
ju
er
ip

Nurul Hidayati Kusumastuti


D
uk

Peneliti Ahli Pertama di


nt

Loka Litbangkes Pangandaran


U

Badan Litbangkes Kemenkes RI.


k

Menyelesaikan pendidikan Sarjana


da

Kesehatan Masyarakat di Universitas


Ti

Diponegoro Semarang. Beberapa


penelitian telah dilakukan pada
bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria dan Demam
Berdarah Dengue. Kontributor penulis dalam buku Seputar Dengue
dan Malaria.

172
Firda Yanuar Pradani
Peneliti Ahli Muda di Loka
Litbangkes Pangandaran Badan
Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan
pendidikan Sarjana dan Magister
Biologi di Universitas Jendral Soedirman
Purwokerto; aktif dalam berbagai
kegiatan penelitian yang diselenggarakan
oleh Badan Litbang Kesehatan maupun
Lokalitbangkes Pangandaran. Kontributor penulis dalam buku Fauna

an
Anopheles dan Pestisida Nabati.

lik
be
Heni Prasetyowati
al
ju
Peneliti Ahli Muda di Loka
er

Litbangkes pangandaran Badan


ip
D

Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan


uk

pendidikan Sarjana Sains di Fakultas


nt

Biologi Universitas Jenderal Soedirman;


U

dan Master of Science di Prodi


k

Kedokteran Tropis Universitas Gadjah


da

Mada. Beberapa penelitian telah dilakukan pada bidang epidemiologi


Ti

penyakit tular vektor seperti malaria dan demam berdarah dengue.


Kontributor penulis dalam buku Fauna Anopheles, Pestisida Nabati
dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue, dan Seputar Dengue
dan Malaria.

173
Rohmansyah Wahyu Nurindra
Peneliti Ahli Pertama di Lokalitbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes
RI. Pernah berkuliah di Jurusan Antropologi
Universitas Padjadjaran. Bekerja mulai
tahun 2005 sampai dengan saat ini dan
telah mengikuti berbagai pendidikan dan
pelatihan berkait bidang pekerjaan. Selama
bekerja juga telah melakukan berbagai
penelitian dan menjadi kontributor

an
penulis beberapa buku yang berkaitan dengan pengendalian penyakit

lik
bersumber binatang, humaniora kesehatan, dan kesehatan masyarakat,

be
baik berskala regional maupun nasional. al
ju
er

Muhammad Umar Riandi


ip
D

Seorang Peneliti Ahli Muda


uk

di Loka Litbangkes Pangandaran


nt

Kementerian Kesehatan RI sejak 2009


U

sampai sekarang. Alumnus Sarjana


k

Biologi Universitas Pendidikan


da

Indonesia dan Magister Parasitologi


Ti

dan Entomologi Kesehatan Institut


Pertanian Bogor. Penulis Buku Sekolah Elektronik (BSE) Mudah dan
Aktif Belajar Biologi Kelas IX-XII, Mengenal Filariasis: Penyakit Tropis
yang Terabaikan di Jawa Barat, beberapa artikel jurnal serta editor buku
lainnya.

174
Joni Hendri
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran, Badan Litbangkes
Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan
Sarjana Kesehatan Masyarakat di
Universitas Siliwangi Tasikmalaya Tahun
2009; dan Master of Biotechnology dari
Universitas Gadjah Mada Tahun 2014.
Beberapa penelitian telah dilakukan pada
bidang tular vektor termasuk Demam Berdarah Dengue. Kontributor
penulis dalam buku Fauna Anopheles, Insektisida Nabati dalam

an
Pengendalian Demam Berdarah Dengue; Seputar Dengue dan Malaria;

lik
dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah. Beberapa tulisan ilmiah

be
semipopuler juga pernah di muat di Koran Pikiran Rakyat dan Majalah
al
Inside.
ju
er
ip

Mara Ipa
D
uk

Peneliti Ahli Muda di


nt

Loka Litbangkes Pangandaran


U

Badan Litbangkes Kemenkes RI.


k

Menyelesaikan pendidikan Sarjana


da

Kesehatan Masyarakat di Universitas


Ti

Airlangga Surabaya; dan Master


of Science Program Studi Ilmu
Kedokteran Tropis di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah dilakukan pada
bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria, filariasis,
demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Fauna
Anopheles, Filariasis di Jawa Barat (Penyakit Tropis yang Terabaikan),
Seputar Dengue dan Malaria dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki
Gajah.
175
Ti
da
k
U
nt
uk
D
ip
er
ju
al
be
lik
an

Anda mungkin juga menyukai