Anda di halaman 1dari 53

Laboratorium Obstetri dan Ginekologi Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KEHAMILAN DENGAN INFEKSI VIRUS HIV

Disusun Oleh :
Evan Faishal Mahadinata
1810029012

Pembimbing :
dr. Prima Deri Pella Todingbua, Sp.OG (K).

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Laboratorium


Obstetri dan Ginekologi
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran - Universitas Mulawarman
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Kehamilan dengan infeksi virus HIV”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Prima Deri Pella Todingbua, Sp.OG (K), sebagai dosen pembimbing klinik
selama stase Obstetri dan Ginekologi.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, penulisan laporan kasus ini tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk berbagai saran dan kritik
yang membangun guna memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, Januari 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 1


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 3
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 4
1.3 Manfaat ..................................................................................................... 4
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................. 5
2.1 Anamnesis ................................................................................................ 5
2.2 Pemeriksaan Fisik..................................................................................... 7
2.3 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 9
2.4 Diagnosis ................................................................................................ 10
2.5 Tatalaksana ............................................................................................. 10
2.7 Follow up Pasien di Ruang Mawar RS AW Sjahranie Samarinda ......... 10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 14
3.1 Infeksi Human Immunodeficiency Virus ................................................ 14
3.2 Tata Laksana Neonatus .......................................................................... 28
3.3 MOW (Medis Operasi Wanita)/MOW ................................................... 29
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 45
4.1 Gejala Klinis ........................................................................................... 45
4.2 Diagnosis Kehamilan dengan Infeksi Virus HIV ................................... 45
4.3 Pemberian Obat Anti Retroviral pada Kehamilan .................................. 46
4.4 Persalinan pada Kehamilan dengan Infeksi Virus HIV .......................... 47
4.5 Indikasi metode MOW pada Kasus ........................................................ 48
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 50

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi
penyebab kematian peringkat atas dengan angka kematian (mortalitas) dan angka
kejadian penyakit (morbiditas) yang tinggi serta membutuhkan diagnosis dan terapi
yang cukup lama (WHO,2006). HIV merupakan virus yang menyerang sel darah
putih (limfosit) di dalam tubuh yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh
manusia sehingga menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
Berdasarkan laporan global, pada tahun 2012 jumlah penderita HIV mencapai
35,3 juta orang (Global Report UNAIDS, 2013). Data dari Kementerian Kesehatan
melaporkan jumlah kumulatif kasus HIV yang telah dilaporkan hingga September
2013 sebanyak 118.787 kasus yang tersebar di 33 provinsi dengan 348 kab/kota di
Indonesia. Di Indonesia persentase kumulatif HIV paling banyak ditemukan kasus
pada kelompok umur 25-49 tahun (73,4%). Dan pada kasus AIDS yang paling
banyak terdeteksi yaitu pada kelompok umur 30-39 tahun (39,5%). Kelompok umur
yang paling beresiko terhadap penularan HIV dan kejadian AIDS adalah kelompok
umur produktif yaitu rentang umur 20-39 tahun (Kemenkes, 2013). Saat ini, ibu
rumah tangga merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan HIV/AIDS.
Secara global, di dunia setiap harinya sekitar 2000 anak usia 15 tahun ke bawah
terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke bayinya. Sementara itu, sekitar 1.400
anak-anak usia 15 tahun meninggal akibat AIDS. (WHO, 2011).
Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38% (2012)
menjadi 0,49% (2016), dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) juga akan meningkat dari
13.189 orang pada tahun 2012 menjadi 16.191 orang pada tahun 2016. Demikian
pula jumlah anak berusia di bawah 15 tahun yang tertular HIV dari ibunya pada
saat dilahirkan ataupun saat menyusui akan meningkat dari 4.361 (2012) menjadi
5.565 (2016), yang berarti terjadi peningkatan angka kematian anak akibat AIDS.
Resiko penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar 24-25%. Namun, resiko ini
dapat diturunkan menjadi 1-2% dengan tindakan intervensi bagi ibu hamil HIV

3
positif, yaitu melalui layanan konseling dan tes HIV sukarela, pemberian obat
antiretroviral, persalinan sectio caesaria, serta pemberian susu formula untuk bayi
(Depkes,2008). Indonesia telah mengembangkan upaya pencegahan HIV melalui
pelayanan Voluntary Counselling and testing atau yang dikenal dengan singkatan
VCT (WHO, 2007).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui tentang kehamilan dengan infeksi virus HIV dan perbandingan
antara teori dengan kasus nyata kehamilan dengan infeksi virus HIV.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui teori tentang kehamilan dengan infeksi virus HIV yang
mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, tanda dan gejala,
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis.
2. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus kehamilan dengan
infeksi virus HIV yang terjadi di RSUD Abdul Wahab Syahranie.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama
bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya kehamilan dengan infeksi virus HIV.
1.3.2 Manfaat bagi Pembaca
Makalah ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca
mengenai kehamilan dengan infeksi virus HIV

4
BAB II
LAPORAN KASUS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tangal 28 Maret 2019


pukul 10.00 WITA di Poli Kandungan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.

2.1 Anamnesis
2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. TI
Usia : 24 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Jelawat, Samarinda
Masuk Rumah Sakit pada tanggal 11 Desember 2019

2.1.2 Identitas Suami


Nama : Tn. AM
Usia : 32 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Jelawat, Samarinda

2.1.3 Keluhan Utama:


Perut merasa kencang sejak 1 minggu yang lalu.

5
2.1.4 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke ruang VK RSUD AW. Sjahranie dengan merasa hamil
cukup bulan. Pada kehamilan tidak ada kelainan yang dirasakan, pasien
hanya merasakan terkadang timbul rasa kencang pada perut pasien. Nyeri
dirasakan perut bawah, rasa yang dirasakan hilang timbul tumpul dan bisa
dirasakan sampai sekitar 3 detik. Selain itu pasien juga menginkan KB
dengan steril. Pasien sebelumnya tidak mengetahui jika terinfeksi virus HIV
sebelumnya pasien ini mengetahui jika ia terinfeksi pada saat kontrol
kehamilan pertama pada saat ini.

2.1.5 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya,
tidak ada riwayat infertilitas. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, alergi, asthma maupun penyakit berat lainnya tidak ada.
Pasien memiliki riwayat infeksi virus HIV dan sedang dalam terapi, dengan
mengonsumsi

2.1.6 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat keluhan serupa.
Tidak ada riwayat keganasan dalam keluarga. Tidak ada riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, asthma, maupun penyakit berat lainnya dalam
keluarganya.

2.1.7 Riwayat Pernikahan


Pasien menikah 2 kali dengan menikah pertama kali sejak usia 17 tahun,
pernikahan pertama kali dilaksanakan pada tahun 2013 dan pernikahan
kedua dilaksanakan pada tahun 2018 dengan usia pernikahan satu tahun.

6
2.1.8 Riwayat Kontrasepsi
Pasien pernah menggunakan kontrasepsi dengan metode suntik 3 bulan,
suntik 1 bulan, dan Pil. Metode terakhir menggunakan Pil selama 3 tahun.

2.1.9 Riwayat Menstruasi


Menarche sejak usia 14 tahun, lamanya haid 7 hari, siklus haid 30
hari teratur, banyaknya perdarahan 3 kali ganti pembalut per hari.
Hari pertama Haid Terakhir : 16 Maret 2019
Taksiran persalinan : 23 Desember 2019

2.1.10 Riwayat Obstetri


No. Tahun Tempat Umur Jenis Penolong JK/ BB Keadaan
Partus Partus Kehamilan Partus Anak
1 2012 Rumah Aterm Spontan Bidan L/2.500 gr Hidup
2 2018 Abortus
3 Hamil
2019
saat ini

2.2 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran/GCS : Komposmentis, E4M5V6
 Berat badan : 50 kg
 Tinggi badan : 148 cm
 Tanda vital
o Tekanan darah : 110/70 mmHg
o Frekuensi nadi : 82 kali/menit
o Frekuensi nafas : 19 kali/menit
o Suhu : 36,2 0C

7
2.2.1 Status generalisata
Kepala / leher :Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-),
pembesaran KGB (-)
Pulmo
Inspeksi :Bentuk dan pergerakan dinding dada simetris
dekstra=sinistra, retraksi (-/-)
Palpasi : Fremitus raba dextra=sinistra
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV MCL
Perkusi : Batas kanan ICS II parasternal line dextra
batas kiri ICS V midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, bekas operasi (-), line nigra (+), linea alba (-),
membesar sesuai masa kehamilan
Auskultasi : Bising Usus (+) kesan normal, metallic sound (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang paru
Palpasi : Soefl, teraba massa di regio suprapubik, padat keras, batas
tegas, nyeri tekan (+)
Ekstremitas
Atas : Akral hangat, edema (-/-), capillary refill time <2 detik
Bawah : Akral hangat, edema (-/-), capillary refill time <2 detik,
Refleks patella (+/+)

2.2.2 Status Obstetri


Inspeksi
Membesar sesuai usia kehamilan, line nigra (+), striae gravidarum (+),
jaringan parut bekas operasi (-).

8
Palpasi
Tinggi Fundus Uteri : 31 cm TBJ : 2945 gram
Leopold I : Teraba bagian lunak bulat, kesan bokong
Leopold II : Punggung bayi berada di sisi kiri perut ibu
Leopold III : Bagian terbawah janin telah masuk PAP
Leopold IV : Presentasi kepala 3/5
HIS : Tidak ada
Auskultasi
DJJ : 138 kali/menit
Pemeriksaan Dalam : tidak dilakukan

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap (12 Desember 2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Leukosit 15.410 4.800-10.800

Eritrosit 3.410.000 4.200.000 – 5.400.000

Hematokrit 30,8 % 37,0%-54,0%

Trombosit 233.000 150.000-450.000

Hemoglobin 10.2 12.0-16.0

9
2.4 Diagnosis
 G3P1A1 gravid 37-38 minggu, belum inpartu, HIV (+).

2.5 Tatalaksana
 KIE
 Lenkapi Pemeriksaan Lab
 SIO dan siap darah
 Rencana Secito Cesarea + MOW

2.6 Follow up Pasien di Ruang Mawar RS AW Sjahranie Samarinda


Rencana tindakan dan
Waktu/Tempat Follow up
Penatalaksanaan

Rabu, 11 Menerima pasien dari Poli dan - Planning :


Desember 2019 melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik - Inj Cefazoline 1 gr/12
VK jam/IV
Subject : perut merasa kencang sejak 1
minggu yang lalu - Monitoring TTV dan DJJ

Object : KU tampak sakit sedang ; - Siap darah PRC 1 kolf


kesadaran komposmentis
- Rencana Sectio Cesarea
TD : 110/70 mmHg, N : 80x /menit, + MOW
adekuat, regular,

RR : 20x/menit, Suhu : 36,2 ° C

Inspeksi : line nigra (+), linea alba (-),


striae (-)
Palpasi : tinggi fundus 31 cm dengan
taksiran berat janin : 2.170 gram
Vaginal Toucher : tidak dilakukan
His : tidak ada
DJJ : 138 kali / menit

10
Assessment :G3P1A1 gravid 37- 38
minggu + 112 (+)

Kamis, 12  Inj Cefazoline 1 gr/12


Desember 2019 Subject : Tidak ada keluhan jam/IV
08.00 Object : KU tampak baik ; kesadaran  SC hari ini
komposmentis
VK
TD : 120/80 mmHg, N : 86x /menit,
adekuat, regular,

RR : 19x/menit, Suhu : 36,4 ° C

DJJ : 150 x/menit

Assessment : G3P1A1 gravid 37-38


minggu, belum inpartu, HIV (+).

Laporan Operasi :

Telah dilakukan sectio cesare pada pasien


ini pada kamis 12 Desember 2019 pada
pukul 13.25 selesai pada pukul 14.30 dan
dilahirkan bayi perempuan dengan berat
2.400 gram, panjang 5 cm dan apgar skor
1 menit 8 dan apgar skor 5 menit 9. Pada
pasien juga telah dilakukan tubektomi
dengan metode pomeroy.

Kamis, 12 Follow up Post Operasi Hari. 0 Planning :


Desember 2019
Subject : Infus RL drip Oxytocin 1
15.00 amp
Keluhan : Nyeri pasca OP (+)
Nifas Mawar Inj Cefazoline 1 gr/12
Object : jam/IV
Tanda – tanda vital Inj Santagesic 1 amp/8
jam/IV
TD : 120/80 mmHg, N : 86x /menit,
adekuat, regular, Ranitidine 1 amp/ 8 jam/IV

RR : 20x/menit, Suhu : 36,6 ° C Cek lab pukul 18.00 jika


𝑔𝑟
hb ≤ 8 𝑑𝑙 tranfusi PRC 1
Mammae : Puting menonjol; ASI : belum kolf
keluar (tidak dianjurkan diberikan)

11
Luka Operasi : bersih tidak ada rembesan
Peristaltik : (-)
BAB : Belum ada
BAK : terpasang cateter urine
Assessment : P2A1 Post SC + MOW hari
0 + HIV (+)

Jumat, 13 Follow up Post Operasi Hari. 1 Planning :


Desember 2019  Terapi Lanjur
Subject :  Asam mefenamat 3 x
Nifas Mawar 500 mg PO
Keluhan : Nyeri pasca OP (+)
 Tablet tambah darah 2
Object : x 1 tab PO
Tanda – tanda vital

TD : 110/70 mmHg, N : 78x /menit,


adekuat, regular,

RR : 19x/menit, Suhu : 36,7 ° C

Mammae : Puting menonjol; ASI : belum


keluar (tidak dianjurkan diberikan pada
bayi)
Luka Operasi : bersih tidak ada rembesan
Peristaltik : (+)
BAB : Belum ada
BAK : terpasang cateter urine
Assessment : P2A1 Post SC + MOW hari
1 + HIV (+)

Sabtu, 14 Follow up Post Operasi Hari. 2 - Planning


Desember 2019 - Terapi lanjut
Subject : - Lepas cateter
Nifas Mawar
Keluhan : Nyeri pasca OP berkurang
Object :
Tanda – tanda vital

12
TD : 110/70 mmHg, N : 82x /menit,
adekuat, regular,

RR : 20x/menit, Suhu : 36,7 ° C

Mammae : Puting menonjol; ASI : belum


keluar (tidak dianjurkan diberikan pada
bayi)
Luka Operasi : bersih tidak ada rembesan
Peristaltik : (+)
BAB : tidak ada keluhan
BAK : terpasang cateter urine

Assessment : P2A1 Post SC + MOW hari


2 + HIV (+)

Minggu, 15 Follow up Post Operasi Hari. 3 - Planning


Desember 2019 - Obat pulang
Subject : o Cefadroxil 3x500 mg
Nifas Mawar o Asam mefenamat
Keluhan : tidak ada keluhan
3x500 mg
Object : o Tablet tambah darah
1x1 tab
Tanda – tanda vital - Melepaskan infus
- Rencana Pulang
TD : 120/80 mmHg, N : 88x /menit,
adekuat, regular,

RR : 19x/menit, Suhu : 36,7 ° C

Mammae : Puting menonjol; ASI : belum


keluar (tidak dianjurkan diberikan pada
bayi)
Luka Operasi : bersih tidak ada rembesan
Peristaltik : (+)
BAB : tidak ada keluhan
BAK : tidak ada keluhan
Assessment : P2A1 Post SC + MOW hari
3 + HIV (+)

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Infeksi Human Immunodeficiency Virus


3.1.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel
darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan
tubuh manusia. Virus HIV menyebar melalui cairan tubuh dan memiliki cara khas
dalam menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel Cluster of
Differentiation 4 (CD4) atau sel-T. HIV menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh
manusia terutama sel-T CD4+ dan makrofag yang merupakan sistem imunitas
seluler tubuh.6,7 Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kerusakan secara progresif
dari sistem kekebalan tubuh, menyebabkan defisiensi imun sehingga tubuh tidak
mampu melawan infeksi dan penyakit. Seiring dengan berjalannya waktu, HIV
dapat merusak banyak sel CD4 sehingga kekebalan tubuh semakin menurun dan
tidak dapat melawan infeksi dan penyakit sama sekali. Infeksi ini akan berkembang
menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).8

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan tahap infeksi


yang terjadi akibat menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus).8 AIDS merupakan stadium ketika sistem imun
penderita jelek dan penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan kanker terkait
infeksi yang disebut infeksi oportunistik.6,9 Infeksi oportunistik adalah infeksi yang
terjadi akibat sistem kekebalan tubuh yang menurun dan dapat terjadi penyakit yang
lebih berat dibandingkan pada orang yang sehat. Seseorang dapat didiagnosis AIDS
apabila jumlah sel CD4 turun di < 200 sel/µLdarah, selain itu seseorang dapat
terdiagnosis dengan AIDS jika menderita lebih dari satu infeksi oportunistik atau

14
kanker yang berhubungan dengan HIV dan perlu waktu 10-15 tahun bagi orang
yang sudah terinfeksi HIV untuk berkembang menjadi AIDS.9

Gambar 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)

3.1.2 Patogenesis Infeksi HIV


Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae.
Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini
menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk
yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap
kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan.7,8 Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker
permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B,
killercell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah
reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang
CD4+baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV
yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak langsung,
lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi
dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen.7,9
Setelah HIV menginfeksi seseorang, kemudian dimulailah infeksi HIV
asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+
secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi

15
pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa
pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun,
dimana jumlah CD4+ akan mencapai < 200 sel/µL.2 Dalam tubuh Orang Dengan
HIV AIDS (ODHA), partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari
semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3
tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh
yang juga bertahap.7,8
Siklus hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV) melalui beberapa
tahapan berikut:17

16
Gambar 2.2 Siklus Hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV)17

3.1.3 Penularan Virus HIV


Cara penularan virus HIV, yaitu :

A. Penularan parenteral
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji
saring) untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit
suntikan, atau penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus kulit.
Kejadian di atas dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah
sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga
pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ dapat juga
terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan
kesehatan.8

B. Penularan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan
dari semua cara penularan.Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi
selama sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Sanggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral

17
antara dua individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang
tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral
langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori
risiko rendah tertular HIV.Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus
yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka
sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau
pada alat genital.8

C. Penularan perinatal
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus
dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil,
saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini,
setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang
tahun kedua.8

1. Penularan in utero atau intra uterin


HIV melalui plasenta masuk kedalam tubuh bayi. Penularan in utero ini
diketahuikarena didapatkannya HIV pada jaringan thymus, lien, paru dan
otak dari janin 20 minggu yang digugurkan dari ibu pengidap HIV.10,11
2. Penularan saat persalinan.
Terjadi karena bayi terkontaminasi darah ibu saat persalinan.11
3. Penularan pasca persalinan.
Terjadi penularan melalui ASI pada masa menyusui karena adanya HIV
pada kelenjar payudara dan ASI pengidap HIV. Meskipun masih ada
perbedaan pendapat mengenai hal ini karena hasil penelitian yang berbeda,
tetapi karena belum adanya vaksin untuk HIV dan kemungkinan penularan
ini tetap ada, maka disepakati pemberian ASI pada bayi tetap masih di
larang.10,11

18
3.1.4 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.12

A. Faktor Ibu

 Jumlah virus (viral load)


Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/mL) dan
sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/mL.

 Jumlah sel CD4


Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin
besar.
 Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil
meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
 Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran
reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
 Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui
ASI.3 Sehingga tidak sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan
bayi dapat disarankan diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya.

19
B. Faktor Bayi

 Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir


Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum
berkembang dengan baik.

 Periode pemberian ASI


Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
 Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.
 Respon imun neonatus.

C. Faktor obstetrik
Kebanyakan kejadian dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode
intrapartum, mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu
yang terinfeksi dan sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah
ibu-anak muncul selama kontraksi uterus. Transmisi intrapartum virus
mendukung kenyataan bahwa 50-70% anak terinfeksi memiliki tes virologi
negatif pada saat lahir, menjadi positif pada saat usia 3 bulan. Peningkatan risiko
transmisi telah digambarkan selama persalinan yang memanjang, pecah ketuban
yang lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan amnion yang mengandung
darah. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu
ke anak selama persalinan adalah:
 Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (seksio sesaria).
 Lama persalinan

20
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi
dengan darah dan lendir ibu.
 Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari
4 jam.
 Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.

3.1.5 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV. Tetapi jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka
HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan
pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan
penanganan Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA) saat hamil diperkirakan
sekitar 15-45%.8 Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin,
sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada
masa nifas dan menyusui.7

Tabel 2.1 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Waktu Risiko

Selama hamil 5 – 10 %

Bersalin 10 – 20 %

Menyusui 5 – 20 %

21
Risiko penularan keseluruhan 20 – 50 %

Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan anti retrovirus (ARV).
Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV
sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui.
Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral jangka panjang, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara
eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA yang baik,
maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.12

3.1.6 Diagnosis Infeksi HIV


Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara
keseluruhan kemudian dilakukan pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat
dilakukan secara virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis
(mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi
HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah pemeriksaan serologis
menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostik
tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga reagen HIV yang
berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang memenuhi
kriteria sensitivitas dan spesifitas.13

Tabel 2.2 Tes Diagnostik untuk Infeksi HIV

Skrinning

ELISA untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanya

22
Aglutinasi latek untuk HIV-1

Konfirmasi

Western blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2

Indirect immunofluorescence antibody assay (IFA) untuk


HIV-1

Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA) untuk


HIV-1

Lain-lain

ELISA untuk HIV-1 p24 antigen

Polymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Indonesia menetapkan untuk


mendiagnosis AIDS dengan kriteria WHO digunakan untuk keperluan surveilans
epidemiologi. Dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis,
yang terdiri dari gejala mayor dan minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika
menunjukan hasil tes HIV positif disertai minimal terdapat 2 gejala mayor atau
terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor. Pemeriksaan jumlah sel CD4 dapat
segera di lakukan setelah pertama kali dinyatakan positif HIV dan saat akan
melahirkan menggunakan spesimen darah.13

Tabel 2.3 Gejala Mayor dan Minor HIV/AIDS


Gejala Mayor Gejala Minor
Berat badan turun >10% dalam 1 Batuk menetap > 1 bulan
bulan Dermatitis generalisata
Diare kronik berlangsung > 1 bulan Herpes zoster multisegmental dan
Demam berkepanjangan > 1 bulan berulang

23
Penurunan kesadaran Kandidiasis orofaringeal
Demensia/HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat
kelamin wanita
Renitis cytomegalovirus

3.1.7 Pemberian Terapi Antiretroviral 11


Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan memulai
pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus
dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien baru. Terapi kombinasi ARV harus
menggunakan dosis dan jadwal yang tepat. Obat ARV harus diminum terus
menerus secara teratur untuk menghindari timbulnya resistensi. Diperlukan peran
serta aktif pasien dan pendamping/ keluarga dalam terapi ARV. Di samping ARV,
timbulnya infeksi oportunistik harus mendapat perhatian dan tatalaksana yang
sesuai. Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah
terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI) atau (2 NRTI + 1
PI).Berikut penjelasan mengenai golongan obat tersebut:

1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI), mentargetkan


pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan
dari viral RNA menjadi viral DNA. Obat-obatan NNRTI yaitu Zidovudine
(AZT), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Lamivudine (3TC), Tenofovir
(TDF).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu
enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam
memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat-obatan NNRTI yaitu
Nevirapine (NVP), delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).

24
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan. Obat-obatan PI yaitu Lopinavir (Aluvia).

Tabel 2.4 Rekomendasi ART pada Ibu Hamil dengan HIV dan ARV
Profilaksis pada Bayi
NO. SITUASI KLINIS REKOMENDASI PENGOBATAN

(paduan untuk ibu)

1. ODHA sedang terapi  Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau


ARV, kemudian hamil golongan PI jika sedang menggunakan EFV
pada trimester I)
 Lanjutkan dengan paduan ARV yang
sama selama dan sesudah persalinan
2. ODHA hamil dengan  Mulai ARV pada minggu ke-14 kehamilan
jumlah dalam stadium  Paduan sebagai berikut:
klinis 1 atau jumlah CD4  AZT + 3TC + NVP
>350 sel/µL dan belum  TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
terapi ARV  AZT + 3TC + EFV atau
 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
3. ODHA hamil dengan  Segera mulai terapi ARV dengan paduan
jumlah CD4 <350 sel/µL seperti pada butir 2
atau stadium 2,3,4

4. ODHA hamil dengan  OAT tetap diberikan


tuberkulosis aktif  Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai
trimester II dan III:
AZT (TDF) + 3TC + EFV

25
5. Ibu hamil dalam masa  Tawarkan tes HIV dalam masa persalinan
persalinan dan status atau tes setelah persalinan
HIV tidak diketahui  Jika hasil tes reaktif, dapat diberikan paduan
pada butir 2
6. ODHA datang pada masa  Paduan pada butir 2
persalinan dan belum
mendapat terapi ARV

Profilaksis ARV untuk bayi

AZT (zidovudine) 4 mg/KgBB, 2 kali/hari, mulai hari ke-1 hingga 6 minggu

Gambar 2.3Alur Pemberian Terapi Antiretroviral Pada Ibu Hamil

3.1.8 Tata Laksana Persalinan dengan Infeksi HIV


Sebagian besar bayi tertular infeksi HIV pada saat persalinan, maka cara
persalinan bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV sangat menentukan terjadinya
penularan vertikal. Adanya trauma dan kerusakan pada jaringan tubuh ibu maupun
bayi akan mengakibatkan terjadinya penularan vertikal. Untuk menghindari
penularan vertikal, maka pecah ketuban dini dan penggunaan elektrode kepala perlu

26
dihindari. Selain itu, jangan melakukan pertolongan persalinan yang
mengakibatkan trauma seperti menggunakan forsep atau vakum untuk persalinan
lama dengan penyulit. Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan
38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma
viral load dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan
HAART harus mendapatkan obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan,
sesudah persalinan.14,15
Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan
dengan seksio sesaria. Operasi seksio sesarea pada usia kehamilan 38 minggu
sebelum onset persalinan atau mencegah ketuban pecah dini direkomendasikan
untuk wanita yang telah mendapatkan terapi HAART dengan kadar viral load yang
masih >1000 kopi/mL, wanita yang mendapatkan monoterapi alternative dengan
zidovudin. 14,15

Operasi seksio sesarea elektif dapat dilakukan dengan prosedur sebagai


berikut:

a. Pemberian zidovudin intravena diberikan sesuai indikasi, dimulai 4 jam sebelum


operasi dimulai sampai dengan pemotongan tali pusat.
b. Sedapat mungkin meminimalisir perdarahan selama operasi dan diusahakan
kulit ketuban dipecah sesaat sebelum kepala dilahirkan.
c. Antobiotika spectrum luas diberikan sebelum operasi sebagaimana umumnya.

Tabel 2.5 Tatalaksana Persalinan

PERSALINAN PER VAGINAM PERSALINAN PER ABDOMINAM

Syarat: Syarat:
 Pemberian ARV mulai pada minggu  Ada indikasi obstetrik; dan
≤ 14 minggu (ART > 6 bulan); atau  VL >1.000 kopi/mL atau
 VL <1.000 kopi/mL

27
 Pemberian ARV dimulai pada usia
kehamilan ≥ 36 minggu

3.1.9 Tata Laksana Postnatal


Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan
bayi. Dosis terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa
kembali. Indikasi penggunaan infus ZDV adalah kombinasi single dose NVP 200
mg dengan 3TC 150 mg tiap 12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama
7 hari pospartum untuk mencegah resistensi NVP. Imunisasi MMR dan varicella
zoster juga diindikasikan, jika jumlah limfosit CD4 diatas 200 dan 400. 15

Ibu disarankan untuk menggunakan kontrasepsi pada saat berhubungan


seksual. Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi
perinatal. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu
dengan HIV positif, meskipun mereka mendapatkan terapi ARV. Saran suportif
mengenai susu formula pada bayi sangat diperlukan untuk mencegah gizi buruk
pada bayi.16

3.2 Tata Laksana Neonatus


Semua bayi harus diterapi dengan ARV <4jam setelah lahir. Kebanyakan
bati diberikan monoterapi ZDV 2x sehari selama 4 minggu. Jika ibu resisten
terhadap ZDV, obat alternatif bisa diberikan pada kasus bayi lahir dari ibu HIV
positif tanpa indikasi terapi ARV. Tetapi untuk bayi beresiko tinggi terinfeksi HIV,
seperti anak lahir dari ibu yang tidak diobati atau ibu dengan plasma viremia >50
kopi/mL, HAART tetap menjadi pilihan utama.15

Pemberian antibiotik profilaksis, cotrimoxazole terhadap PCP wajib


dilakukan. Tes IgA dan IgM, kultur darah langsung dan deteksi antigen PCR
merupakan serangkaian tes yang harus dijalankan oleh bayi pada umur 1 hari, 6
minggu dan 12 minggu. Jika semua tes ini negatif dan bayi tidak mendapat ASI,
orang tua dapat menyatakan bahwa bayi mereka tidak terinfeksi HIV. Konfirmasi
HIV bisa dilakukan lagi saat bayi berumur 18 sampai 24 bulan.16

28
3.3 MOW (Medis Operasi Wanita)/MOW
3.3.1 Definisi
Tubektomi / MOW adalah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba
Fallopii seorang wanita, yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak dapat hamil
atau tidak menyebabkan kehamilan lagi.

MOW (Metode Operatif Wanita) / Tubektomi atau juga dapat disebut


dengan sterilisasi. MOW merupakan tindakan penutupan terhadap kedua saluran
telur kanan dan kiri yang menyebabkan sel telur tidak dapat melewati saluran telur,
dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma laki laki sehingga
tidak terjadi kehamilan. (BKKBN, 2006)

Tubekomi atau Sterilisasi merupakan metode kontrasepsi permanen yang


hanya diperuntukkan bagi mereka yang memang tidak ingin atau tidak boleh
memiliki anak (karena alasan kesehatan). Disebut permanen karena metode
kontrasepsi ini hampir tidak dapat dibatalkan (reversal) bila kemudian ingin
memiliki anak.:

3.3.2 Epidemiologi
Dalam tahun-tahun terakhir ini tubektomi telah menjadi bagian yang penting
dalam program keluarga berencana di banyak negara di dunia. Di Indonesia sejak
tahun 1974 telah berdiri perkumpulan yang sekarang bernama Perkumpulan
Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang membina perkembangan sterilisasi
atau kontrasepsi mantap secara sukarela, tetapi secara resmi tubektomi tidak masuk
kedalam program nasional keluarga berencana di Indonesia.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) memperlihatkan bahwa


pencapaian peserta KB mantap/sterilisasi wanita (tubektomi) hingga saat ini masih
belum menggembirakan. Sejak tahun 1987 saat pelaksanaan SDKI yang pertama
hingga SDKI tahun 2007, peserta KB sterilisasi wanita (tubektomi) tercatat hanya
berkisar antara 2,7 persen hingga 3,7 persen. Gambaran pada SDKI 2007, juga
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan data sebelumnya (SDKI

29
2002/2003) yaitu dari 3,7 persen menjadi 3,1 persen. Hasil survei berskala nasional
lain, yaitu Pemantauan PUS Melalui Mini Survei Tahun 2010 juga menunjukan
pencapaian peserta KB sterilisasi yang masih rendah yaitu 2,2 persen untuk
tubektomi.

Data SDKI tahun 2007 memperlihatkan bahwa peserta sterilisasi paling


banyak dilakukan oleh mereka yang berusia 45-49 tahun (sebanyak 7,4 persen), dan
tertinggi pada mereka yang telah memiliki anak lebih dari 5 (sebanyak 0,5 persen).
Hasil analisis lanjut ”Pola Pemakaian Kontrasepsi” berdasarkan data dari
Pemantauan PUS Melalui Mini Survei tahun 2009 juga memperkuat temuan di atas,
bahwa proporsi terbesar peserta MOW adalah mereka yang berusia 40 tahun ke
atas, dan telah memiliki 3 anak bahkan lebih. Kenyataan ini menggambarkan bahwa
saat disterilisasi umumnya para akseptor memang telah memiliki jumlah anak
banyak dan berumur relatif tua, sehingga secara demografis kurang memberikan
kontribusi terhadap penurunan angka kelahiran.

3.3.3 Syarat melakukan MOW (Medis Operasi Wanita)


Syarat dilakukan MOW Menurut Saiffudin (2002) yaitu sebagai berikut:

 Syarat Sukarela

Syarat-syarat untuk menjadi akseptor kontap meliputi syarat sukarela, syarat


bahagia, dan syarat medik.

Syarat sukerala dipenuhi apabila pada konseling telah dibicarakan hal-hal


berikut:

1. Bahwa pada saat ini selain kontap masih ada kontrasepsi lainnya yang dapat
digunakan untuk menjarangkan kehamilan, tetapi mereka tetap memilih kontap
untuk menciptakan keluarga kecil.
2. Telah dijelaskan bahwa kontap merupakan tindakan bedah dan setiap tindakan
bedah selalu risikonya, walaupun dalam hal ini kecil, tetapi mereka yakin akan
kemampuan dokter yang melaksanakannya, dan faktor risiko dianggap oleh
mereka hanya sebagai faktor kebetulan saja.

30
3. Bahwa kontap adalah kontrasepsi permanen yang tidak dapat dipulihkan
kembali, oleh karena itu mereka sulit untuk mempunyai keturunan lagi, tetapi
mereka dengan sadar memang tidak ingin untuk menambah jumlah anak lagi
untuk selamanya.
4. Bahwa mereka telah diberi kesempatan untuk mempertimbangkan maksud
pilihan kontrasepsinya, tetapi tetap memilih kontap ini sebagai kontrasepsi bagi
mereka.
Setelah keempat syarat sukarela terpenuhi, belum berarti mereka dapat
segera dilakukan kontap. Nilai ukur untuk dikatakan bahwa keluga tersebut adalah
keluarga bahagia pun harus dipenuhi pula. Nilai ukur ini dapat diketahui pada saat
konseling dengan wawancara tertentu, antara lain diketahui bahwa suami-istri ini
terikat dalam perkawinan yang sah, harmonis, dan telah mempunyai sekurang-
kurangnya 2 orang anak hidup, dengan umur anak terkecil 2 tahun dan umur istri
sekurang-kurangnya 25 tahun. Ditetapkan umur anak terkecil disebabkan angka
kematian anak di Indonesia masih tinggi, dan ditetapkannya umur istri disebabkan
pada beberapa daerah tertentu angka perceraian masih tinggi.

Setelah syarat bahagia ini terpenuhi, syarat medik kemudian


dipertimbangkan, termasuk pemeriksaan fisik, ginekologik dan laboratorik
(Wiknjosastro, 2005).

 Syarat Bahagia
Syarat bahagia dilihat dari ikatan perkawinan yang syah dan harmonis,
umur istri sekurang kurangnya 25 dengan sekurang kurangnya 2 orang anak hidup
dan anak terkecil lebih dari 2 tahun (Wiknjosastro,2005).

 Syarat Medik

Setiap calon peserta kontrasepsi mantap wanita harus dapat memenuhi


syarat kesehatan, artinya tidak ditemukan hambatan atau kontraindikasi untuk
menjalani kontrasepsi mantap.

Pemeriksaan seorang dokter diperlukan untuk dapat memutuskan apakah


seseorang dapat menjalankan kontrasepsi mantap. Ibu yang tidak boleh

31
menggunakan metode kontrasepsi mantap antara lain ibu yang mengalamai
peradangan dalam rongga panggul, obesitas berlebihan dan ibu yang sedang
hamil atau dicurigai sedang hamil (BKKBN.2006)

3.3.4 Keuntungan dan Kerugian MOW


Sama seperti metode kontrasepsi lainnya, metode operasi wanita ini juga
memiliki keuntungan dan kerugian.

Keuntungan dari tubektomi adalah sebagai berikut:

 Motivasi hanya dilakukan 1 kali saja, sehingga tidak diperlukan motivasi yang
berulang-ulang
 Efektivitas hampir 100%
 Tidak mempengaruhi libido seksual.
 Kegagalan dari pihak pasien tidak ada.
 Tidak mempengaruhi proses menyusui (breast feeding).
 Baik bagi pasien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius.
 Merupakan suatu pembedahan sederhana, dapat dilakukan anestesi lokal.
 Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon
ovarium).
Ada pula ditemukan kerugian dari tubektomi adalah sebagia berikut:

 Tidak reversible, walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka kembali


pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi
rekanalisasi. Oleh karena itu, penutupan tuba hanya dapat dikerjakan pada
mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
 Risiko dan efek samping pembedahan.
o Risiko sterilisasi, seperti halnya operasi lainnya, terutama berkaitan dengan
anestesi. Ahli bedah juga dapat tanpa sengaja merusak ligamen peritoneal
selama operasi. Jika ligamen peritoneal rusak, produksi hormon pada ovarium
menurun dan menopause bisa dimulai dini.
 Kadang-kadang sedikit merasakan nyeri pada saat operasi.
 Infeksi mungkin saja terjadi bila prosedur operasi tidak benar.

32
 Kesuburan sulit kembali
Karena metode tubektomi merupakan kontrasepsi permanen, sebelum
mengambil keputusan untuk dilakukan tubektomi, istri dan suami terlebih dahulu
mempertimbangkannya secara matang. Meskipun saluran telur yang tadinya di
potong atau diikat dapat disambung kembali, namun tingkat keberhasilan untuk
hamil lagi sangat kecil.

3.3.5 Indikasi dan Kontraindikasi


Pada konferensi Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia di
Medan (3-5 juni 1976) dianjurkan wanita umur 25-40 tahun, dengan jumlah anak
sebagai berikut:

 Umur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih


 Umur antara 0-35 tahun dengan 2 anak atau lebih
 Umur antara 35-40 tahun dengan 1 anak atau lebih
 Umur suami hendaknya sekurang-kurangnya 30 tahun, kecuali apabila
jumlah anak telah melebihi jumlah yang diinginkan pasangan suami istri

Menurut Mochtar (1998) indikasi dilakukan MOW yaitu sebagai berikut:

 Indikasi medis umum


Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat bila wanita
ini hamil lagi.

a. Gangguan fisik yang dialami seperti tuberculosis pulmonum,


penyakit jantung dan sebagainya.
b. Gangguan psikis yang dialami yaitu seperti skizofrenia
(psikosis), sering menderita psikosa nifas, dan lain lain.
 Indikasi medik obstetri yaitu toksemia gravidarum yang berulang, seksio
sesarea yang berulang, histerektomi obstetri, dan sebagainya.
 Indikasi medis ginekologik. Pada waktu melakukan operasi ginekologik
dapat pula dipertimbangkan untuk sekaligus melakukan sterilisasi.

33
 Indikasi sosial ekonomi adalah indikasi berdasarkan beban sosial ekonomi
yang sekarang ini terasa bertambah lama bertambah berat
Indikasi sosial ekonomi adalah indikasi berdasarkan beban sosial ekonomi
yang sekarang ini terasa bertambah lama bertambah berat.

 Rumus 120
Mengikuti rumus 120 yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu,
kemudian dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri, misalnya
umur ibu 30 tahun dengan anak hidup 4, maka hasil perkaliannya adalah 120.
 Rumus 100
Umur ibu 25 tahun ke atas dengan anak hidup 4 orang Umur ibu
30 tahun ke atas dengan anak hidup 3 orang Umue ibu 35 tahun ke
atas dengan anak hidup 2 orang.

Menurut Mochtar (1989) kontraindikasi dalam melakukan MOW yaitu dibagi


menjadi 2 yang meliputi kontraindikasi mutlak dan kontraindikasi relatif.

1. Kontraindikasi mutlak
a. Peradangan dalam rongga panggul
b. Peradangan liang senggama akut (vaginitis, servisitis akut)
c. Kavum Douglas tidak bebas, ada perlekatan
2. Kontraindikasi relatif
a. Obesitas berlebihan
b. Bekas laparotomi

Sedangkan menurut Noviawati dan Sujiyati (2009) yang sebaiknya


tidak menjalani Tubektomi yaitu:

 Wanita yang hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai)


 Wanita dengan perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya
 Wanita dengan infeksi sistemik atau pelvis yang akut
 Wanita yang tidak boleh menjalani proses pembedahan
 Wanita yang kurang pasti mengenai keinginan fertilitas dimasa depan

34
 Wanita yang belum memberikan persetujuan tertulis

3.3.6 Teknik melakukan MOW


3.3.6.1 Cara Mencapai Tuba
Tindakan untuk mencapai tuba dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

 Laparotomi
Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus untuk tubektomi.
Cara mencapai tuba melalui laparotomi biasa, terutama pada masa pasca
persalinan, merupakan cara yang banyak dilakukan di Indonesia sebelum tahun
70an. Disini penutupan tuba dijalankan sebagai tindakan tambahan apabila
wanita yyang bersangkutan perlu dibedah untuk keperluan lain. Tubektomi juga
dilakukan bersamaan dengan seksio sesarea, dimana kehamilan selanjutnya
tidak diinginkan lagi, sebaiknya setiap laparotomi harus dijadikan kesempatan
untuk menawarkan tubektomi.

Gambar 2.1. Laparotomi

1. Laparotomi postpartum
Laparoromi ini dilakukan satu hari postpartum. Keuntungannya ialah bahwa
waktu perawatan nifas sekaligus dapat digunakan untuk perawatan pascaoperasi,
dan oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil dekat fundus
uteri untuk mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan sayatan semi

35
lunar (bulan sabit) di garis tengah distal dari pusat deng an panjang kurang-lebih 3
cm dan penutupan tuba biasanya diselenggarakan dengan cara Pomeroy.

2. Minilaparotomi
Laparatomi mini dilakukan dalam masa interval. Laparotomi khusus
tubektomi ini paling mudah dilakukan 48 jam pasca persalinan. Uterus yang masih
besar, tuba yang masih panjang, dan dinding perut yang masih longgar
memudahkan mencapai tuba dengan sayatan kecil sepanjang 2 cm setinggi fundus
hingga menembus peritoneum. Apabila fundus uteri setinggi pusat, sayatan
dilakukan di lipatan kulit bawah pusat. Tetapi bila lebih tinggi (pada persalinan
ganda atau anak kembar), sayatan dilakukan di lipatan kulit di atas pusat.

Bila tubektomi dilakukan pada 3-5 hari postpartum, jika fundus uteri
terletak di bawah pusat karena uterus dan tuba telah berinvolusi maka dapat
dilakukan insisi mediana setinggi 2 jari dibawah fundus uteri sepanjang 2 cm.

Infeksi lebih sering terjadi pada minilaparotomi yang dilakukan lebih dari
48 jam pasca persalinan karena lokia merupakan media untuk tumbuhnya infeksi.

Untuk menampilkan tuba dapat dilakukan dengan salah satu cara berikut :

1. Retraktor abdomen ditarik ke arah tuba yang akan dicapai. Dengan cara
ini saja kadangkala bagian proksimal tuba sudah terlihat dan dapat
dijepit dengan pinset atau klem dan ditarik perlahan-lahan keluar lubang
sayatan.
2. Dengan jari lewat lubang sayatan, uterus dan tuba didorong kearah
lubang sayatan. Pada saat tuba tampak segera dijepit dengan pinset atau
klem.
Penutupan tuba biasanya dilakukan dengan cara Pomeroy atau modifikasinya.

3. Laparoskopi
Mula- mula dipasang cunam serviks pada bibir depan portio uteri, dengan
maksud supaya kelak dapat menggerakkan uterus jika hal itu diperlukan pada waktu
laparaskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit di bawah

36
pusat sepanjang lebih 1 cm. Kemudian di tempat luka tersebut dilakukan pungsi
sampai rongga perineum dengan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum
itu dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan CO2 sebanyak 1 sampai 3 liter
dengan kecepatan sekitar 1 liter per menit. Setelah pneumoperitoneum di rasa
cukup, jarum Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya di masukkan trokar (dengan
tabungnya). Sesudah itu, trokar di angkat dan dimasukkan laparaskop melalui
tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneks, penderita di letakkan
dalam posisi trendelenburg dan uterus di gerakkan melalui cunam serviks pada
portio uteri.

Kemudian, dengan cunam yang masuk dalam rongga peritoneum bersama


dengan laparaskop, tuba di jepit dan dilakukan penutupan tuba dengan kauterisasi,
atau memasang pada tuba cincin yoon atau cincin falope atau clip hulka.
Berhubungan dengan kemungkinan komplikasi yang lebih besar pada kauterisasi,
sekarang lebih banyak di lakukan cara-cara yang lain. Teknik ini dapat dilakukan
pada 6-8 minggu pascapersalinan atau setelah abortus (tanpa komplikasi).

Gambar 2.2. Laparoskopi

4. Kuldoskopi
Rongga pelvis dapat dilihat melalui alat kuldoskop yang dimasukkan
kedalam kavum Douglas. Adanya laparoskopi trans-abdominal, maka kuldoskopi
kurang mendapat perhatian/minat dan sekarang sudang jarang dikerjakan. Wanita

37
ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan setelah spekulum
dimasukkan dan bibir belakang serviks uteri dijepit dan uterus ditarik keluar dan
agak ke atas, tampak kavum Douglas mekar di antara ligamentum sakro-uterinum
kanan dan kiri sebagai tanda tidak ada perlekatan. Dilakukan pungsi dengan
menggunakan jarum Touhy di belakang uterus, dan melalui jarum tersebut udara
masuk dan usus–usus terdorong ke rongga perut. Dan setelah jarum di angkat,
lubang di perbesar, sehingga dapat di masukkan kuldoskop. Melalui kuldoskop
dilakukan pengamatan adneksa dan cunam khusus tuba di jepit dan di tarik keluar
untuk dilakukan penutupannya dengan cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi,
atau pemasangan cincin Falope.

3.3.6.2 Cara Penutupan Tuba


Cara tubektomi yang dapat dilakukan adalah cara Pomeroy, Madlener,
Irving, Aldrige, Uchida, Kroener, pemasangan cincin folope, klip filshie, dan
elektro-koagulasi disertai pemutusan tuba.

1. Cara Pomeroy
Cara pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan mengangkat bagian
tengah tuba sehingga membentuk suatu lipatan terbuka, kemudian dasarnya
diikat dengan benang yang dapat diserap (Catgut biasanya no. 0 atau no. 1),
lipatan tuba kemudian dipotong di atas ikatan catgut tadi. Tujuan pemakaian
catgut biasa ini ialah lekas diabsorpsi, sehingga kedua ujung tuba yang di
potong terpisah satu sama lain, dengan demikian rekanalisasi tidak
dimungkinkan. Angka kegagalan berkisar antara 0-0,4%.

38
Gambar 2.3. Cara Pomeroy

2. Cara Madlener
Bagian tengah dari tuba di angkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk suatu
lipatan terbuka. Kemudian, dasar dari lipatan tersebut di jepit dengan cunam
kuat- kuat, dan selanjutnya dasar itu di ikat dengan benang yang tidak dapat di
serap. Pada cara ini tidak dilakukan pemotongan tuba. Sekarang cara Madlener
tidak dilakukan lagi karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1 % sampai
3%.

Gambar 2.4. Cara Madlener

3. Cara Irving
Pada cara ini tuba dipotong di antara dua ikatan benang yang dapat di serap
(biasa dengan benang chromic catgut no. 0 atau no. 00), ujung proksimal dari
tuba di tanamkan ke dalam miometrium, sedangkan ujung distal di tanamkan ke
dalam ligamentum latum. Dengan cara ini rekanalisasi spontan tidak mungkin
terjadi. Cara tubektomi ini hanya dapat dilakukan pada laparotomi besar seperti
seksio sesarea.

39
Gambar 2.5. Cara Irving

4. Cara Aldrige
Peritoneum dari ligamentum dibuka dan kemudian tuba bagian distal bersama-
sama dengan fimbria ditanam ke dalam ligamentum latum.

Gambar 2.6. Cara Aldrige

5. Cara Uchida
Pada cara ini tuba ditarik keluar abdomen melalui suatu insisi kecil
(minilaparatomi) di atas simpisis pubis. Kemudian di daerah ampula tuba di
lakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam dibawah serosa
tuba. Akibat suntikan ini, mesosapling di daerah tersebut mengembung. Lalu,
dibuat sayatan kecil di daerah yang kembung tersebut, Serosa dibebaskan dari

40
tuba sepanjang kira- kira 4- 5 cm, tuba dicari dan setelah ditemukan, dijepit,
diikat, lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan
sendirinya di bawah serosa, sedangkan ujung tuba yang distal di biarkan berada
di luar serosa. Luka sayatan di jahit secara kantong tembakau. Angka kegagalan
cara ini adalah 0.

Gambar 2.7. Cara Uchida

6. Cara Kroener
Bagian fimbria dari tuba di keluarkan dari lubang operasi. Suatu ikatan dengan
benang sutera dibuat melalui bagian mesosalping di bawah fimbria. Jahitan ini
diikat 2 kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain mengelilingi tuba sebelah
proksimal dari jahitan sebelumnya. Seluruh fimbria di potong. Setelah pasti
tidak ada pendarahan, maka tuba dikembalikan ke dalam rongga perut. Teknik
ini banyak yang digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat kecil
kemungkinan kesalahan mengikat ligamentum rotundum. Angka kegagalan
0,19%.

41
Gambar 2.8. Cara Kroener

7. Pemasangan cincin falope


Cincin falope (yoon ring) terbuat dari silikon, dewasa ini banyak
digunakan. Dengan aplikator bagian isthmus tuba ditarik dan cincin dipasang
pada bagian tuba tersebut. Sesudah terpasang lipatan tuba tampak keputih-
putihan oleh karena tidak mendapat suplai darah lagi dan akan menjadi fibrotik.
Cincin falope dapat dipasang pada laparotomi mini, laparoskopi atau dengan
laprokator.

8. Pemasangan Klip
Berbagai jenis klip telah dikembangkan untuk memperoleh kerusakan minimal
agar dapat dilakukan rekanalisasi bila diperlukan kelak. Klip filshie mempunyai
keuntungan dapat digunakan pada tuba yang edema. Klip Hulka-clemens
digunakan dengan cara menjepit tuba. Oleh karena klip tidak memperpendek
panjang tuba, maka rekanalisasi lebih mungkin dikerjakan.

42
2.9. Pemasangan Klip

9. Elektro koagulasi dan pemutusan tuba


Cara ini dahulu banyak dikerjakan pada tubektomi laparaskopi. Dengan
memasukkan grasping forceps melalui laparoskop, tuba fallopii dijepit kurang
lebih 2 cm dari kornu kemudian diangkat menjauhi uterus dan alat-alat panggul
lainnya, kemudian dilakukan kauterisasi. Tuba dibakar kurang lebih 1 cm ke
proksimal dan distal serta mesosalping dibakar sejauh 2 cm. Pada waktu
kauterisasi tuba tamapak menjadi putih, menggembung, lalu putus. Cara ini
sekarang banyak ditinggalkan.

3.3.7 Komplikasi dan Penanganan


Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tubektomi
tersebut, antara lain:

1. Infeksi luka. Apabila terlihat luka, obati dengan antibiotika. Lakukan


drainase dan pengobatan bila terdapat abses.
2. Demam pasca operasi. Cari penyebab demam dan obati berdasarkan
penyebab yang ditemukan.
3. Perlukaan kandung kemih saat operasi (jarang terjadi). Langsung diperbaiki
dengan jahitan kontinu dengan catgut halus dan dilakukan jahitan lapis
kedua dengan simpul. Pasien dirawat kurang lebih selama 5 hari dan
diberikan antibitok profilaksis.
4. Emboli gas yang diakibatkan oleh laparoskopi (sangat jarang terjadi). Rujuk
ke tingkat asuhan yang tepat dan mulailah resusitasi intensif, termasuk

43
cairan intravena, resusitasi kardiopulmonar dan tindakan penunjang
kehidupan lainnya.
5. Rasa sakit pada lokasi pembedahan. Pastikan apakah ada infeksi atau abses
dan obati berdasarkan penyebab yang ditemukan.
6. Perdarahan superficial (tepi-tepi kulit atau subkutan). Mengontrol
perdarahan dan obati berdasarkan penyebab yang ditemukan.

44
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gejala Klinis
Teori Kasus
Gejala Mayor Pada kasus ini pasien
 Berat badan turun >10% dalam 1 bulan mengalami gejala mayor
 Diare kronik berlangsung > 1 bulan sebelumnya dimana pasien
 Demam berkepanjangan > 1 bulan mengalami

 Penurunan kesadaran  Sering batuk – batuk

 Demensia/HIV ensefalopati  Mengalami keputihan


Gejala Minor
 Batuk menetap > 1 bulan
 Dermatitis generalisata
o Herpes zoster multisegmental dan
berulang
 Kandidiasis orofaringeal
 Herpes simpleks kronis progresif
 Limfadenopati generalisata
 Infeksi jamur berulang pada alat kelamin
wanita

4.2 Diagnosis Kehamilan dengan Infeksi Virus HIV


Teori Kasus
Langkah pertama untuk mendiagnosis Pada kasus pasien mengatakan
HIV/AIDS adalah anamnesis secara jika pada pemeriksaan HIV
keseluruhan kemudian dilakukan pemeriksaan pasien mendapatkan (+3)
diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara sehingga terdiagnosis dengan
virologis (mendeteksi antigen DNA atau infeksi HIV
RNA) dan serologis (mendeteksi antibodi

45
HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan
diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di
Indonesia umumnya adalah pemeriksaan
serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test
HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostik
tersebut dilakukan secara serial dengan
menggunakan tiga reagen HIV yang berbeda
dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan
jenis antigen, yang memenuhi kriteria
sensitivitas dan spesifitas

4.3 Pemberian Obat Anti Retroviral pada Kehamilan


 Teori

NO. SITUASI KLINIS REKOMENDASI PENGOBATAN


(paduan untuk ibu)

1. ODHA sedang terapi  Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau


ARV, kemudian hamil golongan PI jika sedang menggunakan EFV
pada trimester I)
 Lanjutkan dengan paduan ARV yang
sama selama dan sesudah persalinan
2. ODHA hamil dengan  Mulai ARV pada minggu ke-14 kehamilan
jumlah dalam stadium  Paduan sebagai berikut:
klinis 1 atau jumlah CD4  AZT + 3TC + NVP
>350 sel/µL dan belum  TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
terapi ARV  AZT + 3TC + EFV atau
 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
3. ODHA hamil dengan  Segera mulai terapi ARV dengan paduan
jumlah CD4 <350 sel/µL seperti pada butir 2
atau stadium 2,3,4

4. ODHA hamil dengan  OAT tetap diberikan


tuberkulosis aktif  Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai
trimester II dan III:
AZT (TDF) + 3TC + EFV

46
5. Ibu hamil dalam masa  Tawarkan tes HIV dalam masa persalinan
persalinan dan status atau tes setelah persalinan
HIV tidak diketahui  Jika hasil tes reaktif, dapat diberikan paduan
pada butir 2
6. ODHA datang pada masa  Paduan pada butir 2
persalinan dan belum
mendapat terapi ARV

 Kasus

Pasien mengetahui jika terinfeksi virus HIV pada kehamilan sebelum usia
kehamilan 14 minggu, setelah itu pasien mengonsumsi obat ARV kombinasi
Zidovudine + Lamivudine + Efafirenz dan dikonsumsi sampai sekarang,

4.4 Persalinan pada Kehamilan dengan Infeksi Virus HIV


Teori
PERSALINAN PER VAGINAM PERSALINAN PER ABDOMINAM

Syarat: Syarat:
 Pemberian ARV mulai pada minggu  Ada indikasi obstetrik; dan
≤ 14 minggu (ART > 6 bulan); atau  VL >1.000 kopi/mL atau
 VL <1.000 kopi/Ml  Pemberian ARV dimulai pada usia
kehamilan ≥ 36 minggu

 Kasus

Penulis tidak dapat menggali kadar viral load pada kasus ini. Pada kasus ini
tidak ada indikasi obstetrik dan ARV baru diberikan setelah pada usia diatas 14
minggu sehingga persalinan dilakukan perabdominam.

47
4.5 Indikasi metode MOW pada Kasus
Teori Kasus
Pada konferensi Perkumpulan untuk Pada kasus ini salah satu
Sterilisasi Sukarela Indonesia di Medan (3-5 indikasi dari Secio Cesarea
juni 1976) dianjurkan wanita umur 25-40 adalah gangguan fisik dimana
tahun, dengan jumlah anak sebagai berikut: dengan adanya infeksi virus
 Umur antara 25-30 tahun dengan 3 HIV dapat mempermudah
anak atau lebih penularan infeksi virus HIV
 Umur antara 0-35 tahun dengan 2 anak dari ibu ke anak. Melalui jalur
atau lebih – jalur
 Umur antara 35-40 tahun dengan 1  Intrauterin
anak atau lebih  Proses persalinan
 Umur suami hendaknya sekurang-  Menyusui
kurangnya 30 tahun, kecuali apabila
jumlah anak telah melebihi jumlah
yang diinginkan pasangan suami istri

Menurut Mochtar (1998) indikasi


dilakukan MOW yaitu sebagai berikut:
 Indikasi medis umum
Adanya gangguan fisik atau psikis
yang akan menjadi lebih berat bila
wanita ini hamil lagi.
c. Gangguan fisik yang dialami seperti
tuberculosis pulmonum, penyakit
jantung dan sebagainya.
d. Gangguan psikis yang dialami yaitu
seperti skizofrenia (psikosis), sering
menderita psikosa nifas, dan lain lain.

48
 Indikasi medik obstetri yaitu toksemia
gravidarum yang berulang, seksio
sesarea yang berulang, histerektomi
obstetri, dan sebagainya.
 Indikasi medis ginekologik. Pada
waktu melakukan operasi ginekologik
dapat pula dipertimbangkan untuk
sekaligus melakukan sterilisasi.
 Indikasi sosial ekonomi
adalah indikasi berdasarkan beban
sosial ekonomi yang sekarang ini
terasa bertambah lama bertambah berat
Indikasi sosial ekonomi adalah
indikasi berdasarkan beban sosial
ekonomi yang sekarang ini terasa
bertambah lama bertambah berat.

 Rumus 120
Mengikuti rumus 120 yaitu perkalian
jumlah anak hidup dan umur ibu,
kemudian dapat dilakukan sterilisasi atas
persetujuan suami istri, misalnya umur ibu
30 tahun dengan anak hidup 4, maka hasil
perkaliannya adalah 120.
 Rumus 100
Umur ibu 25 tahun ke atas
dengan anak hidup 4 orang
Umur ibu 30 tahun ke atas
dengan anak hidup 3 orang
Umue ibu 35 tahun ke atas
dengan anak hidup 2 orang.

49
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pasien Ny. TI datang ke Poli Kandungan RSUD A.W Sjahranie Samarinda
dengan G3P1A1 gravid 37-38 minggu, HIV (+) telah dilakukan Sectio Cesarea dan
MOW. Janin lahir sehat dengan jenis kelamin perempuan, berat badan 2.400 gram,
panjang badan 45 cm, apgar score 1 menit 8 dan apgar score 5 menit 9. MOW pada
pasien ini dilakukan dengan metode pomeroy tidak ada tanda kelainan pasca
dilakukannya MOW. Pasien pulang pada hari ke 3 dengan keadaan baik.

5.2 Saran
Berdasarakan hasil penulisan dan pembahasan pada laporan kasus ini dapat
disarankan untuk :
1) Perlunya ibu untuk screening HIV pada kehamilan agar dapat dilakukan
penanganan yang tepat pada proses kehamilan hingga persalinan.
2) Perlunya dokter untuk mengetahui pengetahuan dibidang kehamilan dengan
infeksi HIV sebagai tonggak utama layanan primer.
3) Perlunya mengentahui kada CD4 pada pasien kehamilan dengan HIV agar
mengetahui tindakan mana yang tepat pada pasien dengan infeksi HIV.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Guidelines for second generation HIV


surveillance: an update: Know your epidemic. Joint United Nations
Programme on HIV/ AIDS. World Health Organization; 2013.

2. UNAIDS. UNAIDS Report On The Global AIDS Epidemic 2013. Global


Report. UNAIDS; 2013.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Aksi Nasional


Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 2014-2019. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2013.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Statistik Kasus HIV/AIDS di


Indonesia. Dirjen P2PL; 2011.

5. Cunningham FG, Gant NF, Lereno KJ, Gilstrap III LC, Hanth JC,
Wenstrom KD. Human Immunodeficiency VirusInfection. In :
William’sObstetric. 22nd Edition. New York: Mc Graw-Hill; 2001. p.1-8

6. Decherney A, Goodwin M. et.al. Human Immunodeficiency Virus Infection.


In : Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology. 10th
Edition. United States of America. McGraw-Hill Companies; 2007.p.1-6

7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan


Penularan HIV dari Ibu ke Anak; 2013.

8. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar.


Jakarta : PT. Rineka Cipta; 2003.

9. Pusponegoro, et.al. Hubungan Penyuluhan Dengan Pengetahuan, Sikap dan


Perilaku Ibu Hamil Tentang HIV dan Program Voluntary Counseling and
Testing di Puskesmas Pulo Gadung Tahun 2013. Departemen Obstetri dan
Ginekologi FKUI; 2013.

10. Roza J. Faktor yang Berhubungan dengan Status HIV Klien VCT di RSUD
Mandau Kabupaten Bengkalis Tahun 2013. Jakarta : Universitas Indonesia;
2013.

11. Susan et.al. Disengagement and Engagement Coping with HIV/AIDS


Stigma and Psychological Well Being of People with HIV/AIDS. Journal
of Social and Clinical Psychology; 2012; 21 (2) : pp 123-50.
12. Engelman A, Cherepanov P. The structural biology of HIV-1: Mechanistic
and Therapeutic Insights. Nature reviews. Microbiology; 2012; 10:279-290.

51
13. Laskey, Sarah B. And Robert F. Silianto. A Mechanism Theory to Explain
The Efficacy of Antriretroviral Therapy. Nature Review Microbiology;
2014.

52

Anda mungkin juga menyukai