Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun Oleh :
Evan Faishal Mahadinata
1810029012
Pembimbing :
dr. Prima Deri Pella Todingbua, Sp.OG (K).
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Kehamilan dengan infeksi virus HIV”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Prima Deri Pella Todingbua, Sp.OG (K), sebagai dosen pembimbing klinik
selama stase Obstetri dan Ginekologi.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, penulisan laporan kasus ini tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk berbagai saran dan kritik
yang membangun guna memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi semuanya.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi
penyebab kematian peringkat atas dengan angka kematian (mortalitas) dan angka
kejadian penyakit (morbiditas) yang tinggi serta membutuhkan diagnosis dan terapi
yang cukup lama (WHO,2006). HIV merupakan virus yang menyerang sel darah
putih (limfosit) di dalam tubuh yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh
manusia sehingga menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
Berdasarkan laporan global, pada tahun 2012 jumlah penderita HIV mencapai
35,3 juta orang (Global Report UNAIDS, 2013). Data dari Kementerian Kesehatan
melaporkan jumlah kumulatif kasus HIV yang telah dilaporkan hingga September
2013 sebanyak 118.787 kasus yang tersebar di 33 provinsi dengan 348 kab/kota di
Indonesia. Di Indonesia persentase kumulatif HIV paling banyak ditemukan kasus
pada kelompok umur 25-49 tahun (73,4%). Dan pada kasus AIDS yang paling
banyak terdeteksi yaitu pada kelompok umur 30-39 tahun (39,5%). Kelompok umur
yang paling beresiko terhadap penularan HIV dan kejadian AIDS adalah kelompok
umur produktif yaitu rentang umur 20-39 tahun (Kemenkes, 2013). Saat ini, ibu
rumah tangga merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan HIV/AIDS.
Secara global, di dunia setiap harinya sekitar 2000 anak usia 15 tahun ke bawah
terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke bayinya. Sementara itu, sekitar 1.400
anak-anak usia 15 tahun meninggal akibat AIDS. (WHO, 2011).
Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38% (2012)
menjadi 0,49% (2016), dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) juga akan meningkat dari
13.189 orang pada tahun 2012 menjadi 16.191 orang pada tahun 2016. Demikian
pula jumlah anak berusia di bawah 15 tahun yang tertular HIV dari ibunya pada
saat dilahirkan ataupun saat menyusui akan meningkat dari 4.361 (2012) menjadi
5.565 (2016), yang berarti terjadi peningkatan angka kematian anak akibat AIDS.
Resiko penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar 24-25%. Namun, resiko ini
dapat diturunkan menjadi 1-2% dengan tindakan intervensi bagi ibu hamil HIV
3
positif, yaitu melalui layanan konseling dan tes HIV sukarela, pemberian obat
antiretroviral, persalinan sectio caesaria, serta pemberian susu formula untuk bayi
(Depkes,2008). Indonesia telah mengembangkan upaya pencegahan HIV melalui
pelayanan Voluntary Counselling and testing atau yang dikenal dengan singkatan
VCT (WHO, 2007).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui tentang kehamilan dengan infeksi virus HIV dan perbandingan
antara teori dengan kasus nyata kehamilan dengan infeksi virus HIV.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui teori tentang kehamilan dengan infeksi virus HIV yang
mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, tanda dan gejala,
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis.
2. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus kehamilan dengan
infeksi virus HIV yang terjadi di RSUD Abdul Wahab Syahranie.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama
bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya kehamilan dengan infeksi virus HIV.
1.3.2 Manfaat bagi Pembaca
Makalah ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca
mengenai kehamilan dengan infeksi virus HIV
4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. TI
Usia : 24 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Jelawat, Samarinda
Masuk Rumah Sakit pada tanggal 11 Desember 2019
5
2.1.4 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke ruang VK RSUD AW. Sjahranie dengan merasa hamil
cukup bulan. Pada kehamilan tidak ada kelainan yang dirasakan, pasien
hanya merasakan terkadang timbul rasa kencang pada perut pasien. Nyeri
dirasakan perut bawah, rasa yang dirasakan hilang timbul tumpul dan bisa
dirasakan sampai sekitar 3 detik. Selain itu pasien juga menginkan KB
dengan steril. Pasien sebelumnya tidak mengetahui jika terinfeksi virus HIV
sebelumnya pasien ini mengetahui jika ia terinfeksi pada saat kontrol
kehamilan pertama pada saat ini.
6
2.1.8 Riwayat Kontrasepsi
Pasien pernah menggunakan kontrasepsi dengan metode suntik 3 bulan,
suntik 1 bulan, dan Pil. Metode terakhir menggunakan Pil selama 3 tahun.
7
2.2.1 Status generalisata
Kepala / leher :Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-),
pembesaran KGB (-)
Pulmo
Inspeksi :Bentuk dan pergerakan dinding dada simetris
dekstra=sinistra, retraksi (-/-)
Palpasi : Fremitus raba dextra=sinistra
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV MCL
Perkusi : Batas kanan ICS II parasternal line dextra
batas kiri ICS V midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, bekas operasi (-), line nigra (+), linea alba (-),
membesar sesuai masa kehamilan
Auskultasi : Bising Usus (+) kesan normal, metallic sound (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang paru
Palpasi : Soefl, teraba massa di regio suprapubik, padat keras, batas
tegas, nyeri tekan (+)
Ekstremitas
Atas : Akral hangat, edema (-/-), capillary refill time <2 detik
Bawah : Akral hangat, edema (-/-), capillary refill time <2 detik,
Refleks patella (+/+)
8
Palpasi
Tinggi Fundus Uteri : 31 cm TBJ : 2945 gram
Leopold I : Teraba bagian lunak bulat, kesan bokong
Leopold II : Punggung bayi berada di sisi kiri perut ibu
Leopold III : Bagian terbawah janin telah masuk PAP
Leopold IV : Presentasi kepala 3/5
HIS : Tidak ada
Auskultasi
DJJ : 138 kali/menit
Pemeriksaan Dalam : tidak dilakukan
9
2.4 Diagnosis
G3P1A1 gravid 37-38 minggu, belum inpartu, HIV (+).
2.5 Tatalaksana
KIE
Lenkapi Pemeriksaan Lab
SIO dan siap darah
Rencana Secito Cesarea + MOW
10
Assessment :G3P1A1 gravid 37- 38
minggu + 112 (+)
Laporan Operasi :
11
Luka Operasi : bersih tidak ada rembesan
Peristaltik : (-)
BAB : Belum ada
BAK : terpasang cateter urine
Assessment : P2A1 Post SC + MOW hari
0 + HIV (+)
12
TD : 110/70 mmHg, N : 82x /menit,
adekuat, regular,
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
14
kanker yang berhubungan dengan HIV dan perlu waktu 10-15 tahun bagi orang
yang sudah terinfeksi HIV untuk berkembang menjadi AIDS.9
15
pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa
pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun,
dimana jumlah CD4+ akan mencapai < 200 sel/µL.2 Dalam tubuh Orang Dengan
HIV AIDS (ODHA), partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari
semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3
tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh
yang juga bertahap.7,8
Siklus hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV) melalui beberapa
tahapan berikut:17
16
Gambar 2.2 Siklus Hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV)17
A. Penularan parenteral
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji
saring) untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit
suntikan, atau penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus kulit.
Kejadian di atas dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah
sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga
pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ dapat juga
terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan
kesehatan.8
B. Penularan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan
dari semua cara penularan.Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi
selama sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Sanggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral
17
antara dua individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang
tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral
langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori
risiko rendah tertular HIV.Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus
yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka
sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau
pada alat genital.8
C. Penularan perinatal
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus
dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil,
saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini,
setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang
tahun kedua.8
18
3.1.4 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.12
A. Faktor Ibu
19
B. Faktor Bayi
C. Faktor obstetrik
Kebanyakan kejadian dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode
intrapartum, mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu
yang terinfeksi dan sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah
ibu-anak muncul selama kontraksi uterus. Transmisi intrapartum virus
mendukung kenyataan bahwa 50-70% anak terinfeksi memiliki tes virologi
negatif pada saat lahir, menjadi positif pada saat usia 3 bulan. Peningkatan risiko
transmisi telah digambarkan selama persalinan yang memanjang, pecah ketuban
yang lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan amnion yang mengandung
darah. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu
ke anak selama persalinan adalah:
Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (seksio sesaria).
Lama persalinan
20
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi
dengan darah dan lendir ibu.
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari
4 jam.
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.
Tabel 2.1 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Waktu Risiko
Selama hamil 5 – 10 %
Bersalin 10 – 20 %
Menyusui 5 – 20 %
21
Risiko penularan keseluruhan 20 – 50 %
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan anti retrovirus (ARV).
Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV
sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui.
Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral jangka panjang, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara
eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA yang baik,
maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.12
Skrinning
22
Aglutinasi latek untuk HIV-1
Konfirmasi
Lain-lain
23
Penurunan kesadaran Kandidiasis orofaringeal
Demensia/HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat
kelamin wanita
Renitis cytomegalovirus
24
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan. Obat-obatan PI yaitu Lopinavir (Aluvia).
Tabel 2.4 Rekomendasi ART pada Ibu Hamil dengan HIV dan ARV
Profilaksis pada Bayi
NO. SITUASI KLINIS REKOMENDASI PENGOBATAN
25
5. Ibu hamil dalam masa Tawarkan tes HIV dalam masa persalinan
persalinan dan status atau tes setelah persalinan
HIV tidak diketahui Jika hasil tes reaktif, dapat diberikan paduan
pada butir 2
6. ODHA datang pada masa Paduan pada butir 2
persalinan dan belum
mendapat terapi ARV
26
dihindari. Selain itu, jangan melakukan pertolongan persalinan yang
mengakibatkan trauma seperti menggunakan forsep atau vakum untuk persalinan
lama dengan penyulit. Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan
38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma
viral load dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan
HAART harus mendapatkan obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan,
sesudah persalinan.14,15
Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan
dengan seksio sesaria. Operasi seksio sesarea pada usia kehamilan 38 minggu
sebelum onset persalinan atau mencegah ketuban pecah dini direkomendasikan
untuk wanita yang telah mendapatkan terapi HAART dengan kadar viral load yang
masih >1000 kopi/mL, wanita yang mendapatkan monoterapi alternative dengan
zidovudin. 14,15
Syarat: Syarat:
Pemberian ARV mulai pada minggu Ada indikasi obstetrik; dan
≤ 14 minggu (ART > 6 bulan); atau VL >1.000 kopi/mL atau
VL <1.000 kopi/mL
27
Pemberian ARV dimulai pada usia
kehamilan ≥ 36 minggu
28
3.3 MOW (Medis Operasi Wanita)/MOW
3.3.1 Definisi
Tubektomi / MOW adalah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba
Fallopii seorang wanita, yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak dapat hamil
atau tidak menyebabkan kehamilan lagi.
3.3.2 Epidemiologi
Dalam tahun-tahun terakhir ini tubektomi telah menjadi bagian yang penting
dalam program keluarga berencana di banyak negara di dunia. Di Indonesia sejak
tahun 1974 telah berdiri perkumpulan yang sekarang bernama Perkumpulan
Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang membina perkembangan sterilisasi
atau kontrasepsi mantap secara sukarela, tetapi secara resmi tubektomi tidak masuk
kedalam program nasional keluarga berencana di Indonesia.
29
2002/2003) yaitu dari 3,7 persen menjadi 3,1 persen. Hasil survei berskala nasional
lain, yaitu Pemantauan PUS Melalui Mini Survei Tahun 2010 juga menunjukan
pencapaian peserta KB sterilisasi yang masih rendah yaitu 2,2 persen untuk
tubektomi.
Syarat Sukarela
1. Bahwa pada saat ini selain kontap masih ada kontrasepsi lainnya yang dapat
digunakan untuk menjarangkan kehamilan, tetapi mereka tetap memilih kontap
untuk menciptakan keluarga kecil.
2. Telah dijelaskan bahwa kontap merupakan tindakan bedah dan setiap tindakan
bedah selalu risikonya, walaupun dalam hal ini kecil, tetapi mereka yakin akan
kemampuan dokter yang melaksanakannya, dan faktor risiko dianggap oleh
mereka hanya sebagai faktor kebetulan saja.
30
3. Bahwa kontap adalah kontrasepsi permanen yang tidak dapat dipulihkan
kembali, oleh karena itu mereka sulit untuk mempunyai keturunan lagi, tetapi
mereka dengan sadar memang tidak ingin untuk menambah jumlah anak lagi
untuk selamanya.
4. Bahwa mereka telah diberi kesempatan untuk mempertimbangkan maksud
pilihan kontrasepsinya, tetapi tetap memilih kontap ini sebagai kontrasepsi bagi
mereka.
Setelah keempat syarat sukarela terpenuhi, belum berarti mereka dapat
segera dilakukan kontap. Nilai ukur untuk dikatakan bahwa keluga tersebut adalah
keluarga bahagia pun harus dipenuhi pula. Nilai ukur ini dapat diketahui pada saat
konseling dengan wawancara tertentu, antara lain diketahui bahwa suami-istri ini
terikat dalam perkawinan yang sah, harmonis, dan telah mempunyai sekurang-
kurangnya 2 orang anak hidup, dengan umur anak terkecil 2 tahun dan umur istri
sekurang-kurangnya 25 tahun. Ditetapkan umur anak terkecil disebabkan angka
kematian anak di Indonesia masih tinggi, dan ditetapkannya umur istri disebabkan
pada beberapa daerah tertentu angka perceraian masih tinggi.
Syarat Bahagia
Syarat bahagia dilihat dari ikatan perkawinan yang syah dan harmonis,
umur istri sekurang kurangnya 25 dengan sekurang kurangnya 2 orang anak hidup
dan anak terkecil lebih dari 2 tahun (Wiknjosastro,2005).
Syarat Medik
31
menggunakan metode kontrasepsi mantap antara lain ibu yang mengalamai
peradangan dalam rongga panggul, obesitas berlebihan dan ibu yang sedang
hamil atau dicurigai sedang hamil (BKKBN.2006)
Motivasi hanya dilakukan 1 kali saja, sehingga tidak diperlukan motivasi yang
berulang-ulang
Efektivitas hampir 100%
Tidak mempengaruhi libido seksual.
Kegagalan dari pihak pasien tidak ada.
Tidak mempengaruhi proses menyusui (breast feeding).
Baik bagi pasien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius.
Merupakan suatu pembedahan sederhana, dapat dilakukan anestesi lokal.
Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon
ovarium).
Ada pula ditemukan kerugian dari tubektomi adalah sebagia berikut:
32
Kesuburan sulit kembali
Karena metode tubektomi merupakan kontrasepsi permanen, sebelum
mengambil keputusan untuk dilakukan tubektomi, istri dan suami terlebih dahulu
mempertimbangkannya secara matang. Meskipun saluran telur yang tadinya di
potong atau diikat dapat disambung kembali, namun tingkat keberhasilan untuk
hamil lagi sangat kecil.
33
Indikasi sosial ekonomi adalah indikasi berdasarkan beban sosial ekonomi
yang sekarang ini terasa bertambah lama bertambah berat
Indikasi sosial ekonomi adalah indikasi berdasarkan beban sosial ekonomi
yang sekarang ini terasa bertambah lama bertambah berat.
Rumus 120
Mengikuti rumus 120 yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu,
kemudian dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri, misalnya
umur ibu 30 tahun dengan anak hidup 4, maka hasil perkaliannya adalah 120.
Rumus 100
Umur ibu 25 tahun ke atas dengan anak hidup 4 orang Umur ibu
30 tahun ke atas dengan anak hidup 3 orang Umue ibu 35 tahun ke
atas dengan anak hidup 2 orang.
1. Kontraindikasi mutlak
a. Peradangan dalam rongga panggul
b. Peradangan liang senggama akut (vaginitis, servisitis akut)
c. Kavum Douglas tidak bebas, ada perlekatan
2. Kontraindikasi relatif
a. Obesitas berlebihan
b. Bekas laparotomi
34
Wanita yang belum memberikan persetujuan tertulis
Laparotomi
Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus untuk tubektomi.
Cara mencapai tuba melalui laparotomi biasa, terutama pada masa pasca
persalinan, merupakan cara yang banyak dilakukan di Indonesia sebelum tahun
70an. Disini penutupan tuba dijalankan sebagai tindakan tambahan apabila
wanita yyang bersangkutan perlu dibedah untuk keperluan lain. Tubektomi juga
dilakukan bersamaan dengan seksio sesarea, dimana kehamilan selanjutnya
tidak diinginkan lagi, sebaiknya setiap laparotomi harus dijadikan kesempatan
untuk menawarkan tubektomi.
1. Laparotomi postpartum
Laparoromi ini dilakukan satu hari postpartum. Keuntungannya ialah bahwa
waktu perawatan nifas sekaligus dapat digunakan untuk perawatan pascaoperasi,
dan oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil dekat fundus
uteri untuk mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan sayatan semi
35
lunar (bulan sabit) di garis tengah distal dari pusat deng an panjang kurang-lebih 3
cm dan penutupan tuba biasanya diselenggarakan dengan cara Pomeroy.
2. Minilaparotomi
Laparatomi mini dilakukan dalam masa interval. Laparotomi khusus
tubektomi ini paling mudah dilakukan 48 jam pasca persalinan. Uterus yang masih
besar, tuba yang masih panjang, dan dinding perut yang masih longgar
memudahkan mencapai tuba dengan sayatan kecil sepanjang 2 cm setinggi fundus
hingga menembus peritoneum. Apabila fundus uteri setinggi pusat, sayatan
dilakukan di lipatan kulit bawah pusat. Tetapi bila lebih tinggi (pada persalinan
ganda atau anak kembar), sayatan dilakukan di lipatan kulit di atas pusat.
Bila tubektomi dilakukan pada 3-5 hari postpartum, jika fundus uteri
terletak di bawah pusat karena uterus dan tuba telah berinvolusi maka dapat
dilakukan insisi mediana setinggi 2 jari dibawah fundus uteri sepanjang 2 cm.
Infeksi lebih sering terjadi pada minilaparotomi yang dilakukan lebih dari
48 jam pasca persalinan karena lokia merupakan media untuk tumbuhnya infeksi.
Untuk menampilkan tuba dapat dilakukan dengan salah satu cara berikut :
1. Retraktor abdomen ditarik ke arah tuba yang akan dicapai. Dengan cara
ini saja kadangkala bagian proksimal tuba sudah terlihat dan dapat
dijepit dengan pinset atau klem dan ditarik perlahan-lahan keluar lubang
sayatan.
2. Dengan jari lewat lubang sayatan, uterus dan tuba didorong kearah
lubang sayatan. Pada saat tuba tampak segera dijepit dengan pinset atau
klem.
Penutupan tuba biasanya dilakukan dengan cara Pomeroy atau modifikasinya.
3. Laparoskopi
Mula- mula dipasang cunam serviks pada bibir depan portio uteri, dengan
maksud supaya kelak dapat menggerakkan uterus jika hal itu diperlukan pada waktu
laparaskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit di bawah
36
pusat sepanjang lebih 1 cm. Kemudian di tempat luka tersebut dilakukan pungsi
sampai rongga perineum dengan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum
itu dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan CO2 sebanyak 1 sampai 3 liter
dengan kecepatan sekitar 1 liter per menit. Setelah pneumoperitoneum di rasa
cukup, jarum Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya di masukkan trokar (dengan
tabungnya). Sesudah itu, trokar di angkat dan dimasukkan laparaskop melalui
tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneks, penderita di letakkan
dalam posisi trendelenburg dan uterus di gerakkan melalui cunam serviks pada
portio uteri.
4. Kuldoskopi
Rongga pelvis dapat dilihat melalui alat kuldoskop yang dimasukkan
kedalam kavum Douglas. Adanya laparoskopi trans-abdominal, maka kuldoskopi
kurang mendapat perhatian/minat dan sekarang sudang jarang dikerjakan. Wanita
37
ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan setelah spekulum
dimasukkan dan bibir belakang serviks uteri dijepit dan uterus ditarik keluar dan
agak ke atas, tampak kavum Douglas mekar di antara ligamentum sakro-uterinum
kanan dan kiri sebagai tanda tidak ada perlekatan. Dilakukan pungsi dengan
menggunakan jarum Touhy di belakang uterus, dan melalui jarum tersebut udara
masuk dan usus–usus terdorong ke rongga perut. Dan setelah jarum di angkat,
lubang di perbesar, sehingga dapat di masukkan kuldoskop. Melalui kuldoskop
dilakukan pengamatan adneksa dan cunam khusus tuba di jepit dan di tarik keluar
untuk dilakukan penutupannya dengan cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi,
atau pemasangan cincin Falope.
1. Cara Pomeroy
Cara pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan mengangkat bagian
tengah tuba sehingga membentuk suatu lipatan terbuka, kemudian dasarnya
diikat dengan benang yang dapat diserap (Catgut biasanya no. 0 atau no. 1),
lipatan tuba kemudian dipotong di atas ikatan catgut tadi. Tujuan pemakaian
catgut biasa ini ialah lekas diabsorpsi, sehingga kedua ujung tuba yang di
potong terpisah satu sama lain, dengan demikian rekanalisasi tidak
dimungkinkan. Angka kegagalan berkisar antara 0-0,4%.
38
Gambar 2.3. Cara Pomeroy
2. Cara Madlener
Bagian tengah dari tuba di angkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk suatu
lipatan terbuka. Kemudian, dasar dari lipatan tersebut di jepit dengan cunam
kuat- kuat, dan selanjutnya dasar itu di ikat dengan benang yang tidak dapat di
serap. Pada cara ini tidak dilakukan pemotongan tuba. Sekarang cara Madlener
tidak dilakukan lagi karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1 % sampai
3%.
3. Cara Irving
Pada cara ini tuba dipotong di antara dua ikatan benang yang dapat di serap
(biasa dengan benang chromic catgut no. 0 atau no. 00), ujung proksimal dari
tuba di tanamkan ke dalam miometrium, sedangkan ujung distal di tanamkan ke
dalam ligamentum latum. Dengan cara ini rekanalisasi spontan tidak mungkin
terjadi. Cara tubektomi ini hanya dapat dilakukan pada laparotomi besar seperti
seksio sesarea.
39
Gambar 2.5. Cara Irving
4. Cara Aldrige
Peritoneum dari ligamentum dibuka dan kemudian tuba bagian distal bersama-
sama dengan fimbria ditanam ke dalam ligamentum latum.
5. Cara Uchida
Pada cara ini tuba ditarik keluar abdomen melalui suatu insisi kecil
(minilaparatomi) di atas simpisis pubis. Kemudian di daerah ampula tuba di
lakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam dibawah serosa
tuba. Akibat suntikan ini, mesosapling di daerah tersebut mengembung. Lalu,
dibuat sayatan kecil di daerah yang kembung tersebut, Serosa dibebaskan dari
40
tuba sepanjang kira- kira 4- 5 cm, tuba dicari dan setelah ditemukan, dijepit,
diikat, lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan
sendirinya di bawah serosa, sedangkan ujung tuba yang distal di biarkan berada
di luar serosa. Luka sayatan di jahit secara kantong tembakau. Angka kegagalan
cara ini adalah 0.
6. Cara Kroener
Bagian fimbria dari tuba di keluarkan dari lubang operasi. Suatu ikatan dengan
benang sutera dibuat melalui bagian mesosalping di bawah fimbria. Jahitan ini
diikat 2 kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain mengelilingi tuba sebelah
proksimal dari jahitan sebelumnya. Seluruh fimbria di potong. Setelah pasti
tidak ada pendarahan, maka tuba dikembalikan ke dalam rongga perut. Teknik
ini banyak yang digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat kecil
kemungkinan kesalahan mengikat ligamentum rotundum. Angka kegagalan
0,19%.
41
Gambar 2.8. Cara Kroener
8. Pemasangan Klip
Berbagai jenis klip telah dikembangkan untuk memperoleh kerusakan minimal
agar dapat dilakukan rekanalisasi bila diperlukan kelak. Klip filshie mempunyai
keuntungan dapat digunakan pada tuba yang edema. Klip Hulka-clemens
digunakan dengan cara menjepit tuba. Oleh karena klip tidak memperpendek
panjang tuba, maka rekanalisasi lebih mungkin dikerjakan.
42
2.9. Pemasangan Klip
43
cairan intravena, resusitasi kardiopulmonar dan tindakan penunjang
kehidupan lainnya.
5. Rasa sakit pada lokasi pembedahan. Pastikan apakah ada infeksi atau abses
dan obati berdasarkan penyebab yang ditemukan.
6. Perdarahan superficial (tepi-tepi kulit atau subkutan). Mengontrol
perdarahan dan obati berdasarkan penyebab yang ditemukan.
44
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gejala Klinis
Teori Kasus
Gejala Mayor Pada kasus ini pasien
Berat badan turun >10% dalam 1 bulan mengalami gejala mayor
Diare kronik berlangsung > 1 bulan sebelumnya dimana pasien
Demam berkepanjangan > 1 bulan mengalami
45
HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan
diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di
Indonesia umumnya adalah pemeriksaan
serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test
HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostik
tersebut dilakukan secara serial dengan
menggunakan tiga reagen HIV yang berbeda
dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan
jenis antigen, yang memenuhi kriteria
sensitivitas dan spesifitas
46
5. Ibu hamil dalam masa Tawarkan tes HIV dalam masa persalinan
persalinan dan status atau tes setelah persalinan
HIV tidak diketahui Jika hasil tes reaktif, dapat diberikan paduan
pada butir 2
6. ODHA datang pada masa Paduan pada butir 2
persalinan dan belum
mendapat terapi ARV
Kasus
Pasien mengetahui jika terinfeksi virus HIV pada kehamilan sebelum usia
kehamilan 14 minggu, setelah itu pasien mengonsumsi obat ARV kombinasi
Zidovudine + Lamivudine + Efafirenz dan dikonsumsi sampai sekarang,
Teori
PERSALINAN PER VAGINAM PERSALINAN PER ABDOMINAM
Syarat: Syarat:
Pemberian ARV mulai pada minggu Ada indikasi obstetrik; dan
≤ 14 minggu (ART > 6 bulan); atau VL >1.000 kopi/mL atau
VL <1.000 kopi/Ml Pemberian ARV dimulai pada usia
kehamilan ≥ 36 minggu
Kasus
Penulis tidak dapat menggali kadar viral load pada kasus ini. Pada kasus ini
tidak ada indikasi obstetrik dan ARV baru diberikan setelah pada usia diatas 14
minggu sehingga persalinan dilakukan perabdominam.
47
4.5 Indikasi metode MOW pada Kasus
Teori Kasus
Pada konferensi Perkumpulan untuk Pada kasus ini salah satu
Sterilisasi Sukarela Indonesia di Medan (3-5 indikasi dari Secio Cesarea
juni 1976) dianjurkan wanita umur 25-40 adalah gangguan fisik dimana
tahun, dengan jumlah anak sebagai berikut: dengan adanya infeksi virus
Umur antara 25-30 tahun dengan 3 HIV dapat mempermudah
anak atau lebih penularan infeksi virus HIV
Umur antara 0-35 tahun dengan 2 anak dari ibu ke anak. Melalui jalur
atau lebih – jalur
Umur antara 35-40 tahun dengan 1 Intrauterin
anak atau lebih Proses persalinan
Umur suami hendaknya sekurang- Menyusui
kurangnya 30 tahun, kecuali apabila
jumlah anak telah melebihi jumlah
yang diinginkan pasangan suami istri
48
Indikasi medik obstetri yaitu toksemia
gravidarum yang berulang, seksio
sesarea yang berulang, histerektomi
obstetri, dan sebagainya.
Indikasi medis ginekologik. Pada
waktu melakukan operasi ginekologik
dapat pula dipertimbangkan untuk
sekaligus melakukan sterilisasi.
Indikasi sosial ekonomi
adalah indikasi berdasarkan beban
sosial ekonomi yang sekarang ini
terasa bertambah lama bertambah berat
Indikasi sosial ekonomi adalah
indikasi berdasarkan beban sosial
ekonomi yang sekarang ini terasa
bertambah lama bertambah berat.
Rumus 120
Mengikuti rumus 120 yaitu perkalian
jumlah anak hidup dan umur ibu,
kemudian dapat dilakukan sterilisasi atas
persetujuan suami istri, misalnya umur ibu
30 tahun dengan anak hidup 4, maka hasil
perkaliannya adalah 120.
Rumus 100
Umur ibu 25 tahun ke atas
dengan anak hidup 4 orang
Umur ibu 30 tahun ke atas
dengan anak hidup 3 orang
Umue ibu 35 tahun ke atas
dengan anak hidup 2 orang.
49
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pasien Ny. TI datang ke Poli Kandungan RSUD A.W Sjahranie Samarinda
dengan G3P1A1 gravid 37-38 minggu, HIV (+) telah dilakukan Sectio Cesarea dan
MOW. Janin lahir sehat dengan jenis kelamin perempuan, berat badan 2.400 gram,
panjang badan 45 cm, apgar score 1 menit 8 dan apgar score 5 menit 9. MOW pada
pasien ini dilakukan dengan metode pomeroy tidak ada tanda kelainan pasca
dilakukannya MOW. Pasien pulang pada hari ke 3 dengan keadaan baik.
5.2 Saran
Berdasarakan hasil penulisan dan pembahasan pada laporan kasus ini dapat
disarankan untuk :
1) Perlunya ibu untuk screening HIV pada kehamilan agar dapat dilakukan
penanganan yang tepat pada proses kehamilan hingga persalinan.
2) Perlunya dokter untuk mengetahui pengetahuan dibidang kehamilan dengan
infeksi HIV sebagai tonggak utama layanan primer.
3) Perlunya mengentahui kada CD4 pada pasien kehamilan dengan HIV agar
mengetahui tindakan mana yang tepat pada pasien dengan infeksi HIV.
50
DAFTAR PUSTAKA
5. Cunningham FG, Gant NF, Lereno KJ, Gilstrap III LC, Hanth JC,
Wenstrom KD. Human Immunodeficiency VirusInfection. In :
William’sObstetric. 22nd Edition. New York: Mc Graw-Hill; 2001. p.1-8
10. Roza J. Faktor yang Berhubungan dengan Status HIV Klien VCT di RSUD
Mandau Kabupaten Bengkalis Tahun 2013. Jakarta : Universitas Indonesia;
2013.
51
13. Laskey, Sarah B. And Robert F. Silianto. A Mechanism Theory to Explain
The Efficacy of Antriretroviral Therapy. Nature Review Microbiology;
2014.
52