Disusun Oleh:
NANA RUSYANA
HARIS PRADIPTA PUTRA
v
2.6 Satuan dalam Pengukuran ................................................. 28
2.6.1 Satuan-satuan Sudut .................................................... 28
2.6.2 Sudut Arah dan Kuadran ............................................... 29
2.6.3 Satuan Jarak ................................................................ 29
2.6.4 Matematika dalam Ukur Tanah ...................................... 30
2.6.5 Macam-macam Azimut Kompas dan Bering ..................... 30
2.7 Kesalahan dalam Pengukuran Geodesi ............................... 32
2.7.1 Kesalahan Kasar ........................................................... 32
2.7.2 Kesalahan Sistematik .................................................... 33
2.7.3 Kesalahan Random/Tak Terduga ................................... 36
2.7.4 Cara-cara Menghindarai Kemungkinan Kesalahan
Pengukuran ................................................................. 37
vi
4.4.1 Kelengkapan Peralatan ................................................. 69
4.4.2 Prosedur Pengukuran ................................................... 70
vii
LAMPIRAN ............................................................................................ 102
BIODATA PENULIS PENULIS I ............................................................. 103
BIODATA PENULIS PENULIS II ........................................................... 104
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
Gambar 7.1 Pengukuran Real-Time Kinematic ........................................ 84
Gambar 7.2 Single Base RTK ................................................................. 86
Gambar 7.3 Network RTK ...................................................................... 87
Gambar 7.4 Total Station ...................................................................... 88
Gambar 9.1 Hitungan luas cara offset dengan interval tidak tetap ............. 93
Gambar 9.2 Hitungan luas cara offset pusat ............................................ 93
Gambar 9.3 Hitungan luas cara Simpson 1/3 ........................................... 94
Gambar 9.4 Hitungan luas cara koordinat ............................................... 94
Gambar 9.5 Luas galian pada bentuk tanah asli beraturan ....................... 95
Gambar 9.6 Hitungan luas grafis dengan kisi-kisi ..................................... 95
Gambar 9.7 Hitungan luas grafis dengan lajur ......................................... 96
Gambar 9.8 Planimeter digital ................................................................ 96
Gambar 9.9 Volume cara potongan melintang rata-rata ........................... 97
Gambar 9.10 Volume cara jarak rata-rata ................................................. 97
Gambar 9.11 Metode Prisma ................................................................... 98
Gambar 9.12 Metode Prisma ................................................................... 98
Gambar 9.13 Metode area bujur sangkar .................................................. 99
Gambar 9.14 Metode area segitiga .......................................................... 99
Gambar 9.11 Metode kontur .................................................................... 100
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Geodesi
Pada era pembangunan pada umumnya, khususnya bagi pengelola bendungan,
teknik pengukuran geodesi sangat diperlukan. Baik untuk keperluan desain awal,
saat proses pembangunan, hingga proses pemeliharaan ketika bendungan telah
beroperasi, disiplin ilmu geodesi menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Sebagaimana kemajuan di bidang ilmu dan teknologi yang berkembang semakin
pesat, wahana dan teknik yang digunakan dalam geodesi pun turut berkembang,
baik dalam hal teknik pengumpulan data, proses pengolahan, hingga
penyajiannya.
Menurut Helmert dan Torge (1880), Geodesi adalah Ilmu tentang pengukuran
dan pemetaan permukaan bumi yang juga mencakup permukaan dasar laut.
Sedang menurut IAG (International Association of Geodesy, 1979), Geodesi
adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang pengukuran dan perepresentasian
dari Bumi dan benda-benda langit lainnya, termasuk medan gaya beratnya
masing-masing, dalam ruang tiga dimensi yang berubah dengan waktu.
1
1.1.2 Sejarah Geodesi
Sejak zaman dahulu, Ilmu Geodesi digunakan oleh manusia untuk keperluan
navigasi. Secara signifikan, kegiatan pemetaan bumi sebagai bidang ilmu Geodesi
telah dimulai sejak banjir Sungai Nil (2000 SM) oleh kerajaan Mesir Kuno.
Perkembangan Geodesi yang lebih signifikan lagi pada saat manusia mempelajari
bentuk bumi & ukuran bumi lebih dalam oleh tokoh Yunani Erastotenes, yang
dikenal sebagai bapak geodesi.
2
dengan pengukuran keliling bulat Bumi, yang dilakukan dengan pengukuran
matahari dari dua lokasi yang berlainan, Al-Biruni menemukan kaidah
pengukuran baru dengan menggunakan perkiraan trigonometri berdasarkan
bidang di antara tanah rata dan puncak gunung. Kaidah pengukuran ini
menghasilkan ukuran yang lebih tepat dan memungkinkan pengukuran keliling
bulat Bumi dilakukan hanya oleh satu orang saja dari satu tempat.
Al-Biruni juga telah menghasilkan karya dalam bidang geologi. Salah satu
karyanya adalah tulisan tentang geologi India. Sementara itu dalam bidang
mineralogy dia menulis kitab berjudul Al-Jawahir atau Book of Precious Stones
yang menjelaskan beragam mineral. Dia mengklasifikasikan setiap mineral
berdasarkan warna, bau, kekerasan, kepadatan, serta beratnya. Karena
sumbangan-sumbangannya di bidang Geodesi begitu banyak dan sangat penting,
maka Al-Biruni dinobatkan sebagai Bapak Geodesi. “Dia salah satu ilmuwan
terbesar dalam sejarah manusia,” Begitulah Al-Sabra menjuluki Al-Biruni,
ilmuwan muslim serba bisa dari abad ke 10 M.
3
bahwa terdapat perbedaan panjangan dari keduanya. Bagian utara lebih pendek
daripada di bagian selatan.
Hasil ini, jika benar, berarti bahwa bumi itu bukan bola, tetapi berbentuk seperti
telur/ellipsoid, yang bertentangan dengan perhitungan oleh Isaac Newton dan
Christiaan Huygens. (Dalam Teori Gravitasi, Newton memprediksi bumi
berbentuk oblate ellipsoid diratakan di kutub dengan rasio 1:230). Adanya
Perbedaan tersebut bisa diselesaikan dengan pengukuran sejumlah titik di bumi,
hubungan/korelsi antara jaraknya (dalam arah utara-selatan) dan antara sudut
vertikal astronomi nya (the projection of the vertical on the sky). Pada Bumi
oblate jarak yang sesuai dengan satu derajat mengembang ke arah kutub.
Pada akhir abad 19, Zentral Bureau die Internationale Erdmessung, yaitu Biro
Pusat Geodesi Internasional yang didirikan oleh Austria-Hongaria dan Jerman
melakukan derivasi dari ellipsoid internasional dan mengevaluasi rumus gravitasi
yang harus optimal tidak hanya untuk Eropa, tetapi juga bagi seluruh dunia. The
Zentral Bureau merupakan pendahulu awal dari Asosiasi Internasional untuk
Geodesi (IAG) dan International Union of Geodesy and Geophysic (IUGG) yang
didirikan pada tahun 1919.
4
Sebagian besar teori-teori yang relevan diturunkan oleh FR geodesis Jerman
Helmert dalam buku yang terkenal Die der Physikalischen Mathematischen
Theorien und ha Heren GeodÃsie (1880). Helmert juga merumuskan ellipsoid
global pertama pada 1906 dengan akurasi 100 meter (0,002 persen dari jari-jari
bumi). AS Geodesist Hayford yang merumuskan ellipsoid global pada tahun 1910,
berdasarkan isostasy antarbenua dengan akurasi 200 m. Hal ini diadopsi oleh
IUGG sebagai "internasional ellipsoid 1924".
5
perkembangan ekonomi Negara Indonesia yang pesat, dan sektor industri di
pulau jawa yang terus memicu peningkatan kebutuhan akan energi listrik. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa sangat diperlukan
pembangunan pembangkit energi listrik berskala besar, terutama energi yang
terbarukan, demi mewujudkan pengembangan energi dan ekonomi nasional
yang berkelanjutan.
Secara umum, kebutuhan energi listrik nasional sangat bergantung pada energi
yang berasal dari bahan bakar fosil, terutama minyak. Ketika harga minyak dunia
mengalami kenaikan, maka dampaknya harga listrik harus mengalami kenaikan.
Hal ini menjadi lebih buruk, ketika negara memiliki kecenderungan menggunakan
energi listrik berbahan bakar fosil ini untuk memenuhi beban puncak kebutuhan
listrik. Pemilihan sumber energi alternatif diperlukan untuk mengurangi
ketergantungan penggunaan bahan bakar fosil, selain itu juga untuk menjamin
stabilitas pemenuhan kebutuhan energi listrik dan meredam polusi lingkungan.
6
lembah pegunungan yang mengiringi aliran Sungai Citarum, serta tingginya
curah hujan di area ini, maka direncanakan dibangun sebuah bendungan dan
pembangkit energi listrik. Memanfaatkan area seluas 6200 hektar tanah, dengan
kedalaman maksimum mencapai 106 m, bendungan yang akan dibangun akan
menjadi salah satu dari tiga bendungan terbesar di Jawa Barat, disamping
Bendungan Saguling dan Bendungan Jatiluhur. Bendungan ini akan dibangun
sebagai bendungan multi-fungsi, dengan fungsi utama sebagai pemasok sumber
daya air bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terbesar di pulau Jawa, yang
dinamakan “PLTA Cirata.” Bendungan Cirata juga direncanakan sebagai pemasok
air irigasi, air untuk rumah tangga, juga untuk pengendali banjir.
PLTA Cirata dikelola oleh PT. Pembangkitan Jawa-Bali (PT. PJB), anak
perusahaan dari PT. PLN (Persero). PT. PJB menugaskan Unit Pembangkitan
Cirata (UP Cirata) untuk mengoperasikan PLTA Cirata, dan menugaskan Badan
Pengelola Waduk Cirata (BPWC) untuk mengelola Bendungan Cirata dan
memastikan keandalan dan kelestarian sumber daya serta kualitas air Waduk
Cirata, demi kinerja PLTA Cirata yang optimal.
Dimulai tahun 1983 dan selesai tahun 1997, pekerjaan konstruksi Bendungan
dan PLTA Cirata dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap. Tahap konstruksi pertama,
dengan kapasitas terpasang 4 x 126 MW, dimulai pada tahun 1983 dan selesai
tahun 1988. Konstruksi bendungan dan bangunan pelengkap utamanya seperti
Diversion dan Spillway Tunnel, Power House dan Intake, telah selesai
dilaksanakan saat tahap pertama konstruksi, sehingga operasional PLTA Cirata
dapat dimulai pada tanggal 29 Februari 1988.
7
Selesai pada 1997, tahap kedua konstruksi direncanakan untuk memenuhi
naiknya kebutuhan energi saat beban puncak di Pulau Jawa. Lingkup kerja untuk
tahap kedua pembangunan PLTA Cirata ini meliputi konstruksi Headrace Tunnel,
Surge Tank, Penstock, Tailrace Tunnel dan Outlet pada area Taillrace Opposite
Bank yang dibangun seaman mungkin sebagaimana saat tahap pertama.
Peralatan pembangkitan yang dipasang pada tahap ini meliputi turbin Francis, AC
tiga fase tersinkron dengan generator, AC tiga fase main transformer outdoor
dan two-bay conventional switchgear.
Pada program transmigrasi ini diberikan perhatian khusus dan komitmen berupa
pengenalan sistem perikanan memanfaatkan waduk. Program perikanan ini
diperuntukkan bagi kepala keluarga transmigran sebagai mata pencaharian
mereka yang menggantikan mata pencaharian agrikultur pertanian menjadi
akuakultur perikanan. Sistem budidaya ikan menggunakan Keramba Jaring
Apung (KJA) terbukti lebih menguntungkan daripada pertanian padi, para
keluarga transmigran kemudian menyetujui untuk menggunakan sistem KJA ini.
Hak budidaya ikan menggunakan KJA pada perairan Waduk Cirata ini
dikhususkan hanya untuk warga transmigran.
Melalui program transmigrasi bagi warga yang terdampak oleh proyek PLTA
Cirata ini, banyak kepala keluarga yang dilatih dan didanai untuk peralihan
kepada akuakultur. Disamping itu, para warga yang tertarik pada keahlian lain
juga dilatih berbagai macam keterampilan seperti kerajinan kayu, budidaya ikan,
pertanian, dan pariwisata.
8
Dengan pembangunan Bendungan Cirata, dapat dipergunakan untuk irigasi dan
pengendali bajir serta telah meningkatkan hasil produksi padi dan perikanan
pada daerah ini.
Untuk mencapai tujuannya, BPWC bekerja secara mandiri maupun bekerja sama
dengan pihak lain sesuai kompetensinya dan berkoordinasi dengan instansi
terkait baik Pemerintah Daerah maupun swasta. Berdasarkan SK Direksi PT PJB
Nomor 107.K/020/DIR/2015 tentang reorganisasi BPWC, untuk memperkuat dan
meningkatkan efisiensi kinerja BPWC, Kepala BPWC membawahi 3 (tiga) manajer
dan 8 (delapan) supervisor yang mana tugas Pemeliharaan Bendungan dan
Waduk menjadi kewenangan Manajer Pemeliharaan, yang menugaskan
Supervisor Pemeliharaan Waduk dan Sedimentasi beserta stafnya sebagai
pelaksananya. Berikut bagan struktur organisasi PT PJB BPWC menurut SK
Direksi PT PJB Nomor 107.K/020/DIR/2015,
9
Direktur Utama
PT PJB
Direktur Operasi 1
Kepala BPWC
10
angka yang selanjutnya dapat dievaluasi dan dianalisa sehingga dari data
tersebut dapat dipakai sebagai bahan informasi sekaligus peringatan dini
terjadinya potensi kerusakan maupun kegagalan pada bangunan yang diamati.
11
BAB II
KONSEP DASAR GEODESI
Ilmu ukur tanah adalah bagian dari ilmu geodesi yang mempelajari cara-cara
pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah untuk berbagai keperluan
seperti pemetaan dan penentuan posisi relatif pada daerah yang relatif sempit
sehingga unsur kelengkungan permukaan buminya dapat diabaikan.
Sedangkan geodesi mencakup kajian dan pengukuran yang lebih luas, tidak
sekedar pemetaan dan penentuan posisi di darat, namun juga di dasar laut untuk
berbagai keperluan, juga penentuan bentuk dan dimensi bumi baik dengan
pengukuran di bumi dan dengan bantuan pesawat udara, maupun dengan satelit
dan sistem informasinya.
12
Survei geodesi (geodetic surveying) meliputi penentuan bentuk dan ukuran bumi,
medan grafitasi dan pembuatan jaringan kontrol pemetaan. Pada aktifitasnya,
juga dikembangkan hingga beberapa hal tentang astronomi dan penentuan
posisi dengan satelit.
13
(sertifikat), serta pemetaan untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) atau
kadastral fiskal.
14
yang mulanya sulit dilakukan secara manual dapat dengan mudah dilakukan,
sehingga dapat langsung diaplikasikan dari bidang elipsoid ke bidang proyeksi.
Posisi titik pada permukaan bumi yang berupa bidang lengkung biasanya
dinyatakan dengan lintang dan bujur (φ, λ), sedangkan posisi titik pada peta
yang berupa bidang datar dinyatakan dengan koordinat kartesian (x, y) karena
sulit untuk mendatarkan bidang lengkung tanpa adanya perubahan-perubahan
atau distorsi, baik distorsi luas, jarak, bentuk maupun arahnya. Bidang proyeksi
yang bisa didatarkan antara lain bidang datar itu sendiri, kerucut dan bidang
silinder. Sistem yang menggunakan bidang datar sebagai bidang proyeksi
dinamakan proyeksi azimutal, yang menggunakan bidang kerucut dinamakan
proyeksi konik, dan yang menggunakan bidang silinder dinamakan proyeksi
merkator.
15
Posisi sumbu bidang proyeksi terhadap sumbu bumi dibedakan menjadi beberapa
macam yaitu yang sejajar atau berhimpit dinamakan proyeksi normal, yang
miring dengan sudut tertentu dinamakan proyeksi miring atau obliq, dan yang
saling tegak lurus dinamakan proyeksi transversal. Demikian pula hubungan
antara bidang proyeksi dan bola bumi, yang bersinggungan disebut dengan
tangen, yang memotong disebut dengan secant dan yang tidak bersinggungan.
Posisi pusat proyeksi dibedakan menjadi beberapa macam yaitu yang berasal
dari pusat bumi dinamakan proyeksi gnomonis, yang berasal dari kulit bumi yang
berhadapan dengan bidang proyeksi dinamakan proyeksi stereografis dan yang
proyeksinya tak terhingga sehingga garis-garis proyeksinya sejajar dinamakan
proyeksi orthografis. Penggambaran permukaan bumi yang bersifat lengkung ke
bidang proyeksi yang mendatar dapat dilakukan menggunakan rumus matematis
tertentu.
16
menggunakan proyeksi orthogonal, di mana sinar-sinar proyektor saling sejajar
satu sama lain dan tegak lurus bidang proyeksi. Sedangkan peta dapat
didefinisikan sebagai “gambaran dari sebagian permukaan bumi pada bidang
datar dengan skala dan sistem proyeksi tertentu.”
17
3) Peta digital, adalah peta dalam bentuk data digital, baik dalam bentuk
data vektor, raster, atau kombinasi keduanya. Hasil cetakan dari peta
digital pada dasarnya adalah peta garis apabila datanya dalam bentuk
vektor, ataupun peta foto jika datanya dalam bentuk foto atau citra.
e) Atas dasar hirarkinya
1) Peta manuskrip 3) Peta Induk
2) Peta dasar (minut) 4) Peta turunan
18
2.5 Alat Ukur Geodesi
2.5.1 Teodolit
Dalam bidang geodesi dan pengukuran tanah, telah dibuat bermacam-macam
alat pengukur sudut, baik yang didesain khusus untuk mengukur sudut maupun
yang didesain untuk kepentingan lain.
Alat yang didesain untuk mengukur sudut, dalam bidang geodesi dan
pengukuran tanah dikenal dengan nama transit atau teodolit. Alat ini ada
bermacam-macam tipe dan jenisnya. Walaupun secara umum semua teodolit
mempunyai mekanisme kerja yang sama, namun pada tingkatnya tertentu
terdapat perbedaan, baik penampilan maupun bagian dalam atau konstruksinya.
Teodolit dapat di klasifikasikan atas dasar beberapa hal, antara lain:
19
3. Digital, (manula, dan elektronik) digital manual dan digital elektronik.
20
karenanya, alat tipe ini pada umumnya kecil, ringan, pengoperasiannya
sederhana. Diameter atau garis tengah lingkaran horizontalnya antara 50-80 m,
dan lingkaran vertikalnya 40-70 mm. Perbesaran bayangan teropong antara 17-
20 x, sistem bacaannya sederhana (garis lurus, garis lurus, dan skala, nonius)
dan pada produksi yang baru ada yang menggunakan mikroskop dengan bacaan
terkecil sampai 1 mgon (10”) dan bacaan menitnya dengan perkiraan. Tipe ini
cukup dengan satu mikroskop pembacaan, namun ada pula yang dua buah.
Beberapa teodolit jenis ini, kotak pembawa bagian bawahnya berlaku pula
sebagai plat dasar (tatakan) yang dapat dihubungkan langsung dengan kepala
statip dengan pen pengunci maupu baut instrumen. Kadang-kadang ada yang
tidak dilengkapi dengan nivo tabung alhidaede horizontal, sehingga untuk
membuat sumbu I vertikal hanya dengan mengatur nivo kotak saja.
Dengan kemajuan teknologi akhir-akhir ini selain telah dibuat teodolit elektronik
telah pula dibuat teodolit laser, sehingga dapat dipakai pada tempat-tempat yang
gelap, seperti dalam terowongan, tambang bawah tanah, serta total station dan
teodolit robotik. Walaupun alat teodolit diddesain untuk pengukuran sudut
namun dapat pula dipakai untuk pengukuran jarak secara optis dan beda tinggi
secara trigonometrik dengan cepat (tachymetri).
21
Adapun negara produsen alat ukur teodolit berikut mereknya antara lain: Jepang
(Nikon, Topcon, Sokisha, Sokia, dan Asahi Pentax), Jerman (Fennel Kassel,
Breithaup, Otto Fenel, Askania Werke, dan Carl Zeiss), Swisserland (Kern, Zeiss
Jena, dan Wild-Heerburgg), Inggris (Hilger dan Watts) dan beberapa negara lain
diantaranya Hongaria, Italia, Rusia, India, Amerika Serikat, kanada, dan Cina.
22
2. Tipe T0, piringan horizontal bersatu dengan jarum magnet, ujung U-S
berimpit dengan angka 0º – 180º, sehinggga bila klem kompas dibuka,
piringan horizontal akan berputar sesuai dengan putaran/goyangan jarum
kompas
3. Tipe BTM (Boussole Tranch Montagne). Pada tipe ini posisi teropong tidak
berada ditengah namun berada disamping kompas/lingkaran horizontal atau
eksentris. Tipe ini ada tiga macam, yaitu:
a. BTM lama, dengan ciri-ciri: teropong eksentris, posisi lingkaran vertikal
berada pada sisi yang sama dengan teropong, sumbu II (horizontal)
menempel pada bagian bawah boussole dan sumbu ini dapat diatur atau
dikoreksi, sistem bacaan lingkaran langsung.
b. BTM baru, dengan ciri-ciri: posisi teropong eksentris, posisi lingkaran
vertikal berada pada sisi yang berseberangan dengan teropong, sumbu II
bersifat tetap (tak dapat diatur/dikoreksi)
c. BTM Bumon (modern), tipe ini merupakan pengembangan dari BTM baru,
dengan menambahkan bacaan piringan horizontal sebagaimana teodolit,
selain arah kompas. Bacaan lingkaran horizontal dan vertikalnya
menggunakan sistem optis.
23
Tipe teodolit boussole umumnya tingkat ketelitiannya rendah. Dengan teropong
yang eksentris, maka apabila dipakai untuk pengukuran sudut horizontal akan
terjadi kesalah eksentrisitas yang sangat besar. Oleh karenanya alat tipe ini tidak
digunakan untuk mengukur sudut dengan seri tunggal. Pengukuran harus
dilakukan dengan metode seri rangkap (posisi terong biasa dan luar biasa) dan
hasilnya dirata-rata agar kesalahnnya dapat dieliminasi. Persyaratan pemakaian
alat BTM sama dengan persyaratan pemakaian teodolit pada umumnya, demikian
pula cara pengaturanya.
Gambar 2.6 Alat sipat datar sederhana tipe semua tetap: tanpa sekrup
pengungkit (atas); dengan sekrup pengungkit (bawah)
24
Alat penyipat datar diproduksi oleh perusahaan yang memproduksi teodolit. Oleh
karenanya terdapat alat sipat datar dan teodolit yang memiliki kesamaan merk.
Alat penyipat datar dengan sekrup ungkit, teropongnya selain dapat digerakkan
dengan sumbu vertikal (gerakan menggeleng), juga dapat digerakkan sedikit ke
atas dan ke bawah (gerakan mengangguk) secara terbatas dengan
menggunakan skrup ungkit. Alat uku penyipat datar teliti sebenanrnya juga
tergolong dalam tipe ini, tetapi nivonya jauh lebih sensitif (harga sudut nivo
kecil) dan dilengkapi dengan plat plan pararel yang dipasang di depan lensa
obyektif untuk mengatur penempatan garis bidik pada rambu ukur. Untuk
melihat apakah nivo berada dalam posisi seimbang atau tidak, dibuat sistem
optis tertentu sedemikian hingga bayangan gelembung nivo dapat dilihat
langsung pada teropong secara koinsiden.
Tipe baru yang sekarang berkembang luas di pasaran adalah tipe otomatis atau
automatic level, maksudnya apabila sumbu I telah vertikal atau mendekati
vertikal (dengan kemiringan terbatas) garis bidik akan mendatar secara otomatis.
Dalam hal ini, meskipun setiap pabrik memiliki pemecahan yang berbeda-beda,
namun prinsipnya menggunakan prisma pendulum (gantung) yang akan selalu
mencari posisi sesuai arah gaya beratnya. Dengan demikian apabila sumbu I
sedikit miring, pendulum akan bergerak sesuai arah gaya berat yang baru, dan
garis bidik akan mendatar kembali. jadi, alat yang bertipe otomatis tidak lagi
menggunakan nivo tabung untuk mendatarkan garis bidiknya.
Pada alat-alat yang baru, kiap (tribrach) juga dilengkapi dengan pembacaan
lingkaran horizontal, sehingga selain dapat digunakan untk menentukan beda
tinggi, alat juga dapat digunakan untuk mengukur arahnya, sehingga dalam
keadaan terbatas (lapangan relatif datar), alat tersebut dapat dipakai untuk
pengukuran detil situasi.
Sebagaimana tedolit, alat penyipat datar juga memerluka statip untuk dapat
berdiri dilapangan, serta rambu ukur untuk pembacaan tinggi garis bidik di titik
yang akan di ukur beda tingginya. Rambu ukur jaga bermacam-macam; ada
yang terbuat dari akyu, metal, atau alumunium dan pula yang terbuat dari invar
engsel, ada yang dilipat ke dalam atau teleskopik, ada yang satu batang penuh.
25
Panjang rambu umumnya 3 m, walaupun ada pula yang 4 m bahkan 5 m. Agar
dapat berdiri tegak dilapangan, rambu dibantu dengan nivo rambu, dan juga
sepatu rambu serta statip rambu untuk pengukuran teliti.
Transportasi dari stasiun satu ke stasiun yang lain yang hanya beberapa puluh
meter jauhnya, dapat dilakukan dengan cara melepaskan dahulu alat tersebut
dari statipnya. Alat yang ringan dapat diangkat bersama dengan statipnya, tetapi
yakinkan dahulu alat ukur terhubung kokoh dengan statipnya, klem sumbu-
sumbu dimatikan dan usahakan memindahkan alat tersebut dengan cara
diangkat dalam posisi alat berdiri.
26
Apabila pengukuran sudah selesai, sebelum dimasukkan kembali kedalam kotak,
alat perlu dibersihkan dahulu dari kotoran-kotoran yang menempel dengan kain
pembersih atau sikat yang lunak. Apabila akan disimpan dalam waktu yang lama,
sebaiknya alat dikeluarkan dari kotaknya dan disimpan ditempat yang sejuk dan
kering dalam posisi bersiri tegak dan klem-klem dibuka.
2.5.6 Monumentasi
Titik-titik kontrol atau kerangka dasar pemetaan ada yang bersifat
tetap/permanen dan ada yang bersifat sementara. Dilapangan, titik-titik yang
bersifat permanen ditandai dengan patok/tugu beton dengan berbagai ukuran.
Tergantung dari tingkatannya. Dibagian tengah dari permukaan atas tugu beton
diberi besi atau kuningan yang sedikit menonjol, dan dibuat tanda silang.
Identitas patok/tugu beton tersebut digrafir pada pkat marmer dan ditempelkan
pada permukaan yang tegak dari tugu tersebut, atau langsung digrafir pada
tubuh beton yang berapa pada permukaan tanah. Sedangkan untuk titik-titik
yang bersifat sementara umumnya terbuat dari patok kayu ukuran 5 x 7 x 40 cm
atau ukuran yang alin, dibagian atas dberi paku payung. Bagian yang berada
diatas permukaan tanah ± 10 cm. Identitasnya ditulis dengan cat atau spidol
dengan warna yang mencolok.
Karena titik-titik tetap tersebut akan digunakan untuk pengikatan titik-titik detil
dan keperluan lain di waktu mendatang, maka pemilihan lokasinya dilapangan
harus representatif dalam arti:
a) Mudah dicari kembali
b) Aman dari gangguan orang atau lalu lintas
c) Mempunyai kapabilitas yang tinggi untuk pengukuran detil
d) Kondisi tanahnya stabil
e) Mudah dijangkau dan mudah didirikan alat ukur di atasnya.
27
2.6 Satuan Dalam Pengukuran
Dalam ilmu ukur tanah, data ukuran yang diperoleh ada empat macam
kemungkinan, yaitu sudut baik dalam bidang horizontal maupun vertikal, arah
atau azimut, jarak dan beda tinggi. Besaran-besaran di atas mempunyai satuan
yang berbeda-beda. Adapun satuan yang umum yang digunakan dalam ukur
tanah antara lain:
Ada satuan lain yang tidak lazim digunakan dalam ilmu ukur tanah, yaitu satuan
militer. Dalam satuan ini, satu lingkaran dibagi menjadi 6400 mils. Ketiga sistem
satuan tersebut dapat dikonversi satu sama lain karena satu lingkaran = 3600 =
400g = 2 π radian = 6400 mil. Konversi antara derajat dan grade dan sebaliknya
adalah:
10 = 1g,111 1g = 00,9
1‟ = 1c,652 1c = 0‟ ,54
1” = 3cc,086 1cc = 0” ,324
28
2.6.2 Sudut Arah dan Kuadran
Sudut arah dalam ilmu ukur tanah tidak asama, dengan sudut arah dalam ilmu
ukur sudut (goneometri). Dalam ilmu ukur tanah, sudut dimulai dari arah utara
(sumbu Y positif) ke arah timur searah putaran jarum jam, sedang dalam ilmu
ukur sudut dimulai dari arah timur (sumbu X positif) berputar berlawanan arah
putaran jarum jam. Demikian pula dengan posisi kuadran.
Dalam ilmu ukur tanah, sudut arah dinakam pula sudut jurusan atau azimut.
Berkaitan dengan peralatan ukur tanah yang menggunakan kompas sebagai
penunjuk arah, dikenal pula azimut kompas atau azimuth boussole dan ada pula
istilah bering.
Selain sudut satu arah yang berbeda, letak kuadran juga berbeda. Pada ilmu
ukuran sudut, urutan kuadran berlawanan arah dengan putaran jarum jam,
sedang dalam ilmu ukur tanah urutan kuadran searah putaran jarum jam.
Namun rumus-rumus goneometri sepenuhnya dapat dipakai dalam ilmu ukur
tanah.
29
2.6.4 Matematika dalam Ukur Tanah
Cabang dari matematika yang paling dominan pemakaiannya dalam ilmu ukur
tanah adalah trigonometri seperti tersebut dibawah ini.
30
utara-selatan magnet atau sebaliknya. Pada tipe ini apabila kotak kompas
diputar, angka-angkanya diam.
Kompas yang pemakaiannya ditempatkan pada statip atau alat lain (teodolit)
yang dalam pembacaannya menjadi stabil dan diam, dinamakan surveyor
kompas, sedangkan yang pemakaiannya dipegang tangan langsung dinamakan
prismatik kompas atau kompas tabung dan kompas kotak yang hanya dipakai
sebagai petunjuk arah utara-selatan saja.
Aturan atau ketentuan membaca azimut kompas pada surveyor kompas adalah
pada angka yang ditunjukkan oleh ujung utara jarum magnet. Pada waktu alat
ukur di putar pada sumbu vertikal (sumbu I), maka jarum magnet diam, yang
berputar adalah skala lingkaran horizontalnya. Arah angka pembagian skala
lingkaran horizontal ada dua kemungkinan, yaitu searah jarum jam dan
berlawanan arah putaran jarum jam. Demikian pula, arah garis bidik teropong
ada dua macam, yaitu searah angka 0º - 180º dan searah 180º - 0º. Dengan
demikian ada empat kemungkinan azimut , yaitu utara-timur (UT), utara-barat
(UB), selatan-timur (ST), dan selatan-barat (SB). Untuk mengetahui macam
azimut mana yang ditunjukkan suatu kompas, menggunakan ketentuan: Azimut
adalah sudut yang dimulai dara arah utara atau selatan jarum magnet sampai
garis bidik yang sama besarnya dengan sudut bacaan.
Penentuan macam azimut dilakukan dengan teropong dalam keadaan biasa yaitu
teropong digambarkan berada disebelah kanan lingkaran skala. Cara
menentukan macam azimut adalah sebagai berikut:
1. Tentukan angka skala yang merimpit dengan ujung utara jarum magnet,
angka pada garis skala ini menentukan besarya sudut yang dimulai dari angka
nol dan diakhiri pada angka itu.
2. Tentukan busur yang besarnya dinyatakan dengan angka bacaan, dari skala
nol (0) sampai ujung utara jarum magnet.
3. Cari sudut yang dimulai dari salah satu ujung jarum magnet yang diakhiri
pada arah garis bidik yang besarnya sama dengan angka bacaan.
4. Maka cara pemutaran sudut itu menyatakan macam azimut.
31
Macam azimut dapat ditulis xº UT atau U xº T . Macam azimut dari alat atau
kompas harus ditentukan lebih dahulu sebelum pengukuran, karena azimut akan
dipakai untuk menentukan posisi dari titik-titik yang akan diukurselanjutnya.
Untuk keperluan penentuan posisi suatu titik dilapangan secara hitungan, selalu
diperlukan azimut utara-timur, sehingga macam azimut yang lain harus
dikonversi menjadi azimut utara-timur.
32
dilakukan. Apabila diketahui ada kesalahnan kasar maka dianjurkan untuk
mengulang seluruh atau sebagian pengukuran tersebut.
Contoh keslahan ini:
a) Salah baca, misalnya:
6 dibaca 9;
3 dibaca 8;
7 dibaca 9; dsb
b) Salah mencatat data ukuran, misal dalam pengukuran jarak ada 4 rentangan,
satu kali rentangan tidak tertulis.
c) Salah dengar dari si pencatat, misal pengamat bilang tiga pencatat
mendengar lima.
Untuk menghindari terjadinya jenis kesalahan ini antara lain dapat dilakukan
pengukuran lebih dari satu kali, atau pengukuran dengan model dan teknik
tertentu.
33
2.7.2.1 Koreksi Standar Pita Ukur
Sebaiknya alat-alat ukur ditera ulang secara berkala. Aus/pemuluran dapat
menyebabkan alat tidak lagi standar atau menjadi lebih panjang dan bila alat ini
dipakai untuk mengukur maka hasil pengukurannya harus dikoreksi.
Contoh:
Sebuah pita ukur yang panjangnya 20 m dipakai untuk mengukur jarak dan hasil
yang didapat 376,4 m. Dalam pengecekan ternyata pita ukur tersebut
panjangnya 20,04 m sehingga jarak sebenarnya adalah:
20,04
376,4 x = 376,4 (1 + 0,002)
20
= 377,2 m
Demikian pula seandainya alat ini dipakai untuk mengukur luas, maka luas yang
sebenarnya menjadi:
34
2.7.2.3 Pendataran Pita Ukur yang Tidak Sempurna
Apabila pita ukur tidak mendatar tetapi melengkung ditengah (terjadi andongan),
maka hasil pengukuran akan menjadi lebih panjang. Apabila jarak lengkung pita
dari yang sebenarnya = d, maka kesalahan jarak yang terjadi :
2.𝑑 2
kesalahan jarak = ........................................ (2.4)
𝑙
Catatan:
Untuk ketelitian 1/500, Harus < 0,3 m.
Tetapi bila kemiringan medan seragam dan arah kemiringan serta sudut
kemiringannya dapat ditentukan dengan alat lain (teodolit/klinometer), maka
jarak sebenarnya menjadi = jarak terukur x cos α adalah kemiringan medan
lapangan.
35
tersebut harus diperhatikan. Besarnya kesalahan akibat variasi temperatur
dinyatakan dengan:
l x c x t ................................................... (2.6)
Dalam hal ini:
l = jarak terukur
c = koefisien muai panjang (ºC)
t = beda temperatur terhadap temperatur standar
Kesalahan ini baru terlihat apabila suatu besaran diukur berulang-ulang dan
hasilnya tidak selalu sama antara satu ukuran dengan ukuran yang lain dan
dalam jumlah yang besar distribusi dari nilai-nilai tersebut akan mengikuti kurva
normal dari Gauss. Untuk Menghilangkan pengaruh jenis kesalahan ini, dapat
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a. Pengaruh kesalahan ini dibuat sekecil mungkin dengan penyempurnaan alat
ukur yang digunakan (menggunakan alat presisi tinggi).
b. Dengan aturan tertentu dalam proses pengambilan data, misal pengambilan
data pagi pukul 07.00 s/d 11.00, sore pukul 14.00 s/d 17.00; jarak alat ukur
ke rambu maksimum 60 meter; dan alat ukur dipayungi.
c. Dengan metode pengolahan data yang tertentu (grafis, Bouwditch, perataan
kuadrat terkecil, dan lain-lain).
Untuk metode yang terakhir, hasil pengamatan dibetulkan atau diberi koreksi
dengan metode ilmu hitung perataan (adjustment). Dalam surveying atau ilmu
ukur tanah pada umumnya dipakai metode perataan pengamatan menurut “Ilmu
Hitung Kuadrat Terkecil”. Dalam metode ini jumlah kuadrat dari kesalahan harus
minimum.
36
Jika pengamatan mempunyai ketelitian yang sama, hasil pukul rata dari
pengamatan-pengamatan tersebut memiliki kesalahan yang minimum. Kesalahan
sistematik sendiri tidak dapat dihilangkan dalam hasil pukul rata, misal kesalaha
sistematik “s” maka dalam “n” pengamatan terdapat kesalahan “s.n”.
𝑠.𝑛
Dalam hasil pukul rata tersebut: = s tetap ada/tidak hilang.
𝑛
𝑥 1 + 𝑥 2 + …+ 𝑥 𝑛
x= ..................................... (2.7)
𝑛
37
BAB III
SIPAT DATAR
Sipat datar bertujuan menentukan beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan
secara teliti. Tinggi suatu obyek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu
bidang referensi, yaitu bidang yang ketinggiannya dianggap nol. Dalam geodesi,
bidang ini disebut bidang geoid, yaitu bidang equipotensial yang beimpit dengan
permukaan air laut rata-rata (mean sea level). Bidang equipotensial juga disebut
bidang nivo. Bidang-bidang ini selalu tegak lurus dengan arah gaya berat di
mana saja di permukaan bumi.
Beda tinggi di atas permukaan bumi dapat ditentukan dengan berbagai cara:
1. Sipat datar (spirit levelling)
2. Takhimetrik (tachymetric levelling)
3. Trigonometrik (trigonometric levelling)
4. Barometrik (barometric levelling)
Urutan di atas juga merupakan urutan tingkat ketelitian dari cara atau metode
pengukuran beda tinggi, dengan metode Sipat Datar yang merupakan metode
paling teliti, hingga metode Barometrik dengan ketelitian terendah. Pada bab ini
akan dijelaskan metode yang pertama. Metode yang kedua, yaitu metode
takhimetrik, akan diulas pada Bab IV. Sedangkan metode yang ketiga dan
keempat akan diulas pada buku yang lain.
38
Karena sipat datar merupakan metode penentuan beda tinggi yang paling teliti,
maka metode ini biasanya dikerjakan untuk menentukan ketinggian titik-titik
kerangka dasar pemetaan atau pekerjaan-pekerjaan rekayasa yang
membutuhkan ketelitian yang tinggi.
A B
Gambar 3.2 Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipat datar
Keterangan gambar:
A dan B: titik di atas permukaan bumi yang akan diukur beda tingginya
a dan b: bacaan rambu atau tinggi garis mendatar/garis bidik di titik A dan B
HA dan HB : ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi
ΔhAB : beda tinggi antara titik A dan B
Apabila (a - b) hasilnya positif (plus), maka dari A ke B berarti naik, atau B lebih
tinggi daripada A. Sebaliknya, apabila (a - b) negatif (minus), maka dari A ke B
turun atau B lebih rendah daraipada A.
Garis bidik antara garis lurus (khayal) pada teropong. Untuk mendatarkan garis
bidik, dibutuhkan nivo tabung. Dengan demikian, selain teropong dan
kelengkapan lain, alat ukur penyipat datar juga dilengkapi dengan nivo tabung
39
untuk membantu mendatarkan garis bidik. Tidak seperti teodolit, alat ukur
penyipat datar hanya diputar pada sumbu I (sumbu vertikal) saja, tidak
mempunyai sumbu II (sumbu horizontal). Untuk mematikan gerakan pada
sumbu I, alat dilengkapi dengan klem sumbu I dan skrup penggerak halus.
Agar dapat digunakan dilapangan, alat ukur penyipat datar harus memenuhi
beberapa syarat tertentu, baik syarat utama yang bersifat wajib maupun syarat
tambahan yang dimaksudkan untuk memperlancar pelaksanaan pengukuran
dilapangan. Adapun syarat-syarat pemakaian alat penyipat datar adalah:
a. Syarat dinamis: sumbu I vertikal
b. Syarat statis:
1. Garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo.
2. Garis arah nivo tegak lurus sumbu I (sumbu vertikal).
3. Garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I.
40
Apabila jarak antara dua buah titik yang akan diukur beda tingginya relatif jauh,
maka dilakukan pengukuran berantai atau sipat datar memanjang. (differential
levelling).
Seperti halnya pengukuran jarak dan sudut, pengukuran beda tinggi juga tidak
cukup dilakukan dengan sekali jalan, tetapi dibuat pengukuran pergi-pulang,
yang pelaksanaanya dapat dilakukan dalam satu hari (dinamakan seksi), serta di
mulai dan di akhiri pada titik tetap. Gabungan beberapa seksi dinamakan trayek.
41
Pada gambar di atas, P dan Q adalah titik yang akan ditentukan beda tingginya.
Karena jarak keduanya cukup jauh, maka dibuat beberapa slag. Beda tingginya
adalah kumulatif dari beda tinggi setiap slag, yaitu:
ΔhP tp1 = b1 – m1
Δhtp1 tp2 = b2 – m2
Δhtp2 tp3 = b3 – m3
…
_______________
ΔhAB = ∑ Δ h = ∑ a - ∑ b ....................................................................... (3.2)
Pembacaan angka pada rambu adalah dalam satuan milimeter, sehingga angka
terdiri dari 4 digit tanpa tanda koma. Sebagai misal, untuk menghilangkan
kerancuan angka 17 mm sebaiknya ditulis 0017. Tulisan harus urut dan
sistematis, serta sejelas mungkin. Apabila ada salah tulis, sebaiknya dicoret saja
yang salah dan pembetulan ditulis di atasnya atau di sampingnya dengan jelas.
Jangan menggunakan alat tulis yang mudah terhapus (pensil 2B), tetapi gunakan
pensil yang keras (2H) atau ballpoint.
42
Pada pengukuran sipat datar berantai, pengukuran setiap seksi juga dilakukan
pergi dan pulang, sehingga pada umunya tidak menghasilkan angka beda tinggi
yang sama. Selisih dari padanya serta jarak antaranya, akan menentukan apakah
ukuran beda tinggi tersebut diterima atau tidak. Angka atau besaran yang
menyatakan bahwa beda pengukuran pergi dan pulang suatu ukuran diterima
atau tidak diterima dinamakan toleransi. Apabila selisih pengukuran pergi dan
pulang lebih kecil atau sama dengan (≤) toleransi, maka pengukuran tersebut
diterima. Sebaliknya apabila lebih besar (>) dari toleransi, akan ditolak atau tidak
diterima, yang berarti pengukuran harus diulangi lagi. Besar toleransi ini
ditentukan oleh tingkat pengukuran sipat datar pergi-pulang.
Apabila pengukuran pergi-pulang lebih kecil (<) dari toleransi (diterima), maka
beda tinggi definitifnya antara keduanya adalah rata-rata antara beda tinggi
pergi dan pulang, sebagaimana rumus (3.3) di atas. Selisih Δhr dan Δhpg atau
Δhpl dinamakan kesalahan atau penyimpangan dari pengukuran pergi atau
pulang (fh). Apabila akan dicari beda tinggi antar slag secara definitif maka Δhpg
atau Δhpl dikoreksi sebanding dengan jarak-jaraknya, atau:
𝑑𝑖
εhi = x fh ................................................. (3.4)
∑𝑑
dimana:
di : jarak slag ke i
∑d : jumlah jarak dalam seksi
fh : kesalahan atau penyimpangan pengukuran
43
Apabila tidak sama dengan nol, maka besaran tersebut dinamakan kesalahan
penutup beda tinggi atau fH. Apabila harga fH ini ≤ toleransi, maka pengukuran
diterima, dan untuk memenuhi syarat (3.5) maka beda tinggi rata-rata setiap
seksi dikoreksi sebesar:
𝐷𝑖
εHi = x fH ................................................ (3.6)
∑𝐷
dimana:
Koreksi setiap seksi yang didapat digunakan untuk mengoreksi setiap slag
sebagaimana rumus (3.4) di atas. Apabila bentuk pengukurannya berupa jaring-
jaring dengan berbagai distribusi titik ikat, maka perataanya menggunakan ilmu
hitung perataan (kuadrat terkecil) maupun metode lain di luar buku ini.
44
3. Bersumber dari alam, antara lain:
a. Kelengkungan permukaan bumi
b. Refraksi sinar
c. Undulasi
d. Kondisi tanah tidak stabil
Setiap kesalahan di atas perlu dikaji agar kita dapat menemukan cara
menghindarinya.
45
Gambar 3.4 Posisi pengamatan kemiringan garis bidik
2) Jika jarak pengukuran terlalu jauh, maka jalur pengukuran dibagi menjadi
beberapa seksi, yang mana setiap seksi dapat diselesaikan dalam 1 (satu)
hari.
3) Pengukuran setiap seksi dibagi dalam jumlah slag genap, dimana
pengukuran pergi dilakukan pada pagi hari dan pengukuran pulang
dilakukan pada sore hari pada hari yang sama.
4) Setiap perpindahan posisi slag, rambu muka menjadi rambu belakang, dan
sebaliknya rambu belakang menjadi rambu muka. Dan pembacaan setiap
slag dilakukan dengan cara double stand atau posisi statif diatur dua kali.
5) Jarak antara rambu muka dan rambu belakang maksimal + 60 m dengan
ketinggian bacaan + 0,5 m sampai dengan + 2,5 m.
6) Pada akhir pengukuran, diusahakan jumlah jarak belakang sama dengan
jumlah jarak muka. Toleransi kesalahan penutup ukuran beda tinggi
disesuaikan dengan peralatan yang digunakan, dikaitkan dengan orde
tingkat ketelitian yang diperlukan.
46
Berikut ini rumus perhitungan yang digunakan dalam pengukuran pergeseran
vertikal bendungan,
1) Menghitung beda tinggi ukurang pergi dan pulang pada setiap slag dengan
rumus berikut:
2) Menghitung jarak titik berdiri alat sipat datar ke rambu belakang dan ke
rambu muka pada setiap slag, denga rumus berikut:
5) Data beda tinggi pada setiap slag ukuran pergi dan pulang selanjutnya
dilakukan koreksi terhadap kesalahan akibat kemiringan garis bidik alat ukur,
dengan rumus:
47
6) Menghitung beda tinggi rata-rata pada setiap slag dari hasil ukuran pergi
dan pulang, dengan rumus:
∆ 𝑝𝑒𝑟𝑔𝑖 + ∆ 𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔
∆hrata-rata = ................................................... (3.11)
2
7) Selisih jumlah beda tinggi hasil ukuran pergi dan pulang, maupun salah
penutup jumlah beda tinggi rata-rata satu seksi harus dari masing-masing
toleransi kesalahan yang ditentukan. Berikut ini rumus menghitung salah
penutup beda tinggi hasil ukuran:
8) Apabila jaring penutup sipat datar berbentu loop, maka rumus salah penutup
beda tingginya adalah:
KS = ∑∆hrata-rata – (Elawal – Elakhir)
Dimana El. = Elevasi patok benchmark
Dengan catatan, elevasi benchmark awal dan akhir telah diketahui atau telah
diikatkan ke titik referensi dari pemerintah.
9) Hitung perataan pendekatan koreksi beda tinggi untuk setiap slag, berikut
rumusnya:
𝑑1
C1 = .............................................................. (3.13)
∑𝑑
Dimana:
C1 = koreksi beda tinggi tiap slag
D1 = jarak satu slag
∑d = jumlah jarak satu seksi
48
12) Dari data-data beda tinggi hasil hitungan perataan, dihitung tinggi (elevasi)
definitif setiap titiknya:
ElB = ElA + ∆hAB ............................................................................... (3.16)
Dimana:
ElB = Elevasi titik B (yang akan ditentukan)
ElA = Elevasi titik A (titik referensi/utama)
∆hAB = beda tinggi titik A dan B
Jadi besar dan arah deformasi vertikal diketahui melalui rumus di bawah ini,
13) Menghitung deformasi bendungan melalui pengukuran penurunan vertikal
atau perubahan posisi tegak, dengan rumus:
Perubahan posisi tegak = Perubahan elevasi
DV = H‟ – H
= El ‟B – El B ............................................. (3.17)
Dimana:
DV = deformasi vertikal
H‟ = elevasi titik ukur hasil pemantauan rutin
H = elevasi titik ukur hasil pemantauan awal (inisial)
49
BAB IV
PENGUKURAN TAKHIMETRI
2. Syarat Statis
Untuk memastikan akurasi pengukuran, alat ukur teodolit harus dalam kondisi
baik atau telah terkalibrasi. Berikut ini syarat-syarat statis yang harus
dipenuhi:
a) Sumbu II (Sumbu H – H) tegak lurus sumbu I atau mendatar
b) Garis bidik/kolimasi (Z – Z) tegak lurus sumbu II
c) Tidak ada kesalahan indeks vertikal, atau kesalahan indeks vertikal = 0
(ZZ/ /AA)
d) Garis bidik (Z – Z) sejajar garis arah nivo (N – N) apabila ada nivo
teropongnya.
50
Keterangan:
HH : sumbu II atau mendatar/sumbu teropong
VV : sumbu I atau sumbu vertikal
AA : garis arah nivo alhidade vertikal
ZZ : arah garis bidik
NN : garis arah nivo teropong
1 : Sekrup koreksi nivo alhidade vertikal
2 : Sekrup koreksi nivo teropong
4.1.1.1 Sentering
Proses sentering adalah mengatur sumbu I (sumbu vertikal) teodolit sedemikian
rupa hingga segaris dengan garis gaya berat yang melalui titik tempat berdiri alat
(paku atau titik silang di atas patok tanah). Sentering dapat dilakukan dengan
bantuan salah satu alat di bawah ini:
a) Dengan bantuan unting-unting yang digantung pada baut instrumen di
bawah kepala statif.
b) Dengan bantuan alat sentering optis.
c) Dengan bantuan alat sentering tongkat teleskopis.
d) Dengan bantuan sentering laser
51
Alat bantu sentering dipilih berdasar tipe alat yang digunakan. Berikut instruksi
sentering alat:
1) Pada posisi ketiga kaki statif masih tertutup rapat, buka ketiga klem kaki
statif dan tarik kepala statif hingga sejajar mata personil surveyor.
2) Dirikan statif di atas patok dengan merentangkan ketiga kaki statif hingga
ketiga kaki statif membentuk segitiga sama sisi dengan patok sebagai
pusatnya. Pastikan tinggi statif rata-rata dada surveyor dan kepala statif
dalam posisi mendatar.
3) Bila menggunakan alat sentering unting-unting, gantungkan unting-unting
pada baut instrumen hingga unting-unting tepat berada di atas patok
dengan mengatur ketinggian kaki statif. Kokohkan pijakan statif dengan
menginjak pedal di ujung kaki statif, kemudian kencangkan ketiga baut kaki
statif.
4) Pasang alat (teodolit) di atas statif, hubungkan dengan cara mengencangkan
baut instrumen pada lubang drat tribrach teodolit, pastikan pemasangan
baut tidak terlalu kencang terlebih dahulu.
5) Perhatikan ujung unting-unting, atau tanda silang pada alat sentering optis,
atau ujung bawah tongkat teleskopis sudah tepat berada di atas titik pada
patok. Bila posisi belum tepat, geser tribrach alat sedemikian rupa hingga
posisi alat sentering tersebut tepat di atas titik patok.
6) Kencangkan baut instrumen secukupnya hingga posisi alat tidak mudah
berubah. Mengencangkan baut terlalu keras dapat merusak drat alat dan
menyulitkan saat melepas alat kembali.
52
Gambar 4.3 Kesalahan sumbu I dan kesalahan sumbu II
Dari kedua lintasan tersebut, akan diperoleh gambaran segitiga bola SCC‟ dan
dari padanya kesalahan sumbu vertikal β dapat dinyatakan dengan persamaan:
Kesalahan ini tidak dapat dihilangkan dengan merata-rata pengamatan biasa dan
luar biasa. Oleh karena itu, saat pengukuran, sumbu I harus benar-benar
vertikal. Komponen yang digunakan untuk mengatur sumbu I agar vertikal
adalah nivo kotak, nivo tabung dan ketiga sekrup penyetel ABC (levelling screw).
Adapun cara mengaturnya seperti pada gambar di bawah ini,
53
2. Misalkan pada mulanya kedudukan gelembung nivo kotak pada posisi 1,
kemudian atur gelembung menuju posisi 2 dengan memutar sekrup
penyetel A dan B bersamaan ke arah luar atau ke arah dalam.
3. Kemudian atur gelembung menuju posisi 3 (tepat di tengah) dengan
memutar sekrup penyetel C.
b) Penghalusan dengan mengatur gelembung nivo tabung alhidade horizontal
1. Putar teodolit pada sumbu I hingga nivo tabung sejajar dengan sekrup
penyetel A dan B (posisi 1). Seimbangkan gelembung nivo dengan
memutar sekrup penyetel A dan B.
2. Putar teodolit pada sumbu I 1800 (nivo pada posisi 2). Apabila
gelembung bergeser, setengah pergeseran diposisikan ke tengah dengan
sekrup penyetel A dan/atau B, dan setengah pergeseran sisanya dengan
memutar sekrup koreksi nivo dengan pen koreksi.
3. Putar teodolit pada sumbu I sebesar + 900 (posisi 3). Apabila gelembung
tidak pada posisi tengah, atur ke tengah dengan memutar sekrup C.
4. Periksa dengan cara memutar alat pada sumbu I sembarang. Apabila
gelembung seimbang, berarti sumbu I telah vertikal. Tetapi bila
gelembung masih belum seimbang, maka ulangi langkah (b) hingga pada
posisi sembarang, gelembung nivo tabung tetap seimbang.
54
tersebut tidak mempengaruhi akurasi data, maka perlu dilakukan pengukuran
tertentu. Jenis kesalahan tersebut adalah:
a) Kesalahan dalam pembagian skala lingkaran, misalkan pembagiannya tidak
seragam.
b) Kesalahan eksentrisitas.
c) Kesalahan diametral.
55
Jumlah personil yang ideal dalam sebuah kegiatan pengukuran jarak
menggunakan teodolite sejumlah 5 (lima) orang, antara lain:
a) Operator reflektor GPH-3, 2 orang
b) Operator Teodolit, 1 orang
c) Personil Pencatat, 1 orang
d) Personil pemegang payung dan komunikasi, 1 orang
A Jarak Titik C ke A
56
2) Pasang alat DI4L pada teodolit
3) Pasang reflektor GPH-3 di titik kontrol (benchmark) patok (A) dan (B)
4) Arahkan teodolit ke titik kontrol (A) kemudian baca sudut vertikalnya
5) Arahkan teodolit ke titik kontrol (B) kemudian baca sudut vertikalnya
6) Baca skala lingkaran tegak. Hasil pembacaan dapat berupa sudut zenith (z)
atau sudut miring (m) tergantung pada tipe alatnya.
7) Ukur jarak dari titik (C) ke titik (A) dengan menggunakan DI4L
8) Ukur jarak dari titik (C) ke titik (B) dengan menggunakan DI4L
9) Misalnya terbaca sudut (z) = 600 – 30‟ – 30”
Maka sudut miring (m) = (900 – 00‟ – 00”) – (600 – 30‟ – 30”)
= 290 – 29‟ – 30”
57
Gambar 4.8 Ilustrasi pengukuran teodolit
58
CB −CA + CB −CA + 360 0
11) Maka sudut horizontal CAB = ............. (4.1)
2
12) Untuk mendapatkan koordinat titik C dari titik A menggunakan rumus
59
16) Sudut jurusan AB diketahui dari koordinat dengan menggunakan rumus:
Jadi:
α AC = α AB + γ ........................................................................... (4.7)
α BC = α BA + β ............................................................................ (4.8)
Dimana:
AH = Beda tinggi
Dm = Jarak miring
M = Sudut miring
= Tinggi alat
t = Tinggi target
Untuk menghitung koordinat, jarak yang diperlukan adalah jarak datar, dengan
menggunakan rumus:
D = Dm cos m + db ............................................................................... (4.10)
Dimana:
D = Jarak datar
db = Koreksi kelengkungan bumi
db = (Hm . Dm) . 6370000
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑇𝑖𝑡𝑖𝑘 𝐾𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 +(𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑇𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 )
Hm =
2
Dari bentuk segitiga, dimana ketiga sisi diketahui jaraknya maka ketiga sudutnya
dapat diketahui dengan menggunakan rumus trigonometri seperti yang telah
diulas di Bab II, Sub-bab 2.6.4. Sehingga untuk mendapatkan koordinat C dapat
diketahui menggunakan rumus yang diaplikasikan pada contoh di bawah ini:
60
Diketahui: XA, YA, z
XB, YB, z
AC, BC
Hitung koordinat C !
Jawab:
AB = (XB − XA)2 + (YB − YA)2 ....................................................... (4.11)
(XB − XA )
α AB = Arc Tg ................................................................... (4.12)
(YB − YA )
AC 2 + AB 2 − BC 2
/A = Arc Cos ....................................................... (4.13)
2 (AC . AB )
BC 2 + AB 2 − AC 2
/B = Arc Cos ....................................................... (4.14)
2 (BC . AB )
/C = 1800 – (/ A + / B)
α AC = α AB + / A
α BC = α AB – / B = α AB + 1800 – / B
XCA + XCB
= XC
2
YCA + YCB
= YC
2
61
4.2 Pengukuran Takhimetri Menggunakan Total Station
4.2.1 Prinsip Alat dan Metode Pengukuran Total Station
Total Station dapat digunakan pada sembarang tahapan survei seperti survei
pendahuluan, survei titik kontrol, dan survei pematokan. Total station lebih
sesuai untuk survei topografi, dimana surveyor membutuhkan posisi (X, Y, Z)
dan sejumlah detil yang cukup banyak (700 s/d 100 titik per hari), dua kali lebih
banyak dari data yang dapat dikumpulkan dengan alat teodolit biasa (stadia) dan
EDM. Hal ini akan sangat berarti dalam hal peningkatan produktivitas, dan akan
menjadikan cara ini dapat bersaing dengan teknik fotogrametri atau survei
udara, apalagi telah dapat dihubungkan secara langsung dengan komputer dan
plotter. Berikut ini diulas prinsip alat dan metode pengukuran menggunakan
Total Station.
62
Banyak diantara aturan atau isian ini dapat di-bypass, karena mikroprosesor
telah memasang pilihan “default” untuk harga-harga di atas maupun
satuannya. Setelah data-data awal dimasukkan dan metode pengukurannya
selesai dipilih, data kolektor (alat) akan memberitahukan kepada surveyor
untuk memasukkan data-data pengukuran dari obyek yang akan di ukur.
Keterangan data ini akan diperlihatkan juga pada layar monitor, lebih lanjut
bila dikehendaki dapat pula diplot pada gambar. Beberapa pengumpul data
yang terbaru dilengkapi pula dengan pembaca bar code, sehingga apabila
digunakan dengan kode sheets, dapat tetap digunakan untuk pencatatan
data deskriptif. Beberapa pengumpul data dirancang untuk total station yang
berada dipasaran. Pengumpul data ini mempunyai outine sendiri dan kode
yang tertentu.
63
Perkembangan teknologi telah memungkinkan dilaksanakannya sembarang
fungsi survei. Oleh karena itu perlu dibuat standardisasi prosedur. Sebagai
indikasi positif kearah standarisasi, pada tahun 1990 telah dibuat Survey
Data Management Syistem (SDMSTM) oleh American Association of State
Highway and Transportation Officials (AASHTO). SDMS mengidfentifikasi dan
mendefisinikan masalah survei yang berkaitan dengan jalan raya dan
aktivitas serta data yang dibutuhkan. SDMS dapat digunakan secara manual
maupun komputerisasi data prosesing.
64
C. Masukan Data Titik Stasiun
Data masukan pada titik stasiun tempat berdiri antara lain:
1. Kode 10 (lihat tabel 4.1)
2. Tinggi alat (masukan setelah diukur)
3. Nomor titik stasiun, contoh 111 (lihat gambar 4.11).
4. Kode identitas titik stasiun (lihat buku manual atau code sheet tabel 4.1)
5. Koordinat dari titik stasiun (dapat fiktif, dalam sistem lokal, maupun UTM)
6. Koordinat stasiun dibelakangnya (stasiun BS), atau azimut ke titik stasiun
BS.
Catatan: pada beberapa data kolektor, koordinat titik stasiun selain untuk reduksi
dari data ukuran titik-titik detil, dipakai pula sebagai titik awal hitungan perataan.
Gambar 4.11 Ilustrasi pengambilan detil garis pantai dari titik poligon
65
4.2.2 Contoh Pengukuran Takhimetri Menggunakan Total Station
Contoh prosedur pengambilan data dari gambar ilustrasi di atas (gambar 4.11):
1. Masukkan data stasiun tempat berdiri alat, seperti contoh dimuka.
2. Bidikkan pada stasiun 114, bacaan horizontal dapat di-nol-kan.
3. Masukkan kode 20 (BS).
4. Ukur tinggi prisma/reflektor (HR) dan masukkan data tersebut.
5. Tekan tombol yang dibutuhkan (jarak miring, jarak datar, sudut horizontal,
sudut vertikal).
6. Tekan tombol record setelah setiap pengukuran. Sebagian besar total station
pengukuran dan pencatatan data (record) dari ketiga macam pengukuran di
atas dengan sekali tekan tombol (bila pada mode otomatis).
7. Setelah kode dan identitas stasiun pengamat dicatat, data kolektor akan
mempersilahkan surveyor untuk mengisi nomor titik detil (stasiun 114), dan
kode titik stasiun (misal 02).
8. Apabila pada gambar 4.11 survei dilakukan secara poligon, maka
pembidikan/pengukuran selanjutnya adalah pada titik FS (kode 30). Ulangi
langkah 4, 5, 6, dan 7 dengan data sesuai.
9. Pada stasiun 111, sembarang nomor titik IS (kode 40) dapat di ambil untuk
menandai unsur topografi yang dibidik. Prisma reflektor biasanya dipasang
pada tongkat yang mempunyai ukuran ketinggian, sehingga tingggi reflektor
(HR) dapat distel sama dengan tinggi alat (hi). Tongkat peyangga prisma
dapat didirikan dengan tegak dengan bantuan tiang pembantu (semacam
statif) sehingga pembidikan dapat dilakukan dengan lebih teliti. Beberapa
perangkat lunak (software) dapat langsung memperlihatkan kepada surveyor
untuk identifikasi, dengan nomor berikutnya, titik yang akan dihubungkan
pada peta nantinya (pada contoh garis pantai). Hubungan ini (on/off) dari
detil dilapangan akan memberikan kemudahan pada surveyor untuk
membuat peta (untuk terminal grafis atau plotter) seperti yang tertera pada
sketsa lapangan yang dibuat. Alternatif lain, surveyor dapat menghubungkan
titik-titik apabila menggunakan mode edit pada komputer. Catatan lapangan
yang baik akan sangat membantu pada pemetaan cara ini.
10. Apabila data semua detil topografi di sekitar stasiun tempat berdiri alat (111)
telah diambil dan dimasukkan, total station dapat dipindahkan ke stasiun
poligon berikutnya (misal 112), dan pengambilan data dapat dilakukan
66
dengan cara-cara yang sama seperti di atas. Di sisni, BS menjadi stasiun
111, dan FS stasiun 113. Bidik semua detil-detil IS yang di anggap perlu.
Catatan: apabila total station akan dipindahkan dari stasiun satu ke stasiun yang
lain, total station harus dilepaskan dulu dari statifnya, dan dibawa secara terpisah
serta dimasukkan ke dalam kotaknya.
Gambar 4.12 Ilustrasi denah pengukuran patok SI-2 Spillway Bendungan Cirata
67
Tabel 4.3 Perbandingan metode dan hasil pengukuran teodolit dan total station
No. Pengukuran Teodolit Pengukuran Total Station
1. Diketahui koordinat lokal: (data sama)
BMR:
X = 6402,351
Y = 14378,003
Z = 246,469
DC-2:
X = 6461,758
Y = 14872,472
Z = 240,437
2. Pasang alat teodolit di titik SI-2, Pasang alat total station di titik BMR
kemudian ukur tinggi alat
3. Pasang reflektor di titik BMR dan Pasang reflektor di titik BMR dan
DC-2, kemudian ukur tinggi masing- SI-2, kemudian ukur tinggi masing-
masing alat masing alat
4. Pasang DI4L kemudian ukur jarak: Arahkan alat total station tepat di
AC = 505,876 m prisma DC-2. Setting sudut 0 (nol)
BC = 217,344 m vertikal dan horizontal pada posisi
ini.
Hitung jarak AB dengan rumus 4.11
maka diketahui:
AB = 498,025 m
5. Hitung azimut AB menggunakan Masukkan koordinat:
rumus 4.12, maka: Titik berdiri alat di BMR
Azimut AB = 60 – 51‟ – 0,6” Titik Backsight di DC-2 (tanpa Z)
6. Hitung / 1 dengan rumus 4.13, Bidik dan tembakkan alat ke arah
maka: prisma SI-2.
/ 1 = 240 – 59‟ – 28,45” Lakukan pengukuran 3 (tiga) kali
untuk mendapatkan data yang valid.
Hitung / 2 dengan rumus 4.14,
maka:
/ 2 = 790 – 31‟ – 32,51”
7. Hitung Azimut AC dengan rumus: Hitung rata-rata hasil pengukuran
Az AC = Az AB - / 1 + 3600 yang terekam.
Az AC = 3410 – 51‟ – 32,15”
YC = YA + DAC Cos Az AC
YC = 14858,733
68
No. Pengukuran Teodolit Pengukuran Total Station
10. Hitung koordinat titik C dari sudut
titik B, menggunakan rumus:
XC = XB + DBC Sin Az BC
XC = 6244,848
YC = YB + DBC Cos Az BC
YC = 14858,733
11. Hitung rata-rata hasil kedua
pengukuran koordinat:
XC = (XA + XB) / 2
XC = 6244,845
YC = (YA + YB) / 2
YC = 14858,733
12. Hitung elevasi Z dengan rumus:
Z = (H1A + A1B) / 2
Z = 225,969
13. Maka hasil perhitungan koordinat Maka hasil perhitungan koordinat
titik C (SI-2) adalah: titik C (SI-2) adalah:
X = 6244,845 X = 6244,845
Y = 14858,733 Y = 14858,733
Z = 225,969 Z = 225,969
69
5) Pita ukur
6) Mistar
7) Unting-unting
70
BAB V
PENGUKURAN POLIGON
71
5.1 Pengertian Poligon
Secara etimologi, poligon berasal dari kombinasi kata poli yang berarti banyak
dan gonos yang berarti sudut. Secara terminologi, poligon adalah sistem
penentuan posisi horizontal berupa rangkaian garis yang menghubungkan letak
titik-titik di permukaan bumi dalam suatu sistem koordinat. Untuk memetakan
koordinat satu titik dari titik lain yang sudah diketahui nilai koordinatnya, maka
harus diketahui jarak mendatar dan sudut jurusannya (azimuth). Unsur sudut
jurusan pada sisi-sisi poligon ditentukan berdasarkan hasil pengukuran sudut
mendatar di masing-masing titik.
Sebagai kerangka dasar, posisi atau koordinat titik-titik poligon harus diketahui
dan ditentukan secara teliti karena akan digunakan sebagai ikatan detil.
Pengukuran poligon harus memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu.
72
f) Atas dasar hierarkhi dalam pemetaan: poligon utama (induk) dan poligon
cabang (anakan/ray)
X2 = X1 + d1-2 sinα1-2
Titik 1 disebut dengan titik ikat; α1-2 disebut dengan sudut jurusan atau azimut
sisi 1-2; d1-2 adalah jarak sisi 1-2. Apabila sudut diukur pada titik 2 dan jarak
diukur dari titik 2 ke titik 3, maka koordinat titik 3 dapat dicari. Demikian
seterusnya, sehingga unsur yang diukur dalam poligon adalah jarak dan sudut.
73
Sesuai dengan teori kesalahan dalam pengukuran jarak dan sudut, yaitu
“semakin jauh dari titik ikat, kesalahan akan semakin besar,” oleh karena itu agar
kesalahan tersebut tidak merambat, akhir dari poligon perlu dikontrol, baik
berupa kontrol koordinat maupun kontrol jurusannya (azimut). Poligon yang
demikian dinamakan dengan Poligon Terikat Sempurna.
Apabila dari data ukuran sudut dan jarak langsung dihitung koordinat titik-titik
poligon dengan titik ikat awal (A) sampai titik B, maka akan didapat koordinat
titik B yang tidak sama dengan koordinat titik ikat B yang telah diketahui,
dikarenakan pengukuran sudut dan jarak dipengaruhi oleh adanya kesalahan.
Oleh karena itu, sebelum penghitungan koordinat dilakukan, perlu dilakukan
terlebih dahulu penelitian sudut-sudut dan jarak-jarak ukuran. Untuk dapat
melakukan penelitian kedua unsur tersebut, maka harus diketahui dan ditentukan
terlebih dahulu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu poligon.
Telah diketahui bahwa sudut-sudut ukuran dipakai untuk mencari sudut jurusan
atau azimut sisi poligon, yang selanjutnya dengan data jarak digunakan untuk
mencari koordinat. Maka akan dicari sudut jurusan atau azimut semua sisi
poligon terlebih dahulu.
αA1 = αAP + βA
α12 = αA1 + β1 – 180o
= αAP + βA + β1 – 180o
α23 = α12 + β2 – 180o
= αAP + βA + β1 + β2 – 360o
α34 = α23 + β3 – 180o
= αAP + βA + β2 + β3 – 540o
74
α4B = α34 + β4 – 180o
= αAP + βA + β2 + β3 + β4 – 720o
αBQ = α4B + βB – 180o
= αAP + βA + β2 + β3 + βB – 900o
α3B = α23 + β3 – 180o
= αAP + β1 + β2 + β3 – 540o
αBQ = α3B + β4 – 180o
= αAP + β1 + β2 + β3 + β4 – 720o
Atau:
Pada pengukuran poligon terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh sudut-sudut
poligon yang diukur, yakni jumlah sudut-sudut yang diukur harus sama dengan
selisih sudut jurusan akhir dan awal ditambah kelipatan dari 180o, atau:
75
Δ β = Fα / n ........................................................................................ (5.4)
Apabila Fα tidak habis dibagi, maka sisanya diberikan pada sudut-sudut yang
76
7) Hitung kontrol sudut:
Dimana:
∆β = koreksi tiap sudut
fB = salah penutup sudut
77
11) Azimuth akhir (α 7-8) harus telah cocok dimana:
𝑥8− 𝑥7
α 6-7 + B7 – 1800 = Arc Tan
𝑦8 − 𝑦7
= α 7-8
Catatan: hitungan azimuth sisi poligon dihitung setelah sudut-sudut dikoreksi
12) Hitungan kontrol jarak:
Dengan argumen-argumen jarak sisi poligon dan hasil hitungan sudut
jurusan definitif tiap sisi digunakan untuk menghitung selisih-selisih absis ∆x1
dan ordinat ∆y1
14) Pemberian koreksi jarak pada tiap sisi poligon sepanjang sumbu x dan
sumbu y
d1
Vy1 = x fy
(d)
∆ y1 = ∆y1 + Vy1
Secara lengkap, rumus ditulis:
d1
∆ x1 = d1 Sin α1 – (i + 1) + x fx
(d)
d1
∆ y1 = d1 Cos α1 – (i + 1) + x fy
(d)
78
16) Hitung koordinat titik-titik menggunakan rumus:
x1 + 1 = x1 + ∆x1
y1 + 1 = y1 + ∆y1
1 = 1, 2, …
b) Toleransi jarak
Salah linier jarak: L = 𝑓𝑥 2 + 𝑓𝑦 2
𝑓𝑥 2 + 𝑓𝑦 2
Ketelitian linier jarak ukuran =
(𝑑)
1
Misal, jika ditentukan toleransi ketelitian jarak linier =
2500
Maka ketelitian jarak linier ukuran harus memenuhi toleransi yang
𝑓𝑥 2 + 𝑓𝑦 2 1
diberikan: harus
(𝑑) 2500
18) Sudut zenith adalah hasil rata-rata sudut biasa dan luar biasa
𝐵 – 𝐿𝐵 + 360 0
Z =
2
m = 900 – Z
Misal:
(890 −25 ′ −32") –(270 0 −34′ −30") + 360 0
Z =
2
Z = 890 – 25‟ – 31”
m = 900 – Z
m = 900 – (890 – 25‟ – 31”)
= 00 – 34‟ – 29”
79
Z
80
Sudut horizontal
(Biasa ) + (Luar Biasa )
ACB =
2
(CB – CA ) + (CB – CA – 360 o )
=
2
= ([(2450 – 36‟ – 45”) – (1240 – 25‟ – 30”)] + [(650 – 36‟ – 20”) –
(3040 – 25‟ – 30”)])/2
= 1210 – 11‟ – 75”
20) Rumus hitungan azimuth:
Diketahui koordinat titik A (XA, YA) dan B (XB, YB)
(XB − XA )
αAB = Arc Tan
(YB − YA )
Dimana:
Apabila XB – XA = nilainya bertanda positif (+)
YB – YA = nilainya bertanda negatif (-)
81
BAB VI
PEMETAAN SEDERHANA
Yang dimaksud di sini adalah pemetaan suatu daerah yang relatif sempit, hanya
beberapa ratus sampai beberapa ribu meter persegi, menggunakan alat ukur
jarak langsung (pita ukur) dengan mengabaikan unsur ketinggiannya. Pemetaan
cara ini juga dikenal dengan pemetaan blok atau blocking meeting, dengan skala
besar atau sangat besar.
Secara prinsip pemetaan ini dilakukan dengan cara membuat sebuah atau
beberapa buah segitiga secara berantai dengan minimal sebuah sisi sekutu, yang
melingkupi daerah tersebut sebagai kerangka pemetaannya. Jarak sisi-sisi
segitiga diukur secara langsung dengan pita ukur, sehingga dengan cara
sederhana dapat di plot atau digambar dengan geometri yang benar dengan
skala tertentu. Detil-detil diikatkan pada titik-titik sudut segitiga tersebut, atau
pada garis-garis ukur yang berupa sisi-sisi dari segitiga tersebut dengan cara-
cara tertentu. Kerangka peta, diusahakan sesederhana mungkin, dengan sisi-sisi
segitiga sepanjang mungkin.
Adapun alat utama yang digunakan adalah pita ukur atau rantai ukur, dan alat
bantu antara lain anjir atau yalon, pen ukur, prisma sudut atau cermin sudut,
unting-unting, dan klinometer bila dirasa perlu.
82
6.2 Metode-metode Pengikatan Titik Detail
Detil adalah obyek-obyek yang bersifat tetap yang ada dilapangan , baik yang
bersifat alamiah maupun hasil budaya manusia. Untuk menggambarkan detil
tersebut, cukup diambil beberapa buah titik yang dapat mewakili secara
geometric dari bentuk detil tersebut dan dengan cara grafis atau dilukis dapat
digambarkan kembali geometris obyek tersebut seperti apadanya dilapangan.
Missal sebuah bangunan gedung yang berwujud empat persegi panjang, cukup
diambil tiga atau keempat pojok-pojok bangunan tersebut sebagai titik
detilnya.Namun bila berwujud segi empat sembarang, maka keempat pojok
bangunantersebut harus diambil sebagai titik-titik detilnya. Demikian pula tidak
semua detil yang ada dilapangan mesti dikur, pemilihannya selain tergantung
dari geometri detil, juga ditentukan oleh tujuan pemetaan, dan skala peta yang
akan dibuat.Metode pengikatan atau pengukuran detil pada pemetaan
planimetris ini dikenal dengan offset.
Hasil pengungkuran sebaiknya dicatat dalam buku ukur atau formulir yang dijilid
rapi dengan halaman yang runtut. Pencatatan jarak-jarak ukuran sebaiknya
sesuai dengan cara yang baku. Meskipun demikian tidak ada pembakuan dalam
bentuk maupun ukuran dari formulir atau buku ukur.
83
BAB VII
PEMETAAN OTOMATIS
Ketelitian posisi yang diberikan oleh sistem RTK adalah sekitar 1 cm s.d. 5 cm,
dengan asumsi bahwa ambiguitas fase dapat ditentukan secara benar. Untuk
mencapai tingkat ketelitian tersebut, sistem RTK harus dapat menentukan
ambiguitas fase dengan menggunakan jumlah data yang terbatas selagi receiver
bergerak. Mekanisme penentuan ambiguitas fase yang kerap dinamakan on the
fly ambiguity ini bukanlah hal yang mudah dilaksanakan. Dalam hal ini untuk
dapat menentukan ambiguitas secara cepat dan benar umumnya diperlukan
penggunaan data fase dan pseudo range dua frekuensi, geometri satelit yang
relatif baik, algoritma perhitungan yang relatif handal dan mekanisme eliminasi
kesalahan dan bias yang relatif baik dan tepat.
84
Sistem RTK dapat digunakan untuk penentuan posisi obyek-obyek yang diam
maupun bergerak, sehingga sistem RTK tidak hanya dapat merealisasikan survei
GPS real time, tetapi juga navigasi berketelitan tinggi. Aplikasi-aplikasi yang
dapat dilayani oleh sistem ini cukup beragam, antara lain staking out, penentuan
dan rekonstruksi batas persil tanah, survei pertambangan, survei rekayasa dam
utilitas, serta aplikasi-aplkasi lainnya yang memerlukan informasi posisi horisontal
secara cepat (real-time) dengan ketelitian yang relative tinggi dalam orde
beberapa cm. Metoda Penentuan Posisi secara Real Time Kinematik dibagi dalam
dua bagian yaitu:
85
Gambar 7.2 Single Base RTK
b) Network RTK
Metode Network Real Time Kinematic (NRTK) merupakan sebuah metode
penentuan posisi secara relatif dari pengamatan GNSS. NRTK merupakan
pengembangan dari metode single base RTK (Martin & Herring, 2009).
Prinsip kerja Network real time kinematic (NRTK) secara umum sebagai
berikut. Stasiun‐stasiun referensi merekam data dari satelit GNSS secara
kontinu yang kemudian disimpan dan atau dikirim ke server Network RTK
melalui jaringan internet secara serempak. Data yang dikirimkan oleh
stasiun‐stasiun referensi adalah data dalam format Raw Data atau data
mentah yang kemudian oleh server Network RTK digunakan sebagai bahan
untuk melakukan koreksi data yang dapat digunakan oleh pengguna (rover).
Data dalam format RAW tersebut dikirimkan secara kontinu dalam interval
tertentu kepada server Network RTK melalui jaringan internet. Oleh server,
data tersebut diolah dan disimpan dalam bentuk RINEX yang dapat
digunakan untuk post processing, maupun dalam bentuk RTCM yang
dikirimkan kepada rover yang membutuhkan koreksi data dari stasiun
referensi.
86
Gambar 7.3 Network RTK
87
jarak miring antar obyek yang dibidik tersebut. Alat ini dapat dipakai baik secara
individu untuk menghitung kesalahan penutup polygon dan menghitung
perataan, maupun sebagai bagian dari system sebagai pengumpul data,
perhitungan secara digital dan plotting secara otomatis.
Total station dapat pula digunakan dalam model absolut untuk mengukur sudut,
secara koinsiden optis dengan sensor foto elektronis menggunakan scanning dan
membaca lingkaran dalam mode derajat, grade maupun radian. Beberapa total
station dilengkapi dengan system elektronik koaksial system optis dan orientasi
secara elektronik. Sekarang juga telah didesain sedemikian rupa sehingga
pengumpulan data dapat di down load seacara otomatis ke computer via kabel
interfaceRS 232, dan proses perhitungannya dilakukan dalam computer yang
selanjutnya dapat dihubungkan dengn printer atau plotter untuk penggambaran
petanya secara otomatis.
Sekarang total station dapat digunakan oleh para surveyor untuk menentukan
jarak miring, jarak datar dan sudut vertical obyek. Dengan menekan sebuah
tombol saja, nomor titik dan identitas obyek dapat dicatat. Dengan demikian
recorder surveyor tinggal membuat sket dari detil-detil dan lokasinya.
88
BAB VIII
PLOTTING
(PENGGAMBARAN)
Agar pengukuran dapat diwujudkan dalan bentuk peta, setelah semua data
lapangan dihitung, meliputi perhitungan koordinat (X,Y), titik-titik kerangaka
pemetaan (polygon), perhitungan ketinggian titik-titik polygon dari pengukuran
sipat datar (Z), sudut arah dan jarak titik-titik detil serta ketinggiannya
(takhimetri), langkah selanjutnya adalah plotting atau pemnggambaran. Adapun
garis besar langkah-langkahnya adalah :
1. Plotting titik-titik kerangka pemetaan (X,Y,Z) dengan skala yang telah
ditentukan
2. Plotting detil (X,Y,Z) atau grafis
3. Penarikan garis-garis kontur
4. Editing
Selanjutnya posisi setiap titik polygon kita plot sesuai dengan absis dan
ordinatnya dan sesuai dengan skala yang telah ditentukan, deng menggunakan
mistar skala, diukur dari titik jala grid yang terdekat.Titik-titik hasil ploti ini diberi
identitas sesuai dengan nomornya di lapangan dan angka ketinggiannya
dituliskan di dekatnya, atau apabila angka ketinggian tersebut ada komanya,
maka titik plot sebagai koma dari angka ketinggian.
89
8.2 Plotting Detil
Ploting detil disesuaikan dengan cara perhitungan posisi detil tersebut. Apabila
posisi detil ditentukan secara numeris (X,Y,Z) maka posisi planimetrisnya
ditentukan dengan mengplot koordinat (X,Y) dan angka ketinggiannya dituliskan.
Apabila posisi detil akan ditentukan dengans secara grafis, alat yang dipakai
antara lain busur derajat, mistar skala atau transverscal, jangka tusuk, dan
pensil. Detil-detil diplot dari titik kerangka pemetaan (polygon) yang sesuai pada
waktu pengukurannya dilapangan. Sudut arah detil diukur pada kertas plot
dengan busur derajat dengan ketelitian 15‟, jarak detil ditentukan dengan mistar
skala atau transverskal dan jangka tusuk, kemudian ketinggiannya dituliskan
sebagaimana pada ploting kerangka. Apabila arah detil berupa azimuth, maka di
titik polygon dibuat arah utara sejajar dengan sumbu Y dan jala grid dan angka
nol busur derajat diimpitkan dengan arah utara tersebut, azimuth detil tinggal
diplot sesuai pembacaan alat ukur pada busur derajat.
90
8.4 Edting
Meskipun detil-detil dan garis-garis kontur telah selesai digambarkab, belum
berarti peta tersebut sudah jadi. Peta masih perlu disempurnakan dengan
informasi-indormasi lain yang dianggap perlu, sebagai penjelasan atau sarana
komunikasi antara si pembuat peta dengan si pemakai.Proses ini dinamakan
editing. Pekerjaan editing ini meliputi antara lain:
1) Pemberian nama-nama (jalan,desa,bangunan,sungai dll)
2) Pembuatan symbol-simbol untuk detil obyek-obyek tertentu.
3) Keterangan tepi, yang berisi antara lain :
a) Judul peta
b) Skala peta dalam angka dan garis (bar)
c) Arah orientasi (arah utara)
d) Indeks dan nomor lembar
e) Keterangan legenda
f) Keterangan si pembuat dan waktu pembuatannya
g) Kolom pengesahaan
Pekerjaan editing ini termasuk di dalamnya adalah desain tampilan peta yang di
atur sesuai kaidah-kaidah ilmu kartografis dan sesuai dengan skala dan tujuan
peta dibuat.
91
BAB IX
PENENTUAN LUAS DAN VOLUME
Penentuan luas dan volume tanah sangat erat kaitannya dengan rekayasa,
seperti halnya dalam penentuan ganti rugi dalam pembebasan tanah untuk
keperluan suatu proyek, penentuan volume galian dan timbunan, penentuan
volume bending, dan lain-lain yang erat dengan biaya suatu pekerjaan rekayasa.
Penentuan volume pekerjaan tanah membutuhkan pula data luas dari suatu
irisan atau tampang sehingga sebelum membicarakan penentuan volume tanah
makan dibahas lebih dahulu penentuan luas.
92
Bila ketiga sisi segitiga masing-masing a, b dan c diketahui, maka
luas segitiga:LST = (s(s - a)(s - b)(s - c))1/2 dengan
s = 1/2(a + b + c).
c) Trapesium
Bila kedua sisi sejajar trapesium b1 dan b2 serta tingginya h diketahui,
maka luas trapesium: LTRP = 1/2(b1 + b2)h
Gambar 9.1 Hitungan luas cara offset dengan interval tidak tetap
93
b) Bentuk turunan trapesium dan parabola
Trapesium dan parabola sebagai pendekatan bentuk yang dibatasi oleh
lengkungan polynomial:
Cara Simpson 1/3, dua bagian dianggap satu set:
A = l/3 (y0 + 4y1 + y2)
Cara Simpson 1/3 untuk offset ganda berulang:
A = l/3 {y0 + yn + 4(y2 + y4 +...+yn-1) + 2(y3 + y5 +...+ yn-2)}
94
perkerasan jalan yang juga menunjukkan cara penimbunan ataupun
penggalian bila diperlukan.
Bentuk tanah asli beraturan:
Luas dihitung menggunakan rumus "typical" pada bentuk yang
beraturan tersebut.Luas galian pada potongan yang ditunjukkan pada
Gambar 9.5 adalah:A = h(W + r1h)
95
2) Cara lajur
Bagian yang akan ditentukan luasnya "dirajah" dengan menempatkan lajur-
lajur transparan dengan ukuran tertentu di atasnya. Luas setiap lajur = dl,
bila d adalah lebar lajur dan l panjang lajur.
96
dilokasi proyek. Semua kegiatan itu menggali, mengangkut dan menimbun serta
memadatkannya membutuhkan biaya yang cukup besar.Biaya tersebut dapat
dirancang apabila perencanaan dapat menghitung lebih dulu berapa volume
tubuh tanah yang dibutuhkan atau yang harus dipindahkan secara tepat.
Perhitungan volume yang biasanya digunakan antara lain sebagai berikut.
97
9.2.2 Cara Prisma Dan Piramida
Dibedakan menjadi:
1) Cara prisma: V = h/6(A1 + 4 Am + A2)
98
9.2.3 Metode Ketinggian Sama
1) Area berbentuk bujur sangkar
V = A/4( h1 + 2 S h2 + 3 S h3 + 4 S h4)
hI= ketinggian titik-titik yang digunakan i kali dalam hitungan volume
99
2) Cara garis kontur dengan rumus piramida kotak
V = h/3{ Ao + An + 2SAr + S(Ar-1Ar)1/2 },
r pada 2SAr berselang 1 <= r<= n - 1, rpada S(Ar-1Ar)1/2
berselang 1 <= r<= n. Untuk n = 1 diperoleh:
V = h/3{Ao + A1 + (A0A1)1/2} = V = h/3{ Ao + (A0A1)1/2 + A1 }
100
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Slamet. 2012. Ilmu Ukur Tanah: Edisi Revisi. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
101
LAMPIRAN 1
Formulir Pengukuran Sipat Datar
102
BIODATA PENULIS I
103
BIODATA PENULIS II
104